Anda di halaman 1dari 13

CML (CHRONIC MYELOID LEUKIMIA)

1. Definisi
Leukemia adalah penyakit neoplastik yang ditandai dengan diferensiasi dan
proliferasi sel induk hematopoietik yang mengalami transformasi dan ganas, menyebabkan
supresi dan penggantian elemen sumsum normal. Leukemia dibagi menjadi 2 tipe umum:
leukemia limfositik dan leukemia mieloid (Guyton and Hall, 2007).
Leukemia mieloid kronik (LMK) atau chronic myeloid leukemia (CML) merupakan
leukemia kronik, dengan gejala yang timbul perlahan-lahan dan sel leukemianya berasal
dari transformasi sel induk mieloid. CML termasuk kelainan klonal (clonal disorder) dari
sel induk pluripoten dan tergolong sebagai salah satu kelainan mieloproliferatif. Nama lain
untuk leukemia myeloid kronik, yaitu chronic myelogenous leukemia dan chronic
myelocytic leukemia. (I Made, 2006).
Atul & Victor (2005) menambahkan bahwa CML yang merupakan gangguan
mieloproliferatif klonal ini ditandai dengan peningkatan neutrofil dan prekusornya pada
darah perifer dengan peningkatan selularitas sumsum tulang akibat kelebihan prekusor
granulosit.
2 Etiologi
Etiologi CML masih belum diketahui. Menurut Jorge et al., (2010) Beberapa
asosiasi menghubungkannya dengan faktor genetik dan faktor lingkungan, tetapi di
kebanyakan kasus, tidak ada faktor yang dapat di identifikasikan.
Agung (2010) mengungkapkan bahwa ada dua faktor yang menyebabkan CML,
yaitu faktor instrinsik (host) dan faktor ekstrinsik (lingkungan).
a. Faktor Instrinsik
1. Keturunan dan Kelainan Kromosom
Leukemia tidak diwariskan, tetapi sejumlah individu memiliki faktor predisposisi
untuk mendapatkannya. Risiko terjadinya leukemia meningkat pada saudara kembar
identik penderita leukemia akut, demikian pula pada suadara lainnya, walaupun
jarang. Pendapat ini oleh Price atau Wilson (1982) yang menyatakan jarang
ditemukan leukemia Familial, tetapi insidensi leukemia terjadi lebih tinggi pada
saudara kandung anak-anak yang terserang dengan insiden yang meningkat sampai
30 % pada kembar identik (monozigot), (Agung ,2010).
Kejadian leukemia meningkat pada penderita dengan kelainan fragilitas kromosom
(anemia fancori) atau pada penderita dengan jumlah kromosom yang abnormal
seperti pada sindrom Duwa, sindrom klinefelter dan sindrom turner.
1
2. Defisiensi Imun dan Defisiensi Sumsum Tulang
Sistem imunitas tubuh kita memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi sel
yang berubah menjadi sel ganas. Gangguan pada sistem tersebut dapat
menyebabkan beberapa sel ganas lolos dan selanjutnya berproliferasi hingga
menimbulkan penyakit. Hipoplasia dari sumsum tulang mungkin sebagai
penyebab leukemia (Agung ,2010).
b. Faktor Ekstrinsik
1. Faktor Radiasi
Adanya efek leukemogenik dan ionisasi radiasi, dibuktikan dengan
tingginya insidensi leukemia pada ahli radiologi (sebelum ditemukan alat
pelindung), penderita dengan pembesaran kelenjar tymus, Ankylosing
spondilitis dan penyakit Hodgkin yang mendapat terapi radiasi. Diperkirakan 10
% penderita leukemia memiliki latar belakang radiasi Sebelum proteksi
terhadap sinar rutin dilakukan, ahli radiologi mempunyai risiko menderita
leukemia 10 kali lebih besar. Penduduk Hiroshima dan Nagasaki yang hidup
sesudah ledakan bom atom tahun 1945 mempunyai insidensi LMA dan LMK
sampai 20 kali lebih banyak. Demikian pula pada penderita ankylosing
spondilitis yang diobati dengan sindar radioaktif lebih dari 2000 rads
