Anda di halaman 1dari 13

READER RESPONSE CRITICISM: STANLEY FISH

Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas UAS


Mata Kuliah: Hermeneutika Umum
Dosen Pengampu: Dr. Phil. Sahiron Syamsuddin, M.A.

Disusun Oleh :

Nama : Shinta Nurani


NIM : 1620010080

PROGRAM STUDI INTERDISCIPLINARY ISLAMIC STUDIES


KONSENTRASI HERMENEUTIKA AL-QUR’AN
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2017

0
READER RESPONSE CRITICISM: STANLEY FISH
Oleh: Shinta Nurani (1620010080)

A. Pendahuluan
Sebuah teks tidak akan dapat berbicara sendiri tanpa ada unsur lain yang
mendialogkannya. Dalam memahami sebuah teks tentu diperlukan hubungan
dialogis antara teks, pembaca (reader) dan pengarang (author) yang kemudian
dalam hermeneutika disebut sebagai hermeneutical circle. Cara kerja
hermeneutika yang unik, memungkinkan sebuah teks dapat dibaca dan selalu
menemukan relevansinya kapanpun dan dimanapun.
Sebagai langkah kerja yang sistematik-holistik dalam interpretasi teks,
memungkinkan muncul banyak aliran dalam hermeneutika. Salah satu aliran yang
digunakan dalam hermeneutika diantaranya yaitu aliran subyektivis. Aliran ini
berarti aliran yang lebih menekankan pada peran pembaca atau penafsir dalam
menentukan makna teks atau obyek-obyek penafsiran lainnya. Sedangkan di dalam
aliran subyektivis terdapat banyak aliran-aliran kecil yaitu Strukturalisme, Pasca-
Strukturalisme (Post-Structuralism), Reader-Response Criticism dan
Dekonstruksi. Dalam hal ini, penulis akan membahas tentang Reader response
criticism yang mana merupakan sebuah pandangan cukup berpengaruh dalam
penafsiran suatu teks. Tokoh yang perlu mendapat perhatian serius ialah Stanley
Fish seorang hermeneut beraliran reader response criticism yang sampai
berpendapat bahwa penafsiran (interpretasi) hanyalah sebuah permainan di suatu
kota1 yang kemudian interpretasi ini dibawa oleh pembaca (reader) sesuai dengan
keberadaan situasi dan kondisi serta latar belakang dari pembacanya pada saat itu.

1
Stanley Fish, Is There a Text in This Class?: The Authority of Interpretive Communities,
(London: Harvard University Press, 2003), hlm. 355.

1
B. Biografi Stanley Fish
Stanley Fish memiliki nama lengkap Stanley Eugene Fish. Ia lahir di
Providence, Pulau Rhode pada tanggal 19 April 1938. Fish dibesarkan dalam
lingkungan keluarga Yahudi. Ayahnya adalah seorang imigran dari Polandia.
Stanley Eugene Fish adalah profesor Humaniora dari Davidson-Kahn
Distinguished University, profesor hukum dari Florida International University
dan College of Liberal Arts dan Sciences di University of Illinois di Chicago.
Selain itu, Fish juga mengajar di Cardozo School of Law, University of California,
Johns Hopkins University, The University of Pennsylvania, Yale Law School,
Columbia University, The John Marshall Law School, dan Duke University.
Latar belakang pendidikan Stanley Fish yaitu pendidikan sarjana yang lulus
pada tahun 1959 dengan bergelar B.A. dari Universitas Pennsylvania. Selanjutnya
dilanjutkan dengan pendidikan magister di Universitas Yale pada tahun 1960 dan
pada tahun 1962 Stanley Fish melanjutkan pendidikan doktoralnya sehingga
mendapatkan gelar Ph.D dari Universitas yang sama. Karir Stanley Fish dalam
dunia akademik dimulai dari tahun 1963-1967 menjadi Asisten Profesor dari
Universitas California.
Beberapa karya yang dihasilkan oleh Stanley Fish diantaranya John
Skelton’s Poetry (1965), Surprised by Sin: The Reader in Paradise Lost (1967),
Self-Consuming Artifacts: The Experience of Seventeenth Century Literature
(1972), The Living Temple: George Herbert and Catechizing (1978), Is There a
Text in This Class? Interpretive Communities and the Sources of Authority (1980),
Doing What Comes Naturally: Change, Rhetoric, and the Practice of Theory in
Literary and Legal Studies (1989), There’s No Such Thing as Free Speech, and
It’s a Good Thing, Too (1994), Professional Correctness: Literary Studies and
Political Change (1995), The Trouble with Principle (1999), How Milton Works
(2001), dan lainnya.

2
C. Pemikiran Stanley Fish
Pemikiran Stanley Fish terinspirasi oleh teori David Bleich yang
mensyaratkan bahwa teks adalah interpretasi pembaca yang ada dalam pikiran
mereka dan pembacaan objektif tidak mungkin karena proses simbolisasi dan
resimbolisasi. Proses simbolisasi dan resimbolisasi terdiri dari bagaimana emosi
pribadi seseorang, kebutuhan, dan pengalaman hidup yang mempengaruhi
bagaimana pembaca terlibat dengan teks yang dapat mengubah makna. Atas dasar
gagasan tersebut, Stanley Fish menyatakan bahwa tidak ada kebenaran yang
absolut dan tidak ada penafsiran yang bersifat final. Hal ini karena kebenaran
terletak dalam pandangan masing-masing individu yang terpengaruh oleh proses
simbolisasi dan resimbolisasi atau dalam bahasa Gadamer disebut dengan effective
history. Beberapa alasan mengapa pembaca perlu dibebaskan dari pemaknaan teks
yang absolut, diantaranya bahwa bagaimanapun, perbedaan tidak dapat
diselesaikan hanya dengan mengacu pada fakta-fakta karena fakta muncul hanya
dalam beberapa konteks sudut pandang. Hal tersebut berarti teks tidak bisa
menjadi lokasi inti dari kesepakatan penafsiran tertentu dan perbedaan penafsiran
mungkin terjadi di antara mereka yang memiliki sudut pandang berbeda karena
perbedaan tidak dapat diselesaikan hanya melalui fakta-fakta tertentu saja.
Ketika muncul dua penafsiran kritis yang berlawanan, masing-masing
menggunakan kata yang sama. Jelas dalam hal ini tidak bisa kedua penafsiran
tersebut dikatakan benar, tetapi hanya sebagai penjelas basis perbedaan di antara
mereka. Pada kenyataannya, perbedaan dalam penafsiran atau interpretasi teks
merupakan konsekuensi dari interpretasi itu sendiri. Ini tidak berarti bahwa makna
dari suatu kata dapat beralih ke satu interpretasi atau interpretasi yang lain
sehingga terlihat satu kata dapat memiliki satu makna atau makna yang lain. Hal
tersebut tergantung pada perbedaan antara interpretasi tekstual di satu sisi dan
fakta kontekstual yang akan mendukung mereka di sisi lain.
Suatu interpretasi disebut menang atas interpretasi yang lain, itu bukan
karena yang pertama telah terbukti sesuai dengan fakta-fakta tetapi karena

