Anda di halaman 1dari 29

MODEL MATEMATIKA PADA PROSES HEMATOPOIESIS DENGAN

PERLAMBATAN PROSES PROLIFERASI


St.Neneng Komariah, Muh. Nur Bahri Ramadan, Nurlaila Dahlan, Muh. Rifki
Nisardi, Restu Ananda Putra
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Jurusan Matematika, Universitas
Hasanuddin

Abstract
Pemodelan matematika adalah suatu usaha untuk menguraikan beberapa
bagian yang berhubungan dengan dunia nyata ke dalam bentuk persamaan
matematika. Salah satu permasalahan yang dapat dimodelkan adalah pada proses
produksi sel darah yang terjadi di dalam sum-sum tulang. Proses produksi sel darah
(hematopoiesis) diformulasikan dalam bentuk sistem persamaan differensial yang
terdiri dari dua persamaan diferensial biasa nonlinier dengan waktu tunda. Waktu
tunda menunjukkan durasi yang diperlukan sel tunas dalam suatu fase.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari secara mendalam asal mula
pembentukan model matematika pada proses produksi sel darah, mengetahui titik
tetap, analisis kestabilan sistem di sekitar titik tetapnya serta grafik solusi numerik.
Penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan, dan dalam mengkonstruksi
model digunakan konstruksi model kompartemen.
Hasil penelitian adalah deskripsi model matematika untuk populasi total sel
tunas dan sel nonproliferasi yang memiliki bentuk
𝑑𝑆(𝑡)
= −𝛾𝑆(𝑡) + (𝛾 − 𝛿)𝑁(𝑡) + 𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(𝑆(𝑡 − 𝜏))𝑁(𝑡 − 𝜏)
𝑑𝑡
𝑑𝑁(𝑡)
= −𝛿𝑁(𝑡) − 𝛽(𝑆(𝑡))𝑁(𝑡) + 2𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(𝑆(𝑡 − 𝜏))𝑁(𝑡 − 𝜏) .
𝑑𝑡
Dimana 𝛿 dan 𝛾 berbeda yang masing-masing merupakan laju kematian sel
proliferasi dan nonproliferasi. Terdapat kondisi perlu untuk memperoleh kestabilan
asimtotik global dan kestabilan asimtotik lokal dari sistem persamaan pada proses
produksi sel darah. Grafik hasil dari penyelesaian secara numeric sistem persamaan
produksi sel darah yang diperoleh dengan bantuan matlab menunjukkan bahwa osilasi
terjadi untuk nilai 3 ≤ 𝜏 < 5.5. Sistem persamaan proses produksi sel darah akan
kembali menuju titik kestabilannya ketika 𝜏 ≥ 5.5. Osilasi dalam hal ini berarti
bahwa proses produksi sel darah yang terjadi didalam sum-sum tulang tidak stabil
sehingga akan berakibat pada sirkulasi jumlah sel darah di dalam tubuh manusia juga
tidak stabil.
Keywords : Pemodelan Matematika, Waktu Tunda, Hematopoiesis.
PENDAHULUAN
Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, yang ditandai
dengan munculnya disiplin ilmu yang semakin kompleks dan penemuan-kli
penemuan baru dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan, maka matematika sebagai
wadah ilmu pengetahuan secara historis persamaan diferensial muncul dari keinginan
manusia tentang kejadian alam. Pemecahan masalah dalam dunia nyata dengan
matematika dilakukan dengan mengubah masalah tersebut menjadi bahasa
matematika. Proses seperti ini disebut pemodelan secara matematika atau pemodelan
matematika (Baiduri, 2002).
Model matematika adalah suatu usaha untuk menguraikan beberapa bagian
yang berhubungan dengan dunia nyata ke dalam bentuk persamaan matematika yang
merupakan pendekatan terhadap suatu fenomena fisik. Persamaan yang paling banyak
digunakan untuk menggambarkan fenomena fisik adalah persamaan diferensial.
Persamaan diferensial adalah persamaan yang memuat satu atau lebih turunan dari
suatu fungsi yang tidak diketahui (Finizio dan Ladas, 1982). Dalam perkembangan
sains dan ilmu rekayasa, model matematika telah banyak digunakan dalam ilmu
kedokteran, biologi, fisika, dan ilmu-ilmu sosial.
Darah adalah cairan yang terdapat pada semua makhluk hidup (kecuali
tumbuhan) tingkat tinggi yang berfungsi mengirimkan zat-zat oksigen yang
dibutuhkan oleh jaringan tubuh, mengangkut bahan-bahan kimia hasil metabolisme
dan juga sebagai pertahanan tubuh terhadap virus atau bakteri. Proses terbentuknya
sel-sel darah secara biologi disebut hematopoiesis. Proses ini terjadi di dalam sum-
sum tulang pada individu yang sudah lahir dan dihasilkan di mesoderm, hati, limpa
dan timus pada janin. Hematopoiesis adalah proses pembentukan dan perkembangan
berbagai tipe sel darah dan elemen-elemen yang terbentuk lainnya (Stedman, 2001).
Hematopoiesis mulai terjadi di dalam sum-sum tulang dengan sel induk
pluripotensial (banyak kemungkinan). Sel induk adalah sumber semua sel darah. Sel-
sel ini secara kontinu memperbarui dirinya dan berdiferensiasi sepanjang hidup untuk
menghasilkan sel darah merah, sel darah putih dan keping darah (Corwin, 2009).
Model matematika untuk dinamika sel tunas hematopoietik telah
diperkenalkan pada akhir akhir tahun 1970 oleh Mackey dengan judul “Unified
Hypothesis of the Origin of Aplastic Anemia and Periodic Hematopoiesis”. Model
tersebut terdiri dari dua persamaan diferensial dengan waktu perlambatan dimana
waktu perlambatan itu mendeskripsikan lama waktu (durasi) suatu siklus sel. Pada
model tersebut, sel tunas hematopoietik dibagi menjadi dua kelompok yaitu sel
proliferasi (berkembangbiak) dan non proliferasi (tidak berkembangbiak) dan
menggunakan laju perubahan sel nonproliferasi memasuki fase proliferasi dengan laju
nonlinier yang hanya bergantung pada populasi sel nonproliferasi. Hasil dari analisis
system persamaan diferensial dengan waktu tunda oleh Mackey tersebut berisi
tentang dinamika populasi sel tunas hematopoietik. Pokok-pokok pada analisis
kestabilannya adalah adanya solusi periodik, meliputi Hopf bifurkasi,
mendeskripsikan beberapa penyakit yang mempengaruhi sel darah, dan karakterisasi
dengan osilasi periodik (Crauste, 2006).
Model matematika pada populasi sel tunas hematopoietik telah diperbarui oleh
Fabien Crauste (2006) dengan judul “Global Asymptotic Stability and Hopf
Bifurcation for a Blood Cell Production Model”. Dalam penelitiannya, Crauste
menggunakan laju perubahan sel nonproliferasi memasuki fase proliferasi dengan laju
nonlinier yang bergantung pada populasi total sel tunas. Hal ini berdasarkan pada
fakta bahwa faktor yang mempengaruhi sel memasuki fase proliferasi adalah hasil
dari aksi seluruh populasi sel. Penelitian ini menghasilkan sistem persamaan
diferensial nonlinier dengan waktu perlambatan untuk populasi total sel tunas dan sel
nonproliferasi. Selama masa hidupnya, baik sel proliferasi maupun sel nonproliferasi
akan mengalami kematian secara alami ketika dirinya dirasa sudah tidak dapat
memperbarui dan memperbaiki diri lagi yang disebut apoptosis. Dalam penelitiannya
Crauste menggunakan laju kematian yang sama antara sel proliferasi dan
nonproliferasi. Hasil analisisnya adalah meliputi pencarian titik tetap sistem,
linierisasi sistem, kestabilan, serta simulasi numerik dari system persamaan
diferensial pada proses hematopoiesis. Pada penelitian yang dilakukan oleh Crauste
tersebut belum terdapat analisis ketika digunakan laju kematian yang berbeda antara
sel proliferasi dan sel nonproliferasi. Pada kenyataannya laju kematian kedua sel
tersebut tidak selalu sama pada setiap orang sehingga diperlukan analisis lanjutan
mengenai model pada proses produksi sel darah apabila digunakan laju kematian
yang berbeda antara sel proliferasi dan sel nonproliferasi.
RUMUSAN MASALAH
Dari pemaparan pendahuluan diatas, maka diperoleh rumusan masalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana deskripsi dari model matematika pada proses produksi sel darah
(hematopoiesis)?
2. Bagaimana analisis kestabilan dan simulasi numerik model matematika pada
proses produksi sel darah dengan laju kematian yang berbeda antara sel
proliferasi dan nonproliferasi?
TUJUAN
Dari rumusan masalah, maka tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Mendeskripsikan model matematika pada proses produksi sel darah.
2. Menganalisis kestabilan dan simulasi numerik model matematika pada proses
produksi sel darah dengan laju kematian yang berbeda antara sel proliferasi dan
nonproliferasi.
TINJAUN PUSTAKA
1. Persamaan Diferensial
Persamaan diferensial adalah persamaan yang memuat satu atau lebih
turunan dari suatu fungsi yang tidak diketahui (Finizio dan Ladas, 1982).
Berdasarkan bentuk diferensial yang dikandungnya, persamaan diferensial dibagi
menjadi dua macam, yaitu:
a. Persamaan diferensial biasa.
Persamaan diferensial biasa adalah persamaan yang memuat turunan
biasa dari satu atau lebih variabel tak bebas terhadap satu variabel bebas
(Ross, 1984).
b. Persamaan diferensial parsial
Persamaan diferensial parsial adalah persamaan-persamaan yang
mengandung satu atau lebih turunan-turunan parsial. Persamaan tersebut
haruslah melibatkan paling sedikit dua variabel bebas (Ayres dan Ault, 1995).
2. Persamaan Diferensial Biasa Linier dan Nonlinier
Persamaan diferensial orde-n dikatakan linier jika mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut:
a. Variabel terikat y dan derivatifnya berderajat satu.
b. Tidak ada perkalian antara y dan derivatifnya serta antara derivatif.
c. variabel terikat y bukan merupakan fungsi transenden (Baiduri, 2002).
3. Sistem Persamaan Differensial
Sistem persamaan diferensial adalah suatu sistem yang memuat n buah
persamaan diferensial dengan n buah fungsi yang tidak diketahui, dimana n
merupakan bilangan bulat positif yang lebih besar sama dengan dua.
Suatu sistem persamaan diferensial dikatakan linier apabila sistem tersebut
lebih satu persamaan linier yang saling terkait. Sedangkan koefisiennya bisa
berupa konstanta ataupun fungsi. Sedangkan sistem persamaan diferensial
dikatakan nonlinier apabila sistem tersebut terdiri dari lebih dari satu persamaan
nonlinier yang saling terkait (Boyce dan DilPrima, 1999).
4. Sistem Autonomous
𝑑𝑥 𝑑𝑦
Misal diberikan system persamaan diferensial = 𝑃(𝑥, 𝑦) dan =
𝑑𝑡 𝑑𝑡
𝑄(𝑥, 𝑦). P dan Q merupakan fungsi kontinu dari x dan y serta derivatif parsial
pertamanya juga kontinu, serta tidak bergantung secara eksplisit pada t disebut
sistem autonomous. Sebaliknya jika P dan Q bergantung secara eksplisit terhadap t
maka disebut sistem nonautonomous (Hariyanto, dkk, 1992).
5. Titik Kesetimbangan Sistem Autonomous
Suatu system autonomous memiliki bentuk 𝑥 ′ = 𝐹(𝑥, 𝑦) dan 𝑦 ′ = 𝐺(𝑥, 𝑦),
dan titik kritis adalah 𝑝∗ = (𝑥 ∗ , 𝑦 ∗ ), Sehingga 𝑓(𝑥 ∗ 𝑦 ∗ ) = 0 dan 𝑔(𝑥 ∗ , 𝑦 ∗ ) = 0.
titik kesetimbangan 𝑝∗ pada ruang fase dari suatu persamaan diferensial biasa
autonomous adalah sebuah titik dimana semua derivatif dari variabel adalah nol.
Titik kesetimbangan juga disebut sebagai titik stasioner (tetap) atau suatu posisi
yang mantap (steady state). Maka 𝑝∗ = (𝑥 ∗ , 𝑦 ∗ ) adalah titik kesetimbangan, dan
𝑥 = 𝑥 ∗ , 𝑦 = 𝑦 ∗ (untuk sebarang t ) adalah suatu solusi konstan (Robinson,2004).
6. Linearisasi
Linierisasi adalah proses pendekatan persamaan diferensial nonlinier dengan
cara melakukan ekspansi menurut deret Taylor di sekitar (𝑥 ∗ , 𝑦 ∗ ) dan
menghilangkan suku nonliniernya sebagai berikut:
𝑑𝑥 𝜕𝑓 𝜕𝑓
= 𝑓(𝑥 ∗ 𝑦 ∗ ) + 𝜕𝑥 (𝑥 ∗ , 𝑦 ∗ )(𝑥 − 𝑥 ∗ ) + 𝜕𝑦 (𝑥 ∗ , 𝑦 ∗ )(𝑦 − 𝑦 ∗ ) (1)
𝑑𝑡
𝑑𝑦 𝜕𝑔 𝜕𝑔
= 𝑔(𝑥 ∗ 𝑦 ∗ ) + 𝜕𝑥 (𝑥 ∗ , 𝑦 ∗ )(𝑥 − 𝑥 ∗ ) + 𝜕𝑦 (𝑥 ∗ , 𝑦 ∗ )(𝑦 − 𝑦 ∗ ) (2)
𝑑𝑡
𝑑𝑥 𝑑𝑢
Bila dilakukan subtiusi (𝑥 − 𝑥 ∗ ) = 𝑢 dan (𝑦 − 𝑦 ∗ ) = 𝑣 maka = dan
𝑑𝑡 𝑑𝑡
𝑑𝑦 𝑑𝑣
= , pada keadaan setimbang 𝑓(𝑥 ∗ , 𝑦 ∗ ) = 0, 𝑔(𝑥 ∗ , 𝑦 ∗ ) = 0 sehingga diperoleh
𝑑𝑡 𝑑𝑡
persamaan linear sebagai berikut
𝑑𝑢 𝜕𝑓 𝜕𝑓
= (𝑥 ∗ , 𝑦 ∗ )𝑢 + (𝑥 ∗ , 𝑦 ∗ )𝑣 (3)
𝑑𝑡 𝜕𝑥 𝜕𝑦
𝑑𝑣 𝜕𝑔 𝜕𝑔
= 𝜕𝑥 (𝑥 ∗ , 𝑦 ∗ )𝑢 + 𝜕𝑦 (𝑥 ∗ , 𝑦 ∗ )𝑣 (4)
𝑑𝑡
tulis dalam bentuk matriks
𝑢 𝑑 𝑢 𝑓𝑥 𝑓𝑦
( 𝑣
) = 𝐴0 ( 𝑣
) dimana𝐴0 = [ 𝑔𝑥 𝑔𝑦 ] (5)
𝑑𝑡

