Anda di halaman 1dari 90

1

PENYAKIT ILMU BEDAH VASKULAR


Dasar-dasar diagnosis dan pengelolaannya

Dr.H.Hendro Sudjono Yuwono,PhD


Sub-Bagian Ilmu Bedah Vaskular -FK UNPAD

2002
2

Kata Pengantar

Dorongan untuk menulis mengenai bidang ilmu bedah pembuluh darah ini disebabkan
banyaknya perubahan-perubahan yang terjadi dalam penanganan penyakit di bidang
tersebut yang didasarkan atas kemajuan dalam pemahaman epidemiologi dan patofisiologi
kejadian penyakit. Pengalaman hidup selama berada di dalam dunia ilmu bedah pembuluh
darah telah menuntut untuk mampu memberikan pelayanan selain dalam bentuk kegiatan
khas klinik bedah, juga dalam bentuk pelayanan yang tertulis.
Kumpulan tulisan mengenai penyakit bedah pembuluh darah ini telah disusun berdasarkan
kasus-kasus penyakit yang tersering dijumpai sehari-hari dalam kegiatan klinik. Dalam
penyajiannya diupayakan sedemikian rupa sehingga pokok-pokok bahasannya adalah
meliputi bahan yang kiranya memang diperlukan dalam membantu pengetahuan praktis
ketika menghadapi penderita di klinik bagi seorang mahasiswa kedokteran dalam masa
pendidikannya maupun ketika mengabdikan dirinya dalam masyarakat. Didalam tulisan
ini dimasukkan pula beberapa pengalaman klinik praktis yang pernah dijumpai penulis yang
kiranya kasus yang serupa tersebut sangat mungkin berulang dalam pengalaman klinik
ditempat lain. Semoga sumbangan tulisan ini dapat lebih membantu para mahasiswa
kedokteran, peserta pendidikan dokter spesialis bedah, yaitu khususnya dalam mendapatkan
pengertian di bidang ilmu bedah pembuluh darah, dan dapat menjadi salah satu diantara
bacaan-bacaan ilmu bedah lainnya, selain membantu pula dalam upaya luhur dunia
kedokteran dalam membantu meringankan penderita penyakit pembuluh darah melalui
pengertian-pengertian pengelolaan yang praktis.
Akhir kata, penulis selalu membuka hati untuk berkomunikasi, baik berupa saran atau
kritik, dalam usaha membantu meningkatkan tulisan ini.

Bandung, 26 Agustus 2002.


Dr.Hendro Sudjono Yuwono, PhD

Keterangan gambar sampul:


Gambar katup pembuluh limfe daerah paha anjing, diperlihatkan dengan bantuan mikroskop elektron (Scanning
Electron Microscope) dengan pembesaran 250 X, 10 kv, di Bagian Bedah eksperimen (Experimentele Chirurgie
Afdeling), Academisch Medisch Centrum, Amsterdam, Nederland, 1987.
3

Daftar isi

Judul Bab: halaman:

1.Insufisiensi vena khronik ------------------------------------------------------- 1


2.Trombosis vena dalam --------------------------------------------------------- 10
3.Tromboangiitis obliterans --------------------------------------------------- 12
4.Tromboemboli akut pada arteri ------------------------------------------ 17
5.Anerisma aorta abdominalis ------------------------------------------------ 19
6.Aterosklerosis-------------------------------------------------------------------- 27
7.Penyakit hemoroid----------------------------------------------------------------32
8.Komunikasi arterio-venosa kongenital ------------------------------------37
9.Kaki diabetes----------------------------------------------------------------------- 47
10.Trauma vaskular------------------------------------------------------------------52
11.Sindroma kompartemen akibat trauma vaskular--------------------- 55
12.Penyakit oklusi arteri karotis-------------------------------------------------56
13.Arteritis Takayasu----------------------------------------------------------------60
15.Limfedema--------------------------------------------------------------------------62
16.Penyakit vasospastik-------------------------------------------------------------67

Lampiran:
Pemeriksaan fisik pada kasus bedah pembuluh darah-----------------72

Daftar pustaka------------------------------------------------------------------------76
1

1 Insufisiensi vena khronik pada tungkai

1.1 Pendahuluan
Dalam pembicaraan sehari-hari insufisiensi vena khronik sering disebut oleh orang awam
dengan istilah varises. Kelainan vena superfisial ini berupa pelebaran diameter pembuluh
dan berjalan berkelok-kelok sedemikian rupa sehingga penyakit ini bukan hanya
menimbulkan masalah kosmetik saja tetapi juga dapat menimbulkan masalah gangguan
fungsi yang lebih serius.
Berdasarkan atas besar pembuluh vena yang menderita varises terdapat
pembagian/klasifikasi seperti dibawah ini, yaitu:
1.varises vena saphena magna dan atau vena saphena parva ( varises stem),
2.varises percabangan vena saphena (varises retikularis),
3.varises venula (hyphen-webs atau spider-vein atau telangiektasia) berbentuk halus seperti
jaring laba-laba, yang memucat dengan tekanan ringan.
Selain itu dikenal klasifikasi menurut Widmer, pembagian menurut Porter, dan pembagian
CEAP. Dibawah ini masing-masing pembagian akan dijelaskan.
Klasifikasi Widmer (1978):
Derajat I: Dilatasi vena subkutan, corona phlebectatica
Derajat II: Daerah hiperpigmentasi atau depigmentasi dengan atau tanpa corona
phlebectatica.
Derajat III: Ulkus yang aktif atau sudah sembuh.
Klasifikasi Porter (1988):
Klas 0: Varises tanpa gejala.
Klas 1: Varises ringan dengan gejala/tanda-tanda pembengkakan pergelangan kaki yang
ringan sampai sedang, keluhan-keluhan ringan (kaki terasa berat atau nyeri), dan dilatasi
vena-vena subkutan.
Klas 2: Varises tingkat sedang, dengan hiperpigmentasi kulit, pembengkakan sedang dan
fibrosis subkutan didaerah malleolus dan pretibial, tanpa ulkus, terdapat pelebaran vena
subkutan yang bersifat lokal atau regional.
Klas 3: Varises berat, dengan nyeri di bagian distal yang berhubungan dengan ulkus atau
perubahan kulit berupa luka atau dermatitis dengan pembengkakan besar yang berhubungan
dengan sistim vena dalam karena kerusakan fungsi katup dengan atau sumbatan khronik
aliran darah pada vena dalam.
Klasifikasi CEAP (1995):
2

Klasifikasi yang terakhir ini dibuat adalah klasifikasi CEAP yang sesuai dengan konsensus
yang dibuat oleh komisi ad hoc pada Pertemuan Tahunan ke-6 American Venous Forum, di
Maui, Hawaii, pada tanggal 22-25 Februari 1994.
C (Clinic)Tanda–tanda klinis klas 0-6, A bila asimtomatis, S bila ada ditemukan
simtom/gejala.
E (Etiologi) Kongenital (Ec), primer (Ep), sekunder (Es).
A (Anatomi) distribusi anatomi, yaitu superfisial, profundus, perforator, dapat satu atau
kombinasi.
P (Patofisiologi) Refluks (Pr), obstruksi (Po) atau kombinasi (Pr,o).
Contoh: oklusi segmental vena pada vena Cava, Iliaka, dan Femoralis : Po-Cav,Po-I, Po-F.
Bila oklusi lebih luas pada vena Iliaka,femoralis dan poplitea, dituliskan: P O-I,F,P.

Klasifikasi anatomis:
Nomor segmen Vena superfisial (As)
1 Telangiektasia/vena retikularis
2 Vena Saphena magna :diatas lutut.
3 Vena Saphena magna :dibawah lutut.
4 Vena Saphena parva.
5 Bukan vena Saphena .
Vena dalam (Ad)
6 Vena Cava inferior.
7 Vena Iliaka komunis
8 Vena Iliaka interna (vena hipogastrika)
9 Vena Iliaka eksterna.
10 Vena dalam rongga pelvis: gonad, ligamentum rotundum dan lainnya.
11 Vena Femoralis komunis.
12 Vena Femoralis profundus.
13 Vena Femoralis superfisialis.
14 Vena Poplitea.
15 Vena daerah kruris: V.Tibialis anterior, V.Tibialis posterior, V.Peroneus.
16 Vena muskularis: gastrocnemius, soleus dan lainnya.
Vena perforantes (Ap)
17 Daerah femoralis
18 Derah kruris (calf )
3

Klasifikasi klinis (C 0-6):


Klas 0 –Tidak tampak dan tidak teraba tanda-tanda penyakit vena.
Klas 1 –Telangiektasia atau vena retikularis.
Klas 2 –Varises.
Klas 3 –Terdapat pembengkakan (udem)
Klas 4 --Tampak perubahan kulit (pigmentasi, dermatitis, lipodermatosklerosis)
Klas 5 –Perubahan seperti pada klas 4 disertai ulkus yang sembuh.
Klas 6 –Perubahan seperti pada klas 5 disertai ulkus yang aktif.

Skor klinis:
Nyeri (0=tidak ada keluhan nyeri, 1=nyeri sedikit , tidak memerlukan analgetika, 2=nyeri
berat dan memerlukan bantuan analgetika)
Pembengkakan (udem) (0=tidak udem, 1=ringan, 2= berat)
Klaudikasio vena (0=tidak ada, 1=ringan, 2=berat)
Pigmentasi (0=tidak ada, 1=lokal, 2=luas)
Lipodermatosklerosis (0=tidak ada, 1= lokal, 2=luas)
Ukuran ulkus (0=tidak ada ulkus, 1= diameter <2 cm., 2= diameter > 2 cm.)
Lamanya ulkus (duration) (0=tidak ada, 1= < 3 bulan, 2= > 3 bulan )
Ulkus yang berulang (recurrence) (0=tidak ada, 1= hanya 1 kali, 2= lebih dari 1 kali )
Jumlah ulkus (0=tidak ada ulkus, 1= tunggal, 2= multipel)

Skor kecacatan (disability score):


0 = tidak ada keluhan penderita.
1= ada keluhan tetapi dapat berfungsi tanpa bantuan alat bantu.
2= dapat bekerja selama 8 jam sehari bila menggunakan alat bantu.
3= tidak dapat bekerja walaupun dengan alat bantu.

1.2. Faktor risiko:


1.Sejarah varises dalam keluarga,
2.Wanita (pada usia dekade ke-3 dan 4 : dijumpai 5-6 X lebih sering dari pria),
3.Kehamilan lebih dari 2 kali,
4.Pengguna pil atau suntikan hormon dalam program keluarga berencana,
5.Terbiasa dalam posisi berdiri tegak selama >6 jam sehari,
4

6.Kegemukan atau obesitas.

Varises lebih sering dijumpai dan berkembang pada usia dewasa dan akan menjadi lebih
banyak jumlahnya pada usia lebih lanjut. Sangat jarang dijumpai pada usia kanak-kanak
atau bila dijumpai biasanya merupakan bagian dari sindroma Klippel-Trenaunay.

1.3. Patofisiologi:
Beberapa teori mengenai timbulnya insufisiensi vena akan dikemukakan dibawah ini:
Komunikasi arteriovenosa.
Teori ini berdasarkan penemuan peninggian PO2 darah vena yang mengalami varises
dibandingkan dengan vena normal. Pada keadaan adanya hubungan pendek (fistula) antara
arteri dan vena, biasanya dijumpai arus turbulen dan peninggian tekanan vena (hipertensi
vena) yang akhirnya menimbulkan dilatasi vena. Keadaan tersebut selanjutnya akan
menimbulkan kegagalan fungsi katup (inkompetensi katup). Adanya hubungan pendek ini
dapat diperlihatkan dengan pemeriksaan arteriografi, yaitu contohnya sindroma Parkes-
Weber.
Inkompetensi (disfungsi) katup vena Saphena magna :
Teori ini menyatakan bahwa inkompetensi katup atau katup yang absen (secara kongenital
tidak terbentuk) pada bagian proksimal, yaitu vena di daerah iliofemoral, dapat
menimbulkan peninggian tekanan hidrostatik (hipertensi vena) pada vena-vena di tungkai
bagian distal, sehingga menyebabkan dilatasi dan inkompetensi katup vena. Sebaliknya
penelitian menunjukkan bahwa walaupun tidak dijumpai katup vena di daerah iliofemoral
pada 40% kadaver (mayat yang digunakan untuk belajar anatomi tubuh manusia), tetapi
tidak ditemukan bukti adanya tanda-tanda varises. Teori ini berlaku pada sebagian penderita
varises primer, karena sulit menerangkan timbulnya varises hanya disebabkan oleh
inkompetensi katup saja.
Inkompetensi vena perforator:
Teori ini hanya berlaku pada sebagian kasus varises primer, yaitu pada kasus varises yang
dihubungkan dengan adanya inkompetensi vena perforator pada daerah cruris. Ligasi vena
perforator tersebut akan meredakankan gejala insufisiensi vena.
Kerusakan struktur dinding vena:
Pemeriksaan menunjukkan kecenderungan varises vena yang berbentuk saccular dimulai
pada percabangan vena saphena dibagian distal tungkai. Pemeriksaan struktur sel secara
histopatologik dan biokimia pada pembuluh vena tungkai yang belum mengalami bentuk
5

varikosis (tampak bentuk makroskopis yang belum melebar dan berkelok-kelok), ternyata
secara mikroskopis (histologis) sudah menunjukkan kelainan yang sama dengan segmen
vena yang sudah mengalami varikosis (Yuwono 1999; Lowell,Glovicski,Miller 1992).
Sejarah varises dalam keluarga:
Sejarah varises tungkai dalam keluarga dijumpai pada 43-80% kasus, yaitu dijumpai varises
tungkai pada saudara kandung, atau pada salah satu atau kedua orangtuanya.

Untuk menerangkan penyebab timbulnya varises primer, biasanya memerlukan kombinasi


dari 2 teori yang diterangkan diatas. Walaupun kelemahan dinding vena mungkin ada tetapi
tidak menimbulkan varises, bila tidak disertai adanya inkompetensi vena-vena di proksimal
atau inkompetensi vena perforator.
Menentukan penyebab varises sangat penting dilakukan untuk menentukan jenis tindakan
dan untuk mencapai keberhasilan terapi. Misalnya, kelemahan dinding vena atau adanya
komunikasi arteriovenosa, tidak dapat disembuhkan dengan melakukan ligasi vena saphena
bagian proksimal (high ligation) dan stripping vena saphena, tetapi harus dilakukan
pengangkatan vena yang mengalami varises. Bila terdapat inkompetensi vena perforator,
maka pengobatan yang tepat adalah melakukan ligasi vena tersebut.

Varises V.Saphena magna

Indurasi dan pigmentasi ankle

Dermatitis

Gambar 1.1 . Varises tungkai bilateral yang telah diderita selama 20 tahun pada seorang
wanita berusia 50 tahun. Tampak tanda-tanda varises berbentuk sakular pada vena saphena
magna, dermatitis, indurasi dan pigmentasi (brawny ankle) di pergelangan kaki.

Teori Aktivasi Lekosit yang terperangkap:


6

Teori ini merupakan teori terakhir yang banyak dikemukakan belakangan ini. Berdasarkan
hasil penelitian Schmid-Schonbein (1975) ditarik kesimpulan bahwa adesi sel lekosit pada sel
endotel berbanding terbalik dengan kecepatan aliran darah (Cheatle,Scott 1998). Ia juga
menyatakan bahwa pada keadaan hipertensi vena, yang sering terjadi pada kasus insufisiensi
vena khronik, aliran darah vena menjadi lebih lambat. Khususnya didaerah kapilar, sel
lekosit yang berdiameter lebih besar dari lumen kapiler, menyebabkan eritrosit (berukuran
lebih kecil dari lekosit) mengalir dibelakang lekosit. Setibanya didaerah lumen post-capillary
venule yang lebih luas dari kapilar, eritrosit mampu mengalir lebih cepat dan mendahului
lekosit sehingga lekosit akan terdesak menempel dan sebagian mengalami marginasi serta
adesi pada sel endotel. Sel lekosit yang mengalami marginasi dalam situasi hipertensi vena
disebabkan oleh kecepatan aliran darah yang melambat, melakukan migrasi, rolling, aktivasi,
adesi dan transmigrasi melalui dinding pembuluh darah (endothelial cell junction) menembus
membrana basalis menuju sumber trauma melakukan fagositosis. Peningkatan adesi antara
lekosit dengan endotel merupakan peristiwa penting yang merupakan petanda timbulnya
inflamasi akut. Bukti adanya peningkatan dari peristiwa adesi tersebut adalah terdeteksi
melalui adanya peningkatan kadar molekul adesi (Vascular Cell Adhesion Molecule -1,
Intercellular Adhesion Molecules -1, CD62E/Endothelial Leucocyte Adhesion Molecule -1,
Endothelial Leukocyte Adhesion Molecule -1) adesi endotel, yaitu merupakan glikoprotein di
permukaan sel yang diekspresikan pada sel endotel sebagai respon terhadap aktivasi cytokine.
Lekosit yang melekat tersebut mengalami aktivasi dan menghasilkan ensim proteolitik dan
radikal bebas oksigen yang merusak sel – sel jaringan sehingga mampu menimbulkan ulkus.
1.4.Patofisiologi pembentukan ulkus akibat hipertensi vena:
Ulkus akibat hipertensi vena telah dikenal sejak jaman Hippocrates (460-337 Sebelum
Masehi). Akan tetapi banyaknya teori mengenai mekanisme pembentukannya, yang berarti
menunjukkan belum adanya kesepakatan para ahli dan penelitian masih terus dilakukan.
Faktor-faktor penyebab dari kerusakan jaringan sehingga menimbulkan luka adalah seperti
pada Bagan dibawah ini:

Bagan 1.1. : Mekanisme pembentukan luka pada insufisiensi vena khronik.


7

Kegagalan katup vena pada Insufisiensi vena primer

Trombosis vena dalam

Trombosis vena superfisialis Hipertensi vena Destruksi jaringan

Gangguan mekanis:
Contohnya peninggian Teori/hipotesa: 1)Stasis, 2) AV shunt,
tekanan intra abdominal. 3)Fibrin cuff, 4) Leukocyte trapping.
Trauma

Hubungan pendek atau komunikasi antara arteri dan vena (arteriovenous shunt) yang
mendasari terjadinya ulkus pada varises tungkai mendapat tentangan para ahli, karena
penelitian menunjukkan bahwa jumlah volume darah vena normal dibandingkan dengan
volume darah pada varises ternyata tidak menunjukkan perbedaan nyata.