3
berdasarkan asumsi bahwa fakta-fakta yang sekarang itu sedang sesuai dengan
kondisi pada saat itu. Ini adalah asumsi saat ini, dan bukan fakta yang
memungkinkan untuk selalu dipertahankan sepanjang masa.2 Dengan demikian,
menurut Fish bahwa tidak ada dasar yang stabil untuk makna sehingga tidak ada
interpretasi yang benar dan akan selalu berlaku sepanjang zaman. Argumentasi
Fish tersebut dapat dibenarkan karena memang pemaknaan dan penafsiran akan
selalu berubah seiring dengan perkembangan zaman. Tetapi pernyataan tersebut
hanya dapat berlaku dalam konteks skala yang besar (diskursif) dan tidak berlaku
pada skala yang kecil.
Stanley Fish menolak argumentasi yang dikemukakan oleh para objektivis
seperti Schleiermacher yang menyatakan bahwa dalam upaya memahami sebuah
teks, seseorang harus mencari tahu makna kata-kata, sistem bahasa, dan
konteksnya yang memang telah dikenal oleh pengarang dan audiensnya pada saat
munculnya teks yang ditafsikan itu sehingga pembaca atau penafsir mampu
mencapai makna objektif.3 Seseorang tidak bisa memahami sebuah teks hanya
dengan memperhatikan aspek bahasa yang digunakan oleh pengarang dan
audiensnya pada saat itu, melainkan juga dengan memperhatikan aspek kejiwaan
pengarangnya. Asumsinya, teks itu merupakan ekspresi diri seseorang sebagai
respons terhadap apa yang telah atau sedang dihadapinya karena apa yang ada di
sekitar teks inilah yang mempengaruhi jiwa seseorang dalam mengekspresikan
kejiwaan pengarang.4 Makna teks tertentu tidak bisa dilepaskan dari intensi atau
maksud pengarangnya (authorial intention). Dengan demikian, menurut
Schleiermacher, teks itu tidaklah otonom, melainkan dependent (tergantung) pada
pencipta dan pengarang teks yang harus memperhatikan horizon teks tanpa adanya

2
Stanley Fish, Is There a Text in This Class?: The Authority of Interpretive Communities, hlm.
340-343.
3
Schleiermacher, Hermeneutics and Criticism and Other Writings, terj. Andrew Bowie,
(Cambridge: University Press, 1998), hlm. 44.
4
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta:
Nawesea Press, 2009), hlm. 39.

4
refleksi serta campur tangan mufassir atau reader dalam melakukan interpretasi
terhadap teks.
Berbeda menurut Fish, ia menyatakan bahwa tidak ada pengetahuan yang
objektif tetapi pengetahuan dan penafsiran selalu menyesuaikan dengan keadaan
masyarakat. Menurut Fish, penafsiran adalah persoalan sudut pandang terhadap
realitas konstruksi sosial tertentu yang tidak membutuhkan horizon teks karena
teks itu bersifat otonom. Satu hal yang pasti adalah penafsiran atau interpretasi
hanya memungkinkan untuk dilakukan dalam suatu tatanan masyarakat tertentu
dan dalam suatu kurun waktu tertentu pula (tergantung konteks sosial). Setiap
pemikiran hanya dapat dimungkinkan oleh praduga dari kelompok atau komunitas
yang ada dan selanjutnya oleh kondisi individu kemasyarakatan, yang mana setiap
individu ini tidak mungkin dapat berpikir melebihi batasan yang dibuat oleh
budaya. Dalam hal ini, budaya sebagai sebuah “komunitas interpretatif” dan
strategi penafsiran adalah milik komunitas, sejauh mereka memungkinkan dan
membatasi eksploitasi terhadap gagasannya. Komunitas interpretatif terbentuk
oleh mereka yang saling berbagi strategi penafsiran yang tidak ditujukan untuk
membaca melainkan untuk menulis teks.5
Penafsiran yang obyektivis memandang bahwa teks itu tidak otonom, dalam
melakukan penafsiran hanyalah diperlukan horizon teks, konteks tekstual, dan
berupaya untuk menguak authorial intension (maksud pengarang) tanpa adanya
refleksi dan campur tangan dari mufassir atau pembaca. Model penafsiran yang
seperti ini tentunya akan menghasilkan pemaknaan yang kaku dan tekstualis
sehingga tidak bisa berkembang menyesuaikan denga situasi dan kondisi zaman
yang akan terus berubah sepanjang waktu. Sedangkan penafsiran yang subyektivis
menganggap bahwa teks itu otonom sehingga dalam melakukan penafsiran hanya
perlu horizon dan refleksi pembaca atau mufassir serta konteks tekstualnya dengan
tanpa memperhatikan authorial intension (maksud pengarang) dan horizon teks.