dimana 𝐴0 pada 𝑥 = 𝑥 ∗ , 𝑦 = 𝑦 ∗ . Matriks tersebut disebut matriks Jacobian (Boyce


dan DilPrima,1999).
7. Nilai eigen dan Persamaan Karakteristik
Jika A adalah sebuah matriks 𝑛 𝑥 𝑛 maka sebuah vektor tak nol v pada 𝑅 𝑛
disebut vektor eigen (eigen vector) dari A jika Av adalah sebuah kelipatan skalar
dari v atau dapat ditulis 𝐴𝑣 = 𝜆𝑣. Untuk sebarang skalar𝜆. Maka skalar 𝜆 disebut
nilai eigen (eigen value) dari A dan v disebut sebagai vektor eigen dari A yang
terkait dengan 𝜆 (Anton dan Rorres, 2004).
Andaikan bahwa 𝜆 adalah nilai eigen dari matriks A , dan v adalah vektor
eigen yang terkait dengan nilai eigen 𝜆, maka 𝐴𝑣 = 𝑣 = 𝐼𝑣 dimana I adalah
matriks identitas n x n, sedemikian sehingga (𝐴 − 𝐼 )𝑣 = 0 karena 𝑣 ∈ 𝑅 𝑛 tidak
nol, maka det(𝐴 − 𝜆𝐼) = 0. Atau dengan kata lain
𝑎11 − 𝜆 𝑎12 … 𝑎1𝑛
𝑎21 𝑎22 − 𝜆 ⋱ 𝑎2𝑛 ) .
𝐴=( (6)

𝑎𝑛1 𝑎𝑛2 𝑎𝑛𝑛 − 𝜆
Persamaan (6) adalah persamaan polynomial. Untuk menyelesaikan
persamaan tersebut, diberikan nilai eigen dari matriks A. Atau, untuk sebarang nilai
eigen 𝜆 dari matriks A, himpunan {𝑣 ∈ 𝑅 𝑛 : (𝐴 − 𝐼) = 0} adalah ruang nul dari
matriks (𝐴 − 𝜆𝐼) ( Chen, 2008).
Untuk setiap pasangan nilai eigen dan vektor eigen (𝜆𝑖 , 𝜆𝑣 𝑖 ) maka ada suatu
𝑡
vektor solusi yang bersesuaian 𝑣 𝑖 𝑒 𝜆𝑖 untuk matriks A. Jika nilai eigennya adalah
𝑡
𝜆1 , 𝜆2 , … , 𝜆𝑛 dan semuanya berbeda, maka akan ada n solusi 𝑣 𝑖 𝑒 𝜆𝑖 (Boyce dan
DilPrima, 2001).
8. Jenis-Jenis Kestabilan Sistem Autonomous
Penentuan kestabilan titik kesetimbangan sistem autonomous dapat diperoleh
dengan melihat nilai-nilai eigennya, yaitu 𝜆𝑖 , 𝑖 = 1,2, … , 𝑛 yang diperoleh dari
persamaan karakteristik (2.15). Secara umum kestabilan titik kesetimbangan
mempunyai tiga perilaku sebagai berikut (Lara, 2009):
a. Stabil
Suatu titik kestabilan 𝑝∗ dari suatu sistem autonomous adalah stabil
jika:
 Setiap nilai eigen real adalah negatif (𝜆𝑖 < 0, 𝑖 = 1,2, . . , 𝑛)
 Setiap komponen nilai eigen kompleks, bagian realnya lebih
kecil atau sama dengan nol, 𝑅𝑒(𝜆𝑖 ) < 0, 𝑖 = 1,2, … . , 𝑛
b. Tidak Stabil
Suatu titik kestabilan 𝑝∗ dari suatu sistem autonomous tidak stabil jika:
 Setiap nilai eigen real adalah positif (𝜆𝑖 < 0, 𝑖 = 1,2, … , 𝑛)
 Setiap komponen nilai eigen kompleks, bagian realnya lebih
besar atau sama dengan nol, 𝑅𝑒(𝜆𝑖 ) < 0, 𝑖 = 1,2, … , 𝑛.
c. Pelana
Suatu titik kestabilan 𝑝∗ dari suatu sistem autonomous adalah pelana
jika perkalian dua nilai eigen adalah real negatif 0, untuk 𝑗 = 1,2, … , 𝑛.

9. Persamaan Diferensial dengan Waktu Tunda


Salah satu bagian dari persamaan diferensial yang masih dipertimbangkan
sampai sekarang adalah persamaan diferensial dengan waktu tunda atau delay
differential equations (DDEs). Waktu perlambatan sangat penting untuk
diperhitungkan dalam dunia pemodelan karena keputusan dibuat berdasarkan suatu
realita. Merupakan suatu hal yang penting untuk mempertimbangkan model
populasi dengan waktu tunda dimana laju pertumbuhan populasi tidak hanya
bergantung pada waktu t tetapi juga bergantung pada waktu (𝑡 − 𝜏) dimana 𝜏
adalah waktu perlambatan atau waktu tunda.
Misalkan x adalah variabel terikat, t adalah variabel bebas dan 𝜏 adalah
sebarang konstanta positif. Untuk sebarang persamaan yang mempunyai bentuk
𝐹(𝑥(𝑡), 𝑥 ′ (𝑡), 𝑥(𝑡 − 𝜏), 𝑥 ′ (𝑡 − 𝜏), 𝑡) = 0. (7)
Disebut sebagai DDE orde pertama dengan sebuah konstanta tunda. Jika
persamaan tidak tergabung dengan 𝑥′(𝑡 − 𝜏) maka disebut DDE yang
diperlambat. Jika persamaan tergabung dengan 𝑥′(𝑡 − 𝜏) maka disebut DDE
netral.
Penggunaan waktu tunda pada model persamaan diferensial biasa salah
satunya adalah pada model logistik. Model logistik atau model Verhulst adalah
sebuah model pertumbuhan populasi pada spesies tunggal. Model tersebut
dideskripsikan sebagai
𝑑𝑁(𝑡) 𝑁(𝑡)
= 𝑟𝑁(𝑡) (1 − ). (8)
𝑑𝑡 𝑘
Dimana r merupakan laju pertumbuhan populasi dan k adalah daya
kapasitas atau kemampuan menahan populasi agar tetap maksimum. Persamaan
diferensial biasa ini dapat dengan mudah diselesaikan secara analitik dengan
menggunakan metode pemisahan variabel. Kemudian jika dimasukkan waktu
tunda pada persamaan sebelumnya yang menggambarkan waktu antara
kehamilan dan kelahiran pada suatu populasi. Sehingga model logistik dengan
perlambatan waktu adalah
𝑑𝑁(𝑡) 𝑁(𝑡−𝜏)
= 𝑟𝑁(𝑡) (1 − ) (9)
𝑑𝑡 𝑘
dimana 𝜏 adalah sebuah konstanta yang positif merupakan persamaan
Hutchinton-Wright (Cain dan Reynolds, 2010).
Berikut gambar dari model logistik dengan perlambatan dan tanpa
perlambatan

Gambar 1. Grafik Model Logistik Gambar 2. Grafik Model Logistik dari


dari persamaan (8) dengan r=1, persamaan (9) dengan r=1, k=100, 𝜏 =
k=100 (Sumber : Olahan Matlab) 1.5 (Sumber : Olahan Matlab)
Berdasarkan kedua grafik tersebut dapat disimpulkan bahwa waktu
perlambatan pada kapasitas daya muat pada model logistik memberikan
pengaruh yang signifikan pada kestabilan model. Jika pada model logistik tanpa
perlambatan model akan stabil, sedangkan pada model dengan waktu
perlambatan model mengalami osilasi.
Bentuk kedua dari model logistik dengan perlambatan adalah dengan
memberikan perlambatan pada populasi N sehingga model logistik dengan
perlambatan menjadi
𝑑𝑁(𝑡) 𝑁(𝑡)
= 𝑟𝑁(𝑡 − 𝜏) (1 − ). (10)
𝑑𝑡 𝑘

Gambar 3. Grafik Model Logistik


dari persamaan (10) dengan r=1,
k=100, 𝜏 = 1.5 (Sumber : Olahan
Matlab)
Berdasarkan Gambar 1. dan Gambar 3. dapat disimpulkan bahwa waktu
perlambatan pada populasi model logistik tidak memberikan pengaruh yang
signifikan pada kestabilan model.
Bentuk ketiga dari model logistik dengan perlambatan adalah dengan
memberikan perlambatan pada populasi N maupun pada kapasitas daya muatnya
sehingga model logistik dengan perlambatan menjadi