mempunyai insidensi LMA 14 kali lebih banyak (Agung ,2010).
2. Bahan Kimia dan Obat-obatan
Bahan-bahan kimia terutama Hydrokarbon sangat berhubungan dengan
leukemia akut pada binatang dan manusia. Remapasan Benzen dalam jumlah
besar dan berlangsung lama dapat menimbulkan leukemia. Penelitian Akroy et
al (1976) telah membuktikan bahwa pekerja pabrik sepatu di Turki yang kontak
lama dengan benzen dosis tinggi banyak yang menderita LMA . Kloramfenikol
dan fenilbutazon diketahui menyebabkan anemia aplastik berat, tidak jarang
diketahui dikahiri dengan leukemia, demikian juga dengan Arsen dan obat-obat
imunosupresif (Agung ,2010).
3. Infeksi Virus
Virus menyebabkan leukemia pada beberapa dirating percobaan di
laboratorium. Peranan virus dalam timbulnya leukemia pada manusia masih
dipertanyakan. Diduga yang ada hubungannya dengan leukemia adalah Human
T-cell leukemia virus (HTLV-1), yaitu suatu virus RNA yang mempunyai
enzim RNA transkriptase yang bersifat karsinogenik (Agung ,2010).
2
Beberapa virus tertentu sudah dibuktikan menyebabkan leukemia pada
binatang. Timbulnya leukemia dipengaruhi antara lain oleh umur, jenis
kelamin, strain virus, faktor imunologik serta ada tidaknya zat kimia dan sinar
radioaktif. Sampai sekarang tidak atau belum dapat dibuktikan bahwa penyebab
leukemia pada manusia adalah virus. Walaupun demikian ada beberapa hasil
penelitian yang menyokong teori virus sebagai penyebab leukemia, antara lain
enzyme reverse transcriptase ditemukan dalam darah penderita leukemia.
Seperti diketahui enzim ini ditemukan di dalan virus onkogenik seperti
retrovirus tipe-C, yaitu jenis virus RNA yang menyebabkan leukemia pada
binatang (Agung ,2010).
3 Patofisiologi
Pada orang normal, tubuh mempunyai tiga jenis sel darah yang matur
1. Sel darah merah, yang berfunsi untuk mengangkut O2 masuk ke dalam tubuh dan
mengeluarkan CO2 dari dalam tubuh keluar lewat paru
2. Sel darah putih, yang berfungsi untuk melawan infeksi dan sebagai pertahanan tubuh
3. Trombosit, yang befungsi untuk mengontrol faktor pembekuan di dalam darah
Sel-sel darah yang belum menjadi matur (matang) disebut sel-sel induk (stem cells)
dan blasts. Kebanyakan sel-sel darah menjadi dewasa didalam sumsum tulang dan
kemudian bergerak kedalam pembuluh-pembuluh darah. Darah yang mengalir melalui
pembuluh-pembuluh darah dan jantung disebut peripheral blood (Sherwood,2001).
Tetapi pada orang dengan Chronic Myelogenous Leukemia(CML), proses terbentuknya
sel darah terutama sel darah putih di sumsum tulang mengalami kelainan atau mutasi.
Hal ini disebabkan karena kromosom 9 dan kromosom 22 (Hoffbrand, 2005).
Diagnosis CML dapat ditegakkan dengan adanya kromosom Philadelphia (Ph) yang
khas, terdapat pada kromosom 22 yang abnormal. Terjadinya translokasi
t(9;22)(q34;q11) antara kromosom 9 dan 22. Hal ini diakibatkan dari proses
protoonkogen Abelson (ABL) di kromosom 9 dipindahkan pada gen Break Cluster
Region (BCR) di kromosom 22 dan sebaliknya, bagian kromosom 22 pindah ke
kromosom 9 (Hoffbrand, 2005).
Gen BCR-ABL pada kromosom Ph menyebabkan proliferasi yang berlebihan sel
induk pluripoten pada system hematopoiesis. Pada klon ini selain proliferasiny ayang
berlebihan, juga dapat bertahan hidup lebih lama dibandingkan sel nirmal, karena gen
BCR-ABL juga bersifat anti-apoptosis. Dampak kedua mekanisme ini adalah