5
Stanley Fish, Is There a Text in This Class?: The Authority of Interpretive Communities, hlm.
14

5
Model penafsiran yang subyektivis akan menghasilkan penafsiran yang sangat
relatif, tergantung siapa pembaca atau penafsirnya, dan tidak bisa dipastikan benar
karena hanya menafsirkan sesuai dari pemahaman pembaca atau mufassir dan
mengabaikan maksud dari pengarang teks tersebut sehingga mudah terjebak dalam
truth claim suatu kelompok atas kelompok lain.
Ketegangan antara dua kelompok obyektivis yang direpresentasikan oleh
Schleiermacher dan kelompok subyektifis yang dalam hal ini Stanley Fish dapat
diredam melalui aliran kelompok obyektivis-cum-subyektivis yang memberikan
keseimbangan antara pencarian makna asal teks dan peran pembaca dalam
penafsiran. Diantara tokohnya adalah Gadamer dan Gracia.6
Gadamer misalnya, dalam pandangan subyektivisnya menyetujui tesis
Stanley Fish tentang proses simbolisasi dan resimbolisasi tentang bagaimana
emosi pribadi seseorang, kebutuhan, dan pengalaman hidup yang mempengaruhi
pembaca dalam interaksinya dengan teks yang ditafsirkan sehingga dapat
mengubah makna. Gadamer menyebutnya sebagai situasi hermeneutik (effective
history)7 yang melingkupi pembaca atau penafsir dan menjadi prapemahaman
yang muncul dalam diri penafsir dengan maksud agar seorang penafsir mampu
mendialogkan prapemahaman dalam dirinya dengan isi teks yang ditafsirkan. Oleh
karena itu, pada saat menafsirkan sebuah teks seorang penafsir harus sadar bahwa
dia berada pada posisi tertentu yang bisa sangat mewarnai pemahamannya
terhadap sebuah teks yang sedang ditafsirkan. Namun, menurut Gadamer,
pemahaman tersebut harus terbuka untuk dikritisi, direhabilitasi dan dikoreksi oleh
penfsir itu sendiri ketika dia sadar bahwa prapemahamannya itu tidak sesuai
dengan apa yang dimaksud oleh teks yang ditafsirkan. Dengan demikian, penafsir
harus mampu mengatasi subyektivitasnya ketika dia menafsirkan sebuah teks.

6
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, hlm. 26-27.
7
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, terj. Joel Weinsheimer and Donald G. Mar
(London: Continuum, 2004), hlm. 301.

6
Dalam merehabilitasi pemahaman, akan berkaitan erat dengan asimilasi
horison yang berarti dalam proses penafsiran seseorang harus menyadari bahwa
ada dua horison yakni horizon di dalam teks (cakrawala pengetahuan) dan horison
pembaca (cakrawala pemahaman). Dua bentuk horison tersebut harus
dikomunikasikan sehingga ketegangan antara keduanya dapat diatasi. Disinilah
terjadi pertemuan antara subyektivitas pembaca dan obyektivitas teks dimana
obyektivitas teks lebih diutamakan.8 Sedangkan pesan yang harus diaplikasikan
pada masa penafsiran bukan makna literal teks tetapi meaningful sense atau pesan
yang lebih berarti daripada sekadar makna literal.9 Dengan demikian, seorang
pembaca atau penafsir tidak akan terjebak pada truth claim ataupun penfsiran yang
kaku tetapi pembaca atau penafsir mampu menangkap meaningfull sense atau ideal
moral dalam bahasa Fazlur Rahman dari teks tersebut sesuai dengan situasi dan
kondisi saat ini tanpa mengabaikan maksud yang ingin dicapai oleh pengarang dan
pencipta teks.
D. Reader Response Criticism Stanley Fish
Pembahasan mengenai inti pemikiran Stanley Fish dalam hal ini adalah
makna teks terletak pada pembaca yang dituntut berperan aktif menginterpretasi
makna dengan mengesampingkan maksud pengarang (reader response criticism).
Fish mendefinisikan pembaca merupakan komunitas interpretif yang berarti
kelompok yang saling berinteraksi, membentuk realitas, dan pemaknaan umum
yang digunakan dalam pembacaan mereka.10 Hal ini dapat dikatakan menurut Fish,
pembaca ialah audiens aktif yang ikut mengkritisi dan melakukan kontektualisasi
makna sesuai dengan latar belakang pengetahuan yang dimiliki oleh pembaca.
Berdasarkan ini kemudian muncul pengaruh teori kesusasteraan yang telah
mendorong pemakaian “reader response criticism” dengan melihat proses
membaca sebagai proses penciptaan makna. Di bawah pengaruh tokoh seperti

