Anda di halaman 1dari 4

Dampak Buruk

Telah banyak usaha yang dilakukan untuk memberangus korupsi, namun sampai saat ini hasilnya
masih tetap belum sesuai dengan yang harapan masyarakat. Melihat kenyataan betapa sulitnya
usaha pemberantasan korupsi, sebenarnya wajar saja jika sampai timbul public judgement bahwa
korupsi adalah manisfestasi budaya bangsa. Ibarat wabah demam berdarah dengou (DBD), korupsi
kini telah memasuki arena Kejadian Luar Biasa (KLB). Salah satu akibat buruk dari perilaku korup
yang kini semakin membudaya di Indonesia adalah kerugian keuangan negara. Selama tiga tahun
terakhir terdapat trendkenaikan kerugian keuangan negara yang menurut catatan akhir
tahun IndonesianCorruption Watch(24/1/07) pada tahun 2004 mencapai Rp. 4,3 triliun, tahun 2005
mencapai Rp 5,3 triliun dan tahun 2006 meningkat tiga kali lipat menjadi Rp 14,4 triliun.

Begitu kronisnya penyakit korupsi di Indonesia digambarkan oleh Prof. Dr. H. Syafe'i Ma'arif, akibat
korupsi yang semakin merajalela kini bangsa Indonesia dalam kondisi yang sangat
menyedihkan.Departemen Agama RI yang seharusnya mengurusi pembangunan mental (hati)
bangsa adalah salah satu departemen terkorup di negeri ini. Kemudian Departemen Pendidikan RI
yang seharusnya mengurusi usaha mencerdaskan bangsa (otak) juga merupakan salah satu
departemen terkorup. Demikian juga Departemen Kesehatan RI yang seharusnya mengurusi
kesehatan secara fisik bangsa Indonesia juga salah satu Departemen Terkorup di negeri ini. "Lalu apa
yang tersisa? ", tanya Ma'arif.

Lebih jauh Deny Indrayana, SH, LLM, Ph.D, ketua Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Fakultas Hukum
UGM mengemukakan kemudlaratan korupsi telah sukses merambah seluruh aspek kehidupan sosial
diantaranya ; mahalnya biaya pendidikan, kesehatan, minimnya fasilitas umum, minimnya fasilitas
militer, penegakan hukum yang "memble", minimnya lapangan kerja, dana bantuan di-"sunat",
ekonomi biaya tinggi, BBM mahal, dan banyaknya biaya-biaya yang tidak jelas (invisble cost).

Faktor Penyebab dan Budaya Korupsi

Banyak indikasi yang menyebutkan bahwa faktor daya dorong (driving force) terhadap mem-batu-
nya budaya korupsi selalu berhubungan dengan usaha pemuasan fasilitas kehidupan yang
hedonistik, yaitu usaha pemenuhan kepuasan nafsu terhadap harta, tahta dan wanita, disebut "tiga-
ta". Terbentuknya perilaku korupsi (corruption behavior) dapat dijelaskan dengan teori psikoanalisis
dari Sigmun Freud. Apabila keinginan dasar manusia yang begitu liar (wild) terhadap "tiga-
ta" sebagai bentuk daya dorong terlalu kuat disebut "id" dan tidak terkendali oleh "ego", maka
dalam diri manusia muncul "super ego"berupa perilaku korupsi yang tidak terkendali. Budaya
korupsi adalah hasil akumulatif "super ego" dalam pemenuhan hedonistik yang tidak wajar,
berlebihan serta tidak terkendali.

Statement yang sering terdengar adalah korupsi telah mendarah daging, mengakar dan membudaya
di republik tercinta ini. Repotnya adalah jika ada urusan yang berkaitan dengan birokrasi, saat ini
orang menjadi lazim untuk memberi "sesuatu".. Padahal instansi tersebut benar=benar tidak
meminta "sesuatu". Karena perilaku korupsi sudah menjadi "budaya", orang atau instansi yang
mencoba untuk "bersih" justru dianggap aneh. . Salah kaprah ini juga dapat menjadi daya dorong
terjadinya korupsi. Pertanyaan yang dapat dimunculkan adalah "Apakah benar korupsi telah
membudaya di negeri ini?".Meminjam istilah Edgard H. Schein, bahwa "budaya" didefinisikan
sebagai : " “A pattern of shared basicassumptions that the group learned as it solved its problem of
externaladaptation and internal integration, that have worked well enough to beconsidered valid
and, therefore, to be taught to new members as the correct wayto perceive, think and feel in
relations to this problems”. Pada intinya, budaya adalah asumsi dasar yang diketahui secara
bersama-sama dan dianggap benar secara internal maupun eksternal sehingga perlu diteruskan
kepada anggota masyarakat baru atau generasi berikutnya.

