BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Serebral Toxoplasmosis adalah infeksi otak oleh parasit toxoplasma gondii,
terjadi pada pasien AIDS sebagai akibat reaktifitasi infeksi otak laten yang
disebabkan oleh parasit intraseluler yang bersifat oportunistik. Diagnosis dapat
didasarkan pada respon terhadap empiris dengan pirimetamin dan sulfadiazine.3,4
2.2. Etiologi
Toxoplasmosis serebral disebabkan oleh Toxsoplasma Gondii. Toxoplasma
gondii adalah parasit intraseluler pada momocyte dan sel-sel endothelial pada
berbagai organ tubuh. Toxoplasma ini biasanya berbentuk bulat atau oval, jarang
ditemukan dalam darah perifer, tetapi sering ditemukan dalam jumlah besar pada
organ-organ tubuh seperti pada jaringan hati, limpa, sumsum tulang, paru-paru,
otak, ginjal, urat daging, jantung dan urat daging licin lainnya.1
2.3. Patogenesis
Penularan pada manusia dimulai dengan tertelannya tissue cyst atau oocyst
diikuti oleh terinfeksinyasel epitel usus halus oleh bradyzoites atau sporozoites
secaraberturut-turut. Setelah bertransformasi menjadi tachyzoites,organisme ini
menyebar ke seluruh tubuh lewat peredaran darahatau limfatik. Parasit ini berubah
bentuk menjadi tissue cysts begitu mencapai jaringan perifer. Bentuk ini dapat
bertahan sepanjanghidup pejamu,dan berpredileksi untuk menetap pada
otak,myocardium, paru, otot skeletal dan retina.5,6
Pada manusia dengan imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi
dari infeksi laten yang akan mengakibatkan timbulnya infeksi oportunistik dengan
predileksi di otak. Tissue cyst menjadi rupturdan melepaskan invasive tropozoit
(takizoit). Takisoit ini akan menghancurkan sel dan menyebabkan focus nekrosis.7,8
Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapat menjadi
prediktor kemungkinan adanya infeksi oportunistik. HIV secara signifikan
4
o Infark multifokal
o Malformasi vena-arteri
Penyebab abnormalitas sistem saraf pusat pada pasien HIV yang sudah berat
(CD4 T sel <50 sel/μL) termasuklah toksoplasmosis serebral (19% dari semua
pasien dengan gejala lesi di otak), limfoma sistem saraf pusat primer (4%-7%),
leukoensefalopati multifokal progresif, HIV ensefalopati dan ensefalitis
sitomegalovirus. Infeksi-infeksi dari etiologi lain ialah tuberkulosis, stafilokokkus,
streptokokkus, salmonella, kriptokokkus, histoplasmosis dan meningovaskuler
syphilis.4
2.6. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan serologi, biopsi jaringan,
isolasi T gondii dari cairan tubuh atau darah dan pemeriksaan DNA parasit.Pada
pasien dengan suspek toxoplasmosis, pemeriksaan serologi dan pencitraan baik
Computed Tomography (CT) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) biasanya
digunakan untuk membuat diagnosis. Terapi empirik untuk toxoplasmosis cerebral
harus dipertimbangkan untuk pasien yang terinfeksi HIV. Biopsi dicadangkan
untuk diagnosis pasti atau untuk pasien yang gagal dengan terapi empirik.3,11
Pada pemeriksaan serologi didapatkan seropositif dari anti-T gondii IgG dan
IgM. Pemeriksaan yang sudah menjadi standar emas untuk mendeteksi titer IgG
dan IgM T gondii yang biasa dilakukan adalah dengan Sabin-Feldman dye test, tapi
pemeriksaan ini tidak tersedia di Indonesia. Deteksi antibodi juga dapat dilakukan
dengan indirect fluorescent antibody (IFA), agglutinasi, atau enzyme linked
immunosorbent assay (ELISA). Titer IgG mencapai puncak dalam 1-2 bulan setelah
infeksi kemudian bertahan seumur hidup. Anti bodi IgM hilang dalam beberapa
minggu setelah infeksi.12,13
Pemeriksaan cairan serebrospinal jarang berguna dalam diagnosis
toxoplasmosis cerebral dan tidak dilakukan secara rutin karena resiko dapat
meningkatkan tekanan intrakranial dengan melakukan pungsi lumbal. Temuan dari
pemeriksaan cairan serebrospinalmenunjukkan adanya pleositosis ringan dari
mononuclear predominan dan elevasi protein.3
7
2.7. Penatalaksanaan