8
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, hlm. 46-49.
9
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, hlm. 52.
10
Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss, Teori Komunikasi: Theories of Human
Communication, 9th edition, Jakarta: Salemba Humanika.

7
Stanley Fish, tokoh-tokoh sekarang banyak berbicara mengenai interpretive
communities dan model reader response criticism.
Reader response criticism dalam hermeneutika termasuk dalam aliran
subyektivis. Aliran ini berarti aliran yang lebih menekankan pada peran pembaca
atau penafsir dalam menentukan makna teks atau obyek-obyek penafsiran lainnya.
Di dalam aliran subyektivis terdapat banyak aliran-aliran kecil yaitu
Strukturalisme, Pasca-Strukturalisme (Post-Structuralism), Reader-Response
Criticism dan Dekonstruksi. Pemikiran-pemikiran dalam aliran ini yang sangat
subyektivis yakni dekonstruksi dan reader response criticism, ada juga yang agak
subyektivis yakni postrukturalisme, dan ada juga yang kurang subyektivis yakni
strukturalisme.11
Aliran subyektivis menegaskan bahwa setiap penafsiran sepenuhnya
merupakan subyektivitas penafsir dan karena itu kebenaran interpretatif bersifat
relatif. Atas dasar ini, setiap generasi mempunyai hak untuk menafsirkan teks
seperti teks al-Qur’an sesuai dengan perkembangan ilmu dan pengalaman pada
saat al-Qur’an ditafsirkan.12
Pemikiran Reader-response criticism Stanley Fish dipengaruhi oleh gagasan
eksistensial kebenaran dan munculnya modernisme atau post-modernisme. Fish
juga berpegang pada doktrin pragmatis bahwa teks tergantung pada makna dalam
batas-batas sosial-kontekstual yang dibangun oleh normal-norma dan praktik
internal masyarakat.13 Dari pengaruh tersebut menghasilkan argumentasi yang
menyatakan untuk memahami teks, kita harus melihat ke proses yang digunakan
oleh pembaca dalam menciptakan dan memproduksi makna yang berpusat pada
diri pembaca dengan mengesampingkan maksud yang ingin dicapai oleh
pengarang dan pencipta teks.

Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, hlm. 26.


11

Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, hlm. 75.


12
13
Anthony C. Thiselton, New Horizons in Hermeneutics, (Michigan: Zondervan Publishing
House, 1992), hlm. 543.

