STRUMA
Disusun oleh:
Lakwari Agthaturi
11.2015.101
Pembimbing:
dr. T. Henry, Sp.B, M.Si,Med
Kata
Pengantar.................................................................................................................................i
Daftar
Isi..........................................................................................................................................1
BAB I
Pendahuluan.........................................................................................................................2
BAB II Anatomi dan Fisiologi
Tiroid.............................................................................................3
BAB III
Pembahasan.......................................................................................................................6
3.1 Struma Difusa
Toksik...................................................................................................7
3.2 Struma Nodosa
Toksik.................................................................................................11
0
3.3 Struma Difusa
Nontoksik.............................................................................................12
3.4 Struma Nodosa
Nontoksik...........................................................................................14
3.5 Karsinoma
Tiroid.........................................................................................................15
3.6 Langkah-langkah Penegakkan Diagnosis
Struma.......................................................17
BAB IV
Kesimpulan.......................................................................................................................22
DAFTAR
PUSTAKA.....................................................................................................................23
BAB I
PENDAHULUAN
Struma, disebut juga goiter adalah suatu pembengkakan pada leher oleh karena
pembesaran kelenjar tiroid akibat kelainan glandula tiroid dapat berupa gangguan
fungsi atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya.1 Struma sudah dikenali
sejak tahun 2700 sebelum Masehi. Tahun 1619, Hieronymus Fabricius ab
Aquapendente menemukan bahwa struma timbul dari kelenjar tiroid. Istilah kelenjar
tiroid (Yunani thyreoeides, berbentuk perisai) dihubungkan dengan Thomas Wharton
dalam buku Adenographia-nya (1656). Tahun 1776, tiroid diklasifikasikan sebagai
kelenjar tanpa saluran oleh Albrecht von Haller dan dianggap memiliki banyak
fungsi mulai dari pelumasan laring hingga bertindak sebagai reservoir untuk darah
untuk memberikan aliran terus menerus ke otak, dan untuk memperindah leher
wanita. Rumput laut yang terbakar dianggap menjadi pengobatan yang paling efektif
untuk gondok.2
Catatan pertama operasi tiroid untuk perawatan goiter dilakukan oleh Roger
Frugardi pada tahun 1170. Bila perawatan secara medis gagal, operasi dilakukan
dengan memasukkan dua seton di sebelah kanan sudut ke gondok dan dikencangkan
dua kali sehari sampai gondok terpisah. Luka terbuka dirawat dengan bubuk kaustik
1
dan dibiarkan sembuh. Namun, operasi tiroid merupakan operasi berbahaya dengan
angka kematian terlarang (>40%) hingga paruh kedua abad kesembilan belas, ketika
maju dalam anestesi umum, antisepsis, dan hemostasis memungkinkan ahli bedah
untuk melakukan tiroid operasi dengan angka mortalitas dan morbiditas yang
berkurang secara signifikan.2
Dampak struma terhadap tubuh terletak pada pembesaran kelenjar tiroid yang
dapat mempengaruhi kedudukan organ-organ di sekitarnya. Di bagian posterior
medial kelenjar tiroid terdapat trakea dan esophagus. Struma dapat mengarah ke
