Anda di halaman 1dari 4

UN Pembuktian Kecurangan Versus Kejujuran

UN adalah sistem evaluasi standar pendidikan secara nasional dan persamaan mutu tingkat
pendidikan antar daerah yang dilakukan Pusat Penilaian Pendidikan, Depdiknas (sekarang
Depkdikbud) di Indonesia berdasarkan UU RI No 20 Tahun 2003. Hasil ujian nasional digunakan
sebagai salah satu pertimbangan untuk pemetaan mutu program, dasar seleksi masuk jenjang
pendidikan berikutnya, pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam
upayanya meningkatkan mutu pendidikan. Ada juga yang mengartikan UN sebagai kegiatan
penilaian hasil belajar peserta didik yang telah menyelesaikan jenjang pendidikan pada jalur
sekolah yang diselenggarakan secara nasional.
Adapun UN menurut Peraturan Mendiknas RI No 20 Tahun 2005 Pasal 4, dijadikan
pertimbangan untuk: penentuan kelulusan peserta didik dari suatu satuan pendidikan; seleksi
masuk jenjang pendidikan selanjutnya; pemetaan mutu satuan dan atau program pendidikan;
akreditasi satuan pendidikan dan pembinaan dan pemberian bantuan pada satuan pendidikan
dalam upaya peningkatan mutu pendidikan. Sejak tahun 1984 sampai 2001 kita mengetahui serta
mengenal apa yang disebut dengan EBTA (Evaluasi Belajar Tahap Akhir) yaitu merupakan suatu
penilaian akhir terhadap sebuah jenjang pendidikan untuk menentukan kelulusan peserta didik.
EBTA ini berlaku di seluruh jenjang pendidikan, mulai dari SD, SMP sampai SMA/SMK
sederajat. Dalam EBTA ada dua asal usul soal yaitu pertama, soal yang merupakan menjadi
kewenangan dari pihak sekolah masing-masing. Soal ini sering disebut dengan EBTA sekolah.
Kedua, soal yang berasal dari pusat, yang disebut dengan istilah EBTANAS (Evaluasi Belajar
Tahap Akhir Nasional). Soal dari pusat merupakan kewenangan Departemen Pendidikan
Nasional. Mulai tahun ajaran 2001-2002 istilah EBTA diganti dengan Ujian Akhir Nasional
(UAN). Pada tahun ajaran 2002-2003 istilah UAN diganti dengan Ujian Nasional (UN). Setiap
tahunnya, UN selalu mengalami perubahan, terutama menyangkut jumlah mata pelajaran, standar
nilai dan yang lainnya.
Isu tentang penyelenggaraan UN masih terus bergulir. UN masih menyimpan pro dan
kontra dimasyarakat pendidikan Indonesia. UN menjadi perdebatan serius dan keberadaannya
dianggap kontroversi. Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersikukuh
bahwa UN harus dilaksanakan. Standar kualitas lulusan secara nasional adalah satu-satunya alasan
yang paling penting diselenggarakannya UN. Itu pun di masa lalu diputuskan dengan canggung.
Kadang-kadang disebutkan bahwa UN hanya untuk pemetaan tentang kondisi sekolah di seluruh
Indonesia. Kenyataannya, publik sampai sekarang tidak dapat mengakses informasi tentang peta
pendidikan di Indonesia.
Pihak lain yang setuju, menganggap UN dapat meningkatkan mutu pendidikan. Sekolah
dan guru akan dilecut untuk dapat memberikan pelayanan sebaik-baiknya agar peserta didik dapat
mengikuti ujian dan memperoleh hasil yang baik. Sementara di pihak yang tidak setuju dengan
UN menganggap UN sebagai sesuatu yang sangat kontradiktif dan kontraproduktif dengan
semangat reformasi pembelajaran yang sedang dikembangkan. Menurut Karso, selaku Lektor
Kepala UPI, terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan alasan mengapa UN perlu dipertahankan,
antara lain : Pertama, beberapa pasal pada Undang-undang
Sisdiknas No 20 Tahun 2003 yang terkait langsung dengan kegiatan ujian atau evaluasi
pendidikan. Kedua, tidak sedikit pula pendapat yang mendukung dilaksanakan UN terutama
didasarkan pada argumentasi tentang pentingnya UN sebagai pengendali mutu pendidikan secara
nasional dan pendorong atau motivator bagi peserta didik dan penyelenggara pendidikan untuk
meningkatkan mutu pendidikan. Ketiga, UN perlu dilaksanakan dalam rangka menegakkan
akuntabilitas pengelola dan penyelenggara pendidikan terhadap pihak-pihak yang berkepentingan
dan masyarakat pada umumnya.
Secara konseptual UN mampu menyediakan informasi yang akurat kepada masyarakat
tentang prestasi yang dicapai oleh setiap peserta didik, sekolah, lembaga pendidikan
kabupaten/kota, provinsi, dan prestasi nasional secara keseluruhan. Informasi ini dapat digunakan
untuk membandingkan prestasi belajar antar sekolah, kabupaten/kota, dan antar provinsi. Dalam
konteks ini UN merupakan instrumen yang potensial untuk menyediakan informasi penting dalam
menegakkan akuntabilitas. Beberapa masyarakat pun berpendapat bahwa UN masih perlu
dilaksanakan karena UN memberikan beberapa dampak positf dan hasil dari UN bisa dijadikan
acuan untuk kejenjang pendidikan selanjutnya.
Mudji Sutrisno menyatakan, UN sudah menjadi tembok besar yang menghalangi anak