𝑑𝑁(𝑡) 𝑁(𝑡−𝑡)
= 𝑟𝑁(𝑡 − 𝜏) (1 − ). (11)
𝑑𝑡 𝑘

Gambar 4. Grafik Model Logistik


dari persamaan (10) dengan r=1,
k=100, 𝜏 = 1.5 (Sumber : Olahan
Matlab)
Berdasarkan Gambar 1. dan Gambar 4. tersebut dapat disimpulkan bahwa
waktu perlambatan pada populasi dan kapasitas data muat pada model logistik
memberikan pengaruh yang signifikan pada kestabilan model, dimana apabila
diberikan waktu perlambatan maka model akan mengalami osilasi.
10. Fungsi Hill
Fungsi hill adalah suatu fungsi menurun yang banyak digunakan untuk
menggambarkan dinamika laju pertumbuhan sel. Dalam proses produksi sel
darah, laju perubahan sel nonproliferasi memasuki fase proliferasi 𝛽 berbentuk
𝜃𝑛
fungsi hill yang didefinisikan sebagai 𝛽(𝑆(𝑡)) = 𝛽0 𝜃𝑛+𝑆(𝑡)𝑛 , 𝛽0 , 𝜃 ≥ 0, 𝑛 > 1
dengan 𝛽0 , 𝜃, 𝑛 adalah konstanta sebarang. 𝛽0 adalah laju maksimal dari sel
nonproliferasi memasuki fase proliferasi, 𝜃 adalah nilai dimana 𝛽 mencapai
setengah dari nilai maksimumnya dan n adalah sensitivitas dari laju reintroduksi.
Koefisien n mendeskripsikan reaksi dari 𝛽 melawan stimulus dari luar, contohnya
adalah aksi dari faktor pertumbuhan, beberapa faktor pertumbuhan diketahui
memicu laju sel nonproliferasi memasuki fase proliferasi (Crauste, 2006).
11. Proses Produksi Sel Darah (Hemapoiesis) pada Manusia
Darah adalah cairan yang terdapat pada semua makhluk hidup (kecuali
tumbuhan) tingkat tinggi yang berfungsi mengirimkan zat-zat dan oksigen yang
dibutuhkan oleh jaringan tubuh, mengangkut bahan-bahan kimia hasil
metabolisme, dan juga sebagai pertahanan tubuh terhadap virus atau bakteri.
Istilah medis yang berkaitan dengan darah diawali dengan kata hemo- atau
hemato- yang berasal dari bahasa Yunani haima yang berarti darah. Darah
manusia adalah cairan di dalam tubuh yang berfungsi untuk mengangkut oksigen
yang diperlukan oleh sel-sel di seluruh tubuh. Darah juga menyuplai jaringan
tubuh dengan nutrisi, mengangkut zat-zat sisa metabolisme, dan mengandung
berbagai bahan penyusun sistem imun yang bertujuan mempertahankan tubuh dari
berbagai penyakit. Hormon-hormon dari sistem endokrin juga diedarkan melalui
darah. Jumlah unsur yang terbentuk di dalam darah dipertahankan pada suatu
jumlah yang tetap dengan pembentukan sel-sel baru.
Sel darah merah, putih dan keping darah di bentuk di hati dan limpa pada
janin dan di dalam sum-sum tulang setelah lahir. Proses pembentukan dan
perkembangan berbagai tipe sel darah dan elemen-elemen yang terbentuk lainnya
disebut Hematopoiesis (Stedman, 2001). Hematopoiesis mulai terjadi di sumsum
tulang dengan sel induk pluripotensial (artinya banyak kemungkinan atau
potensi). Sel induk adalah sumber semua sel darah. Sel-sel ini secara kontinu
memperbarui dirinya dan berdiferensiasi sepanjang hidup. Setelah beberapa tahap
diferensiasi, sel induk mulai bekerja membentuk hanya satu jenis sel darah. Sel ini
disebut sel progenitor dan tetap berada di sum-sum tulang dan kemudian
dipengaruhi faktor pertumbuhan spesifik, berdiferensiasi menjadi sel darah merah,
sel darah putih dan keping darah. Sel progenitor distimulasi untuk berproliferasi
dan berdiferensiasi oleh berbagai hormon dan agen produk lokal yang secara
kolektif disebut faktor pertumbuhan hematopoietik. Masing-masing sel progenitor
berespons hanya pada beberapa faktor pertumbuhan tersebut (Corwin, 2009).
Macam-macam teori yang menyatakan pembentukan darah antara lain:
1. Teori Unitaris atau Teori Monofiletik
Menyatakan bahwa semua sel darah, sel darah merah, sel darah
putih, maupun keping darah berasal dari sel induk, yaitu
hemositoblas.
2. Teori Dualistik atau Teori Difiletik
Menyatakan bahwa monosit dan limfosit berasal dari satu sel
induk (disebut limfoblas). Dan leukosit granular dan eritrosit berasal
dari mieloblas.
3. Teori Polifiletik
Menyatakan bahwa ada sel induk primitif untuk setiap jenis sel
darah.
Hematopoiesis diawali dengan perkembangan yang dilakukan oleh sel tunas
atau sel tunas hematopoietik pluripotensial (PHSC). Produk akhir dari proses ini
adalah sel darah merah yang matur yang berfungsi membawa oksigen ke seluruh
sel dan jaringan tubuh, sel darah putih yang matur yang berfungsi sebagai
pelindung dan memberikan imun terhadap infeksi dan keping-keping darah yang
berfungsi sebagai kontrol pembekuan darah setelah terjadi kecelakaan (Williams,
2004).
PHSCs mempunyai sifat yang khas yaitu: Self regenerate atau self renew
yaitu kemampuan untuk memperbarui atau meregenerasi dirinya sendiri. Sel tunas
mampu membuat salinan sel yang persis sama dengan dirinya melalui
pembelahan sel dan Differentiate yaitu kemampuan untuk berdiferensiasi menjadi
sel lain. Sel tunas mampu berkembang menjadi berbagai jenis sel yang khas
(spesifik) misalnya sel saraf, sel otot jantung, sel otot rangka dan lain-lain
(Jusuf,2008).

Gambar5. Diagram proses terjadinya


Hematopiesis (Jusuf:2008)
Para ahli biologi sel mengklasifikasikan sel tunas hematopoietik sebagai sel
proliferasi dan sel nonproliferasi. Sekitar 95% sel tunas pluripotensial berada pada
fase nonproliferasi. Sel-sel nonproliferasi dapat memasuki fase proliferasi secara
acak dengan laju tertentu atau juga dapat mengalami kematian karena terjadinya
suatu kerusakan pada sel. Sel proliferasi juga dapat berkurang karena terjadinya
apoptosis (Adimy, dkk, 2005).
METODE
Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah deskripsi kualitatif
mengenai sifa-sifat pada sel hematopoietik, teori dasar tetang proses hematopiesis.
Deskripsi kuantitatif tentang parameter-parameter yang akan digunakan pada
komputasi model matematika pada produksi sel darah. Jika tidak ada nilai parameter
yang tersedia maka dilakukan data proposional. Langkah selanjutnya adalah
membangun asumsi-asumsi sehingga ruang lingkup model berada pada koridor
permasalahn yang akan dicari solusinya. Diasumsikan bahwa model matematika pada
proses hematopoiesis berlaku pada kondisi normal. Kontruksi model pada proses
hematopoiesis didasari model Cruste. Model tersebut melibatkan populasi sel
proliferasi, poulasi sel nonproliferasi, populasi total sel hematopoietik, dan waktu
perlambatan untuk durasi sel nonproliferasi saat berada pada fase proliferasi.
Kemudian dilakukan penentuan parameter model. Parameter yang digunakan
bersumber dari (Adimy dkk). Yaitu 𝛾 = 0.1, 𝛿 = 0.05, 𝛽0 = 1.77, 𝜃 = 1, 𝜂 = 12.
Analisis kestabilan melalui persamaan karakteristik hasil linierisassi persamaan
diferensial biasa nonlinier pada produksi sel darah. Linierisasi dan persamaan
karakteristik diperlukan untuk mempermudah mencari solusi dari suatu sistem
nonlinear. Simulasi metode numerik untuk menyelesaikan model matematika pada
proses hematopoiesis menggunakan software matlab.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Deskripsi Model Matematika
Model matematika yang digunakan untuk memahami proses pembentukan
sel darah (hematopoiesis) meliputi populasi total sel tunas yang kemudian terbagi
menjadi dua jenis yaitu, sel proliferasi dan sel nonproliferasi. Variabel-variabel
yang digunakan pada model adalah:
𝑃(𝑡) = Populasi sel proliferasi pada waktu 𝑡
𝑁(𝑡) = Populasi sel noproliferasi pada waktu 𝑡
𝑆(𝑡) = Populasi total sel tunas hematopoietic pada waku 𝑡
𝛾 = Laju kematian sel proliferasi
𝛿 = Laju kematian sel noproliferasi
𝛽 = Laju perubahan sel nonproliferasi memasuki fase proliferasi
−𝛾𝜏
𝑒 = Laju perubahan sel proliferasi kembali memasuka fase
nonproliferasi
𝜏 = Lama waktu yang dihabiskan sel pada suatu siklus
𝑆(𝑡 − 𝜏) = Populasi total sel tunas pada waktu 𝑡 dengan perlambatan 𝜏
𝑁(𝑇 − 𝜏) = Populasi sel nonproliferasi pada waktu 𝑡 dengan perlambatan
𝜏
Sel tunas
Hematopoiesis (𝑆(𝑡)) Kematian alami (𝛾)

Sel tunas Proses Maturasi


Sel tunas proliferasi (𝜏)
nonproliferasi (𝑃(𝑡))
(𝑁(𝑡))
Reintroduksi sel 𝑒 −𝜏𝛾
Reintroduksi sel (𝛽)

Sel tunas Sel tunas


Kematian alami (𝛿)
hematopoietik nonproliferasi
(𝑆(𝑡 − 𝜏)) (𝑁(𝑡 − 𝜏))