dalam sehingga mendorong trakea, esophagus dan pita suara sehingga terjadi
kesulitan bernapas dan disfagia. Hal tersebut akan berdampak terhadap gangguan
pemenuhan oksigen, nutrisi serta cairan dan elektrolit. Bila pembesaran keluar maka
akan memberi bentuk leher yang besar dapat asimetris atau tidak, jarang disertai
kesulitan bernapas dan disfagia. Pembesaran kelenjar tiroid ini ada yang
menyebabkan perubahan fungsi pada tubuh dan ada juga yang tidak mempengaruhi
fungsi. Struma merupakan suatu penyakit yang sering dijumpai sehari-hari, dengan
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti, struma dengan atau tanpa kelainan
fungsi metabolisme dapat didiagnosis secara tepat.1,3
Survey epidemiologi untuk struma endemik sering ditemukan di daerah
pegunungan seperti pegunungan Alpen, Himalaya, Bukit Barisan dan daerah
pegunungan lainnya. Untuk struma toksik prevalensinya 10 kali lebih sering pada
wanita dibanding pria. Pada wanita ditemukan 20-27 kasus dari 1.000 wanita,
sedangkan pria 1-5 dari 1.000 pria.1
Berdasarkan hasil survei di seluruh Indonesia mengenai struma menunjukkan
peningkatan prevalensi Total Goitre Rate (TGR) dari 9,8% pada tahun 1998 menjadi
sebesar 11,1% pada tahun 2003. Angka TGR di Indonesia tersebut masih menjadi
masalah kesehatan masyarakat, karena WHO memberi batas maksimal 5%. 4
Berdasarkan laporan dari Badan Registrasi Kanker Ikatan Dokter Ahli Patologi
Indonesia (IAPI) tahun 1998 kanker tiroid menempati urutan ke sembilan dari 10
kanker terbanyak.5 Di Rumah Sakit Kanker Dharmais, kanker tiroid menempati
urutan ke enam terbanyak dari kanker lainnya. Angka kejadian kanker tiroid ini
cenderung meningkat dari 85 kasus kanker tiroid pada tahun 2010 menjadi 147 kasus
pada tahun 2013.6
Di kota Manado, tepatnya di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado struma
terdapat paling banyak pada golongan usia 51-60 tahun dan jenis kelamin
2
perempuan. Kelainan tiroid menurut tempat tinggal paling sering terjadi di daerah
pegunungan. Menurut jenis histopatologiknya paling sering terjadi ialah struma
koloides pada kelainan tiroid jinak dan karsinoma papilar pada kelainan tiroid ganas.7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Tiroid
Glandula tiroidea terdiri atas lobus dekstra dan sinistra yang dihubungkan
oleh isthmus yang sempit. Tiroid dibungkus oleh selubung yang berasal dari
lamina pretrakealis fascia profunda. Selubung ini melekatkan tiroid pada
laring dan trakea. Setiap lobus berbentuk seperti buah pir, dengan apeks
menghadap ke atas sampai linea oblique cartilaginis tiroideae; basisnya
terletak di bawah setinggi cincin trakea keempat atau kelima. Isthmus meluas
melintasi garis tengah di depan cincin trakea kedua, ketiga, dan keempat.1,8
Vaskularisasi kelenjar tiroid berasal dari:1,2
1) Arteri Tiroidea superior yang merupakan cabang dari A. Carotis Externa
2) Arteri Tiroidea Inferior yang merupakan cabang dari A. Subclavia
3) Arteri Tiroidea Ima yang merupakan cabang dari Arcus Aorta
4) Vena tiroidea superior yang bermuara ke vena jugularis interna;
5) Vena tiroidea media, yang bermuara ke vena jugularis interna,
6) Vena tiroidea inferior, yang dari kedua sisi beranastomosis satu dengan
yang lainnya pada saat mereka berjalan turun di depan trakea. Vena-vena ini
akan bermuara dalam vena brachiocephalica sinistra di dalam rongga toraks.8
3
Gambar 1. Anatomi Kelenjar Tiroid, tampak anterior8
Kelenjar tiroid mendapat inervasi saraf simpatik yang berasal dari
ganglion servikalis yang berjalan bersama dengan arteri, saraf ini berperan
dalam mengatur aliran darah sesuai kebutuhan produksi hormon.3,8
B.
