Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TIJAUAN PUSTAKA

2.1 Jaringan dan Klasipikasi Jalan


2.1.1 Klasifikasi Fungsi Jalan
Jalan umum menurut fungsinya dikelompokkan ke dalam jalan arteri, jalan
kolektor, jalan lokal, dan jalan lingkungan. Klasifikasi fungsional seperti ini
diangkat dari klasifikasi di Amerika Serikat dan Canada. Di atas arteri masih ada
Freeway dan Highway. Klasifikasi jalan fungsional di Indonesia berdasarkan
peraturan perundangan yang berlaku yaitu :

1. Jalan arteri merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan


utama dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan
jumlah jalan masuk (akses) dibatasi secara berdaya guna.
2. Jalan kolektor merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan
pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan
rata-rata sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi.
3. Jalan lokal merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan
setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah,
dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.
4. Jalan lingkungan merupakan jalan umum yang berfungsi melayani
angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat dan kecepatan
rata-rata rendah.

2.1.2 Sistem Jaringan Jalan

Sistem jaringan jalan adalah satu kesatuan ruas jalan yang saling
menghubungkan dan mengikat pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah yang
berada dalam pengaruh pelayanannya dalam satu hubungan hierarki. Dalam pasal
6 Peraturan Pemerintah No 34 tahun 2006 bahwa:

1. Sistem jaringan jalan merupakan satu kesatuan jaringan jalan yang terdiri
dari sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder yang
terjalin dalam hubungan hierarki.
2. Sistem jaringan jalan disusun dengan mengacu pada rencana tata ruang
wilayah dan dengan memperhatikan keterhubungan antar kawasan
dan/atau dalam kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan.

4
5

 Sistem Jaringan Jalan Primer


a. Jalan arteri primer

Jalan arteri primer menghubungkan secara berdaya guna antar pusat


kegiatan nasional atau antara pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan
wilayah. Sistem jaringan jalan primer disusun berdasarkan rencana tata ruang
dan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua wilayah
di tingkat nasional dengan menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang
berwujud pusat-pusat kegiatan sebagai berikut: menghubungkan secara
menerus pusat kegiatan nasional, pusat kegiatan wilayah, pusat kegiatan lokal
sampai ke pusat kegiatan lingkungan dan menghubungkan antar pusat
kegiatan nasional sebagai contoh Jalur Pantura yang menghubungkan antara
Sumatera dengan Jawa di Merak, Jakarta, Semarang, Surabaya sampai dengan
Banyuwangi merupakan arteri primer.

 Karakteristik Jalan Arteri Primer


Karakteristik jalan arteri primer adalah sebagai berikut :

1. Jalan arteri primer didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah


60 km/jam.
2. Lebar ruang manfaat jalan minimal 11 meter.
3. Jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien jarak antar jalan masuk atau
akses langsung minimal 500 meter jarak antar akses lahan langsung
berupa kapling luas lahan harus di atas 1000 m2 dengan pemanfaatan
untuk perumahan.
4. Persimpangan pada jalan arteri primer diatur dengan pengaturan tertentu
yang sesuai dengan volume lalu lintas dan karakteristiknya.
5. Harus mempunyai perlengkapan jalan yang cukup seperti rambu lalu
lintas, marka jalan, lampu lalu lintas, lampu penerangan jalan, dan lain-
lain.
6. Jalur khusus seharusnya disediakan yang dapat digunakan untuk sepeda
dan kendaraan lambat lainnya.
7. Jalan arteri primer mempunyai 4 lajur lalu lintas atau lebih dan seharusnya
dilengkapi dengan median (sesuai dengan ketentuan geometrik).
8. Apabila persyaratan jarak akses jalan dan atau akses lahan tidak dapat
dipenuhi maka pada jalan arteri primer harus disediakan jalur lambat
(frontage road) dan juga jalur khusus untuk kendaraan tidak bermotor
(sepeda, becak, dll).

 Jalan Kolektor Primer


6

Jalan kolektor primer adalah jalan yang dikembangkan untuk


melayani dan menghubungkan kota-kota antar pusat kegiatan wilayah dan
pusat kegiatan lokal dan atau kawasan-kawasan berskala kecil dan atau
pelabuhan pengumpan regional dan pelabuhan pengumpan lokal.

