Anda di halaman 1dari 16

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Toxoplasmosis merupakan penyakit zoonosis yaitu penyakit pada hewan
yang dapat ditularkan ke manusia. Penyakit ini disebabkan oleh sporozoa yang
dikenal dengan nama Toxoplasma gondii, yaitu suatu parasit intraselluler yang
banyak terinfeksi pada manusia dan hewan peliharaan. Penderita toxoplasmosis
sering tidak memperlihatkan suatu gejala klinis yang jelas sehingga dalam
menentukan diagnosis penyakit toxoplasmosis sering terabaikan dalam praktek
dokter sehari-hari. Apabila penyakit toxoplasmosis mengenai wanita hamil
trismester ketiga dapat mengakibatkan hidrochephalus, khorioretinitis, tuli atau
epilepsi.1
Penyakit toxoplasmosis biasanya ditularkan dari kucing atau anjing tetapi
penyakit ini juga dapat menyerang hewan lain seperti babi, sapi, domba, dan hewan
peliharaan lainnya. Walaupun sering terjadi pada hewan-hewan yang disebutkan di
atas penyakit toxoplasmosis ini paling sering dijumpai pada kucing dan anjing.
Untuk tertular penyakit toxoplasmosis tidak hanya terjadi pada orang yang
memelihara kucing atau anjing tetapi juga bisa terjadi pada orang lainnya yang suka
memakan makanan dari daging setengah matang atau sayuran lalapan yang
terkontaminasi dengan agent penyebab penyakit toxoplasmosis.1
Diperkirakan 30-60% penduduk dunia terinfeksi oleh Toxoplasma gondii.
Infeksi ini tersebar di seluruh dunia, dimana manusia berperan sebagai hospes
perantara, kucing dan famili Felidae lainnya merupakan hospes definitif. Angka
kejadian toksoplasmosis di Indonesia ditunjukkan dengan adanya zat anti T. gondii,
pada manusia adalah 2-63%, pada kucing 35-73%, babi 11-36%, kambing 11-61%,
anjing 75% dan pada ternak lain kurang dari 10%. Angka kejadian infeksi
toksoplasmosis di Sumatera Utara mencapai 69,86%.1
Toksoplasmosis serebral adalah penyakit infeksi opportunistik biasanya
menyerang pasien-pasien dengan HIV-AIDS dan merupakan penyebab paling
sering terhadap abses serebral pada pasien-pasien ini. Toxoplasma gondii
2

jugadapatmenimbulkanradang pada kulit, kelenjar getahbening, jantung, paru,mata,


dan selaput otak. Infeksi paling umum dapat didapat dari kontak dengan kucing-
kucing dan feces mereka atau daging mentah atau yang kurang masak. Penyakit ini
bisa diobati dan bisa sembuh secara total, namun jika tidak dirawat, akan berakhir
dengan kematian.2
Faktor resiko untuk terkena infeksi toksoplasma gondii pada pasien HIV
termasuklah umur, ras dan faktor demografik lainnya. Berdasarkan gejala klinis dan
terlibatnya organ sefal, menyebabkan kasus ini menjadi lebih serius dari
toksoplasmosis ekstraserebral.2
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Serebral Toxoplasmosis adalah infeksi otak oleh parasit toxoplasma gondii,
terjadi pada pasien AIDS sebagai akibat reaktifitasi infeksi otak laten yang
disebabkan oleh parasit intraseluler yang bersifat oportunistik. Diagnosis dapat
didasarkan pada respon terhadap empiris dengan pirimetamin dan sulfadiazine.3,4

2.2. Etiologi
Toxoplasmosis serebral disebabkan oleh Toxsoplasma Gondii. Toxoplasma
gondii adalah parasit intraseluler pada momocyte dan sel-sel endothelial pada
berbagai organ tubuh. Toxoplasma ini biasanya berbentuk bulat atau oval, jarang
ditemukan dalam darah perifer, tetapi sering ditemukan dalam jumlah besar pada
organ-organ tubuh seperti pada jaringan hati, limpa, sumsum tulang, paru-paru,
otak, ginjal, urat daging, jantung dan urat daging licin lainnya.1