Fisiologi Tiroid
Kelenjar tiroid merupakan suatu kelenjar endokrin yang mensekresikan hormon
Tiroksin atau T4, triiodotironin atau T3 dan kalsitonin. Di dalam darah sebagian besar
T3 dan T4 terikat oleh protein plasma yaitu albumin, Thyroxin Binding Pre Albumin
(TBPA) dan Thyroxin Binding Globulin (TGB). Sebagian kecil T3 dan T4 bebas
beredar dalam darah dan berperan dalam mengatur sekresi TSH. Hormon tiroid
dikendalikan oleh thyroid-stimulating hormone ( TSH ) yang dihasilkan lobus anterior
glandula hypofise dan pelepasannya dipengaruhi oleh thyrotropine-releasing hormone
4
( TRH ). Kelenjar thyroid juga mengeluarkan calcitonin dari parafolicular cell, yang
dapat menurunkan kalsium serum berpengaruh pada tulang. 1,9,10,11
Fungsi hormon tiroid antara lain:1,9,10,11
1) meningkatkan kecepatan metabolisme
2) efek kardiogenik
3) simpatogenik
4) pertumbuhan dan sistem saraf
Selain meningkatkan sekresi hormon tiroid, TSH juga mempertahankan integritas
struktural kelenjar tiroid. Tanpa adanya TSH, tiroid mengalami atrofi dan mengeluarkan
hormone tiroid dalam jumlah sangat rendah. Sebaliknya, kelenjar mengalami hipertrofi
dan hyperplasia sebagai respons terhadap TSH yang berlebihan. 11
TRH hipotalamus, menyebabkan sekresi TSH oleh hipofisis anterior, sementara
hormone tiroid melalui mekanisme umpan balik menghentikan sekresi TSH dengan
menghambat hipofisis anterior. Mekanisme antara hormon tiroid dan TSH ini cenderung
mempertahankan kestabilan sekresi hormon tiroid. 11
C. Klasifikasi Struma
Pembesaran kelenjar tiroid atau struma diklasifikasikan berdasarkan efek
fisiologisnya, klinis, dan perubahan bentuk yang terjadi. Struma dapat dibagi
menjadi:1-3
1. Struma toksik, yaitu struma yang menimbulkan gejala klinis pada tubuh,
berdasarkan perubahan bentuknya dapat dibagi lagi menjadi
a. Difusa, yaitu jika pembesaran kelenjar tiroid meliputi seluruh lobus,
seperti yang ditemukan pada Grave’s disease.
b. Nodosa, yaitu jika pembesaran kelenjar tiroid membentuk, seperti yang
ditemukan pada Plummer’s disease
2. Struma nontoksik, yaitu struma yang tidak menimbulkan gejala klinis pada
tubuh, berdasarkan perubahan bentuknya dapat dibagi lagi menjadi
5
a. Difusa, seperti yang ditemukan pada endemik goiter
b. Nodosa, seperti yang ditemukan pada keganasan tiroid
Pembahasan dalam referat ini akan dipusatkan pada struma nodosa, sesuai dengan
judul referat.
D. Struma Nodosa
Suatu struma disebut uninodosa bila hanya terdapat satu nodul saja, dan
disebut multinodosa bila terdapat lebih dari satu nodul, baik pada satu sisi
lobus saja maupun pada kedua sisi lobus.3
Nodul tiroid adalah hal yang umum; prevalensinya dalam populasi umum
tinggi, persentase bervariasi tergantung pada cara ditemukannya, yakni 2-6%
ditemukan dengan palpasi, 19-35% dengan ultrasonografi, dan 8-65% dari
data otopsi. Nodul tiroid ditemukan baik secara klinis melalui palpasi oleh
pasien sendiri atau saat pemeriksaan fisik oleh dokter, maupun secara
incidental saat menjalani prosedur radiologi seperti ultrasonografi atau skan
computed tomography (CT-scan) di area leher. Meskipun nodul tiroid adalah
hal yang umum, signifikansi klinisnya secara umum berhubungan dengan
mendeteksi keganasan, mengevaluasi status fungsionalnya dan apakah nodul
tersebut menyebabkan gejala-gejala karena penekanan atau tidak.12
1. Struma nodosa toksik
Struma nodosa toksik adalah terdapatnya suatu nodul pada tiroid yang berfungsi
secara otonom hingga menyebabkan tanda-tanda hipertiroid. 13
1.1 Nodul toksik soliter
Nodul tiroid soliter yang berfungsi otonom disebut juga toksik
adenoma. Patogenesis dari kelainan ini didemonstrasikan dengan
menunjukkan mutasi yang dapat menstimulasi jalur signal TSH-R.