8
Reader response criticism bermaksud menjelaskan struktur pengalaman
pembaca sebagai struktur yang tidak begitu banyak ditemukan tetapi dituntut oleh
itu. (Jika Anda mulai dengan asumsi bahwa pembaca melakukan sesuatu dan
sesuatu yang mereka lakukan memiliki arti, maka Anda tidak akan pernah gagal
untuk menemukan pola kegiatan pembaca yang muncul menjadi berarti).14 Sekali
lagi intinya adalah bahwa selalu ada mekanisme untuk mengesampingkan bacaan,
sumber mereka bukan teks tetapi strategi penafsiran yang diakui untuk
memproduksi teks.15 Interpretasi baru tidak hanya harus memberikan klaim
kebenaran tentang sesuatu hal tetapi harus mengklaim untuk membuat sesuatu hal
tersebut menjadi lebih baik.16
Dalam proses interpretasi makna, Stanley Fish berpendapat bahwa makna
tidak terdapat dalam teks tetapi dalam reader atau lebih tepatnya dalam komunitas
pembaca. Pembaca (readers) tidak hanya sebagai pembimbing untuk mencapai
makna tetapi juga sebagai pemilik makna itu sendiri. Stanley Fish mengambil ide
dari lingkaran hermeneutis (hermeneutic circle) yang meliputi pengarang (the
author), teks (text), dan pembaca (reader). Tetapi menurut Fish, pembaca dalam
melakukan proses pembacaan akan kembali ke pemahaman awal teks tanpa
memungkinkan untuk mencapai suatu interpretasi "obyektif" dimana penulis
berpusat. Fish mengklaim bahwa teori interpretatif itu sendiri melingkar, dalam
artian bahwa penafsir akan selalu menemukan apa yang ia cari dalam teks dan
tidak perlu mengungkap maksud pengarang (mengesampingkan authorial
intension) karena penafsir memiliki dunia yang berbeda dari penulis teks sehingga
upaya untuk mengakses apa yang dimaksud oleh penulis adalah naif.
Apa yang dimaksud oleh Fish sebagai teori interpretatif yang melingkar
(hermeneutic circle) ini berbeda dengan yang disebut oleh Hans George Gadamer.
14
Stanley Fish, Is There a Text in This Class?: The Authority of Interpretive Communities, hlm.
345.
15
Stanley Fish, Is There a Text in This Class?: The Authority of Interpretive Communities, hlm.
347.
16
Stanley Fish, Is There a Text in This Class?: The Authority of Interpretive Communities, hlm.
351.

9
Menurut Gadamer, setiap proses penafsiran dan pemahaman, pasti melibatkan dua
horizon, yaitu horizon masa lalu (horizon of the past) dan horizon masa kini
(horizon of the present). Hubungan antara dua horizon tersebut adalah horizon
masa lalu selalu membentuk horizon historis, dan horizon masa kini tidak dapat
dibentuk tanpa horizon masa lalu. Jadi, penafsiran dan pemahaman selalu
merupakan gabungan dari horizon-horizon yang kita bayangkan ada dengan
sendirinya.17
Dalam proses penafsiran, istilah lain untuk horizon masa lalu adalah horizon
teks, sedangkan horizon masa kini adalah horizon pembaca. Untuk memperoleh
pemahaman yang objektif-komprehensif, maka keduanya harus disatukan yang
disebut dengan fusion of horizon. Oleh karena itu, prapemahaman terhadap suatu
teks harus selalu dipikirkan kembali, direhabilitasi, dan dikoreksi oleh penafsir
sendiri sampai pada kesempurnaan pemahaman. Prapemahaman seorang penafsir
yang telah dipengaruhi oleh konteks tertentu merupakan bagian dari horizon
pembaca. Sedangkan horizon teks adalah suatu pengetahuan yang ada di dalam
teks dan berkaitan dengan situasi atau konteks teks tersebut.
Interaksi antara horizon pembaca dan teks inilah yang disebut lingkaran
hermeneutik (hermeneutical circle). Gadamer mengatakan bahwa horizon
pembaca hanyalah sebagai titik berpijak seseorang dalam memahami teks. Titik
berpijak ini tidak lain hanya berupa pendapat atau kemungkinan bahwa teks
berbicara sesuatu. Maka titik pijak ini tidak boleh dibiarkan memaksa pembaca
agar teks harus berbicara sesuai dengan titik pijaknya. Sebaliknya, titik pijak ini
justru harus bisa membantu memahami apa yang sebenarnya dimaksud oleh teks.
Di sinilah terjadi pertemuan antara subyektivitas pembaca dan obyektivitas teks, di
mana makna obyektif teks lebih diutamakan.18
Dengan demikian, yang dikemukakan oleh Gadamer di atas berbeda dengan
pemikiran Stanley Fish sebagai representasi aliran subyektivis yang menganggap

17
Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, hlm.305.
18
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, hlm. 40.