Kematian alami
Perubahan sel

Gambar 6. Skema Populai Sel Hematopoietik

Awal pembentukan model matematika pada proses produksi sel darah


yaitu adanya populasi sel tunas hematopoietik (𝑆) yang terbagi menjadi dua jenis
yaitu, sel proliferasi (𝑃) dan sel nonproliferasi (𝑁).
Sel proliferasi adalah sel-sel tunas yang memiliki sifat aktif
berkembangbiak dan berdiferensiasi sampai menjadi darah yang matur. Pada
masa hidupnya, sel tersebut mengalami kematian karena ketidakmampuan untuk
memperbarui diri yang disebut apoptosis. Kematian tersebut terjadi dengan laju
konstan sebesar 𝛾. Sehingga laju perubahan populasi sel proliferasi karena adanya
kematian secara alami adalah
𝑑𝑃(𝑡)
= −𝛾𝑃(𝑡). (12)
𝑑𝑡
Populasi sel proliferasi bertambah karena adanya perubahan sel-sel
nonproliferasi yang memasuki fase proliferasi dengan laju nonlinier sebesar 𝛽.
Sehingga laju perubahan sel nonprolifersi terhaadap waktu adalah
𝑑𝑃(𝑡)
= 𝛽𝑁(𝑡). (13)
𝑑𝑡
Sel-sel nonproliferasi menghabiskan waktu sebesar 𝜏 ketika berada pada
fase proliferasi. Sehingga populasi sel nonprolifersai setelah mengalami fase
proliferasi mengalami perlambatan sebesar 𝑁(𝑡 − 𝜏). Ketika sudah melewati fase
prolifersi, sel akan bermitosis dan kembali menjadi sel nonproliferasi dengan laju
sebesar 𝑒 −𝛾𝜏 . Sehingga populasi sel proliferasi akan berkurang sebesar
𝑑𝑃(𝑡)
= −𝑒 −𝛾𝜏 𝛽𝑁(𝑡 − 𝜏). (14)
𝑑𝑡
dari persamaan (12), (13) dan (14) diperoleh model untuk populasi sel tunas
proliferasi, yaitu laju perubahan populasi sel proliferasi terhadap waktu memenuhi
persamaan
𝑑𝑃(𝑡)
= −𝛾𝑃(𝑡) + 𝛽𝑁(𝑡) − 𝑒 −𝛾𝜏 𝛽𝑁(𝑡 − 𝜏) . (15)
𝑑𝑡
Sel nonproliferasi adalah sel-sel tunas yang tidak aktif dan
berkembangbiak. Populasi sel nonproliferasi berkurang karena adanya kematian
secara alami dengan laju sebesar 𝛿. Sehingga laju perubahan populasi sel
nonproliferasi karena adanya kematian sel adalah
𝑑𝑁(𝑡)
= −𝛿𝑁(𝑡) . (16)
𝑑𝑡
Jika perubahan sel-sel nonproliferasi memasuki fase proliferasi maka akan
mengurang populasi sel nonproliferasi, sehingga populasi sel nonproliferasi
berkurang sebesar
𝑑𝑁(𝑡)
= −𝛽𝑁(𝑡) . (17)
𝑑𝑡
Pada akhir fase proliferasi, sel-sel akan bermitosis (membelah menjadi dua
sel baru) dan kembali menjadi sel nonproliferasi dengan laju 𝑒 −𝛾𝜏 sehingga
populasi sel nonproliferasi akan bertambah sebesar
𝑑𝑁(𝑡)
= 2𝑒 −𝛾𝜏 𝛽𝑁(𝑡 − 𝜏) (18)
𝑑𝑡
dari persamaan (16), (17), dan (18) diperoleh model untuk populasi sel tunas
nonproliferasi, bahwa laju perubahan populasi sel nonproliferasi terhadap waktu
memenuhi persamaan
𝑑𝑁(𝑡)
= −𝛿𝑁(𝑡) − 𝛽𝑁(𝑡) + 2𝑒 −𝛾𝜏 𝛽𝑁(𝑡 − 𝜏) . (19)
𝑑𝑡
Diasumsikan laju perubahan sel (𝛽) adalah suatu fungsi nonlinier yang
bergantung pada populasi sel tunas hematopoietik yang dinotasikan sebagi 𝑆
dimana 𝑆 = 𝑃 + 𝑁. Asumsi ini didasarkan pada fakta bahwa faktor yang
mempengaruhi sel memasuki fase proliferasi adalah hasil dari aksi seluruh sel.
Contohnya dengan adanya molekul-molekul yang masuk ke dalam sum-sum
tulang dan berinteraksi dengan sel tunas, maka hal itu dapat mengaktifasi atau
bahkan menghambat kapasitas proliferasi sel tunas. Oleh karena itu diasumsikan
bahwa 𝛽 = 𝛽(𝑆(𝑡)).
Sehingga persamaan (15) dan (19) dapat ditulis kembali sebagi sistem
persamaan:
𝑑𝑃(𝑡)
= −𝛾𝑃(𝑡) + 𝛽(𝑆(𝑡))𝑁(𝑡) − 𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(𝑆(𝑡 − 𝜏))𝑁(𝑡 − 𝜏)
𝑑𝑡
𝑑𝑁(𝑡)
= −𝛿𝑁(𝑡) − 𝛽(𝑆(𝑡))𝑁(𝑡) + 2𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(𝑆(𝑡 − 𝜏))𝑁(𝑡 − 𝜏) (20)
𝑑𝑡
Populasi total sel hematopoietik diperoleh dengan menjumlahkan sistem
(20) serta mengasumsikan laju kematian sel proliferasi (𝛾) dan laju kematian sel
nonproliferasi (𝛿) adalah berbeda, maka diperoleh

𝑑𝑃(𝑡)
= −𝛾𝑃(𝑡) + 𝛽(𝑆(𝑡))𝑁(𝑡) − 𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(𝑆(𝑡 − 𝜏))𝑁(𝑡 − 𝜏)
𝑑𝑡
𝑑𝑁(𝑡)
= −𝛿𝑁(𝑡) − 𝛽(𝑆(𝑡))𝑁(𝑡) + 2𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(𝑆(𝑡 − 𝜏))𝑁(𝑡 − 𝜏)
𝑑𝑡
𝑑(𝑃(𝑡)+𝑁(𝑡))
= −𝛾𝑃(𝑡) − 𝛿𝑁(𝑡) + 𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(𝑆(𝑡 − 𝜏))𝑁(𝑡 − 𝜏) (21)
𝑑𝑡
untuk setiap 𝑆 = 𝑃 + 𝑁 maka 𝑃 = 𝑆 − 𝑁 sehingga persamaan (21) menjadi
𝑑𝑆(𝑡)
= −𝛾(𝑆(𝑡) − 𝑁(𝑡)) − 𝛿𝑁(𝑡) + 𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(𝑆(𝑡 − 𝜏))𝑁(𝑡 − 𝜏)
𝑑𝑡
𝑑𝑆(𝑡)
= −𝛾𝑆(𝑡) + (𝛾 − 𝛿)𝑁(𝑡) + 𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(𝑆(𝑡 − 𝜏))𝑁(𝑡 − 𝜏)
𝑑𝑡
sehingga diperoleh model untuk populasi total sel tunas hematopoietik dan sel
nonproliferasi adalah
𝑑𝑆(𝑡)
= −𝛾𝑆(𝑡) + (𝛾 − 𝛿)𝑁(𝑡) + 𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(𝑆(𝑡 − 𝜏))𝑁(𝑡 − 𝜏)
𝑑𝑡
𝑑𝑁(𝑡)
= −𝛿𝑁(𝑡) − 𝛽(𝑆(𝑡))𝑁(𝑡) + 2𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(𝑆(𝑡 − 𝜏))𝑁(𝑡 − 𝜏). (22)
𝑑𝑡
2. Titik Kesetimbangan
Titik kesetimbangan untuk sistem (22) diperoleh dari mencari nilai 𝑆(𝑡)
𝑑𝑆(𝑡) 𝑑𝑁(𝑡)
dan 𝑁(𝑡) sedemikian sehingga = 0 dan = 0. Persamaan (22) dapat
𝑑𝑡 𝑑𝑡
ditulis menjadi
0 = −𝛾𝑆(𝑡) + (𝛾 − 𝛿)𝑁(𝑡) + 𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(𝑆(𝑡 − 𝜏))𝑁(𝑡 − 𝜏) (23a)
−𝛾𝜏
0 = −𝛿𝑁(𝑡) − 𝛽(𝑆(𝑡))𝑁(𝑡) + 2𝑒 𝛽(𝑆(𝑡 − 𝜏))𝑁(𝑡 − 𝜏) (23b)
∗ ∗
Misalkan 𝑆 dan 𝑁 adalah titik tetap dari sistem persamaan (23a) dan
(23b).
Dari persamaan (23a) diperoleh,
0 = −𝛾𝑆 ∗ + (𝛾 − 𝛿)𝑁 ∗ + 𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(𝑆 ∗ )𝑁 ∗
𝛾𝑆 ∗ = (𝛾 − 𝛿)𝑁 ∗ + 𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(𝑆 ∗ )𝑁 ∗
𝛾𝑆 ∗ = [(𝛾 − 𝛿) + 𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(𝑆 ∗ )]𝑁 ∗
𝛾𝑆 ∗
𝑁 ∗ = 𝛾−𝛿+𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(𝑆 ∗ ) (24)
Dari persamaan (23b) diperoleh,
0 = −𝛿𝑁 ∗ − 𝛽(𝑆 ∗ )𝑁 ∗ + 2𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(𝑆 ∗ )𝑁 ∗
𝛿𝑁 ∗ = −𝛽(𝑆 ∗ )𝑁 ∗ + 2𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(𝑆 ∗ )𝑁 ∗
𝛿𝑁 ∗ = 𝛽(𝑆 ∗ )𝑁 ∗ [2𝑒 −𝛾𝜏 − 1]
𝛿
𝛽(𝑆 ∗ ) = [2𝑒 −𝛾𝜏 −1] (25)
Subtitusi persamaan (25) ke persamaan (24) sehingga diperoleh
𝛾𝑆 ∗
𝑁∗ = 𝛿
𝛾−𝛿+𝑒 −𝛾𝜏
[2𝑒−𝛾𝜏 −1]
𝛾𝑆 ∗
𝑁 ∗ = (𝛾−𝛿)(2𝑒−𝛾𝜏 −1) 𝛿
+𝑒 −𝛾𝜏
(2𝑒−𝛾𝜏 −1) (2𝑒−𝛾𝜏 −1)
𝛾(2𝑒 −𝛾𝜏 −1)
𝑁 ∗ = (𝑒 −𝛾𝜏 (2𝛾−𝛿)−(𝛾−𝛿)) 𝑆 ∗
sehingga diperoleh titik kesetimbangan untuk sistem persamaan (22) adalah
𝛾(2𝑒 −𝛾𝜏 −1)
(𝑆 ∗ , 𝑁 ∗ ) = (𝑆 ∗ , 𝑆 ∗) (26)
(𝑒 −𝛾𝜏 (2𝛾−𝛿)−(𝛾−𝛿))
Titik tetap pertama yang memenuhi persamaan (26) adalah (0,0),
dinotasikan 𝐸 0 yang merupakan titik kesetimbangan trivial dari sistem
persamaan (23). Titik kesetimbangan ini mendeskripsikan adanya pemusnahan
populasi sel tunas hematoietik.
Kondisi perlu untuk memperoleh solusi yang nontrivial adalah
(2𝑒 −𝛾𝜏 − 1) > 0
2𝑒 −𝛾𝜏 > 1
ln(2𝑒 −𝛾𝜏 ) > ln(1)
ln(2) + ln(𝑒 −𝛾𝜏 ) > 0
ln(2) + (−𝛾𝜏) > 0
ln(2)
𝜏< 𝛾
Berdasarkan kondisi tersebut, karena 𝛽 adalah fungsi yang posotif,
menurun dan mempunyai limit 0, maka ada 𝛿 ∗ > 0 yang memenuhi
(2𝑒 −𝛾𝜏 − 1)𝛽(𝑆 ∗ ) = 𝛿 (27)
jika dan hanya jika
(2𝑒 −𝛾𝜏 − 1)𝛽(0) > 𝛿 (28)