mutasi-mutasi ini, menginduksi peningkatan dari siklik AMP dan
menyebabkan peningkatan fungsi dan proliferasi sel folikel tiroid.14
Gejala-gejala tirotoksikosis biasanya ringan. Kelainan ini ditunjukkan
dengan adanya nodul tiroid, yang umumnya cukup besar untuk
dipalpasi, dan dengan tidak adanya gejala-gejala klinis yang mengarah
ke penyakit Grave atau sebab tirotoksikosis lainnya. Skan tiroid
menunjukkan diagnostik definitif, dengan adanya penyerapan fokal
pada nodul yang berfungsi otonom dan berkurangnya penyerapan di
bagian kelenjar lainnya, karena aktivitas dari tiroid normal tertekan.14
6
Pada eksisi toksik adenoma menunjukkan kapsul yang jelas dan dapat
berbentuk kistik pada bagian sentral. Lesi-lesi ini juga dapat
menunjukkan pola papiler dari pertumbuhan tanpa fitur nuclear dari
karsinoma papiler. Biasanya nodul tunggal yang berfungsi otonom ini
terjadi pada wanita-wanita muda.15
1.2 Struma multinodosa toksik
2 .
2.1
2. Struma nodosa non-toksik
3. Nodul tiroid lainnya
E. Struma Multinodosa
7
saat pemeriksaan fisik di mana pada saat palpasi kita dapat merasakan pembesaran yang
hanya terjadi pada salah satu lobus.3
3.2.4 Tatalaksana
Terapi yang diberikan pada Plummer’s Disease juga sama dengan Grave’s yaitu
ditujukan pada pengendalian keadaan tirotoksisitas/ hipertiroidi dengan pemberian
antitiroid, seperti propil-tiourasil (PTU) atau karbimazol. Terapi definitif dapat
dipilih antara pengobatan anti-tiroid jangka panjang, ablasio dengan yodium
radiokatif, atau tiroidektomi. Pembedahan terhadap tiroid dengan hipertiroidi
dilakukan terutama jika pengobatan dengan medikamentosa gagal dengan kelenjar
tiroid besar. Pembedahan yang baik biasanya memberikan kesembuhan yang
permanen meskipun kadang dijumpai terjadinya hipotiroidi dan komplikasi yang
minimal.3
8
tanpa gejala kecuali benjolan di leher. Sebagian besar penderita dengan struma
nodosa dapat hidup dengan strumanya tanpa keluhan. Walaupun sebagian struma
nodosa tidak mengganggu pernafasan karena menonjol ke depan, sebagian lain dapat
menyebabkan penyempitan trakea bila pembesarannya bilateral. Struma nodosa
unilateral dapat menyebabkan pendorongan sampai jauh ke arah kontra lateral.
Pendorongan demikian mungkin tidak mengakibatkan gangguan pernafasan.
Penyempitan yang berarti menyebabkan gangguan pernafasan sampai akhirnya
terjadi dispnea dengan stridor inspiratoar. Keluhan yang ada ialah rasa berat di leher.
Sewaktu menelan trakea naik untuk menutup laring dan epiglotis sehingga terasa
berat karena terfiksasi pada trakea.3
3.4.4 Tatalaksana
Tindakan operatif masih merupakan pilihan utama pada SNNT. Macam-
macam teknik operasinya antara lain:3
a. Lobektomi, yaitu mengangkat satu lobus, bila subtotal maka
kelenjar disisakan seberat 3 gram
b. Isthmolobektomi, yaitu pengangkatan salah satu lobus diikuti
oleh isthmus
c. Tiroidektomi total, yaitu pengangkatan seluruh kelenjar tiroid
d. Tiroidektomi subtotal bilateral, yaitu pengangkatan sebagian
lobus kanan dan sebagian kiri, sisa jaringan 2-4 gram di bagian posterior
dilakukan untuk mencegah kerusakan pada kelenjar paratiroid atau N.
