Anda di halaman 1dari 14

ANALISIS SISTEM PROTEKSI PETIR

PADA STASIUN LIGHT RAIL TRANSIT PALEMBANG

Farid Pambudi1, Reynaldo Zoro2


Sekolah Teknik Elektro dan Informatika
Institut Teknologi Bandung, Bandung, Indonesia
1
farid.17pm@gmail.com
2
inanzoro@gmail.com

ABSTRAK

1
Light Rail Transit (LRT) adalah sarana transportasi umum masa depan yang sedang dikembangkan di
Indonesia, khususnya di Jakarta dan Palembang. Di Palembang, transportasi umum ini memiliki 13 stasiun yang
dibangun cukup tinggi. Ketinggian stasiun dapat mencapai 25 hingga 30 meter. Bangunan tinggi ini akan
menjadi target yang mudah untuk terkena sambaran petir di wilayah seperti Palembang. Hal ini dikarenakan
Palembang terletak di wilayah pembalikan angin Monsun. Pembalikan angin Monson mempengaruhi intensitas
sambaran petir khususnya di wilayah tropis yang dikelilingi lautan seperti Indonesia. Dampak kerusakan yang
disebabkan sambaran petir sangatlah besar. Analisis sistem proteksi petir yang dipasang pada stasiun LRT di
Indonesia, khususnya di wilayah Palembang, dilakukan untuk mengevaluasi sistem proteksi petir yang telah
terpasang. Penelitian ini menganalisis dan mendiskusikan tentang sistem grounding, bonding, shielding, proteksi
tegangan lebih untuk sistem proteksi internal dan Extended Mast Terminal (EMT) untuk sistem proteksi
eksternal. Penelitian ini akan memberikan kesimpulan untuk sistem proteksi petir yang cocol untuk dipasang di
Indonesia.

kata kunci: Monson, petir, stasiun, eksternal, internal

I. PENDAHULUAN

Light Rail Transit (LRT) merupakan moda transportasi umum masa depan yang saat
ini sedang dikembangkan di Indonesia. Pembangunan LRT di Indonesia sudah dipelopori di
dua kota besar, yaitu di Jakarta dan Palembang. Di Palembang, pembangunan LRT sudah
dimulai sejak tahun 2015, guna menyukseskan gelaran pesta olahraga Asia yang
diselenggarakan pada tahun 2018. LRT Palembang dibangun untuk menunjang mobilisasi
penonton dan para atlet pesta olahraga Asia 2018, serta diharapkan mampu mengurangi
masalah kemacetan di Kota Palembang. (Ringkang, 2015)

LRT Palembang memiliki 13 stasiun yang dibangun cukup tinggi. Ketinggian stasiun
tersebut dapat mencapai 25 sampai 30 meter. Bangunan yang tinggi ini akan menjadi target
yang mudah untuk terkena sambaran petir di wilayah seperti Kota Palembang. Hal ini
disebabkan Kota Palembang terletak di wilayah terjadinya pembalikan angin Monsun.
Pembalikan angin Monsun ini memengaruhi kerapatan sambaran petir khususnya di negara
tropis yang dikelilingi oleh laut seperti Indonesia, yang mana memiliki semua syarat
terbentuknya petir, yaitu updraft, aerosol, dan udara lembab. Oleh karena itu, sistem proteksi
petir yang tepat pada kondisi tropis diperlukan untuk menghindari risiko bahaya sambaran
petir.
II. PARAMETER PETIR

Parameter ini berguna untuk mempelajari efek kerusakan akibat sambaran petir.

A. Arus puncak (I), untuk menentukan nilai tegangan jatuh resistif.

U=R imp ∙ I (2.1)

dimana U : tegangan jatuh resistif (kV), Rimp : impedansi surja (Ω), I : arus puncak (kA)
(Cooray, 2010).

B. Kecuraman arus (di/dt), untuk menentukan nilai tegangan jatuh induktif.

di
U=L (2.2)
dt

dimana U : tegangan jatuh induktif (kV), L : induktansi (μH), di/dt : kecuraman arus
(kA/μs) (Cooray, 2010).