2.3. Patogenesis
Penularan pada manusia dimulai dengan tertelannya tissue cyst atau oocyst
diikuti oleh terinfeksinyasel epitel usus halus oleh bradyzoites atau sporozoites
secaraberturut-turut. Setelah bertransformasi menjadi tachyzoites,organisme ini
menyebar ke seluruh tubuh lewat peredaran darahatau limfatik. Parasit ini berubah
bentuk menjadi tissue cysts begitu mencapai jaringan perifer. Bentuk ini dapat
bertahan sepanjanghidup pejamu,dan berpredileksi untuk menetap pada
otak,myocardium, paru, otot skeletal dan retina.5,6
Pada manusia dengan imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi
dari infeksi laten yang akan mengakibatkan timbulnya infeksi oportunistik dengan
predileksi di otak. Tissue cyst menjadi rupturdan melepaskan invasive tropozoit
(takizoit). Takisoit ini akan menghancurkan sel dan menyebabkan focus nekrosis.7,8
Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapat menjadi
prediktor kemungkinan adanya infeksi oportunistik. HIV secara signifikan
4

berdampak pada kapasitas fungsionaldankualitas kekebalan tubuh. HIV


mempunyai target sel utamayaitu sel limfosit T4, yang mempunyai reseptor CD4.
Beberapa sel lain yangjuga mempunyai reseptor CD4 adalah : sel monosit, sel
makrofag, sel folikular dendritik, sel retina, sel leher rahim, dan sel langerhans.
Infeksi limfosit CD4 oleh HIV dimediasi oleh perlekatanvirus kepermukaan sel
reseptor CD4, yang menyebabkan kematianseldengan meningkatkan tingkat
apoptosis pada sel yangterinfeksi. Selain menyerang sistem kekebalan tubuh,
infeksi HIV jugaberdampak pada sistem saraf dandapat mengakibatkan kelainan
pada saraf. Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat penurunan kekebalan Ookista
(Daging mentah) Tachyzoit (usus) Darah & Limfe Imune Respon Bradyzoit (otak,
skeletal, myocard, retina) Immunocompromized →reaktivasi tubuh pada penderita
HIV/AIDS. Infeksi tersebut dapat menyerang sistem saraf yang
membahayakanfungsi dan kesehatan sel saraf. Mekanisme bagaimana HIV
menginduksi infeksi oportunistik seperti toxoplasmosis sangat kompleks. Ini
meliputi deplesi dari sel T CD4; kegagalan produksi IL-2, IL-12, dan IFN- gamma;
kegagalan aktivitas Limfosit T sitokin. Sel-sel dari pasien yang terinfeksi HIV
menunjukkan penurunan produksi IL-12 dan IFN-gamma secara invitro dan
penurunan ekspresi dari CD 154 sebagai respon terhadap T gondii.9,10

2.4. Manifestasi Klinis


Gejala toxoplasmosis cerebral tidak bersifat spesifik dan agak sulit untuk
dibedakan dengan penyakit lain seperti lymphoma, tuberculosis dan infeksi HIV,
ekspresi CD154 Aktivasi CD4 sel T Tachyzoit sel dendritik dan makrofag IL-12
Sel T→INF-y Respon antitoxoplasmik akut. Toksoplasmosis dapatan tidak
diketahui karena jarang menimbulkan gejala. Gejala yang ditemui pada dewasa
maupun anak-anak umumnya ringan. Apabila menimbulkan gejala, maka gejalanya
tidak khas seperti demam, nyeri otot, sakit tenggorokan, nyeri dan ada pembesaran
kelenjar limfe servikalis posterior, supraklavikula dan suoksiput. Pada infeksi berat,
meskipun jarang, dapat terjadi sefalgia, muntah, depresi, nyeri otot, pneumonia,
hepatitis, miokarditis, ensefalitis, delirium dan dapat terjadi kejang.6
5