Teori fibrin cuff :


Teori dari Browse dan Burnand (1982) menyatakan bahwa deposit fibrin di sekeliling
kapilar-kapilar membentuk lapisan penghalang (fibrin cuff) untuk difusi oksigen dari kapiler
ke kulit, sehingga menimbulkan kerusakan sel akibat hipoksia jaringan. Namun, banyak
peneliti yang mengukur difusi gas oksigen antara sirkulasi kapilar dan kulit, tidak berhasil
membuktikan adanya gangguan difusi tersebut. Pada eksperimen hipertensi vena
memperlihatkan bahwa pengukuran tekanan oksigen secara transkutan menunjukkan
adanya peninggian tekanan. Hasil pengukuran oksigen transkutan pada jaringan yang
mengalami lipodermatosklerosis (lipodermatosklerosis adalah penebalan dan pengerasan
lapisan lemak subkutis pada jaringan penderita insufisiensi vena yang menahun), seringkali
menunjukkan angka dalam batas normal. Oleh sebab itu dipikirkan kemungkinan
mekanisme lainnya selain hipoksia yang mampu menimbulkan kerusakkan sel, yaitu melalui
hipotesa lekosit yang terperangkap (leukocyte trapping) atau lekosit yang stasis, yang telah
dijelaskan diatas.
1.5 Gejala penyakit:
Penderita insufisiensi vena khronik biasanya mengeluh merasa nyeri, rasa lelah (fatigue),
rasa pegal dan berat, kaki bengkak, yang semakin terasa bila berdiri lama. Elevasi tungkai
mampu mengurangi keluhan tersebut. Penderita varises mungkin tanpa ada keluhan sama
sekali kecuali keluhan kosmetik, yaitu terutama pada penderita varises telangiektasia.
8

AnerismaV.Saphena magna
di daerah sapheno-femoral
junction (daerah inguinal), ukuran Ø10 cm

Gambar 1.2 Anerisma Vena Saphena magna pada daerah muaranya ke V.Femoralis
(sapheno-femoral junction) pada seorang perempuan 45 tahun dengan sejarah pernah
mengikuti program Keluarga Berencana berupa injeksi selama 8 tahun. Kelainan anerisma
vena didaerah ini harus dapat dibedakan dengan kelainan akibat hernia.

1.6 Terapi:
1.6.1.Terapi kompresi.
Terapi kompresi dilakukan dengan menggunakan pembalut elastis atau stocking khusus
untuk varises. Terapi kompresi dapat menyembuhkan ulkus didaerah pergelangan kaki
akibat dari komplikasi insufisiensi vena khronis. Teknik pembalutan atau pemakaian stoking
harus tepat ukurannya, tidak longgar atau terlalu ketat, dan tidak perlu dipakai bila
berbaring ditempat tidur.
Kompresi juga digunakan untuk mengurangi komplikasi perdarahan, rekanalisasi,
pigmentasi, thromboflebitis, pembengkakan dan mempercepat penyembuhan ulkus, setelah
pemberian skleroterapi atau pembedahan untuk mengangkat varises. Pembalutan
pascabedah dilakukan selama 3-14 hari dan meneruskannya bila perlu sampai terlihat
perbaikan. Kompresi tidak boleh dilakukan bila terdapat insufisiensi arteri, decompensatio
cordis, trombosis vena dalam yang akut.
1.6.2. Skleroterapi:
Injeksi cairan sklerosan (Polidocanol; Na tetradecyl sulphate) dengan konsentrasi 0,5%, 1%
atau 3%, yang disuntikkan ke dalam lumen vena yang mengalami varises dengan
menggunakan semprit (syringe) 1 ml. dengan jarum halus berukuran 27G - 30G. untuk
menimbulkan sklerosis dengan cara merusak lapisan sel endotel dan dinding pembuluh
vena, cairan sklerosan mendorong keluar darah dari lumen vena yang disuntik,
menimbulkan spasme, inflamasi ringan, sehingga terjadi trombosis yang akut pada vena.
Selanjutnya segera dibalut dengan menggunakan pembalut elastis mulai dari kaki sampai
9

dengan daerah vena yang dilakukan skleroterapi (biasanya sampai dibawah lutut) untuk
mempertahankan agar segmen vena tersebut tetap kolaps dan tidak lagi dialiri darah.
Pembalut dipertahankan selama 4-6 minggu. Dengan cara tersebut akan terjadi proses
fibrosis yang menutup lumen vena. Khususnya untuk menyuntik pembuluh varises yang
halus seperti telangiektasia diperlukan jarum 29G-30G, dan diperlukan perlengkapan berupa
kaca pembesar atau loupe untuk membantu insersi jarum kedalam lumen yang halus. Alat
bantu lainnya adalah ultrasonograf (USG) sangat membantu ketepatan insersi jarum
kedalam lumen vena (ultrasound guided sclerotherapy). Setelah tindakan pembedahan untuk
mengangkat varises yang berukuran besar, skleroterapi dapat dilakukan untuk menangani
varises yang berukuran kecil yang dijumpai pada tungkai tersebut.
Skleroterapi busa (foam sclerotherapy):
Sejak 1995 mulai banyak yang melaporkan melakukan teknik ini, dan menyatakan bahwa
hasilnya ternyata lebih efektif dibandingkan dengan menyuntikkan cairan sklerosan saja.
Belcaro dan kawan-kawannya melakukan penelitian selama 10 tahun membandingkan 6
cara pengobatan varises tungkai (1.skleroterapi tanpa busa dengan dosis rendah,
2.skleroterapi tanpa busa dengan dosis tinggi, 3.skleroterapi dengan busa, 4.ligasi multipel,
5.pengangkatan vena tanpa disusul skleroterapi, 6.pengangkatan vena disusul skleroterapi),
melaporkan hasil penelitiannya (Angiology, 2003) bahwa skleroterapi dosis rendah kurang
efektif dibandingkan dengan skleroterapi dosis tinggi atau skleroterapi dengan busa. Dengan
membuat cairan sklerosan menjadi busa (contohnya : dengan cara mengocok didalam
semprit 1 ml sebanyak 0,5 ml cairan sklerosan polidocanol 3% dengan 0,5 ml udara steril),
kemudian menyuntikkan kedalam lumen vena, udara dalam busa akan diserap cepat oleh
jaringan ditempat penyuntikkan sehingga tidak menimbulkan trombosis vena dalam atau
emboli paru, busa akan mendesak keluar cairan darah dari dalam lumen vena, kontak
sklerosan dengan permukaan endotel lebih efektif karena busa memiliki permukaan lebih
luas dibandingkan cairan.

Gambar 1.3. Gambar yang menunjukkan cara membuat busa dengan menggunakan 2
semprit 1 ml., 3 way-tap dan filter udara (warna merah).
1.6.3. Terapi Pembedahan :
10

Ligasi (high ligation) pada sapheno-femoral junction, stripping vena saphena magna (biasanya
cukup untuk mengangkat varises yang berada dibawah lutut pada daerah cruris) atau vena
saphena parva , dan pengangkatan vena dengan luka insisi kecil (stab avulsion) yang
dilakukan pada beberapa tempat yang mengalami varises.

1.7. Daftar pustaka:


Cheatle TR, Scott HJ. History of the Venous Ulceration.In: Coleridge Smith PD.(Editor) Microcirculation in
venous disease.2nd Ed.Austin, Landes Bioscience. 1998: 1-13.
Lowell RC,Glovicski P,Miller VM.In vitro evaluation of endothelial and smooth muscle function of primary
varicose veins.J Vasc Surg 1992;16:679-86.
Yuwono, HS. A structural histologic defect detected in the proximal great saphenous vein in case of distal stem
varicosis. Proceeding: European Congress of the International Union of Phlebology, Bremen,
Germany,September 26-October 1,1999.

2 Trombosis vena dalam

2.1 Pendahuluan:
Patogenesis trombosis pada pembuluh darah (arteri dan vena) dapat diterangkan oleh teori
Virchow (1856), yaitu terdiri dari interaksi antara faktor trauma pada dinding pembuluh
darah (trauma pada endotel), faktor abnormalitas aliran darah, dan faktor abnormalitas
darah (gangguan keseimbangan fungsi koagulasi dan fungsi fibrinolitik). Semua faktor
tersebut penting pada pembentukan trombosis pada vena, walaupun sesungguhnya penyebab
timbulnya trombosis vena dalam ditentukan oleh multifaktor. Tidak dapat disangkal bahwa
kebanyakan pembentukan trombus vena berasal dari daerah dimana terdapat pelambatan
aliran darah. Trombus pada vena didasarkan atas aliran darah vena yang relatif lambat, kaya
eritrosit dan fibrin, dengan sejumlah kecil trombosit, karenanya disebut trombus merah (red
thrombus). Bandingkanlah dengan trombus putih (white thrombus) yang kaya trombosit yang
biasanya terjadi pada lumen pembuluh arteri. Proses terjadinya trombus diawali pada
kantung-kantung katup atau pada daerah vena yang menderita trauma.
Trombosis vena dalam dijumpai tersering didaerah vena cruris (vena daerah soleus),
kemudian berturut-turut pada V.Femoralis, V Iliaca communis dan Vena cava inferior.
Lebih sering terjadi pada tungkai kiri, yaitu berhubungan dengan tekanan (kompresi) pada
V.Iliaca communis kiri oleh A. Iliaca communis kanan (disebut sindroma May-Thurner).
11

Sekitar 80% kasus trombus menetap (tidak mengalami propagasi atau tidak merambat ke
proksimal) pada daerah cruris (trombosis vena dalam bagian distal) . Sedangkan pada 20%
kasus trombus merambat (propagation) ke V.Poplitea, V.Femoralis, sampai V.Iliaca
(trombosis vena dalam bagian proksimal). Bila tidak diobati pada 10-20% kasus trombosis
proksimal tersebut akan mengalami emboli paru-paru.
Phlegmasia adalah keadaan trombosis vena iliaka-femoralis yang luas, ditandai
pembengkakan (pembengkakan akibat gangguan aliran vena dan limfe) ekstremitas inferior,
dan stasis pada vena-dalam tersebut dapat menimbulkan gangguan aliran arteri sehingga
terjadi tanda-tanda iskhemia pada kaki.
Phlegmasia alba dolens, adalah keadaan yang lebih ringan , yaitu tidak terjadi iskhemia,
fungsi saraf masih normal. Bila tidak segera ditangani dapat timbul gangren kaki yang
merambat ke proksimal. Phlegmasia cerulea dolens, adalah keadaan phlegmasia yang lebih
berat , ditandai ekstremitas berwarna biru, bengkak, petechiae, bullae, insufisiensi arteri
(iskemia), gangguan saraf sensoris dan motoris pada bagian distal.

2.2.Faktor risiko:
Usia diatas 40 tahun. Varises tungkai
Kehamilan atau kadar estrogen tinggi. Penyakit mieloproliferatif.
Obesitas atau immobilitas lama. Hiperlipidemi.
Penyakit jantung. Diabetes mellitus
Keganasan. Sindroma hemolitik-uremik.
Trauma. Purpura thrombotik-thrombositopeni.
Sepsis. Antikoagulan lupus.
Hypercoagulable state. Homosistinuria
Pernah trombosis vena dalam atau emboli paru. Sindroma Cushing.
Cryofibrinogenemia Colitis ulcerativa.
Sindroma Behcet.

2.3 Pemeriksaan klinis :


 Pemeriksaan fisik:
Pada pemerisaan fisik sering tidak ditemukan tanda-tanda klinis. Tanda klinis yang pertama
kali muncul adalah nyeri (50% kasus). Pembengkakan terjadi distal dari letak anatomis
oklusi total vena dalam, timbul dalam beberapa jam setelah oklusi total .
Phlegmasia alba dolens: palpasi denyut arteri kaki dan fungsi saraf sensoris dan motoris
masih normal, ekstremitas bengkak dan berwarna pucat.
Phlegmasia cerulea dolens: ekstremitas bengkak dan berwarna biru, sering dijumpai
petechiae dan bullae, perabaan nadi dan fungsi saraf mungkin masih normal pada awalnya
tetapi akhirnya cenderung menurun dan menghilang dimulai pada kaki. Bila oklusi vena
12

dalam menetap, akan terjadi tanda-tanda gangguan aliran darah pada arteri berupa
iskhemia, nekrosis dan gangren.
 Pemeriksaan radiologis:
1. Ascending venografi (invasif) merupakan gold standard untuk diagnosis thrombosis vena
dalam, walaupun membutuhkan fasilitas peralatan dan teknik pemeriksaan, dan
timbulnya komplikasi (nyeri, ekstravasasi zat kontras, dan thrombosis). Oleh karena
alasan tersebut maka untuk keperluan diagnosis saat ini berpindah pada penggunaan
peralatan yang non-invasif.
2. Impedance plethysmography:
Jenis pemeriksaan ini tergolong non-invasif, indirek, mengukur perubahan volume
tungkai, untuk mengukur thrombus pada popliteal atau arteri proksimal, bila
dibandingkan dengan ascending venografphy, memiliki spesifisitas 88%, sensitivity
92%, tetapi tidak akurat untuk mendeteksi bekuan darah dibagian distal tungkai (vena
betis).
3. Doppler ultrasonografi:
Walaupun teknik gelombang kontinyu (continuous-wave) ultrasonografi ini merupakan
cara termudah, murah, non-invasif, dan dibandingkan dengan ascending venography
memiliki specificity 88%, sensitivity 83%, tenik ini tidak baik untuk evaluasi trombosis
yang berulang/rekuren karena tidak dapat membedakan trombosis lama dengan yang
baru pada sindroma postrombotik.
4. Duplex scanning:
Teknik B-mode ultrasonografi ini mampu melihat aliran, gerakan katup, adanya bekuan
darah/thrombus, membedakan bekuan lama atau baru, perubahan dinding pada sistim
vena. Duplex scanning , adalah kombinasi dari real-time dan Doppler ultrasonografi,
memiliki angka spesifisitas 86-95%, sensitifitas 88-98% dalam mendeteksi trombosis vena
dalam. Walaupun demikian harus diingat hasil pemeriksaan Dupplex scanning tergantung
operatornya (operator dependent, hasil pemeriksaan seorang operator ahli dapat berbeda
dengan hasil operator ahli lainnya).

Sindroma hiperkoagulabilitas:
Kongenital: Didapat:
Defisiensi antitrombin III Sindroma antifosfolipid Defisiensi Protein C&S.
Defisiensi Protein C. Keganasan. Defisiensi antithrombin III.
13

Defisiensi Protein S. Sepsis. Trauma/trauma panas.


Defisiensi heparin cofactor II. Kehamilan/estrogen. Trauma operasi besar.
Plasminogen abnormal. Diabetes.
Fibrinogen abnormal. Vaskulitides.
Homosistinuria. Penyakit mieloproliferatif.
Hiperlipidemia. Heparin-induced thrombocytopenia.

2.4 Terapi :
2.4.1 Medikal:
Heparin:
Diberikan 5000-20.000 U (100-200 U/kgbb.) bolus intravena, diikuti infus intravena secara
kontinyu 600-2000 U heparin per jam selama 4-6 hari. Dosis heparin dipertahankan sesuai
dengan hasil pemeriksaan aPTT (activated thromboplastin time) minimal 1,5 X harga/nilai
kontrol untuk mencegah thromboembolisme rekuren. Heparin dihentikan setelah
prothrombin time minimal 1,5 X harga/nilai kontrol. Warfarin oral (induksi 10-15mg
selama 2-3 hari sesuai hasil pemeriksaan prothrombin time, kemudian dosis dipertahankan 2-
10mg perhari; pemberian warfarin dimulai pada hari ke2–3 pengobatan heparin) dilanjutkan
sampai 3-6 bulan lamanya, atau dapat sebagai alternatif adalah penyuntikkan diri sendiri
dengan heparin 5000 U (1 cc) subkutan sekali sehari selama 3-6 bulan. Bila cara pengobatan
dilakukan dengan cara tersebut maka kemungkinan trombosis rekuren hanya sekitar kurang
dari 5%. Walaupun demikian terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa lebih dari 80%
pasien trombosis vena dalam yang diobati dengan heparin menderita ulkus stasis dalam
waktu 4 -7 tahun kemudian. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa heparin dapat
mengurangi thrombosis rekuren tetapi tidak dapat mencegah kerusakkan dinding dan katup
vena yang akan menimbulkan morbiditas pada jangka panjang.
Komplikasi pemberian heparin adalah perdarahan dan trombositopeni. Periksalah jumlah
sel trombosit sebelum pemberian heparin. Perdarahan terjadi bila aPTT (activated partial
thromboplastin time) lebih dari 2-3 kali nilai kontrol untuk beberapa jam lamanya, tetapi
perdarahan lebih sering terjadi bila terdapat penyakit yang mendasarinya seperti uremia,
trombositopeni. Pada usia lanjut, terutama perempuan, mempunyai risiko lebih besar terjadi
perdarahan.
Sindroma trombositopeni yang terjadi akibat pemberian heparin, yaitu disebut Heparin-
induced thrombocytopenia syndrome, bila ditemukan jumlah thrombosit darah <100.000/mm3,
sehingga dapat memudahkan terjadi perdarahan. Keadaan tersebut adalah suatu reaksi
kepekaan berlebih (idiosyncratic) terhadap heparin yang menimbulkan lebih sering reaksi
trombosis dari pada perdarahan. Reaksi tubuh ini dapat terjadi pada saat kedua kalinya atau
kesekian kalinya heparin disuntikkan (re-exposure) pada tubuh penderita, yaitu umumnya
14

pada hari ke 2 sampai hari ke15 (dimana heparin disuntikkan sekali sehari dan tidak
tergantung dosisnya) setelah pemberian heparin.
Kontraindikasi absolut pemberian heparin adalah pada perdarahan aktif, operasi bedah saraf
yang baru dialami, hipertensi maligna, perdarahan serebral/subarachnoid. Kontraindikasi
relatif adalah operasi yang baru dialami, perdarahan gastrointestinal, diatesis hemoragik dan
stroke yang baru terjadi.

Terapi trombolitik:
Kontraindikasi absolut: perdarahan aktif, lesi akibat trauma serebrovaskular yang baru
dialami, kelainan atau penyakit intrakranial yang mudah berdarah, pembedahan mata yang
baru dialami.
Kontraindikasi relatif: trauma atau pembedahan besar yang baru dialami, penyakit ulkus
peptikum aktif, hipertensi tak terkontrol, kehamilan, perdarahan pada retinopati diabetika.
Urokinase maupun streptokinase dapat menimbulkan lisis thrombus secara lengkap pada
penelitian yang dilakukan eksperimental maupun klinis. Kedua jenis obat tersebut dapat
secara efektif bekerja pada pasien yang menderita thromboemboli kurang dari 5-7 hari, tetapi
hasil terbaik pada pasien bergejala kurang dari 48 jam.
Streptokinase dan urokinase menimbulkan lisis tromboemboli pada sebanyak 26-57%
pasien. Pada kelompok pasien deep vein trombosis yang diberi antikoagulant dan
trombolitik, dijumpai hasil pada 4% pasien yang diberi anticoagulant terjadi lisis dan 82%
pasien ternyata thrombus tidak menghilang; sedangkan yang diberikan trombolitik terdapat
45% resolusi trombus yang lengkap, dan 18% tidak lengkap.
Teknik terbaru dalam pemberian trombolitik untuk menghancurkan penyumbatan trombus
pada daerah iliaka-femoral adalah dengan menyuntikkan cairan trombolitik, setelah ujung
kateter yang dimasukkan kedalam lumen A. Femoralis superfisialis berada didalam masa
trombus (catheter-directed thrombolysis), tetapi mengenai angka keberhasilannya masih
menunggu penelitian lebih lanjut. Komplikasi utama pada pemberian trombolitik adalah
perdarahan yang frekwensinya 2 - 5 kali lebih sering dibandingkan dengan pemberian
heparin. Mengingat hal tersebut maka heparin tetap merupakan the agent of choice untuk
manajemen tromboembolisme.