Ciri-ciri jalan kolektor primer yaitu :

1. Jalan kolektor primer dalam kota merupakan terusan jalan kolektor primer
luar kota.
2. Jalan kolektor primer melalui atau menuju kawasan primer atau jalan arteri
primer.
3. Jalan kolektor primer dirancang berdasarkan kecepatan rencana paling
rendah 40 km/jam.
4. Lebar badan jalan kolektor primer tidak kurang dari 7 meter.
5. Jumlah jalan masuk ke jalan kolektor primer dibatasi secara efisien, jarak
antar jalan masuk/akses langsung tidak boleh lebih pendek dari 400 meter.
6. Kendaraan angkutan barang berat dan bus dapat diizinkan melalui jalan
ini.
7. Persimpangan pada jalan kolektor primer diatur dengan pengaturan
tertentu yang sesuai dengan volume lalu lintasnya.
8. Jalan kolektor primer mempunyai kapasitas yang sama atau lebih besar
dari volume lalu lintas rata-rata.
9. Lokasi parkir pada badan jalan sangat dibatasi dan seharusnya tidak
diizinkan pada jam sibuk.
10. Harus mempunyai perlengkapan jalan yang cukup seperti rambu lalu
lintas, marka jalan, lampu lalu lintas dan lampu penerangan jalan.
11. Besarnya lalu lintas harian rata-rata pada umumnya lebih rendah dari jalan
arteri primer.
12. Dianjurkan tersedianya jalur khusus yang dapat digunakan untuk sepeda
dan kendaraan lambat lainnya.

 Sistem Jaringan Jalan Sekunder


Sistem jaringan jalan sekunder disusun berdasarkan rencana tata ruang
wilayah kabupaten/kota dan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk
masyarakat di dalam kawasan perkotaan yang menghubungkan secara
menerus kawasan yang mempunyai fungsi primer, fungsi sekunder kesatu,
fungsi sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga dan seterusnya sampai ke
persil.
7

 Jalan Arteri Sekunder


Jalan arteri sekunder adalah jalan yang melayani angkutan utama
dengan ciri-ciri perjalanan jarak jauh kecepatan rata-rata tinggi dan jumlah
jalan masuk dibatasi seefisien dengan peranan pelayanan jasa distribusi untuk
masyarakat dalam kota. Didaerah perkotaan juga disebut sebagai jalan
protokol.

Ciri-ciri jalan arteri sekunder yaitu :

1. Jalan arteri sekunder menghubungkan :

 Kawasan primer dengan kawasan sekunder kesatu.


 Antar kawasan sekunder kesatu.
 Kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kedua.
 Jalan arteri/kolektor primer dengan kawasan sekunder kesatu.

2. Jalan arteri sekunder dirancang berdasarkan kecepatan rencana paling


rendah 30 km/jam.
3. Lebar badan jalan tidak kurang dari 8 meter.
4. Lalu lintas cepat pada jalan arteri sekunder tidak boleh terganggu oleh lalu
lintas lambat.
5. Akses langsung dibatasi tidak boleh lebih pendek dari 250 meter.
6. Kendaraan angkutan barang ringan dan bus untuk pelayanan kota dapat
diizinkan melalui jalan ini.
7. Persimpangan pada jalan arteri sekunder diatur dengan pengaturan tertentu
yang sesuai dengan volume lalu lintasnya.
8. Jalan arteri sekunder mempunyai kapasitas sama atau lebih besar dari
volume lalu lintas rata-rata.
9. Lokasi berhenti dan parkir pada badan jalan sangat dibatasi dan
seharusnya tidak dizinkan pada jam sibuk.
10. Harus mempunyai perlengkapan jalan yang cukup seperti rambu, marka,
lampu pengatur lalu lintas, lampu jalan dan lain-lain.
11. Besarnya lalu lintas harian rata-rata pada umumnya paling besar dari
sistem sekunder yang lain.
12. Dianjurkan tersedianya jalur khusus yang dapat digunakan untuk sepeda
dan kendaraan lambat lainnya.
13. Jarak selang dengan kelas jalan yang sejenis lebih besar dari jarak selang
dengan kelas jalan yang lebih rendah.
8

 Jalan Kolektor Sekunder

Jalan kolektor sekunder adalah jalan yang melayani angkutan


pengumpulan atau pembagian dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan
rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi dengan peranan pelayanan jasa
distribusi untuk masyarakat di dalam kota.

Ciri-ciri jalan kolertor sekunder antara lain :

1. Jalan kolektor sekunder menghubungkan:

 antar kawasan sekunder kedua.


 kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga.

