Oleh :
Dr. Nancy Sylvia Bawiling M.FIS
Dr. Pingkan Mamuaya S.Ked
Prodi Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Negeri Manado
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Landasan Teori
ENTEROBIUS VERMICULARIS
Enterobiasis atau oxyuriasis adalah penyakit akibat infeksi cacing E. vermicularis atau
Oxyuris vermicularis. Disebut pula sebagai pinworm infection, atau di Indonesia dikenal sebagai
infeksi cacing kremi (Noer, 1996). Penyakit ini identik dengan anak-anak, meski tak jarang orang
dewasa juga terinfeksi.
a) Morfologi
Cacing betina berukuran 8-13 mm x 0,3-0,5 mm, dengan pelebaran kutikulum
seperti sayap pada ujung anterior yang disebut alae. Bulbus oesofagus jelas sekali, dan
ekor runcing. Pada cacing betina gravid, uterus melebar dan penuh telur.
Cancing jantan lebih kecil sekitar 2-5 mm dan juga bersayap, tapi ekornya
berbentuk seperti tanda tanya, spikulum jarang ditemukan. Telur E. vermicularis oval,
tetapi asimetris (membulat pada satu sisi dan mendatar pada sisi yang lain), dinding telur
terdiri atas hialin, tidak berwarna dan transparan, serta rerata panjangnya x diameternya
47,83 x 29,64 mm (Brown, 1979). Telur cacing ini berukuran 50μm - 60μm x 30μm,
berbentuk lonjong dan lebih datar pada satu sisinya (asimetris). Dinding telur bening dan
agak tebal, didalamnya berisi massa bergranula berbentuk oval yang teratur, kecil, atau
berisi embrio cacing, suatu larva kecil yang melingkar.
b) Siklus hidup
Manusia merupakan satu-satunya hospest bagi E. vermicularis. Manusia terinfeksi
bila menelan telur infektif. Telur akan menetas di dalam usus dan berkembang menjadi
dewasa dalam caecum, termasuk appendix. Cacing betina memerlukan waktu sekitar 1
bulan untuk menjadi matur dan mulai memproduksi telur (Garcia dan Bruckner, 1998).
Cacing betina yang gravid mengandung sekitar 11.000-15.000 butir telur,
berimigrasi ke perianal pada malam hari untuk bertelur dengan cara kontraksi uterus dan
vaginanya. Telur-telur jarang dikeluarkan di usus sehingga jarang ditemukan di tinja.
Telur menjadi matang dalam waktu kira-kira 6 jam setelah dikeluarkan pada suhu badan.
1|Page
Dalam keadaan lembab telur dapat hidup sampai 13 hari (Gandahusada et al., 2001).
Kadang-kadang cacing betina berimigrasi ke vagina dan menyebabkan vaginitis (Mandell
et al., 1990).
Kopulasi cacing jantan dan betina mungkin terjadi di caecum. Cacing jantan mati
setelah kopulasi, dan cacing betina mati setelah bertelur. Daur hidup cacing mulai dari
tertelannya telur infektif sampai menjadi cacing dewasa gravid yang bermigrasi ke perianal
dan memerlukan waktu kira-kira 2 minggu sampai 2 bulan.
c) Epidemiologi
Prevalensi cacing di Indonesia, menurut Perkumpulan Pemberantasan Penyakit Parasit
Indonesa (P4I), tahun 1992 untuk cacing gelang 70 – 90%, cacing cambuk 80 – 95% dan
cacing tambang 30 – 59%. Sedangkan dari data departemen kesehatan (1997) menyebutkan,
prevalensi anak usia SD 60 – 80% dan dewasa 40 – 60% (Kompas, 2002).
Cacing ini sebagian besar menginfeksi anak-anak, meski tak sedikit orang dewasa
terinfeksi cacing tersebut. Meskipun penyakit ini banyak ditemukan pada golongan ekonomi
lemah, pasien rumah sakit jiwa, anak panti asuhan, tak jarang mereka dari golongan
ekonomi yang lebih mapan juga terinfeksi (Brown, 1979).
Infeksi cacing terdapat luas di seluruh Indonesia yang beriklim tropis, terutama di
pedesaan, daerah kumuh, dan daerah yang padat penduduknya. Semua umur dapat
terinfeksi cacing ini dan prevalensi tertinggi terdapat pada anak-anak. Penyakit ini sangat erat
hubungannya dengan keadaan sosial-ekonomi, kebersihan diri dan lingkungan. Prevalensi
menurut jenis kelamin sangat erat hubungannya dengan pekerjaan dan kebiasaan penderita.
Distrik Mae Suk, Provinsi Chiangmai Thailand ditemukan anak laki-laki lebih banyak yaitu
sebesar 48,8% dibandingkan dengan anak perempuan yang hanya 36,9% pada umur 4,58 ±
2,62 tahun (Chaisalee et al., 2004). Sedangkan di Yogyakarta infeksi cacing lebih banyak
ditemui pada penderita laki-laki dibandingkan penderita perempuan.
