Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN KASUS

PERITONITIS ET CAUSA ACUTE APENDICITIS

Disusun Sebagai Syarat Kelengkapan Program Dokter Internsip


Rumah Sakit Dik Pusdikkes Kodiklat TNI AD

oleh :
dr. Fadly C L
dr. Najibah Zulfa A

Pendamping :
dr. Satyaningtyas

BAB I
LAPORAN KASUS
KETERANGAN UMUM
Pasien
Nama : Tn. S
Usia : 77 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Kampung Pulo, Jakarta Timur
Status : Menikah
No. Medis : 136510
Waktu : 05 Maret 2019 jam 08.45

ANAMNESIS
Keluhan Utama : Nyeri seluruh lapang perut
Anamnesa tambahan:
Pasien datang dengan keluhan nyeri di seluruh lapang perut ya. Nyeri di
rasakan semakin lama semakin hebat dan terus menerus. Nyeri bertambah dengan
pergerakan. Nyeri awalnya terasa di bagian perut kanan bawah sejak 4 hari yang
lalu.

Pasien juga mengeluh mual terutama saat makan, namun tidak disertai
dengan muntah . Demam sejak 2 hari yang lalu. Pasien sudah tidak bisa BAB sejak
4 hari yang lalu . BAK normal.

Riwayat Pengobatan :
Pasien belum pernah berobat
Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada anggota keluarga yang pernah mengalami
keluhan yang sama seperti pasien..

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
Komposmentis, tampak sakit sedang
Tanda-tanda vital:
– TD : 140/100 mmHg
– N : 84 kali/menit,
– R : 22 kali/menit,
– S : 37,8ᴼC
Kepala
- Bentuk : simetris
- Mata : konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
- Telinga : Simetris, secret -/-
- Hidung : Simetris, secret -/-, pernafasan cuping hidung (-)
- Mulut : Bibir serta lidah dalam batas normal
Leher
Pembesaran KGB (-), Retraksi suprasternal (-)
Thorax
Bentuk dan gerak simetris
Paru-paru :
• Retraksi interkostal (-)
• Vokal fremitus kanan dan kiri sama
• Perkusi paru sonor kanan dan kiri
• VBS (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-)
Jantung :
• Ictus kordis di ICS 5 linea midclavikula sinistra
• Batas jantung kanan di iCS 4 parasternal dekstra dan batas jantung kiri ICS
5 line midclavikula sinistra
• S1,S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
• Inspeksi : Perut tidak distensi
• Auskultasi : Bising usus (menurun)
• Palpasi : Defans muskuler (+) NT di seluruh abdomen
• Perkusi : timpani
Rovsing Sign (+), Psoas Sign (+), Obturator Sign (+)
Ekstremitas
Akral hangat, edema (-), CRT < 2 detik

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium :
Pemeriksaan (5/3/19) Pemeriksaan (5/3/19)

Hemoglobin 14,7 S. Thyphi H Negatif

Leukosit 19.060 S Thyphi 0 1/80

Trombosit 240.000 mm3 GDS 94

Ht 41% Bleeding Time 2’30”

Clotting Time 5’30”

Pemeriksaan (5/3/19)

Basofil 0

Eosinofil 0 0

Batang 0

Segmen 92

Limfosit 3

Monosit 5

USG Abdomen
Abdomen Kanan Bawah :
Tampak lesi hipoekoik bentuk target sign (donut sign), nyeri tekan + diameter l.k
6.5 mm yang pada potongan longitudinal memberikan bentuk tubuler buntu.
Hepar :
Ukuran tidak membesar, sudut tajam, permukaan rata. Vena porta hepatika tidak
melebar.
Kandung Empedu :
Tidak tampak batu, duktus biliaris tidak melebar, tidak tampak bayangan
hiperekoik
Spleen :
Ukuran tidak membesar, tekstur parenkim homogen halus
Pankreas:
Besar normal, kontur normal, tekstur parenkim homogen.
Ginjal kanan-kiri:
Ukuran normal, kontur normal,tekstur parenkim homogen, tidak tampak massa atau
kalsifikasi.
Vesica Urinaria:
Terisi penuh, dinding tidak menebal, reguler, tidak tampak bayangan hiperekoik
dengan massa.
Prostat:
Besar normal, kontur normal, tekstur parenkim homogen.

