Beny Sapto Guritno ASTENG
Beny Sapto Guritno ASTENG
PERNYATAAN
1. Tugas ini adalah pekerjaan saya sendiri dan tidak mengandung unsur plagiasi,
kecuali kutipan-kutipan yang telah disebutkan sumbernya dengan baik dan
benar.
2. Tugas ini belum pernah dikumpulkan sebagian atau seluruhnya kecuali untuk
keperluan Mata Kuliah HI Kawasan Asia Tenggara.
3. Apabila di kemudian hari tugas ini terbukti merupakan hasil plagiat sebagian
atau seluruhnya dari tulisan orang lain, saya bersedia menerima sanksi
akademik sesuai dengan aturan pelanggaran tentang plagiarisme.
Yang Menyatakan,
Malang, 22 Desember 2018
1
Dilema Hukum Internasional ASEAN dalam Menegakkan Keadilan atas Krisis
Kemanusiaan Rohingya
201610360311116 / ASTENG-D1
Abstrak
Abstract
The prolonged humanitarian crisis in Rohingya is a dilemma for ASEAN.
ASEAN as an important role holder in the Southeast Asia region is considered to be
less massive in responding to the humanitarian crisis in the Rohingya. As a result, the
international community often criticizes these problems. On the other hand, to seek
action on Myanmar, it is necessary to review some of the underlying factors, both from
the principles and laws that apply in Myanmar and ASEAN. This paper will reveal the
1
Korespondensi: Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Muhammadiyah Malang, Jl. Raya Tlogomas no. 246 Malang, email:
guritnobenny@gmail.com, HP. 081231597941
2
causes of ASEAN which are considered less massive in handling Rohingya cases. To
look deeper, analysts use international legal theory and dilemma theory, and data
collection using literacy study methods. The final results revealed that the dilemma of
efforts to address the humanitarian crisis in Rohingya was caused by the initial
agreement to form ASEAN which basically chose to use the principle of international
dualism, and the existence of ASEAN Way and the application of non-intervention
principles considered contradictory.
Keywords: Dilemma, Dualism, International Law, Rohingya
Pendahuluan
2
Dinda Purnamasari, Negara-negara yang Paling Terpuruk Saat Krisis Ekonomi ASEAN, 18 Juli 2017
dalam https://tirto.id/negara-negara-yang-paling-terpuruk-saat-krisis-ekonomi-asean-csSK diakses
pada 10 Desember 2018 pukul 16.13 WIB
3
Etnis Rohingya dianggap sebagai imigran ilegal dari Bangladesh, sehingga itulah
menjadi acuan penolakan dari berbagai negara. Aksi anti Rohingya dilakukan oleh
hampir seluruh warga negara Myanmar, terutama oleh tokoh masyarakat dan warga
agama mayoritas yakni Buddha, dan beberapa elemen masyarakat lainnya termasuk
Mahasiswa yang mengecap etnis Rohingya sebagai imigran Bengali.3
3
Annisa Wuryandari, Dilema ASEAN Way dalam Penanganan Pencari Suaka Rohingya di Asia
Tenggara, Journal of International Relations, Volume 3, Nomor 2, Tahun 2017, 68-74 Online di
https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jihi/article/view/16615/15987 , Departemen Hubungan
Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro, hal 69, diakses pada 10
Desember 2018 pukul 16.45 WIB
4
VOA Indonesia, KTT ASEAN Kecam Perlakuan Myanmar terhadap Rohingya¸18 Maret 2018, dalam
https://www.voaindonesia.com/a/ktt-asean-kecam-perlakukan-myanmar-terhadap-rohingya-
/4305988.html diakses pada 10 Desember 2018 pukul 17.00 WIB
5
Ibid
4
internasional teridentifikasi bahwa ketika menyoal perkara penerapan suatu kebijakan
di ASEAN perlu pertimbangan yang harus sesuai dengan hukum nasional atau hukum
positif yang berlaku di negara anggotanya, namun standar hukum bukan diletakkan
pada ASEAN. Sehingga tindakan seperti yang dilakukan Myanmar akan sulit
disalahkan. Hal ini dikarenakan di dalam sistem hukum internasional tidak ada
kekuasaan tertinggi yang memaksakan keputusan menekan negara pelanggar hukum.
Hukum internasional juga tidak dapat mengikat secara absolut sebab tidak ada badan
legislatif hukum internasional yang berwewenang membuat ketentuan-ketentuan
hukum.6 Pernyataan tersebut secara spesifik masuk dalam kategori hukum
internasional dualisme, dimana hukum nasional lebih tinggi daripada hukum
internasional. Hukum internasional yang disepakati di dalam ASEAN adalah berbentuk
Piagam ASEAN (ASEAN Carter). Tujuan dan prinsip Piagam ASEAN secara umum
berorientasi pada persoalan sosial perdamaian di kawasan Asia Tenggara. Begitu pula
dengan ASEAN Way dan tiga pilar ASEAN. Semua dibentuk secara umum ditujukan
pada hal yang berkaitan dengan sosial perdamaian. Oleh karena itu keberadaan
ASEAN berdasarkan status hukumnya perlu dipertanyakan ketika menyoal krisis
kemanusiaan di Rohingya. Sebab posisi ASEAN berada dalam dilema mengingat status
hukumnya tidak sinkron dengan prinsip dan tujuan pembentukannya. Keberadaan
ASEAN Way, ASEAN Charter dan tiga pilar ASEAN dihadapkan dengan realita krisis
kemanusiaan Rohingya menjadikan ASEAN dalam keadaan dilema, yang
menyebabkan ASEAN dihadapkan dengan pilihan sulit dalam penanganan kasus
Rohingya.