Tingkat infeksi kecacingan juga dipengaruhi oleh jenis aktivitas atau pekerjaan.
Semakin besar aktivitas yang berhubungan atau kontak langsung dengan lingkungan terbuka
maka semakin besar kemungkinan untuk terinfeksi. Selain itu, prevalensi kecacingan yang
berhubungan dengan status ekonomi dan kebersihan lingkungan diteliti di Cirebon, Jabar.
Ternyata prevalensi kecacingan semakin tinggi pada kelompok sosial ekonomi kurang dan
kebersihan lingkungan buruk, dibandingkan kelompok sosial ekonomi dan kebersihan
lingkungan yang sedang dan baik.
d) Penularan penyakit
Enterobiasis menular setidaknya melalui 3 cara, yaitu:
1. Penularan dari tangan ke mulut setelah menggaruk perianal (autoinfeksi)
2. Tangan menyebarkan telur ke orang lain maupun diri sendiri setelah memegang benda-
benda
3. Pakaian yang terkontaminasi, debu merupakan sumber infeksi. Infeksi melalui inhalasi
yang mengandung telur, retroinfeksi melalui anus. Larva yang menetas disekitar anus
kembali masuk ke usus.
2|Page
saluran tuba. Cacing juga sering ditemukan di appendix. Hal ini bisa menyebabkan
apendisitis, meskipun jarang ditemukan.
f) Diagnosis
Diagnosis dilakukan berdasarkan riwayat pasien dengan gejala klinis positif. Diagnosis
pasti dengan ditemukannya telur dan cacing dewasa. Selain itu, diagnosa dapat dilakukan
dengan pemeriksaan tinja dan anal swab dengan metode Scotch adhesive tape swab (Faust et
al., 1979).
Pada pemeriksaan tinja dapat ditemukan adanya cacing dewasa. Cacing jantan dewasa
setelah kopulasi mati dan keluar bersama tinja. Sementara dengan metode Scotch adhesive
tape swab, dapat menemukan telur yang diletakkan didaerah perianal (Faust et al., 1979).
Metode yang kedua lebih mudah dilakukan, dan lebih sering dilakukan. Selain biaya yang
relatif murah, juga kerja yang cepat.
Cara kerja metode tersebut hanya menempelkan sisi lekat celophan tape ke daerah
perianal, kemudian dengan menggunakan xylol atau toluol untuk menjernihkan, dapat
ditemukan adanya telur cacing kremi. Metode ini juga sangat efektif. Sekali melakukan
pemeriksaan dengan swab dapat menemukan 50% dari semua infeksi, tiga kali pemeriksaan
90%, dan pemeriksaan 7 hari berturut-turut diperlukan untuk menyatakan seseorang bebas
infeksi (Faust et al., 1979).
Pencegahan dengan menjaga kebersihan, cuci tangan sebelum makan, ganti sprei teratur,
ganti celana dalam setiap hari, membersihkan debu-debu kotoran di rumah, potong kuku
secara rutin, hindari mandi cuci kakus (MCK) di sungai. Kalau perlu toilet dibersihkan
dengan menggunakan desinfektan (Noer, 1996). Selain itu, peningkatan kesehatan
perorangan dan kelompok digabung dengan terapi kelompok dapat membantu pencegahan
.
3|Page
Praktikum
PRAKTIKUM ANAL SWAB (Usapan Dubur)
Pengertian :
Anal swab atau usab dubur adalah suatu alat dari batang gelas atau spatel lidah yang pada
ujungnya direkatkan scotch adhesive tape bertujuan untuk tempat menempelnya sampel
telur cacing atau cacing dewasa setelah diusapkan ke dubur.
Sampel
Hapusan dubur/ anus pada anak kecil
CARA KERJA
Pembuatan Preparat (dirumah) :
A. Waktu Pengambilan
Waktu Pengambilan spesimen yang sering dilakukan pada Enterobius
Vermicularis adalah pada pagi hari sebelum penderita buang air besar dan mencuci
pantat (cebok). Ini adalah waktu yang tepat untuk mendapatkan hasil yang terbaik.
Selain itu waktu pengambilan juga dapat dilakukan pada malam hari yaitu
sebelum tidur terutama saat gejala rasa gatal muncul disekitar anus. Karena pada saat itu
cacing betina bermigrasi ke daerah anus tempat telur diletakkan.
4|Page
8. Bila adhesive tape ditempelkan didaerah sekitar anus, telur cacing akan menempel
pada perekatnya
9. Segera rekatkan bagian selotip yang baru diusap pada object glass agar selotip
menempel pada object glass.
10. Bungkus object glass dengan tissue, isi dalam tas plastik dan bawa ke laboratorium.
Pengamatan Mikroskop
1. Amati sediaan di bawah mikroskop dengan pembesaran 100 kali, yakni pembesaran
lensa okuler 10 kali dan lensa objektif 10 kali;
2. Gambarkan hasil pengamatan sediaan.
5|Page
Hasil Pengamatan
Cacing Dewasa Enterobius Vermikularis
Laporan
6|Page