C. Muatan arus (Q), merupakan ukuran energi arus petir sebagai arus loncat petir ke logam.
Muatan Q berpengaruh pada efek melting pada titik dimana channel petir menempel.

Q=∫ idt (2.3)

dimana Q : muatan arus (kA.s), I : arus puncak (kA) (Cooray, 2010).

D. Gaya impuls (E), merupakan dasar efek mekanik dan panas impuls listrik pada resistor.
Gaya impuls dapat menghancurkan beda ataupun objek yang disambar.

E=∫ i 2 dt (2.4)

dimana E : gaya impuls (kA2.s), I : arus puncak (kA) (Cooray, 2010).


III. KARAKTERISTIK PETIR TROPIS

Indonesia sebagai negara tropis memiliki intensitas sambaran petir yang tinggi
dibandingkan negara-negara subtropis. Hal ini dibuktikan melalui penelitian yang dilakukan
dan dipublikasikan sejak 1995 di Stasiun Pengukuran Petir di Gunung Tangkuban Perahu di
Jawa Barat yang dioperasikan oleh Pusat Penelitian Petir ITB. Karakteristik petir tropis
tersebut diberikan pada tabel 1 berikut (Ruslam, 2017).

TABEL 1 KARAKTERISTIK PETIR TROPIS

Karakteristik Petir Polaritas Negatif

Maksimum 335 kA
Arus Puncak
Probabilitas 65% 30 kA

Maksimum 119 kA/μs


Kecuraman
Probabilitas 50% 30 kA/μs
Total Intensitas Sambaran
7.9-15.5
(Sambaran/km2/tahun)

Gambar 1 Peta Angin Indonesia


(sumber: bmkg.go.id)
Gambar 1 menunjukan peta angin di Indonesia. Angin Monsun bertiup melewati lautan
dan membawa awan petir yang terbentuk di sana hingga sampai ke wilayah Indonesia. Angin
Monsun akan mengalami pembalikan di sekitar wilayah garis ekuator akibat adanya efek dari
rotasi bumi. Hal ini membuat banyak awan petir akan berkumpul di sekitar wilayah
pembalikan angin ini seperti di Kota Palembang. Dengan demikian, wilayah Kota Palembang
akan memiliki kerapatan sambaran petir yang cukup tinggi. Kerapatan sambaran petir yang
tinggi menunjukan intensitas terjadinya sambaran petir di Kota Palembang cukup sering
terjadi.

IV. SISTEM PROTEKSI EKSTERNAL

Gambar 2 Terminasi Udara ESE

Gambar 2 menunjukan terminasi udara Early Streamer Emission (ESE) di atap stasiun
LRT. Sistem proteksi eksternal digunakan untuk melindungi dari risiko bahaya sambaran
langsung petir. Sistem ini menggunakan Extended Mast Terminal (EMT) yang terdiri dari 3
buah ESE di setiap stasiun. Ketinggian stasiun diperkirakan 30 meter. Perhitungan jarak
sambar dan sudut lindung dari terminasi udara menggunakan karakteristik petir tropis
didapatkan hasil sebagai berikut:
Jarak sambar terminasi udara konvensional (r):
r=10 I 0.65
0.65
r=10 ∙ 30
r=91,23≈ 92meter
Sudut lindung terminasi udara konvensional (α):
h
α =sin −1 (1− )
r
30
α =sin −1 (1− )
91,23
α =42, 16 °
Jarak sambar terminasi udara ESE (rESE):
∆ L=1,5 ∙ 75
∆ L=v ∙ ∆ t
∆ L=112,5 meter
r ESE=r +∆ L
r ESE=91,23+112,5
r ESE=203,73 ≈ 204 meter
Sudut lindung terminasi udara ESE (α):
−1 h
α ESE=sin (1− )
r ESE
30
α ESE =sin−1 (1− )
203,73
α ESE =58,51 °