2.5.2 Terapi dengan teknik bedah:


Trombektomi vena daerah iliaka-femoral dilakukan bila pemberian obat-obatan tidak
berhasil. Jika dijumpai kontraindikasi pemberian antikoagulan atau trombolitik, dan
15

tromboemboli yang terjadi terus-menerus dari distal, maka dilakukan pemasangan saringan
(filter) dari Greenfield pada vena cava inferior yang berguna untuk menahan emboli.

3 Penyakit Buerger
3.1.Pendahuluan:
Penyakit ini disebut juga dengan nama tromboangiitis obliterans, yaitu tergolong penyakit
inflamasi yang non-aterosklerosis (inflammatory non-atherosclerotic). Pada umumnya penyakit
ini menyerang arteri berukuran sedang dan kecil serta vena pada ekstremitas. Penyakit ini
berhubungan erat dengan kebiasaan merokok. Di RSU Dr.Hasan Sadikin penderita penyakit
Buerger yang tercatat datang berobat adalah sebanyak 44 orang dalam periode 5 tahun,
antara 1986 sampai dengan 1991 (Wahid, Yuwono 1991); 22 orang dalam periode 8 tahun,
antara 1993 sampai dengan April 1996; 51 orang dalam periode 1997 sampai dengan 2001
(Ismail 2002). Umumnya berusia umumnya dibawah 50 tahun, dengan diantaranya terdapat
penderita yang berusia dibawah 20 tahun. Jumlah mayoritas penderitanya adalah pria,
sedangkan penderita perempuan hanya ditemukan 1 atau 2 orang saja dalam setiap periode
penelitian. Hampir seluruh penderita datang berobat setelah terdapat luka iskhemi pada
ujung jari kakinya, yaitu nekrosis pada jaringan lunak jari kaki atau gangren. Luka pada
penyakit Buerger lebih sering dijumpai pada kaki, sedangkan pada jari tangan sangat jarang
dijumpai. Hal tersebut dapat diterangkan karena kaki yang iskhemi lebih mudah mengalami
trauma benturan (misalnya tertendang sesuatu, menginjak benda tajam) pada saat berjalan.
Penderita penyakit Buerger yang datang untuk berobat pada umumnya berasal dari golongan
ekonomi lemah.
Penyakit inflamasi arteri lainnya, yaitu arteritis Takayasu, akan dibicarakan pada Bab
selanjutnya.

3.2.Ciri diagnosis penyakit Buerger:


 Onset penyakit biasanya pada usia muda atau sebelum berusia 45-50 tahun,
walaupun dapat pula dijumpai pada usia yang lebih tua.
 Iskhemi pada ekstremitas inferior atau superior khususnya di bagian distal.
Seringkali dijumpai pulsasi arteri di bagian distal yang menghilang sehingga
menimbulkan nekrosis jaringan atau bahkan dapat terjadi gangren pada jari.
 Kebiasaan merokok merupakan faktor risiko tunggal yang menimbulkan penyakit
ini, dan tidak dijumpai faktor risiko lainnya seperti peninggian kadar lemak,
16

peninggian kadar sakar darah, atau hypercoagulable state . Bila kebiasaan merokok
disertai dengan faktor risiko lain seperti misalnya peninggian kadar lemak, maka
penyakit ini tidak dapat disebut penyakit Buerger melainkan harus disebut
aterosklerosis. Demikian pula bila pada penderita yang perokok tersebut dijumpai
peninggian kadar sakar darah, maka penyakitnya harus dinyatakan sebagai Diabetes
mellitus.
 Jenis kelamin penderita mayoritas pria. Jumlah penderita wanita sangat jarang
ditemukan.
 Biasanya diawali dengan gejala-gejala dari sindroma Raynaud.
 Tromboflebitis superfisialis migrans, adalah peradangan pada suatu segmen vena
superfisial di ekstremitas yang berpindah setelah sembuh dari peradangannya secara
spontan ke segmen vena lainnya. Fase akut dari peradangan terjadi selama 2-3
minggu pertama dengan gambaran segmen vena yang menderita berwarna merah
gelap, dan nyeri pada perabaan. Setelah lebih dari 2-3 minggu nyeri menjadi
berkurang atau menghilang, warna segmen vena yang semula meradang tersebut
menjadi lebih gelap, tetapi biasanya pembuluh vena tersebut masih teraba mengeras
seperti kawat.
Penyakit ini dapat diderita oleh perokok pasif (perokok pasif yaitu seseorang yang tanpa
disengaja sering menghisap asap rokok dari lingkungan dekatnya yang terdiri dari orang-
orang yang memiliki kebiasaan merokok). Walaupun seorang perokok pasif dapat menderita
penyakit Buerger, tetapi biasanya dengan gejala yang jauh lebih ringan (pegal/nyeri otot
atau akral terasa dingin) dibandingkan dengan seorang perokok berat. Penyakit Buerger
dapat muncul saat penderita telah berusia lebih tua dari 50 tahun, walaupun kejadian
tersebut lebih jarang dijumpai. Penderita penyakit Buerger yang berjenis kelamin wanita
lebih jarang ditemukan, biasanya memiliki gejala penyakit yang relatif lebih ringan
dibandingkan dengan penderita pria.
Telah diketahui bahwa jumlah orang yang memiliki kebiasaan merokok cukup besar
jumlahnya didalam masyarakat Indonesia. Sedangkan penderita penyakit Buerger berjumlah
relatif kecil. Timbul pertanyaan: mengapa penyakit Buerger tidak selalu menimpa para
pecandu rokok dan yang tidak memiliki faktor risiko lainnya kecuali merokok ? Hasil
penelitian dibawah ini mengindikasikan kemungkinan terdapat predisposisi genetik yang
mengawali munculnya penyakit Buerger tersebut.
Pada penelitian karyotipe dari sampel darah 10 penderita (Yuwono HS, Yatim W. 1999) di
Bandung, ditemukan aberasi primer yang sama yaitu t(2;6)(q33;q24) dan aberasi sekunder
17

yang bervariasi. Pemeriksaan tissue typing penderita penyakit Buerger di Inggris oleh
McLaughlin pada tahun1976 menghasilkan mayoritas penderita memiliki HLA-A9 dan
HLA-B5. Pemeriksaan yang sama di Jepang oleh Ohtawa pada tahun 1974 menghasilkan
HLA-A9, BW10; sedangkan Numano 1986 menemukan HLA-AW24, HLA-Bw40, HLA-
Bw54, HLA-Cw1, HLA-DR2 dan yang tersering ditemukan adalah HLA-Bw54-DR2
(Shionoya 1990) pada para penderita penyakit Buerger.

3.3.Pengobatan:

 Penderita harus segera menghentikan kebiasaan merokok dan selanjutnya dilarang untuk
merokok kembali dan menghindarkan diri pula sebagai perokok pasif, karena
menghisap asap rokok akan berpengaruh menimbulkan progresifitas penyakit atau
kekambuhan.

 Perfusi jaringan yang menderita iskhemia di ekstremitas bagian distal harus diperbaiki
lebih dahulu dengan pemberian obat-obatan vasodilator dan antiaggregasi trombosit,
sebelum dilakukan operasi amputasi, sehingga garis batas (level) amputasi dapat
diusahakan sedistal mungkin. Tetapi bila sudah terjadi sepsis yang mengancam jiwa
akibat infeksi berat didaerah iskhemia, dan perbaikan perfusi jaringan di bagian distal
tidak memungkinkan, maka amputasi harus dilakukan secepatnya (amputasi cito).
Amputasi harus cepat dilakukan mengingat bahaya jaringan yang nekrosis
menghasilkan toksin, oksidator-oksidator yang masuk kedalam tubuh melalui aliran
darah vena yang mendrenase jaringan tersebut, sehingga dapat menimbulkan
kerusakan ginjal dan organ lainnya. Contoh kasus penyakit Buerger: lesi gangren
pada ujung ibu jari kaki yang iskhemik akibat adanya penyumbatan arteri dibagian
proksimalnya. Pada kasus ini bila langsung dilakukan tindakan operasi amputasi jari
sebelum perfusi jaringan tersebut diperbaiki, biasanya luka operasi tidak akan
sembuh. Bahkan akan menimbulkan gangren kembali pada luka operasi. Pemberian
yang cukup dari obat-obatan vasodilator selama 1 bulan, disertai analgetika dan
antibiotika, akan memperbaiki peredaran darah pada pembuluh kolateral yang
menjadi terbuka, sehingga dapat menyelamatkan jaringan kaki sebanyak mungkin
dan memungkinkan level amputasi menjadi sedistal mungkin.
18

 Contoh jenis obat-obatan adalah: 1) Alprostadil, adalah sejenis Prostaglandine-E1


yang diberikan secara parenteral, berbentuk serbuk berwarna putih yang memiliki
efek sebagai vasodilator dan antiagregasi trombosit, yang diberikan dengan dosis
untuk orang dewasa : sehari 1 kali 10 - 20 g dilarutkan ke dalam 10 ml NaCl dalam
semprit untuk disuntikkan intravena secara perlahan-lahan (minimum selama 10
menit) sebanyak minimum 21 hari (3 minggu) berturut-turut ; 2) Cilostazol, yaitu
berupa tablet kecil berwarna putih yang memiliki efek sebagai antiaggregasi
trombosit dan vasodilator. Dosis untuk orang dewasa: sehari 3 kali 1 tablet 50 mg
yang diberikan selama 3-6 bulan (bila terdapat keluhan sakit kepala setelah memakan
obat ini, dosis dapat diturunkan atau diganti dengan obat vasodilator lainnya);
dipyridamole, tablet 25 mg, 50 mg dan 75 mg, dosis sehari 3 kali 50-75 mg.
Dipyridamol memiliki efek vasodilator, dan dapat diberikan bersama tablet asam
salisilat (antikoagulan). Dengan pemberian obat-obatan diatas diharapkan pembuluh
arteri kolateral akan terbuka dan aliran darah ke distal akan bertambah, sehingga
mampu mengurangi iskemia dan keluhan nyeri akan berkurang atau menghilang,
luka akan menjadi cepat kering, menutup dan sembuh. Pada penelitian dapat
ditemukan perubahan tekanan sistolik A.Dorsalis pedis dan atau A.Tibialis posterior
yang meningkat secara nyata setelah pemberian Alprostadil secara intravena setiap
hari selama minimum 3 minggu, atau setelah pemberian tablet Cilostazol selama
minimum 4-6 minggu.

 Terdapat indikasi untuk melakukan tindakan operasi bedah rekonstruksi pada arteri, bila
pada gambar arteriografi, tampak arteri yang tersumbat (proximal run-in), sedangkan
arteri bagian distal masih ada yang cukup terisi cairan kontras (distal run-off ) oleh
pembuluh-pembuluh kolateral yang masih terbuka. Bahan pembuluh darah untuk
tindakan operasi bedah rekonstruksi (graft untuk operasi by pass) adalah dari pembuluh
vena (V.Saphena magna sisi yang sehat) atau bila kualitas pembuluh vena tidak ada yang
baik (varises), diperlukan protesa pembuluh darah (polytetrafluoroethylene disingkat
PTFE). Pada penyakit Buerger, jarang dijumpai distal run-off yang memadai untuk
tindakan operasi by-pass, karena pada penyakit ini pembuluh kolateral yang tampak pada
arteriografi biasanya sangat sedikit, sehingga tidak cukup aliran darah untuk mengisi
pembuluh darah arteri dibagian distal yang tidak mengalami trombosis.
19

 Menentukan batas (level) amputasi pada ekstremitas inferior dengan pemeriksaan fisik:
1. Meraba (palpasi) denyutan arteri. Pada kasus iskhemia berat dengan gangren jempol
kaki kiri: bila nadi tak teraba, periksalah tekanan sistolik A.Dorsalis pedis dan
A.Tibialis posterior pada pergelangan kaki dengan bantuan alat doppler.
Bila tekanan sistolik di pergelangan kaki kurang dari 35 mmhg pada saat dilakukan
amputasi digiti, maka akan mengakibatkan luka amputasi tersebut tidak dapat
sembuh, karena daerah luka tersebut masih mengalami iskhemi berat. Selanjutnya
periksalah A.Poplitea, bila dengan palpasi teraba denyutan dengan jelas, maka
amputasi yang akan dilakukan adalah dibawah lutut (below knee amputation), yaitu
bila akan dilakukan amputasi segera dan tanpa melalui masa pemberian obat
vasodilator lebih dahulu. Keputusan tersebut dilakukan karena keadaan jaringan
kaki yang tidak dapat diselamatkan lagi oleh adanya infeksi berat yang menimbulkan
sepsis. Pada batas tersebut aliran darah masih cukup baik untuk penyembuhan luka
operasi amputasi.
Bila A.Poplitea di fossa poplitea tidak teraba, tetapi A. Femoralis communis di
inguinal teraba dengan jelas, maka batas amputasi adalah diatas lutut (pada paha,
above knee amputation), yaitu apabila dengan bantuan alat Doppler didapatkan
tekanan sistolik pada A.Poplitea  35mmHg.

ORGANISASI
SISWA
INTRA
SEKOLAH B

SMU NEGERI
8 BANDUNG
Jalan Solontongan
No.3 Buahbatu A1

A2
No :

Gambar 3.1. Arteriografi A.Femoralis kanan dari penderita penyakit Buerger. Setelah
pemberian PGE1 intravena 21 kali (20 µgram sekali sehari) terjadi perbaikan kolateral yang
nyata. Keterangan: A1- menunjukkan ujung dari arteri Femoralis yang tersumbat, dan A2-ujung dari arteri
20

Poplitea yang masih terisi darah; B- menunjukkan pengisian cairan kontras pada pembuluh arteri yang
menghubungkan A1 dan A2.

 Operasi simpatektomi lumbal dilakukan untuk membuang ganglion simpatis segmen


Lumbal ke-2 dan Lumbal ke-3. Kerugiannya: vasodilatasi hanya timbul pada kulit
dermatom segmen Lumbal ke-2 dan ke-3, tetapi tidak terbukti menimbulkan vasodilatasi
arteri pada otot. Pengaruh vasodilatasi akibat simpatektomi lumbal akan terhambat
secara fisiologis oleh adanya epinephrin (simpatomimetik, menimbulkan vasokonstriksi)
yang beredar didalam darah, sehingga dapat mengakibatkan vasodilatasi hanya
berlangsung pendek (< 6 bulan). Perlu diketahui pula bahwa simpatektomi merupakan
tindakan operatif (prosedur yang invasif). Indikasi simpatektomi lumbal adalah : 1)
Indeks ankle-brachial (perbandingan tekanan sistolik arteri pada pergelangan kaki dan
tekanan sistolik pada A.Brachialis) > 0,3 ; 2)tidak dijumpai gangguan neropati ;3)ulkus
superfisial atau gangren kulit berukuran kecil yang terbatas pada sebuah jari; 4) tidak
dijumpai infeksi jaringan yang luas dan dalam. Mengingat keterbatasan indikasi tersebut
pada masa kini tindakan simpatektomi lumbal selain sangat selektif, juga sudah jarang
dikerjakan. Belakangan ini teknik simpatektomi atau blok ganglion saraf simpatik mulai
diperkenalkan menggunakan teknik laparoskopi/endoskopi (minimally invasive surgery)
dengan menggunakan injeksi alkohol absolut.
Bandingkanlah tindakan simpatektomi tersebut dengan pemberian obat vasodilator
Prostaglandin-E1, yang diberikan melalui intravena, yang telah terbukti menimbulkan
vasodilatasi arteri pada jaringan otot dan kulit yang berlangsung selama 6 bulan (Gruss
1996) bila diberikan dengan dosis sekali sehari selama tiga minggu berturut-turut.
Setelah pemberian PGE1 intravena, dapat dilanjutkan dengan tablet Cilostazol selama 3-
6 bulan terus menerus untuk mempertahankan perfusi jaringan yang sudah terjadi, atau
diberikan dalam waktu yang bersamaan dengan Prostaglandin-E1 karena efeknya yang
saling menunjang (sinergis).
 Protese tungkai bawah dapat digunakan setelah 4 - 8 minggu pasca amputasi setelah luka
sembuh, didahului latihan menggunakan protese, dengan bekerja sama dengan Bagian
Rehabilitasi Medik .
 Perawatan luka iskemik di ruang rawat-inap: tidak boleh melakukan pembersihan luka
atau nekrotomi, karena akan menimbulkan nyeri pada waktu dilakukan manipulasi pada
luka walaupun telah diberikan analgetika sebelumnya. Harus diingat bahwa penderita
dengan luka iskemik (klasifikasi Fountaine derajat IV), akan mengalami kesulitan tidur
akibat nyeri yang amat sangat yang akan dialaminya terus-menerus selama belum ada
21

perbaikan perfusi jaringan iskemik. Luka iskemik tersebut cukup dilapisi salep
antibakteri yang tidak merangsang (tidak nyeri) dan ditutup dengan kasa steril.
Manipulasi pada luka iskemik akan menimbulkan nyeri yang traumatis pada
penderitanya, sehingga menimbulkan rasa takut setiap akan mengganti kasa pembalut.

Gangren digiti

Gambar 3.2. Lesi gangren jari ke-2 sampai dengan jari ke-5 pada kaki kiri seorang penderita
penyakit Buerger.

3.4.Tirotoksikosis pada penderita thromboangiitis obliterans.


Beberapa penderita penyakit Buerger di RSU Dr. Hasan Sadikin ditemukan dengan tanda-
tanda tirotoksikosis (pembesaran kelenjar, kadar TSH yang lebih rendahdari normal, T3
dan T4 yang meninggi). Penelitian mengenai pengaruh kebiasaan merokok terhadap fungsi
kelenjar tiroid dan prevalensi penyakit tiroid telah dilakukan pada 2 kelompok kohort,
terdiri dari lelaki dan perempuan di Swedia. Peserta yang diteliti terdiri dari 1555 orang
perokok, 1048 orang yang pernah perokok (ex-smokers), 1497 orang bukan perokok (non-
smokers). Hasilnya menunjukkan konsentrasi TSH serum yang rendah pada kelompok
perokok, yang secara statistik nyata dibandingkan dengan konsentrasi TSH kelompok ex-
smoker (p=0,05) dan non-smoker (p=0,001), tetapi tidak menunjukkan perbedaan nyata pada
nilai konsentrasi T3 serum. Prevalensi non-toxic goitre dan toxic diffuse goitre meninggi secara
nyata (p=0.005) pada kelompok perokok perempuan dibandingkan kelompok perempuan
bukan perokok (p=0,04). Peneliti menyatakan hipotesanya bahwa peninggian aktivitas
simpatis pada perokok dapat merangsang pembentukkan tirotoksikosis pada individu yang
telah memiliki predisposisi. Selain itu gangguan imunologik akibat merokok merupakan
22

kemungkinan lainnya (Ericsson,Lindgärde 1991). Mekanisme kejadian tersebut secara


skematik dapat dilihat pada Bagan 1.1 dibawah ini.

Bagan 3.1:
Kebiasaan merokok (khususnya perokok berat) meningkatkan aktivitas simpatis dan mengganggu
sistim immunitas khususnya pada pasien yang memiliki predisposisi genetik.

Akan muncul Immunoglobulin-G yaitu Long Acting Thyroid Stimulator (LATS) yang
merangsang hiperplasia kelenjar tiroid dan tirotoksikosis

Tirotoksikosis menimbulkan rangsang simpatis/adrenergik yang selanjutnya akan


menimbulkan vasokonstriksi arteri sehingga memperberat iskhemia.
Rangsang
simpatis
.
Vasokonstriksi arteri kecil dan medium akan menimbulkan gangguan perfusi, iskhemia, rest pain ,
nekrosis, dan gangren.