2. Jalan kolektor sekunder dirancang berdasarkan kecepatan rencana paling


rendah 20 km/jam.
3. Lebar badan jalan kolektor sekunder tidak kurang dari 7 meter.
4. Kendaraan angkutan barang berat tidak diizinkan melalui fungsi jalan ini
di daerah pemukiman.
5. Lokasi parkir pada badan jalan dibatasi.
6. Harus mempunyai perlengkapan jalan yang cukup.
7. Besarnya lalu lintas harian rata-rata pada umumnya lebih rendah dari
sistem primer dan arteri sekunder.

2.1.3 Klasifikasi Kelasa Jalan


Klasifikasi menurut kelas jalan berkaitan dengan kemampuan jalan untuk
menerima beban lalu lintas dinyatakan dalam muatan sumbu terberat (MST)
dalam satuan ton.

Tabel 2.1 Klasifikasi Jalan Raya Menurut Kelas Jalan


Fungsi Kelas Muatan Sumbu Terberat/MST (ton)
Arteri I II >10

IIIA 10

8
Kolektor III A 8

III B
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina
Marga, 1997.
9

2.1.4 Klasifikasi Medan Jalan

Medan jalan diklasifikasikan berdasarkan kondisi sebagian besar


kemiringan medan yang diukur tegak lurus garis kontur. Keseragaman kondisi
medan yang diproyeksikan harus mempertimbangkan keseragaman kondisi medan
menurut rencana trase jalan dengan mengabaikan perubahan-perubahan pada
bagian kecil dari segmen rencana jalan tersebut.

Tabel 2.2 Klasifikasi Menurut Medan Jalan


No Jenis Medan Notasi Kemiringan Medan (%)
1 Datar D <
2 Berbukit B 3-
3
3 Pegunungan G >2
25
Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota,Ditjen
5 Bina
Marga 1997.

2.2 Aspek Lalu Lintas


2.2.1 Kecepatan
Kecepatan adalah besaran yang menunjukan jarak yang ditempuh
kendaraan dibagi waktu tempuh. Biasanya dinyatakan dalam kilometer per jam
(km/jam). Perencanaan jalan yang baik harus berdasarkan kecepatan yang dipilih
sesuai dengan kondisi dan fungsi jalan yang diharapkan. Kecepatan umumnya di
bagi menjadi tiga jenis, yaitu :
1. Kecepatan Setempat ( spot speed) adalah kecepatan kendaraan pada suatu
saat dari suatu tempat yang ditentukan.
2. Kecepatan Bergerak (running speed) adalah kecepatan kendaraan rata-rata
pada suatu jalur saat kendaraan bergerak dan didapat dengan membagi
panjang jalur dengan lama waktu kendaraan bergerak menempuh jalur
tersebut.
3. Kecepatan Perjalanan (journey speed) adalah Kecepatan efektif kendaraan
yang sedang dalam perjalanan antara dua tempat dengan jarak tertentu di
bagi seluruh waktu yang dibutuhkan.
Rumus untuk menghitung kecepatan :

Dengan ketentuan:

= Jarak yang ditempuh (m, km)


= Kecepatan (km/jam, m/s)
= Waktu tempuh (jam, sekon)
10

2.2.2 Kecepatan Rencana

Kecepatan rencana ditetapkan berdasarkan klasifikasi jalan dan medan


yang dilalui di medan jalan yang datar akan lebih tinggi dari perbukitan ataupun
pegunungan.

Tabel 2.3 Kecepatan Rencana

Gunung
Kelas Datar Km/jam Bukit Km/jam
Km/jam

Jalan Tol (Arteri & kolektor) 100 - 120 80 – 100 80

Jalan Raya (Arteri &


80 - 100 60 – 80 40 – 60
Kolektor)

Jalan Sedang (Kolektor) 60 – 80 40 – 60 40

Jalan Kecil (Lokal &


20 – 40 20 – 40 20 – 40
Lingkungan)

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, Ditjen Bina Marga
1997.
2.2.3 Batas Kecepatan
Ditetapkan secara umum dengan peraturan perundangan dalam hal ini
pasal 80 Peraturan Pemerintah no. 43 tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu
Lintas Jalan.
11