Melihat batasan budaya tersebut, perilaku korupsi di Indonesia dapat dikatakan sebagai telah
"membudaya". Secara umum banyak perilaku korupsi yang sudah diasumsikan secara bersama-sama
"benar" dan "lazim". Jika tidak mengikuti arus perilaku korupsi, bahkan kita dianggap "naif" dan tidak
wajar atau aneh. Lebih sadis lagi kita dapat dianggap ketinggalan jaman dan tidak modern.Gila
bener!

Kilas-balik : Sejarah Korupsi di Indonesia

Perilaku dan sifat korup manusia Indonesia telah dikenal sejak jaman dahulu sampai sekarang dan
akan terus berlanjut entah sampai kapan. Periodisasi korupsi di Indonesia secara umum dapat
dibagi dua, yaitu periode pra dan pasca kemerdekaan.

Periode Pra-kemerdekaan. Dari beberapa catatan sejarah, kehancuran kerajaan-kerajaan


besar di Indonesia disebabkan perilaku korup sebagian besar tokoh elite (pentholan) bangsa pada
saat itu. Sebut saja Sriwijaya yang hancur karena tidak ada penerus setelah mangkatnya raja Bala
Putra Dewa dan Majapahit hancur karena perang saudara (paregreg) setelah mangkatnya Maha
Patih Gajah Mada. Sedangkan kerajaan Mataram di Jawa Tengah, "loyo" dan semakin melemah
karena ditekan dengan politik pecah belah serta adanya perjanjian Giyanti pada tahun 1755 yang
membelah dua wilayah Mataram menjadi kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Fokus
penelitian sejarah kebanyakan bercerita pada aspek politik, bukan ekonomi seperti usaha
memperkaya diri sendiri dan kerabat kaum bangsawan sehingga merugikan keuangan negara.

Masa penjajahan Belanda yang berlangsung 350 tahun juga ikut andil dalam membentuk budaya
korupsi. Buku History of Java karya Rafles (1816) menyebutkan karakter orang jawa sangat "nrimo"
atau pasrah pada keadaan, namun memiliki keinginan untuk dihargai orang lain, tidak terus terang,
menyembunyikan persoalan dan oportunis. Bangsawan Jawa gemar menumpuk harta,
memelihara abdi dalem untuk kepuasan karena diharapkan memberi sanjungan. Budaya Jawa yang
demikian akhirnya menimbulkan budaya korup. Bahkan pegawai VOC yang bergaji relatif kecil pada
saat itu juga menyebabkan suburnya budaya korupsi. Pada tahun 1799 asosiasi dagang VOC
(Verenigde Oost Indische Compagnie) dipelsetkan menjadi Verhaan Onder Corruptie, runtuh
lantaran korupsi.

Periode Pasca- kemerdekaan. Pada masa kepemimpinan Soekarno, korupsi tetap merajalela
meskipun negara RI baru terbentuk dan belum stabil. Pada masa tersebut ada dua badan dibentuk
untuk pemberantasan korupsi; PARAN (Panitia Retooling Aparatur Negara) dan Operasi Budhi. Paran
mengalami kebuntuan, karena semua pejabat tinggi berlindung di ketiak presiden. Kemudian tahun
1963 dikeluarkan Kepres no. 275 tahun 1963 dikenal dengan nama Operasi Budhi (OB). Dalam
waktu 3 bulan OB berhasil menyelamatkan uang negara sebesar Rp. 11 miliar, untuk ukuran waktu
itu begitu fantastis. Operasi ini pun akhirnya gagal, karena dianggap nyerempet-nyerempet presiden.
Misalnya untuk menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina minta ijin kepada presiden untuk ke luar
negeri, sementara direksi yang lain menolak diperiksa dengan alasan belum ada ijin atasan.