Demikian fokus tulisan ini mengarah pada rumusan masalah yang berusaha
mengungkap bagaimana dilema hukum internasional ASEAN terhadap upaya
penegakkan keadilan atas kasus Rohingya itu bisa terjadi. Sedangkan ruang lingkup
dengan batasan waktu mulai dari tahun pembentukan ASEAN (1967) hingga 2017.
6
Boer Mauna, 2015, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika
Global, PT. Alumni, Bandung, hal 2.
5
Dan batasan materi terletak pada bahasan mengenai ASEAN terhadap penanganan
krisis kemanusiaan di Rohingya, bahasan dilihat melalui sudut pandang hukum
internasional yang berlaku di ASEAN.
Landasan Konseptual
Hukum Internasional
7
Ibid, hal 1
8
Ibid, hal 6
6
memandang hukum internasional sebagai pengatur yang dibutuhkan dalam hubungan
antar negara. Oleh karena itu setiap negara patuh terhadap hukum internasional.9
9
Ibid, hal 2 – 3
10
Ibid, hal 3
7
kedudukannya lebih tinggi daripada hukum internasional, sebab terdapat pertimbangan
subjek, sumber dan prinsip dasar yang melandasi hukum nasional.11
Dilema
Dilema secara umum diartikan sebagai kondisi yang menghadapkan dua pilihan
yang sama-sama menyulitkan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
dilema merupakan situasi sulit yang mengharuskan orang menentukan pilihan antara
dua kemungkinan yang sama-sama tidak menyenangkan atau tidak menguntungkan
dimana menunjukan situasi yang sulit dan membingungkan.12 Hampden Turner
menyebutkan bahwa dilema dalam bahasa Yunani berarti dua proposisi.13 Teori dilema
menuntut untuk melihat suatu kondisi melalui dua hal yang menjadi dasar perbedaan
atau berlawanan. Dengan kata lain melihat dua hal yang dilawankan, seperti persaingan
melawan kerja sama, diferensiasi melawan integrasi, keteraturan melawan kekacauan,
ketergantungan melawan kemerdekaan, dan lain-lain.14
11
Melda Kamil Ariadno, Kedudukan Hukum Internasional dalam Sistem Hukum Nasional, vol.5 no. 3,
April 2008, jurnal hukum internasional, Indonesian Journal of International Law. Hal 510. Diambil
dari https://media.neliti.com/media/publications/39087-EN-kedudukan-hukum-internasional-dalam-
sistem-hukum-nasional.pdf diakses pada 11 Desember 2018 pukul 04.36 WIB
12
Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, dilema, dalam https://kbbi.web.id/dilema diakses pada 3
Januari 2019 pukul 16.35 WIB
13
Sanne Grotenbreg & Mónica Altamirano, Government facilitation of external initiatives: how Dutch
water authorities cope with value dilemmas, InternatIonal Journal of Water resources Development,
2017, Informa uK limited, hal. 6, dalam
https://www.researchgate.net/profile/Sanne_Grotenbreg/publication/320048845_Government_facilitati
on_of_external_initiatives_how_Dutch_water_authorities_cope_with_value_dilemmas/links/59dfb19a
458515371600cd24/Government-facilitation-of-external-initiatives-how-Dutch-water-authorities-
cope-with-value-dilemmas.pdf?origin=publication_detail diakses pada 4 Januari 2019 pukul 22.14
WIB
14
Vesa J Kangaslahti, 2002, Learning in the Connected Economy: About Dilemma Theory, University
of Cambridge Programme for Industry, hal. 3, paper dalam
https://www.open.edu/openlearn/ocw/pluginfile.php/332226/mod_oucontent/oucontent/6564/8a93f17a
/8114e1f4/b847_learning_animations.zip/extra/dilemmatheory.pdf diakses pada 3 Januari 2019 pukul
17.04 WIB
8
Teori dilema secara spesifik mencakup banyak hal. Dalam konteks sosial, teori
dilema bertujuan untuk menjelaskan upaya mengambil sebuah keputusan dalam
perkara sosial yang dilematis. Dalam perkembangannya dilema sosial diklasifikasikan
menjadi tiga kecenderungan. Pertama, dilema sosial yang awalnya melihat individu
sebagai subjek yang di hadapkan dengan kelompok berkembang subjek menjadi
kelompok dihadapkan dengan kelompok. Kedua, dilema sosial merambah ke bidang
lain, seperti politik, hukum, kebijakan publik dan lain-lain. Ketiga, peran dilema sosial
dalam mengambil keputusan melibatkan afeksi atau emosi.15 Teori dilema kemudian
digunakan untuk melihat peran kelompok yang menghadapi suatu permasalahan
dengan anggota kelompoknya. Dalam konteks hubungan internasional, subjek
kelompok diartikan sebagai organisasi internasional atau regional dan sebagainya,
dimana dihadapkan dengan permasalahan yang dialaminya bersama anggota
organisasinya. Permasalahan tersebut menghadirkan sebuah pilihan yang menyulitkan
semua pihak dalam upaya penanganannya. Hal ini dikarenakan adanya faktor-faktor
tertentu yang mempengaruhi sulitnya menentukan suatu pilihan. Sehingga
memunculkan kondisi dilema dalam memutuskan sebuah tindakan yang
mengakibatkan tidak terselesaikannya permasalahan tersebut.