Persamaan (27) dan (28) ekuivalen dengan


1 2𝛽(0)
𝛽(0) > 𝛿 dan 0 ≤ 𝜏 ≤ 𝜏̅ ≔ 𝛾 𝑙𝑛 |𝛿+𝛽(0)|
Teorema 1
“Apabila berlaku ketaksamaan (28) maka sistem persamaan (22) mempunyai
𝛾(2𝑒 −𝛾𝜏 −1)
tepat dua solusi yaitu 𝐸 0 = (0,0) dan (𝑆 ∗ , 𝑁 ∗ ) = (𝑆 ∗ , (𝑒 −𝛾𝜏 (2𝛾−𝛿)−(𝛾−𝛿)) 𝑆 ∗ )
dimana 𝑆 ∗ adalah solusi dari persamaan (16). Dan jika (2𝑒 −𝛾𝜏 − 1)𝛽(0) ≤ 𝛿
maka sistem (22) hanya mempunyai satu solusi trivial saja.”
Bukti:
i. Apabila berlaku (2𝑒 −𝛾𝜏 − 1)𝛽(0) > 𝛿, sehingga
(2𝑒 −𝛾𝜏 − 1)𝛽(0) − 𝛿 > 0
(2𝑒 −𝛾𝜏 − 1)𝛽(0) > 0 maka (2𝑒 −𝛾𝜏 − 1) > 0, sehingga diperoleh
kestabilan dari persamaan (22) adalah 𝐸 0 = (0,0) dan
∗ ∗ ∗ ∗
𝛾(2𝑒 −𝛾𝜏 − 1)
𝐸 = (𝑆 , 𝑁 ) = (𝑆 , −𝛾𝜏 𝑆 ∗)
(𝑒 (2𝛾 − 𝛿) − (𝛾 − 𝛿))
ii. Apabila berlaku (2𝑒 −𝛾𝜏 − 1)𝛽(0) = 𝛿, sehingga
(2𝑒 −𝛾𝜏 − 1)𝛽(0) − 𝛿 = 0
Kondisi ini mengakibatkan (2𝑒 −𝛾𝜏 − 1) = 0, sehingga apabila
disubtitusikan ke persamaan (26) diperoleh titik kestabilan adalah 𝐸 0 =
(0,0).
iii. Apabila berlaku (2𝑒 −𝛾𝜏 − 1)𝛽(0) < 𝛿, karena 𝛽 adalah fungsi positif,
maka untuk memenuhi kondisi tersebut (2𝑒 −𝛾𝜏 − 1) < 0. sehingga jika
kondisi (2𝑒 −𝛾𝜏 − 1) < 0 disubtitusikan ke persamaan (26) diperoleh nilai
kestabilan negative. Karena populasi tidak mungkin bernilai negative,
maka titik tetap dengan konsdisi (2𝑒 −𝛾𝜏 − 1)𝛽(0) < 𝛿 tidak memenuhi
sistem persamaan (22).
3. Linierisasi
Pada bagian sebelumnya telah diperoleh titik kesetimbangan dari populasi
total sel hamatopoietik dan sel nonproliferasi. Diperoleh dua titik kesetimbangan
yaitu (𝑆 ∗ , 𝑁 ∗ ) = (0,0). Titi-titik kesetimbangan ini menunjukkan bahwa adanya
kepunahan dari populasi sel tunas hematopoietik. Titik-titik kesetimbangan yang
𝛾(2𝑒 −𝛾𝜏 −1)
kedua diperoleh adalah (𝑆 ∗ , 𝑁 ∗ ) = (𝑆 ∗ , 𝑆 ∗ ). Untuk
(𝑒 −𝛾𝜏 (2𝛾−𝛿)−(𝛾−𝛿))
memperoleh analisi kestabilan pada titik-titik kesetimbangan tersebut dilakukan
dengan mengalisis kestabilan melalui linierisasi persamaan (22) dengan titik
kesetimbangan (𝑆 ∗ , 𝑁 ∗ ).
Linierisasi adalah proses aproksimasi persamaan diferensial nonlinier
dengan persamaan diferensial linier. Proses ini dilakukan dengan cara
menghilangkan bagian nonlinier dari persamaan diferensial nonlinier dengan
mengunakan deret taylor disekitar titik kesetimbangan (𝑆 ∗ , 𝑁 ∗ ).
Definisi fungsi untuk masing-masing persamaan dai model populasi sel
tunas hematopoietik adalah
𝑑𝑆(𝑡)
= −𝛾𝑆(𝑡) + (𝛾 − 𝛿)𝑁(𝑡) + 𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(𝑆(𝑡 − 𝜏))𝑁(𝑡 − 𝜏) ≡ 𝐹(𝑆, 𝑁)
𝑑𝑡 (29)
𝑑𝑁(𝑡) −𝛾𝜏
= −𝛿𝑁(𝑡) − 𝛽(𝑆(𝑡))𝑁(𝑡) + 2𝑒 𝛽(𝑆(𝑡 − 𝜏))𝑁(𝑡 − 𝜏) ≡ 𝐺(𝑆, 𝑁)
𝑑𝑡

deret Taylor dari persamaan (29) adalah


𝑑𝑆(𝑡) 𝜕𝐹(𝑆 ∗ ,𝑁 ∗ ) 𝜕𝐹(𝑆 ∗ ,𝑁 ∗ )
= 𝐹(𝑆 ∗ , 𝑁 ∗ ) + (𝑆(𝑡) − 𝑆 ∗ ) + (𝑁(𝑡) − 𝑁 ∗ )
𝑑𝑡 𝜕𝑆 𝜕𝑁 (30)
𝑑𝑁(𝑡) 𝜕𝐺(𝑆 ∗ ,𝑁∗ ) 𝜕𝐺(𝑆 ∗ ,𝑁 ∗ )
= 𝐺(𝑆 ∗ , 𝑁 ∗ ) + (𝑆(𝑡) − 𝑆 ∗ ) + (𝑁(𝑡) − 𝑁 ∗ )
𝑑𝑡 𝜕𝑆 𝜕𝑁

𝑆(𝑡), 𝑁(𝑡) adalah deviasi nilai titik kesetimbangan. dimana,


𝑆(𝑡) = 𝑆(𝑡) − 𝑆 ∗ 𝑁(𝑡) = 𝑁(𝑡) − 𝑆 ∗
Pada keadaan setimbangan 𝐹(𝑆 ∗ , 𝑁 ∗ ) = 𝐺(𝑆 ∗ , 𝑁 ∗ ) = 0 sehingga
persamaan (30) menjadi

𝑑𝑆(𝑡) 𝜕𝐹(𝑆 ∗ ,𝑁 ∗ ) 𝜕𝐹(𝑆 ∗ ,𝑁∗ )