DIAGNOSIS KERJA
Suspek Perforitis ec Acute Apendicitis

PENATALAKSANAAN
1. Ivfd Nacl 2 line - 0.9 % maintenence
2. Ceftriaxon 1 x 2 gram
3. Norages amp 2 x 1 drip
4. Ranitidin amp 2 x 1
5. Dipuasakan
6. Konsul Sp.B
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

PERITONITIS

Definisi

Peritonitis didefinisikan suatu proses inflamasi membran serosa yang


membatasi rongga abdomen dan organ-organ yang terdapat didalamnya.

Klasifikasi Peritonitis

Peritonitis Primer
Peritonitis primer disebabkan oleh infeksi monomikrobial. Sumber infeksi
umumnya ekstraperitonial yang menyebar secara hematogen. Ditemukan pada
penderita serosis hepatis yang disertai asites, sindrom nefrotik, metastasis
keganasan, dan pasien dengan peritoneal dialisis. Peritonitis primer atau spontaneus
peritonitis erhubungan dengan menurunnya ketahanan imun seseorang. Kejadian
peritonitis primer kurang dari 5% kasus bedah. Manajemen dari peritonitis primer
ini meliputi antibiotik dan resusitasi cairan dan terkadang diperlukan pembedahan
yaitu laparotomi diagnostik.
Peritonitis Sekunder

Merupakan infeksi yang disebabkan oleh inflamasi atau proses mekanis


yang terjadi pada saluran cerna, traktus urogenital atau organ solid sehingga akan
mengekspos cavum peritoneal terhadap flora pada saluran cerna. Peritonitis
sekunder diklasifikasikan menjadi: peritonitis akut karena perforasi, peritonitis
postoperatif, dan peritonitis post-traumatik. Peritonitis akut karena perforasi
merupakan jenis yang paling sering terjadi. Perforasi usus halus dapat terjadi akibat
proses inflamasi dan nekrosis dari usus halus seperti yang terjadi pada demam
tifoid. Pada kenabanyakan kasus peritonitis yang disebabkan oleh apendisitis
peritonitis yang terlokalisir dapat berkembang menjadi peritonitis generalisata.

Peritonitis tersier

Peritonitis tersier terjadi akibat kegagalan respon inflamasi tubuh atau


superinfeksi. Peritonitis tersier dapat terjadi akibat peritonitis sekunder yang telah
delakukan interfensi pembedahan ataupun medikamentosa. Kejadian peritonitis
tersier kurang dari 1% kasus bedah.

Diagnosis
Diagnosis peritonitis biasanya ditegakkan secara klinis yang sebagian besar
didapatkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Keluhan utama yang didapatkan
adalah nyeri perut. Nyeri ini bisa timbul tiba-tiba atau tersembunyi. Pada awalnya,
nyeri abdomen yang timbul sifatnya tumpul dan tidak spesifik dan kemudian
infeksi berlangsung secara progresif, menetap, nyeri hebat,semakin terlokalisasi
dan diperberat dengan gerakan. Sebagian besar pasien biasanya tampak berbarang
dengan menekuk lutut, posisi ini mengurangi tekanan pada dinding abdomen dan
mengurangi rasa nyeri. Gejala penyerta yang sering timbul adalah anoreksia, mual
dan muntah.
Sebagian besar pasien biasanya tampak sakit berat serta mengalami
kenaikan suhu dan takikardi. Nyeri pada palpasi merupakan tanda karakteristik
pada peritonitis, nyeri timbul baik pada palpasi dalam maupun palapasi superficial
kemudian timbul reaksi involunter dan spasme otot abdomen. Bising usus dapat
menurun atau hilang. Perkusi pada abdomen dapat menunjukkan punctum
maksimum dari irtasi peritoneal. Pemeriksaan colok dubur jarang menunjukkan
lokasi sumber peritonitis.
Pada pemeriksaan laboratorium kecurigaan peritonitis miningkat apabila
didapatkan peningkatan jumlah leukosit lebih dari 11.000/ml dengan shift to the
left. Pemeriksaan kimia darah dapat menunjukkan hasil yang normal namun pada
keadaan serius dapat menunujukkan dehidrasi berat. Pemeriksaan foto polos
abdomen tidak rutin dilakukan. Pada pemeriksaan foto polos abdomen dapat
ditemukan adanya ileus paralitik dengan distensi usus atau air fluid levels.
Diagnostic Peritoneal Lavage merupakan metode yang aman dan terpercaya
untuk mendiagnosis peritonitis generalisata terutama pada pasien yang tidak
memberikan tanda konsklusif pada pemeriksaan fisik atau pada pasien dengan
riwayat medis yang terbatas. Hasil posistif pada DPL (lebih dari 500 leukosit/ml)
menunjukkan adanya peritonitis. Laparoskopi juga merupakan metode yang efektif
selain DPL. Gold Standard intervensi diagnostik pada peritonitis adalah laparotomi
eksplorasi.

