2.1 Sistem Imun Tubuh 2.1.1 Definisi
2.1 Sistem Imun Tubuh 2.1.1 Definisi
2.1.1 Definisi
Menurut Karnen Garna Baratawidjaja dalam buku Imunologi Dasar Edisi Ketiga, sistem
imun ialah semua mekanisme pertahanan yang digunakan tubuh untuk mempertahankan
keutuhan tubuh sebagai perlindungan terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan oleh berbagai
bahan dalam lingkungan hidup. Fungsi sistem kekebalan tubuh adalah untuk melindungi tubuh
dari infeksi dan penyakit. Sistem kekebalan tubuh bekerja untuk mengidentifikasi patogen dan
sel-sel tumor yang dapat menyebabkan penyakit dan mengeliminasi dari sistem tubuh. Tetapi,
tugas ini adalah sanagat sulit karena patogen dan sel-sel buruk licik sehingga mereka dapat
merancang ulang diri mereka dan beradaptasi dengan perubahan tubuh. Selain itu, ia juga
berperanan dalam menyingkirkankan jaringan atau sel yg mati atau rusak untuk perbaikan
jaringan (Baratawidjaja, 1998).
Sistem kekebalan tubuh manusia dibagi kepada dua, yaitu kekebalan tubuh non spesifik
dan kekebalan tubuh spesifik. Sistem imun non spesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan
dalam menghadapi serangan berbagai mikroorganisme, oleh karena dapat memberikan respon
langsung terhadap antigen, sedang sistem imun spesifik membutuh waktu untuk mengenal
antigen terlebih dahulu sebelum dapat memberikan responnya.
Sistem imun non spesifik ini dibagi kepada empat yaitu pertahanan fisik dan mekanik,
pertahanan biokimiawi, pertahanan humoral serta pertahanan seluler. Dalam sistem pertahanan
fisik atau mekanik ini, kulit, selaput lendir, silia saluran napas, batuk dan bersin akan mencegah
masuknya berbagai kuman patogen ke dalam tubuh. Kulit yang rusak misalnya oleh luka bakar
dan selaput lendir yang rusak oleh asap rokok akan meninggikan risiko infeksi. Pertahanan
biokimiawi adalah seperti asam hidroklorida dalam lambung, enzim proteolitik dalam usus, serta
lisozim dalam keringat, air mata, dan air susu. Berbagai bahan dalam sirkulasi berperanan pada
pertahanan humoral seperti komplemen, interferon, dan C-Reactive Protein. Komplemen
berperan meningkatkan fagositosis dan mempermudah destruksi bakteri dan parasit. Interferon
pula dilepas sebagai respon terhadap infeksi virus. Di samping itu, ia juga dapat mengaktifkan
Natural Killer cell (sel NK). Fagosit, makrofag, sel NK dan sel K berperanan dalam sistem imun
non spesifik selular dan berperan untuk menangkap, mamakan, membunuh dan akhirnya
mencerna kuman (Baratawidjaja, 1998).
Berbeda dengan sistem imun non spesifik, sistem imun spesifik mempunyai kemampuan
untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama kali muncul
dalam badan segera dikenal oleh sistem imun spesifik sehingga terjadi sensitisasi sel-sel sistem
imun tersebut. Jika sel imun tersebut berpapasan kembali dengan benda asing yang sama, maka
benda asing yang terakhir ini akan dikenal lebih cepat, kemudian dihancurkan olehnya. Sistem
imun spesifik terbagi antara humoral dan selular di mana yang berperan dalam humoral adalah
limfosit B manakala pada selular adalah limfosit T. Antibodi yang dihasilkan sel B ini dapat
pertahankan tubuh dari infeksi ekstraseluler virus dan bakteri serta menetralisir toksinnya. Fungsi
utama system imun spesifik seluler pula untuk pertahanan terhadap bakteri yang hidup
intraseluler, virus, jamur, parasit dan keganasan (Baratawidjaja, 1998).
Pertahanan tubuh terhadap bakteri terdiri dari spesifik dan non spesifik. Epitel permukaan
yang mempunyai fungsi proteksi akan membatasi masuknya bakteri ke dalam tubuh. Menurut
sifat patologik dinding sel, bakteri dibagi menjadi gram negatif, gram positif, mycobacterium
dan spirochaet. Struktur dinding sel bakteri yang sebenarnya menentukan jenis respon imun
tubuh. Semua dinding sel bakteri mengandung membran lapisan dalam dan peptidoglikan.