untuk mampu berpikir logis, tidak hafalan, dan kritis bertanya. Menurut Eko Supriatno SIP MPd,
Direktur Banten Religion and Culture Center (BRCC) dan dosen FISIP Universitas Mathla’ul
Anwar Banten, pro kontra UN seyogyanya tidak terjadi kalau semua pihak saling memahami dan
menempatkan UN secara proporsional. Setidaknya ada beberapa hal yang menjadi catatan
mengkritisi pelaksanaan UN : Pertama, Sudah saatnya mengembalikan fungsi UN sebagai uji
diagnostik pemetaan kualitas layanan pendidikan bukan sekedar kelulusan. Penempatan UN
sebagai ujian kelulusan hanya akan menyempitkan kurikulum, melanggengkan pengajaran
berbasis soal ujian, dan pembelajaran bersifat hafalan. Kedua, UN dan relevansi kelulusan peserta
didik.
Seperti yang kita ketahui, meski dikatakan tak lagi menjadi satu-satunya penentu, UN
tetap menjadi ujung tombak nasib kelulusan jutaan peserta didik sekolah dasar dan menengah.
Anggapan ketidakadilan terhadap aspek penentu kelulusan, juga didasarkan atas mata pelajaran
yang di-UN-kan. Keterwakilan mata pelajaran yang di-UN-kan, dianggap masih kurang
komprehensif. Mata pelajaran seperti agama, kewarganegaran, seni, dan olahraga seolah hanya
menjadi pelengkap mata pelajaran di sekolah. Hal ini mampu berdampak pada kekurangseriusan
peserta didik maupun guru dalam mata pelajaran tersebut lantaran tidak diikutsertakan dalam UN.
Ketiga, UN dan sistem yang masih lemah. Lemahnya sistem UN yang paling kentara
adalah pada pengawasan pelaksanaan UN. Tak sekali dua kali tersiar kabar maraknya kecurangan
dalam penyelenggaraan UN, baik di pusat maupun daerah. Kecurangan yang sebenarnya
berlandas atas ketakutan tidak mendapat titel lulus 100% ini tidak hanya menjangkiti peserta
didik. Pihak sekolah yang semestinya menjadi motor sportivitas pelaksanaan UN, malah rela
mengorbankan idealisme dan turut membantu peserta didik lulus dengan cara yang tidak jujur.
Keempat, apabila ada penundaan pelaksanaan UN seperti tahun 2014, pasti mempengaruhi
psikologi peserta ujian.
Selain dapat memberikan dampak psikologis bagi peserta didik dan sekolah, juga memiliki
dampak materi dan sosiologis. Contohnya, kerugian materi karena pendistribuan berkas soal dan
jawaban. Sedangkan, dampak sosiologisnya, kepercayaan Masyarakat akan menurun terhadap
pemerintah selaku Penyelenggara UN. Kelima, masih adanya kepentingan lain diluar pendidikan
dibalik penyelenggaran UN. Hal ini tentu berbahaya, seperti kepentingan politik dari para
pemegang kebijakan pendidikan atau kepentingan ekonomi bagi segelintir orang. UN merupakan
pesta besar masyarakat dunia pendidikan. Pemerintah pun tak tanggung-tanggung merogoh kocek
untuk pelaksanaan UN. Beragam kasus dan polemik pelaksanaan UN, layaknya menjadi sarana
pembelajaran bagi setiap pihak untuk penyempurnaannya.
Mendikbud Anies Baswedan tidak menampik apabila pelaksanaan UN banyak
kecurangan. Saking seriusnya, dia menyambangi gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
dengan tujuan mengajak pimpinan KPK untuk berdiskusi soal kecurangan yang ditemukan saat
pelaksanaan UN dan membahas pentingnya integritas dan kejujuran. Perlu diketahui, korupsi itu
sendiri bermula dari gejala penyakitnya integritas yang rendah. Sekarang ini dunia pendidikan di
Indonesia juga mulai tertular dengan gejala penyakit integritas. Buktinya, tindakan curang tidak
hanya dilakukan peserta didik, namun dibantu oleh oknum guru dan pejabat di dinas pendidikan
kabupaten dan kota.
Masih menurut Anies Baswedan, ada dua jenis nilai UN. Selain nilai akademik, ada juga
nilai kejujuran. Ternyata, banyak ditemukan sekolah yang tidak jujur. Oleh karena itu, Mendikbud
akan terus membuka nama sekolah yang mendukung kecurangan saat pelaksanaan ujian nasional.
Kalau didiamkan, maka orang yang akan melapor atas kecurangan di masa depan akan nambah
terus dan tidak akan pernah selesai karena ketidakjujuran dari sekolah.
Bagi Anies Baswedan, pelaksanaan UN bukan sekadar masalah evaluasi, hakikatnya juga
bagian dari pembentuk atau membangun karakter peserta didik dan guru. Selain butuh
pembangunan karakter, Indonesia juga butuh revolusi karakter. Karena hanya dengan revolusi
karakter, manusia Indonesia akan tahu bahwa dirinya adalah bangsa besar dan menjunjungi tinggi
kejujuran. Jika ingin lulus 100 %, seharusnya kejujurannya harus 100 % pula, bukan
kebohongannya yang 100 %. Guru sebagai sosok utama yang digugu dan ditiru harus berbenah
dan introspeksi. Guru harus kembali kepada tugasnya yang setiap pikiran, ucapan dan tindakannya
menjamin kejujuran kepada semua orang. Mari jadikan UN sebagai ajangnya peserta didik dan
guru membangun karakter dan merevolusi karakternya.

Anda mungkin juga menyukai