Metode Penelitian
15
Juneman, Tinjauan Kritis terhadap Teori Aktivitas dan Dilema Sosial, HUMANIORA, Vol.2 No.1
April 2011: 826-837, Bina Nusantara University, hal. 832 – 833, dalam
http://journal.binus.ac.id/index.php/Humaniora/article/viewFile/3101/2487 diakses pada 4 Januari
2019 pukul 22.47 WIB
16
Andi Anjar Salim (201310360311230), 2017, Pengaruh Persepsi Barack Obama Terhadap
Kebijakan Normalisasi Hubungan Diplomatik Amerika Serikat-Kuba, ilmu Hubungan Internasional,
Universitas Muhammadiyah, hal 29
9
lima kelompok tingkat analisa. Pertama, tingkat analisa hubungan internasional yang
melihat fenomena hubungan internasional di akibatkan oleh individu yang disebut
dengan perilaku individu. Kedua, mempelajari perilaku kelompok-kelompok dan
organisasi-organisasi yang terlibat di dalam hubungan internasional yang disebut
dengan perilaku kelompok. Ketiga, analisa ditekankan pada perilaku unit negara-
bangsa yang disebut dengan tingkat negara-bangsa. Keempat, analisa yang
menekankan bahwa negara bangsa bertindak tidak sendiri melainkan secara kolektif
(bersama negara-negara lainnya) disebut dengan tingkat negara-negara. Kelima,
analisa ini beranggapan bahwa bangsa-bangsa di seluruh dunia merupaka sebuah
sistem, dimana pergerakannya menentukan perilaku aktor Hubungan Internasional.
Dari klasifikasi tersebut, maka penelitian ini terdapat pada tingkat analisa Perilaku
Kelompok.17
17
Mohtar Mas’oed, 1990, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi, Jakarta: LP3ES,
hal 39
18
Umar Suryadi Bakry, 2016, Metode Penelitian Hubungan Internasional, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar. Hal 132
10
Pembahasan
19
Boer Mauna, op. cit. hal 8
20
Ibid, hal 9
11
ini diperkuat dengan Konferensi London pada tahun 1831 yang menyatakan bahwa
hukum internasional tidak bergantung pada perubahan suatu negara.21
Dualisme adalah aliran yang menyakini bahwa hukum nasional dan hukum
internasional merupakan dua hal yang berbeda. Perbedaan ini dikemukaan oleh Triepel
menjadi tiga bagian, antara lain:
Dari pemaparan di atas, dalam konteks ASEAN konvensi yang berbentuk law-
making treaties yaitu berisi prinsip-prinsip dan ketentuan yang berlaku secara umum
telah tercantum dalam ASEAN Charter yang menghasilkan prinsip non-intervensi.
Dalam pandangan hukum internasional ASEAN berjalan berdasarkan sumber hukum
yang didasarkan pada kesepakatan prinsip yang sama. Maka dari itu secara
penerapannya ASEAN dinilai telah benar. Namun, juga dinilai kurang tepat dalam hal
yang berkaitan dengan pelanggaran hukum. Rentetan kasus yang ada di ASEAN
seharusnya dapat ditempuh melalui penyelesaian hukum internasional. Dalam artian
norma internasional tidak boleh dilanggar dengan alasan apapun, tetapi kenyataannya
kasus Rohingya tidak mendapatkan porsi di hadapan penegak hukum. Hal ini
21
Melda Kamil Ariadno, op. cit. hal 511
22
Ibid, hal 508
12
dikarenakan pembentukan ASEAN pada dasarnya memang mengikuti aliran dualisme
yang menyakini bahwa hukum nasional adalah pertimbangan yang tidak bisa diganggu
gugat meskipun itu bertentangan degan hukum internasional.
Dilema yang disebabkan oleh penerapan prinsip non-intervensi ini tidak dapat
dipungkiri, sebab prinsip non-intervensi yang dikedepankan oleh ASEAN merupakan
hasil dari kesepakatan bersama negara-negara anggota ASEAN yang dilatarbelakangi
oleh rentetan peristiwa masa lalu yang mengakibatkan negara-negara kawasan Asia
Tenggara sulit untuk bersatu dan membentuk suatu organisasi regional. Peristiwa
tersebut ditinjau dari awal pembentukan Association of Southeast Asia (ASA) pada
tahun 1961, namun konflik antara Malaysia dan Filipina menjadi penyebab organisasi
tersebut bubar. ASA kemudian digantikan oleh Maphilindo yang dibentuk pada tahun
1963, namun lagi-lagi bubar karena politik konfrontasi Sukarno.23 Begitu pula dengan
kasus lainnya seperti konflik antara Malaysia dengan Singapura, Malaysia dengan
Thailand, Thailand dengan Kamboja. Dari rentetan peristiwa tersebut menimbulkan
kesadaran bagi ASEAN bahwa perlu adanya pengokoh pondasi ASEAN agar tidak
bubar sebagaimana organisasi bentukan kawasan Asia Tenggara sebelum ASEAN.
Kemudian disepakatilah prinsip non-intervensi yang tercantum pada ASEAN Charter
yang dapat meyakinkan negara-negara anggota ASEAN tetap bertahan.
Eksistensi Rohingya
23
Bambang Cipto, 2010, Hubungan Internasional di Asia Tenggara: Teropong Terhadap Dinamika,
Realitas, dan Masa Depan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal 13
13
sebagai bagian dari Myanmar.24 Pada masa pemerintaha U Nu, Rohingya masih diakui
keberadaanya dibuktikan dengan jabatan Menteri Kesehatan yang diduduki oleh Sultan
Mahmoud yang berasal dari Rohingya. Namun, semenjak bergantinya pemerintahan U
Nu ke Ne Win mengubah status Rohingya menjadi tidak diakui oleh Myanmar.25
24
Zinda Rahma Ilfana (201310360311103), 2017, Ambiguitas Sikap Politik Aung San Suu Kyi
Terhadap Masalah Segregasi Etnis Rohingya, Ilmu Hubungan Internasional, Universitas
Muhammadiayah Malang, hal 35
25
Ibid, hal 36
26
Ibid, hal 39
27
Dw.com, 2018, Pembantaian Etnis Rohingya Masih Terus Berlanjut, dalam
https://www.dw.com/id/pembantaian-etnis-rohingya-masih-terus-berlanjut/a-46035795 diakses pada
11 Desember 2018 pukul 19.37 WIB
14
perang.28 Menurut Amnesty International berdasarkan data yang diambil melalui
rekaman satelit dan wawancara langsung dengan etnis Rohingya tercatat bahwa
terdapat 80 lebih lokasi etnis Rohingya dibakar dan tindakan ini diduga dilakukan oleh
militer dan kelompok tertentu.29
Norma dan prinsip ASEAN dituangkan di dalam salah satu perjanjian yang
dibentuknya, yaitu Treaty of Amity and Cooperation (TAC). Treaty of Amity and
Cooperation (TAC) atau biasa disebut sebagai Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama
ini merupakan sebuah perjanjian yang bertujuan mewujudkan perdamaian,
persahabatan dan kerjasama antar negara-negara ASEAN.30 Dengan kata lain ada
upaya penegakkan keadilan dalam proses mewujudkannya. TAC disepakati tahun 1976
pada pertemuan puncak ASEAN pertama di Bali. TAC juga disebut sebagai wujud
nilai-nilai global yang menjadi dasar pembentukan ASEAN.31 Hasil kesepakatan TAC
antara lain, pertama, Saling menghormati kemerdekaan, kedaulatan, kesetaraan,
integritas wilayah, dan identitas nasional semua bangsa. Kedua, setiap negara berhak
untuk memimpin eksistensi nasionalnya bebas dari campur tangan eksternal, subversi,
atau koersi. Ketiga, tidak mengintervesi dalam urusan internal negara satu sama lain.
Keempat, penyelesaian perbedaan atau perselisihan dilakukan secara damai. Kelima,
menolak ancaman atau penggunaan kekerasan. Keenam, kerjasama yang efektif antar
28
Tempo.co, 14 November 2018, Tiga Pelanggaran HAM Berat yang Dilakukan Myanmar pada
Rohingya, dalam https://dunia.tempo.co/read/1146335/tiga-pelanggaran-ham-berat-yang-dilakukan-
myanmar-pada-rohingya diakses pada 11 Desember 2018 pukul 19.40 WIB
29
Putu Metra Surya Putra, 5 September, Bukti Pelanggaran HAM yang Dilakukan Myanmar Terhadap
Rohingya, https://www.liputan6.com/news/read/3096077/bukti-pelanggaran-ham-yang-dilakukan-
myanmar-terhadap-rohingya diakses pada 11 Desember 2018 pukul 19.43 WIB
30
ASEAN.ORG, 2016, Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia Indonesia, 24 February
1976, https://asean.org/treaty-amity-cooperation-southeast-asia-indonesia-24-february-1976/ diakses
pada 11 Desember 2018 pukul 20.09 WIB
31
Bambang Cipto, op. cit. hal 23
15
negara-negara ASEAN.32 Kesepakatan TAC menunjukan wujud dari nilai yang
mencerminkan perilaku negara-negara ASEAN. Secara keseluruhan kesepakatan
tersebut berorientasi pada peraturan bersama untuk menjaga stabilitas ASEAN dengan
menentukan perilaku negara-negaranya agar saling menghormati satu sama lain dan
apabila terjadi perselisihan tidak diperkenankan diselesaikan dengan cara kekerasan.
Hal menarik dari TAC adalah isi poin ketiga kesepakatan tersebut, yaitu prinsip
tidak mengintervensi atau mencampuri urusan negara lain. Prinsip ini juga disebut
sebagai doctrine of non-interference yang mana dinilai menjadi pondasi kuat dalam
keberlangsungan regionalisme ASEAN.33 Doktrin ini muncul sebagai antisipasi
negara-negara ASEAN yang menyadari bahwa urusan dalam negeri jauh lebih penting
daripada urusan luar. Sebab hal yang berkaitan dengan dalam negeri pada saat itu
cenderung mengarah pada permasalahan ancaman internal berupa kudeta dan lain
sebagainya. Hal ini juga dilatarbelakangi oleh kasus yang terjadi di Vietnam yang
berubah menjadi negara komunis karena lemah dalam penanganan faktor internalnya.
Negara-negara ASEAN yang notabene merupakan negara yang cenderung Kanan
dengan melihat kasus Vietnam akhirnya memutuskan untuk mengantisipasi agar tidak
terjadi hal yang serupa pada negara-negaranya. Dan melalui prinsip atau doktrin non
intervensi ini ASEAN sepakat untuk tidak mengusik atau ikut campur dengan urusan
negara satu sama lain.34
32
ASEAN.ORG, loc. cit.
33
Bambang Cipto, op. cit. hal 31
34
Ibid
16
tidak sepakat (oposisi) dengan negara anggota tersebut dan justru memberikan
perlawanan. Semua ini terjadi dengan alasan yang agar menjaga keberlangsungan
organisasional ASEAN. Secara sederhana pengupayaan dalam penegakkan keadilan
akan sulit direalisasikan, meskipun itu dalam rangka menciptakan perdamaian dan
keamanan. Misalnya pada kasus yang terjadi di Kamboja yakni pada masa rezim Pol
Pot (pada saat itu Kamboja belum menjadi bagian anggota ASEAN) dan people’s
power di Filipina35 ASEAN tetap teguh dalam pendiriannya menjalankan prinsip non-
intervensiya. Dan ASEAN hanya memberikan pernyataan prihatin terhadap
permasalahan yang terjadi.36
35
People’s power Filipina adalah peristiwa demonstrasi besar-besaran oleh rakyat Filipina yang terjadi
pada tahun 1986 dalam rangka menjatuhkan rezim otoriter Ferdinand Marcos. Aksi ini dilakukan
secara damai dan tanpa menggunaan kekerasan sama sekali. Demonstrasi yang berlangsung selama
empat hari ini kemudian berhasil menumbangkan Ferdinand Marcos dan mengangkat Corazon Aquino
sebagai pemimpin baru di Filipina.
36
Bambang Cipto, op. cit. hal 32
37
Erika & Dewa Gede S.M., Meneropong Prinsip Non Intervensi yang Masih Melingkar dalam
ASEAN, Perspektif, Volume XIX No. 3 Tahun 2014 Edisi September. Jurnal dalam
https://www.researchgate.net/publication/312461110_MENEROPONG_PRINSIP_NON_INTERVEN
SI_YANG_MASIH_MELINGKAR_DALAM_ASEAN/fulltext/58aaf91f92851cf0e3ca238b/3124611
10_MENEROPONG_PRINSIP_NON_INTERVENSI_YANG_MASIH_MELINGKAR_DALAM_AS
EAN.pdf?origin=publication_detail diakses pada 12 Desember 2018 pukul 21.03 WIB
17
dan menekankan pada musyawarah dan mufakat.38 ASEAN Way berisi tentang norma
non-intervensi, non penggunaan angkatan bersenjata, mementingkan otonomi regional,
dan menghindari collective defense.39 ASEAN Way merupakan kelanjutan
implementasi dari TAC, yakni menjalankan norma non-intervensi. Sebaimana
dijelaskan pada isi kesepakatan TAC bahwa norma atau prinsip non-intervensi menjadi
batasan perilaku bagi negara-negara anggota ASEAN. Semua negara anggota tidak
diperkenankan campur tangan dengan permasalahan negara anggota yang lain.
Akibatnya dilema muncul apabila ASEAN dihadapkan dengan permasalaan yang
menyangkut kejahatan kemanusiaan dan sejenisnya yang dialami oleh negara-negara
anggotanya. Sebagaimana yang terjadi pada kasus krisis kemanusiaan di Rohingya.
ASEAN Charter adalah anggaran dasar ASEAN yang dibentuk pada tanggal 20
November 2007 di Singapura pada KTT ASEAN ke-13. ASEAN Charter merupakan
sebuah piagam yang dibentuk dengan tujuan menjadikan ASEAN sebagai organisasi
internasional yang memiliki dasar hukum yang kuat, dengan aturan yang jelas, serta
memiliki struktur organisasi yang efektif dan efisien.40 ASEAN Way dalam konteks
tujuan dan prinsip yang bernilai pada keamanan dan perdamaian bersama di ASEAN
telah dicantumkan pada pasal 1 poin 1 bahwa ASEAN bertujuan memelihara dan
meningkatkan perdamaian, keamanan, dan stabilitas serta lebih memperkuat nilai-nilai
38
Shofwan, 2006, ASEAN Way sebagai manajemen konflik negara-negara Asia Tenggara,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tesis elektronik diambil dari
http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act=view&ty
p=html&buku_id=29990 diakses pada 12 Desember 2018 pukul 21.08 WIB
39
Shafira, 2014, ASEAN dan ASEAN Way, artikel dalam http://pshafira-
fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-99668-MBP%20Asia%20Tenggara-
ASEAN%20dan%20ASEAN%20Way.html diakses pada 12 Desember 2018 pukul 21.15 WIB
40
Kementerian luar negeri, 2009, Piagam ASEAN, diambil dari
https://www.kemlu.go.id/id/kebijakan/asean/Pages/Piagam-ASEAN.aspx diakses pada 12 Desember
2018 pukul 21.41 WIB
18
yang berorientasi pada perdamaian di kawasan.41 Prinsip-prinsip yang terkandung
dalam ASEAN Charter juga memperkuat ASEAN Way. Sebagian besar prinsip-prinsip
tersebut berbicara tentang keamanan dan perdamaian dengan menjunjung sikap saling
menghormati satu sama lain.
Dalam pasal 2 (e) ASEAN Charter menyatakan bahwa negara anggota ASEAN
dilarang campur tangan urusan domestik negara-negara anggota ASEAN lainnya. Hal
ini berujung pada empat kewajiban negara-negara anggota ASEAN untuk
melaksanakan prinsip non-intervensi sebagai berikut:
41
Ibid
42
Sefriani, ASEAN Way dalam Perspektif Hukum Internasional, Yustisia, Vol. 3 No. 1 Januari - April
2014, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, hal 92. Jurnal dalam
https://jurnal.uns.ac.id/yustisia/article/viewFile/10128/9036 diakses pada 13 Desember 2018 pukul
22.14 WIB
19
Contoh, pada permasalahan Malaysia, yakni pengamanan integritas wilayah
Sabah dari penyusup yang berasal dari kerajaan Sulu. Pada kasus ini dibenarkan atas
prinsip non-intervensi yang tercantum pada poin keempat, karena telah menyangkut
pada persoalan stabilitas nasional suatu negara. Maka dari itu, ASEAN tidak mengakui,
melindungi dan memberi bantuan terhadap penyusup Sulu yang dianggap sebagai
pengganggu stabilitas Malaysia. Berdasarkan prinsip ini pula permasalahan Sabah
dianggap sebagai permasalahan domestik Malaysia dan tidak diperkenankan untuk ikut
campur di dalamnya.43 Begitu pula dengan pelanggaran HAM yang terjadi di
Myanmar atas kasus Rohingya. Dengan alasan yang sama permasalahan semacam ini
tetap dianggap sebagai permasalahan domestik Myanmar dan ASEAN tidak berani
memberikan tindakan apapun terhadap pelanggaran yang dilakukan Myanmar baik itu
upaya jalur hukum dalam menegakkan keadilan bagi Rohingya.
43
Ibid
20
Rohingya dan Prinsip Non-intervensi ASEAN
44
Erika, op. cit. hal 183
45
Ibid
21
Dalam ASEAN Charter, prinsip non-intervensi telah dilegalisasi. Hal ini pula
yang membuat ASEAN sulit untuk meninggalkan prinsip tersebut. Maka dampak
selanjutnya adalah ASEAN tidak dapat membenarkan atas pelanggaran-pelanggaran
berat yang terjadi pada negara-negara anggotanya. Kasus Rohingya adalah wujud dari
dampak prinsip ini. Myanmar telah melakukan pelanggaran HAM secara jelas terhadap
etnis Rohingya, namun tidak ada tindakan riil dari ASEAN untuk mengatasinya. Di
pihak Myanmar terdapat Aung San Suu Kyi sebagai pemegang nobel perdamaian,
namun menjadi ironi ketika pada kenyataannya permasalahan yang terjadi di negaranya
sendiri adalah pelanggaran HAM berat. Aung San Suu Kyi dinilai selalu bungkam
ketika menyoal Rohingya. Sebagaimana ketika di Jenewa, Aung San Suu Kyi berbicara
seakan tidak ada masalah yang terjadi di Myanmar. sedangkan sangat jelas
permasalahan Myanmar saat itu adalah krisis kemanusiaan Rohingya.46
Setelah mengalami krisis pada tahun 1997, enam tahun setelahnya ASEAN
kembali bangkit dan mengadakan pertemuan tinggi di Bali pada tahun 2003 yang
dikenal sebagai Bali Concord II.47 Hasil dari Bali Concord II berupa tiga pilar ASEAN,
yaitu ASEAN Economy Community (ASC), ASEAN Security Community (ASC) dan
ASEAN Social Culture Community (ASSC). Dari terbentuknya ketiga pilar ini memiliki
46
Ibid
47
Bambang Cipto, op. cit. hal 82
22
tujuan yang tidak jauh berbeda dengan kesepakatan-kesepakatan yang dibentuk
sebelumnya, yakni untuk menjaga stabilitas ASEAN.48
1. Pembangunan Politik
Negara-negara ASEAN dituntut untuk bersama-sama memajukan dan
mendukung politik di ASEAN demi mencapai visi bersama dan untuk
mencapai perdamaian, stabilitas, demokrasi, serta kesejahteraan wilayah.
2. Membentuk dan Membagi Norma
Pembentukan standar norma di ASEAN untuk mengatur perilaku negara-
negara anggota ASEAN agar mematuhi kesepakatan bersama. Hal ini bertujuan
untuk memperkokoh kebersamaan ASEAN dalam rangka membangun ASEAN
yang lebih demokratis.
3. Pencegahan Konflik
Pencegahan konflik merupakan upaya yang dilakukan ASEAN untuk menjaga
keadaan ASEAN agar tetap aman. Di sisi lain juga untuk memperkuat
keyakinan dan kepercayaan masyarakat.
4. Resolusi Konflik
48
Walter Pinem, 2013, ASEAN & Perbedaan Bali Concord II dan III, artikel dalam
https://www.seniberpikir.com/asean-perbedaan-bali-concord-ii-dan-iii/ diakses pada 15 Desember
2018 pukul 17.42 WIB
49
Rio Kusuma A., 2013, Prospek ASEAN Security Community (ASC) dalam Penyatuan Kawasan
ASEAN, Universitas Al Azhar Indonesia, hal 8. Makalah diambil dari
https://www.academia.edu/5806700/ASEAN_Security_Community diakses pada 18 Desember 2018
pukul 19.34 WIB
23
Penyelesaian konflik dilakukan secara damai oleh ASEAN sebagaimana yang
telah disepakati, yakni tanpa adanya tindakan intervensi.
5. Penciptaan perdamaian pasca konflik
Penciptaan perdamaian dilakukan bersama-sama negara anggota ASEAN
dengan saling membantu untuk memulihkan stabilitas melalui bantuan
kemanusiaan, dll.
6. Mekanisme Penerapan
Dalam hal ini diperlukan konsultasi dengan badan-badan kementerian terkait
dalam mengambil tindakan penerapan dengan melakukan peninjauan ulang
terhadap rencana yang digunakan. Dan sekjen ASEAN bertanggungjawab
memantau upaya ini.
50
Aty Agustinawaty, 2016, Tentang Pentingnya Komunitas Sosial-Budaya ASEAN, artikel dalam
https://www.rmol.co/read/2016/04/19/243805/Tentang-Pentingnya-Komunitas-Sosial-Budaya-
ASEAN- diakses pada 18 Desember 2018 pukul 19.58 WIB
24
prinsip non-intervensi. Sedangkan apa yang terjadi di Rohingya seharusnya menjadi
obyek utama pembangunan oleh ASCC.
25
Fenomena Rohingya Myanmar adalah wujud dari keburukan yang ditimbulkan
dari persepsi mayoritas lebih unggul dari minoritas. Apabila berbicara hak asasi
manusia, terlepas dari agama, suku, ras apapun tentu fenomena semacam ini tidak dapat
dibenarkan. Namun, hak asasi manusia dinilai absurd karena apabila melihat dari segi
legalitas tidak ada yang dapat disalahkan dari Myanmar. Apalagi dalam hukum
internasional sekalipun seluruh negara anggota ASEAN menyusun Blueprint ASC
tetapi pada kenyataannya sekadar hanya menyusun dan tidak berkomitmen dalam
menjalankannya.
Kesimpulan
26
bertanggung jawab memayungi negara-negara anggotanya atas segala
permasalahannya bertujuan untuk menjaga stabilitas di kawasan Asia Tenggara.
Namun, secara praktis ASEAN dinilai kurang masif dalam melaksanakan
kewajibannya. Negara-negara anggota ASEAN lainnya kerap kali menyinggung
permasalahan Rohingya, namun lagi-lagi hanya berakhir dengan kecaman dan tidak
ada upaya lebih lanjut terkait dengan penegakkan keadilan.
Hal ini terjadi bukan semata-mata tanpa alasan. Data penelitian menunjukan
bahwa dilema yang dialami ASEAN ini bermula dari awal pembentukannya ASEAN
dimana membentuk norma kawasan Asia Tenggara yang kemudian dituangkan di
dalam ASEAN Charter. Isi ASEAN Charter meyatakan bahwa ASEAN berpegang
teguh pada prinsip non-intervensi. Melalui prinsip ini mengakibatkan ketidaksinkronan
terhadap norma lain maupun tujuan dan hukum internasional yang ada di ASEAN.
Prinsip non-intervensi memunculkan kontradiksi terhadap ASEAN Way dan Tiga Pilar
ASEAN yang secara keseluruhan berorientasi pada tujuan pembentukan perdamaian
dan menjaga keamanan, terlebih lagi pada hal kemanusiaan. Namun, fakta berkata lain
dengan menunjukan ASEAN lebih cenderung mengedepankan prinsip non-
intervensinya dibandingkan dengan tujuan mulianya untuk mewujudkan kesejahteraan,
perdamaian dan keamanan. Dalam hukum internasional peristiwa ini menunjukan
bahwa ASEAN termasuk dalam kategori dualisme, dimana ASEAN lebih menjunjung
tinggi hukum nasional yang berlaku di negara-negara anggotanya dibandingkan hukum
internasional di ASEAN. Pernyataan ini juga diperkuat melalui bukti sejarah yang
mengidentifikasikan bahwa negara-negara di kawasan Asia Tenggara pada dasarnya
tidak ingin urusan dalam negerinya diusik oleh negara lain. Dengan kata lain dilema
ASEAN berakhir pada pengorbanan atas apa yang telah dicita-citakan oleh ASEAN,
yaitu ASEAN Way, ASEAN Charter dan tiga pilar ASEAN. Demikian dilema hukum
internasional ASEAN dalam menegakkan keadilan atas krisis kemanusiaan Rohingya
yang muncul tersebut diakibatkan atas kondisi internal ASEAN yang saling kontradiksi
27
satu sama lain baik secara kesepakatan atau perjanjian, nilai, norma, prinsip dan hukum
yang berlaku di ASEAN.
28
Daftar Pustaka
Buku
Mauna, Boer, 2015, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, PT. Alumni, Bandung
Skripsi
Rahma Ilfana, Zinda. (201310360311103), 2017, Ambiguitas Sikap Politik Aung San
Suu Kyi Terhadap Masalah Segregasi Etnis Rohingya, Ilmu Hubungan
Internasional, Universitas Muhammadiayah Malang,
Tesis
29
Makalah
Kusuma A., Rio. 2013, Prospek ASEAN Security Community (ASC) dalam Penyatuan
Kawasan ASEAN, Universitas Al Azhar Indonesia, hal 8. Makalah
diambil dari
https://www.academia.edu/5806700/ASEAN_Security_Community
Jurnal
Erika & Dewa Gede S.M., Meneropong Prinsip Non Intervensi yang Masih Melingkar
dalam ASEAN, Perspektif, Volume XIX No. 3 Tahun 2014 Edisi
September. Jurnal dalam
https://www.researchgate.net/publication/312461110_MENEROPONG
_PRINSIP_NON_INTERVENSI_YANG_MASIH_MELINGKAR_DA
LAM_ASEAN/fulltext/58aaf91f92851cf0e3ca238b/312461110_MENE
ROPONG_PRINSIP_NON_INTERVENSI_YANG_MASIH_MELING
KAR_DALAM_ASEAN.pdf?origin=publication_detail
Juneman, 2011, Tinjauan Kritis terhadap Teori Aktivitas dan Dilema Sosial,
HUMANIORA, Vol.2 No.1 April 2011: 826-837, Bina Nusantara
University, hal. 832 – 833, dalam
http://journal.binus.ac.id/index.php/Humaniora/article/viewFile/3101/24
87
30
dalam
https://www.open.edu/openlearn/ocw/pluginfile.php/332226/mod_ouco
ntent/oucontent/6564/8a93f17a/8114e1f4/b847_learning_animations.zip
/extra/dilemmatheory.pdf
Sefriani, 2014, ASEAN Way dalam Perspektif Hukum Internasional, Yustisia, Vol. 3
No. 1 Januari - April 2014, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia,
hal 92. Jurnal dalam
https://jurnal.uns.ac.id/yustisia/article/viewFile/10128/9036
Artikel
31
ASEAN.ORG, 2016, Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia Indonesia, 24
February 1976, https://asean.org/treaty-amity-cooperation-southeast-
asia-indonesia-24-february-1976/
Metra Surya Putra, Putu. 5 September 2017, Bukti Pelanggaran HAM yang Dilakukan
Myanmar Terhadap Rohingya,
https://www.liputan6.com/news/read/3096077/bukti-pelanggaran-ham-
yang-dilakukan-myanmar-terhadap-rohingya
Pinem, Walter. 2013, ASEAN & Perbedaan Bali Concord II dan III, artikel dalam
https://www.seniberpikir.com/asean-perbedaan-bali-concord-ii-dan-iii/
32
https://dunia.tempo.co/read/1146335/tiga-pelanggaran-ham-berat-yang-
dilakukan-myanmar-pada-rohingya
VOA Indonesia, 18 Maret 2018, KTT ASEAN Kecam Perlakuan Myanmar terhadap
Rohingya¸ dalam https://www.voaindonesia.com/a/ktt-asean-kecam-
perlakukan-myanmar-terhadap-rohingya-/4305988.html
33