Tabel 2.4 Batas Kecepatan Kendaraan

Kelas jalan Fungsi Jenis kendaraan Kecepatan

Kelas I, II dan IIIA Primer Mobil pnp, bus, truk 100

Kelas I, II dan IIIA Primer Gandengan dan tempelan 80

Kelas IIIB Primer Mobil pnp, bus, truk 80

Kelas IIIC Primer Mobil pnp, bus, truk 60

Kelas II, IIIA Sekunder Mobil pnp, bus, truk 70

Kelas II, IIIA Sekunder Gandengan, tempelan 60

Kelas IIIB Sekunder Mobil pnp, bus, truk 50

Kelas IIIC Sekunder Mobil pnp, bus, truk 40

Sumber : peraturan pemerintah no.43 tahun 1993 tentang prasarana dan lalulintas jalan.
12

2.3 Pengertian dan Jenis-jenis Alat Pembatas Kecepatan


2.3.1 Pengertian Alat Pembatas Kecepatan

Kecepatan yang berlebihan seringkali mengakibatkan terjadinya


kecelakaan akibat kurangnya konsentrasi pengemudi dalam mengendalikan
kendaraannya oleh sebab itu digunakan pembatasan kecepatan untuk
mengontrolnya. Alat kontrol kecepatan sebenarnya tidak diperlukan jika
pengemudi kendaraan bermotor dapat mengatur kecepatan kendaraannya,
khususnya jika melewati daerah pemukiman, tetapi pada umumnya pengendara
tidak menghiraukan hal tersebut. Untuk itu diperlukan alat pembatas kecepatan
yang berfungsi untuk mereduksi atau mengurangi kecepatan kendaraan di jalan
yang melewati wilayah pemukiman. Alat pembatas kecepatan (speed Bump)
dapat didefinisikan sebagai kelengkapan tambahan pada jalan yang berfungsi
untuk membuat pengemudi kendaraan bermotor mengurangi kecepatan
kendaraannya. Kelengkapan tambahan ini berupa peninggian sebagian badan
jalan yang melintang terhadap sumbu jalan dengan lebar, tinggi dan kelandaian
tertentu (KM. 3 Tahun 1994, Departemen Perhubungan).

2.3.2 Pengertian Road Humps

Jendulan melintang adalah kelengkapan tambahan pada jalan yang


berfungsi untuk membuat pengemudi kendaraan bermotor mengurangi
kecepatan kendaraannya, kelengkapan tambahan antara lain berupa peninggian
sebagian badan jalan yang melintang terhadap sumbu jalan dengan lebar,
tinggi dan kelandaian tertentu yang dikenal sebagai polisi tidur ( Abu Bakar,
1999 dalam Affandi, 2005). Fasilitas jendulan melintang jalan (road humps) ini
merupakan adopsi dari UK Department for Transport untuk mengatasi
permasalahan pelanggaran kecepatan yang mengakibatkan tingginya tingkat
kecelakaan (Direktorat Jenderal Prasarana Wilayah, 2004). Jendulan melintang
jalan (road humps) adalah fasilitas yang dirancang dalam bentuk gangguan
geometrik vertikal untuk memberikan efek paksaan bagi pengemudi untuk
menurunkan kecepatan pada daerah yang memiliki kondisi geometrik atau tata
guna lahan yang kurang menguntungkan, sampai 40 % (Direktorat Jenderal
Prasarana Wilayah, 2004).
Dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor : KM. 3 Tahun 1994
Tentang Alat Pengendali Pemakai Jalan disebutkan peraturan tentang alat
pengendali atau pembatas kecepatan (road humps), bahwa alat pengendali atau
pembatas kecepatan (road humps) adalah kelengkapan tambahan pada jalan
yang berfungsi untuk membuat pengemudi kendaraan bermotor mengurangi
kecepatannya. Alat pengendali atau pembatas kecepatan (road humps) berupa
peninggian sebagian badan jalan yang melintang terhadap sumbu jalan dengan
13