Gambar 3 Daerah Lindung Stasiun Tampak Samping


Gambar 4 Daerah Lindung Stasiun Tampak Depan

Gambar 5 Daerah Lindung Stasiun Tampak Atas

Gambar 3, 4, dan 5 menunjukan terminasi udara ESE memberikan daerah lindung yang
lebih besar dibanding terminasi udara konvensional. Hal ini juga didukung oleh hasil
perhitungan sebelumnya. Terminasi udara ESE memiliki sifat dinamis. Dinamis disini berarti
ESE hanya akan bekerja saat ada awan CB (Cumulonimbus) saja. Bila tidak ada awan CB,
ESE akan diam seperti terminasi udara konvensional biasa. Hal ini dikarenakan, di dalam
ESE terdapat rangkaian integrator yang dapat memicu upward leader. Sehingga memberikan
jarak lindung tambahan (ΔL) saat kondisi dinamis.

Elevasi Tegangan
Saat terjadi sambaran langsung petir pada terminasi udara, akan muncul elevasi
tegangan. Besarnya elevasi tegangan yang muncul dapat dihitung dengan persamaan berikut:
(Cooray, 2010).
di
V =IR + L (4.1)
dt
dimana I = 30 kA, di/dt = 30 kA/μs, R = 1 Ω, L = 0.026 μH/m.
Nilai induktansi untuk menghitung elevasi tegangan bergantung pada panjang kabel
Double Shielded Down Conductor (DSDC) yang digunakan. Nilai elevasi tegangan yang
muncul dapat dilihat pada tabel 2 berikut.

TABEL 2 ELEVASI TEGANGAN

Panjang Kabel Tegangan Lebih


Induktansi (μH)
Lokasi (meter) Petir (kV)
I II III I II III I II III
St. Bandara 56 39 44 1.46 1.01 1.14 73.7 60.4 64.3
St. Asrama Haji 64 49 54 1.66 1.27 1.40 79.9 68.2 72.1
St. Punti Kayu 62 48 52 1.61 1.25 1.35 78.4 67.4 70.6
St. RSUD 65 50 55 1.69 1.30 1.43 80.7 69.0 72.9
St. Garuda Dempo 65 50 55 1.69 1.30 1.43 80.7 69.0 72.9
St. Demang 65 50 55 1.69 1.30 1.43 80.7 69.0 72.9
St. Bumi Sriwijaya 65 50 55 1.69 1.30 1.43 80.7 69.0 72.9
St. Dishub 67 48 55 1.74 1.25 1.43 82.3 67.4 72.9
St. Cinde 63 48 53 1.64 1.25 1.38 79.1 67.4 71.3
St. Ampera 64 49 54 1.66 1.27 1.40 79.9 68.2 72.1
St. Polresta 64 49 54 1.66 1.27 1.40 79.9 68.2 72.1
St. Jakabaring 57 47 47 1.48 1.22 1.22 74.5 66.7 66.7
St. DJKA 65 50 56 1.69 1.30 1.46 80.7 69.0 73.7
St. Bandara (Finial) 33 27 0.86 0.70 55.7 51.1

Besar elevasi tegangan yang muncul berkisar antara 46 – 80 kV. Nilai elevasi
tegangan ini termasuk kecil karena menggunakan kabel DSDC sebagai down conductor yang
mempunyai nilai induktansi kecil sebesar 0.026 μH/m. Bila dibandingkan dengan down
conductor lain seperti bare copper dan kabel single shielded, perhitungan elevasi
tegangannya adalah sebagai berikut:
Asumsi panjang kabel yang digunakan sepanjang 50 meter.

TABEL 3 PERBANDINGAN DOWN CONDUCTOR

Bare Copper (L = 1 μH/m) Single Shielded (L = 0.5 μH/m)


Dari hasil perhitungan tersebut diketahui bahwa kabel DSDC masih lebih baik karena
memberikan nilai elevasi tegangan yang lebih kecil jika dibanding dengan kedua down
conductor tersebut. Nilai elevasi tegangan yang kecil dibutuhkan agar induksi ke sekitarnya
kecil dan juga dapat memperkecil tegangan langkah.dan tegangan sentuh.