10
bahwa makna tidak melekat dalam teks tetapi melekat pada pembaca. Aktivitas
pembaca menjadi perhatian sentral, dimana mereka sebagai pemilik makna. Fish
mengklaim bahwa sebuah teks merupakan perjalanan pengalaman yang diproduksi
oleh pembaca. Obyektivitas teks adalah sebuah illusi dan bahkan menjadi illusi
berbahaya.19 Ini berarti pengetahuan itu bersifat tidak obyektif tetapi selalu
menyesuaikan dengan kondisi sosial. Sebuah penafsiran hanya mungkin dibuat
berdasarkan oleh konteks sosial dimana seseorang hidup.20 Stanley Fish
berpendapat bahwa penafsiran (interpretasi) hanyalah sebuah permainan di suatu
kota.21 Inilah yang kemudian menjadikan Stanley Fish sebagai salah satu aktor
dalam hermeneutika subjektivis melalui reader response criticism.
E. Penutup
Stanley Fish meyakini bahwa pengetahuan tidaklah objektif, tetapi selalu
menyesuaikan dengan keadaan masyarakat. Interpretasi hanya mungkin untuk
dilakukan dalam suatu tatanan masyarakat tertentu dan dalam suatu kurun waktu
tertentu pula (tergantung konteks sosial). Fish merupakan penganut aliran reader
response criticism yang termasuk dalam kategori aliran subyektivis dan
menganggap bahwa penafsiran tidak melekat dalam teks tetapi melekat pada
pembaca melalui pengalaman pembaca dengan mengesampingkan maksud yang
ingin dicapai oleh pengarang. Stanley Fish berpendapat bahwa sebuah penafsiran
hanya mungkin dibuat oleh konteks sosial dimana seseorang hidup karena
penafsiran (interpretasi) hanyalah sebuah permainan di suatu kota.
Model penafsiran Stanley Fish yang subyektivis ini akan menghasilkan
penafsiran yang sangat relatif tergantung siapa pembaca atau penafsirnya dan tidak
bisa dipastikan benar karena hanya menafsirkan sesuai dari pemahaman pembaca
atau mufassir dan mengabaikan maksud dari pengarang teks tersebut sehingga

19
Edwin Markham, “The Reader Response Theory of Stanley Fish”, diakses dari
http://faculty.ksu.edu.sa/Nugali/English%20461/Fish.pdf, pada tanggal 15 Oktober 2016, hlm. 2.
20
Edwin Markham, “The Reader Response Theory of Stanley Fish”, hlm. 4.
21
Stanley Fish, Is There a Text in This Class?: The Authority of Interpretive Communities, hlm.
355.

11
mudah terjebak dalam truth claim suatu kelompok atas kelompok lain. Adapun
untuk mengatasi subyektivitas dalam penafsiran, seorang pembaca atau penafsir
harus menyadari bahwa ada dua horison yakni horizon di dalam teks (cakrawala
pengetahuan) dan horison pembaca (cakrawala pemahaman). Dua bentuk horison
tersebut harus dikomunikasikan sehingga pembaca atau penafsir mampu
menangkap meaningfull sense atau ideal moral dalam bahasa Fazlur Rahman dari
teks tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi saat ini tanpa mengabaikan maksud
yang ingin dicapai oleh pengarang dan pencipta teks.
F. Daftar Pustaka
Fish, Stanley. 2003. Is There a Text in This Class?: The Authority of Interpretive
Communities. London: Harvard University Press.
Gadamer, Hans-Georg. 2004. Truth and Method. Diterjemahkan Oleh Joel
Weinsheimer and Donald G. Mar. London: Continuum.
Littlejohn, Stephen W. dan Karen A. Foss. Teori Komunikasi: Theories of Human
Communication. 9th edition. Jakarta: Salemba Humanika.
Markham, Edwin. “The Reader Response Theory of Stanley Fish”. Diakses dari
http://faculty.ksu.edu.sa/Nugali/English%20461/Fish.pdf, pada tanggal 15
Oktober 2016.
Schleiermacher. 1998. Hermeneutics and Criticism and Other Writings.
Diterjemahkan Oleh Andrew Bowie. Cambridge: University Press.
Syamsuddin, Sahiron. 2009. Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an.
Yogyakarta: Nawesea Press.
Thiselton, Anthony C. 1992. New Horizons in Hermeneutics. Michigan:
Zondervan Publishing House.

12

Anda mungkin juga menyukai