Bakteri gram negatif masih mempunyai lapisan luar dari lipid yang kadangkadang mengandung
lipopolisakarida (LPS). Enzim lisozim dapat menghancurkan lapisan peptidoglikan, sedang
komplemen dapat menghancurkan lipid lapisan luar bakteri gram negatif. Susunan dinding
mycobacterium sangat kompleks. Berbagai jenis bakteri mempunyai fimbriae atau flagella yang
antigenik dan dapat bereaksi dengan antibodi. Beberapa bakteri mempunyai kapsul luar sehingga
bakteri lebih resisten terhadap fagositosis. Pada akhir respon imun, semua bakteri dihancurkan
fagosit. Bakteri yang resisten terhadap fagosit seperti M.Tuberkulosis atau parasit obligat
intraseluler seperti M.leprae dikucilkan makrofag melalui pembentukkan granuloma atas
pengaruh sel T (Baratawidjaja, 1998).
Infeksi jamur biasanya hanya mengenai bagian luar tubuh saja, tetapi beberapa jamur
dapat menimbulkan penyakit sistemis yang berbahaya, biasanya memasuki paru dalam bentuk
spora. Mekanisme bawaan lini pertama adalah adanya hambatan fisik berupa kulit dan selaput
lendir, yang dilengkapi dengan membran sel, reseptor seluler dan faktor humoral. Untuk waktu
yang lama dianggap bahwa kekebalan yang dimediasi sel (CMI) itu penting dan kekebalan
humoral memiliki peran sedikit atau tidak ada. Secara umum, CMI tipe Th1 diperlukan untuk
pembersihan infeksi jamur, sementara imunitas Th2 biasanya menghasilkan kerentanan terhadap
infeksi. Makrofag yang diaktifkan limfokin dan sel T diduga dapat menghancurkan jamur
melalui mekanisme seperti yang terjadi pada reaksi tipe IV (Blanco, JL dan Garcia ME, 2008).
Infeksi parasit menimbulkan respon imun humoral dan seluler. Mekanisme mana yang
lebih berperan tergantung pada jenis parasit. Infeksi parasit biasanya terjadi kronik dan kematian
pejamu akan merugikan parasite sendiri. Infeksi yang kronik akan meningkatkan kadar
imunoglobulin dalam sirkulasi, menimbulkan rangsangan antigen yang persisten dan
pembentukan kompleks imun. Parasit dapat menimbulkan imunosupresi dan efek
imunopatologik pada pejamu. Pada umumnya respon selular lebih efektif terhadap protozoa
intraseluler, sedang antibodi lebih efektif terhadap parasite ekstraselular seperti dalam darah dan
cairan jaringan. Sel T terutama sel Tc, dapat menghancurkan parasit intraseluler, misalnya
T.cruzi. Limfokin yang dilepas oleh sel T yang disensitisasi dapat mengaktifkan makrofag untuk
lebih banyak membentuk reseptor untuk Fc dan C3, berbagai enzim dan faktor lain yang dapat
meninggikan sitotoksisitas (Baratawidjaja, 1998).
Cacing dalam lumen saluran cerna dapat dikeluarkan oleh sekresi selaput lendir usus.
Dalam hal ini baik sel B maupun sel T ikut berperan. Se Th merangsang sel untuk membentuk
antibodi spesifik, terutama IgE selama terjadi infeksi parasit. Antigen-antigen yang dilepas
parasit diduga berfungsi sebagai mitogen poliklonal yang T independen untuk sel B. Peranan
antibodi dan imunitas selular bervariasi dan bergantung pada jenis infeksi. Eosinofil diduga
mempunyai tiga efek terhadap infeksi cacing yaitu fagositosis kompleks antigenantibodi,
modulasi hipersensitivitas melalui inaktivasi mediator dan membunuh cacing tertentu melalui
perantaraan IgG. Pengerahan eosinofil dipengaruhi mediator yang dilepas sel mastosit dan sel T.
Di samping itu sel T berpengaruh pula atas pengeluaran eosinofil dari sumsum tulang
(Baratawidjaja, 1998).
Sel kanker dikenal sebagai nonself yang bersifat antigenik pada system imunitas tubuh
manusia sehingga ia akan menimbulkan respons imun secara seluler maupun humoral. Imunitas
humoral lebih sedikit berperan daripada imunitas seluler dalam proses penghancuran sel kanker,
tetapi tubuh tetap membentuk antibodi terhadap antigen tumor. Dua mekanisme antibodi
diketahui dapat menghancurkan target kanker yaitu, Antibody dependent cell mediated
cytotoxicity (ADCC) dan Complement Dependent Cytotoxicity. Pada ADCC antibodi IgG
spesifik berikatan terhadap Tumor Associated Antigen (TAA) dan sel efektor yang membawa
reseptor untuk bagian Fc dari molekul Ig. Antibodi bertindak sebagai jembatan antara efektor
dan target. Antibodi yang terikat dapat merangsang pelepasan superoksida atau peroksida dari sel
efektor. Sel yang dapat bertindak sebagai efektor di sini adalah limfosit null (sel K), monosit,
makrofag, lekosit PMN (polimorfonuklear) dan fragmen trombosit. Ini akan mengalami lisis
optimal dalam 4 sampai 6 jam (Halim, B dan Sahil, MF, 2001).