Luka iskhemik tersebut menimbulkan gangguan sukar tidur akibat nyeri (rest pain) sehingga
merupakan ketegangan (stress) yang memperberat gangguan metabolisme tubuh,
dan dalam jangka panjang dapat menurunkan daya tahan tubuh
serta memudahkan terjadi infeksi berat (sepsis).

Tindakan operasi yang dilakukan dalam keadaan struma toksis dapat menimbulkan
serangan krisis tiroid. Mortalitas thyroid crisis adalah sekitar 10-20% (terutama pada penyakit
Graves), tetapi dengan perawatan yang adekwat mortalitas tirotoksikosis pada saat ini telah
mampu dicegah atau ditekan serendah mungkin. Tanda-tanda serangan tirotoksikosis:
demam tinggi dapat cepat mencapai 39 derajat Celsius, keringat yang banyak, mual-mual
dan muntah-muntah, nyeri perut, delirium, apatis, stupor, coma, dehidrasi, tahikardia,
kegagalan fungsi jantung, hipotensi. Penemuan tanda-tanda krisis tidak boleh menunggu
penegasan dari hasil fungsi tiroid ( Kim Lyerly, 1990).
3.5.Contoh kasus:
Seorang wanita perokok berat berusia 38 tahun, menderita penyakit Buerger, dengan
sejarah luka nekrosis pada jari-jari tangan dan kaki akibat iskhemia, dan telah mengalami
operasi amputasi pada phalanx distal jari ke-3 tangan kanan 6 bulan sebelum masuk RSU
Dr.Hasan Sadikin. Sejak sakit menderita insomnia berat, dan telah berhari-hari tidak dapat
tidur akibat nyeri. Untuk mengatasi nyeri ia tidur selalu dalam posisi duduk dengan
23

tungkai selalu dalam posisi tergantung disisi tempat tidur. Selama perawatan ditemukan
tanda-tanda tirotoksikosis. Tindakan amputasi bilateral adalah tindakan yang dipilih
(dengan mempertimbangkan kemungkinan risiko terjadinya serangan krisis tiroid sebesar
10-20%) dengan pemikiran bahwa tirotoksikosis akan memperberat iskhemia, iskhemia
menimbulkan nyeri (rest pain) yang menimbulkan rangsang simpatis, yang selanjutnya akan
lebih memperberat penyakit tiroid. Timbulnya serangan krisis tiroid akan diperkecil
kemungkinannya dengan persiapan perawatan preoperatif yang adekwat berupa: obat
antitiroid (propiltiourasil), propanolol (antiadrenergik), nutrisi , antibiotika spektrum luas
dan analgetika (anestesia epidural atau analgetika yang diberikan per-infus) selama
beberapa hari. Risiko tersebut terpaksa harus ditempuh, karena bila menunggu keadaan
menjadi euthyroid akan membutuhkan waktu terlalu lama.

3.6.Daftar pustaka.
Ericsson UB, Lindgarde F.Effects of cigarette smoking on thyroid function and the prevalence of goitre,
thyrotoxicosis and autoimmune thyroiditis. J Intern Med, 229(1); 67-71, Jan.1991.
Gruss JD.State of the Art of Modern PGE1 Treatment. The 2nd.Congress of Asian Vascular Surgeons, Seoul,
South Korea, June 2-4, 1996.
Horvath JR, Hoffman GS. Systemic Vasculitis:Pitfalls in Diagnosis and Treatment. Hospital Medicine 33 (8):10-
12,14-16,18,20,27-28,1997.
Ismail Y.2002. Gambaran kasus penyakit Buerger di poliklinik bedah dan rawat inap bedah RSUP Dr.Hasan
Sadikin Bandung periode I Januari 1997 sampai 30 Juni 2001.Skripsi.FK.Universitas Negeri Padjadjaran,
Bandung.
Lyerly HK.The handbook of surgical intensive care. Year book Medical Publishers,Inc. 1990: 417.
Shionoya S. Buerger’s Disease.Pathology,Diagnosis and Treatment. The University of Nagoya Press 1990.
Shionoya S. Buerger’S disease: diagnosis and management. Cardiovascular Surgery 1 ( 3): 207-214, 1993.
Wahid E, Yuwono HS.1991.Evaluasi penatalaksanaan penyakit Buerger di RS Dr.Hasan Sadikin Bandung tahun
1986-1991. FK.Universitas Negeri Padjadjaran, Bandung.
Yuwono HS.Efektifitas PGE1 pada beberapa kasus iskemi jaringan ekstremitas. Muktamar IKABI, Hotel
Horison, Jakarta, 13 Juli 1999.
Yuwono HS.Yatim W.Pemeriksaan sitogenetika penderita penyakit Buerger. Muktamar IKABI, Hotel Horison,
Jakarta, 13 Juli 1999.

2 Tromboemboli akut pada arteri


24

2.1.Pendahuluan:
Tromboemboli yang tersering dijumpai adalah akibat penyakit gangguan irama kontraksi
jantung (aritmia). Jenis sumbatan (oklusi atau obstruksi) yang terjadi umumnya adalah
sumbatan total yang akut pada arteri yang berdiameter melintang lebih kecil dari diameter
trombus yang terlepas dari jantung.
 Trombus berasal dari gangguan fungsi jantung (80-90% kasus) dapat disebabkan:
Fibrilasi atrium, infark miokardium akibat aterosklerosis arteri koronaria, kardiomiopati,
anerisma ventrikel kiri, penyakit infeksi katup jantung akibat demam rematik, protese katup,
endokarditis, mixoma atrium kiri. Kasus penyumbatan pembuluh arteri perifer oleh trombo-
emboli yang tersering dijumpai disebabkan oleh aritmia akibat fibrilasi atrium, kemudian
disusul oleh kasus serangan infark miokardium. Menurut hasil penelitian Darling (1967)
menunjukkan bahwa komplikasi penyumbatan tromboemboli terjadi antara 3 sampai 28 hari
(rata-rata 14 hari) setelah terjadinya serangan jantung. Dapat pula terjadi bahwa
tromboemboli tersebut merupakan kelainan yang pertama dikeluhkan oleh penderita yang
sebenarnya sedang mengalami serangan jantung yang mungkin lolos dari perhatiannya (silent
infarct). Pada keadaan tersebut penting dilakukan pemeriksaan elektrokardiografi dan
pemeriksaan ensim jantung dari darah penderita. Terpasangnya protese katup jantung
merupakan penyebab emboli berikutnya, sehingga pada kasus terakhir ini penderita
diharuskan untuk menggunakan antikoagulan seumur hidupnya, kecuali bila protese katup
jantung yang digunakan adalah dari jenis katup biologis. Katup yang terbuat dari katup
jantung binatang, yaitu porcine xenograft bersifat tidak trombogenik sehingga tidak
memerlukan antikoagulan.
 Trombus yang berasal bukan dari gangguan jantung (5-10% kasus):
Anerisma aorta abdominalis, protese arteri, stenosis arteri akibat aterosklerosis, emboli
paradoksal (trombus dari pembuluh vena masuk kedalam atrium kanan, melalui atrial septal
defect memasuki atrium kiri dan ke ventrikel kiri, selanjutnya mengikuti aliran darah arteri
sistemik). Trombus berasal dari trombosis pada vena dalam (deep vein thrombosis) pada
tungkai bawah.

2.2.Ciri diagnosis: (tanda-tanda iskhemia akut akibat oklusi total pada arteri)

 5 P ( pain, pallor, paresthesia, paralysis, pulselessness dan poikilothermia/suhu kulit yang


teraba dingin),
25

Tanda 5P akan muncul bila pembuluh kolateral tidak cukup dan iskhemi lebih dari
8-12 jam ! Sebaliknya, tanda-tanda tersebut tidak akan dijumpai bila pembuluh arteri
kolateral cukup banyak dan berfungsi adekwat. Nyeri yang dirasakan tiba-tiba terjadi
pada tungkai bawah (misalnya pertengahan paha), merupakan gejala yang penting
ditanyakan pada penderitanya, yaitu disebabkan sumbatan total oleh trombus (clot)
pada pembuluh arteri femoralis.
 Cyanosis, capillary filling lemah, vena superfisialis kolaps. Tanda iskhemia yang lanjut
adalah: infeksi berupa cellulitis, blebs, nekrosis, dan akhirnya gangren.

2.3.Pengobatan:
 Pada saat terjadi sumbatan total yang akut pada lumen arteri oleh trombus, akan
dirasakan oleh penderita sebagai serangan rasa nyeri yang tiba-tiba didaerah tersebut.
Dengan mengetahui saat terjadinya keluhan nyeri tersebut, dapat diketahui tenggang
waktu (umur penyumbatan) dari saat kejadian dan pada saat datang berobat.
Penyumbatan total yang akut pada pembuluh arteri akan menimbulkan iskhemia
yang berat bila kolateral tidak cukup untuk mengalirkan darah ke distal, karena akan
terjadi komplikasi gangguan sistemik dan gangguan metabolik disebabkan
kekurangan oksigen pada sel-sel jaringan dibagian distal penyumbatan. Bila
perbaikan dari aliran darah (revaskularisasi) terjadi selama ≥ 6-8 jam (golden period)
(waktu dihitung sejak terjadi penyumbatan total tanpa kolateral yang adekwat
sampai aliran darah ke distal berlangsung kembali), maka akan terjadi kerusakan
endotelium arteri yang mengakibatkan sindroma reperfusi. Mengenai sindroma
reperfusi akan dijelaskan di bagian lain.
 Antikoagulan heparin berupa bolus intravena (5000U-10.000U atau 100-150
U/KgBB) segera diberikan untuk mencegah perambatan trombus (propagation) dan
penyumbatan pembuluh kolateral, selanjutnya heparin dipertahankan dengan dosis
1000 U per jam dan kadar aPTT 1,5-2,0 kali nilai kontrol sambil menunggu sa’at
dilakukan tindakan operasi. Heparin harus diberikan segera setelah diagnosis
ditegakkan dan masih diteruskan pemberiannya sampai total 7-10 hari. Kemudian
dilanjutkan dengan pemberian antikoagulan per oral (warfarin dimulai 3-4 hari
setelah heparin mulai diberikan; atau aspirin 325 mg. sekali per hari dan dapat
diberikan bersama-sama dengan tablet dipyridamol dengan dosis sehari 4 kali 50-75
mg) untuk mencegah pembentukkan trombus berulang. Pemberian antikoagulan
dapat dihentikan setelah satu tahun khususnya pada trombus yang berasal dari
26

dinding jantung, mengingat ancaman mural thrombus yang timbul akibat infark
miokard semakin berkurang dengan perjalanan waktu. Sumber trombus yang berasal
dari anerisma aorta atau penyempitan atherosclerosis, dapat diatasi dengan
melakukan operasi penggantian segmen aorta yang mengalami anerisma dengan
dacron (pembuluh darah buatan dari sejenis tekstil yang disebut dacron).
Kontraindikasi pemberian heparin adalah: perdarahan lambung, perdarahan dari
luka ditempat lain, retinopati diabetika atau retinopati hipertensi. Jangan diberikan
pada usia kehamilan <13 minggu dan >36 minggu (walaupun heparin tidak
melewati placenta ). Kadar trombosit harus dipantau untuk mencegah perdarahan
oleh kemungkinan terjadinya heparin induced thrombocytopenia. (Calaitges,Silver
2000), walaupun pada awalnya jumlah trombosit masih normal, dapat terjadi
keadaan dimana jumlah trombosit cenderung menurun yang diketahui pada
pemeriksaan berikutnya (komplikasi trombositopeni tidak tergantung pada berat
molekul heparin, walaupun lebih jarang terjadi pada heparin yang berat molekulnya
rendah).
 Tindakan thrombo-embolectomy dengan menggunakan kateter Fogarty (ukuran 4 F
atau 5 F), setelah sebelumnya dilakukan arteriotomy di bagian proksimal dari lokasi
arteri yang mengalami penyumbatan, misalnya pada A.Femoralis superfisialis, untuk
digunakan memasukkan kateter tersebut. Kateter Fogarty memiliki balon pada
ujung bagian distal kateter tersebut yang dikembangkan dengan bantuan alat suntik
(semprit) 5 ml yang dipasangkan pada pangkal kateter. Balon dikembangkan setelah
melewati letak thrombus sedemikian rupa sehingga thrombus dapat dikeluarkan
dengan menarik keluar kateter sambil mempertahankan balon yang mengembang.
Kateter Fogarty dapat menimbulkan kerusakan lapisan endotelium, maka
penggunaannya untuk mengeluarkan sumbatan trombus sebaiknya tidak kasar dan
jangan berkali-kali memasukkan dan menarik keluar dari lumen arteri.
 Lokasi penyumbatan: dapat diketahui secara klinis dengan meraba pulsasi nadi mana
yang hilang maka dapat diketahui bahwa penyumbatan thrombus terletak di
proksimalnya, tetapi bila penentuan lokasi sumbatan masih dianggap meragukan,
maka harus dibuat arteriografi. Pada gambar arteriografi, lokasi penyumbatan
tromboemboli akut lebih sering ditemukan pada percabangan (bifurcatio) arteri,
tampak batas emboli yang tegas ( dapat berbentuk cembung, convex filling defect),
tetapi tidak tampak pembuluh kolateral, dan tidak dijumpai sejarah claudicatio.
Gambar tersebut berbeda dengan penyumbatan oleh proses trombosis yang sudah
27

menahun (khronik), misalnya yang disebabkan oleh proses aterosklerosis, dimana


akan dijumpai pembuluh kolateral yang cukup banyak, dijumpai penyempitan
(stenosis) di tempat-tempat lain (diffuse occlusion). Pada lokasi penyumbatan total
terlihat batas dari trombosis yang tidak beraturan ( irregular), dan pada anamnesis
dijumpai sejarah menderita claudicatio. Harus diingat bahwa penyumbatan total
menahun pada arteri akibat penyakit Buerger, tidak dijumpai pembuluh kolateral
yang banyak !
 Clopidogrel adalah tablet 75 mg , dengan dosis 1 kali 1 tablet perhari, yang berfungsi
menghambat agregasi trombosit. Kemampuan menghambat trombosit lebih kuat dari
aspirin. Setelah pemakaian 1 kali 75 mg dihentikan, maka daya anti aggegasi
trombosit dan waktu perdarahan (bleeding time) kembali normal setelah 5 hari.
(Plavix online 2003)

Trombus yang menyumbat A.Femoralis superfisialis


Balon yang dapat dikembangkan pada kateter

Gambar 2 .1. Kateter Fogarty.

Aorta abdominalis

Sumbatan oleh
emboli trombus

Gambar 2.2. Lokasi tempat penyumbatan emboli trombus pada arteri.


28

2.4. Daftar pustaka:


Calaitges SG,Silver D.Antithrombotic therapy. In:Rutherford RB.Editor.Rutherford Vascular Surgery.5th Ed. WB
Saunders Co.Philadelphia.2000:442-443.
Darling R, Austen W, Linton R. Arterial embolism. Surg Gynaecol Obstet 1967;124:106.
Plavix online, description and information-clopidogrel-RxList
Monographs.http://www.rxlist.com/cgi/generic/clopidog.htm

3 Anerisma Aorta Abdominalis

3.1.Pendahuluan:
Anerisma aorta abdominalis (selanjutnya ditulis AAA) adalah dilatasi ≥ 50% dari diameter
normal. Diameter aorta abdominalis yang normal adalah 1,6-2,0 cm. Umumnya pria lebih
besar diameter aortanya dari wanita. Anerisma dapat berbentuk saccular atau fusiform.
Sekitar 90% anerisma pada aorta terletak pada aorta abdominalis infrarenal. AAA adalah
proses degeneratif yang khronis (proses aterosklerosis) pada orang berusia lanjut, sehingga
menyebabkan dinding aorta menjadi menipis dan diameternya menjadi melebar. AAA
adalah anerisma arteri yang paling sering dijumpai dan paling sering pula mengalami
ancaman ruptur spontan. Penyakit ini sering ditemukan tanpa sengaja (secara kebetulan)
pada pemeriksaan dokter, karena sifat pelebaran aorta yang perlahan (menahun) tidak
dirasakan (asymptomatic) si penderita. (Cronenwett, Sampson 1995) Jumlah penderita AAA
yang datang berobat di RSU Dr.Hasan Sadikin berjumlah 11 orang dalam kurun waktu
antara 1991 sampai dengan 1995, yaitu rata-rata 2-3 orang datang berobat pertahunnya,
mayoritas adalah penderita pria (hanya tercatat satu penderita perempuan) dan berusia
diatas 50 tahun. Keluhan utama yang dikemukakan kebanyakan (8 orang) adalah adanya
benjolan besar dalam perut, sedangkan keluhan nyeri hanya ada pada 3 orang.

3.2.Ciri diagnosis AAA yang ruptur:


 Keluhan nyeri perut atau nyeri punggung yang onsetnya tiba-tiba.
 Hipotensi (tekanan sistolik ≤ 80 mmhg).
29

 Palpasi abdomen: teraba benjolan/masa tumor yang berdenyut, letaknya cenderung di


sebelah kiri , dan sangat mengecil atau tidak teraba di daerah epigastrium.
 Emboli thrombus pada arteriol digitalis akan menimbulkan blue-toe syndrome (bercak atau
bintik-bintik warna kebiru-biruan atau hitam pada kulit acral jari kaki).
 Pemeriksaan ultrasonografi abdomen ditemukan pelebaran diameter aorta (Ø aorta
abdominalis yang normal adalah < 2 cm ) abdominalis infrarenal.
Catatan:
Gejala tersebut diatas terutama dijumpai pada AAA yang sudah besar (> 5 cm, karena pada
ukuran tersebut insiden ruptur lebih sering dijumpai) dan mengalami perdarahan karena
anerisma pecah menimbulkan hipotensi dengan cepat. Nyeri punggung terjadi akibat
denyutan yang secara teratur menekan dan memukul vertebra lumbalis sehingga dapat
menimbulkan erosi tulang. Pada anerisma berdiameter kecil (≤ 4 cm ) dan tidak mengalami
ruptur, tidak akan dijumpai gejala apapun. Sering dijumpai anerisma aorta abdominalis yang
besar berdiameter >5 cm yang ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan fisik rutin
atau check-up atau pemeriksaan perut karena sebab lain (teraba pada palpasi abdomen atau
tampak bayangan tumor pada foto abdomen), karena sering belum memberikan suatu
keluhan atau gejala fisik apapun yang berarti pada penderitanya. Tetapi sering pula
pelebaran aorta abdominalis tersebut tidak terdeteksi, dan tidak disadari si penderita,
sehingga dapat menyebabkan pelebaran AAA terus membesar, menimbulkan rasa nyeri dan
bahkan dapat mendadak ruptur spontan.

