Anda di halaman 1dari 16

TUGAS KELOMPOK 5

DEMOKRASI
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
DOSEN PENGAMPU : Dra. Hodriani, M.Pd

DI SUSUN
O
L
E
H
Andi Hilmy Syahir 5163230005
Arifin Masruri 5171230002
Irwan Efendi 5172230002
Muhammad Rizqi Rafizal 5163230030
Muhammad Fikri Hasibuan 5173530018

PRODI TEKNIK ELEKTRO


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2019
KATA PENGANTAR
Rasa syukur yang dalam Saya sampaikan ke hadiran Tuhan Yang Maha Esa,
yang karena bimbingan-Nyalah maka penulis bisa menyelesaikan sebuah karya
tulis berupa makalah tugas kelompok pada mata Kewarganegaraan ini tepat
pada waktunya.
Makalah ini dibuat dalam rangka membuat kajian teori dengan materi sesuai
yang ditetapkan dosen pengampu dan juga sekaligus melakukan apa yang
menjadi tugas mahasiswa pada mata kuliah Kewarganegaraan.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi saya dan pembaca. Saya menyadari
bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan dan kelemahan. Namun
penyusun tetap mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif
sehingga bisa menjadi acuan dalam penyusunan makalah selanjutnya.

Medan, Maret 2019

-Penulis-

i
DAFTAR ISI

Kata pengantar ................................................................................................ i


Daftar isi ......................................................................................................... ii
Bab I Pendahuluan ......................................................................................... 1
Bab II Pembahasan ......................................................................................... 2
Bab III Kesimpulan ........................................................................................ 12
Daftar Pustaka ................................................................................................ 13

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Di indonesia telah banyak menganut sistem pemerintahan pada awalnya. Namun,