Grounding

Gambar 6 Grounding pada Sistem EMT

Gambar 6 menunjukan grounding yang digunakan pada sistem EMT. Grounding yang
digunakan ini berbentuk ring dan terbuat dari material tembaga. Menurut standar IEC 62305,
material grounding tersebut dapat diganti dengan besi yang memiliki diameter sedikit lebih
besar. Penggunaan tembaga sangat berisiko dikarenakan banyaknya kasus pencurian tembaga
grounding. Jika grounding hilang, maka hal ini dapat membahayakan komponen maupun
manusia di sekitarnya, dikarenakan tidak ada jalur untuk mendispersikan arus petir ke tanah.
Gambar 7 LEC dan APM

Sistem proteksi eksternal pada stasiun juga dilengkapi dengan counter, pita magnetik,
dan bak kontrol. Counter berfungsi untuk menghitung jumlah petir yang menyambar air
terminal. Pita magnetik berfungsi untuk mencatat besar arus petir yang menyambar air
terminal. Counter dan pita magnetik ini berada di dalam LEC box untuk alasan keamanan.
Bak kontrol berfungsi untuk mengecek besar resistansi grounding. Bila semakin kecil
resistansi grounding maka semakin baik karena hal ini direkomendasikan oleh standar.

V. SISTEM PROTEKSI INTERNAL

Gambar 8 Zona Proteksi Petir

Sistem proteksi internal digunakan untuk melindungi dari risiko bahaya elevasi
tegangan, konduksi tegangan, dan induksi tegangan yang dapat muncul di dalam stasiun LRT.
Berdasarkan standar IEC 62305, area di dalam stasiun LRT yang digunakan oleh manusia dan
peralatan dibagi ke dalam beberapa zona proteksi petir. Gambar 8 menunjukan pembagian
zona proteksi petir tersebut.

Proteksi Tegangan Lebih Peralatan


Gambar 9 Diagram Substasiun

Gambar 10 Arrester pada Main Distributin Panel (MDP)

Gambar 9 dan 10 menunjukan pemasangan arrester di stasiun LRT. Arrester


digunakan untuk melindungi peralatan listrik dari kerusakan akibat elevasi tegangan. Arrester
harus dipasang bertingkat dimulai dari arrester tingkat 1 yang dipasang di MV switchgear,
DC switchgear, PDS, dan rectifier, arrester tingkat 2 yang dipasang di Main Distribution
Panel (MDP) dan AC / DC Panel, arrester tingkat 3 yang dipasang di stopkontak. Namun
berdasarkan diagram substasiun tersebut, tidak ada pemasangan arrester di tingkat 3 pada
stopkontak. Pemasangan arrester tingkat 3 pada stopkontak diperlukan untuk melindungi
komputer dan peralatan elektronik lainnya dari kerusakan akibat elevasi tegangan.

Bonding
Gambar 11 Potential Equaliztion to Bar (PEB)

Berdasarkan IEC 62305-2006 dan IEEE 982-2012 menjelaskan bahwa sistem


grounding untuk proteksi internal untuk peralatan-peralatan listrik seperti sistem tenaga,
sistem telekomunikasi dan sistem kontrol harus di-bonding secara integrated. Bonding
digunakan untuk melindungi manusia dan peralatan dari risiko bahaya akibat konduksi
tegangan. Konduksi tegangan ini disebabkan oleh perbedaan potensial yang terjadi ketika
lonjakan arus tanah terjadi akibat pelepasan petir. Perbedaan potensial dapat menyebabkan
kerusakan pada komponen sensitif dan PCB karena arus yang mengalir melalui kapasitansi
antara dua bagian konduktif. Gambar 11 menunjukkan Potential Equalization to Bar (PEB)
di stasiun LRT. Grounding setiap peralatan listrik terhubung satu sama lain pada PEB,
sehingga tidak ada perbedaan potensial antara permukaan konduktif yang dapat tersentuh
manusia atau antara sistem pembumian yang berbeda.