3.3.Patofisiologi pembentukan AAA:


Faktor-faktor predisposisi pembentukan AAA infrarenal pada kasus aterosklerosis:
1)Tekanan pantulan arus aliran darah pada dinding aorta abdominalis yang diakibatkan oleh
bifurcatio aortae abdominalis yang telah tumpul.
2) Lapisan tunika elastika yang menipis. Aktifitas proteolitik dan elastase (yang merusak
jaringan elastin dinding aorta) pada dinding aorta abdominalis meningkat karena aktifitas
anti-protease (alfa 1-antitripsin merupakan inhibitor elastase) menurun, dan disertai
kebiasaan merokok yang merugikan. Merokok meningkatkan aktifitas proteolitik dalam
darah. Kadar elastase aorta meningkat secara nyata pada dinding aorta abdominalis
penderita AAA, pada anerisma multipel, anerisma aorta yang ruptur. Kebiasaan merokok
dan gangguan elastisitas paru akibat penyakit paru obstruktif menahun, memberikan kesan
bahwa peninggian aktifitas proteolitik merupakan faktor penting dalam menimbulkan AAA
yang terjadi bersamaan dengan penyakit paru obstruktif menahun.
30

3) Jumlah vasa vasorum yang tidak adekwat menimbulkan kelemahan dinding aorta.
4) Kalsifikasi dinding aorta menimbulkan kehilangan elastisitas.
5)Kadar kolagen tipe III yang rendah ditemukan pada penderita anerisma dalam keluarga
(anerisma aorta abdominalis yang familial) memberikan kesan peranan faktor genetik
(abnormalitas genetik yang mengakibatkan abnormalitas pembentukan kolagen tipe III).
Tetapi ternyata pada penelitian yang dilakukan pada penderita anerisma aorta dan anerisma
aorta yang familial tidak ditemukan adanya defisiensi kolagen tipe III.
6)Proses pengendapan ateroma pada penderita aterosklerosis, merusak jaringan elastin dan
kolagen pada dinding aorta, sehingga di tempat pengendapan (atherosclerotic plaque) terjadi
penipisan dinding yang kemudian akan menimbulkan anerisma.
7) Proses ketuaan yang alamiah akan menimbulkan degenerasi (kemunduran) jaringan
elastin. Pendapat ini disokong dengan ditemukannya mayoritas penderita AAA pada usia
lanjut (diatas 60 tahun).

1. Pantulan arus aliran darah.


2.Defisiensi elastin.
5. Defisiensi kolagen tipe III.

3. Vasa vasorum tidak adekwat 6. Endapan ateroma.

4. Kalsifikasi 7. Proses degenerasi ketuaan.

Gambar 3.1. Faktor-faktor yang mendukung terjadinya anerisma aorta abdominalis infrarenal.

3.4.Pemeriksaan Laboratorium:
1.Pemeriksaan USG untuk mengukur diameter anerisma, tetapi sulit untuk menentukan
batas proksimal dan batas distal dari AAA.
2.CT scanning dapat menentukan ukuran, batas-batas anerisma dan adanya perdarahan
dalam rongga perut.
3.Arteriografi tidak dapat menentukan ukuran diameter AAA, karena sering dijumpai
adanya masa thrombus dalam lumen aorta. Walaupun demikian arteriografi berguna untuk
memastikan dan menilai dugaan adanya oklusi total atau stenosis pada A.Renalis,
A.Mesenterika, A.Iliaca communis, A.Femoralis communis dan daerah femoro-popliteal
sebelum operasi, kemungkinan adanya horseshoe kidney, sehingga dapat merencanakan
tindakan yang akan dilakukan dalam operasi.
31

3.5.Risiko kematian sebagai komplikasi dari penyakit jantung:


Mortalitas penderita AAA dapat mencapai angka 2-5% pada golongan penderita tanpa
sejarah infark miokardium, tanpa sejarah diabetes mellitus, dan berusia dibawah 70 tahun.
Mortalitas dapat mencapai 20% pada penderita yang memiliki risiko buruk, yaitu memiliki
sejarah serangan jantung, penderita diabetes mellitus, berusia diatas 70 tahun.

3.6.Terapi operatif.
A.Keadaan gawat darurat akibat terjadi ruptur :
Segera laparotomi cito setelah diagnosis secara klinis ditegakkan bersamaan dengan
persiapan untuk pembiusan, pemasangan infus pada vena, arterial line untuk mengukur
tekanan darah arteri. Tekanan darah 80-100 mmHg masih dapat ditolerir pasien kecuali bila
sebelumnya sudah ada gangguan jantung atau nerologis. Tujuan tindakan operasi darurat
adalah bagian dari tindakan resusitasi untuk menghentikan perdarahan yang masif,
kemudian mengganti aorta dengan protese dacron (dacron-graft).

B. Operasi elektif.
AAA dicapai melalui rongga intraperitoneal, yaitu melalui insisi mediana. Sebelum
klem aorta di bawah a.Renalis terpasang, diberikan 1 ml Heparin (5000 IU) bolus intravena.
A.Mesenterika inferior biasanya sudah tidak berfungsi karena tersumbat fibrin atau trombus.
Sebagai graft adalah protese dacron. Jahitan jelujur (kontinyu) pada protesa aorta memakai
benang tidak diserap jenis polypropylene 3-0 di bagian proksimal. Untuk jahitan jelujur pada
a.Iliaca communis atau externa digunakan benang polypropylene 4-0. Benang 4-0 tersebut
juga digunakan untuk menutup beberapa a.Lumbalis . Peritoneum dijahit dengan benang
chromic gut 2-0 secara jelujur. Setelah diyakini perdarahan aktif telah diatasi, maka
selanjutnya rongga retroperitoneum tanpa meninggalkan drain. Akhirnya rongga
intraperitoneum ditutup dengan menjahit dinding perut tanpa meninggalkan drain.
Knitted dacron graft memiliki liang-liang renik yang sedikit lebih besar dibandingkan
dengan woven dacron graft. Kedua-duanya dapat digunakan sebagai protese Aorta
abdominalis, dan bila diperlukan dapat dilakukan sterilisasi ulang (maksimum 3 kali). Kedua
dacron tersebut sebelum dijahitkan harus dilakukan preclotting. Jenis dacron graft yang
buatannya lebih mutakhir tidak perlu lagi dilakukan preclotting, seperti misalnya Double
velour with Hemashield, Vascutek gelatin impregnated knitted dacron graft (pori-pori telah diberi
lapisan gelatin, yaitu sejenis serat kolagen), tetapi kerugiannya pada jenis ini tidak dapat
32

diresterilisasi. Prosedur preclotting adalah dengan membasahi seluruh permukaan luar dan
dalam dacron tersebut dengan 30 ml. darah (seolah-olah ‘dicuci’ dengan darah) yang diambil
sebelum pemberian injeksi bolus Heparin intravena, kemudian dacron disimpan tertutup
kasa steril sebelum digunakan. Dengan prosedur tersebut maka pori-pori knitted dacron graft
akan tertutup bekuan darah (clot) yang terdiri dari trombosit dan fibrin, sedemikian rupa
sehingga pori-porinya tak dapat ditembus oleh cairan darah pada saat telah dialiri darah.

3.7.Catatan pengalaman klinik.


Perdarahan banyak yang terjadi spontan (tanpa sejarah trauma) dalam cavum
ekstraperitoneum dan intraperitoneum, maka pikirkanlah kemungkinan yang menjadi
penyebabnya adalah AAA yang ruptur !
Contoh:
Seorang laki-laki, berusia 56 tahun, datang ke Unit Gawat Darurat dengan keluhan
mendadak nyeri perut tanpa sejarah trauma. Pada pemeriksaan fisik ditemukan perut
gembung, anemis, hipotensi. Dengan penemuan klinik seperti diatas maka segeralah
memikirkan kemungkinan perdarahan intraabdomen akibat ruptur AAA sampai terbukti
bukan! Bila telah diyakini bahwa diagnosanya adalah AAA yang ruptur, maka tindakan
yang tepat adalah segera melakukan operasi laparotomi cito untuk mengatasi perdarahan
dan mengganti aorta abdominalis dengan pembuluh arteri buatan (protese dacron).

Teknik insersi protesa dacron pada aorta abdominalis secara endovaskular:

Dinding AAA

Protesa endovaskular

Gambar 3.2. Protese (graft) aorta terpasang dengan teknik insersi melalui lumen a.Femoralis
dimasukkan kedalam lumen (dibantu sinar-X) aorta abdominalis infra-renal yang mengalami
anerisma. Dinding aorta yang mengalami anerisma masih tetap tidak berubah. Protese aorta
dimasukkan melalui insisi pada dinding A.Femoralis communis didorong kedalam lumen Aorta
abdominalis. Teknik ini dipelajari dalam ilmu bedah endovaskular. Operasi dengan teknik
endovaskular tersebut sangat tinggi biayanya terutama karena protese-nya yang sangat mahal.

Tidak semua AAA dapat dipasang protese melalui teknik endovaskular. Persyaratan
pemasangan protese dengan teknik endovaskular adalah antara lain jarak antara arteri
33

renalis ke batas proksimal anerisma ≥ 15 mm, dengan diameter ≤ 28 mm, angulasi pada
leher AAA (distal dari a.Renalis) maksimum 120 derajat (tidak ada angulasi bila bersudut
180 derajat); sudut maksimal untuk a.Iliaca adalah 90 derajat. Kontraindikasi teknik
endovaskular adalah dijumpainya kalsifikasi berat di seluruh lingkaran, dan terdapat mural
trombus. Harga pembelian satu unit protese endovaskular adalah relatif sangat tinggi, yaitu
lebih dari 5 kali lipat dari harga 1 unit protese Aorta yang biasa digunakan.

3.8.Aterosklerosis.
3.8.1.Plak aterom.
Aterosklerosis ditandai oleh adanya lesi ateroma (fibrofatty plaques) didalam tunika intima
sehingga menyebabkan permukaan intima tampak lebih menonjol kedalam lumen, menekan
dan melemahkan tunika media, dan akibatnya akan menimbulkan bermacam-macam
komplikasi seperti penyempitan (stenosis), penyumbatan (oklusi atau obstruksi), pelebaran
(anerisma). Aterosklerosis terutama menyerang pembuluh arteri yang berukuran besar (elastic
artery : aorta, a.Carotis, a.Iliaca ) dan arteri tipe muskular (a.Coronaria, dan a.Poplitea).
Penyakit ini mulai dari sejak kanak-kanak, tetapi biasanya gejalanya baru muncul diatas usia
50-an. Dalam proses aterosklerosis terbentuk penebalan tunika intima dan penumpukan
lemak didalamnya sehingga menghasilkan endapan yang disebut plak ateroma (atheromal
plaque). Plak tersebut berintikan lemak yang terdiri dari kolesterol dan kolesterol ester. Plak
ateroma tersebut paling sering dijumpai pada Aorta abdominalis, a.Coronaria, a.Poplitea,
aorta torakalis, a.Carotis interna dan sirkulus Willisi. Hampir selalu ditemukan komplikasi
pada penyakit aterosklerosis yang telah lanjut yaitu : kalsifikasi yang masif, plak yang
mengalami robekan (ruptur) dan atau ulserasi, perdarahan pada plak, trombosis yang sering
muncul pada tempat robekan atau ulserasi menambah penyempitan atau bahkan
menimbulkan sumbatan total, pada pembuluh arteri berukuran besar (Aorta) plak aterom
dapat menimbulkan tekanan pada tunika media, sehingga menimbulkan atrofi dan
kehilangan lapisan elastin, sedemikian rupa sehingga selanjutnya dapat menimbulkan
dilatasi (anerisma) pembuluh darah.
3.8.2. Faktor risiko.
Aterosklerosis lebih sering dijumpai pada orang kulit putih (ras kaukasus), tetapi lebih jarang
ditemukan pada orang Amerika tengah dan selatan, Afrika dan Asia. Adapun faktor
risikonya adalah : 1)Usia ≥ 50 tahun, 2)Jenis kelamin laki-laki, 3)Genetik (familial
hiperkolesterolemi), 4)Hiperlipidemi (hiperkolesterolemi lebih sering dijumpai dibandingkan
34

hipertrigliserida), 5)Hipertensi, 6)Perokok, 7)Diabetes mellitus, 8)Peninggian kadar


homocystein yang merupakan toksin bagi sel endotel.
3.8.3.Hipotesa pembentukan plak aterom pada tingkat sel.
Faktor-faktor risiko diatas dapat menimbulkan trauma pada endotel, menimbulkan adesi
trombosit dan lekosit (monosit), kemudian transmigrasi lekosit dari lumen melalui endothelial
cell junction menembus membrana basalis menuju kearah trauma di dalam tunika intima.
Kemudian akan dilepaskan growth factors, yaitu diantaranya adalah PDGF (platelet derived
growth factor). Selanjutnya PDGF ini akan merangsang sel otot polos tunika media untuk
migrasi dan berproliferasi ke dalam tunika intima. Monosit mengalami trasformasi menjadi
makrofag dan bersama-sama sel otot polos menangkap (engulf) lemak untuk menjadi foam
cell.

Gambar 3.3. Hipotesa respon terhadap trauma (response to injury) peninggian kadar lemak
darah.

3.9.Daftar pustaka.
Cronenwett JL, Sampson LN.Aneurysm of the abdominal aorta & Iliac arteries. In: Dean RH, Yao JST,
Brewster DC.Current diagnosis&treatment in Vascular Surgery. London:Prentice Hall International.1995:220-
238.
35

6 Penyakit Hemoroid

6.1.Pendahuluan:
Hemoroid adalah struktur anatomik yang normal yang ditemukan pada manusia sejak fetus.
Hemoroid tersebut bersama dengan otot sfingter anus berfungsi menahan cairan feses dan
gas, sehingga memiliki fungsi sosial (Gray 1965;Storer,Goldberg,Nivatvong 1979;
Keighley,Williams 1993). Hemoroid interna yang terletak di submukosa berada terpisah
letaknya dari hemorrhoid externa (terletak di subkutan) oleh Linea dentata. Penyakit
hemoroid adalah suatu penyakit dengan manifestasi klinis berupa dilatasi vena plexus
hemorrhoidalis superior atau dan vena plexus hemorrhoidalis inferior, oleh peninggian
tekanan vena akibat kebiasaan mengejan yang terlalu kuat dan berulang-ulang (prolonged
straining) . Pada umumnya dilatasi plexus hemorrhoid superior yang terbanyak dan tersering
dikeluhkan penderita, yaitu yang disebut secara klinis sebagai penyakit hemoroid interna.
Menurut penelitian Thomson (1975) hemoroid merupakan benjolan yang tampak
menyerupai bantalan pada anorektum, yang disebutnya sebagai bantalan vaskular (vascular
cushion). Secara anatomi dijumpai seluruhnya sebanyak 3 buah bantalan vaskular, yaitu 2
buah terletak disebelah kanan (masing-masing sebuah di anterior dan posterior) dan sebuah
lagi terletak di kiri lateral. Setiap bantalan tersebut terletak terpisah satu dengan lainnya dan
melingkar didaerah linea dentata (Corman 1993; Yamada 1999; Godeberge 1993).
36

Gambar 6.1 . Skema anatomi potongan memanjang pada daerah anorektum yang
memperlihatkan bantalan vaskular pada daerah linea dentata.
Keterangan: Gambar I : A-Mukosa ampula rekti; B-Hemoroid yang terdiri dari plexus hemorrhoidalis interna,
yaitu anastomosis arterio-venosa, B1- darah masuk ke hemoroid melalui arteri, B2-darah keluar dari hemoroid
melalui vena; C-Pecten analis; D-Muskulus sfingter ani interna; E-Muskulus sfingter ani externa; F-kulit anus; G-
Linea dentata (Staubesand 1989). Gambar II: skema gambar hemoroid yang terdiri dari anastomosis arterio-
venosa, yang merupakan isi dari bantalan vaskular. Gambar III: hemoroid yang mengembang akibat mengejan
yang kuat dan berlangsung lama dan berulang-ulang sehingga terjadi tekanan yang menghambat pada aliran
drenase darah melalui vena yang menimbulkan pelebaran hemoroid tersebut yang berisi darah. Pelebaran
hemoroid yang menetap menimbulkan penonjolan pada lubang anus disebut penyakit hemoroid.

Hemoroid interna terdiri dari pelebaran vena yang berdiameter 2 mm. sampai 15 mm.,
berupa anastomosis arterio-venosa, jaringan elastis, otot polos. Di dalam bantalan tersebut
mayoritas terisi oleh jaringan pembuluh darah (Keighley,Williams 1993; Barnett 1999).
Jaringan vaskular tersebut dipertahankan ditempatnya oleh ligamentum Parks (pecten band)
dan oleh serat jaringan otot submukosa. Darah yang mengalir didalam plexus hemorroidalis
berwarna merah dan memiliki saturasi oksigen yang sama dengan darah arteri
(Keighley,Williams 1993; Barnett 1999).
Anterior kanan

Kiri lateral
Posterior kanan

Gambar 6.2 Skema anatomi dari posisi normal letak dari bantalan hemoroid interna dan
eksterna pada potongan melintang daerah linea dentata.
37

6.2.Patogenesis:
Beberapa teori dan mekanisme menerangkan pembentukan hemoroid telah dikemukakan.
1) Teori mekanik: ligamentum suspensorium dan ligamentum Parks, adalah jaringan
muskulo-fibro-elastika yang merupakan jaringan ikat (supporting tissue) yang menahan
hemoroid interna ditempatnya, cenderung mengalami degenerasi dengan bertambahnya
usia. Proses degenerasi telah dimulai sejak usia dekade ke-3 sehingga jaringan penahan
tersebut tidak lagi kuat berpancang pada lapisan dalam terutama pada otot sfingter
interna dan otot-otot submukosa. Kelemahan tersebut mengakibatkan mobilitas
hemoroid ketika terjadi peningkatan tekanan intrarektal, misalnya dalam keadaan
mengejan pada gangguan konstipasi. Pada puncaknya dapat terjadi ruptur ligamentum
suspensorium dan ligamentum Parks sehingga hemoroid interna mengalami prolaps.
Keadaan prolaps inilah yang merupakan salah satu ciri keluhan penyakit hemoroid yang
disebabkan oleh kelemahan jaringan penahan yang dapat memudahkan terjadinya
dilatasi vena sehingga ukuran hemorrhoid membesar. Selanjutnya setelah terjadi dilatasi
dan mobilisasi, timbul kerapuhan dinding mukosa yang melapisi hemoroid interna,
sehingga akibat tindakan mengejan dan bergeseran dengan permukaan feses akan
memudahkan terjadi robekan yang menimbulkan perdarahan.
Kecenderungan genetik yang mendasari kelemahan ligamentum suspensorium dan
ligamentum Parks menerangkan alasan tingginya kejadian penyakit hemoroid pada
anggota keluarga penderita.

Gambar 6.3. Perkembangan penyakit hemorrhoid interna sejak derajat I sampai derajat IV.
Keterangan : A-Mukosa kanal rektum; B-Hemoroid interna; C-Muskulus sfingter ani internus; D-Hemoroid
eksterna; E- Ligamentum Parks (berupa gambar garis-garis melintang tepat dibawah hemoroid interna). Bantalan
hemoroid menjadi melebar, membesar, merosot, muncul dan tampak menonjol muncul melebihi permukaan
anus, disebut penyakit hemoroid. Demikian pula terjadi hal yang sama dengan hemoroid eksterna.