dari semua sistem pemerintahan, yang bertahan mulai dari era reformasi 1998
sampai saat ini adalah sistem pemerintahan demokrasi. Meskipun masih terdapat
beberapa kekurangan dan tantangan disana sini. Sebagian kelompok merasa
merdeka dengan diberlakukannya sistem domokrasi di Indonesia. Artinya,
kebebasan pers sudah menempati ruang yang sebebas-bebasnya sehingga setiap
orang berhak menyampaikan pendapat dan aspirasinya masing-masing.
Demokrasi merupakan salah satu bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan
suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat atau negara yang
dijalankan oleh pemerintah. Semua warga negara memiliki hak yang setara dalam
pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi
mengizinkan warga negara berpartisipasi baik secara langsung atau melalui
perwakilan dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum.
Demokrasi mencakup kondisi social, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan
adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara. Demokrasi Indonesia
dipandang perlu dan sesuai dengan pribadi bangsa Indonesia. Selain itu yang
melatar belakangi pemakaian sistem demokrasi di Indonesia. Hal itu bisa kita
temukan dari banyaknya agama yang masuk dan berkembang di Indonesia, selain
itu banyaknya suku, budaya dan bahasa, kesemuanya merupakan karunia Tuhan
yang patut kita syukuri.
Demokrasi sebagai suatu sistem telah dijadikan alternatif dalam berbagai tatanan
aktivitas bermasyarakat dan bernegara di beberapa Negara. Seperti diakui oleh
Moh. Mahfud MD, ada dua alasan dipilihnya demokrasi sebagai system
bermasyarakat dan bernegara. Pertama, hampir semua negara didunia ini telah
menjadikan demokrasi sebagai asas yang fundamamental.; Kedua, demokrasi
sebagai asas kenegaraan secara esensial telah memberikan arah bagi peranan
masyarakat untuk menyelenggarakan Negara sebagai organisasi tertingginya. Oleh
karena itu, diperlukan pengetahuan dan pemahaman yang benar pada warga
masyarakat tentang demokrasi.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. KONSEP DEMOKRASI
Konsep demokrasi semula lahir dari pemikiran mengenai hubungan Negara dan
hukum di Yunani Kuno dan dipraktekkan dalam hidup bernegara antara abade ke-
6 sampai abad ke-4 M. Demokrasi yang dipraktikkan pada masa itu berbentuk
demokrasi langsung. Gagasan demokrasi Yunani kuno berakhir pada abad
pertenggahan. Pada masa ini pula lahir keinginan menghidupkan demokrasi.
Lahirnya Magna Charta ( piagam besar) sebagaiuis uatu piagam yang memuat
perjanjain antara kaum bangsawan dan Raja John di Inggris merupakan tonggak
baru kemunculan demokrasi empirik.
Momentum lainnya yang menandai kemunculan kembali demokrasi di dunia
Barat adalah gerakan renaissance dan reformasi. Renaissance merupakan gerakan
yang menghidupkan kembali minat para sastra dan budaya Yunani kuno.
Renaissance di Eropa yang bersumber dari tradisi keilmuan Islam dan berintikan
pada pemuliaan akal pikiran untuk selalu mencipta dan mengembangkan ilmu
pengetahuan telah mengilhami munculnya gerakan demokrasi. Sejarah dan
perkembangan demokrasi di Barat diawali berbentuk demokrasi langsung yang
berakhir pada abad pertengahan. Menjelang akhir abad pertengahan lahir Magna
Charta dan dilanjutkan munculnya renaissance dan reformasi yang menekankan
pada hak atas hidup, hak kebebasan dan hak memiliki. Dan selanjutnya, pada abad
ke-19 muncul gerakan demokrasi konstitusional. Dari demokrasi konstitusional
melahirkan demokrasi welfare state.
Gagasan perihal konsep demokrasi konstitusional muncul sebagai bentuk
perkembangan paradigma negara modern yang menjadikan konstitusi sebagai
pengawal sistem demokrasi. Demokrasi menempatkan prinsip one man, one vote,
one value yang pada akhirnya mengarahkan suatu keputusan dinilai secara
kuantitatif dan menjadi lebih berpihak pada kehendak mayoritas. Demokrasi yang
ideal merupakan rasionalisasi dari perwujudan prinsip prinsip umum yang
mencakup setiap kehendak umum seluruh masyarakat. Disinilah peranan konstitusi
untuk memberikan jaminan atas perwujudan nilai-nilai tersebut dengan cara

2
membatasi mekanisme demokrasi secara hukum guna melindungi hak-hak seluruh
warga negaranya.
Jimly Asshiddiqie berpendapat perihal demokrasi konstitusional (constitutional
democracy) merupakan suatu sistem dimana pelaksanaan kedaulatan rakyat
diselenggarakan menurut prosedur konstitusional yang ditetapkan dalam hukum
dan konstitusi. Demokrasi konstitusional menempatkan bagaimana adanya suatu
upaya dalam mewujudkan konsensus di antara kedaulatan rakyat (demokrasi) dan
kedaulatan hukum (nomokrasi), sebagai suatu dua hal yang dianggap disharmoni
namun melekat antara satu dan yang lain dalam pencapaian tujuan negara yang
melindungi masyarakat plural (plural society).
Bart Hassel dan Piotr Hofmanski sebagaimana dikutip oleh I Dewa Gede
Atmadja merinci empat ciri khas yang menjadi dasar dari konsep demokrasi
konstitusional sebagai berikut:
a. Undang-undang yang mempengaruhi kedudukan warga Negara dibentuk oleh
parlemen yang dipilih secara demokratis
b. Mencegah perilaku sewenang-wenang dari pemerintah
c. Peradilan yang bebas dalam menerapkan hukum pidana dan menguji
d. peraturan perundang-undangan dan tindakan pemerintah
e. Unsur material rule of law yakni perlindungan HAM, terutama kebebasan
berbicara, kebebasan pers, dan kebebasan berserikat dan berkumpul