Rekurens Laryngeus
9
1. Karsinoma papiler, karsinoma ini berasal dari sel-sel tiroid dan
merupakan jenis paling umum dari karsinoma tiroid. Lebih sering terdapat pada
anak dan dewasa muda dan lebih banyak pada wanita. Terkena radiasi semasa
kanak ikut menjadi sebab keganasan ini. Pertama kali muncul berupa benjolan
teraba pada kelenjar tiroid atau sebagai pembesaran kelenjar limfe didaerah
leher. Metastasis dapat terjadi melalui limfe ke daerah lain pada tiroid atau, pada
beberapa kasus, ke paru.
2. Karsinoma folikuler, karsinoma ini berasal dari sel-sel folikel dan
merupakan 20-25 % dari karsinoma tiroid. Karsinoma folikuler terutama
menyerang pada usia di atas 40 tahun.Karsinoma folikuler juga
menyerang wanita 2 sampai 3 kali lebih sering daripada pria. Pemaparan
terhadap sinar X semasa kanak-kanak meningkatkan resiko jenis keganasan
ini. Jenis ini lebih infasif daripada jenis papiler.
3. Karsinoma anaplastik, karsinoma ini sangat ganas dan merupakan
10% dari kanker tiroid. Sedikit lebih sering pada wanita daripada pria.
Metastasis terjadi secara cepat, mula-mula disekitarnya dan kemudian keseluruh
bagian tubuh. Pada mulanya orang yang hanya mengeluh tentang adanya tumor
didaerah tiroid. Dengan menyusupnya kanker ini disekitar, timbul suara serak,
stridor, dan sukar menelan. Harapan hidup setelah ditegakkan diagnosis,
biasanya hanya beberapa bulan.
4. Karsinoma parafolikular, karsinoma parafolikular atau meduller
adalah unik diantara kanker tiroid. Karsinoma ini umumnya lebih banyak pada
wanita daripada pria dan paling sering di atas 50 tahun. Karsinoma ini dengan
cepat bermetastasis, sering ketempat jauh seperti paru, tulang, dan hati. Ciri
khasnya adalah kemampuannya mensekresi kalsitonin karena asalnya.
Karsinoma ini sering dikatakan herediter.
10
3. Infiltrasi nodul ke jaringan sekitarnya merupaka tanda keganasan, walaupun
nodul ganas tidak selalu melakukan infiltrasi. Jika ditemukan ptosis, miosis, dan
enoftalmus merupakan tanda infiltrasi ke jaringan sekitar
4. 20% nodul soliter bersifat ganas sedangkan nodul multipel jarang yang
ganas.
5. Nodul yang muncul tiba-tiba atau cepat membesar perlu dicurigai ganas
terutama yang tidak disertai nyeri. Atau nodul lama yang tiba-tiba membesar
progresif
6. Nodul dicurigai ganas bila disertai dengan pembesaran kelenjar getah bening
regional atau perubahan suara menjadi serak.
7. Pulsasi arteri karotis teraba dari arah tepi belakang muskulus
sternokleidomastoideus karena desakan pembesaran nodul (Berry’s Sign)
11
- Mobilitas: ada atau tidak perlekatan terhadap trakea, muskulus
sternokleidomastoidea
- Kelenjar getah bening di sekitar tiroid : ada pembesaran atau tidak
3.5.3 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang digunakan dalam mendiagnosis penyakit
tiroid terbagi atas:3
4. Pemeriksaan untuk mengukur fungsi tiroid.
Pemeriksaan untuk mengetahui kadar T3 dan T4 serta TSH
paling sering menggunakan teknik radioimmunoassay (RIA) dan
ELISA dalam serum atau plasma darah. Kadar normal T4 total
pada orang dewasa adalah 50-120 ng/dl. Kadar normal untuk T3
pada orang dewasa adalah 0,65-1,7 ng/dl.