2) Teori hemodinamik. Struktur vena dan arteri didalam hemoroid saling berhubungan (
hubungan arterio-venosa) dan tanpa memiliki katup. Peninggian tekanan intra-
38

abdominal oleh kebiasaan mengejan yang terlalu kuat ketika buang air besar, yang
terjadi pada keadaan konstipasi, kehamilan, feses yang tersisa dan melekat (fecolith)
dalam ampula rekti, dan kegagalan relaksasi muskulus sfingter interna setelah defekasi,
akan menyebabkan hambatan drenase aliran vena (gangguan venous return). Keadaan
tersebut menimbulkan dilatasi bantalan karena terisi darah dan dinding yang meregang
menjadi menipis. Feses keras yang melalui bantalan vaskular yang melebar dapat
menyebabkan bantalan tersebut robek dan mengeluarkan darah merah terang (bright red
bleeding) yang menetes diatas masa feses yang telah lebih dahulu keluar. Peningkatan
aliran darah dalam perut (terutama aliran A.Mesenterika inferior) yang terjadi segera
setelah makan dapat menyebabkan dilatasi hemoroid interna (dilatasi postprandial), yaitu
karena terdapat hubungan antara vena porta dengan plexus hemorrhoidalis.

3) Faktor fungsi sfingter yang mengalami peninggian tekanan walaupun sedang istirahat
(tidak sedang defekasi). Abnormalitas fungsi sfingter dibuktikan pada pemeriksaan
manometri anorektal penderita penyakit hemoroid bila dibandingkan dengan tekanan
istirahat anorektal kelompok kontrol.

Tiga teori yang mendasari patofisiologi pembentukan penyakit hemoroid menunjukkan


bahwa kejadian penyakit ini berdasarkan lebih dari satu faktor (Corman 1998, Godeberge
1993). Walaupun demikian terjadi degenerasi ligamentum suspensorium dan ligamentum
Parks merupakan faktor yang terpenting yang mengawali timbulnya penyakit hemorrhoid.

6.3.Klasifikasi hemoroid interna:


Derajat I – Keluhan: gangguan defekasi berdarah. Pembengkakan hemoroid tampak dengan
pemeriksaan anoskopi, dan pembengkakan tersebut lebih jelas ketika penderita mengejan.
Derajat II – Keluhan: keluar cairan lendir sedikit dari wasir dan terasa gatal. Ketika
penderita mengejan kuat pada saat defekasi, terjadi prolaps hemoroid yang masuk kembali
spontan setelah mengejan dihentikan.
Derajat III--Keluhan: keluar cairan lendir dan feses cair (soiling). Prolaps hemoroid terjadi
saat defekasi atau mengejan, dan tetap diluar lubang anus dan tidak dapat masuk kembali
secara spontan kecuali dibantu secara manual (dibantu mengembalikan benjolan hemoroid
oleh jari tangan penderita).
Derajat IV—Keluhan: cairan lendir lebih banyak keluar, nyeri, benjolan hemoroid menetap
terus diluar lubang anus dan tak dapat dimasukkan kembali secara manual kedalam anus.
39

6.4. Penyakit Hemoroid eksterna:


Walaupun patofisiologi pembentukkan penyakit hemoroid eksterna belum jelas, trombosis
yang terjadi pada penyakit ini dapat terjadi karena sikap mengejan yang berlebihan saat
defekasi, akan meninggikan tekanan vena yang akan menimbulkan dilatasi pleksus
hemoroid eksterna, sehingga mengganggu kelancaran aliran darah dan akhirnya
menimbulkan trombosis. Keluhan nyeri akibat trombosis bersifat terus-menerus, tak
berdenyut dan tidak berhubungan dengan saat defekasi. Nyeri dapat terasa lebih kuat pada
saat defekasi. Tanda yang tampak secara fisik adalah letaknya pada tepi anus, benjolan
berwarna biru tua atau kehitaman, keras kenyal pada perabaan dan nyeri bila tersentuh.
Pemeriksaan pada anorektum agak sukar dikerjakan karena keluhan nyeri bila tersentuh
terutama pada fase akut. Secara klinis walaupun jarang mungkin dapat dijumpai benjolan
penyakit hemoroid eksterna yang tidak nyeri. Penyakit hemoroid eksterna sering ditemukan
pada wanita post-partum dan biasanya terasa sangat nyeri. Nyeri dapat menghilang sendiri
secara spontan dalam waktu 2 – 7 hari, pembengkakan berkurang dalam waktu 1 - 6 minggu.
Kulit yang menutupi trombus dapat mengalami nekrosis, kemudian trombus keluar spontan
dan dapat disertai perdarahan yang berhenti sendiri, dan beberapa hari kemudian
menyisakan bagian kulit yang keriput dan menonjol 0,5-1 cm.dari permukaan (skin tag).

6.5.Terapi:
Penyakit Hemoroid interna:
Walaupun penyakit hemoroid dapat menimbulkan benjolan hemoroid dan perdarahan,
biasanya dapat tanpa memerlukan pengobatan khusus untuk mencapai kesembuhan.
Tindakan pengobatan yang dilakukan adalah bertujuan memelihara struktur anatomis
hemoroid, mengingat fungsi hemoroid yang berguna membantu menutup lubang anus
terutama untuk menahan feses cair dan gas. Umumnya pengobatan secara konservatif
sudah cukup untuk mengatasi penyakit hemoroid, sehingga pembengkakan hemoroid ini
perlahan-lahan menyusut dan dapat berfungsi normal kembali. Eksisi hemoroid
(hemoroidektomi) adalah bukan operasi yang ringan dan banyak menimbulkan komplikasi,
sehingga sebaiknya dilakukan sebagai tindakan yang terakhir bila ternyata pengobatan
konservatif tidak berhasil (Schwartz SI 1999).

Pengobatan secara medikal:


Penderita dianjurkan mengkonsumsi makanan berserat dalam jumlah yang cukup (35 gram
serat perhari), cukup minum air (≥ 5 gelas perhari), tetapi hindari minum kopi, alkohol,
40

makanan khewani (karena tak berserat) dan makanan yang pedas. Aktifitas olah raga
(senam atau jalan kaki) harus dilakukan dengan teratur untuk memperlancar aliran darah.
Obat-obatan yang mengandung flavonoid, seperti contohnya: flavonoid diosmin dan
hesperidin, hydroxyethyl-rutoside, karena memiliki kemampuan mencegah kerapuhan
pembuluh kapilar (capillary fragility), bersifat anti-inflamasi, dan meningkatkan tonus dinding
vena (flebotonik) (Bouskela, Donyo, Verbeuren 1994; Jean, Bodinier 1994; Labrid 1994).
Hasil penelitian Yuwono HS (2002) menunjukkan bahwa pada 56 orang penderita penyakit
hemoroid interna derajat IV, yang berhasil diobati secara konservatif menggunakan preparat
yang mengandung 450 mg flavonoid Diosmin dan sejumlah flavonoid lainnya yang
diekspresikan sebagai 50 mg flavonoid Hesperidin (seringkali disebut sebagai MPFF,
singkatan dari micronized purified flavonoid fraction, yang di pasar terdapat dalam tablet
Ardium 500 mg atau Daflon di luar negeri, yang dalam bentuk mikronisasi memiliki
pengaruh anti inflamasi yang kuat), dalam periode 2-6 minggu pengobatan telah berhasil
menghilangkan keluhan – keluhan benjolan maupun perdarahan. Menurut Buckshee,
Takkar, Aggarwal (1997) pemberian MPFF dapat dilakukan pada wanita hamil atau
menyusui, kecuali pada usia kehamilan trimester pertama. Dasar pemikiran dari pengobatan
konservatif tersebut adalah bahwa bantalan vaskular yang mengalami pembengkakan dapat
diobati tanpa merusaknya, sehingga dapat dikembalikan kepada fungsinya yang semula.
Jenis-jenis pengobatan lainnya:
1)Skleroterapi menggunakan larutan polidocanol 0,5% atau 1 %. Cairan ini menimbulkan
reaksi inflamasi sehingga menimbulkan fibrosis pada pembuluh darah plexus hemoroid,
akibatnya hemoroid akan mengalami kerusakan permanen.
2)Ligasi hemoroid interna menggunakan gelang karet yang kuat akan menjepit dasar
bantalan (rubber band ligator) sehingga dalam waktu singkat terjadi gangguan sirkulasi
(iskemia) dan karet beserta benjolan hemoroid yang nekrosis akan rontok dalam beberapa
hari. Penyembuhan terjadi 7 sampai 10 hari kemudian. Komplikasi yang terjadi adalah nyeri
bila sebagian kulit anus tertarik atau terjepit, sehingga untuk komplikasi tersebut diperlukan
perberian analgetika yang adekwat. Untuk menghindarinya maka jepitan karet hanya
diperbolehkan pada daerah mukosa dan harus berjarak cukup dari garis mukokutan.
Perdarahan dapat terjadi ketika hemoroid nekrosis dan jepitan karet lepas.
3)Cryotherapy, dengan cara mendinginkan atu membekukan hemoroid interna sehingga
terjadi nekrosis. Cara ini sudah ditinggalkan karena banyak komplikasinya.
4)Koagulasi menggunakan sinar infra-red. Dengan cara membakar hemoroid memakai sinar
infra-red akan menimbulkan sklerosis jaringan hemoroid.
41

5) Sinar laser, yang dapat menimbulkan fotokoagulasi pada jaringan hemoroid.


6) Pembedahan:
Indikasi pembedahan adalah bila pengobatan non-bedah mengalami kegagalan; berarti
bahwa pengobatan dengan cara pembedahan adalah jalan yang terakhir.
Eksisi hemoroid :
1)Teknik dari Milligan dan Morgan: mengikat hemoroid interna , kemudian eksisi.
2)Teknik dari Parks: mukosa dibuka melalui insisi, kemudian mengikat dan membuang
hemoroid.
3)Teknik dari Ferguson: kurang lebih sama dengan teknik dari Parks, tetapi luka eksisi
dijahit dengan benang yang diserap.
Pasca bedah harus diberikan analgetika (dilarang memberikan aspirin karena dapat
menimbulkan perdarahan), antibiotika mulai diberikan sebelum operasi (metronidazole, dan
golongan sefalosporin generasi ke-3), setelah 24 jam pasca bedah rendam duduk memakai
cairan antiseptik.
Komplikasi pasca bedah: nyeri spontan dan nyeri pada saat defekasi, perdarahan, rekuren,
stenosis anorektum.
6.6.Pengobatan penyakit hemoroid eksterna:
Pengobatan non-operatif (medikal) : analgetika, rendam duduk, steroid anti-inflamasi secara
topikal, flavonoid jenis lainnya dan non-steroid anti-inflamasi per-oral.
Pengangkatan hemoroid eksterna dengan melakukan eksisi dengan bantuan pembiusan
lokal.

Hasil pengobatan
konservatif pada akhir
Gambar minggu ke- 4. 6.4.
Hasil

pengobatan non-operatif/konservatif pada hemorrhoid interna derajat IV dengan


menggunakan obat tablet per-oral yang mengandung flavonoid diosmin dan hesperidin
(Yuwono 2002).

6.7 . Daftar pustaka.


1. Godeberge P. Daflon 500mg is significantly more effective than placebo in the treatment of hemorrhoids.
Phlebology.1992;7(suppl 2):61-63.
42

2. Storer EH, Goldberg SM, Nivatvongs S.Colon, Rectum and Anus. In: Schwartz SI. Editor. Principles of
Surgery.3rd Ed.McGraw-Hill Book Company, New York,1979: 1237-1239.
3. Gray H.Anatomy of the Human Body.27th.Ed. Lea & Febiger.Philadelphia.1965:757-758.
4. Labrid C. Pharmacologic properties of Daflon 500 mg.Angiology 1994. 45: 524-30.
5. Jean T, Bodinier MC. Mediators involved in inflammation: effects of Daflon 500 mg on their release.
Angiology 1994; 45:554-8.
6. Bouskela E, Donyo KA, Verbeuren TJ. Effects of Daflon 500mg on increased microvascular permeability.
Int J Microcirc (1994)14 (suppl 1):79.
7. Staubesand J.(Editor).Sobotta Atlas of Human Anatomy.Vol.2. Urban&Schwarzenberg, Munich, 1989.
pp.199.
8. Schwartz SI, Shires GT, Spencer FC, Daly JM, Fischer JE, Galloway AC.Principles of Surgery.Companion
handbook.New York:McGraw-Hill.1999: 657-8.
9. Barnett,JL.Anorectal diseases.In: Yamada T.(Editor).Textbook of Gastroenterology. Vol.2 Lippincott
Williams&Wilkins,Philadelphia.1999.pp. 2083-6.
10. Thornton,S. eMedicine Journal, September 13, 2001, vol.2 Number 9. http://www.emedicine.com
11. Corman,ML.Colon and rectal surgery.3rd.edition.JB Lippincott,Philadelphia.1993.pp.54-78.
12. Buckshee K,Takkar D, Aggarwal N. Micronized flavonoid therapy in internal hemorrhoids of pregnancy.Int
J Gynaecol Obstet 1997;57:145-151.
13. Cospite M. Double-blind, placebo-controlled evaluation of clinical activity and safety of Daflon 500 mg in
the treatment of acute hemorrhoids. Angiology 1994; 45 (6,pt.2):566-573.
14. Keighley MRB,Williams NS. Hemorrhoidal disease. In:Keighley MRB,Williams NS.Surgery of the anus,
rectum and colon. WB Saunders Company Ltd.London. 1993. p.295-363.

________

7 Komunikasi arterio-venosa kongenital

7.1.Pendahuluan
Menurut pembagian dari Riles (2002), kelainan komunikasi arterio-venosa (disingkat av)
dibagi atas kelainan kongenital dan yang didapat (acquired). Komunikasi av yang didapat
dibagi atas: tumor vaskular primer dan fistula akibat trauma, iatrogenik, infeksi, anerisma,
neoplasma, spontan atau fistula untuk hemodialisa. Disini akan dibicarakan yang
kongenital, yaitu hemangioma, malformasi venosa dominan (dibagi lagi atas: tanpa
hubungan av disebut sindroma Klippel-Trenaunay; dan yang ada hubungan av disebut
sindroma Parkes-Weber), malformasi av multi fistula dan yang fistula tunggal (contohnya
patent ductus arteriosus). Kelainan ini disebabkan pada masa perkembangan embrio terjadi
kegagalan jaringan pembuluh darah untuk melakukan diferensiasi lengkap menjadi
pembuluh arteri yang terpisah dengan pembuluh vena maupun limfatik. Berdasarkan asas
kinetik sel (tingkah laku biologis dan angiogenesis) maka dilakukan pembagian atas 2
kelompok besar, yaitu malformasi vaskular (memiliki endothelial turnover yang normal), dan
hemangioma (lesi yang memiliki kemampuan hiperplasia sel endotel).
43

7.2.Klasifikasi:
1.Hemangioma Neoplasma jinak

2.Malformasi vaskular Low flow: Fast flow: Kombinasi


1.Kapilar 1.Arteri.
2.Limfe. 2.Fistula arteriovenosa.
3.Vena.

Hemangioma: Malformasi vaskular:


Neoplasma, dan biasanya tak tampak saat lahir Anomali kongenital
Pada 30% kasus: kelainan telah ada saat lahir. Ada, tetapi biasanya tidak tampak
Pada 90% kasus: kelainan telah ada saat lahir
Perempuan:Pria =4:1 1:1
Tumbuh cepat, lebih cepat dari normal Sesuai dengan pertumbuhan normal
Rangsang pertumbuhan: tak diketahui Rangsang:Trauma,sepsis, perubahan hormonal
Sel-sel: Endotelium berbentuk gemuk, Endotelium berbentuk datar
Pergantian sel meningkat, Pergantian sel lambat,
Jumlah Mast cell meningkat Jumlah mast cell normal,
Membrana basalis berlapis Membrana basalis selapis dan tipis.
Hematologi: trombosit terperangkap (sindroma Stasis aliran vena,
Kasabach-Merritt) Koagulopati konsumtif lokal
Angiografi: berbatas tegas Low flow: pembuluh melebar
High flow: fistula a-v pada pembuluh besar
Skelelet: jarang ada yang hipertrofi. Skelet: distorsi, hipoplasia atau hipertrofi
Terapi: kebanyakan tidak memerlukan, kecuali Terapi: dapat perlu (alasan kosmetik) atau tidak
dekat mata perlu
Kultur jaringan: ada pertumbuhan pada kultur. Tak ada pertumbuhan dalam kultur

7.3. Ciri diagnosis:


 Tumor kongenital yang tersering dijumpai pada bayi .
 Proliferatif, pada palpasi : keras, kenyal, padat.
 Hampir selalu involusi sebelum usia 12 tahun, mungkin menyisakan jaringan parut.
 Mungkin dijumpai pembesaran organ yang dikenai pada lesi yang lebih dalam dari
dermis.

7.4. Gejala:
Hemangioma biasanya tidak tampak pada saat kelahiran, atau beberapa sudah tampak
berupa tanda kecil pada kulit berwarna merah. Kebanyakan baru tampak /muncul pada usia
1 minggu sampai 4 minggu berupa bercak merah, atau telangiektasia lokal.
Letak tersering (60%) didaerah kepala dan leher, atau pada badan (25%), atau ekstremitas
(15%).
44

Pada kulit (superficial dermis) lesi tersebut menimbulkan kulit agak terangkat dan berwarna
merah terang. Kebanyakan berukuran tetap atau diameternya bertambah besar sekitar 5 cm
atau lebih.
Bila lesi tersebut terletak pada kulit yang lebih dalam (lower dermis atau subkutis) akan
tampak berwarna kebiru-biruan. Penekanan tidak mengosongkan darah didalamnya (warna
tetap tampak pada penekanan).
Diagnosis hemangioma hampir selalu dapat dilakukan berdasarkan penemuan tanda-tanda
klinis terutama pada keadaan belum adanya tanda platelet trapping dan pertumbuhan
hemangioma belum masif meliputi organ.

7.5. Pemeriksaan bantu :


Bila ragu-ragu dalam membedakan dengan malformasi vaskular, dapat dilakukan
pemeriksaan CT scanning dengan kontras atau Magnetic Resonance Imaging (MRI).
Pemeriksaan arteriografi biasanya jarang diperlukan.

7.6. Diagnosis diferensial dengan malformasi vaskular:


Lihat tabel perbedaan antara keduanya diatas ! Perbedaan dapat dilakukan melalui tahapan
observasi, tanpa terburu-buru melakukan penentuan diagnosa.
Kesulitan dapat terjadi membedakan hemangioma letak dalam dengan malformasi limfatik
lokal. Biasanya malformasi limfatik berbentuk lunak pada palpasi dan kistik serta tampak
jelas dengan transiluminasi kecuali lesi telah berdarah sehingga berwarna gelap (hematom)
dan mengeras serta tidak tembus cahaya.
Pada kasus yang jarang misalnya lesi subkutan yang keras dan tumbuh cepat, harus disuga
suatu sarkoma. Dalam keadaan ini biopsi dapat menjelaskan perbedaannya.