Definisi konstitusionalisme menurut Carl. J. Friedrich sebagaimana dikutip oleh


Jimly Asshiddiqie adalah―an institutionalized system of effective, regularized
restraints upon governmental action. Persoalan yang dianggap terpenting dalam
setiap konstitusi adalah pengaturan mengenai pengawasan atau pembatasan
terhadap kekuasaan pemerintah. Paham konstitusionalisme menentukan adanya
suatu sistem yang melembaga dan mampu membatasi tindakan-tindakan dari
pemerintah secara efektif oleh hukum, dalam hal ini melalui konstitusi44 Lebih
lanjut Carl. J. Friedrich memberikan dua pandangan konkret yang menjelaskan
bagaimana pembatasan kekuasaan tersebut dapat dilakukan, yakni melalui
pembagian kekuasaan (distribution of power) dan adanya konsensus atau
kesepakatan umum di antara masyarakat.45 Perihal cara yang pertama, bahwa

3
pembatasan kekuasaan negara di dalam paham konstitusionalisme merupakan
kristalisasi dari konsep pemisahan kekuasaan. dimana Baron de Montesquieu
memisahkan kekuasaan menjadi tiga (Trias Politica), yaitu:
a. kekuasaan legislatif (membentuk undang-undang);
b. kekuasaan eksekutif (menjalankan undang-undang);
c. kekuasaan yudisial (mengadili atas pelanggaran undang-undang)

Kemudian untuk faktor kedua perihal adanya konsensus dari masyarakat. bahwa
terdapat tiga aspek yang menjamin tegaknya prinsip konstitusionalisme. yaitu :
a. kesepakatan tentang tujuan dan penerimaan tentang falsafah negara;
b. kesepakatan tentang negara hukum sebagai landasan penyelenggaraan
pemerintahan;
c. kesepakatan tentang bentuk-bentuk institusi dan prosedur-prosedur
ketatanegaraan tersebut

Sebagaimana dipaparkan sebelumnya bahwa pelaksanaan demokrasi


konstitusional erat berkaitan dengan harmonisasi demokrasi dan nomokrasi dalam
penyelenggaraan suatu negara. Janedjri M. Gaffar mengklasifikasikan secara
konkret tiga bentuk pelaksanaan demokrasi konstitusional. yaitu :
a. adanya penataan hubungan antar lembaga negara; terkait dengan aspek
pencapaian tujuan negara demokrasi dan hukum serta perihal pembatasan
kekuasaan dengan menghindari adanya akumulasi kekuasaan yang dapat
menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan (melalui pemisahan kekuasaan dan
check and balances).
b. adanya proses legislasi; terkait dengan pembuatan hukum secara demokratis
yang memperhatikan aspirasi masyarakat. serta perwujudan dari cita benegara,
cita demokrasi, dan cita hukum dalam konstitusi.
c. adanya judicial review; terkait dengan jaminan perwujudan demokrasi dan
nomokrasi guna menegakkan supremasi konstitusi melalui pengujian
konstitusionalitas suatu peraturan perundang-undangan

4
Dari paparan tersebut di atas, dapat dipahami bahwa demokrasi konstitusional
menempatkan paham konstitusionalisme di dalam kerangka pembentuknya, dimana
hak-hak warga negara hanya dapat dijamin apabila kekuasaan pemerintah dapat
dibatasi secara hukum sehingga tidak dapat bertindak secara sewenang-wenang.
Hukum yang dibuat, dalam arti undang-undang, wajib dibentuk oleh lembaga
perwakilan yang dipilih secara demokratis oleh rakyat.
Keberadaan konstitusi dan perundang-undangan menjadi esensial dalam rangka
memberikan jaminan tersebut dan masyarakat dapat mempertahankan setiap
hakhaknya. Penegakan akan supremasi konstitusi menjadi penting dan adanya
sarana hukum untuk menguji perundangan-undangan terhadap undang undang
dasar merupakan langkah yuridis sebagai kesatuan dari proses legislasi yang
demokratis.