= 𝑆(𝑡) + 𝑁(𝑡)
𝑑𝑡 𝜕𝑆 𝜕𝑁
𝑑𝑁(𝑡) 𝜕𝐺(𝑆 ∗ ,𝑁 ∗ ) 𝜕𝐺(𝑆 ∗ ,𝑁∗ ) (31)
= 𝑆(𝑡) + 𝑁(𝑡)
𝑑𝑡 𝜕𝑆 𝜕𝑁
Persamaan (31) adalah persamaan yang terlinierisasi. Kemudian
disubtitusikan fungsi 𝐹(𝑆, 𝑁) dan 𝐺(𝑆, 𝑁) ke persamaan (31) sehingga diperoleh
persamaan
𝑑𝑆(𝑡) 𝜕𝐹(𝑆 ∗ ,𝑁 ∗ ) 𝜕𝐹(𝑆 ∗ ,𝑁∗ )
= 𝑆(𝑡) + 𝑁(𝑡)
𝑑𝑡 𝜕𝑆 𝜕𝑁
𝑑𝑆(𝑡) 𝜕(−𝛾𝑆(𝑡)+(𝛾−𝛿)𝑁(𝑡)+𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(𝑆(𝑡−𝜏))𝑁(𝑡−𝜏))
= 𝑆(𝑡) +
𝑑𝑡 𝜕𝑆
𝜕(−𝛾𝑆(𝑡)+(𝛾−𝛿)𝑁(𝑡)+𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(𝑆(𝑡−𝜏))𝑁(𝑡−𝜏))
𝜕𝑁
𝑁(𝑡)
𝑑𝑆(𝑡)
= −𝛾𝑆(𝑡) + (𝛾 − 𝛿)𝑁(𝑡) + 𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(𝑆 ∗ )𝑁(𝑡 − 𝜏) + 𝑒 −𝛾𝜏 𝑁 ∗ 𝛽′(𝑆 ∗ )𝑆(𝑡 − 𝜏)
𝑑𝑡
(21)
𝑑𝑁(𝑡) 𝜕𝐺(𝑆 ∗ ,𝑁∗ ) 𝜕𝐺(𝑆 ∗ ,𝑁∗ )
= 𝑆(𝑡) + 𝑁(𝑡)
𝑑𝑡 𝜕𝑆 𝜕𝑁
𝑑𝑁(𝑡) 𝜕(−𝛿𝑁(𝑡)−𝛽(𝑆(𝑡))𝑁(𝑡)+2𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(𝑆(𝑡−𝜏))𝑁(𝑡−𝜏))
𝑑𝑡
= 𝜕𝑆
𝑆(𝑡) +
𝜕(−𝛿𝑁(𝑡)−𝛽(𝑆(𝑡))𝑁(𝑡)+2𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(𝑆(𝑡−𝜏))𝑁(𝑡−𝜏))
𝑁(𝑡)
𝜕𝑁
𝑑𝑁(𝑡) ∗ ))𝑁(𝑡)
= −(𝛿 + 𝛽(𝑆 − 𝑁 ∗ 𝛽 ′ (𝑆 ∗ )𝑆(𝑡) + 2𝑒 −𝛾𝜏 (𝛽(𝑆 ∗ )𝑁(𝑡 − 𝜏) + (32)
𝑑𝑡
∗ ′ ∗
𝑁 𝛽 (𝑆 )𝑆(𝑡 − 𝜏)
Persamaan (31) dan (32) merupakan persamaan yang sudah dilinierkan
dan dapat ditulis kembali sebagi suatu sitem persamaan
𝑑𝑆(𝑡)
= −𝛾𝑆(𝑡) + (𝛾 − 𝛿)𝑁(𝑡) + 𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(𝑆 ∗ )𝑁(𝑡 − 𝜏) + 𝑒 −𝛾𝜏 𝑁 ∗ 𝛽′(𝑆 ∗ )𝑆(𝑡 − 𝜏) (33)
𝑑𝑡
𝑑𝑁(𝑡)
𝑑𝑡
= −(𝛿 + 𝛽(𝑆 ∗ ))𝑁(𝑡) − 𝑁 ∗ 𝛽 ′ (𝑆 ∗ )𝑆(𝑡) + 2𝑒 −𝛾𝜏 (𝛽(𝑆 ∗ )𝑁(𝑡 − 𝜏) + 𝑁 ∗ 𝛽 ′ (𝑆 ∗ )𝑆(𝑡 −
𝜏)
4. Persamaan karakteristik
Pada bagian sebelumnya telah diperoleh persamaan hasil linierisasi sitem
persamaan nonlinier populasi sel tunas hematopoietik.
Selanjutnya sistem persamaan (33) dapat ditulis dalam bentuk matriks
𝑑𝑆(𝑡)
𝑑𝑡 𝑆(𝑡) 𝑆(𝑡 − 𝜏)
(𝑑𝑁(𝑡) ) = 𝐴1 ( ) + 𝐴2 ( ) (34)
𝑁(𝑡) 𝑁(𝑡 − 𝜏)
𝑑𝑡
dimana
−𝛾 (𝛾 − 𝛿) 𝑁 ∗ 𝛽 ′ (𝑆 ∗ ) 𝛽(𝑆 ∗ )
𝐴1 = ( ∗ ))) dan 𝐴2 = ( ∗ ′ (𝑆 ∗ ) )
−𝑁 𝛽 ∗ ′ (𝑆 ∗ )
−(𝛿 + 𝛽(𝑆 2𝑁 𝛽 2𝛽(𝑆 ∗ )
misalkan 𝑁 ∗ 𝛽 ′ (𝑆 ∗ ) = 𝛼 maka 𝐴1 dan 𝐴2 dapat ditulis menjadi
−𝛾 (𝛾 − 𝛿) 𝛼 𝛽(𝑆 ∗ )
𝐴1 = ( ) dan 𝐴2 = ( )
−𝛼 −(𝛿 + 𝛽(𝑆 ∗ )) 2𝛼 2𝛽(𝑆 ∗ )
misalkan solusi dari persamaan (33) berbentuk 𝑆(𝑡) = 𝐶1 𝑒 𝜆𝑡 dan 𝑁(𝑡) = 𝐶2 𝑒 𝜆𝑡
dangan 𝐶1 dan 𝐶2 adalah sebarang konstanta. Kemudian disubtitusikan 𝑆(𝑡) =
𝐶1 𝑒 𝜆𝑡 dan 𝑁(𝑡) = 𝐶2 𝑒 𝜆𝑡 ke persamaan (34) sehingga diperoleh
𝑑𝐶1 𝑒 𝜆𝑡
𝑑𝑡 𝐶1 𝑒 𝜆𝑡 𝐶1 𝑒 𝜆𝑡 𝑒 −𝜆𝜏
= 𝐴 1 ( ) + 𝐴 2 ( )
𝑑𝐶2 𝑒 𝜆𝑡 𝐶2 𝑒 𝜆𝑡 𝐶2 𝑒 𝜆𝑡 𝑒 −𝜆𝜏
( 𝑑𝑡 )
𝜆𝐶 𝑒 𝜆𝑡 𝐶 𝑒 𝜆𝑡 𝐶 𝑒 𝜆𝑡 𝑒 −𝜆𝜏
( 1 𝜆𝑡 ) = 𝐴1 ( 1 𝜆𝑡 ) + 𝐴2 ( 1 𝜆𝑡 −𝜆𝜏 )
𝜆𝐶2 𝑒 𝐶2 𝑒 𝐶2 𝑒 𝑒
𝐶 𝐶 𝐶
𝜆𝑒 𝜆𝑡 ( 1 ) = 𝐴1 𝑒 𝜆𝑡 ( 1 ) + 𝐴2 𝑒 𝜆𝑡 𝑒 −𝜆𝜏 ( 1 )
𝐶2 𝐶2 𝐶2
𝐶1 𝐶1 𝐶
𝜆 ( ) = 𝐴1 ( ) + 𝐴2 𝑒 −𝜆𝜏 ( 1 )
𝐶2 𝐶2 𝐶2
𝐶 0
(𝜆 − 𝐴1 − 𝐴2 𝑒 −𝜆𝜏 ) ( 1 ) = ( )
𝐶2 0
−𝜆𝜏
misalkan Matriks 𝐴 = (𝜆 − 𝐴1 − 𝐴2 𝑒 ) maka diperoleh
𝐶 0
𝐴( 1 ) = ( ) (35)
𝐶2 0
jika
|𝐴| = |𝑎 𝑏 | ≠ 0
𝑐 𝑑
Maka 𝐴 mempunyai invers, yaitu 𝐴−1 sehingga apabila kedua ruas
dikalikan dengan invers (𝐴−1 ), maka dari (35) diperoleh
𝐶 0
𝐴−1 𝐴 ( 1 ) = 𝐴−1 ( )
𝐶2 0
akibatnya
𝐶 0
𝐼 ( 1 ) = ( ).
𝐶2 0
Jadi diperoleh 𝑆(𝑡) = 𝑁(𝑡) = 0 adalah solusi yang trivial. Untuk
𝐶 0
mendapatkan solusi yang nontrivial ( 1 ) ≠ ( ) maka determinan matriks 𝐴
𝐶2 0
harus nol atau dapat ditulis
|𝐴| = |𝑎 𝑏 | = 0
𝑐 𝑑
berdasarkan definisi matriks 𝐴, maka diperoleh
|(𝜆 − 𝐴1 − 𝐴2 𝑒 −𝜆𝜏 )| = 0
𝜆 0 −𝛾 (𝛾 − 𝛿) −𝜆𝜏 −𝛾𝜏 𝛼 𝛽(𝑆 ∗ )
|( )−( ∗ ))) − 𝑒 𝑒 ( )| = 0
0 𝜆 −𝛼 −(𝛿 + 𝛽(𝑆 2𝛼 2𝛽(𝑆 ∗ )
𝜆 + 𝛾 − 𝑒 −𝜆𝜏 𝑒 −𝛾𝜏 𝛼 𝛿 − 𝛾 − 𝑒 −𝜆𝜏 𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(𝑆 ∗ )
|( )| = 0
𝛼 − 2𝑒 −𝜆𝜏 𝑒 −𝛾𝜏 𝛼 𝜆 + 𝛿 + 𝛽(𝑆 ∗ ) − 2𝑒 −𝛾𝜏 𝑒 −𝜆𝜏 𝛽(𝑆 ∗ )
[(𝜆 + 𝛾 − 𝑒 −𝜆𝜏 𝑒 −𝛾𝜏 𝛼) (𝜆 + 𝛿 + 𝛽(𝑆 ∗ )] − 2𝑒 −𝜆𝜏 𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(𝑆 ∗ ))] − [(𝛿 − 𝛾 −
𝑒 −𝜆𝜏 𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(𝑆 ∗ )) (𝛼 − 2𝑒 −𝜆𝜏 𝑒 −𝛾𝜏 𝛼)] = 0 (36)
Persamaan (36) adalah persamaan karakteristik dari sistem (22).
5. Analisis Kestabilan Titik Tetap Trivial
Salah satu titik kesetimbangan sistem persamaan (22) adalah
kesetimbangan trivial yaitu 𝐸 0 = (0,0). Pada bagian ini, akan dianalisis
kestabilan untuk titik kesetimbangan.
Teorema 2
“Pada titik kesetimbangan trivial, sistem persamaan (22) adalah
i. Stabil asimtotik lokal jika (2𝑒 −𝛾𝜏 − 1)𝛽(0) < 𝛿
ii. Stabil jika (2𝑒 −𝛾𝜏 − 1)𝛽(0) = 𝛿
iii. Tidak stabil jika (2𝑒 −𝛾𝜏 − 1)𝛽(0) > 𝛿”.
Bukti:
Persamaan karakteristik dari sistem persamaan (22) adalah
[(𝜆 + 𝛾 − 𝑒 −𝜆𝜏 𝑒 −𝛾𝜏 𝛼) (𝜆 + 𝛿 + 𝛽(𝑆 ∗ ) − 2𝑒 −𝜆𝜏 𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(𝑆 ∗ ))]
− [(𝛿 − 𝛾 − 𝑒 −𝜆𝜏 𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(𝑆 ∗ )) (𝛼 − 2𝑒 −𝜆𝜏 𝑒 −𝛾𝜏 𝛼)] = 0
(𝜆 + 𝛾)(𝜆 + 𝛿 + 𝛽(𝑆 ∗ ) − 2𝑒 −𝜆𝜏 𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(𝑆 ∗ ) − 𝑒 −𝜆𝜏 𝑒 −𝛾𝜏 𝛼) + 𝛼(𝑒 −𝜆𝜏 𝑒 −𝛾𝜏 𝛿 −
𝛿 + 𝛾 − 𝑒 −𝜆𝜏 𝑒 −𝛾𝜏 𝛾) = 0 (37)
Untuk titik kesetimbangan 𝐸 = (𝑆 , 𝑁 ) = (0,0), maka 𝛼 = 𝑁 𝛽 (𝑆 ∗ ) =
0 ∗ ∗ ∗ ′

0, sehingga persamaan (37) menjadi


(𝜆 + 𝛾) (𝜆 + 𝛿 + 𝛽(0) − 2𝑒 −𝜆𝜏 𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(0)) = 0 (38)
(𝜆 + 𝛾) = 0 atau (𝜆 + 𝛿 + 𝛽(0) − 2𝑒 −𝜆𝜏 𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(0)) = 0
Dari persamaan (38) diperoleh akar karakteristik yang bernilai riil negative
𝜆 = −𝛾 dan akar dari
(𝜆 + 𝛿 + 𝛽(0) − 2𝑒 −𝜆𝜏 𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(0)) = 0 (39)
Persamaan (39) mempunyai satu solusi akar karakteristik yang bernilai riil
misal 𝜆0 dan misalkan ada 𝜆 yang merupakan akar-akar lain dari persamaan (39)
dimana 𝛾 ≠ 𝜆0 yang memenuhi 𝑅𝑒(𝜆) < 𝜆0 . Misal diberikan suatu pemetaan
𝜆 ↦ 𝜆 + 𝛿 + 𝛽(0) − 2𝑒 −𝜆𝜏 𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(0) = 0 sebagai suatu fungsi dari 𝜆 bernilai
riil.
Diasumsikan bahwa 𝜆 = 𝜇 + 𝑖𝜔 ≠ 𝜆0 yang memenuhi persamaan (39).
Sehingga persamaan (39) menjadi
𝜇 + 𝑖𝜔 + 𝛿 + 𝛽(0) − 2𝑒 −(𝜇+𝑖𝜔)𝜏 𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(0) = 0
𝜇 + 𝑖𝜔 + 𝛿 + 𝛽(0) − 2𝑒 −𝜇𝜏 𝑒 −𝑖𝜔𝜏 𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(0) = 0
dengan menggukan rumus euler 𝑒 −𝑖𝜔𝜏 = cos𝜔𝜏 − 𝑖 sin𝜔𝜏 maka diperoleh
𝜇 + 𝑖𝜔 + 𝛿 + 𝛽(0) − 2𝑒 −𝜇𝜏 𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(0)(cos𝜔𝜏 − 𝑖 sin𝜔𝜏) = 0 (40)
dan dengan mengambil bagian riil dari persamaan (40) diperoleh
𝜇 + 𝛿 + 𝛽(0) − 2𝑒 −𝜇𝜏 𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(0)(cos𝜔𝜏) = 0