5. Pemeriksaan untuk menunjukkan penyebab gangguan
tiroid. Antibodi terhadap macam-macam antigen tiroid yang
ditemukan pada serum penderita dengan penyakit tiroid
autoimun. Seperti antibodi tiroglobulin dan thyroid stimulating
hormone antibody
6. Pemeriksaan radiologis
Foto rontgen dapat memperjelas adanya deviasi trakea
atau pembesaran struma retrosternal yang pada umumnya secara
klinis pun sudah bisa diduga. Foto rontgen leher posisi AP dan
lateral biasanya menjadi pilihan.
USG tiroid yang bermanfaat untuk menentukan jumlah
nodul, membedakan antara lesi kistik maupun padat, mendeteksi
adanya jaringan kanker yang tidak menangkap iodium dan bisa
dilihat dengan scanning tiroid.
Scanning Tiroid dasarnya adalah presentasi uptake dari
I 131 yang didistribusikan tiroid. Dari uptake dapat ditentukan
teraan ukuran, bentuk lokasi dan yang utama ialah fungsi
bagian-bagian tiroid (distribusi dalam kelenjar). Uptake normal
15-40% dalam 24 jam. Dari hasil scanning tiroid dapat
dibedakan 3 bentuk, yaitu cold nodule bila uptake nihil atau
kurang dari normal dibandingkan dengan daerah disekitarnya,
ini menunjukkan fungsi yang rendah dan sering terjadi pada
neoplasma. Bentuk yang kedua adalah warm nodule bila
12
uptakenya sama dengan sekitarnya, menunjukkan fungsi yang
nodul sama dengan bagian tiroid lain. Terakhir adalah hot
nodule bila uptake lebih dari normal, berarti aktifitasnya
berlebih dan jarang pada neoplasma.
7. FNAB. Pemeriksaan histopatologis akurasinya 80%.
Hal ini perlu diingat agar jangan sampai menentukan terapi
definitif hanya berdasarkan hasil FNAB saja.
3.5.4 Tindakan Pembedahan
Indikasi operasi pada struma adalah:2,4
1. Struma difus toksik yang gagal dengan terapi
medikamentosa
2. Struma uni atau multinodosa dengan kemungkinan
keganasan
3. Struma dengan gangguan kompresi
4. Kosmetik
Kontraindikasi pada operasi struma:2,4
13
bahwa lesi tersebut jinak maka operasi selesai, tetapi jika ganas maka harus
ditentukan terlebih dahulu jenis karsinoma yang terjadi.2,4
Komplikasi pembedahan tiroid :2,4
a. Perdarahan dari A. Tiroidea superior
b. Dispneu
c. Paralisis N. Rekurens Laryngeus. Akibatnya otot-oto laring
terjadi kelemahan
d. Paralisis N. Laryngeus Superior. Akibatnya suara penderita
menjadi lebih lemah dan sukar mengontrol suara nada tinggi, karena
terjadi pemendekan pita suara oleh karena relaksasi M. Krikotiroid.
Kemungkinan nervus terligasi saat operasi
BAB IV
KESIMPULAN
Struma adalah suatu penyakit yang sering kita jumpai sehari-hari. Sangat penting untuk
melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti dan cermat untuk mengetahui ada
tidaknya tanda-tanda toksisitas yang disebabkan oleh perubahan kadar hormon tiroid dalam
tubuh. Begitu juga dengan tanda-tanda keganasan yang dapat diketahui secara dini.
Selanjutnya adalah menentukan pemeriksaan penunjang yang tepat untuk
menentukan diagnosis pasti dari jenis struma yang ada. Dengan menegakkan diagnosis pasti
maka kita dapat mnentukkan tatalaksana yang tepat bagi struma yang dialami oleh pasie.