lebar, tinggi dan kelandaian tertentu. Pemilihan bahan atau material untuk
road humps harus memperhatikan keselamatan pemakai jalan.
Alat pembatas kecepatan ditempatkan pada jalan di lingkungan
pemukiman, jalan lokal yang mempunyai kelas jalan III C dan pada jalan-
jalan yang sedang dilakukan pekerjaan kontruksi. Alat pembatas kecepatan
memperhatikan beberapa hal (Direktorat Jenderal Prasarana Wilayah, 2004),
seperti :
1. Pelaksanaan fasilitas ini terbukti sangat efektif menurunkan kecepatan.
2. Fasilitas ini tidak menimbulkan ke bisingan sehingga dapat di
laksanakan di daerah pemukiman.
3. Fasilitas ini harus dirancang dan di laksanankan sesuai standar yang
disyaratkan karena bila tidak justru dapat menciptakan potensi kecelakaan
lalu lintas atau kerusakan kendaraan.
4. Perlu diberikan rambu dan fasilitas pendukung lain untuk meningkatkan
efektifitas fasilitas.
Bentuk penampang melintang alat pembatas kecepatan menyerupai
trapesium dan bagian yang menonjol di atas badan jalan maksimum 12 cm,
dengan lebar minimum 15 cm dan kelandaian sisi miringnya maksimal 15% lebar
datar pada bagian sisi miringnya. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.1 dan
2.2. Material alat pembatas kecepatan dapat dibuat dengan menggunakan bahan
yang sesuai dengan bahan dari badan jalan, karet atau bahan lainnya yang
mempunyai pengaruh serupa sebagaimana juga harus memperhatikan
keselamatan pemakai jalan.

Gambar 2.1 Penampang Melintang Polisi Tidur

Gambar 2.2 Polisi Tidur Tampak Atas


(Sumber : Keputusan Menteri Perhubungan Nomor : KM. 3 Tahun 1994)
14

2.3.3 Jenis Road Hump (Alat Pembatas Kecepatan)


 Speed Bump
Speed bump pada umumnya mempunyai ukuran dengan tinggi 7,5 cm
sampai 15 cm dan lebar 30-90 cm seperti yang terlihat pada Gambar 2.3.
Pemasangan speed bump tida nyaman bagi pengendara namun pada umumnya
mampu mengurangi kecepatan kendaraan menjadi ≤ 8 km/jam (5mph) (Elizer
1993).
Speed bump mampu mengurangi kecepatan kendaraan yang melewatinya
karena ukuran umum dari speed bump yang cenderung menghasilkan beban
kejut yang lebih besar dari beban kejut yang dihasilkan oleh bentuk polisi tidur
lainnya.

Gambar 2.3 Speed Bump

 Speed Tables
Speed Tables dikenal dengan flat-topped speed humps dan memiliki
susunan material berupa aspal ataupun beton. Speed tables juga dikenal dengan
trapezoidal humps atau speed plat forms. Jika ditandai dengan zebra cross, speed
tables bisa juga dinamakan raised crosswalks atau raised crossings (Parkhill et al,
2007).

Speed tables umumnya mempunyai ukuran tinggi dari 76-90 mm (3–3,5


15

inch) dengan panjang sekitar 6,7 m (22 ft) dan speed tables umumnya terdiri dari
3,1 m (10 ft) bagian datar dan 1,8 m (6 ft) bagian miring di kedua sisi yang
bisa berbentuk lurus, parabolik, atau profil sinusiodal seperti yang terlihat pada
Gambar 2.4. Secara umum hasil dari pemantauan kecepatan rata-rata berkisar
antara 40-48 km/jam (25-30 mph) pada jalan tergantung pada jarak antar speed
tables (Parkhill et al, 2007).

Gambar 2.4 Flat Topped Speed Hump

 Speed Hump
Speed Hump umumnya mempunyai ukuran dengan tinggi 7,5-10 cm dan
lebar 3,6 m (Elizer 1993) seperti yang terlihat pada Gambar 2.5. Pemasangan
speed hump dapat mengurangi kecepatan kendaraan yang melewatinya yaitu
antara 24 km/jam (20 mph) sampai 40 km/jam (25 mph) (Elizer 1993). Dalam
Neighborhood Traffic safety Program, Transportation Division, Department of
Public Works and Transportation Tahun 1995 Tentang Guidelines for Speed
Hump Program menjelaskan bahwa speed hump tidak ditempatkan pada
jalan dengan aktivitas perjalanan yang tinggi (driveway) atau dalam suatu
perpotongan jalan dan juga tidak ditempatkan 76,2 m (250 ft) dari rambu lalu
lintas atau 15,1 m (50 ft) dari suatu perpotongan jalan.