selain itu, untuk akar riil, juga diperoleh


𝜆0 + 𝛿 + 𝛽(0) − 2𝑒 −𝜇𝜏 𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(0) = 0
sehingga diperoleh persamaan untuk akar yang riil adalah
𝜇 − 𝜆0 = 2𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(0)(𝑒 −𝜇𝜏 cos𝜔𝜏−𝑒 −𝜆0 𝜏 ) = 0
Andaikan bahwa 𝜇 > 𝜆0 maka 2𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(0)(𝑒 −𝜇𝜏 cos𝜔𝜏−𝑒 −𝜆0 𝜏 ) < 0
sehingga kontradiksi dengan yang diketahui bahwa 𝜇 ≤ 𝜆0 . Sekarang jika 𝜇 =
𝜆0 maka diperoleh
𝜆0 − 𝜆0 = 2𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(0)(𝑒 −𝜆0𝜏 cos𝜔𝜏−𝑒 −𝜆0 𝜏 )
0 = 𝑒 −𝜇𝜏 cos𝜔𝜏−𝑒 −𝜆0 𝜏
cos𝜔𝜏 = 1 ∀𝜏 ≥ 0
Hal ini mengakibatkan 𝑠𝑖𝑛𝜔𝜏 = 0. Sekarang berdasarkan beagian
imaginer dari persamaan (40) diperoleh 𝜔 + 2𝑒 −𝜇𝜏 𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(0)𝑠𝑖𝑛𝜔𝜏 = 0.
Sehingga diperoleh 𝜔 = 0 dan 𝜆 = 𝜆0 , kontradiksi dengan yang diketahui bahwa
𝜆 ≠ 𝜆0 maka pengandaian salah dan 𝜇 < 𝜆0 . Sehingga akar riil 𝜆0 akan bernilai
negatif jika (2𝑒 −𝛾𝜏 − 1)𝛽(0) < 𝛿. Dengan kondisi ini, akan diperoleh akar-akar
riil dari sistem persamaan (22) bernilai negative sehingga 𝐸 0 stabil asimtotik.
Apabila (2𝑒 −𝛾𝜏 − 1)𝛽(0) = 𝛿 maka diperoleh akar persamaan (40)
bernilai nol. sehingga akar-akar persamaan (22) adalah 𝜆 − 𝛾 atau 𝜆 = 0, maka
𝐸 0 stabil.
Apabila (2𝑒 −𝛾𝜏 − 1)𝛽(0) > 𝛿 maka akar persamaan (39) akan bernilai
riil positif. Dengan kondisi ini, akan diperoleh salah satu akar riil dari persamaan
(22) bernilai positif 𝐸 0 tidak stabil.
Sebagai contoh kasus untuk kesetimbangan trivial, akan digunakan
berbagai kondisi pada teorema 1. Dalam makalah ini, digunakan nilai parameter
untuk persamaan (22) adalah
𝛾 = 0.1 𝛿 = 0.05 𝛽0 = 1.77
𝜃 = 1 𝑛 = 12 (41)
Parameter-parameter tersebut mendeskripsikan bahwa sel tunas
proliferasi berkurang seesar 10% perhari karena adanya kematian secara alami
atau desebut apoptosis sedangkan sel tunas nonproliferasi berkurang sebesar 5%
perhari. Laju maksimal sel memasuki fase proliferasi adalah sebesar 1.77 dan
sensitivitas laju reintroduksi sebesar 12.
Berdasarkan teorema 2 maka pada titik kesetimbangan trivial, sistem
persamaan (22) adalah
1 2𝛽(0)
i. Stabil asimtotik lokal jika 𝜏 > 𝛾 𝑙𝑛 𝛽(0)+𝛿
1 2𝛽(0)
ii. Stabil jika 𝜏 = 𝛾 𝑙𝑛 𝛽(0)+𝛿
1 2𝛽(0)
iii. Tidak stabil jika 𝜏 < 𝛾 𝑙𝑛 𝛽(0)+𝛿
Pada persamaan karakteristik dari sistm (22) pada titik kesetimbangan
trivial adalah persamaan (38), sehingga diperoleh akar-akar persamaan (38)
adalah
𝜆 = −𝛾 atau 𝜆 = −𝛿 − 𝛽(0) + 2𝑒 −𝜆𝜏 𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(0) (42)
salah satu akarnya adalah 𝜆 = −𝛾 = −0.2. Akar yang lain adalah akar pada
persamaan
𝜆 = −𝛿 − 𝛽(0) + 2𝑒 −𝜆𝜏 𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(0) = −𝛿 − 𝛽(0) + 2𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(0) (43)
dengan menggunakan parameter yang diberikan pada persamaan (41) diperoleh
1 2𝛽(0)
𝑙𝑛 𝛽(0)+𝛿 = 6.6529.
𝛾
Kondisi 1 pilih 𝜏 = 3.33 maka diperoleh akar persamaan (43) adalah
𝜆 = −0.0086, sehingga pada kondisi ini titik kesetimbangan trivial adalah stabil
asimtotik lokal.
Kondisi 2 pilih 𝜏 = 6.6529 maka diperoleh akar persamaan (43) adalah
𝜆 = 0, sehingga pada kondisi ini titik kesetimbangan trivial adalah stabil.
Kondisi 3 pilih 𝜏 = 6.5 maka diperoleh akar persamaan (43) adalah 𝜆 =
0.028, sehingga pada kondisi ini titik kesetimbangan trivial adalah tidak stabil.
6. Analisis Kestabilan Titik Tetap Nontrivial
Titik tetap nontrivial sistem persamaan (22) adalah persamaan (26). dari
persamaan (20) dan (25) diperoleh
𝛿
𝛽(𝑆 ∗ ) = −𝛾𝜏
(2𝑒 − 1)
𝑛
𝜃 𝛿
𝛽0 = 𝑛 ∗ 𝑛
= −𝛾𝜏
𝜃 + (𝑆 ) 2𝑒 −1
1
∗ (2𝑒 −𝛾𝜏 −1)𝛽0 𝑛
𝑆 = 𝜃[ − 1] (44)
𝛿
sehingga
1
𝛾(2𝑒 −𝛾𝜏 − 1) (2𝑒 −𝛾𝜏 − 1)𝛽0 𝑛
𝑁 ∗ = 𝜃 [ −𝛾𝜏 ][ − 1]
(𝑒 (2𝛾 − 𝛿) − (𝛾 − 𝛿) 𝛿
Berdasarkan Teorema 1 untuk menjamin bahwa diperoleh solusi yang
nontrivial adalah berlakunya kondisi (28) yang ekuivalen dengan
1 2𝛽(0)
𝛽(0) > 0 dan 0 ≤ 𝜏 ≤ 𝜏̅ ≔ 𝛾 𝑙𝑛 |𝛽(0)+𝛿| (45)
Teorema 3
“Jika 𝛿 < 𝛽(0) dan 𝜏 = 0, maka titik kesetimbangan nontrivial adalah stabil
asimtotik lokal.”
Bukti :
Persamaan karakteristik dari sistem persamaan (22) adalah persamaan
(36), jika 𝜏 = 0, maka persamaan (36) menjadi
(𝜆 + 𝛾)(𝜆 + 𝛿 − 𝛽(𝑆 ∗ ) − 𝛼) (46)
maka akar – akar dari persamaan (46) adalah
𝜆 = −𝛾 atau 𝜆 = −𝛿 + 𝛽(𝑆 ∗ ) + 𝛼
karena 𝛽 adalah fungsi yang turun, maka untuk menjamin akar 𝜆 = −𝛿 +
𝛽(𝑆 ∗ ) + 𝛼 bernilai riil negatif, maka 𝛿 < 𝛽(0).
Sekarang untuk 𝜏 ≠ 0,
Misalkan akar dari persamaan karakteristik (36) adalah 𝜆 = 𝑖𝜔 sehingga
persamaan (36) menjadi
(𝑖𝜔)2 + 𝛿 + 𝛾 + 𝛽(𝑆 ∗ ) − 2𝑒 −𝑖𝜔𝜏 𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(𝑆 ∗ ) − 𝛼𝑒 −𝑖𝜔𝜏 𝑒 −𝛾𝜏 )𝑖𝜔 +
𝛼(𝑒 −𝑖𝜔𝜏 𝑒 −𝛾𝜏 𝛿 − 𝑒 −𝑖𝜔𝜏 𝑒 −𝛾𝜏 𝛾 + 𝛾 − 𝛿) + 𝛾(𝛿 + 𝛽(𝑆 ∗ ) −
2𝑒 −𝑖𝜔𝜏 𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(𝑆 ∗ )) = 0
dengan menggunakan rumus Euler 𝑒 −𝑖𝜔𝑡 = cos 𝜔𝜏 − 𝑖 sin 𝜔𝜏 maka diperoleh
− 𝜔2 + ( 𝛿 + 𝛾 + 𝛽(𝑆 ∗ ) − 2(cos 𝜔𝜏 − 𝑖 sin 𝜔𝜏 )𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(𝑆 ∗ )
− 𝛼(cos 𝜔𝜏 − 𝑖 sin 𝜔𝜏 )𝑒 −𝛾𝜏 ) 𝑖𝜔
+ 𝛼 ((cos 𝜔𝜏 − 𝑖 sin 𝜔𝜏 )𝑒 −𝛾𝜏 𝛿
− (cos 𝜔𝜏 − 𝑖 sin 𝜔𝜏 )𝑒 −𝛾𝜏 𝛾 + 𝛾 − 𝛿)
+ 𝛾(𝛿 + 𝛽(𝑆 ∗ ) − 2(cos 𝜔𝜏 − 𝑖 sin 𝜔𝜏 )𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(𝑆 ∗ )) = 0
dengan memisahkan bagian real dan imaginernya maka diperoleh
− 𝜔2 + 𝛼𝛾 − 𝛼𝛿 + 𝛾𝛿 + 𝛾𝛽(𝑆 ∗ ) = (2𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(𝑆 ∗ ) + 𝛼𝑒 −𝛾𝜏 )𝜔 sin 𝜔𝜏 −
( 𝛼𝑒 −𝛾𝜏 𝛿 − 𝛼𝑒 −𝛾𝜏 𝛾 − 2𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(𝑆 ∗ )𝛾 ) cos𝜔𝜏

( 𝛿 + 𝛾 + 𝛽(𝑆 ∗ )) 𝑖𝜔 = ( (2𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(𝑆 ∗ ) + 𝛼𝑒 −𝛾𝜏 )𝜔 cos 𝜔𝜏 +


( 𝛼𝑒 −𝛾𝜏 𝛿 − 𝛼𝑒 −𝛾𝜏 𝛾 − 2𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(𝑆 ∗ )𝛾 ) sin 𝜔𝜏
masing – masing bagian riil dan imaginer dikuadratkan kedua ruas
2
(− 𝜔2 + 𝛼𝛾 − 𝛼𝛿 + 𝛾𝛿 + 𝛾𝛽(𝑆 ∗ )) = (2𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(𝑆 ∗ ) +
𝛼𝑒 −𝛾𝜏 )2 𝜔2 sin2 𝜔𝜏 − ( 𝛼𝑒 −𝛾𝜏 𝛿 − 𝛼𝑒 −𝛾𝜏 𝛾 − 2𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(𝑆 ∗ )𝛾 )2 cos 2 𝜔𝜏

2
−( 𝛿 + 𝛾 + 𝛽(𝑆 ∗ )) 𝜔2 = (2𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(𝑆 ∗ ) + 𝛼𝑒 −𝛾𝜏 )2 𝜔2 cos 2 𝜔𝜏 +
( 𝛼𝑒 −𝛾𝜏 𝛿 − 𝛼𝑒 −𝛾𝜏 𝛾 − 2𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(𝑆 ∗ )𝛾 )2 sin2 𝜔𝜏
kemudian persamaan bagian riil dan imaginer dikurangkan sehingga diperoleh
2 2
(− 𝜔2 + 𝛼𝛾 − 𝛼𝛿 + 𝛾𝛿 + 𝛾𝛽(𝑆 ∗ )) + ( 𝛿 + 𝛾 + 𝛽(𝑆 ∗ )) 𝜔2 =
(2𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(𝑆 ∗ ) + 𝛼𝑒 −𝛾𝜏 )2 𝜔2 − ( 𝛼𝑒 −𝛾𝜏 𝛿 − 𝛼𝑒 −𝛾𝜏 𝛾 −
2𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(𝑆 ∗ )𝛾 )2 𝜔4 + (𝛿 2 + 2𝛿𝛽(𝑆 ∗ ) + 𝛽(𝑆 ∗ )2 + 𝛾 + 2𝛼𝛿 − 𝛾𝛿)𝜔2 +
2
(𝛼𝛾 − 𝛼𝛿 + 𝛾𝛿 + 𝛾𝛽(𝑆 ∗ )) − ( 𝛼𝑒 −𝛾𝜏 𝛿 − 𝛼𝑒 −𝛾𝜏 𝛾 − 2𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(𝑆 ∗ )𝛾)2 =
0 (47)
misalkan
𝜆 = 𝜔2
𝑝 = (𝛿 2 + 2𝛿𝛽(𝑆 ∗ ) + 𝛽(𝑆 ∗ )2 + 𝛾 + 2𝛼𝛿 − 𝛾𝛿)
2
𝑞 = (𝛼𝛾 − 𝛼𝛿 + 𝛾𝛿 + 𝛾𝛽(𝑆 ∗ )) − ( 𝛼𝑒 −𝛾𝜏 𝛿 − 𝛼𝑒 −𝛾𝜏 𝛾 − 2𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(𝑆 ∗ )𝛾)2