B. BENTUK DEMOKRASI
Demokrasi telah menjadi sistem pemerintahan yang diidealkan. Banyak negara
menerapkan sistem politik demokrasi. Masing-masing negara menerapkan sistem
demokrasi dengan pemahaman masing-masing. Keanekaragaman pemahaman
tersebut dapat dirangkum ke dalam 3 sudut pandang, yaitu ideologi, cara penyaluran
kehendak rakyat, dan titik perhatian.
1. Berdasarkan Ideologi
Berdasarkan sudut pandang ideologi, sistem politik demokrasi dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu demokrasi konstitusional atau demokrasi liberal dan demokrasi
rakyat.
a. Demokrasi konstitusional (demokrasi liberal)
Dasar pelaksanaan demokrasi konstitusional adalah kebebasan individu. Ciri
khas pemerintahan demokrasi konstitusional adalah kekuasaan pemerintahannya
terbatas dan tidak diperkenankan banyak campur tangan dan bertindak sewenang-
wenang terhadap warganya. Kekuasaan pemerintah dibatasi oleh konstitusi.
b. Demokrasi rakyat
Demokrasi rakyat mencita-citakan kehidupan tanpa kelas sosial dan tanpa
kepemilikan pribadi. Demokrasi rakyat merupakan bentuk khusus demokrasi yang
memenuhi fungsi diktator proletar. Pada masa Perang Dingin, sistem demokrasi

5
rakyat berkembang di negara-negara Eropa Timur, seperti Cekoslovakia, Polandia,
Hungaria, Rumania, Bulgaria, Yugoslavia, dan Tiongkok. Sistem politik demokrasi
rakyat disebut juga “demokrasi proletar” yang berhaluan Marxisme-komunisme.

2. Berdasarkan cara penyaluran kehendak rakyat


Berdasarkan cara penyaluran kehendak rakyat, sistem politik demokrasi dapat
dibedakan menjadi tiga macam, yaitu demokrasi langsung, demokrasi perwakilan
atau demokrasi representatif, dan demokrasi perwakilan system referendum.
a. Demokrasi langsung
Dalam sistem demokrasi langsung, rakyat secara langsung mengemukakan
kehendaknya dalam rapat yang dihadiri oleh seluruh rakyat. Demokrasi ini dapat
dijalankan apabila negara berpenduduk sedikit dan berwilayah kecil. Sistem ini
pernah berlaku di Negara Athena pada zaman Yunani Kuno (abad IV SM).
b. Demokrasi perwakilan (demokrasi representatif)
Di masa sekarang, bentuk demokrasi yang dipilih adalah demokrasi perwakilan.
Hal ini disebabkan jumlah penduduk terus bertambah dan wilayahnya luas sehingga
tidak mungkin menerapkan sistem demokrasi langsung. Dalam demokrasi
perwakilan, rakyat menyalurkan kehendak dengan memilih wakil-wakilnya untuk
duduk dalam lembaga perwakilan (parlemen).
c. Demokrasi perwakilan sistem referendum
Demokrasi perwakilan dengan sistem referendum merupakan gabungan antara
demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan. Rakyat memilih wakil mereka
untuk duduk dalam lembaga perwakilan, tetapi lembaga perwakilan tersebut
dikontrol oleh pengaruh rakyat dengan system referendum dan inisiatif rakyat.