Gejala-gejala klinis pada toksoplasmosis pada umumnya sesuai dengan


kelainan patologi yang terjadi dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu
gejala-gejala klinis pada toksoplasmosis congenital dan toksoplasmosis didapat.
Gejala cerebral toksoplasma atau dikenali sebagai toksoplasma serebral
termasuk ensefalitis, demam, sakit kepala hebat yang tidak ada respon terhadap
pengobatan, lemah pada satu sisi tubuh, kejang, kelesuan, kebingungan meningkat,
masalah penglihatan, vertigo, afasia, masalah berjalan, muntah dan perubahan
kepribadian. Tidak semua pasien menunjukan tanda infeksi. Pada ensefalitis fokal
ditemukan nyeri kepala dan rasa bingung kerna adanya pembentukan abses akibat
dari terjadinya infeksi toksoplasma. Pasien dengan sistem immunonya menurun,
gejala-gejala fokalnya cepat sekali berkembang dan penderita mungkin akan
mengalami kejang dan penurunan kesadaran.6
Toksoplasmosis serebral sering muncul dengan onset subakut dengan gejala
fokal nerologik. Walaubagaimanapun, terdapat juga onset yang tiba-tiba disertai
kejang atau pendarahan serebral. Hemiparesis dan gangguan percakapan sering
ditemui sebagai gejala klinis awal.
Keterlibatan batang otak bisa menghasilkan lesi saraf cranial dan pasien
akan mempamerkan disfungsi serebral seperti disorientasi, kesadaran menurun,
lelah atau koma. Pengibatan medulla spinalis akan menghasilkan gangguan motorik
dan sensorik bagi beberapa anggota badan serta kantung kemih atau kesakitan
fokal.6

2.5. Diagnosis Banding


Diagnosa banding untuk lesi bentuk cincin (ring-enhancing lesions) di otak
pada pasien dengan HIV ialah seperti berikut3:
o Toksoplasmosis serebral akut
o Limfoma sistem saraf pusat primer
o Tumor otak primer
o Metastasis otak
o Penyakit demielinasi (misal: sklerosis multipel)
o Infeksi (misal : tuberkuloma)
6

o Infark multifokal
o Malformasi vena-arteri
Penyebab abnormalitas sistem saraf pusat pada pasien HIV yang sudah berat
(CD4 T sel <50 sel/μL) termasuklah toksoplasmosis serebral (19% dari semua
pasien dengan gejala lesi di otak), limfoma sistem saraf pusat primer (4%-7%),
leukoensefalopati multifokal progresif, HIV ensefalopati dan ensefalitis
sitomegalovirus. Infeksi-infeksi dari etiologi lain ialah tuberkulosis, stafilokokkus,
streptokokkus, salmonella, kriptokokkus, histoplasmosis dan meningovaskuler
syphilis.4

2.6. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan serologi, biopsi jaringan,
isolasi T gondii dari cairan tubuh atau darah dan pemeriksaan DNA parasit.Pada
pasien dengan suspek toxoplasmosis, pemeriksaan serologi dan pencitraan baik
Computed Tomography (CT) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) biasanya
digunakan untuk membuat diagnosis. Terapi empirik untuk toxoplasmosis cerebral
harus dipertimbangkan untuk pasien yang terinfeksi HIV. Biopsi dicadangkan
untuk diagnosis pasti atau untuk pasien yang gagal dengan terapi empirik.3,11
Pada pemeriksaan serologi didapatkan seropositif dari anti-T gondii IgG dan
IgM. Pemeriksaan yang sudah menjadi standar emas untuk mendeteksi titer IgG
dan IgM T gondii yang biasa dilakukan adalah dengan Sabin-Feldman dye test, tapi
pemeriksaan ini tidak tersedia di Indonesia. Deteksi antibodi juga dapat dilakukan
dengan indirect fluorescent antibody (IFA), agglutinasi, atau enzyme linked
immunosorbent assay (ELISA). Titer IgG mencapai puncak dalam 1-2 bulan setelah
infeksi kemudian bertahan seumur hidup. Anti bodi IgM hilang dalam beberapa
minggu setelah infeksi.12,13
Pemeriksaan cairan serebrospinal jarang berguna dalam diagnosis
toxoplasmosis cerebral dan tidak dilakukan secara rutin karena resiko dapat
meningkatkan tekanan intrakranial dengan melakukan pungsi lumbal. Temuan dari
pemeriksaan cairan serebrospinalmenunjukkan adanya pleositosis ringan dari
mononuclear predominan dan elevasi protein.3
7

Pemeriksaan Polymerase chain reaction (PCR) untuk mendeteksi DNA T


gondii dapat berguna untuk diagnosis toxoplasmosis. PCR untuk T gondii dapat
juga positif pada cairan bronkoalveolar dan cairan vitreus atau aqueous humor dari
penderita toxopasmosis yang terinfeksi HIV. Adanya PCR yang positif pada
jaringan otak tidak berarti terdapat infeksi aktif karena tissue cyst dapat bertahan
lama berada di otak setelah infeksi akut. PCR pada darah mempunyai sensitifitas
yang rendah untukdiagnosis pada penderita AIDS.3,9
Toxoplasmosis juga dapat didiagnosis dengan isolasi T gondii dari kultur
cairan tubuh atau spesimen biopsi jaringan tapi diperlukan waktu lebih dari 6
minggu untuk mendapatkan hasil kultur. Diagnosis pasti dari toxoplasmosis adalah
dengan biopsi otak, tapi karena keterbatasan fasilitas, waktu dan dana sering biopsi
otak ini tidak dilakukan. Upaya isolasi parasit dapat dilakukan dengan inokulasi
mouse atau inokulasi dalam jaringan kultur sel dari hampir semua jaringan manusia
atau cairan tubuh. Pasien dengan toxoplasmosis cerebral
ditemukan histopatologitachyzoitpadajaringanotak.3,14
Pada kebanyakan pasien imunodefisiensi dengan toxoplasmosis cerebral,
CT scan menunjukkan gambaran beberapa lesi otak bilateral. Studi pencitraan
biasanya menunjukkan beberapa lesi terletak di wilayah korteks serebral,
corticomedullary junction , atau ganglia basal. Meskipun begitu, lesi tunggal juga
kadang-kadang muncul pada penderita toxoplasmosis cerebral. Karakteristik
toxoplasmosis cerebral adalah asimetris, yang memberi gambarn abses cincin
dengan kedua CT dan MRI. CT scan tanpa kontras dapat memperlihatkan lesi
hipodens dalam otak yang mungkin keliru pada lesi otak fokal tipe lain, namun ,
CT Scan ulang dengan kontras akan memperlihatkan lesi otak dengan gambaran
khas ring enhancement dan disertai edema vasogenik pada jaringan sekitarnya.15
Pada T1 – weighted MRI , toxoplasma memprelihatkn lesi dengan intensitas
sinyal rendah berhubung dengan sisa dari jaringan otak . Pada T2 – weighted MRI,
lesi biasanya dengan intensitas sinyal tinggi. MRI adalah modalitas pilihan untuk
mendiagnosis dan memantau respon terhadap pengobatan toxoplasmosis karena
lebih sensitif dari CT untuk mendeteksi beberapa lesi.3,15
8

AAN Quality Standards subcommittee (1998) merekomendasikan


penggunaan terapi empirik pada pasien yang diduga toxoplasmosis cerebral selama
2 minggu, kemudian dimonitor lagi setelah 2 minggu, bila ada perbaikan secara
klinis maupun radiologik, diagnosis adanya toxoplasmosis cerebral dapat
ditegakkan dan terapi ini dapat di teruskan.Lebih dari 90% pasien menunjukkan
perbaikan klinis dan radiologik setelah diberikan terapi inisial selama 10-14 hari.
Jika tidak ada perbaikan lesi setelah 2 minggu, diindikasikan untuk dilakukan biopsi
otak.3

2.7. Penatalaksanaan
Terapi utama pada toxoplasmosis serebral akut ialah pirimetamin (obat anti
malaria) dan sulfadiazin. Kombinasi antara pirimetamin dengan sulfadiazine
(antibiotik) ini menunjukkan aktivitas sinergis dalam mengeradikasi toxoplasma
gondii karena dapat menyebabkan inhibisi secara terus menerus terhadap jalur
sintesis asam folat. Leucovorin haruslah ditambah untukmencegah komplikasi
pendarahan karena efek samping untuk regimen kombinasi ini adalah penurunan
jumlah trombosit atau trombositopenia. Pengobatan untuk ibu hamil yang terinfeksi
toksoplasma gondii sama dengan individu-individu lain, tetapi para ibu haruslah
diberi informasi bahwa sulfadiazine bisa menyebabkan bayinya hiperbilirubinemia
dan kernikterus.3
Terdapat regimen alternatif untuk pasien yang intoleransi terhadap
sulfadiazin atau pirimetamin. Kombinasi yang sering dipakai dalam menangani
kasus toksoplasma serebral selain pirimetamin dan sulfadiazin ialah trimetoprim
dengan sulfamethoxazole, klindamisin dengan pirimetamin, dan claritromisin
dengan pirimetamin. Klindamisin dengan pirimetamin diberikan pada pasien yang
tidak bisa toleransi terhadap sulfonamid.3,4
Atovaquone adalah bagian dari naftoquinon yang unik dengan aktivitas
antiprotozoa yang spektrumnya luas. Atovaquone telah dibuktikan efektif terhadap
takizoit toksoplasma in vitro dan akan membunuh bradizoit dalam kista jika dalam
konsentrasi yang tinggi. Atovaqoune sering digunakan dalam kombinasi obat-obat
9

lain. Menurut penelitian atovaqoune menjadi lebih efektif apabila dikombinasikan


dengan obat lain seperti pirimetamin, sulfodiazin, klindamisin atau claritromisin.4

Regimen terapi untuk toksoplasmosis serebral akut


Terapi pilihan dan lama pengobatan Regimen Alternatif
Regimen Alternatif
Pirimethamin (200-mg oral dosis  Pirimethamine (200-mg oral dosis
inisial, dilanjutkan dengan 50–75 inisial, dilanjutkan dengan 50–75
mg/hari secara oral), sulfadiazine mg/day secara oral) and
(1000–1500 mg 4 kali/hari), and klindamisin(600 mg intravena [IV]
leucovorin (10–20 mg/hari) atau oral 4 kali sehari).
 TMP (5 mg/kg) and SMX (25 mg/kg)
Lama pengobatan :6 minggu IV atau oral 2 kali sehari.
 Atovaquone* (1500 mg oral2 kali
sehari) + pirimethamin (50–75
mg/hari) dan leucovorin (10– 20
mg/hari).
 Atovaquone* (1500 mg oral dua kali
sehari) + sulfadiazin (1000–1500 mg
4 kali sehari).
 Atovaquone* (1500 mg oral 2 kali
sehari)
 Pirimethamin (50–75 mg/hari) dan
leucovorin (10–20 mg/hari) +
azithromisin (900–1200 mg/hari oral)
Untuk pasien yang sakit berat dan tidak
bisa toleransi terhadap medikasi oral,
 TMP (10 mg/kg/hari) and SMX (50
mg/kg/hari) IV.
TMP = trimethoprim; SMX = sulfamethoxazole.
*Atovaquone harus diambil bersama makanan.
10

Regiman Profilaksis
Indikasi Terapi Pilihan Regimen Alternatif
Profilaksis Primer kekuatan-ganda dua  kekuatan tunggal
TMPSMX (160 mg TMP/SMX tablet
TMP/ 800 mg SMX) setiap hari.
tablet setiap hari  Dapsone 50 mg tiap
hari + pirimethamin 50
mg tiap minggu dan
leucovorin 25 mg tiap
minggu.
 Atovaquone 1500 mg
tiap hari.
Profilaksis Sekunder Sulfadiazine (500–1000  Klindamisin (300–450
mg oral 4x/tiap hari) + mg oral tiap 6–8 jam) +
pirimethamin (25–50 pirimethamin (25–50
mg/hari oral) dan mg/hari oral) dan
leucovorin (10–25 leucovorin (10–25
mg/hari oral). mg/hari oral)
 Atovaquone (750 mg
tiap 6–12 jam) dengan
atau tanpa
pirimethamin (25
mg/hari
oral)+leucovorin (10
mg/hari oral)
TMP = trimethoprim; SMX = sulfamethoxazole.

Efek samping pirimetamin ialah timbulnya bercak-bercak merah yang


menyebabkan pasien tidak mau meneruskan pengobatannya. Keadaan ini bisa
ditangani dengan pemberian antihistamin secara bersamaan. Sulfadiazin juga bisa
menyebabkan nefropati karena kristal. Pada pasien yang kritis, yang tidak bisa
11