maka persamaan (47) dapat ditulis menjadi


𝜆2 + 𝑝𝜆 + 𝑞 = 0 (48)
∗)
Karena 𝛽(𝑆 adalah fungsi yang turun, maka persamaan (48) memiliki
nilai 𝑝 > 0 , 𝑞 < 0 apabila berlaku ketaksamaan (45) sehingga persamaan (48)
mempunyai solusi bernilai riil negative atau bernilai kompleks dengan bagian
riilnya negative. Oleh karena itu, adalah stabi; asimtotik lokal.
Berdasarkan persamaan (46) maka untuk 𝜏 = 0 sistem persamaan (22)
mempunyai nilai – nilai karakteristik 𝜆 = −𝛾 atau λ = −𝛿 + 𝛽(𝑆 ∗ ) + 𝛼.
Kondisi 1. Dengan menggunakan parameter sesuai dengan persamaan
(22), maka diperoleh 𝜆 = −0.2 atau 𝜆 = −0.2678, maka dapat disimpulkan
bahwa persamaan (22) dengan 𝜏 = 0 dan nilai parameter (41) adalah stabil
asimtotik lokal.
Kondisi 2. Dengan menggunakan parameter sesuai dengan persamaan
(41) tetapi mengganti nilai 𝛿 = 1.8 > 𝛽(0), maka diperoleh 𝜆 = −0.2 atau 𝜆 =
0.2 maka dapat disimpulkan bahwa persamaan (22) dengan 𝜏 = 0 dan nilai
parameter (41) adalah tidak stabil.
Kondisi 3. Untuk 𝜏 ≠ 0 dan menggunakan parameter pada (41)
diperoleh akar – akar dari persamaan (48) adalah -0.001 dan -0.0818 sehingga
persamaan tersebut adalah stabil
Kondisi 4. Dengan menggunakan parameter pada (41) tetapi dengan
mengganti 𝛿 > 𝛽(0) misal dipilih 𝛿 = 1.8 maka diperoleh akar – akar dari
persamaan (48) adalah 1.5589 2.6865i sehingga persamaan (48) tidak stabil.
7. Simulasi Numerik
Berikut ditampilkan grafik solusi numerik dari sistem persamaan (22)
dengan menggunakan nilai parameter (41). Sebagai perbandingan, akan diberikan
beberapa perubahan kondisi untuk perlambatan waktu.

Gambar 6. Grafik Populasi Sel Tunas


Hematopoietik dengan Nilai Parameter
yang Diberikan pada (41), 𝜏 = 1

Gambar 7. Grafik Model Populasi Sel


Tunas Hematopoietik dengan Nilai
Parameter yang Diberikan pada (41),
𝜏 = 3.5
Gambar 8. Grafik Model Populasi Sel
Tunas Hematopoietik dengan Nilai
Parameter yang Diberikan pada (41),
𝜏 = 4.52

Gambar 9. Grafik Model Populasi Sel


Tunas Hematopoietik dengan Nilai
Parameter yang Diberikan pada (41),
𝜏 = 5.5
Dengan nilai parameter yang sama dan nilai awal yang sama analisis akan
membandingkan perilaku kestabilan solusi numeric untuk model populasi sel tunas
hematopoietic dengan berbagai waktu tunda.
Gambar 6. adalah gambar dari sistem persamaan (22) dengan nilai
parameter pada persamaan (41) dengan menggunakan waktu perlambatan 𝜏 = 1
dan diberikan niai awal 𝑆(0) = 1.4 dan 𝑁(0) = 1. Pada kondisi ini, awalnya baik
populasi sel tunas maupun sel nonproliferasi mengalami penurunan kemudian
mengalami kenaikan dan akhirnya mencapai kestabilan di titik 1.3 untuk sel tunas
dan 1.2 untuk sel nonproliferasi pada hari ke 17.
Gambar 7. adalah gambar dari persamaan (22) dengan nilai parameter
pada persamaan (41) dan menggunakan waktu perlambatan 𝜏𝜏 = 3.5 dan diberkan
niali awal 𝑆(0) = 1.4 dan 𝑁(0) = 1.Pada kondisi ini, sistem mengalami osilasi
pada hari ke 10.
Gambar 8. adalah gambar dari sistem persamaan (22) dengan nilai
parameter pada persaman (41) dan menggunakan waktu perlambatan 𝜏 = 4.52 dan
diberikan nilai awal 𝑆(0) = 1.4 dan 𝑁(0) = 1. Pada kondisi ini, osilasi sistem
menjadi semakin besar dari pada kondisi pada saat perlambatan 3.5 sampai pada
hari ke 12 sistem masih belum mencapai titik kesetimbangannya. Dapat dilihat
bahwa pada kondisi ini sistem akan menuju titik tetap yang lebih rendah daripada
kondisi sebelumnya.
Gambar 9. adalah gambar dari sistem persamaan (22) dengan nilai
parameter pada persaman (41) dan menggunakan waktu perlambatan 𝜏 = 5.5 dan
diberikan nilai awal 𝑆(0) = 1.4 dan 𝑁(0) = 1. Pada kondisi ini, osilasi sistem
berkurang dan sistem mulai stabil lagi pada hari ke 40 untuk sel tunas dan hari ke
60 untuk sel nonproliferasi. Akan tetapi pada kondisi ini, sistem menuju titik tetap
yang lebih rendah daripada kondisi-kondisi sebelumnya.
Berdasarkan perbandingan keempat gambar di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa waktu perlambatan sangan mempengaruhi kestabilan untuk
sistem (22). Osilasi pada solusi numerik sitem persamaan (22) terjadi pada interval
waktu perlambatan 3 ≤ 𝜏 ≤ 5.5 dan osilasi terbesr ketika sistem berada pada
kondisi dengan perlambatan 4.52. Sistem akan kembali stabil ketika waktu
perlambatannya 𝜏 ≥ 5.5. Osilasi dalam hal ini menunjukkan bahwa proses
produksi sel darah yang terjadi di dalam sum-sum tulang tidak stabil sehingga hal
ini dapat berimplikasi terhadap sirkulasi jumlah sel darah yang ada di dalam tubuh
juga tidak stabil. Apabila titik kestabilan merepresentasikan jumlah populasi sel
darah, amak apabila semakin besar nilai perlambatan atau semakin lama durasi
yang diperlukan sel dalam suatu siklus proliferasi maka kestabilan akan semakin
menuju nol, dalam hal ini berarti kepunahan pada populasi sel darah.
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Model matematika untuk populasi sel tunas hematopoietik dengan laju
kematian yang berbeda (𝛾 ≠ 𝛿) antara sel proliferasi dan sel nonproliferasi
adalah
𝑑𝑆(𝑡)
= −𝛾𝑆(𝑡) + (𝛾 − 𝛿)𝑁(𝑡) + 𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(𝑆(𝑡 − 𝜏))𝑁(𝑡 − 𝜏)
𝑑𝑡
𝑑𝑁(𝑡)
= −𝛿𝑁(𝑡) − 𝛽(𝑆(𝑡))𝑁(𝑡) + 2𝑒 −𝛾𝜏 𝛽(𝑆(𝑡 − 𝜏))𝑁(𝑡 − 𝜏)
𝑑𝑡

Diperoleh dua titik kesetimbangan dari persamaan di atas yaitu


𝐸 0 = (0,0)
dan
𝛾(2𝑒 −𝛾𝜏 − 1)
(𝑆 ∗ , 𝑁 ∗ ) = (𝑆 ∗ , 𝑆 ∗)
(𝑒 −𝛾𝜏 (2𝛾 − 𝛿) − (𝛾 − 𝛿))
dengan suatu kondisi perlu untuk menjamin agar diperoleh solusi yang
nontrivial yaitu (2𝑒 −𝛾𝜏 − 1)𝛽(0) > 𝛿.
Kestabilan pada solusi trivial 𝐸 0 = (0,0) adalah
i. Stabil asimtotik lokal jika (2𝑒 −𝛾𝜏 − 1)𝛽(0) < 𝛿
ii. Stabil jika (2𝑒 −𝛾𝜏 − 1)𝛽(0) = 𝛿
iii. Tidak stabil jika (2𝑒 −𝛾𝜏 − 1)𝛽(0) > 𝛿
Untuk solusi nontrivial apabila berlaku 𝛿 < 𝛽(0) maka model matematika
proses produksi sel darah adalah stabil asimtotik.
2. Hasil grafik untuk model matematika proses hematopoiesis dengan
menggunakan bantuan program matlab dengan berbagai nilai waktu tunda
menunjukkan bahwa waktu tunda mempengaruhi kestabilan dari sistem (22).
Sistem (22) mulai mengalami osilasi ketika pada kondisi perlambatan sebesar
𝜏 = 3.5, dan osilasi terbesar ketika berada pada kondisi perlambatan 𝜏 = 4.52.
Sistem akan mulai stabil lagi ketika berada pada kondisi dengan perlambtan
sebesar 𝜏 = 5.5. Dalam hal ini perlambatan juga mempengaruhi titik tetap dari
sistem, yaitu semakin besar nilai perlambatan, maka sistem (22) akan menuju
nol.
DAFTAR PUSTAKA
Adimy, M., Crauste, F., & Ruan, S. (2005). A Mathematical Study of Hematopoiesis
Process with Application to Chronic Myelogenous Leukimia. SIAM J.Appl.
Math, 1328-1352.
Anton, H., & Rorres, C. (2004). Aljabar Linear Elementer versi Aplikasi Jilid I.
Jakarta: Erlangga.
Ayres, F., & Ault, J. (1995). Theory and Problem of Differential Equations SI
(Metric) Edition (Schaum Series). Terjemahan Ratna Lily. Jakarta: Erlangga.
Baiduri. (2002). Persamaan Differensial dan Matematika Model. Malang: UMM
Press.
Boyce, W. E., & DilPrima, R. C. (1999). ODE Architect Companion. New York:
John Willey and Sons.
Boyce, W. E., & DilPrima, R. C. (2001). Elementary Differential Equations and
Boundary Value Problems. New Yok: John Willey and Sons, Inc.
Cain, J. W., & Reynolds, A. M. (2010). Ordinary and Partial Differential Equation:
An Introuction to Dynamical System. Virginia: Center for Teachin Excellence.
Chen. (2008). Linear Algebra. London: Imperial College.
Corwin, E. J. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Crauste, F. (2006). Global Asymptotic and Hopf Bifurcation for a Blood Cell
Production Model. In Mathematical Bioscience Engineering Volume 3 (pp.
325-246).
Finizio, N., & Ladas, G. (1982). An Introduction to Differential Equation With
Difference Equation, Fourier Analysis and Partial Differential Equations.
California: Wadsworth.
Hariyanto, d. (1992). Persamaan Differensial Biasa Modul 1-9. Cetakan I. Jakarta:
Universitas Terbuka.
Jusuf, A. A. (2008). Aspek Dasar Sel Punca Embrionik (Embryonic Stem Cells) dan
Potensi Pengembangannya. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
L., W. (2004). Comprehensive Review of Immunology : Imaplications for
Hematopoietic Aplikasi Jilid 1. In S. Ezzone, Stem Cell Transplant Recipients
(pp. 1-13). Jakarta: Erlangga.
Lara, D. N. (2009). Dinamika Model Penyembuhan Sel Darah Putih Karena Adanya
Virus HIV Dengan Terapu Protease Inhibitor. Bogor: Institut Pertanian
Bogor.
Pagalay, U., & Ambarsari, A. (2014). Model Matematika pada Proses Hematopoiesis
dengan Perlambatan Proses Proliferasi. Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol 28,
No.2.
Robinson, R. C. (2004). An Introduction to Dynamical Systems Continuous abd
Discrete. New Jersey: Pearson Education, Inc.
Ross, S. L. (1984). Differential Equation. New York: John Willey and Sons, Inc.
Stedman. (2001). Kamus Ringkas Kedokteran. Jakarta: EGC.
Williams, L. (2004). Comprehensive Review of Hematopoiesis and Immunology :
Implications for Hematopoietic Stem Cell Transplant Recepients. In S.
Ezzone, Hematopoietic Stem Cell Transplantation: A Manual For Nursing
Practice (pp. 1-13). Pittsburg: Oncology Nursing Society.

Anda mungkin juga menyukai