C. PRINSIP-PRINSIP DEMOKRASI
Prinsip demokrasi dibedakan menjadi dua, yaitu :
1. Prinsip Demokrasi Sebagai Sistem Politik
a. Pembagian kekuasaan (kekuasaan legislatif, yudikatif, dan eksekutif)
b. Pemerintahan konstitusional
c. Partai politik lebih dari satu dan mampu melaksanakan fungsinya
d. Pers yang bebas

6
e. Perlindungan terhadap hak asasi manusia
f. Pengawasan terhadap administrasi negara
g. Peradilan yang bebas dan tidak memihak
h. Pemerintahan yang diskusi
i. Pemilihan umum yang bebas
j. Pemerintahan berdasarkan hukum

2. Prinsip Non-demokrasi (Kediktatoran)


a. Pemusatan kekuasaan
Kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif menjadi satu dan dipegang serta
dijalankan oleh satu lembaga.
b. Pemerintahan tidak berdasarkan konstitusional
Pemerintahan dijalankan berdasarakan kekuasaan. Konstitusinya memberi
kekuasaan yang besar pada negara atau pemerintah.
c. Rule of Power
Prinsip negara kekuasaan yang ditandai dengan supremasi kekuasaan yang besar
pada negara atau pemerintah..
d. Pembentukan pemerintah tidak berdasarkan musyawarah tetapi melalui dekrit
e. Pemilihan umum yang tidak demokratis.
Pemilihan umum dijalankan hanya untuk memperkuat keabsahan penguasa atau
pemerintah negara.
f. Manajemen dan kepemimpinan yang tertutup dan tidak bertanggung jawab
g. Tidak ada dan atau dibatasinya kebebasan berpendapat, berbicara dan kebebasan
pers.
h. Penyelesaian perpecahan atau perbedaan dengan cara kekerasan dan penggunaan
paksaan.
i. Tidak ada perlindungan terhadap hak asasi manusia bahkan sering terjadi
pelanggaran hal asasi manusia.
j. Menekan dan tidak mengakui hak-hak minoritas warga negara.

7
D. DEMOKRASI DI INDONESIA
Perkembangan demokrasi di Indonesia telah mengalami pasang – surutnya.
Masalah pokok yang kita hadapi ialah bagaimana, dalam masyarakat yang beraneka
ragam pola budayanya, mempertinggi tingkat kehidupan ekonomi di samping
membina suatu kehidupan sosial politik yang demokratis. Pada pokoknya masalah
ini berkisar pada menyusun suatu system politik dimana kepemimpinanya cukup
kuat untuk melaksanakan pembangunan ekonomi serta Nation Building, dengan
partisipasi rakyat seraya menghindarkan timbulnya diktator, apakah diktator ini
bersifat perorangan, partai atau militer.
Dipandang dari sudut perkembangan demokrasi sejarah Indonesia dapat dibagi
dalam empat masa, yaitu:
a. Masa Republik Indonesia I, yaitu masa demokrasi (konstitusional) yang
menonjolkan peranan parlemen serta partai – partai dan yang karena itu dapat
dinamakan demokrasi parlementer.
b. Masa Republik Indonesia II, yaitu masa demokrasi terpimpin yang dalam
banyak aspek telah menyimpang dari demokrasi konstitusional yang secara
formil merupakan landasanya, dan menunjukkan beberapa aspek demokrasi
rakyat.
c. Masa Republik Indonesia III, yaitu masa demokrasi pancasila yang merupakan
demokrasi konstitusional yang menonjolkan sistem presidensil
d. Masa Republik Indonesia IV, yaitu masa demokrasi pasca reformasi 1988
sampai sekarang, yang cenderung mengalami banyak perubahan dari banyaknya
partai politik hingga pemilihan yang dilakukan secara langsung