mengambil obat secara oral, trimethoprim(TPM) intravena 10mg/kg setiap hari


bersama sulfamethoxazole (SMX) 50mg/kg setiap hari dapat diberikan.3
Terapi akut harus lebih dari tiga minggu dan bisa 6 minggu jika bisa
ditoleransi. Lebih panjang terapi akut diperlukan pada pasien dengan gejala klinis
yang berat dan ada bukti terinfeksi pada foto radiologi. Hampir 65% hingga 90%
pasien memberi respon terhadap terapi dengan pirimetamin, leucovorin dan
sulfadiazine. Perbaikan klinis secara cepat dapat dilihat setelah memulai terapi yang
tepat pada toksoplasmosis serebral akut. Setelah beberapa hari, 3.5% pasien
menunjukkan perbaikan neurologis dan 9.1% menunjukkan perbaikan neurologis
setelah hari ke empat belas. Perbaikan pada foto radiologi bisa dilihat pada minggu
ketiga terapi. Pada pasien yang tidak ada respon terhadap terapi dalam jangka waktu
10 hingga 14 hari, biopsi harus dilakukan untuk menyingkirkan penyakit limfoma.
Terapi kortikosteroid bisa diberikan pada pasien dengan kondisi klinis yang
memburuk dalam waktu 48jam atau pasien yang pada foto radiologinya terdapat
perubahan garis tengah (midline shift) dan tanda-tanda peningkatan tekanan
intrakranial. Dexametasone (4mg setiap 6jam) paling sering diberikan dan
diturunkan dosisnya setelah beberapa hari. Penggunaan steroid pada pasien HIV-
AIDS harus hati-hati karena obat ini bisa melindungi infeksi-infeksi oportunistik
yang lain. Antikonvulsan dapat diberikan pada pasien yang kejang tapi tidak
direkomendasikan untuk penggunaan rutin.3
Terapi pemeliharaan dilanjutkan untuk mencegah penyakit kambuh
kembali. Pasien-pasien yang tidak mendapatkan terapi pemeliharaan setelah
mendapat terapi akut sering terjadi kekambuhan. Pasien harus mendapat terapi
profilaksis sekunder yaitu dengan terapi pemeliharaan selama 6 minggu setelah
terapi fase akut. Regimen terapi fase pemeliharaan sama dengan terapi fase akut,
tetapi dosisnya minimal danmemberikan hasil yang efektif.3

2.8. Pencegahan
a. Non farmakologi
Pemeriksaan antitoksoplasma IgG antibodi harus dilakukan sebaik mungkin
pada pasien yang didiagnosis dengan HIV-AIDS untuk melihat faktor-faktor resiko
12

terjadinya toksoplasmosis akut. Pasien dengan hasil laboratorium seronegatif harus


diperiksa ulang apabila jumlah CD4 T sel menurun di bawah 100 sel/μL untuk
melihat apakah telah terjadi serokonversi. Semua pasien dengan infeksi HIV harus
diberikan edukasi mengenai cara menjaga makanan karena penularan toxoplasma
gondii bisa melalui makanan.Jadi makanan yang dikonsumsi terutamadaging harus
benar-benar masak (pada suhu 116 derajat celcius). Tangan harus dicuci sebelum
dan setelah menyentuh makanan. Buah-buahan dan sayur-sayuran harus dicuci
bersih.3
Hindari menyentuh barang yang kemungkinan terkontaminasi dengan
kotoran kucing. Jika ada kotoran kucing, maka harus dibersihkan untuk
menghindari maturasi sel-sel telur toxoplasma gondii. Sewaktu berkebun, harus
memakai sarung tangan untuk menghindari transmisi toxoplasma gondii yang ada
di tanah ke tangan manusia.3

b.Farmakologi
Pada pasien dengan seropositif, profilaksis primer direkomendasikan pada
pasien dengan T gondii seropositif yang memiliki jumlah CD4 T-sel <100/μL dan
pada pasien dengan CD4 T-sel <200/μL yang mempunyai infeksi oportunistik atau
malignansi. Profilaksis dengan menggunakan regimen
trimetoprimsulfamethoxazole pada pasien dengan jumlah CD4 T sel <100/μL
menunjukkan pengurangan risiko terinfeksi toksoplasmosis sebanyak 73%. Pasien-
pasien yang tidak mendapat terapi pemeliharaan selepas menjalani terapi fase akut
mempunyai kadar kekambuhan antara 50%-80%. Mereka harus mendapat terapi
pemeliharaan selepas 6 minggu menjalani terapi fase akut. Insiden infeksi
oportunistik termasuk toksoplasma serebral sudah berkurang,terutama di daerah di
mana penggunaan antiretroviral terapi bisa didapatkan. Terapi HAART (Highly
Active Anti Retroviral) berhasil mengurangi kekambuhan dan berhasil memperbaiki
kualitas hidup pada pasien-pasien HIV. Hal ini dikarenakan terapi itu berhasil
menekan replikasi virus dan meningkatkan jumlah CD4+ limfosit yang mana akan
turut memperbaiki sistem imunitas pasien.3,15
13