Kontak langsung antara sel target dan limfosit T menyebabkan interaksi antara reseptor
spesifik pada permukaan sel T dengan antigen membran sel target yang mencetuskan induksi
kerusakan membran yang bersifat letal. Peningkatan kadar cyclic Adenosine Monophosphate
(cAMP) dalam sel T dapat menghambat sitotoksisitas dan efek inhibisi Prostaglandin (PG) E1
dan E2 terhadap sitotoksisitas mungkin diperantarai cAMP. Mekanisme penghancuran sel tumor
yang pasti masih belum diketahui walaupun pengrusakan membran sel target dengan hilangnya
integritas osmotik merupakan peristiwa akhir. Pelepasan Limfotoksin (LT), interaksi membran-
membran langsung dan aktifitas sel T diperkirakan merupakan penyebab rusaknya membrane.
Interleukin (IL), interferon (IFN) dan sel T mengaktifkan pula sel NK. Lisis sel target dapat
terjadi tanpa paparan pendahuluan dan target dapat dibunuh langsung. Kematian sel tumor dapat
sebagai akibat paparan terhadap toksin yang terdapat dalam granula, produksi superoksida atau
aktivitas protease serine pada permukaan sel efektor. Aktivitas NK dapat dirangsang secara in
vitro dengan pemberian IFN. Penghambatan aktivasi sel NK terlihat pada beberapa PG (PGE1,
PGE2, PGA1 dan PGA2), phorbol ester, glukokortikoid dan siklofosfamid. Sel NC (Natural
Cytotoxic) juga teridentifikasi menghancurkan sel tumor. Berbeda dengan sel NK, sel NC
kelihatannya distimulasi oleh IL-3 dan relatif tahan terhadap glukokortikoid dan siklofosfamid
(Halim, B dan Sahil, MF, 2001).
Walaupun ada sistem imunosurveilan, kanker dapat luput dari pengawasan sistem imun
tubuh bila faktor-faktor yang menunjang pertumbuhan tumor lebih berpengaruh dibanding
dengan faktor-faktor yang menekan tumor, sehingga terjadi apa yang dinamakan immunological
escape kanker. Faktorfaktor yang mempengaruhi luputnya tumor dari pengawasan sistem imun
tubuh sebagai berikut (Baratawidjaja, 1998) :
Defisiensi imun harus dicurigai bila ditemukan tanda-tanda dari peningkatan kerentanan
terhadap infeksi. Defisiensi imun primer atau kongenital diturunkan tetapi defisiensi imun
sekunder timbul dari berbagai faktor setelah lahir. Penyakit defisiensi imun tersering mengenai
limfosit, komplemen dan fagosit. Defisiensi imun pada pasien kanker adalah dari faktor-faktor
seperti berikut (Halim, B dan Sahil, MF, 2001) :
(b) Operasi
Depresi sel T dan B sementara terlihat pada kasus postoperatif. Gangguan imunitas
maksimal terjadi selama minggu pertama setelah pembedahan, biasanya fungsi sel T
akan kembali normal 1 bulan. Lama dan intensitas imunosupresi berhubungan dengan
jumlah trauma operasi, lama prosedur dan imunokompetensi sebelum operasi.
Pembuangan jaringan limforetikuler dapat mengganggu fungsi imun. Penelitian pada
pasien kanker menunjukkan bahwa, splenektomi dapat mempermudah timbulnya
sepsis fulminan akibat bakteri. Peningkatan kerentanan terhadap infeksi ini
berhubungan dengan umur, penyakitpenyerta dan modalitas pengobatan kankernya.
Tambahan radiasi kelenjar getah bening dan kemoterapi akan menyebabkan
gangguan lebih besar terhadap fungsi sel B. Beberapa peneliti bahkan menggunakan
injeksi penisilin profilaksis, vaksin pneumokokus pada pasien post splenektomi
sebelum diberi kemoterapi atau radioterapi. Kerentanan ini disebabkan oleh
menurunnya kemampuan fagositosis dan gangguan pembentukan antibodi dini.