8
E. PENDIDIKAN DEMOKRASI
Peristiwa kehidupan sosial politik bangsa dalam bingkai demokrasi
konstitusional Indonesia sejak reformasi bergulir di negeri ini, belum sepenuhnya
sesuai dengan idealitas demokrasi konstitusional yang sebenarnya. Nilai, prinsip
dan kaidah demokrasi belum dapat dilaksanakan oleh segenap komponen bangsa
dengan benar dan penuh kesadaran. Baik secara formal atau pun tidak, disengaja
atau pun tidak, telah terjadi penyimpangan-penyimpangan yang merusak sendi-
sendi kehidupan demokratisasi bangsa. Realitas ini, dalam bahasa Sumantri
(1998:4) disebut “undemocratic democracy,” yakni suatu tatanan kehidupan
berbangsa dan bernegara yang struktur (institusi) demokrasinya sudah ada, tetapi
semangat dan perwujudannya masih jauh dari cita-cita demokrasi. Kondisi yang
dirasakan paradoksal antara realitas dengan nilai dan norma yang diajarkan atau
dipidatokan.
Selama ini, tampaknya atmosfir demokrasi belum diimbangi dengan kecerdasan,
kematangan, dan kearifan bangsa, sehingga arah reformasi seringkali menimbulkan
“euforia” demokrasi yang tanpa arah. Fakta-fakta sikap dan perilaku yang
“undemocratic” dan “inconstitutional” yang teramati saat ini adalah masifnya
berbagai aksi anarkhi dalam perhelatan pemilukada di berbagai daerah. Menerima
kekalahan dengan sikap lapang dada bagi pihak yang kalah menjadi sebuah idiom
yang amat mahal harganya dan sulit diwujudkan. Selain itu, perilaku kaum elit
politik cenderung masih konservatif dan berorientasi pada politik kekuasaan dengan
pijakan semangat primordialisme, baik berbaju simbol-simbol kultural maupun
keagamaan. Mainstream perilaku kalangan elit ini pun pada akhirnya mudah
berimbas kepada perilaku politik massa, semisal sering terjadinya tawuran antar
suku atau kampung, antar pelajar, demonstrasi anarkhis, yang kesemua itu jelas
bertentangan dengan nilainilai demokrasi.
Mencermati hiruk-pikuk atmosfir demokratisasi kehidupan berbangsa yang
“undemocratic-inconstitusional” di atas, maka agenda penting dan urgen dilakukan
adalah membangun budaya demokrasi yang “genuine” (mengakar). Budaya
demokrasi ini menunjuk pada berlakunya nilai-nilai, prinsip dan kaidah demokrasi
di masyarakat yang terinternalisasikan dalam sikap dan perilaku hidup keseharian
maupun kehidupan kenegaraan.

9
Membangun budaya demokratis ini tidak dapat dilakukan sekali jadi, tetapi
memerlukan proses pembelajaran dan pengamalan (learning by experiences)
berdemokrasi. Sebagaimana ditegaskan Gandal and Finn (1992:2) bahwa
“Democracy does not teach itself. If the strengths, benefits, and responsibilities of
democracy are not made clear to citizens, they will be ill-equipped to defend it”.
Dengan kata lain, demokrasi tidak bisa mengajarkannya sendiri. Jika kekuatan,
kemanfaaatan, dan tanggung jawab demokrasi tidak dipahami dan dihayati dengan
baik oleh warganegara, sukar diharapkan mereka mau berjuang untuk
mempertahankannya. Semakna dengan itu, Alexis de Toqueville (Branson, 1998:2)
mengemukakan ”democracy is not a machine that would go on itself, but must be
consciously reproduced, one generation after another”, bahwa demokrasi bukanlah
mesin yang akan berfungsi dengan sendirinya, tetapi harus secara sadar
direproduksi dari satu generasi ke generasi berikutnya. Untuk itu, secara substantif
dalam dimensi jangka panjang, yakni untuk mambangunkarakter bangsa yang
demokratis, pendidikan demokrasi (education for democracy) mutlak
diperlukan.Seyogianya hal itu tidak dilaksanakan secara ”trial and error” atau
”taken for granted”, tetapi didesain secara sistemik dan sistematis untuk membina
dan mengembangkan prinsip-prinsip, nilai dan budaya warga Negara demokratis,
partisipatif dan berkeadaban dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara Indonesia. Ada dua alasan menurut Azra (2001:3), mengapa pendidikan
demokrasi merupakan kebutuhan mendesak dan penting dalam membangun budaya
demokratik (democratic culture). Pertama, meningkatnya gejala dan
kecenderungan ”political illiteracy”, yakni tidak melek politik dan tidak
mengetahui cara kerja demokrasi dan lembaga lembaganya di kalangan warga
negara. Kedua, meningkatnya apatisme politik (political apathism) yang
ditunjukkan dengan sedikitnya keterlibatan warga negara dalam proses-proses
politik. Atas argumentasi tersebut, maka pendidikan kewarganegaraan adalah salah
satu upaya sistemik penyemaian konsep, prinsip, nilai-nilai dan perilaku budaya
demokrasi.
Analisis kritis Azra di atas, memperkuat hasil ”National Survey of Voter
Education” (Asia Fondation, 1998) yang menggambarkan data bahwa lebih 60%
dari sampel nasional mengindikasikan belum mengerti tentang “apa, mengapa, dan