Manajemen peritonitis
Manajemen yang dilakukan antara lain adalah mengistirahatkan saluran cerna
dengan memuasakan pasien, resusitasi cairan intravena untuk mengganti cairan dan
elektrolit yang hilang. Pemberian obat-obatan profilaksis seperti omeprazol atau
ranitidin untuk mencegah terjadinya stress ulcer sangat diperlukan. Pemberian
terapi antibiotik harus dilakukan sesegera mungkin. Pembedahan dilakukan untuk
mengeliminasi penyebab kontaminasi, mengurangi inokulum bakteri dan
menghindari terjadinya sepsis yang persisten atau rekuren.
APENDISITIS AKUT

Epidemiologi

Insidens apendisitis akut akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara
berkembang, namun dalam tiga-empat dasawarsa terakhir menurun secara
bermakna. Kejadian ini diduga disebabkan oleh meningkatnya penggunaan
makanan berserat dalam menu sehari-hari.Insiden pada lelaki dan perempuan
umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, insiden lelaki lebih tinggi.
Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu
tahun jarang dilaporkan, mungkin karen tidak diduga. Insidens tertinggi pada
kelompok 20-30 tahun lalu menurun.

Etiologi

Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal berperan sebagai


faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan
sebagai faktor faktor pencetus di samping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor
appendiks, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain
yang diduga dapat menimbulkan apendisitis ialah erosi mukosa apendiks karena
parasit seperti E.hystolitica.

Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan


rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya appendisitis. Konstipasi
akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat, yang berakibat timbulnya
sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon
biasa. Semuanya ini akan memperpanjang timbulnya apendisitis akut.

Patologi
Patologi yang didapat pada apendisitis dapat dimulai di mukosa dan
kemudian melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24- 48 jam
pertama. Usaha pertahanan tubuh adalah membatasi proses radang dengan menutup
appendiks dengan omentum, usus halus, atau adnexa sehingga terbentuk massa
periapendikuler yang dikenal dengan nama infiltrat apendiks. Di dalamnya dapat
terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak
terbentuk abses, apendisitis akan sembuh sempurna tetapi akan membentuk
jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan di sekitarnya.
Perlengkatan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah. Pada
suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan mengalami
eksaserbasi akut.

Gambaran klinik

Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang
mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak
disertai rangsang peritonium lokal. Gejala klasik apendisitis ialah nyeri samar-
samar ialah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah
epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang ada
muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan
berpindah ke kanan bawah ke titik Mc Burney. Disini nyeri akan dirasakan lebih
tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Kadang
tidak ada nyeri epigastrium tetapi terdapat konstipasi. Bila terdapat perangsangan
peritoneum biasanya pasien mengeluh sakit perut bila berjalan atau batuk.

Bila letak apendiks retrosekal di luar rongga perut, karena letaknya


terlindung sekum maka tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak
ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut sis kanan atau
timbul pada saat berjalan, karena kontraksi otot psoas mayor yang menegang dari
dorsal.

Appendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat menimbulkan


gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristaltik meningkat,
pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan beriulang-ulang. Jika appendiks
tadi menempel ke kandung kemih dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing
karena rangsangan dindingnya.

Pada beberapa keadaan apendisitis agak sulit didiagnosis sehingga tidak pada
waktunya dan terjadi komplikasi.

Pemeriksaan

Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5 – 38,50 C. Bila suhu lebih
tinggi mungkin sudah terjadi perforasi. Pada inspeksi perut tidak ditemukan
gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi
perforasi.