7.7. Terapi:
Kortikosteroid:
Mekanisme kerja kortikosteroid dalam mempercepat involusi hemangioma belum diketahui.
Beberapa jenis kortison pada keadaan tertentu mampu menghambat pertumbuhan
pembuluh darah baru. Banyak hemangioma memiliki jumlah estrogen reseptor yang tinggi,
sedangkan cortison mampu menghambat estrogen yang terikat pada jaringan hemangioma
tersebut. Kortison menghambat fase proliferatif saja , tetapi kemampuan tersebut menjadi
lebih kecil pada fase involusi. Harus diingat bahwa walaupun pemberian kortikosteroid
(prednison) tidak lama, pada kebanyakkan bayi dan anak-anak dapat menimbulkan
komplikasi berupa otitis media, pneumonia dan sepsis.
45

Interferon alfa-2a:
Interferon alfa-2a dikembangkan sebagai obat antivirus, sehingga menimbulkan regresi pada
penyakit AIDS, sarkoma Kaposi, tumor vaskular akibat AIDS. Tetapi obat ini juga
menghambat endotelium kapiler in-vitro, menghambat angiogenesis pada tikus. Penggunaan
pada bayi yang menderita hemangioma besar yang lokasinya mengancam jiwa , mata dan
ekstremitas yang tidak memberikan reaksi terhadap kortikosteroid, ternyata terbukti
berhasil menimbulkan regresi. Efek samping adalah demam, netropenia dan nekrosis kulit;
karena itulah umumnya kortikosteroid digunakan sebelum pemberian interferon.
Embolisasi:
Embolisasi digunakan bila cara diatas tidak berhasil atau pasien menderita gangguan jantung
serius.
Eksisi:
Operasi eksisi dilakukan untuk menyelamatkan organ, tetapi bila terlalu banyak jaringan
yang hilang bila telah involusi akan menimbulkan bentuk jaringan parut yang buruk.
Radiasi:
Radasi jangan dilakukan, karena tidak menimbulkan perbaikan bahkan dapat menimbulkan
luka bakar radiasi, atrofi tulang, keganasan. Tetapi radiasi dianjurkan pada hemangioma
masif pada hepar yang mengancam jiwa.
Indikasi intervensi obat-obatan pada hemangioma:
1.Lesi hemangioma tumbuh cepat pada muka dan menimbulkan distorsi muka.
2.Lesi hemangioma yang menimbulkan perdarahan, ulkus (akibat proliferasi cepat) dan
infeksi.
3.Lesi hemangioma mengganggu fungsi normal penglihatan, pernapasan, pendengaran,
makan.
4.Hemangioma besar menimbulkan kegagalan fungsi jantung atau perdarahan sekunder
akibat trombositopenia, yaitu pada sindroma Kasabach-Merritt dengan tanda-tanda
ditemukannya hemangioma besar dengan trombositopeni, afibrinogenemia, trombosit yang
terperangkap (platelet trapping), koagulopati konsumtif.

Hemangioma pada kelopak mata atas: dapat mengganggu penglihatan, sebaiknya dilakukan
pemberian kortikosteroid sistemik terutama bila lesi ekstensif. Pemberian steroid langsung
pada lesi dapat menimbulkan komplikasi gangguan penglihatan (kebutaan permanen akibat
gangguan retrobulbar).
46

Hemangioma subglotis dapat mengganggu pernapasan, sehingga perlu trakheostomi dan


teknik eksisi memakai laser CO2 . Bila lesi melingkar penggunaan laser pada seluruh lesi
tersebut menimbulkan jaringan parut yang menimbulkan konstriksi /penyempitan
dikemudian hari.
Kegagalan bendungan jantung dapat terjadi bila hemangioma tersebut masif dan atau terjadi
hubungan arteriovenosa (disebut alarming hemangioma) yang dapat menimbulkan kematian
mencapai 80%. Pengobatan meliputi pemberian digoxin, diuretika, terapi kortikosteroid,
interferonalfa-2a, embolisasi (terutama pada hemangioma hepar).
Koagulopati (sindroma Kasabach-Merritt) dapat diatasi dengan terapi kortikosteroid atau
interferon alfa-2a.

8.Malformasi vaskular

8.1 Malformasi kapiler (aliran rendah)


Ciri diagnosis :
 Discoloration (daerah yang dikenai berbeda warna, hampir selalu dijumpai pada saat
kelahiran).
 Membrana mukosa sering dikenai pada lesi didaerah muka.
 Terdapat kemungkinan bersama dengan kelainan vaskular lainnya.

Contoh: port wine stain dan teleangiektasia (lesi tidak menonjol melebihi permukaan kulit,
sedangkan hemangioma bentuknya menonjol dan berwarna lebih gelap).
Terapi:
Terdapat beberapa cara, dan dengan hasil yang bervariasi pula. Terapi dengan sinar Laser
banyak yang dilaporkan telah berhasil pada beberapa kasus tertentu.

8.2 Malformasi vena (aliran rendah)


Ciri diagnosis:
Tidak ada pulsasi .
Palpasi : getaran aliran darah (thrill) tidak teraba.
Bruit: tidak ada atau minimal.
Arteriografi: tidak ada feeder (pembuluh arteri yang memberi aliran kepadanya).
Contoh: sindroma Klippel-Trenaunay.
47

Malformasi ini dapat letal bila berukuran besar dan masif , misalnya pada
hepar.Terapi:Kebanyakan kasus tidak memerlukan terapi. Sebagian memerlukan anti-
platelet (misalnya aspirin) dosis rendah bila terdapat phlebitis. Skleroterapi dapat
menghilangkan pelebaran vena lokal walaupun tidak menghilangkan seluruh kelainan pada
vena.

8.3. Malformasi arteri (high flow)


Ciri diagnosis:
 Berdenyut (pulsating), teraba thrill dan terdengar bruit.
 Arteriografi: terdapat pembuluh-pembuluh arteri sebagai pemberi aliran (feeder) yang
besar pada lesi malformasi arteri.

Jenis-jenis kelainan kongenital ini adalah sbb.:


Abnormalitas posisi atau struktur: duplikasi, hipoplasia, stenosis,anerisma kongenital (non-
aterosklerotik),ektasia arteri.
Fistula arterio-venosa (kongenital) tunggal

Arteriovenosa malformasi (AVM): yaitu terdapat hubungan abnormal antara arteri dan
vena yang multipel, dimana terdapat arteri dan vena yang berukuran kecil-kecil dan adapula
yang besar-besar. AVM ini dibagi atas :AVM lokal, AVM truncal dan AVM difus.
AVM lokal: masa yang terdiri dari pembuluh –pembuluh vena berukuran kecil, bertahanan
tinggi, feeder arteri yang kecil, shunting yang terjadi tergolong moderat (tidak besar).
AVM truncal: memiliki inflow arteri yang besar dan outflow vena yang berdilatasi, multipel
didaerah kepala, leher dan ekstremitas superior, tampak pada gambar arteriografi, biasanya
termasuk arteri besar, karena itu tergolong high flow.
AVM difus: inflow arteri besar dan cepat mengisi vena-vena pada arteriografi. Komunikasi
arteri dan vena (fistula arterio-venosa) yang luas ini sering pada ekstremitas inferior. Pada
gambar arteriografi AVM ini sukar diperlihatkan karena adanya hubungan yang ekstensif
tersebut.

8.4 Gejala klinis:


AVM bersifat pulsating, teraba thrill, terdengar bruit, menimbulkan tekanan/kompresi ke
jaringan sekitarnya menimbulkan ulserasi, akibat mekanisme ‘stealing’ (aliran darah
dibelokkan sebelum tujuan akibat hubungan pendek arteri dan vena), dapat (jarang)
48

menimbulkan beban jantung bertambah (volume darah venous return bertambah besar)
sehingga timbul kegagalan fungsi jantung.

8.5 Pemeriksaan bantu:


Luas AVM dapat diperlihatkan dengan pemeriksaan CT scanning atau MRI. Fistula
arteriovenosa (a-v) harus dilihat menggunakan arteriografi.

8.6 Diagnosa diferensial:


AVM harus dibedakan dengan fistula a-v dengan adanya riwayat trauma (fistula a-v
didapat). AVM sering dijumpai bersama-sama dengan sindroma Parkes-Weber.

8.7 Terapi:
Bila tanpa gejala atau minimal, maka terapi operatif tidak diperlukan, cukup memakai
stocking khusus. Eksisi diperlukan bila gejala bersifat lokal, menimbulkan ulkus.
Embolisasi (misalnya menggunakan Isobutylcyanoacrylate,superglue ®) diperlukan untuk
lokasi AVM yang sukar dicapai dengan eksisi.

8.8 Prognosis:
AVM jarang ditemukan bergejala pada usia bayi, walaupun dapat tinggal disuatu lokasi
bertahun-tahun tanpa menimbulkan gejala apapun, dan sering mulai menimbulkan gejala
pada usia kanak-kanak atau masa akil balig, kadang-kadang gejala muncul pada usia dekade
ke-3 s/d 4. AVM dapat menimbulkan peningkatan cardiac output akibat venous return
bertambah, tetapi tidak menimbulkan gejala walaupun telah menimbulkan kerja jantung
lebih tinggi selama bertahun-tahun.
Masif AVM, misalnya pada hepar sering muncul pada usia bayi atau anak kecil, dapat
menimbulkan kematian akibat gagal jantung atau gagal organ.

8.4 Malformasi kombinasi yang kompleks :


Malformasi vaskular ini terjadi bersama-sama abnormalitas kongenital lainnya misalnya
sindroma Rendu-Osler-Weber, sindroma Sturge-Weber, sindroma von Hippel-Lindau dan
banyak lainnya (sekitar 20 nama sindroma) tetapi sangat jarang ditemukan sehingga
menimbulkan kerancuan/kebingungan (confused). Dibawah ini hanya akan dibicarakan 2
49

buah sindroma yang tersering ditemukan, yaitu sindroma Klippel-Trenaunay dan sindroma
Parkes-Weber.

8.5 Sindroma Klippel-Trenaunay


Penyakit kongenital ini berupa malformasi vena.

8.5.1 Ciri diagnosis:


1.Malformasi kapilaris pada kulit (berupa: Port-wine stain) dan malformasi vena pada
ekstremitas.
2.Varises yang luas pada ekstremitas.
3.Hipertrofi jaringan lunak dan tulang pada ekstremitas (hipertrofi akibat volume darah
banyak)

8.5.2 Prognosis :
Mayoritas kasus ini menunjukkan perjalanan yang benigna.

8.5.3 Terapi:
Dapat secara konservatif dengan memakai stoking untuk menimbulkan kompresi pada
varises. Bila terdapat keluhan kosmetik karena perbedaan besar jaringan tungkai, dilakukan
operasi reduksi jaringan.

Tungkai yang sakit

Gambar 8.1. Kelainan Sindroma Klippel-Trenaunay pada tungkai seorang anak berusia 3
tahun. Perhatikanlah tungkai kanan yang lebih besar dan lebih panjang dengan warna
kebiruan pada permukaan kulit mulai dari suprapubis dan pembengkakan pada kaki kanan.
50

Servelle pada tahun 1985 melaporkan 768 kasus sindroma Klippel-Trenaunay dan
keberhasilannya melakukan operasi perbaikan vena dalam yang tersumbat pada beberapa
kasus tersebut. Ia menyatakan bahwa adanya vena dalam yang tersumbat merupakan
penyebab primer timbulnya sindroma ini.

Gambar 8.2 . Komplikasi multiple


micro arterio-venous fistula pada seorang perempuan berusia 65 tahun yang menderita
sindroma Klippel-Trenaunay. Tampak pelebaran vena superfisial pada lengan kiri, disertai
tanda-tanda peradangan akut (nyeri dan kemerahan pada kulit diatas pelebaran vena).
Fistula yang multiple terdapat didaerah bahu kiri yang diderita sejak lahir, menimbulkan
aliran darah yang kuat dan berlawanan dengan aliran darah pada vena superfisial lengan.
Pengelolaan kasus ini adalah dengan melakukan eksisi anerisma vena pada lengan dan
skleroterapi varises pada vena di daerah bahu kiri.

8.6 Sindroma Parkes-Weber


Tanda klinis adalah tanda-tanda pada Sindroma Klippel-Trenaunay + tanda malformasi
arteri (berupa fistula yang multipel), yaitu bila ditemukan bruit menunjukkan adanya
fistula av (bila dipertegas dengan pemeriksaan arteriografi, maka terlihat fistula multipel
dalam berbagai ukuran, ada yang halus dan ada yang besar) dengan prognosis yang lebih
berat karena aliran darah ke jantung menjadi lebih meningkat oleh adanya fistula, akan
memberatkan fungsi jantung, nyeri pada daerah bruit, ulkus akibat hipertensi vena. Kedua
jenis sindroma dapat disertai dengan abnormalitas limfatik.
8.6.1 Terapi: Dilakukan ligasi fistula yang berukuran besar. Embolisasi fistula (untuk
melakukan tindakan embolisasi biasanya bekerja sama dengan dokter dari Bagian Radiologi)
terutama yang berukuran kecil, tetapi biasanya sangat sulit untuk menemukan seluruh fistula
yang kecil-kecil tersebut karena biasanya berjumlah banyak sekali dan biasanya tidak
semuanya tampak dengan jelas pada arteriogram. Karena sering tidak berhasil menemukan
seluruh fistula tersebut (baik pada gambar arteriogram dan pada eksplorasi operatif) operasi
51

pengangkatan atau ligasi fistula dilakukan bertahap dengan tenggang waktu 1-2 tahun
(fistula kecil mungkin dengan berjalannya waktu dapat berkembang menjadi lebih besar).
Walaupun fistula tersebut dapat menimbulkan deformitas pada ekstremitas, tindakan
amputasi tidak dibenarkan kecuali menghadapi kasus yang tertentu yang membahayakan
jiwa penderita. Contoh: seorang anak perempuan berusia 8 tahun dengan pertumbuhan
tungkai kanan yang lebih cepat dibandingkan tungkai kiri, sehingga pertumbuhan tungkai
kanan menjadi sangat berlebihan dan mengganggu pertumbuhan fisik lainnya, dan
menyebabkan penderita hanya mampu berbaring saja. Dalam kasus tersebut harus dilakukan
amputasi diatas lutut karena tungkai kanan seolah-olah menjadi benalu yang menghisap
sebagian besar makanan, sehingga bagian badan lainnya menjadi kurus. Setelah dilakukan
amputasi terlihat perkembangan badannya membaik walaupun malformasi vena masih tetap
ada di daerah paha dan pantatnya.

9 Kaki Diabetes
9.1.Pendahuluan:
Infeksi pada kaki penderita diabetes merupakan penyebab morbiditas terpenting yang sering
dijumpai di klinik-klinik umum dan merupakan indikasi untuk rawat-inap, karena
penyembuhan luka tergantung pada perbaikan kadar sakar darahnya. Kaki adalah bagian
tubuh yang tersering terkena trauma (seperti terantuk benda keras, terinjak benda tajam).
Pada penderita diabetes trauma tersebut dapat disusul terjadinya luka dan menimbulkan
komplikasi infeksi sulit sembuh, sehingga membutuhkan perawatan yang lama. Infeksi luka
pada kaki penderita diabetes mellitus disebut sebagai kaki diabetes. Hasil penelitian
retrospektif selama setahun (2001) menunjukkan angka jumlah penderita kaki diabetes yang
dirawat inap di RSU Dr.Hasan Sadikin adalah sebanyak 66 orang atau 44,2% dari seluruh
penderita diabetes mellitus yang dirawat inap (Nurul 2002). Sering luka pada kaki menjadi
sulit sembuh dan bahkan akhirnya harus dilakukan tindakan operasi memotong (amputasi)
bagian dari jari, kaki atau tungkai penderita, akibat dari kerusakan jaringan yang tidak dapat
diselamatkan dan membahayakan nyawa penderita oleh adanya bakteri patogen dalam
darah (sepsis) yang berasal dari infeksi kaki diabetes. Penderita diabetes memiliki risiko
menderita ulkus yang terinfeksi jauh lebih tinggi dibandingkan pada penderita non-diabetes,
dan diabetes merupakan penyebab dari 50% kasus amputasi kaki pada kelompok kasus non-
trauma. Lebih dari 2/3 bagian dari seluruh kasus amputasi disebabkan oleh penyakit kaki
diabetes (LoGerfo,1995).
9.2.Ciri diagnosis:
52

 Tanda-tanda diabetes mellitus.


 Infeksi pada ulkus pada kaki yang sukar sembuh.
 Tanda-tanda iskhemi dan neropati.

9.3.Patogenesis:
Akibat peninggian abnormal kadar gula darah yang khronik akan terjadi proses non-
ensimatik glikosilasi (non-enzymatic glycosylation atau glycation, yaitu penggabungan glukosa
dengan protein dalam lingkungan kadar glukosa yang tinggi tanpa bantuan ensim) protein
dalam bentuk advanced glycation end products (AGE). Proses tersebut akan menghasilkan
radikal bebas yang selanjutnya akan menimbulkan dampak pada percepatan aterosklerosis
(makroangiopati) dan mikroangiopati yang merupakan perubahan-perubahan patologis yang
biasa ditemukan pada penderita penyakit diabetes mellitus yang menimbulkan gangguan
fungsi (disfungsi) sel endotel pembuluh darah (LoGerfo,1995; Bouskela, Bottino, Tavares
2003). Kecepatan pembentukan radikal bebas sangat tergantung pada kecepatan terjadinya
proses glikosilasi protein. (Jennings and Belch 2000)
Terdapat 3 gejala patologis yang bekerja saling berinteraksi bersama secara kompleks dan
jarang sekali muncul sendirian, yaitu : (1) neuropati, (2) infeksi, (3) iskhemia. Penyebab dari
iskemia pada kaki diabetik adalah oklusi arteri akibat gangguan aterosklerosis. Proses
terjadinya gangguan aterosklerosis lebih cepat dan lebih berat pada penderita diabetes
dibandingkan dengan penderita aterosklerosis non-diabetes. Infark miokardium yang
disebabkan aterosklerosis pada arteri Coronaria merupakan penyebab kematian yang
tersering. Gangren pada kaki lebih sering timbul hampir 100 kali dibandingkan pada
populasi penderita non-diabetes. Dijumpai peningkatan adesi trombosit kepada lapisan
endotel pembuluh arteri, yang mungkin disebabkan oleh peningkatan sintesa tromboxan-A2
dan penurunan produksi prostasiklin (prostacycline). Selain bahwa hipertensi, yang sering
dijumpai pada penderita diabetes, merupakan faktor risiko aterosklerosis. Semua jenis
ukuran arteri akan dikenai oleh proses aterosklerosis tersebut. Lokasi anatomik oklusi arteri
pada diabetes menurut hasil penelitian prospektif dari Strandness dan Conrad adalah
biasanya menyangkut arteri bagian distal dari arteri Poplitea dan arteri Tibialis. Selain itu
hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa walaupun sering dijumpai oklusi pada arteri
Tibialis dan arteri Peroneus , tetapi lebih jarang dijumpai oklusi arteri pada kaki terutama
arteri dorsalis pedis sebagai outflow (atau disebut distal run-off , yaitu pembuluh darah yang
menerima aliran darah dari protesa pembuluh) untuk operasi bedah pintas (by pass) . Hasil-
hasil tersebut diperkuat oleh hasil penelitian arteriografi dari Menzoian pada tahun 1989.
53

Pada penderita diabetes, terutama yang bukan perokok sering dijumpai arteri Femoralis
superfisialis atau arteri Poplitea yang tidak tersumbat, sehingga arteri tersebut dapat
digunakan sebagai inflow (arteri proksimal) yang mengalirkan darah ke distal (outflow)
melalui pembuluh darah pengganti (graft, dapat berupa vena Saphena magna atau
sejenisnya atau pembuluh darah buatan) pada tindakan operasi rekonstruksi arteri. Pada
percabangan arteri Tibialis, termasuk pembuluh arteri arkus pedis dan metatarsal,
umumnya dijumpai peningkatan kalsifikasi disekitar lamina elastika interna, tetapi keadaan
ini seringkali tidak menimbulkan oklusi (LoGerfo,1995).