3
terbentuknya klon-klon abnormal yang akhirnya mendesak system hematopoiesis yang
lainnya (Fadjari, 2006).
Protein yang normal mempunyai aktivitas tirosin kinase 145 kD (Hoffbrand,2005).
Akan tetapi pada CML akan terjadi perubahan struktur, sehingga akan mengakibatkan
perubahan. Terdapat 3 tipe perubahan pada gen BCR-ABL(Fadjari, 2006):
1. Perubanan terjadi pada gen BCR di daerah e13-e14 pada ekson 2 yang dikenal sebagai
major break cluster region (M-bcr). Gen BCR-ABL akan mensintesis protein dengan
berat molekul 210 kD, selanjutnya ditulis dengan p 210BCR-ABL. Pada pasien
terdapat trombositopenia
2. Perubahan terjadi pada gen BCR di daerah 54,4-kb atau el yang dikenal dengan minor
break cluster region (m-bcr) dan mensintesa p 190, yang dapat mengakibatkan
monositosis yang prominen pada pasien
3. Perubahan terjadi pada gen BCR di daerah e19-e20, dikenal sebagai micro break
cluster region (μ-bcr), yang selanjutnya akan terbentuk p230 yang dapat
mengakibatkan netrofilia dan/atau trombositosis.
Mekanisme terbentuk dan waktu yang dibutuhkan untuk membentuk Ph menjadi CML
dengan gejala klinis yang jelas masih belum diketahui secara pasti. Beberapa ahli
berpendapat akibat pengaruh radiasi, sedangkan yang lain berpendapat karena
pengaruh mutasi spontan (Fadjari, 2006).
4. Klasifikasi
Menurut Victor et al., (2005) leukemia myeloid kronik (CML) dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
a. Leukemia myeloid kronik, Ph positif (CML, Ph+) (leukemia granulositik kronik, CGL).
b. Leukemia mieloid kronik, Ph negative (CML, Ph-)
c. Leukemia myeloid kronik juvenilis
d. Leukemia netrofilik kronik
e. Leukemia eosinofilik
f. Leukemia mielomonositik kronik (CMML) Tetapi, sebagian besar (>95%) CML tergolong
sebagai CML, Ph+ (I Made, 2006).
Perjalanan penyakit CML, menurut I Made (2006); Agung (2010) dibagi menjadi
beberapa fase, yaitu:
1. Fase Kronik : pada fase ini pasien mempunyai jumlah sel blast dan sel premielosit
kurang dari 5% di dalam darah dan sumsum tulang. Fase ini ditandai dengan over

4
produksi granulosit yang didominasi oleh netrofil segmen. Pasien mengalami gejala
ringan dan mempunyai respon baik terhadap terapi konvensional.
2. Fase Akselerasi atau transformasi akut : fase ini sangat progresif, mempunyai lebih dari
5% sel blast namun kurang dari 30%. Pada fase ini leukosit bisa mencapai
300.000/mmk dengan didominasi oleh eosinofil dan basofil. Sel yang leukemik
mempunyai kelainan kromosom lebih dari satu (selain Philadelphia kromosom).
3. Fase Blast (Krisis Blast) : pada fase ini pasien mempunyai lebih dari 30% sel blast pada
darah serta sumsum tulangnya. Sel blast telah menyebar ke jaringan lain dan organ
diluar sumsum tulang. Pada fase ini penyakit ini berubah menjadi Leukemia
Myeloblastik Akut atau Leukemia Lympositik Akut. Kematian mencapai 20%.

5. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis CML, menurut I Made (2006) dan Victor et al., (2005) tergantung
pada fase yang kita jumpai pada penyakit tersebut, yaitu :
a. Fase kronik terdiri atas :
1. Gejala hiperkatabolik : berat badan menurun, lemah, anoreksia, berkeringat pada
malam hari.
2. Splenomegali hampir selalu ada, sering massif.
3. Hepatomegali lebih jarang dan lebih ringan.
4. Gejala gout atau gangguan ginjal yang disebabkan oleh hiperurikemia akibat
pemecahan purin yang berlebihan dapat menimbulkan masalah.
5. Gangguan penglihatan dan priapismus.
6. Anemia pada fase awal sering tetapi hanya ringan dengan gambaran pucat, dispneu
dan takikardi.
7. Kadang-kadang asimtomatik, ditemukan secara kebetulan pada saat check up atau
pemeriksaan untuk penyakit lain.
b. Fase transformasi akut terdiri atas :
Perubahan terjadi perlahan-lahan dengan prodormal selama 6 bulan, di sebut
sebagai fase akselerasi. Timbul keluhan baru, antara lain : demam, lelah, nyeri tulang
(sternum) yang semakin progresif. Respons terhadap kemoterapi menurun, lekositosis
meningkat dan trombosit menurun (trombosit menjadi abnormal sehingga timbul
perdarahan di berbagai tempat, antara lain epistaksis, menorhagia).

5
c. Fase Blast (Krisis Blast) :
Pada sekitar 1/3 penderita, perubahan terjadi secara mendadak, tanpa didahului
masa prodormal keadaan ini disebut krisis blastik (blast crisis). Tanpa pengobatan
adekuat penderita sering meninggal dalam 1-2 bulan.

6. Pemeriksaan Penunjang
I Made (2006) memaparkan beberapa pemeriksaan penunjang untuk CML, yaitu :
a) Laboratorium
1. Darah rutin :
a. Anemia mula-mula ringan menjadi progresif pada fase lanjut (fase
transformasi akut), bersifat normokromik normositer.
b. Hemoglobin : dapat kurang dari 10 g/100 m.
2. Gambaran darah tepi :
a. Leukositosis berat 20.000-50.000/mm3 pada permulaan kemudian biasanya
lebih dari 100.000/mm3.
b. Menunjukkan spectrum lengkap seri granulosit mulai dari mieloblast sampai
netrofil, komponen paling menonjol adalah segmen netrofil (hipersegmen)
dan mielosit. Metamielosit, promielosit, dan mieloblast juga dijumpai. Sel
blast < 5%. Sel darah merah bernukleus.
c. Jumlah basofil dalam darah meningkat.
d. Trombosit bisa meningkat, normal atau menurun. Pada fase awal lebih sering
meningkat.
e. Fosfatase alkali netrofil (neutrophil alkaline phosphatase) selalu rendah.
b) Gambaran sumsum tulang
a. Hiperseluler dengan system granulosit dominan. Gambarannya mirip dengan
apusan darah tepi. Menunjukkan spektrum lengkap seri myeloid, dengan
komponen paling banyak ialah netrofil dan mielosit. Sel blast kurang dari 30 %.
Megakariosit pada fase kronik normal atau meningkat.
b. Sitogenik : di jumpai adanya Philadelphia (Ph1) kromosom pada 95 % kasus.
c. Vitamin B12 serum dan B12 binding capacity meningkat.
d. Kadar asam urat serum meningkat.
e. Pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction) dapat mendeteksi adanya
chimeric protein bcr-abl pada 99% kasus (I Made, 2006).

6
c) Pemeriksaan Penunjang Lain
Menurut Agung (2010), ada beberapa pemeriksaan penunjang lain untuk penyakit
CML, antara lain:
a. Biopsi sumsum tulang : SDM abnormal biasanya lebih dari 50 % atau lebih dari
SDP pada sumsum tulang. Sering 60% - 90% dari blast, dengan prekusor
eritroid, sel matur, dan megakariositis menurun.
b. Foto dada dan biopsi nodus limfe : dapat mengindikasikan derajat keterlibatan.
c. David et al., (2009) menambahkan pemeriksaan lain, yaitu tes untuk
mendeteksi adanya kromosom Philadelphia.