Gambar 2.5 Speed Hump

 Pita Pengaduh
Pita Penggaduh (rumble strips) memiliki bentuk seperti polisi tidur
namun tidak dirancang untuk mengurangi kecepatan lalu lintas akan tetapi
dirancang untuk memberikan efek getaran mekanik maupun suara dan pada
16

prakteknya fasilitas ini efektif digunakan pada jalan antar kota dengan maksud
untuk meningkatkan daya konsentrasi pengemudi sehingga akan meningkatkan
daya antisipasi, reaksi, dan perilaku (Direktorat Jenderal Prasarana Wilayah,
2004).
Dimensi pita penggaduh (rumble strips) adalah sesuai dengan persyaratan
spesifikasinya yakni lebar berkisar antara 10-20 cm dan tinggi berkisar antara
8-15 mm dengan panjang yang disesuaikan dengan lebar melintang jalan.
Contoh pita penggaduh (rumble strips) dapat dilihat pada Gambar 2.6.
Pengaturan jarak optimal untuk pemasangan pita penggaduh (rumble
strips) yaitu sebelum tempat penyeberangan pejalan kaki dan untuk menempatkan
pita penggaduh (rumble strips) pada jarak 7 kali batas kecepatan sebelum tempat
penyeberangan, dengan demikian untuk batas kecepatan 72 km/jam (45 mph)
ditempatkan sekitar 96 m sebelum tempat penyeberangan pejalan kaki (Cynecki
et al, 1993 dalam Ansusanto et al, 2010).
Fasilitas pengendali ini dilaksanakan untuk jalan dengan fungsi jalan arteri
kolektor dan lokal tetapi tidak direkomendasikan untuk digunakan pada jalur
jalan di kawasan permukiman (Direktorat Jenderal Prasarana Wilayah, 2004).
Kemampuan fasilitas ini dalam mengendalikan tingkat kecepatan akan mengalami
penurunan setelah beberapa waktu berselang dan fasilitas ini dapat
menimbulkan kebisingan (noise) sehingga kurang tepat bila di laksanakan
didaerah permukiman.

Gambar 2.6 Pita Penggaduh (Rumble Strips)


17

2.4 Speed Bump


2.4.1 Pengertian Dan Fungsi Speed Bump

Polisi tidur atau disebut juga sebagai Alat Pembatas Kecepatan adalah
bagian jalan yang ditinggikan berupa tambahan aspal atau semen yang dipasang
melintang di jalan untuk pertanda memperlambat laju kecepatan kendaraan. Untuk
meningkatkan keselamatan kesehatan bagi pengguna jalan ketingginya diatur dan
apabila melalui jalan yang akan dilengkapi dengan rambu-rambu pemberitahuan
terlebih dahulu mengenai adanya polisi tidur khususnya pada malam hari, maka
polisi tidur dilengkapi dengan marka jalan dengan garis serong berwarna putih
atau kuning yang kontras sebagai pertanda. Akan tetapi polisi tidur yang
umumnya ada di Indonesia lebih banyak yang bertentangan dengan disain polisi
tidur yang diatur berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan No 3 Tahun 1994
dan hal yang demikian ini bahkan dapat membahayakan keamanan dan kesehatan
para pemakai jalan tersebut. Di Indonesia, ketentuan yang mengatur tentang disain
polisi tidur diatur oleh Keputusan Menteri Perhubungan No 3 Tahun 1994 tentang
Alat Pengendali dan Pengaman Pemakai Jalan, di mana sudut kemiringan adalah
15% dan tinggi maksimum tidak lebih dari 120 mm.
18

2.4.2 Penempatan Speed Bump

Alat pembatas kecepatan ditempatkan pada :

1. Jalan di lingkungan pemukiman.


2. Jalan lokal yang mempunyai kelas jalan IIIC.
3. Pada jalan-jalan yang sedang dilakukan pekerjaan konstruksi.
Penempatan dilakukan pada posisi melintang tegak lurus dengan jalur lalu
lintas. Bila dilakukan pengulangan penempatan alat pembatas kecepatan ini harus
disesuaikan dengan kajian manajemen dan rekayasa lalu lintas.
2.4.3 Perlengkapan Pelengkap Polisi Tidur

1. Penempatan alat pembatas kecepatan pada jalur lalu lintas dapat didahului
dengan pemberian tanda dan pemasangan rambu Tabel 1 No 6b yaitu Peringatan
tentang jalan tidak datar.

2. Penempatan alat pembatas kecepatan pada jalur lalu lintas dapat didahului
dengan pemberian tanda dan pemasangan rambu Tabel 1 No 6b yaitu Peringatan
tentang jalan tidak datar.

Anda mungkin juga menyukai