Shielding

Gambar 12 Electromagnetic Interference (EMI)


Gambar 12 menunjukan Electromagnetic Interference (EMI) dari arus pada down
conductor yang disebabkan oleh sambaran petir. Shielding digunakan untuk melindungi
peralatan dari risiko bahaya akibat induksi tegangan. Induksi tegangan ini disebabkan oleh
interferensi elektromagnetik. Gangguan elektromagnetik dapat mengganggu sinyal dan
peralatan telekomunikasi dan dapat menyebabkan kerusakan pada peralatan sensitif. Shielding
atau screening sumber noise dan peralatan yang rentan noise termasuk penggunaan konduktor
berpelindung, seperti kabel DSDC yang memiliki induktansi kecil sehingga dapat mengurangi
interferensi elektromagnetik.

VI. SIMPULAN
Pemasangan sistem Early Mast Terminal (EMT) yang inovatif untuk sistem proteksi
eksternal pada stasiun Light Rail Transit Palembang memberikan kinerja terbaik
dibandingkan dengan sistem konvensional. Sistem pentanahan harus terhubung satu sama
lain dan harus di-bonding pada Potential Equalization to Bar (PEB). Double Shielded Down
Conductor (DSDC) dapat mengurangi elevasi tegangan dan interferensi elektromagnetik
(EMI). Arrester telah dipasang untuk melindungi peralatan dari potensi bahaya elevasi
tegangan. Namun pemasangan arrester tambahan di stopkontak masih diperlukan.
Penggunaan sistem pemantauan seperti Lightning Event Counter (LEC) dan magnetic tape
peak current measurement (APM) memberikan hasil yang signifikan untuk mengevaluasi
aktivitas petir di wilayah tropis seperti Indonesia.

PENGAKUAN

Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Institut Teknologi Bandung atas
kesempatan yang diberikan untuk melakukan penelitian mengenai peningkatan sistem proteksi
petir dan sistem grounding pada Stasiun Light Rail Transit Palembang.

DAFTAR PUSTAKA
[1] R. Zoro, Ruslam R. Pakki, Roni Kumar, “Lightning Protection for Electric Railway In
Indonesia Telecommunication and Signalling System”, International Conference on
High Voltage Engineering and Power System, Bali, 2017.
[2] R. Zoro, “Influence of Tropical Monsoon and Local Wind Circulation to Lightning
Discharge over Indonesia”, High Voltage Engineering Symposium, Conference
Publication No. 467, IEEE, 1999.
[3] Doug Haluza, “Lightning, Ground Potensial Rise, and Electrical Damage”, IEEE, 1996.
[4] Tian Kun, Jin Xiaobin, Wu Junwei, Zhang Xiaofeng, Bu Junwei, “Analysis The
Ligthning Accident of Mass Rapid Transit System and Discussion the Grounding”,
International Conference on Lightning Protection (ICLP), Shanghai, 2014.
[5] Dev Paul, “Light Rail Transit DC Traction Power System Surge Overvoltage
Protection”, IEEE, 2002.
[6] P. Chowdury, “Electromagnetic Transients in Power Systems”, New York: Research
Studies Press LTD., 1996.
[7] V. Cooray, “Lightning Protection”, London: The Institution of Engineering and
Technology, 2010.
[8] B. Denov, “Sistem Proteksi Petir pada Light Rail Transit”, Bandung: ITB, 2018.
[9] IEEE 998, “IEEE Guide for Direct Lightning Stroke”, New York: IEEE, 2012.
[10] IEC 62305, “Protection Against Lightning”, IEC, 2006.
[11] R. Zoro, “Proteksi Sistem Tenaga: Proteksi Terhadap Tegangan Lebih pada Sistem
Tegangan Listrik”, Bandung: ITB, 2002.
[12] BMKG, Accessed on October 11, 2018, Retrieved from https://www.bmkg.go.id/.

[13] Gumiwang, Ringkang, “"Proyek Monorel Bandara-Jakabaring Batal, Pemprov Sumsel


Pilih LRT”, Accessed on March 8, 2019, Retrieved from https://www.bisnis.com/.

Anda mungkin juga menyukai