7. Diagnosis Banding
Pemeriksaan darah tepi dan sumsung tulang merupakan situasi klinis yang dapat
menegakkan diagnosis adanya CML, pada beberapa pasien CML kadang tidak ditemukan
kromosom Ph. Sehingga di butuhkan suatu standar untuk menegakkan suatu diagnosis.
- Diagnosis CML dalam fase akselerasi menurut WHO :
1. Blast 10-19% dari WBC pada darah tepi dan atau dari sel sumsum tulang berinti.
2. Basofil darah tepi >20%.
3. Thrombositopenia persisten (<100x109/L) yang tidak dihubungkan dengan terapi, atau
thrombositosis (>1000x109/L) yang tidak responsif terhadap terapi.
4. Peningkatan ukuran lien atau WBC yang tidak responsif pada terapi.
5. Bukti sitogenik evolusi klonal (I Made, 2006).
- Diagnosis CML pada fase krisis blastik menurut WHO :
1. Blast >20% dari darah putih pada darah perifer atau sel sumsum tulang berinti.
2. Proliferasi blast ekstrameduler.
3. Fokus besar atau cluster sel blast dalam biopsi sumsum tulang (I Made,2006).
Diagnosis banding pada fase kronis adalah trombositosis esensial, pada trombositosis
ditemukan adanya fosfatase normal atau meningkat sedangkan CML selalu rendah dan tidak
ditemukannya Ph kromosom seperti halnya yang selalu ditemukan Ph kromosom pada
penderita CML. Untuk fase krisis blast yaitu leukemia mieloid akut dan sindrom
mielodislasia (Victor et al., 2006).
Tidak ditemukannya Ph kromosom pada penderita CML yaitu pada kasus penderita
yang menderita CML tipe juvenillis yang asering dijumpai pada pasien berumur kurang dari
4 tahun. Cirinya tidak adanya Ph kromosom, peningkatan Hb janin, trombositopenia,
monositosis yang menonjol, dan CML juvenillis jarang mengalami transformasi blastik dan
7
meninggal akibat infeksi atau kegagalan organ akibat sebukan monosit dan makrofag
(Victor et al., 2006).

8. Penatalaksanaan
a. Medikamentosa
Penatalaksanaan CML tergantung pada fase penyakit, yaitu :
1. Fase Kronik
a. Busulphan (Myleran), dosis : 0,1-0,2 mg/kgBB/hari. Leukosit diperiksa tiap minggu.
Dosis diturunkan setengahnya jika leukosit turun setengahnya. Obat di hentikan jika
leukosit 20.000/mm3. Terapi dimulai jika leukosit naik menjadi 50.000/mm3. Efek
smaping dapat berupa aplasia sumsum tulang berkepanjangan, fibrosis paru, bahaya
timbulnya leukemia akut (I Made, 2006).
b. Hydroxiurea, bersifat efektif dalam mengendalikan penyakit dna mempertahankan
hitung leukosit yang normal pada fase kronik, tetapi biasanya perlu diberikan
seumur hidup (Victor et al., 2005). Dosis mulai dititrasi dari 500 mg sampai 2000
mg. Kemudian diberikan dosis pemeliharaan untuk mencapai leukosit 10.000-
15.000/mm3. Efek samping lebih sedikit (I Made, 2006).
c. Interferon α juga dapat mengontrol jumlah sel darah putih dan dapat menunda onset
transformasi akut, memperpanjang harapan hidup menjadi 1-2 tahun (Atul & Victor,
2005). IFN-α biasanya digunakan bila jumlah leukosit telah terkendali oleh
hidroksiurea. IFN-α merupakan terapi pilihan bagi kebanyakan penderita leukemia
Mielositik (CML) yang terlalu tua untuk transplantasi sumsum tulang (BMT) atau
yang tidak memiliki sumsum tulang donor yang cocok. Interferon alfa diberikan
pada rata-rata 3-5 juta IU / d subkutan (Emmanuel, 2010). Tujuannya adalah untuk
mempertahankan jumlah leukosit tetap rendah (sekitar 4x109/l). Hampir semua
pasien menderita gejala penyakit ”mirip flu” pada beberapa hari pertama
pengobatan. Komplikasi yang lebih serius berupa anoreksia, depresi, dan sitopenia.
Sebagian kecil pasien (sekitar 15%) mungkin mencapai remisi jangka panjang
dengan hilangnya kromosom Ph pada analisis sitogenik walaupun gen fusi BCR-
ABL masih dapat dideteksi melalui PCR. (Victor et al., 2005).
d. STI571, atau mesylate imatinib (Gleevec), merupakan obat yang sedang diteliti
dalam percobaan klinis dan tampaknya memberikan hasil yang menjanjikan. Zat STI
57I adalah suatu inhibitor spesifik terhadap protein ABL yaitu tiroksin kinase
sehingga dapat menekan proliferasi seri myeloid. Gleevec mengontrol jumlah darah
8
dan menyebabkan sumsum tulang menjadi Ph negative pada sebagian besar kasus.
Obat ini mungkin menjadi lini pertama pada CML, baik digunakan sendiri atau
bersama dengan interferon atau obat lain (Atul & Victor, 2005; Emmanuel, 2010;
Victor et al., 2005; I Made, 2006)
e. Transplantasi sumsum tulang alogenik (stem cell transplantation, SCT) sebelum
usia 50 dari saudara kandung yang HLA-nya cocok memungkinkan kesembuhan
70% pada fase kronik dan 30% atau kurang pada fase akselerasi (Atul & Victor,
2005).
2. Fase Akselerasi dan Fase Blast
Terapi untuk fase akselerasi atau transformasi akut sama seperti leukemia akut, AML
atau ALL, dengan penambahan STI 57I (Gleevec) dapat diberikan. Apabila sudah
memasuki kedua fase ini, sebagian besar pengobatan yang dilakukan tidak dapat
menyembuhkan hanya dapat memperlambat perkembangan penyakit. (Atul & Victor,
2005; I Made, 2006).
b. Non-Medikamentosa
o Radiasi
Terapi radiasi dengan menggunakan X-Rays dosis tinggi sinar-sinar tenaga tinggi
secara external radiation therapy untuk menghilangkan gejala-gejala atau sebagian
dari terapi yang diperlukan sebelum transplantasi sumsum tulang (Atul & Victor,
2005).
9. Prognosis
Sekitar 20-30% penderita meninggal dalam waktu 2 tahun setelah penyakitnya
terdiagnosis dan setelah itu sekitar 25% meninggal setiap tahunnya. Banyak penderita yang
bertahan hidup selama 4 tahun atau lebih setelah penyakitnya terdiagnosis, tetapi pada
akhirnya meninggal pada fase akselerasi atau krisis blast. Angka harapan hidup rata-rata
setelah krisis blast hanya 2 bulan, tetapi kemoterapi kadang bisa memperpanjang harapan
hidup sampai 8-12 bulan (Agung, 2010).