(c) Radioterapi
Radiasi berpengaruh terhadap limfosit, sehingga akan mengalami kematian interfase
dalam beberapa jam tanpa terjadinya mitosis. Sebelum rangsangan, antigen limfosit
hanya menunjukkan kemampuan yang terbatas untuk memperbaiki kerusakan DNA
akibat radiasi. Setelah rangsangan antigen, sel plasma maupun sel reflektor menjadi
lebih radioresisten. Limfopenia terjadi bukan hanya akibat radiasi terhadap jaringan
limfoid, tapi juga akibat destruksi limfosit pada daerah tepi. Level sel T dan B dapat
berkurang, tergantung bagian yang diradiasi. Walaupun terjadi penurunan kadar sel
B, respon humoral biasanya tetap. Radiasi limfoid total dapat menyebabkan
penurunan yang menetap pada kadar sel T. Respon proliferatif sel T terhadap mitogen
atau antigen histokompatibilitas dapat tertekan selama bertahun-tahun. Radiasi total
badan dengan dosis besar dapat menyebabkan penurunan yang hebat dari seluruh sel
limforetikuler tetapi untuk mencapai kembali rasio normal T4 : T8 perlu lebih dari
setahun. Level monosit tidak menurun secara bermakna selama radioterapi dan
kebanyakan makrofag resisten terhadap radiasi.
(d) Kemoterapi
Kebanyakan sitostatika bersifat imunosupresif kecuali Bleomisin dan Vincristin
dalam dosis terapeutik. Kemoterapi intermiten biasanya kurang imunosupresif
dibanding dengan tipe kontinu. Fungsi sel T dan B dapat kembali di antara seri
pengobatan walaupun gangguan menetap dapat terlihat setelah pengobatan yang lama
atau bila kemoterapi dan radiasi digabung. Glukokortikoid mempengaruhi fungsi dan
resirkulasi pada darah tepi dan level limfosit lebih dipengaruhi dibanding monosit.
Level sel T lebih dipengaruhi dibanding sel B dan sel T CD4 lebih terpengaruh
dibanding sel T CD8. Pada kemoterapi dosis tinggi glukokortikoid dapat menghambat
setiap fungsi sel limforetikuler, namun faktor inhibisi makrofag tetap dihasilkan.
Kemampuan respon makrofag dan monosit terhadap mediator terhambat jelas.
Kemampuan fagositosis monosit dipertahankan sedangkan fungsi bakterisidalnya
dihambat. Siklosfosfamid mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap sel B
dibanding sel T, dalam dosis rendah menghambat sel supresor dan meningkatkan efek
sel T CD8 daripada sel T CD4, pada dosis lebih tinggi sel T CD8 dan sel T CD4
menurun (Ozer, H., 1986). Efek imunosupresif bahan pengalkil dan antimetabolite
berhubungan sebagian dengan toksisitas terhadap sel yang berproliferasi. Bahan
pengalkil seperti siklofosfamid dapat menekan produksi antibodi, sedangkan
antimetabolit seperti 5 Fluorourasil, 6 Merkaptopurin dan Metotreksat akan efektif
setelah pemberian antigen dan bila sel B sedang berproliferasi. Bila sel telah berhenti
berproliferasi dan limfosit sudah matur maka respons seluler maupun humoral
menjadi resisten terhadap agen sitotoksik.
2.2. Kemoterapi
2. Control
Apabila tidak memungkinkan, tujuan dari kemoterapi yang dilakukan adalah untuk
mengontrol penyakit, yang berarti bahwa pengobatan kemoterapi adalah untuk
memperkecil ukuran dari sel tumor dan/atau hanya untuk menghentikan pertumbuhan dan
penyebaran sel kanker saja. Dalam berbagai kasus, sel kanker tidak dapat sepenuhnya
hilang, sehingga perlu untuk dikontrol sebagaimana penyakit kronik, seperti diabetes atau
gangguan jantung. Dan di beberapa kasus lainnya, sel kanker dapat menghilang untuk
beberapa waktu, tetapi dapat timbul lagi.
3. Palliation Apabila sel kanker sudah mencapai stadium lanjut, kemoterapi dapat digunakan
untuk mengurangi gejala yang diakibatkan oleh kanker. Terapi dengan tujuan ini
digunakan bukan untuk mengobati penyakit kanker itu sendiri, tetapi untuk meningkatkan
kualitas hidup dari pasien. Selain itu, kemoterapi juga seringkali digunakan bersamaan
dengan terapi lainnya. Hal ini juga membuat kemoterapi dapat digunakan sebagai terapi
adjuvant atau neoadjuvant.
a. Adjuvant chemotherapy
Terapi kemoterapi ini digunakan biasanya setelah proses operasi untuk menghilangkan
sel kanker. Kemoterapi yang digunakan untuk menghilangkan sel kanker yang
mungkin masih tersisa dan tidak terlihat setelah proses pengambilan sel kanker dengan
operasi. Selain itu juga kemoterapi juga dilakukan setelah terapi radiasi pada penyakit
kanker. Sebagai contoh adalah adjuvant hormone therapy yang