Pada masa Orde Baru, dibentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) sebagai tindak lanjut
pidato Pj Presiden Soeharto di depan DPR/MPR 16 Agustus 1967. karena selalu gagal, bagaikan
macan ompong maka dibentuk Opstib (Operasi tertib) yang dikomandani oleh Soedomo. Namun
seperti biasanya, Opstib juga hilang ditelan bumi tanpa bekas sama sekali.

Pada masa reformasi, berbagai lembaga telah dibentuk untuk memberantas korupsi. Korupsi
yang pada jaman orde baru hanya melingkar di pusat kalangan elit kekuasaan, dengan adanya
desentralisasi maka semua lini pemerintahan terjangkit virus korupsi. Skala korupsi menjalar ke
setiap sendi-sendi kehidupan bangsa. Usaha pemberantasan korupsi dilakukan mulai dari jaman
presiden B.J. Habibie, Gudur, Megawati dan SBY. Berbagai peraturan dan badan atau lembaga
dibentuk, diantaranya : Komisi Penyelidik Kekakayaan penyelenggara Negara (KPKPN), Komisi
Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), Ombudsmen, Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (TGPTPK). Dari semua lembaga tersebut, hasilnya tetap ajeg, tidak berubah. Intinya
keseriusan pemerintah masih patut dipertanyakan. Tampak secara terang dan jelas, pemerintah
selalu bermain-main dengan cara melindungi para konglomerat dan orang-orang kuat yang
oleh Deny Indrayana disebut epicentrum korupsi, yaitu : istana, cendana, senjata, dan pengusaha
naga.

Tawaran Solusi

Mengingat fenomena perkorupsian di Indonesia kini telah memasuki zone Kejadian Luar Biasa
(KLB), maka pendekatan pemberantasan korupsi juga harus dipilih cara-cara yang luar biasa (extra
ordinary approach). Disamping cara-cara yang luar biasa juga harus dipilih sasaran tembak yang
tepat, diantaranya memerangi instrument penting seperti memerangi mafia peradilan dan political
corruption.

Sebagai akhir dari tulisan ini, ditawarkan 10 tawaran solusi untuk pemberantasan korupsi
secara terpadu; (1) Nyatakan perang jihad terhadap korupsi, (2) buat perpu anti korupsi dan mafia
peradilan, (3) reformasi berfokus pada birokrasi dan peradilan baik secara aktif, persuasif dan
represif, (4) fokus pada korupsi politik dan peradilan, (5) ekstensifikasi strategi bersifat preventif dan
represif, (6) pendidikan anti korupsi, (7) kampanye dan gerakan-gerakan LSM, mahasiswa, media
dan masyarakat (8) strategi represif : quick wins and big fishes (koruptor kakap), amputasi pusat
korupsi, lawan usaha fights back(melemahkan usaha anti korupsi), pertahan kan keluarbiasaan KPK
dan Pengadilan Tipikor, (9) leadership dan (10) Budaya : tidak ada kompromi terhadap korupsi (zerro
tolerance to corrupt)..
Daftar Bacaan

Amin Rahayu , Sejarah Korupsi di Indonesia, Amanah No. 55, tahun XVIII, Oktober

2004 hal 40 -43.

Catatan Akhir tahun ICW, 24 Januari 2007.

Freud Sigmund (1996). Psychoanalysis Theory, Prentice-hall.

Hidayati, Rahmatul (2001) . Pengaturan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia dari

Masa Kolonial sampai Era Reformasi", Dinamika Hukum Universitas islam

Malang : 7 (13) 2001, 20 -25.

Indrayana, Denny (2007). Makalah Seminar : Manajemen Penanggulangan dan Pengawasan Korupsi
di Indonesia, MM-UTP palembang.

Koran Tempo, 13 Nop. 2006.

Schein H. Edgar (1996). Organizational Culture and Leadership, Jossey-Bass,

Transperancy International Indonesia (TII), Jakarta, 18 Oktober 2005.

Anda mungkin juga menyukai