10. Asuhan keperawatan

I. PENGKAJIAN
Pengkajian pada leukemia meliputi :
a. Riwayat penyakit
b. Kaji adanya tanda-tanda anemia :
9
1).Pucat
2).Kelemahan
3).Sesak
4).Nafas cepat
c. Kaji adanya tanda-tanda leucopenia
1).Demam
2).Infeksi
d. Kaji adanya tanda-tanda trombositopenia :
1).Ptechiae
2).Purpura
3).Perdarahan membran mukosa
e. Kaji adanya tanda-tanda invasi ekstra medulola :
1).Limfadenopati
2).Hepatomegali
3).Splenomegali
f. Kaji adanya pembesaran testis
g. Kaji adanya :
1).Hematuria
2).Hipertensi
3).Gagal ginjal
4).Inflamasi disekitar rectal
5).Nyeri (Suriadi,R dan Rita Yuliani,2001 : 178)

II. Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul pada kasus AML, antara lain:
 Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan :
 Tidak adekuatnya pertahanan sekunder
 Gangguan kematangan sel darah putih
 Peningkatan jumlah limfosit imatur
 Imunosupresi
 Penekanan sumsum tulang (efek kemoterapi)

 Kekurangan volume cairan tubuh /risiko tinggi, berhubungan dengan :


 Kehilangan berlebihan, misalnya: muntah, perdarahan
10
 Penurunan pemasukan cairan : mual, anoreksia

 Nyeri ( akut ) berhubungan dengan :


 Agen fiscal ; pembesaran organ / nodus limfe, sumsum tulang yang diinvasi
dengan sel leukemia.
 Agen kimia ; pengobatan antileukemia.