Pada palpasi didapatkan nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan, bisa disertai
dengan nyeri nyeri lepas. Defans muskuler menunjukkan adanya rangsangan
peritoneum parietal. Nyeri tekan perut kanan bawah ini merupakan kunci diagnosis.
Pada penekanan perut di kiri bawah akan dirasakan nyeri di perut kanan bawah
yang disebut tanda Rovsing.

Perisltaktik usus sering normal, peristaltik dapat hilang karena ileus paralitik pada
peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata. Pemeriksaan colok dubur
menyebabkan nyeri bila darah infeksi bisa dicapai dengan jari telunjuk, misalnya
pada apendisitis pelvika. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan
pemeriksaan yang lebih ditutujukan untuk mengetahui letak apendiks. Uji psoas
dilakukan dengan rangsangan m. psoas, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri.
Uji obturator digunakan untuk melihat apakah apendiks yang meradang kontak
dengan m. obturator internus. Dengan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul
pada posisi terlentang, pada apendisitis pelvika akan menimbulkan nyeri.

Selain itu, untuk mendiagnosis apendisitis juga dapat digunakan Alvarado Score ,
yaitu:
Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan jumlah leukosit membantu menegakkan diagososis apendisitis


akut. Pada kebanyakan kasus terjadi leukositosis terlebih pada kasus komplikasi.
Pemeriksaan radiologi berupa foto barium usus buntu (Appendicogram) dapat
membantu melihat terjadinya sumbatan atau adanya kotoran (skibala) didalam
lumen usus buntu. Pemeriksaan USG (Ultrasonografi) dan CT scan bisa membantu
dakam menegakkan adanya peradangan akut usus buntu atau penyakit lainnya di
daerah rongga panggul. Namun dari semua pemeriksaan pembantu ini, yang
menentukan diagnosis apendisitis akut adalah pemeriksaan secara klinis.
Pengelolaan

Bila diagnosis klinis sudah jelas ,maka tindakan paling tepat adalah
apendiktomi dan merupakan satu-satunya pilihan yang baik. Pasien biasanya telah
dipersiapkan dengan puasa antara 4 sampai 6 jam sebelum operasi dan dilakukan
pemasangan cairan infus agar tidak terjadi dehidrasi. Apendiktomi bisa dilakukan
dengan cara apendiktomi terbuka atau laparoskopi. Pada apendiktomi terbuka insisi
dilakukan pada daerah Mc Burney paling banyak dipilih oleh para ahli bedah. Pada
penderita yang diagnosis nya tidak jelas adapat dilakuakn observasi terlebih dahulu.
Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi bisa dilakukan bila dalam observasi
masih terdapat keraguan. Pada apendisitis tanpa komplikasi biasanya tidak perlu
diberikan antibiotik kecuali pada apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforata.

Apendisitis Perforata

Adanya fekalit di dalam lumen, umur (orang tua atau anak muda) dan
keterlambatan diagnosis merupakan faktor yang bereperanan dalam terjadinya
perforasi apendiks. Faktor yang mempengaruhi tingginya insidens perforasi pada
orang tua adalah gejala yang samar, keterlambatan berobat, adanya perubahan
anatomi apendiks berupa penyempitan lumen. Insidens tinggi pada anak disebabkan
oleh dinding apendiks yang masih tipis, anak yang kurang komunikatif sehingga
memperpanjang waktu diagnosis dan omentum anak yang belum cepat
berkembang.

Diagnosis

Perforasi apendiks akan menyebabkan peritonitis purulenta yang ditandai


dengan demam tinggi, nyeri makin hebat serta meliputi seluruh perut dan perut
menjadi tegang dan kembung. Nyeri tekan dan defans muskuler di seluruh perut,
mungkin dengan pungtum maksimum di regio iliaka kanan.

Pengelolaan

Perbaikan keadaan umum dengan infus, antibiotik untuk kuman gram negatif dan
positif serta kuman anaerob dan pipa nasogastrik perlu dilakukan sebelum
pembedahan. Perlu dilakukan laparotomi dengan insisi panjang supaya dapat
dilakukan pencucian rongga peritoneum ataupun pengeluaran fibrin secara adekuat
dan memudahkan pembersihan kantong nanah.