Apakah memerlukan tindakan pembedahan, atau cukup diberi pengobatan dalam jangka
waktu tertentu.
14
DAFTAR PUSTAKA
1. Schteingert DE. Penyakit Kelenjar Tiroid. Patofisiologi. Jilid II.
Edisi ke-4. Jakarta: EGC; 1995.h.1071-1078.
2. Lal G, Clark OH. Thyroid, parathyroid, and adrenal. Dalam:
Brunicardi CF, et al; editor. Schwartz’s principles of surgery, tenth edition.
Philadelphia: McGraw-Hill; 2015.h.1521-40.
3. Wijayahadi YR, Marmowinoto RM, Reksoprawiro S, Murtedjo U, et
al. Kelenjar tiroid: kelainan, diagnosis, dan penatalaksanaan. Surabaya: Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga; 2013. h: 3-5.
4. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. Infodatin stop
cancer. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI, 2015; p. 5.
5. Tandra H. Mencegah dan mengatasi penyakit tiroid. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2011; p. 1-30.
6. Mutalazimah, Mulyono B, Murti B, Azwar S. Karakteristik
demografi pada wanita usia subur dengan gangguan fungsi tiroid. Jurnal
Kesehatan. 2013;6:123-33.
7. Crosby H, Pontoh V, Merung MA. Pola kelainan tiroid di RSUP
Prof. dr. R. D. Kandou Manado periode Januari 2013-Desember 2015. Jurnal e-
Clinic (eCl). 2016;4(1): 430-7.
8. Glandula Endocrinae. Dalam: Snell RS. Anatomi Klinis
Berdasarkan Sistem. Jakarta: EGC, 2012; h. 839-47
9. Widjosono, Garitno. Sistem Endokrin. Dalam: Sjamsuhidajat, de
Jong, penyunting. Buku ajar ilmu bedah. Edisi ke-3. Jakarta; Penerbit EGC;
2010.h.799-822.
10. Thyroid metabolic hormone. Dalam: Hall JE. Guyton and Hall,
textbook of medical physiology, 13th ed. Philadelphia; Elseviers-Saunders; 2015.
h: 931-43.
11. Kelenjar endokrin perifer. Dalam: Sherwood L. Fisiologi manusia
dari sel ke sistem edisi 8. Jakarta; Penerbit EGC; 2015. h: 757-63.
12. Tamhane S dan Gharib H. Thyroid nodule update on diagnosis and
management. Clinical diabetes and endocrinology. 2016;2(17): 1-10.
15
13. Kariadi KS, Hartini S, Sumual A. Struma Nodosa Non Toksik &
Hipertiroidisme. Buku ajar ilmu penyakit dalam, Edisi ke-6. Jakarta: Interna
Publishing; 2014.h.757-778.
14. Jameson JL, Mandel SJ, Weetman AP. Disorders of the Thyroid
Gland. Dalam: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson J,
Loscalzo J, et al. Harrison's Principles of Internal Medicine, 19th ed. New York:
McGraw-Hill; 2014.
15. LiVolsi VA, Baloch ZW. The pathology of hyperthyroidism.
Frontiers in Endocrinology. 2018;9(737): 1-8
16.
1.
2. Widjosono, Garitno. Sistem Endokrin. Dalam: Sjamsuhidajat, de
Jong, penyunting. Buku ajar ilmu bedah. Edisi ke-3. Jakarta; Penerbit EGC;
2010.h.799-822.
3. Kariadi KS, Hartini S, Sumual A. Struma Nodosa Non Toksik &
Hipertiroidisme. Buku ajar ilmu penyakit dalam, Edisi ke-6. Jakarta: Interna
Publishing; 2014.h.757-778.
4. Liberty Kim H. Kelenjar Tiroid. Buku teks ilmu bedah. Jilid I.
Jakarta: Penerbit Binarupa Aksara; 1997.h.15-19.
16