2.9. Prognosis
Jika tidak didiagnosis dan diterapi dengan tepat, toksoplasmosis serebral
bisa menyebabkan kecacatan bahkan kematian. Terapi profilaksis adalah kunci
mencegah terjadinya onset penyakit. Dengan adanya terapi HAART (Highly Active
Anti Retroviral Terapi), maka insiden kekambuhan infeksi toksoplasmosis serebral
dapat dikurangi.3
14

BAB III
KESIMPULAN

Toxoplasmosis Serebral adalah infeksi otak oleh parasit toxoplasma gondii,


terjadi pada pasien AIDS sebagai akibat reaktifitasi infeksi otak laten yang
disebabkan oleh parasit intraseluler yang bersifat oportunistik.
Gejala cerebral toksoplasma atau dikenali sebagai toksoplasma serebral
termasuk ensefalitis, demam, sakit kepala hebat yang tidak ada respon terhadap
pengobatan, lemah pada satu sisi tubuh, kejang, kelesuan, kebingungan meningkat,
masalah penglihatan, vertigo, afasia, masalah berjalan, muntah dan perubahan
kepribadian. Tidak semua pasien menunjukan tanda infeksi. Pada ensefalitis fokal
ditemukan nyeri kepala dan rasa bingung kerna adanya pembentukan abses akibat
dari terjadinya infeksi toksoplasma. Pasien dengan sistem immunonya menurun,
gejala-gejala fokalnya cepat sekali berkembang dan penderita mungkin akan
mengalami kejang dan penurunan kesadaran.
Terapi utama pada toxoplasmosis serebral akut ialah pirimetamin(obat anti
malaria) dan sulfadiazine.
15

DAFTAR PUSTAKA

1. Gandahusada S. Koesharyono C. Prevalensi zat anti toxoplasma gondii


pada kucing dan anjing di Jakarta. Penelitian , 2012.
2. Nissapatorn V. Toxoplasmosis in HIV/AIDS: A Living Legacy. Southeast
3. Jayawardena S, Singh S, Burzyantseva O, Clarke H. Cerebral
Toxoplasmosis in Adult Patients with HIV Infection. Hospital Physician.
2008:17-24.
4. Nissapatorn V. Toxoplasmosis in HIV/AIDS: A Living Legacy. Southeast
Asian J Trop Med Public Health. 2009;40(6):1158-70.
5. Madi D, Achappa B, Rao S, Ramapuram JT, Mahalingam S. Successful
Treatment of Cerebral Toxoplasmosis with Clindamycin: A Case Report.
Oman Med J. 2012;27(5):411-2.
6. Ganiem AR, Dian S, Indriati A, Chaidir L, Wisaksana R, Sturm P, et al.
Cerebral Toxoplasmosis Mimicking Subacute Meningitis in HIV-Infected
Patients; a Cohort Study from Indonesia. PLOS Neglected Tropical Disease
J. 2013:1-6.
7. Communicable Disease Manageent Protocol : Toxoplasmosis. Mantoba
Health Public Health. November 2001.
8. Advisory Commitee on the Microbiological Safety of Food: Risk profile in
Relation to Toxoplasma in the Food Chain.
9. Yasuhiro Suzuki. Immunopathogenesis of Cerebral Toxoplasmosis.
Department of Biomedical Science and Pathology, Virginia. 2002.
10. Jose G. Montoya. Laboratory Diagnosis of Toxoplasma gondii Infection and
Toxoplasmosis. The Journal of Infectious Diseases. 2002; 2: 1-8.
11. The Center for Food Security & Public Health: Toxoplasmosis. May 2005.
12. Chapter 2.9.10 Toxolasmosis. Oie Terrrestrial Manual 2008
13. Indra C. Epidemiologi Toxoplasma Gondii. Bagian Kesehatan Lingkungan
Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Sumatera Utara.
14. Pereira S. Nogueira, Roberto, dan Vera L. Diagnosis of Cerebral
Toxoplasmosis in AIDS Patients in Brazil: Importance of Molecular and
16

Immunological Methods Using Peripheral Blood Samples. Journal of


Clinical Microbiology. 2005: 1-10.
15. Sara Mathew George, MD, FRCPath, Ashok Kumar Malik, MD, FRCPath,
Fayek Al Hilli, PhD. Cerebral Toxoplasmosis in an HIV Positive Patient: A
Case Report and Review of Pathogenesis and Laboratory Diagnosis.
Bahrain Medical Bulletin. 2009:1-5

Anda mungkin juga menyukai