10
bagaimana demokrasi.” Hal ini, menunjukkan bahwa kecerdasan yang dibutuhkan
untuk mematuhi tatanan dan budaya demokrasi belum pula dimiliki secara cukup
oleh mayoritas bangsa. Padahal, menurut analisis Urbaningrum (2004:2), tanpa
kecerdasan, disiplin, dan kesadaran yang tinggi akan hak dan kewajiban serta
penghormatan terhadap pribadi-pribadi, penciptaan kehidupan demokratis
hanyalah utopia semata. Pendidikan demokrasi untuk membangun karakter dan
budaya demokrasi dalam kehidupan politik bangsa, di negara Indonesia telah
dilaksanakan, khususnya sejak berakhirnya era orde baru dan lahirnya era
reformasi. Namun, perlu direkonseptualisasi, sehingga lahir paradigm pendidikan
demokrasi yang bukan hanya secara konstitusional ada, tetapi secara instrumental
dan praksis benar-benar terjadi dan memberikan dampak pedagogis dan sosial-
kultural kumulatif bagi peningkatan kualitas kehidupan berdemokrasi dan ber-
HAM di Indonesia.
Pendidikan demokrasi ini menurut Azra (2002:166) secara substantif
menyangkut sosialisasi, internalisasi dan aktualisasi konsep, sistem, nilai, budaya
dan praktek demokrasi bagi warga negara, sehingga menjadi warga negara yang
kritis, partisipatif, demokratis dan beradab. Hal senada dikatakan Zamroni
(2002:21)bahwa Pendidikan Kewarganegaraan sebagai pendidikan demokrasi
adalah suatu proses yang dilakukan oleh lembaga pendidikan di mana seseorang
mempelajari orientasi, sikap dan perilaku politik sehingga yang bersangkutan
memiliki political knowledge, awareness, attitude, political efficacy, social trust
dan political participation serta kemampuan mengambil keputusan politik secara
rasional dan menguntungkan bagi dirinya, juga bagi masyarakat

11
BAB III
KESIMPULAN

12
DAFTAR PUSTAKA

 https://thynaituthya.wordpress.com/2013/11/23/makalah-pkn-tentang-
demokrasi-indonesia/
 http://digilib.uinsby.ac.id/2433/6/Bab%203.pdf
 http://eprints.uad.ac.id/9437/1/DEMOKRASI%20dwi.pdf
 http://pemerintahan.umm.ac.id/files/file/latiful%20arif%20dkk%20pdf.pdf
 http://pemerintahan.umm.ac.id/files/file/KONSEP%20DAN%20NILAI%20DEMOK
RASI%20I%20edit.pdf
 https://datastudi.files.wordpress.com/2011/04/prinsip-prinsip-demokrasi.pdf
 http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/50416/Chapter%20II.p
df?sequence=3&isAllowed=y

13

Anda mungkin juga menyukai