Terapi utama pada toxoplasmosis serebral akut ialah pirimetamin (obat anti
malaria) dan sulfadiazin. Kombinasi antara pirimetamin dengan sulfadiazine
(antibiotik) ini menunjukkan aktivitas sinergis dalam mengeradikasi toxoplasma
gondii karena dapat menyebabkan inhibisi secara terus menerus terhadap jalur
sintesis asam folat. Leucovorin haruslah ditambah untukmencegah komplikasi
pendarahan karena efek samping untuk regimen kombinasi ini adalah penurunan
jumlah trombosit atau trombositopenia. Pengobatan untuk ibu hamil yang terinfeksi
toksoplasma gondii sama dengan individu-individu lain, tetapi para ibu haruslah
diberi informasi bahwa sulfadiazine bisa menyebabkan bayinya hiperbilirubinemia
dan kernikterus.3
Terdapat regimen alternatif untuk pasien yang intoleransi terhadap
sulfadiazin atau pirimetamin. Kombinasi yang sering dipakai dalam menangani
kasus toksoplasma serebral selain pirimetamin dan sulfadiazin ialah trimetoprim
dengan sulfamethoxazole, klindamisin dengan pirimetamin, dan claritromisin
dengan pirimetamin. Klindamisin dengan pirimetamin diberikan pada pasien yang
tidak bisa toleransi terhadap sulfonamid.3,4
Atovaquone adalah bagian dari naftoquinon yang unik dengan aktivitas
antiprotozoa yang spektrumnya luas. Atovaquone telah dibuktikan efektif terhadap
takizoit toksoplasma in vitro dan akan membunuh bradizoit dalam kista jika dalam
konsentrasi yang tinggi. Atovaqoune sering digunakan dalam kombinasi obat-obat
9
Regiman Profilaksis
Indikasi Terapi Pilihan Regimen Alternatif
Profilaksis Primer kekuatan-ganda dua kekuatan tunggal
TMPSMX (160 mg TMP/SMX tablet
TMP/ 800 mg SMX) setiap hari.
tablet setiap hari Dapsone 50 mg tiap
hari + pirimethamin 50
mg tiap minggu dan
leucovorin 25 mg tiap
minggu.
Atovaquone 1500 mg
tiap hari.
Profilaksis Sekunder Sulfadiazine (500–1000 Klindamisin (300–450
mg oral 4x/tiap hari) + mg oral tiap 6–8 jam) +
pirimethamin (25–50 pirimethamin (25–50
mg/hari oral) dan mg/hari oral) dan
leucovorin (10–25 leucovorin (10–25
mg/hari oral). mg/hari oral)
Atovaquone (750 mg
tiap 6–12 jam) dengan
atau tanpa
pirimethamin (25
mg/hari
oral)+leucovorin (10
mg/hari oral)
TMP = trimethoprim; SMX = sulfamethoxazole.
2.8. Pencegahan
a. Non farmakologi
Pemeriksaan antitoksoplasma IgG antibodi harus dilakukan sebaik mungkin
pada pasien yang didiagnosis dengan HIV-AIDS untuk melihat faktor-faktor resiko
12
b.Farmakologi
Pada pasien dengan seropositif, profilaksis primer direkomendasikan pada
pasien dengan T gondii seropositif yang memiliki jumlah CD4 T-sel <100/μL dan
pada pasien dengan CD4 T-sel <200/μL yang mempunyai infeksi oportunistik atau
malignansi. Profilaksis dengan menggunakan regimen
trimetoprimsulfamethoxazole pada pasien dengan jumlah CD4 T sel <100/μL
menunjukkan pengurangan risiko terinfeksi toksoplasmosis sebanyak 73%. Pasien-
pasien yang tidak mendapat terapi pemeliharaan selepas menjalani terapi fase akut
mempunyai kadar kekambuhan antara 50%-80%. Mereka harus mendapat terapi
pemeliharaan selepas 6 minggu menjalani terapi fase akut. Insiden infeksi
oportunistik termasuk toksoplasma serebral sudah berkurang,terutama di daerah di
mana penggunaan antiretroviral terapi bisa didapatkan. Terapi HAART (Highly
Active Anti Retroviral) berhasil mengurangi kekambuhan dan berhasil memperbaiki
kualitas hidup pada pasien-pasien HIV. Hal ini dikarenakan terapi itu berhasil
menekan replikasi virus dan meningkatkan jumlah CD4+ limfosit yang mana akan
turut memperbaiki sistem imunitas pasien.3,15
13
2.9. Prognosis
Jika tidak didiagnosis dan diterapi dengan tepat, toksoplasmosis serebral
bisa menyebabkan kecacatan bahkan kematian. Terapi profilaksis adalah kunci
mencegah terjadinya onset penyakit. Dengan adanya terapi HAART (Highly Active
Anti Retroviral Terapi), maka insiden kekambuhan infeksi toksoplasmosis serebral
dapat dikurangi.3
14
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA