Anda di halaman 1dari 33

TUGAS ARTIKEL JURNAL

HI KAWASAN ASIA TENGGARA

Dilema Hukum Internasional ASEAN dalam Penegakan Keadilan atas Krisis


Kemanusiaan Rohingya

Nama : Beny Sapto Guritno


NIM : 201610360311116
Kelas :D

PERNYATAAN
1. Tugas ini adalah pekerjaan saya sendiri dan tidak mengandung unsur plagiasi,
kecuali kutipan-kutipan yang telah disebutkan sumbernya dengan baik dan
benar.
2. Tugas ini belum pernah dikumpulkan sebagian atau seluruhnya kecuali untuk
keperluan Mata Kuliah HI Kawasan Asia Tenggara.
3. Apabila di kemudian hari tugas ini terbukti merupakan hasil plagiat sebagian
atau seluruhnya dari tulisan orang lain, saya bersedia menerima sanksi
akademik sesuai dengan aturan pelanggaran tentang plagiarisme.

Yang Menyatakan,
Malang, 22 Desember 2018

( Beny Sapto Guritno* )


*) Dengan menuliskan nama Anda, maka Anda telah dianggap menyetujui
dan menandatangani lembar pernyataan ini

1
Dilema Hukum Internasional ASEAN dalam Menegakkan Keadilan atas Krisis
Kemanusiaan Rohingya

Beny Sapto Guritno

201610360311116 / ASTENG-D1

Abstrak

Krisis kemanusiaan yang berkepanjangan di Rohingya menjadi persoalan


dilematis bagi ASEAN. ASEAN sebagai pemegang peran penting di kawasan Asia
Tenggara dinilai kurang masif dalam merespon krisis kemanusiaan di Rohingya.
Akibatnya dunia internasional seringkali mengecam permasalahan tersebut. Di sisi lain
untuk mengupayakan suatu tindakan kepada Myanmar perlu meninjau beberapa faktor
yang mendasarinya, baik dari prinsip maupun hukum yang berlaku di Myanmar dan
ASEAN. Tulisan ini akan mengungkap penyebab ASEAN yang dinilai kurang masif
terhadap penanganan kasus Rohingya. Untuk meninjau lebih dalam, analis
menggunakan teori hukum inernasional dan teori dilema, serta pengumpulan data
menggunakan metode studi literasi. Hasil akhir mengungkap bahwa dilema atas upaya
penanganan krisis kemanusiaan di Rohingya disebabkan oleh kesepakatan awal
pembentukan ASEAN yang pada dasarnya lebih memilih untuk menggunakan prinsip
hukum internasional dualisme, serta keberadaan ASEAN Way dan penerapan prinsip
non-intervensi yang dinilai kontradiktif.
Kata Kunci: Dilema, Dualisme, Hukum Internasional, Rohingya

Abstract
The prolonged humanitarian crisis in Rohingya is a dilemma for ASEAN.
ASEAN as an important role holder in the Southeast Asia region is considered to be
less massive in responding to the humanitarian crisis in the Rohingya. As a result, the
international community often criticizes these problems. On the other hand, to seek
action on Myanmar, it is necessary to review some of the underlying factors, both from
the principles and laws that apply in Myanmar and ASEAN. This paper will reveal the

1
Korespondensi: Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Muhammadiyah Malang, Jl. Raya Tlogomas no. 246 Malang, email:
guritnobenny@gmail.com, HP. 081231597941

2
causes of ASEAN which are considered less massive in handling Rohingya cases. To
look deeper, analysts use international legal theory and dilemma theory, and data
collection using literacy study methods. The final results revealed that the dilemma of
efforts to address the humanitarian crisis in Rohingya was caused by the initial
agreement to form ASEAN which basically chose to use the principle of international
dualism, and the existence of ASEAN Way and the application of non-intervention
principles considered contradictory.
Keywords: Dilemma, Dualism, International Law, Rohingya

Pendahuluan

ASEAN merupakan organisasi regional yang mengedepankan kerjasama untuk


membangun dan menjaga hubungan baik antara negara-negara di kawasan Asia
Tenggara. Terbentuknya ASEAN pada tahun 1967 menjadi awal perjalanan kawasan
Asia Tenggara dalam menentukan masa depan kawasannya. Permasalahan yang
muncul cukup kompleks dialami ASEAN, hingga dinamika ini menjadi proses penting
pendewasaan ASEAN. ASEAN pernah mengalami krisis pada tahun 1997. Krisis ini
bermula dari ekonomi Thailand yang terguncang. Rentannya perekonomian negara-
negara tetangga membuat virus krisis dengan cepat menyebar dan menggerogoti
perekonomian.2 Keadaan mulai membaik, pada tahun 2003 ASEAN mengadakan
pertemuan di Bali yang disebut sebagai Bali Concord II. Kondisi ASEAN stabil hingga
muncul konflik Rohingya di Myanmar.

Isu Rohingya menjadi permasalahan regional. ASEAN yang berkomitmen


hadir untuk menjaga kestabilan kawasan, dipaksa berfikir keras untuk menjaga
stabilitas dan kerjasama antar negara anggota. Krisis HAM yang terjadi terhadap etnis
Rohingya bukan hanya menjadi isu domestik, tetapi juga kawasan Asia Tenggara.
Pengusiran terhadap etnis yang tidak diakui kewarganegaraannya di Myanmar
menyebabkan etnis Rohingya harus mencari suaka ke beberapa negara di ASEAN.

2
Dinda Purnamasari, Negara-negara yang Paling Terpuruk Saat Krisis Ekonomi ASEAN, 18 Juli 2017
dalam https://tirto.id/negara-negara-yang-paling-terpuruk-saat-krisis-ekonomi-asean-csSK diakses
pada 10 Desember 2018 pukul 16.13 WIB

3
Etnis Rohingya dianggap sebagai imigran ilegal dari Bangladesh, sehingga itulah
menjadi acuan penolakan dari berbagai negara. Aksi anti Rohingya dilakukan oleh
hampir seluruh warga negara Myanmar, terutama oleh tokoh masyarakat dan warga
agama mayoritas yakni Buddha, dan beberapa elemen masyarakat lainnya termasuk
Mahasiswa yang mengecap etnis Rohingya sebagai imigran Bengali.3

ASEAN yang memiliki jalan hidup menciptakan kestabilan kawasan


mengalami dilema akibat tindakan Myanmar. Upaya ASEAN merespon tindakan
Myanmar dengan memberikan kecaman, sebagaimana disampaikan ketika KTT
ASEAN di Australia pada 18 Maret 2018. Negara anggota ASEAN seringkali
mengkritisi tindakan Myanmar tersebut, namun secara fakta mereka kurang berani
tawar-menawar secara kolektif karena menolak mengompromikan kepentingan-
kepentingan nasionalnya. Begitu pula dengan ASEAN yang kenyataannya tidak
mampu mengintervensi memaksakan suatu tindakan.4 Fenomena semacam ini tidak
terlepas dari faktor penyebab lainnya. Melihat perilaku negara anggota ASEAN yang
demikian, mereka masih meletakan kepentingan nasional lebih tinggi daripada
mewujudkan kepentingan bersama pada ASEAN. Pernyataan Perdana Menteri
Singapura dalam KTT ASEAN di Australia bahwa “masalah Rohingya merupakan
kekhawatiran seluruh negara ASEAN, tapi ASEAN tidak mampu mengintervensi
untuk memaksakan suatu tindakan” menunjukan bahwasannya terdapat keraguan
dalam upaya menyelesaiakn atau menegakkan keadilan atas krisis Rohingya.5

Rasionalitas negara anggota ASEAN yang memprioritaskan kepentingan


nasionalnya daripada kepentingan bersama ASEAN, dilihat dari polanya secara hukum

3
Annisa Wuryandari, Dilema ASEAN Way dalam Penanganan Pencari Suaka Rohingya di Asia
Tenggara, Journal of International Relations, Volume 3, Nomor 2, Tahun 2017, 68-74 Online di
https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jihi/article/view/16615/15987 , Departemen Hubungan
Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro, hal 69, diakses pada 10
Desember 2018 pukul 16.45 WIB
4
VOA Indonesia, KTT ASEAN Kecam Perlakuan Myanmar terhadap Rohingya¸18 Maret 2018, dalam
https://www.voaindonesia.com/a/ktt-asean-kecam-perlakukan-myanmar-terhadap-rohingya-
/4305988.html diakses pada 10 Desember 2018 pukul 17.00 WIB
5
Ibid

4
internasional teridentifikasi bahwa ketika menyoal perkara penerapan suatu kebijakan
di ASEAN perlu pertimbangan yang harus sesuai dengan hukum nasional atau hukum
positif yang berlaku di negara anggotanya, namun standar hukum bukan diletakkan
pada ASEAN. Sehingga tindakan seperti yang dilakukan Myanmar akan sulit
disalahkan. Hal ini dikarenakan di dalam sistem hukum internasional tidak ada
kekuasaan tertinggi yang memaksakan keputusan menekan negara pelanggar hukum.
Hukum internasional juga tidak dapat mengikat secara absolut sebab tidak ada badan
legislatif hukum internasional yang berwewenang membuat ketentuan-ketentuan
hukum.6 Pernyataan tersebut secara spesifik masuk dalam kategori hukum
internasional dualisme, dimana hukum nasional lebih tinggi daripada hukum
internasional. Hukum internasional yang disepakati di dalam ASEAN adalah berbentuk
Piagam ASEAN (ASEAN Carter). Tujuan dan prinsip Piagam ASEAN secara umum
berorientasi pada persoalan sosial perdamaian di kawasan Asia Tenggara. Begitu pula
dengan ASEAN Way dan tiga pilar ASEAN. Semua dibentuk secara umum ditujukan
pada hal yang berkaitan dengan sosial perdamaian. Oleh karena itu keberadaan
ASEAN berdasarkan status hukumnya perlu dipertanyakan ketika menyoal krisis
kemanusiaan di Rohingya. Sebab posisi ASEAN berada dalam dilema mengingat status
hukumnya tidak sinkron dengan prinsip dan tujuan pembentukannya. Keberadaan
ASEAN Way, ASEAN Charter dan tiga pilar ASEAN dihadapkan dengan realita krisis
kemanusiaan Rohingya menjadikan ASEAN dalam keadaan dilema, yang
menyebabkan ASEAN dihadapkan dengan pilihan sulit dalam penanganan kasus
Rohingya.

Demikian fokus tulisan ini mengarah pada rumusan masalah yang berusaha
mengungkap bagaimana dilema hukum internasional ASEAN terhadap upaya
penegakkan keadilan atas kasus Rohingya itu bisa terjadi. Sedangkan ruang lingkup
dengan batasan waktu mulai dari tahun pembentukan ASEAN (1967) hingga 2017.

6
Boer Mauna, 2015, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika
Global, PT. Alumni, Bandung, hal 2.

5
Dan batasan materi terletak pada bahasan mengenai ASEAN terhadap penanganan
krisis kemanusiaan di Rohingya, bahasan dilihat melalui sudut pandang hukum
internasional yang berlaku di ASEAN.

Landasan Konseptual

Hukum Internasional

Hukum internasional secara umum merupakan sebuah kesepakatan yang berisi


tentang peraturan maupun ketentuan yang mengikat serta mengatur hubungan antar
aktor internasional, baik negara maupun non negara.7 Pada awalnya hukum
internasional hanya mengatur hubungan antar negara, namun dalam perjalanannya
cakupan subjek hukum internasional menjadi lebih luas. Sebagaimana aktor non negara
menjadi bagian dari subjek hukum internasional. Menurut Naturalis, hukum
internasional merupakan prinsip hukum bukan berasal dari manusia melainkan dari
Tuhan, sehingga berlaku secara universal. Sedangkan menurut Positivis, hukum
internasional merupakan prinsip-prinsip yang dibuat oleh negara atas kemauan mereka
sendiri. Maka hukum internasional itu didasarkan pada kesepakatan bersama yang
berwujud perjanjian dan kebiasaan internasional.8

Eksistensi hukum internasional masih menjadi pertanyaan antara keraguan dan


kepercayaan terhadap keberadaannya. Meskipun umur hukum internasional telah
hampir empat abad keraguan terhadap keberadaannya pun muncul dengan pernyataan
bahwa sistem hukum internasional tidak ada kekuasaan tertinggi dan badan
legislatifnya yang berkewenangan membuat keputusan serta ketentuan mengikat
terhadap masyarakat internasional. Sedangkan di sisi lain, negara-negara percaya
dengan adanya hukum internasional. Negara memiliki tanggung jawab moral serta

7
Ibid, hal 1
8
Ibid, hal 6

6
memandang hukum internasional sebagai pengatur yang dibutuhkan dalam hubungan
antar negara. Oleh karena itu setiap negara patuh terhadap hukum internasional.9

Demikian dengan kepatuhan juga terdapat pelanggaran. Subjek hukum


internasional terutama negara secara praktis apabila melakukan sebuah pelanggaran,
mereka tetap memberikan pembelaan atas pelanggaran yang dilakukannya dengan
memberikan rasionalisasi yang dianggapnya tidak bertentangan dengan prinsip hukum
yang berlaku. Sebagaimana yang terjadi di Kamboja atas invasi oleh Vietnam pada
tahun 1978, Uni Soviet terhadap Afghanistan pada tahun 1979, intervensi Amerika
Serikat terhadap Grenada pada tahun 1983, Amerika Serikat terhadap Panama pada
tahun 1989 dan invansi Irak terhadap Kuwai pada tahun 1990. Tentu peristiwa-
peristiwa tersebut dengan jelas merupakan bentuk pelanggaran hukum internasional.
Peristiwa-peristiwa tersebut juga tidak lepas dari kecaman dunia internasional. Namun,
seringkali karena kepentingan negara-negara pelaku tindak pelanggaran tersebut,
hukum internasional seakan tidak berlaku sama sekali.10

Dalam perkembangannya, hukum internasional terbagi menjadi dua aliran


besar, yaitu monisme dan dualisme. Monisme menjelaskan bahwa hukum nasional dan
hukum internasional meruapakan satu kesatuan ilmu hukum. Setiap negara maupun
subjek hukum lainnya terikat dengan hukum internasional. Dapat dikatakan bahwa
kedudukan hukum internasional lebih tinggi dibandingkan hukum nasional. Berbeda
dengan dualisme yang menyatakan bahwa hukum nasional dan hukum internasional
merupakan dua hal yang berbeda. Dalam memandang keberadaan hukum internasional
terdapat pertimbangan hukum nasional, sehingga hukum nasional menentukan arah
kebijakan hukum internasional. Hal ini dapat dikatakan bahwa hukum nasional

9
Ibid, hal 2 – 3
10
Ibid, hal 3

7
kedudukannya lebih tinggi daripada hukum internasional, sebab terdapat pertimbangan
subjek, sumber dan prinsip dasar yang melandasi hukum nasional.11

Dilema

Dilema secara umum diartikan sebagai kondisi yang menghadapkan dua pilihan
yang sama-sama menyulitkan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
dilema merupakan situasi sulit yang mengharuskan orang menentukan pilihan antara
dua kemungkinan yang sama-sama tidak menyenangkan atau tidak menguntungkan
dimana menunjukan situasi yang sulit dan membingungkan.12 Hampden Turner
menyebutkan bahwa dilema dalam bahasa Yunani berarti dua proposisi.13 Teori dilema
menuntut untuk melihat suatu kondisi melalui dua hal yang menjadi dasar perbedaan
atau berlawanan. Dengan kata lain melihat dua hal yang dilawankan, seperti persaingan
melawan kerja sama, diferensiasi melawan integrasi, keteraturan melawan kekacauan,
ketergantungan melawan kemerdekaan, dan lain-lain.14

11
Melda Kamil Ariadno, Kedudukan Hukum Internasional dalam Sistem Hukum Nasional, vol.5 no. 3,
April 2008, jurnal hukum internasional, Indonesian Journal of International Law. Hal 510. Diambil
dari https://media.neliti.com/media/publications/39087-EN-kedudukan-hukum-internasional-dalam-
sistem-hukum-nasional.pdf diakses pada 11 Desember 2018 pukul 04.36 WIB
12
Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, dilema, dalam https://kbbi.web.id/dilema diakses pada 3
Januari 2019 pukul 16.35 WIB
13
Sanne Grotenbreg & Mónica Altamirano, Government facilitation of external initiatives: how Dutch
water authorities cope with value dilemmas, InternatIonal Journal of Water resources Development,
2017, Informa uK limited, hal. 6, dalam
https://www.researchgate.net/profile/Sanne_Grotenbreg/publication/320048845_Government_facilitati
on_of_external_initiatives_how_Dutch_water_authorities_cope_with_value_dilemmas/links/59dfb19a
458515371600cd24/Government-facilitation-of-external-initiatives-how-Dutch-water-authorities-
cope-with-value-dilemmas.pdf?origin=publication_detail diakses pada 4 Januari 2019 pukul 22.14
WIB
14
Vesa J Kangaslahti, 2002, Learning in the Connected Economy: About Dilemma Theory, University
of Cambridge Programme for Industry, hal. 3, paper dalam
https://www.open.edu/openlearn/ocw/pluginfile.php/332226/mod_oucontent/oucontent/6564/8a93f17a
/8114e1f4/b847_learning_animations.zip/extra/dilemmatheory.pdf diakses pada 3 Januari 2019 pukul
17.04 WIB

8
Teori dilema secara spesifik mencakup banyak hal. Dalam konteks sosial, teori
dilema bertujuan untuk menjelaskan upaya mengambil sebuah keputusan dalam
perkara sosial yang dilematis. Dalam perkembangannya dilema sosial diklasifikasikan
menjadi tiga kecenderungan. Pertama, dilema sosial yang awalnya melihat individu
sebagai subjek yang di hadapkan dengan kelompok berkembang subjek menjadi
kelompok dihadapkan dengan kelompok. Kedua, dilema sosial merambah ke bidang
lain, seperti politik, hukum, kebijakan publik dan lain-lain. Ketiga, peran dilema sosial
dalam mengambil keputusan melibatkan afeksi atau emosi.15 Teori dilema kemudian
digunakan untuk melihat peran kelompok yang menghadapi suatu permasalahan
dengan anggota kelompoknya. Dalam konteks hubungan internasional, subjek
kelompok diartikan sebagai organisasi internasional atau regional dan sebagainya,
dimana dihadapkan dengan permasalahan yang dialaminya bersama anggota
organisasinya. Permasalahan tersebut menghadirkan sebuah pilihan yang menyulitkan
semua pihak dalam upaya penanganannya. Hal ini dikarenakan adanya faktor-faktor
tertentu yang mempengaruhi sulitnya menentukan suatu pilihan. Sehingga
memunculkan kondisi dilema dalam memutuskan sebuah tindakan yang
mengakibatkan tidak terselesaikannya permasalahan tersebut.

Metode Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian eksplanatif. Penelitian


eksplanatif merupakan penelitian yang melibatkan dua variable atau lebih dengan
menggunakan teori maupun konsep dalam menjelaskan suatu fenomena.16 Terdapat

15
Juneman, Tinjauan Kritis terhadap Teori Aktivitas dan Dilema Sosial, HUMANIORA, Vol.2 No.1
April 2011: 826-837, Bina Nusantara University, hal. 832 – 833, dalam
http://journal.binus.ac.id/index.php/Humaniora/article/viewFile/3101/2487 diakses pada 4 Januari
2019 pukul 22.47 WIB
16
Andi Anjar Salim (201310360311230), 2017, Pengaruh Persepsi Barack Obama Terhadap
Kebijakan Normalisasi Hubungan Diplomatik Amerika Serikat-Kuba, ilmu Hubungan Internasional,
Universitas Muhammadiyah, hal 29

9
lima kelompok tingkat analisa. Pertama, tingkat analisa hubungan internasional yang
melihat fenomena hubungan internasional di akibatkan oleh individu yang disebut
dengan perilaku individu. Kedua, mempelajari perilaku kelompok-kelompok dan
organisasi-organisasi yang terlibat di dalam hubungan internasional yang disebut
dengan perilaku kelompok. Ketiga, analisa ditekankan pada perilaku unit negara-
bangsa yang disebut dengan tingkat negara-bangsa. Keempat, analisa yang
menekankan bahwa negara bangsa bertindak tidak sendiri melainkan secara kolektif
(bersama negara-negara lainnya) disebut dengan tingkat negara-negara. Kelima,
analisa ini beranggapan bahwa bangsa-bangsa di seluruh dunia merupaka sebuah
sistem, dimana pergerakannya menentukan perilaku aktor Hubungan Internasional.
Dari klasifikasi tersebut, maka penelitian ini terdapat pada tingkat analisa Perilaku
Kelompok.17

Penelitian ini menggunakan Metode Tinjauan Pustaka. Menurut Christopher


Lamont tinjauan pustaka merupakan an analytical overview of existing scholarly
research on a certain topic of scholarly interest that establishes, organizes, and
identifies gaps in existing concepts and theoretical framework for reader. Dalam
tinjauan pustaka, peneliti tidak hanya dituntut untuk mencari dan mendapatkan data
melalui berbagai macam sumber seperti artikel ilmiah, jurnal, buku, surat kabar,
maupun referensi internet yang valid. Akan tetapi juga menganalisis sumber-sumber
tersebut dengan menggunakan pendekatan sistematis18

17
Mohtar Mas’oed, 1990, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi, Jakarta: LP3ES,
hal 39
18
Umar Suryadi Bakry, 2016, Metode Penelitian Hubungan Internasional, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar. Hal 132

10
Pembahasan

Hukum Internasional ASEAN

Hukum internasional sejatinya terbentuk karena adanya kesepakatan bersama


dan terciptanya suatu hukum didasari oleh sumber-sumbernya. Menurut J.G. Starke
sumber hukum diambil dari kebiasaan, traktat, keputusan pengadilan, karya-karya
hukum dan keputusan atau ketetapan organ-organ / lembaga internasional.19 Di sisi
lain, konvensi atau perjanjian internasional juga merupakan sumber hukum utama
hukum internasional. Konvensi tersebut adalah konvensi yang berbentuk law-making
treaties yaitu berisi prinsip-prinsip dan ketentuan yang berlaku secara umum.20

Dalam memandang hukum internasional, terdapat dua aliran yeang berbeda,


yaitu monisme dan dualisme. Monisme merupakan aliran yang mempercayai bahwa
keberadaan hukum nasional dan hukum internasional adalah satu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan. Di dalam monisme dibagi menjadi dua perspektif, yaitu pertama,
monisme dengan primat hukum nasional. Perspektif ini tidak jauh berbeda dengan
pandangan dualisme, yakni menganggap bahwa hukum nasional dinilai sedikit lebih
utama daripada hukum internasional. Hal ini dikarenakan bahwa tidak ada organisasi
dunia yang berada di atas negara-negara dan mengatur negara-negara tersebut, serta
dasar hukum internasional terletak pada wewenang konstitusionil negara-negara.
Kedua, monisme dengan primat hukum internasional. Pada perspektif ini menyatakan
bahwa hukum internasional kedudukannya lebih tinggi daripada hukum nasional. Hal
ini dibuktikan dengan status negara baru yang memenuhi masyarakat internasional
akan terikat dengan hukum internasional yang berlaku tanpa adanya suatu persetujuan.
Dan negara akan menserasikan hukum nasionalnya dengan hukum internasional. Bukti

19
Boer Mauna, op. cit. hal 8
20
Ibid, hal 9

11
ini diperkuat dengan Konferensi London pada tahun 1831 yang menyatakan bahwa
hukum internasional tidak bergantung pada perubahan suatu negara.21

Dualisme adalah aliran yang menyakini bahwa hukum nasional dan hukum
internasional merupakan dua hal yang berbeda. Perbedaan ini dikemukaan oleh Triepel
menjadi tiga bagian, antara lain:

1. Subyek hukum nasional adalah individu, sedangkan hukum internasional


adalah negara
2. Sumber hukum nasional adalah kehendak negara masing-masing, sedangkan
hukum nasional bersumber dari kesepakatan bersama negara-negara
3. Landasan prinsip yang berbeda. Hukum nasional didasari oleh norma konstitusi
negara, sedangkan hukum internasional didasari oleh prinsip perjanjian adalah
mengikat.22

Dalam aliran dualisme secara kedudukan beranggapan bahwa lebih tinggi


hukum nasional daripada hukum internasional. Sebab adanya pertimbangan hukum
nasional dalam menentukan hukum internasional.

Dari pemaparan di atas, dalam konteks ASEAN konvensi yang berbentuk law-
making treaties yaitu berisi prinsip-prinsip dan ketentuan yang berlaku secara umum
telah tercantum dalam ASEAN Charter yang menghasilkan prinsip non-intervensi.
Dalam pandangan hukum internasional ASEAN berjalan berdasarkan sumber hukum
yang didasarkan pada kesepakatan prinsip yang sama. Maka dari itu secara
penerapannya ASEAN dinilai telah benar. Namun, juga dinilai kurang tepat dalam hal
yang berkaitan dengan pelanggaran hukum. Rentetan kasus yang ada di ASEAN
seharusnya dapat ditempuh melalui penyelesaian hukum internasional. Dalam artian
norma internasional tidak boleh dilanggar dengan alasan apapun, tetapi kenyataannya
kasus Rohingya tidak mendapatkan porsi di hadapan penegak hukum. Hal ini

21
Melda Kamil Ariadno, op. cit. hal 511
22
Ibid, hal 508

12
dikarenakan pembentukan ASEAN pada dasarnya memang mengikuti aliran dualisme
yang menyakini bahwa hukum nasional adalah pertimbangan yang tidak bisa diganggu
gugat meskipun itu bertentangan degan hukum internasional.

Dilema yang disebabkan oleh penerapan prinsip non-intervensi ini tidak dapat
dipungkiri, sebab prinsip non-intervensi yang dikedepankan oleh ASEAN merupakan
hasil dari kesepakatan bersama negara-negara anggota ASEAN yang dilatarbelakangi
oleh rentetan peristiwa masa lalu yang mengakibatkan negara-negara kawasan Asia
Tenggara sulit untuk bersatu dan membentuk suatu organisasi regional. Peristiwa
tersebut ditinjau dari awal pembentukan Association of Southeast Asia (ASA) pada
tahun 1961, namun konflik antara Malaysia dan Filipina menjadi penyebab organisasi
tersebut bubar. ASA kemudian digantikan oleh Maphilindo yang dibentuk pada tahun
1963, namun lagi-lagi bubar karena politik konfrontasi Sukarno.23 Begitu pula dengan
kasus lainnya seperti konflik antara Malaysia dengan Singapura, Malaysia dengan
Thailand, Thailand dengan Kamboja. Dari rentetan peristiwa tersebut menimbulkan
kesadaran bagi ASEAN bahwa perlu adanya pengokoh pondasi ASEAN agar tidak
bubar sebagaimana organisasi bentukan kawasan Asia Tenggara sebelum ASEAN.
Kemudian disepakatilah prinsip non-intervensi yang tercantum pada ASEAN Charter
yang dapat meyakinkan negara-negara anggota ASEAN tetap bertahan.

Eksistensi Rohingya

Rohingya merupakan etnis di Myanmar yang mengalami penindasan berupa


kejahatan kemanusiaan. Keberadaan Rohingya tidak diakui oleh Myanmar hingga
dicabut status kewarganegaraannya. Myanmar tidak mengakui Rohingya dikarenakan
adanya perbedaan agama, fisik dan bahasa. Pemerintah Myanmar juga menyatakan
bahwa Rohingya merupakan imigran gelap dari Bangladesh yang tidak dapat diakui

23
Bambang Cipto, 2010, Hubungan Internasional di Asia Tenggara: Teropong Terhadap Dinamika,
Realitas, dan Masa Depan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal 13

13
sebagai bagian dari Myanmar.24 Pada masa pemerintaha U Nu, Rohingya masih diakui
keberadaanya dibuktikan dengan jabatan Menteri Kesehatan yang diduduki oleh Sultan
Mahmoud yang berasal dari Rohingya. Namun, semenjak bergantinya pemerintahan U
Nu ke Ne Win mengubah status Rohingya menjadi tidak diakui oleh Myanmar.25

Secara hukum yang berlaku di Myanmar, pada pasal 44 undang-undang


kewarganegaraan Myanmar yang menyatakan bahwa syarat mendapatkan status
kewarganegaraan Myanmar haruslah berumur 18 tahun, mampu berbahasa nasional
Myanmar dengan baik, mempunyai karakter baik, berakal sehat dan berasal dari ras
nasional Myanmar.26 Sedangkan etnis Rohingya tidak memenuhi persyartan tersebut,
sehingga pemerintah Myanmar tidak dapat mengakui Rohingya sebagai warga
negaranya.

Lebih lanjut, Myanmar yang meyakini Rohingya bukanlah bagian darinya


mengakibatkan Rohingya sulit untuk bertahan di Myanmar. Kondisi Rohingya semakin
memburuk akibat tidak diakuinya Rohingya sebagai bagian dari Myanmar. Rohingya
mendapatkan perilaku deskriminatif hingga parahnya sampai pada pembantaian
terhadap mereka. Pembantaian pun masih terus berlanjut sebagaimana yang
disampaikan oleh ketua Misi Pencari Fakta PBB di Myanmar, Marzuki Darusman.27
Terlepas dari status Rohingya dan fakta sejarah mengenai Rohingya, pelanggaran
HAM terhadap Rohingya dengan alasan apapun tetaplah tidak dapat dibenarkan. Tentu
saja secara rasional tindakan Myanmar sangatlah tidak manusiawi. Menurut Tim
Pencari Fakta (TPF) PBB sejauh ini telah ditemukan tiga pelanggaran HAM berat di
Rohingya, yaitu pembantaian atau genosida, kejahatan kemanusiaan dan kejahatan

24
Zinda Rahma Ilfana (201310360311103), 2017, Ambiguitas Sikap Politik Aung San Suu Kyi
Terhadap Masalah Segregasi Etnis Rohingya, Ilmu Hubungan Internasional, Universitas
Muhammadiayah Malang, hal 35
25
Ibid, hal 36
26
Ibid, hal 39
27
Dw.com, 2018, Pembantaian Etnis Rohingya Masih Terus Berlanjut, dalam
https://www.dw.com/id/pembantaian-etnis-rohingya-masih-terus-berlanjut/a-46035795 diakses pada
11 Desember 2018 pukul 19.37 WIB

14
perang.28 Menurut Amnesty International berdasarkan data yang diambil melalui
rekaman satelit dan wawancara langsung dengan etnis Rohingya tercatat bahwa
terdapat 80 lebih lokasi etnis Rohingya dibakar dan tindakan ini diduga dilakukan oleh
militer dan kelompok tertentu.29

Norma dan Prinsip ASEAN

Norma dan prinsip ASEAN dituangkan di dalam salah satu perjanjian yang
dibentuknya, yaitu Treaty of Amity and Cooperation (TAC). Treaty of Amity and
Cooperation (TAC) atau biasa disebut sebagai Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama
ini merupakan sebuah perjanjian yang bertujuan mewujudkan perdamaian,
persahabatan dan kerjasama antar negara-negara ASEAN.30 Dengan kata lain ada
upaya penegakkan keadilan dalam proses mewujudkannya. TAC disepakati tahun 1976
pada pertemuan puncak ASEAN pertama di Bali. TAC juga disebut sebagai wujud
nilai-nilai global yang menjadi dasar pembentukan ASEAN.31 Hasil kesepakatan TAC
antara lain, pertama, Saling menghormati kemerdekaan, kedaulatan, kesetaraan,
integritas wilayah, dan identitas nasional semua bangsa. Kedua, setiap negara berhak
untuk memimpin eksistensi nasionalnya bebas dari campur tangan eksternal, subversi,
atau koersi. Ketiga, tidak mengintervesi dalam urusan internal negara satu sama lain.
Keempat, penyelesaian perbedaan atau perselisihan dilakukan secara damai. Kelima,
menolak ancaman atau penggunaan kekerasan. Keenam, kerjasama yang efektif antar

28
Tempo.co, 14 November 2018, Tiga Pelanggaran HAM Berat yang Dilakukan Myanmar pada
Rohingya, dalam https://dunia.tempo.co/read/1146335/tiga-pelanggaran-ham-berat-yang-dilakukan-
myanmar-pada-rohingya diakses pada 11 Desember 2018 pukul 19.40 WIB
29
Putu Metra Surya Putra, 5 September, Bukti Pelanggaran HAM yang Dilakukan Myanmar Terhadap
Rohingya, https://www.liputan6.com/news/read/3096077/bukti-pelanggaran-ham-yang-dilakukan-
myanmar-terhadap-rohingya diakses pada 11 Desember 2018 pukul 19.43 WIB
30
ASEAN.ORG, 2016, Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia Indonesia, 24 February
1976, https://asean.org/treaty-amity-cooperation-southeast-asia-indonesia-24-february-1976/ diakses
pada 11 Desember 2018 pukul 20.09 WIB
31
Bambang Cipto, op. cit. hal 23

15
negara-negara ASEAN.32 Kesepakatan TAC menunjukan wujud dari nilai yang
mencerminkan perilaku negara-negara ASEAN. Secara keseluruhan kesepakatan
tersebut berorientasi pada peraturan bersama untuk menjaga stabilitas ASEAN dengan
menentukan perilaku negara-negaranya agar saling menghormati satu sama lain dan
apabila terjadi perselisihan tidak diperkenankan diselesaikan dengan cara kekerasan.

Hal menarik dari TAC adalah isi poin ketiga kesepakatan tersebut, yaitu prinsip
tidak mengintervensi atau mencampuri urusan negara lain. Prinsip ini juga disebut
sebagai doctrine of non-interference yang mana dinilai menjadi pondasi kuat dalam
keberlangsungan regionalisme ASEAN.33 Doktrin ini muncul sebagai antisipasi
negara-negara ASEAN yang menyadari bahwa urusan dalam negeri jauh lebih penting
daripada urusan luar. Sebab hal yang berkaitan dengan dalam negeri pada saat itu
cenderung mengarah pada permasalahan ancaman internal berupa kudeta dan lain
sebagainya. Hal ini juga dilatarbelakangi oleh kasus yang terjadi di Vietnam yang
berubah menjadi negara komunis karena lemah dalam penanganan faktor internalnya.
Negara-negara ASEAN yang notabene merupakan negara yang cenderung Kanan
dengan melihat kasus Vietnam akhirnya memutuskan untuk mengantisipasi agar tidak
terjadi hal yang serupa pada negara-negaranya. Dan melalui prinsip atau doktrin non
intervensi ini ASEAN sepakat untuk tidak mengusik atau ikut campur dengan urusan
negara satu sama lain.34

Akibat dari doctrine of non-interference ini adalah ASEAN menjadi organisasi


yang sering menghadapi kondisi dilema, tidak berani mengutarakan kebenaran dan
pasif dalam menegakkan keadilan. ASEAN menjadi tidak kritis apabila terjadi
penyelewengan kebijakan di negara-negara anggotanya dan justru memberikan
peringatan terhadap negara anggota lainnya yang dianggap melanggar prinsip ini.
ASEAN pro terhadap pemerintah negara anggotanya dalam melawan kelompok yang

32
ASEAN.ORG, loc. cit.
33
Bambang Cipto, op. cit. hal 31
34
Ibid

16
tidak sepakat (oposisi) dengan negara anggota tersebut dan justru memberikan
perlawanan. Semua ini terjadi dengan alasan yang agar menjaga keberlangsungan
organisasional ASEAN. Secara sederhana pengupayaan dalam penegakkan keadilan
akan sulit direalisasikan, meskipun itu dalam rangka menciptakan perdamaian dan
keamanan. Misalnya pada kasus yang terjadi di Kamboja yakni pada masa rezim Pol
Pot (pada saat itu Kamboja belum menjadi bagian anggota ASEAN) dan people’s
power di Filipina35 ASEAN tetap teguh dalam pendiriannya menjalankan prinsip non-
intervensiya. Dan ASEAN hanya memberikan pernyataan prihatin terhadap
permasalahan yang terjadi.36

Prinsip non-intervensi bagus apabila merupakan upaya pencegahan terjadinya


pemaksaan atau ancaman kekerasan terhadap negara lain yang mana jatuh pada
tindakan mengganggu kemerdekaan politik negara tersebut.37 Namun, akan menjadi
buruk apabila menjadikan suatu organisasi regional maupun internasonal buta dalam
penegakkan keadilan dan diam tanpa memberikan tindakan riil terhadap suatu
pelanggaran pada negara anggotanya.

Dalam Treaty of Amity and Cooperation (TAC) terdapat ketetapan norma


ASEAN yang disebut dengan ASEAN Way. ASEAN Way merupakan norma dan
prinsip ASEAN yang mengedepankan non-intervensi sebagai jalan hidupnya, dengan
menyelesaikan permasalahan sengketa maupun konflik secara damai non-konfrontatif,

35
People’s power Filipina adalah peristiwa demonstrasi besar-besaran oleh rakyat Filipina yang terjadi
pada tahun 1986 dalam rangka menjatuhkan rezim otoriter Ferdinand Marcos. Aksi ini dilakukan
secara damai dan tanpa menggunaan kekerasan sama sekali. Demonstrasi yang berlangsung selama
empat hari ini kemudian berhasil menumbangkan Ferdinand Marcos dan mengangkat Corazon Aquino
sebagai pemimpin baru di Filipina.
36
Bambang Cipto, op. cit. hal 32
37
Erika & Dewa Gede S.M., Meneropong Prinsip Non Intervensi yang Masih Melingkar dalam
ASEAN, Perspektif, Volume XIX No. 3 Tahun 2014 Edisi September. Jurnal dalam
https://www.researchgate.net/publication/312461110_MENEROPONG_PRINSIP_NON_INTERVEN
SI_YANG_MASIH_MELINGKAR_DALAM_ASEAN/fulltext/58aaf91f92851cf0e3ca238b/3124611
10_MENEROPONG_PRINSIP_NON_INTERVENSI_YANG_MASIH_MELINGKAR_DALAM_AS
EAN.pdf?origin=publication_detail diakses pada 12 Desember 2018 pukul 21.03 WIB

17
dan menekankan pada musyawarah dan mufakat.38 ASEAN Way berisi tentang norma
non-intervensi, non penggunaan angkatan bersenjata, mementingkan otonomi regional,
dan menghindari collective defense.39 ASEAN Way merupakan kelanjutan
implementasi dari TAC, yakni menjalankan norma non-intervensi. Sebaimana
dijelaskan pada isi kesepakatan TAC bahwa norma atau prinsip non-intervensi menjadi
batasan perilaku bagi negara-negara anggota ASEAN. Semua negara anggota tidak
diperkenankan campur tangan dengan permasalahan negara anggota yang lain.
Akibatnya dilema muncul apabila ASEAN dihadapkan dengan permasalaan yang
menyangkut kejahatan kemanusiaan dan sejenisnya yang dialami oleh negara-negara
anggotanya. Sebagaimana yang terjadi pada kasus krisis kemanusiaan di Rohingya.

ASEAN Way dalam ASEAN Charter

ASEAN Charter adalah anggaran dasar ASEAN yang dibentuk pada tanggal 20
November 2007 di Singapura pada KTT ASEAN ke-13. ASEAN Charter merupakan
sebuah piagam yang dibentuk dengan tujuan menjadikan ASEAN sebagai organisasi
internasional yang memiliki dasar hukum yang kuat, dengan aturan yang jelas, serta
memiliki struktur organisasi yang efektif dan efisien.40 ASEAN Way dalam konteks
tujuan dan prinsip yang bernilai pada keamanan dan perdamaian bersama di ASEAN
telah dicantumkan pada pasal 1 poin 1 bahwa ASEAN bertujuan memelihara dan
meningkatkan perdamaian, keamanan, dan stabilitas serta lebih memperkuat nilai-nilai

38
Shofwan, 2006, ASEAN Way sebagai manajemen konflik negara-negara Asia Tenggara,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tesis elektronik diambil dari
http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act=view&ty
p=html&buku_id=29990 diakses pada 12 Desember 2018 pukul 21.08 WIB
39
Shafira, 2014, ASEAN dan ASEAN Way, artikel dalam http://pshafira-
fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-99668-MBP%20Asia%20Tenggara-
ASEAN%20dan%20ASEAN%20Way.html diakses pada 12 Desember 2018 pukul 21.15 WIB
40
Kementerian luar negeri, 2009, Piagam ASEAN, diambil dari
https://www.kemlu.go.id/id/kebijakan/asean/Pages/Piagam-ASEAN.aspx diakses pada 12 Desember
2018 pukul 21.41 WIB

18
yang berorientasi pada perdamaian di kawasan.41 Prinsip-prinsip yang terkandung
dalam ASEAN Charter juga memperkuat ASEAN Way. Sebagian besar prinsip-prinsip
tersebut berbicara tentang keamanan dan perdamaian dengan menjunjung sikap saling
menghormati satu sama lain.

Dalam pasal 2 (e) ASEAN Charter menyatakan bahwa negara anggota ASEAN
dilarang campur tangan urusan domestik negara-negara anggota ASEAN lainnya. Hal
ini berujung pada empat kewajiban negara-negara anggota ASEAN untuk
melaksanakan prinsip non-intervensi sebagai berikut:

1. Dilarang untuk mengkritisi negara anggota ASEAN yang memberlakukan


tindakan apapun terhadap warga negaranya, meskipun terdapat pelanggaran
HAM, serta membuat keputusan mengenai keanggotaan suatu negara
berdasarkan sistem atau bentuk pemerintahannya
2. Mengkritisi tindakan dari satu negara yang melanggar prinsip non-intervensi
3. Menolak dukungan apapun yang berkaitan dengan kelompok pemberontak
yang dapat merusak stabilitas nasional negara tersebut. Meskipun itu
permintaan pengakuan atau permohonan suaka
4. Memberikan dukungan terhadap negara yang mengampanyekan tentang
penentangan kegiatan subversif yang mengganggu stabilitas negara, baik
dukungan dalam bentuk politis maupun bantuan materi.42

Akibatnya segala bentuk permasalahan bahkan konflik atau pelanggaran hak


asasi manusia yang terjadi pada negara anggota ASEAN tetap dibiarkan dan hal itu
dianggap sebagai bentuk sikap hormat karena tidak ikut campur dalam permasalahan
domestik negara tersebut.

41
Ibid
42
Sefriani, ASEAN Way dalam Perspektif Hukum Internasional, Yustisia, Vol. 3 No. 1 Januari - April
2014, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, hal 92. Jurnal dalam
https://jurnal.uns.ac.id/yustisia/article/viewFile/10128/9036 diakses pada 13 Desember 2018 pukul
22.14 WIB

19
Contoh, pada permasalahan Malaysia, yakni pengamanan integritas wilayah
Sabah dari penyusup yang berasal dari kerajaan Sulu. Pada kasus ini dibenarkan atas
prinsip non-intervensi yang tercantum pada poin keempat, karena telah menyangkut
pada persoalan stabilitas nasional suatu negara. Maka dari itu, ASEAN tidak mengakui,
melindungi dan memberi bantuan terhadap penyusup Sulu yang dianggap sebagai
pengganggu stabilitas Malaysia. Berdasarkan prinsip ini pula permasalahan Sabah
dianggap sebagai permasalahan domestik Malaysia dan tidak diperkenankan untuk ikut
campur di dalamnya.43 Begitu pula dengan pelanggaran HAM yang terjadi di
Myanmar atas kasus Rohingya. Dengan alasan yang sama permasalahan semacam ini
tetap dianggap sebagai permasalahan domestik Myanmar dan ASEAN tidak berani
memberikan tindakan apapun terhadap pelanggaran yang dilakukan Myanmar baik itu
upaya jalur hukum dalam menegakkan keadilan bagi Rohingya.

ASEAN yang menginginkan perdamaian dan keamanan sangat kontradiktif


dengan prinsip jalan hidupnya yang tidak mengupayakan penciptaan perdamaian dan
keamanan. Persoalan Rohingya menjadi contoh konkrit terkait permasalahan ini. Hal
ini dapat dilihat dari pasal 2 (e) ASEAN Charter yang seakan menjadi penghalang
utama untuk mewujudkan keadilan bagi korban penindasan. Sebab isi dari pasal
tersebut membatasi peran ASEAN dalam menangani permasalahan negara-negara
anggotanya. Alasan menghormati satu sama lain antar negara anggota bukan berarti
menjadi legitimasi bagi tindakan kejahatan kemanusiaan. Oleh karena itu kontradiksi
ini menimbulkan dilema bagi ASEAN sebagai pemegang peran penting kawasan Asia
Tenggara yang menginginkan perdamaian dan keamanan tetapi sulit
mengupayakannya diakibatkan hukum yang dibuatnya sendiri.

43
Ibid

20
Rohingya dan Prinsip Non-intervensi ASEAN

Intervensi seringkali dianggap sebagai sebuah pelanggaran yang merusak


kedaulatan suatu negara hingga dalam bentuk apapun intervensi tetap tidak dapat
dibenarkan berdasarkan hukum internasional secara kontekstual telah gagal. Menurut
Hans Kelsen, semenjak individu menjadi bagian dari subjek hukum internasional,
secara otomatis kedaulatan suatu negara telah dibatasi oleh individu di dalamnya.
Sebab negara mendapat kedaulatannya melalui individu yang memberikan
kewenangannya terhadap negara. Oleh karena itu, apabila terdapat pelanggaran
terhadap hak-hak individu, maka individu tersebut diperkenankan meminta bantuan
terhadap pihak lain untuk mengembalikan hak-haknya yang telah dirampas.44 Namun,
di dalam ASEAN hal semacam itu masih sulit diterima dan diimplementasikan,
mengingat bahwa ASEAN sangat menjunjung tinggi prinsip non-intervensi.

Prinsip non-intervensi sebenarnya bukan semata-mata untuk menghormati


kedaulatan sesama negara anggota ASEAN, tetapi dengan dibentuknya prinsip non-
intervensi ini menjadi pengokoh keberlangsungan ASEAN. Sebab dengan adanya
prinsip non-intervensi menjadikan negara-negara anggota ASEAN menghilangkan
rasa saling curiga satu sama lain dan dapat mempererat jalinan kerjasama. Mengingat
bahwa perjalanan terbentuknya ASEAN tidaklah mudah karena seringnya terjadi
benturan antara negara satu dengan negara lain menjadikan negara-negara tersebut
kurang percaya dalam keberlangsungan ASEAN. Oleh karena itu, prinsip non-
intervensi dinilai sebagai jaminan berorganisasi di ASEAN.45 Meskipun dengan latar
belakang yang demikian, prinsip non-intervensi dalam perjalanannya telah tidak
relevan dengan konteks permasalahan yang terus berlarut di ASEAN. Sebab dengan
prinsip tersebut ASEAN telah menjadi organisasi yang buta terhadap pelanggaran,
ASEAN meninggalkan tanggung jawab moral demi keberlangsungan organisasi.

44
Erika, op. cit. hal 183
45
Ibid

21
Dalam ASEAN Charter, prinsip non-intervensi telah dilegalisasi. Hal ini pula
yang membuat ASEAN sulit untuk meninggalkan prinsip tersebut. Maka dampak
selanjutnya adalah ASEAN tidak dapat membenarkan atas pelanggaran-pelanggaran
berat yang terjadi pada negara-negara anggotanya. Kasus Rohingya adalah wujud dari
dampak prinsip ini. Myanmar telah melakukan pelanggaran HAM secara jelas terhadap
etnis Rohingya, namun tidak ada tindakan riil dari ASEAN untuk mengatasinya. Di
pihak Myanmar terdapat Aung San Suu Kyi sebagai pemegang nobel perdamaian,
namun menjadi ironi ketika pada kenyataannya permasalahan yang terjadi di negaranya
sendiri adalah pelanggaran HAM berat. Aung San Suu Kyi dinilai selalu bungkam
ketika menyoal Rohingya. Sebagaimana ketika di Jenewa, Aung San Suu Kyi berbicara
seakan tidak ada masalah yang terjadi di Myanmar. sedangkan sangat jelas
permasalahan Myanmar saat itu adalah krisis kemanusiaan Rohingya.46

Terlepas dari status etnis Rohingya yang dicabut kewarganegaraannya,


pelanggaran HAM tetaplah pelanggaran HAM yang tidak dapat dibenarkan atas dasar
alasan apapun. Kembali pada prinsip non-intervensi ASEAN, kasus Rohinya tetap
dinilai sebagai masalah domestik Myanmar dan negara-negara anggota ASEAN
maupun ASEAN itu sendiri tidak diperkenankan ikut campur karena dianggap dapat
mengganggu stabilitas negara tersebut maupun stabilitas ASEAN.

Posisi ASC dan ASCC dalam Memandang Permasalahan Rohingya

Setelah mengalami krisis pada tahun 1997, enam tahun setelahnya ASEAN
kembali bangkit dan mengadakan pertemuan tinggi di Bali pada tahun 2003 yang
dikenal sebagai Bali Concord II.47 Hasil dari Bali Concord II berupa tiga pilar ASEAN,
yaitu ASEAN Economy Community (ASC), ASEAN Security Community (ASC) dan
ASEAN Social Culture Community (ASSC). Dari terbentuknya ketiga pilar ini memiliki

46
Ibid
47
Bambang Cipto, op. cit. hal 82

22
tujuan yang tidak jauh berbeda dengan kesepakatan-kesepakatan yang dibentuk
sebelumnya, yakni untuk menjaga stabilitas ASEAN.48

Ketiga pilar ASEAN memiliki kesinambungan dalam mencapai tujuannya.


Namun, dalam konteks kemanusiaan pilar ASEAN yang lebih cenderung
membahasnya adalah ASC dan ASCC. ASC merupakan salah satu dari tiga pilar
ASEAN yang dibentuk untuk membahas persoalan keamanan di kawasan Asia
Tenggara. Dalam usaha merealisasikan tujuan tersebut, terdapat enam aspek upaya
sebagai berikut: 49

1. Pembangunan Politik
Negara-negara ASEAN dituntut untuk bersama-sama memajukan dan
mendukung politik di ASEAN demi mencapai visi bersama dan untuk
mencapai perdamaian, stabilitas, demokrasi, serta kesejahteraan wilayah.
2. Membentuk dan Membagi Norma
Pembentukan standar norma di ASEAN untuk mengatur perilaku negara-
negara anggota ASEAN agar mematuhi kesepakatan bersama. Hal ini bertujuan
untuk memperkokoh kebersamaan ASEAN dalam rangka membangun ASEAN
yang lebih demokratis.
3. Pencegahan Konflik
Pencegahan konflik merupakan upaya yang dilakukan ASEAN untuk menjaga
keadaan ASEAN agar tetap aman. Di sisi lain juga untuk memperkuat
keyakinan dan kepercayaan masyarakat.
4. Resolusi Konflik

48
Walter Pinem, 2013, ASEAN & Perbedaan Bali Concord II dan III, artikel dalam
https://www.seniberpikir.com/asean-perbedaan-bali-concord-ii-dan-iii/ diakses pada 15 Desember
2018 pukul 17.42 WIB
49
Rio Kusuma A., 2013, Prospek ASEAN Security Community (ASC) dalam Penyatuan Kawasan
ASEAN, Universitas Al Azhar Indonesia, hal 8. Makalah diambil dari
https://www.academia.edu/5806700/ASEAN_Security_Community diakses pada 18 Desember 2018
pukul 19.34 WIB

23
Penyelesaian konflik dilakukan secara damai oleh ASEAN sebagaimana yang
telah disepakati, yakni tanpa adanya tindakan intervensi.
5. Penciptaan perdamaian pasca konflik
Penciptaan perdamaian dilakukan bersama-sama negara anggota ASEAN
dengan saling membantu untuk memulihkan stabilitas melalui bantuan
kemanusiaan, dll.
6. Mekanisme Penerapan
Dalam hal ini diperlukan konsultasi dengan badan-badan kementerian terkait
dalam mengambil tindakan penerapan dengan melakukan peninjauan ulang
terhadap rencana yang digunakan. Dan sekjen ASEAN bertanggungjawab
memantau upaya ini.

Secara keseluruhan enam aspek tersebut mengarah pada pembangunan ASEAN


dalam bidang politik yang bertujuan untuk menjaga keamanan dan menciptakan
perdamaian di kawasan Asia Tenggara. Namun, dilihat dalam konteks dinamikanya,
perpolitikan ASEAN selalu mengalami kompleksitas. ASEAN masih berhadapan
dengan permasalahan yang banyak mendapat pertentangan dari masyarakat dunia.
Kasus krisis kemanusiaan dan pelanggaran HAM di Myanmar menjadi sorotan utama,
tentu karena anomali ASEAN dalam menjalankan visi misinya dengan membentuk
sekian kesepakatan dan perjanjian namun dalam praktiknya selalu kontradiktif dengan
prinsip yang dianutnya. Begitu pula dengan ASCC, yang memiliki peran dan tujuan
mulia seperti pengentasan kemiskinan, dan pembangunan manusia, serta lingkup kerja
Dewan ASCC meliputi hal-hal lingkungan, pendidikan, budaya, kesehatan, pemuda,
perempuan, anak-anak, pekerja, kesejahteraan sosial, dan pelatihan bagi warga sipil.50
Semua dinilai tidak sinkron dengan kondisi ASEAN yang masih mengedepankan

50
Aty Agustinawaty, 2016, Tentang Pentingnya Komunitas Sosial-Budaya ASEAN, artikel dalam
https://www.rmol.co/read/2016/04/19/243805/Tentang-Pentingnya-Komunitas-Sosial-Budaya-
ASEAN- diakses pada 18 Desember 2018 pukul 19.58 WIB

24
prinsip non-intervensi. Sedangkan apa yang terjadi di Rohingya seharusnya menjadi
obyek utama pembangunan oleh ASCC.

Dari kedua pilar ini seharusnya menjadikan ASEAN berkemajuan dalam


mengentaskan permasalahan yang ada, terutama pada permasalahan kemanusiaan
Rohingya. Meskipun ASC dan ASCC tetap perpegang pada prinsip non-intervensi
tetapi setidaknya ada upaya nyata dalam mengatasi masalah kemanusiaan. Menolak
penyelesaian masalah tanpa adanya praktek militer adalah hal bagus, sebab upaya
damai tidak akan menimbulkan ketegangan yang mengganggu stabilitas ASEAN.
Tetapi apabila kejahatan kemanusiaan yang terus-menerus dibiarkan akan membuka
peluang terciptanya perang. Hal inilah menjadi alasan utama mengapa ASEAN
seharusnya menjadi lebih fleksibel dalam melaksanakan prinsip non-intervensinya.
Tentu dengan harapan dapat mampu mengentaskan masalah yang ada di ASEAN
terlebih pada masalah kemanusiaan Rohingya.

Lebih lanjut, secara regionalisme yang disepakati dalam ASEAN seharusnya


Myanmar itu menghormati juga apa-apa yang sudah tertuang di Blueprint ASC. Hanya
saja di sisi lain dalam permasalahan hukum internasional bisa menjadi hukum positif
ketika diratifikasi, sedangkan formal law yang tetap diakui sebagai hukum positif.
Semua akan selalu absurd ketika berbicara legalitas, karena di dalam ASC sebenarnya
prinsipnya itu berbicara tentang bagaimana keamanan regional itu terwujud ketika
masing-masing negara di organisasi regional itu saling membantu secara kolektif.
Maka dari itu secara legalitas itu dibenarkan, namun dari segi hukum posisi Myanmar
memang tidak akan pernah bisa diganggu walaupun Myanmar mempunyai tanggung
jawab sebagai negara regional untuk menerapkan semua Blueprint ASC Tetapi
Myanmar tetap mempunyai hukum positif yang berlaku di negaranya dan ini yang
selalu menjadi pembenaran. Maka dari itu Myanmar tidak pernah mengakui
permasalahan Rohingya sebagai krisis maupun kejahatan kemanusiaan dan lain
sebagainya.

25
Fenomena Rohingya Myanmar adalah wujud dari keburukan yang ditimbulkan
dari persepsi mayoritas lebih unggul dari minoritas. Apabila berbicara hak asasi
manusia, terlepas dari agama, suku, ras apapun tentu fenomena semacam ini tidak dapat
dibenarkan. Namun, hak asasi manusia dinilai absurd karena apabila melihat dari segi
legalitas tidak ada yang dapat disalahkan dari Myanmar. Apalagi dalam hukum
internasional sekalipun seluruh negara anggota ASEAN menyusun Blueprint ASC
tetapi pada kenyataannya sekadar hanya menyusun dan tidak berkomitmen dalam
menjalankannya.

Semua permasalahan tentang sosial kultur dan politik keamanan ASEAN


dengan prinsip non-intervensi yang ujungnya terkesan dualisme tidak akan pernah
selesai ketika tidak ada yang berani untuk menampar itu. Hanya saja, yang selalu
diinginkan adalah hukum positif bukan tentang etika. Secara etis dapat dipastikan
bahwa semua negara di Asia Tenggara sepakat bahwa kejahatan kemanusiaan itu salah.
Namun, secara hukum tidak ada yang mengatur. Lebih lanjut, Blueprint ASC
seharusnya dapat menjadi legalitas yang kuat untuk bisa memasuki ranah hukum. Akan
tetapi di catatan awal ASC terdapat ASEAN Way yang di dalamnya terdapat prinsip
non-intervensi. Maka dari itu dari awal itu sudah menegaskan semua tidak akan pernah
bisa berbicara tentang cita-cita yang tertulis di ASEAN apabila ASEAN Way itu masih
ada.

Kesimpulan

Krisis kemanusiaan yang terjadi pada etnis Rohingya merupakan permasalahan


yang tidak kunjung terselesaikan. Myanmar dengan dalih bahwa Rohingya bukan
bagian dari Myanmar karena pandangan historisnya telah menciptakan rantai
penindasan yang berkelanjutan. Hingga pada puncaknya pembantaian pun dilakukan.
Tentu dari sudut pandang apapun tindakan ini tidak dapat dibenarkan, kejahatan
kemanusiaan tetaplah kejahatan kemanusiaan. ASEAN sebagai organisasi yang

26
bertanggung jawab memayungi negara-negara anggotanya atas segala
permasalahannya bertujuan untuk menjaga stabilitas di kawasan Asia Tenggara.
Namun, secara praktis ASEAN dinilai kurang masif dalam melaksanakan
kewajibannya. Negara-negara anggota ASEAN lainnya kerap kali menyinggung
permasalahan Rohingya, namun lagi-lagi hanya berakhir dengan kecaman dan tidak
ada upaya lebih lanjut terkait dengan penegakkan keadilan.

Hal ini terjadi bukan semata-mata tanpa alasan. Data penelitian menunjukan
bahwa dilema yang dialami ASEAN ini bermula dari awal pembentukannya ASEAN
dimana membentuk norma kawasan Asia Tenggara yang kemudian dituangkan di
dalam ASEAN Charter. Isi ASEAN Charter meyatakan bahwa ASEAN berpegang
teguh pada prinsip non-intervensi. Melalui prinsip ini mengakibatkan ketidaksinkronan
terhadap norma lain maupun tujuan dan hukum internasional yang ada di ASEAN.
Prinsip non-intervensi memunculkan kontradiksi terhadap ASEAN Way dan Tiga Pilar
ASEAN yang secara keseluruhan berorientasi pada tujuan pembentukan perdamaian
dan menjaga keamanan, terlebih lagi pada hal kemanusiaan. Namun, fakta berkata lain
dengan menunjukan ASEAN lebih cenderung mengedepankan prinsip non-
intervensinya dibandingkan dengan tujuan mulianya untuk mewujudkan kesejahteraan,
perdamaian dan keamanan. Dalam hukum internasional peristiwa ini menunjukan
bahwa ASEAN termasuk dalam kategori dualisme, dimana ASEAN lebih menjunjung
tinggi hukum nasional yang berlaku di negara-negara anggotanya dibandingkan hukum
internasional di ASEAN. Pernyataan ini juga diperkuat melalui bukti sejarah yang
mengidentifikasikan bahwa negara-negara di kawasan Asia Tenggara pada dasarnya
tidak ingin urusan dalam negerinya diusik oleh negara lain. Dengan kata lain dilema
ASEAN berakhir pada pengorbanan atas apa yang telah dicita-citakan oleh ASEAN,
yaitu ASEAN Way, ASEAN Charter dan tiga pilar ASEAN. Demikian dilema hukum
internasional ASEAN dalam menegakkan keadilan atas krisis kemanusiaan Rohingya
yang muncul tersebut diakibatkan atas kondisi internal ASEAN yang saling kontradiksi

27
satu sama lain baik secara kesepakatan atau perjanjian, nilai, norma, prinsip dan hukum
yang berlaku di ASEAN.

28
Daftar Pustaka

Buku

Cipto, Bambang. 2010, Hubungan Internasional di Asia Tenggara: Teropong


Terhadap Dinamika, Realitas, dan Masa Depan, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta

Mas’oed, Mohtar, 1990, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi,


Jakarta: LP3ES

Mauna, Boer, 2015, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, PT. Alumni, Bandung

Suryadi Bakry, Umar. 2016, Metode Penelitian Hubungan Internasional, Yogyakarta,


Pustaka Pelajar.

Skripsi

Anjar Salim, Andi (201310360311230), 2017, Pengaruh Persepsi Barack Obama


Terhadap Kebijakan Normalisasi Hubungan Diplomatik Amerika
Serikat-Kuba, ilmu Hubungan Internasional, Universitas
Muhammadiyah,

Rahma Ilfana, Zinda. (201310360311103), 2017, Ambiguitas Sikap Politik Aung San
Suu Kyi Terhadap Masalah Segregasi Etnis Rohingya, Ilmu Hubungan
Internasional, Universitas Muhammadiayah Malang,

Tesis

Shofwan, 2006, ASEAN Way sebagai Manajemen Konflik Negara-negara Asia


Tenggara, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tesis elektronik
diambil dari
http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=P
enelitianDetail&act=view&typ=html&buku_id=29990

29
Makalah

Kusuma A., Rio. 2013, Prospek ASEAN Security Community (ASC) dalam Penyatuan
Kawasan ASEAN, Universitas Al Azhar Indonesia, hal 8. Makalah
diambil dari
https://www.academia.edu/5806700/ASEAN_Security_Community

Jurnal

Erika & Dewa Gede S.M., Meneropong Prinsip Non Intervensi yang Masih Melingkar
dalam ASEAN, Perspektif, Volume XIX No. 3 Tahun 2014 Edisi
September. Jurnal dalam
https://www.researchgate.net/publication/312461110_MENEROPONG
_PRINSIP_NON_INTERVENSI_YANG_MASIH_MELINGKAR_DA
LAM_ASEAN/fulltext/58aaf91f92851cf0e3ca238b/312461110_MENE
ROPONG_PRINSIP_NON_INTERVENSI_YANG_MASIH_MELING
KAR_DALAM_ASEAN.pdf?origin=publication_detail

Juneman, 2011, Tinjauan Kritis terhadap Teori Aktivitas dan Dilema Sosial,
HUMANIORA, Vol.2 No.1 April 2011: 826-837, Bina Nusantara
University, hal. 832 – 833, dalam
http://journal.binus.ac.id/index.php/Humaniora/article/viewFile/3101/24
87

Kamil Ariadno, Melda. Kedudukan Hukum Internasional dalam Sistem Hukum


Nasional, vol.5 no. 3, April 2008, jurnal hukum internasional, Indonesian
Journal of International Law. Hal 510. Diambil dari
https://media.neliti.com/media/publications/39087-EN-kedudukan-
hukum-internasional-dalam-sistem-hukum-nasional.pdf

Kangaslahti, Vesa J, 2002, Learning in the Connected Economy: About Dilemma


Theory, University of Cambridge Programme for Industry, hal. 3, paper

30
dalam
https://www.open.edu/openlearn/ocw/pluginfile.php/332226/mod_ouco
ntent/oucontent/6564/8a93f17a/8114e1f4/b847_learning_animations.zip
/extra/dilemmatheory.pdf

Sanne Grotenbreg & Mónica Altamirano, Government Facilitation of External


Initiatives: How Dutch Water Authorities Cope with Value Dilemmas,
InternatIonal Journal of Water resources Development, 2017, Informa uK
limited, hal. 6, dalam
https://www.researchgate.net/profile/Sanne_Grotenbreg/publication/320
048845_Government_facilitation_of_external_initiatives_how_Dutch_
water_authorities_cope_with_value_dilemmas/links/59dfb19a45851537
1600cd24/Government-facilitation-of-external-initiatives-how-Dutch-
water-authorities-cope-with-value-
dilemmas.pdf?origin=publication_detail

Sefriani, 2014, ASEAN Way dalam Perspektif Hukum Internasional, Yustisia, Vol. 3
No. 1 Januari - April 2014, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia,
hal 92. Jurnal dalam
https://jurnal.uns.ac.id/yustisia/article/viewFile/10128/9036

Wuryandari, Annisa ,Dilema ASEAN Way dalam Penanganan Pencari Suaka


Rohingya di Asia Tenggara, Journal of International Relations, Volume
3, Nomor 2, Tahun 2017, Departemen Hubungan Internasional, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro, dalam
https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jihi/article/view/16615/15987

Artikel

Agustinawaty, Aty. 2016, Tentang Pentingnya Komunitas Sosial-Budaya ASEAN,


artikel dalam https://www.rmol.co/read/2016/04/19/243805/Tentang-
Pentingnya-Komunitas-Sosial-Budaya-ASEAN-

31
ASEAN.ORG, 2016, Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia Indonesia, 24
February 1976, https://asean.org/treaty-amity-cooperation-southeast-
asia-indonesia-24-february-1976/

Dw.com, 2018, Pembantaian Etnis Rohingya Masih Terus Berlanjut, dalam


https://www.dw.com/id/pembantaian-etnis-rohingya-masih-terus-
berlanjut/a-46035795

Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, dilema, dalam https://kbbi.web.id/dilema

Kementerian luar negeri, 2009, Piagam ASEAN, diambil dari


https://www.kemlu.go.id/id/kebijakan/asean/Pages/Piagam-
ASEAN.aspx

Metra Surya Putra, Putu. 5 September 2017, Bukti Pelanggaran HAM yang Dilakukan
Myanmar Terhadap Rohingya,
https://www.liputan6.com/news/read/3096077/bukti-pelanggaran-ham-
yang-dilakukan-myanmar-terhadap-rohingya

Pinem, Walter. 2013, ASEAN & Perbedaan Bali Concord II dan III, artikel dalam
https://www.seniberpikir.com/asean-perbedaan-bali-concord-ii-dan-iii/

Purnamasari, Dinda. Negara-negara yang Paling Terpuruk Saat Krisis Ekonomi


ASEAN, 18 Juli 2017 dalam https://tirto.id/negara-negara-yang-paling-
terpuruk-saat-krisis-ekonomi-asean-csSK

Shafira, 2014, ASEAN dan ASEAN Way, artikel dalam http://pshafira-


fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-99668-
MBP%20Asia%20Tenggara-
ASEAN%20dan%20ASEAN%20Way.html

Tempo.co, 14 November 2018, Tiga Pelanggaran HAM Berat yang Dilakukan


Myanmar pada Rohingya, dalam

32
https://dunia.tempo.co/read/1146335/tiga-pelanggaran-ham-berat-yang-
dilakukan-myanmar-pada-rohingya

VOA Indonesia, 18 Maret 2018, KTT ASEAN Kecam Perlakuan Myanmar terhadap
Rohingya¸ dalam https://www.voaindonesia.com/a/ktt-asean-kecam-
perlakukan-myanmar-terhadap-rohingya-/4305988.html

33

Anda mungkin juga menyukai