III. Intervensi Keperawatan


No Diagnosa Tujuan Intervensi
1 Resiko infeksi Infeksi tidak 1. Tempatkan anak pada ruang khusus.
berhubungan terjadi Batasi pengunjung sesuai indikasi
dengan : 2. Berikan protocol untuk mencuci tangan
• Tidak adekuatnya yang baik untuk semua staf petugas
pertahanan 3. Awasi suhu. Perhatikan hubungan antara
sekunder peningkatan suhu dan pengobatan
• Gangguan chemoterapi.
kematangan sel 4. Dorong sering mengubah posisi, napas
darah putih dalam, batuk.
• Peningkatan 5. Inspeksi membran mukosa mulut.
jumlah limfosit Bersihkan mulut secara periodic.
imatur Gunakan sikat gigi halus untuk
• Imunosupresi perawatan mulut.
• Penekanan 6. Awasi pemeriksaan laboratorium :
sumsum tulang WBC, darah lengkap
(efek kemoterapi) 7. Berikan obat sesuai indikasi, misalnya
Antibiotik
8. Hindari antipiretik yang mengandung
aspirin
2 Defisit volume Volume 1. Awasi masukan dan pengeluaran.
cairan tubuh cairan tubuh Hitung pengeluaran tak kasat mata
berhubungan adekuat, dan keseimbangan cairan.
dengan : ditandai Perhatikan penurunan urine pada
• Kehilangan dengan TTV pemasukan adekuat. Ukur berat

11
berlebihan, seperti: dbn, stabil, jenis urine dan pH Urine.
muntah, nadi teraba, 2. Timbang BB tiap hari.
perdarahan haluaran 3. Awasi TD dan frekuensi jantung
• Penurunan urine, BJ dan 4. Evaluasi turgor kulit, pengiisian
pemasukan cairan : PH urine, kapiler dan kondisi umum membran
mual, anoreksia. dbn. mukosa.
5. Implementasikan tindakan untuk
mencegah cedera jaringan /
perdarahan, ex : sikat gigi atau gusi
dengan sikat yang halus.
6. Berikan diet halus.
7. Berikan cairan IV sesuai indikasi
8. Berikan sel darah Merah, trombosit
atau factor pembekuan

3 Nyeri akut rasa nyeri 1. Awasi tanda-tanda vital, perhatikan


berhubungan hilang/berkur petunjuk nonverbal,rewel, cengeng,
dengan : ang gelisah
• Agen fiscal: 2. Berikan lingkungan yang tenang dan
pembesaran organ / kurangi rangsangan stress
nodus limfe, 3. Tempatkan pada posisi nyaman dan
sumsum tulang sokong sendi, ekstremitas denganan
yang diinvasi bantal
dengan sel 4. Ubah posisi secara periodic dan
leukemia. berikan latihan rentang gerak lembut.
• Agen kimia ; 5. Berikan tindakan ketidaknyamanan;
pengobatan mis : pijatan, kompres
antileukemia. 6. Berikan obat sesuai indikasi.

12
DAFTAR PUSTAKA
Betz, CL & Sowden, LA. 2002.Buku Saku Keperawatan Pediatri. Edisi 3. Jakarta : EGC.
Brunner& Suddarth. 2002.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Vol 2. Jakarta :
EGC.
ES Jaffe et al.2001.World Health Organization Classification of Tumours. Lyon, ARC Press,
Fauci, Anthony S.; Kasper, Dennis L. ; Longo, Dan L.; Braunwald, Eugene;Hauser, Stephen L.;
Jameson, J. Larry; Loscalzo, Joseph;. 2008. Harrison's Principles of Internal Medicine
17th edition. USA: McGraw-hill,
Guyton.1995. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Edisi III. Jakarta : EGC.
JM Bennett et al: Ann Intern Med 103:620, 1985.
Joyce Engel. 1999. Pengkajian Pediatrik. Edisi 2. Jakarta : EGC.
Kurnianda, Johan. 2007. Leukimia Mieloblastik Akut dalam buku ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta: Pusat Penerbitan FK UI
Price, S A dan Wilson, L M. 2006.Patofisiologi , Konsep klinis proses-proses penyakit . Jakarta :
EGC, .
Whaley’s and Wong. 2001.Clinical Manual of Pediatric Nursing. Edisi 4. USA : Mosby.

13

Anda mungkin juga menyukai