BAB III
PEMBAHASAN

Seorang laki-laki 77 tahun datang dengan keluhan nyeri perut. Kurang lebih 2
hari SMRS pasien mengeluh nyeri perut (+) yang berawal dari daerah epigastrium
lalu kemudian berpindah ke perut kanan bawah dan saat ini dirasakan di seluruh
lapangan perut. Nyeri dirasakan semakin berat dan terus-menerus.Pasien mengaku
lebih nyaman jika tidur kedua kaki ditekuk (+). Pasien juga mengeluh badan panas
kurang lebih 4 hari SMRS. Mual (+), nafsu makan menurun (+), flatus (+),sudah
tidak BAB sejak 4 hari SMRS. BAK (+) dalam batas normal.

Dari riwayat penyakit dahulu didapatkan bahwa pasien belum pernah


mengalami sakit seperti ini sebelumnya dan tidak pernah menderita peyakit
jantung,kencing manis atau darah tinggi. Dari riwayat penyakit keluarga tidak
didapatkan riwayat adanya anggota keluarga yang menderita penyakit jantug,
kencing manis dan darah tinggi.

Pada pemeriksaan fisik tanggal 05 Maret 2019 didapatkan keadaan umum


pasien tampak lemah dan terpasang infus RL 20 tetes per menit, dengan tanda vital:
tekanan darah 140/100 mmHg, nadi 84 kali/menit reguler, frekuensi pernafasan
22x/ menit dan suhu 37,80C (axiller). Pada pemeriksaan fisik didapatkan bising usus
(+) menurun pada auskultasi, hipertimpani dan nyeri ketok di seluruh lapangan
abdomen pada perkusi, nyeri tekan (+) pada seluruh lapangan abdomen dan
abdomen tegang pada palpasi. Pada pemeriksaan tambahan didapatkan Rovsing
sign (+), Psoas sign (+), obturator sign (+). Dari pemeriksaan hematologi tanggal
05 Maret 2019 didapatkan jumlah leukosit lebih dari batas normal yaitu 19.000
mm3.

Skoring alvarado pada pasien didapatkan : Migrating pain (+) = 1, anorexia (+)
= 1, nausea/vomiting (+)= 1, tenderness in right iliac fossa (+)=2, rebound
tenderness in right iliac fossa (+)=1, elevated temperature(+)=1, leukositosis (+)=2.
Jumlah alvarado score = 9 dengan interpretasi definite acute appendicitis.

Berdasarkan, pemeriksaan fisik , pemeriksaan penunjang dan hasil skoring


Alvarode Score pasien didiagnosis dengan peritonitis e.c appendisitis akut
perforata.

Pengelolaan pada pasien ini adalah dengan pemberian infus RL 20 tetes per
menit untuk mengganti cairan dan elektrolit yang hilang. Pemberian antibiotik
spektrum luas Injeksi Ceftriaxone 1x2 gram,pemberian tambahan antibiotik
metronidazol drip 3 x 500 mg, pemberian injeksi Norages mengurangi rasa nyeri
pada pasien. Selain itu pasien dipuasakan untuk mengistirahatkan saluran cerna
sekaligus untuk persiapan operasi. perencanaan tindakan pembedahan.

Edukasi diberikan kepada pasien dan keluarganya mengenai penyakit yang


diderita pasien, pengobatan dan perlunya dilakukan tindakan operasi untuk
menghilangkan sumber infeksi dan mencegah penyebaran infeksi. Selain itu
dijelaskan pula kepada pasien dan keluarga bahwa untuk membantu proses
penyembuhan dan pemulihan post operasi pasien harus menjaga kebersihan bekas
luka post operasi, minum obat, disarankan agar tidak berpantang dalam makan
sehingga membantu dalam penyembuhan luka serta perlunya kontrol ke rumah
sakit.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat, R. Usus halus, appendiks, kolon, dan anorektum dalam Buku


Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. Ed Sjamsuhidajat R, De Jong W.Jakarta: EGC,
pp: 865-875.
2. Craig, S. Appendicits . Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/7738
3. Ordonez, CA. Management of peritonitis in the critically ill patient. Available
at : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3413265/
4. Daley, JB. Peritonitis and abdominal sepsis. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/180234-overview

Anda mungkin juga menyukai