9.4.Mikrosirkulasi:
Hasil penelitian prospektif dengan menggunakan mikroskop elektron, pengukuran tahanan
pembuluh kapilar (vascular resistance), dan pengukuran menggunakan alat pletismograf
(plethysmograph, alat yang dapat mengukur perubahan volume suatu organ), ternyata tidak
dijumpai adanya proses oklusi pada arteriola atau kapilar. Pengertian adanya oklusi
ditingkat mikrosirkulasi pada penderita diabetes akan berdampak menurunkan usaha untuk
melakukan tindakan rekonstruksi arteri. Mikroangiopati pada penderita diabetes mellitus
adalah adanya penebalan yang difus pada membrana basalis pembuluh kapilar yang antara
lain ditemukan pada kapilar kulit, kapilar otot skelet, kapilar retina dan kapilar glomeruli
dan medula ginjal. Tetapi penebalan tersebut tidak menimbulkan penyempitan (stenosis)
lumen. Walaupun terjadi penebalan membrana basalis, kapilar penderita diabetes lebih
mudah mengalami kebocoran albumin plasma, meski tidak terbukti kebocoran protein
plasma tersebut mengakibatkan gangguan nutrisi. Penebalan membrana basalis tersebut
tampak dibawah mikroskop dengan ditandai oleh penebalan lapisan hialin. Gangguan
pengangkutan oksigen barulah terjadi bila terdapat pertumbuhan hipertrofi lapisan sel
endotel yang akan menimbulkan penyempitan lumen arteri sehingga menghambat aliran
darah ke distal(Crawford dan Cotran 1999).

9.5.Neropat i:
Komplikasi tersering adalah polineropati pada sistim persarafan otonom dan somatis.
Adanya gangguan persarafan otonom akan menimbulkan aliran darah melalui hubungan
langsung antara arteriola dan venula (arterio-venous shunt atau hubungan pendek dari arteriola
ke venula menyebabkan aliran darah tidak memasuki kapilar), mengakibatkan gangguan
perfusi jaringan menjadi tidak efisien.
54

Neropati dapat terjadi bersama-sama dengan iskhemi. Tindakan operasi rekonstruksi arteri
yang tersumbat harus dilakukan untuk memperbaiki perfusi jaringan bagian distal yang
mengalami iskhemi, walaupun mungkin tidak dapat memperbaiki neropati yang sudah
terjadi (kerusakan sel saraf tepi yang permanen), tetapi dapat membantu memberikan
kesembuhan pada jaringan yang iskhemik. Penyebab kerusakan persarafan tepi diduga
disebabkan oleh penyumbatan (oklusi) vasa vasorum yang mengurus serabut saraf, sehingga
dapat mengganggu saraf sensorik (sensorik lebih dahulu menderita gangguan) maupun
motorik. Pada serabut saraf tepi yang terganggu akan terjadi keadaan bahwa semakin kearah
distal tungkai semakin berat kerusakannya, yaitu berupa proses demielinisasi segmental yang
terjadi akibat terganggunya metabolisme sel Schwann. Keadaan tersebut menimbulkan
melambatnya kecepatan konduksi pada saraf. Gangguan neropati yang terjadi biasanya
berkembang lambat dengan diawali gejala kejang otot pada malam hari dan parestesia,
kemudian berlanjut dengan gangguan sensasi getar, gangguan persepsi perabaan halus dan
nyeri, dan akhirnya kehilangan refleks tendon. Keadaan tersebut akan menimbulkan
kelemahan mekanisme pertahanan tubuh, yaitu menghilangnya reaksi terhadap rangsang
nyeri, trauma tekanan dan trauma minor lainnya. Sehingga karena tubuh tidak mengenal
rangsang dari trauma tersebut akan memudahkan timbulnya ulkus dan infeksi tanpa disadari
penderita. Neropati motorik akan menimbulkan gangguan fungsi otot-otot intrinsik kaki,
selanjutnya akan melemahkan reaksi terhadap rangsang tekanan pada telapak kaki, sehingga
menimbulkan gangguan keseimbangan fungsi fleksi metatarsal (claw position, yaitu akibat
dari persendian tulang-tulang kecil pada kaki yang menjadi kaku dan otot-otot kaki yang
mengecil dan berkerut, sehingga telapak kaki menjadi melengkung) dan fungsi fleksi dan
ekstensi jari kaki menjadi kaku, sehingga memudahkan timbul ulkus. Pada tingkat lebih
lanjut, akan terjadi kegagalan fungsi sendi antara tulang metatarsalia dan tarsalia, akhirnya
menimbulkan kerusakan tulang pergelangan kaki (ankle) yang terjadi tanpa luka. Kondisi kaki
tersebut dinamai sebagai kaki Charcot (Charcot osteoarthropathy).

9.6.Penemuan klinis:
9.6.1.Infeksi jaringan lunak.
Bakteri yang berkembang pada infeksi kaki diabetes sering bersifat polimikrobial. Seperti
yang telah dijelaskan dimuka bahwa trauma yang terjadi tidak menimbulkan rasa nyeri,
karena kehilangan refleks nyeri, reaksi inflamasi (nyeri, eritema, indurasi, pembengkakan)
menjadi tumpul, akibat proses neropati. Akibat infeksi yang terlambat ditangani akan
menimbulkan kerusakan jaringan yang berat, sehingga sering harus dilakukan amputasi jari
55

kaki. Kultur bakteri yang berasal dari cairan nanah pada luka infeksi harus dilakukan disertai
pemeriksaan kepekaan bakteri terhadap antibiotika. Sebelum dilakukan kultur, antibiotika
yang berspektrum luas harus diberikan sejak awal, dan selanjutnya berdasarkan hasil kultur
dan tes resistensi.

9.6.2.Osteomielitis.
Penderita diabetes mellitus terancam infeksi tulang oleh bakteri yang masuk melalui luka
pada kulit atau ulkus. Infeksi pada tulang dapat diawali oleh infeksi pada permukaan
kartilago sendi yang avaskular atau pada tulang-tulang sesamoid. Diagnosis osteomielitis
dilakukan dengan foto sinar X.

9.6.3. Iskhemi.
Nekrosis kulit terjadi akibat penurunan perfusi jaringan yang bersifat lokal maupun sistemis
akibat trauma tekanan (claw foot) sebagai konsekwensi dari gangguan sensibilitas dan
berkurangnya reaksi aktivitas bakterisidal lekosit terhadap inflamasi akibat peninggian kadar
gula darah, mikrosirkulasi yang terganggu pada daerah tekanan. Keadaan tersebut
memperburuk daya pertahanan tubuh penderita kaki diabetes. Pada daerah yang tidak
mengalami neropati tekanan oksigen (transcutaneous PO2 diperiksa dengan cara
menempelkan transducer khusus pada permukaan kulit ) pada kapilar kulit lebih tinggi pada
penderita diabetes mellitus dibandingkan dengan penderita non-diabetes.
Ulkus yang letaknya superfisial pada penderita kaki diabetes akan sembuh bila tekanan O2
kapilar paling sedikit sama dengan orang non-diabetes. Sebaliknya pada ulkus yang dalam
dan mencapai tulang disertai infeksi, biasanya keadaan mekanisme pertahanan tubuhnya
rendah, membutuhkan perbaikkan perfusi jaringan melalui operasi rekonstruksi arteri untuk
penyembuhannya.

9.7. Klasifikasi diagnosis tingkat kedalaman luka pada kaki diabetes:

Tabel 9.1. Klasifikasi Wagner untuk kaki diabetes.

Derajat Luka Abses Selulitis osteomielitis gangren


0 - - - - -
1 Permukaan. - - - -
2 Dalam: - - - -
mencapai
56

tendo atau
tulang.

Dalam
3 + + atau – + atau – _
Dalam
4 + atau – + atau – + atau – Jari kaki.
Gangren
5 + atau - + atau - + atau - Seluruh kaki.

9.8.Terapi:
Perfusi jaringan perlu diperbaiki melalui tindakan operasi rekonstruksi arteri. Seringkali
dilakukan operasi bedah pintas dengan menggunakan vena Saphena magna (berasal dari
tungkai sisi lainnya yang tidak menderita infeksi) yang menghubungkan antara arteri
Femoralis superfisialis (sebagai inflow) ke segmen arteri Poplitea (berlaku sebagai outflow atau
distal run-off), atau dapat pula ke arteri Tibialis atau ke arteri Dorsum pedis sesuai dengan
data hasil pemeriksaan arteriografi. Perbaikan perfusi jaringan dapat memperbaiki nyeri
menetap pada waktu istirahat (rest pain), menyembuhkan ulkus superfisialis yang belum
kerusakan pada tulang, sendi atau tendon. Penelitian menunjukkan bahwa hasil bedah
pintas ke arteri dorsalis pedis (femoro-dorsalis pedis by pass) memiliki angka keberhasilan
(patency and limb salvage rate) yang sama dengan bila disambungkan ke arteri Poplitea atau
ke arteri Tibialis (femoro-poplitea atau femoro-tibialis by pass). Angka keberhasilan operasi
rekonstruksi arteri dan angka mortalitas pada penderita diabetes adalah sama atau dapat
lebih baik dibandingkan pada penderita non-diabetes.

9.9. Daftar pustaka:


Nurul EC.Gambaran kasus kaki diabetik dan pengelolaannya pada pasien rawat inap di rumah sakit dr.Hasan
Sadikin Bandung periode 1 januari 2000 – 31 desember 2001.Skripsi, FK.Universitas Padjadjaran, Bandung.
Crawford JM and Cotran RS.The Pancreas.In: Robbins Pathologic Basis of Disease.6 th Ed.WB Saunders
Co.Philadelphia.1999:922-3.
Jennings PE and Belch JJF.Free radical scavenging activity of sulfonylureas:a clinical assessment of the effect of
gliclazide.Metabolism,vol.49,no.2,Suppl 1 (February),2000:pp 23-26.
LoGerfo,FW.The diabetic foot.In:Dean RH, Yao YST,Brewster DC.(Editors).Current Diagnosis & Treatment in
Vascular Surgery.1st Ed.Appleton & Lange, Connecticut.1995: 297-302.
Bouskela E, Bottino DA, Tavares JC. Microvascular permeability in diabetes. In: Scmid-Schonbein GW,
Granger DN. Molecular basis for microcirculatory disorders. Paris: Springer-Verlag France.2003:545-554.

____________________
57

10 Trauma vaskular.
10.1.Pendahuluan:
Kasus trauma vaskular termasuk masalah yang terpenting dalam penanganan kasus trauma
secara keseluruhan di Unit Gawat Darurat, mengingat akibat yang ditimbulkannya dapat
menimbulkan cacat atau bahkan kematian bila penanganannya terlambat atau terjadi
kesalahan bertindak (iatrogenik). Trauma vaskular yang disengaja atau kecelakaan
umumnya sering merupakan penyebab kecacatan dan kematian pada usia muda. Trauma
pada arteri dapat terjadi dengan menimbulkan kerusakan pada arteri sendiri (isolated) atau
menimbulkan kerusakan pada vena yang berdekatan, atau terjadi kerusakan sistim
muskuloskeletal, atau terjadi bersama dengan organ lain (multi-organ, misalnya pada trauma
vaskular di abdomen atau toraks).

10.2. Klasifikasi:
Umumnya perhatian pada penanganan trauma vaskular diarahkan terutama pada trauma
arteri, sebab insufisiensi arteri dapat menimbulkan morbiditas berupa iskhemia dan
amputasi. Sedangkan trauma vena seringkali tidak jelas tanda-tandanya atau tidak terdeteksi
karena tidak menimbulkan iskemia.
Pembagian trauma arteri adalah sebagai berikut dibawah ini:
10.2.1 Contusio:
Contusio dinding arteri menimbulkan hematom pada dinding (intramural) yang dapat
disebabkan trauma tumpul langsung (direct blow) atau akibat gegar jaringan (concussive efect)
dari tembusan peluru. Penyembuhan hematom pada dinding dapat menimbulkan
penyempitan atau penyumbatan (oklusi) lumen, atau kerusakan (lubang kecil) dinding
sehingga baru di keluhkan beberapa waktu kemudian dengan menimbulkan tanda-tanda
(delayed) pseudoanerisma (benjolan yang berdenyut dan menimbulkan bunyi arus aliran
darah) yang jelas. Pemeriksaan arteriografi dapat menunjukkan kelainan pada pembuluh
arteri ini.
10.2.2. Kerusakkan tunika intima (intimal disruption):
58

Keadaan ini dapat disebabkan oleh pengaruh tarikan (traction) pada trauma tumpul, atau
trauma langsung oleh benda tumpul, atau gegar jaringan akibat tembusan peluru.
Pemeriksaan arteriografi dapat menunjukkan adanya kerusakan permukaan intima.
10.2.3. Trauma tajam akibat tusukan benda tajam:
Penyebabnya adalah tusukan benda tajam (pisau), atau peluru, atau prosedur laboratorium
yang salah (iatrogenic). Arteriografi menunjukkan perubahan contour dinding pembuluh
yang eccentric, atau adanya extravasasi kontras melalui lubang kecil pada dinding.
10.2.4. Robekan parsial :
Terjadi karena trauma yang menyobek sebagian dinding pembuluh darah, sehingga dapat
terjadi trombosis atau perdarahan terus-menerus melalui bagian lumen yang terbuka,
mengakibatkan pseudoanerisma. Pseudoanerisma yang membesar menimbulkan tekanan ke
jaringan disekitarnya. Gambar arteriografi menunjukkan gambar ekstravasasi zat kontras
melalui lubang robekan dinding arteri (eccentric pooling contrast).

10.2.5. Fistula arterio-venosa:


Trauma menimbulkan kerusakkan pada dinding arteri dan vena yang berdampingan,
mengakibatkan hubungan langsung dari arteri ke vena. Arteriografi menunjukkan gambaran
pengisian vena (early venous filling) yang terlalu cepat.

10.2.6. Transeksi pembuluh darah:


Trauma menimbulkan pembuluh putus lengkap (completely rupture) sehingga ujung-ujung
berpisah saling menjauh, lumen arteri yang putus mengalami penyempitan (vasokonstriksi),
dan trombosis. Pada arteriografi tampak ujung pembuluh darah yang mengalami oklusi.

10.3. Diagnosis klinis:


Sumber perdarahan harus ditentukan melalui pemeriksaan fisik, terutama pada pasien yang
tidak stabil. Pemeriksaan fisik yang diperlukan adalah pemeriksaan palpasi denyutan arteri
yang dilakukan mulai dari bagian distal menuju ke bagian proksimal. Mengingat
pengalaman bahwa kebanyakan kasus trauma pada arteri, khususnya di ekstremitas, telah
berhasil ditentukan sumber perdarahannya hanya dengan pemeriksaan fisik (yaitu palpasi ),
maka pemeriksaan arteriografi hanya dilakukan bila keadaan hemodinamik yang stabil, dan
bila terjadi keraguan dalam penentuan diagnosis letak sumbatan arteri. Selain itu dapat
dilakukan ultrasonografi (berwarna atau color-duplex), CTscan, MRI (dua pemeriksaan terakhir
dilakukan khususnya untuk pemeriksaan sumber perdarahan dalam abdomen).
59

Pada kasus dengan diagnosis klinis yang meyakinkan (perdarahan tampak aktif mengalir
keluar melalui luka, hematom yang semakin membesar dan berdenyut, pulsasi bagian distal
tidak teraba, iskhemia bagian distal), harus segera ditangani didalam kamar operasi untuk
menemukan sumber perdarahan dan menghentikan perdarahan secepatnya.
Pada kasus yang meragukan (letak lokasi sumber perdarahan belum diketahui) perlu
dilakukan arteriografi. Sementara itu untuk menghentikan perdarahan harus dilakukan balut
tekan, tetapi dilarang melakukan penghentian perdarahan dengan memasang torniket !
Torniket yang dipasang pada bagian proksimal dan distal dari sumber perdarahan, akan
menimbulkan kerusakan jaringan dan menutup saluran kolateral yang berguna untuk bagian
distal. Dilarang pula memasang klem untuk menghentikan perdarahan secara membuta,
karena tindakan tersebut akan merusak secara masal pada arteri, vena dan saraf atau organ
vital lainnya. Senjata tajam yang menimbulkan trauma yang masih tertinggal dalam
jaringan, jangan dicabut sebelum sampai di kamar operasi untuk dilakukan operasi definitif
oleh seorang spesialis bedah. Pengangkatan senjata tajam yang menancap dalam pada
jaringan akan menimbulkan trauma nyeri dan perdarahan lebih banyak. Sonde untuk
mengukur kedalaman lubang akibat taruma hanya boleh dilakukan di kamar operasi ketika
operasi definitif oleh ahlinya.
Pasien dengan tanda vital yang stabil, tanpa perdarahan aktif atau iskhemia yang
membahayakan ekstremitas, memiliki waktu cukup untuk menilai kerusakan anatomi pada
kasus yang meragukan dengan melakukan tindakan diagnostik yang diperlukan (arteriografi
atau CT-scan). Trauma vaskular pada abdomen atau torak sering bersamaan dengan trauma
organ lain (trauma multiorgan).

10.4. Terapi:
10.4.1. Terapi non-Bedah:
Terapi non-bedah atau konservatif dilakukan pada: trauma pada pembuluh darah kecil dan
perdarahan telah berhenti/tidak aktif ; trauma akibat peluru berkecepatan rendah/daya
tembus rendah seperti pada peluru senapan angin; pseudoanerisma berdiameter < 5 mm
(observasi/follow-up terhadap kemungkinan ukurannya semakin membesar !).

Observasi secara klinis terhadap kemungkinan perdarahan aktif/berulang, hematoma


bertambah besar, iskhemia bagian distal. Observasi dapat dibantu dengan pemeriksaan
Doppler berwarna dan atau arteriografi.
60

Terapi embolisasi dilakukan untuk letak anatomis sumber perdarahan yang sulit dicapai atau
bila dilakukan operasi maka parutnya merusak penampilan muka/kosmetik (cabang
A.Carotis externa) atau membahayakan (A.Vertebralis, cabang tertentu A.Hipogastrika).

10.4.2. Terapi Bedah :


Penanganan trauma arteri yang membutuhkan tindakan reparasi, akibat trombosis akut dan
total, ruptur partial atau total, harus diusahakan anastomosis (terselenggaranya aliran darah
ke distal) dilakukan dengan memperhatikan golden period 6-8 jam, kecuali bila ditemukan
pulsasi di kaki/tangan masih teraba, atau distal perfusion masih relatif baik (hangat, capillary
refill masih cukup baik), yang menandakan bahwa pembuluh kolateral masih cukup efektif
dalam menjamin perfusi jaringan ke bagian distal dari lokasi trauma arteri.
Ruptur total pada arteri utama (A.Subclavia, A.Axillaris, A.Brachialis, A.Radialis dan
A.Ulnaris):
Bila perdarahan masih berlangsung maka pada dasarnya harus dilakukan segera usaha
menghentikan perdarahan dengan melakukan vascular clamping di proksimal dan distal dari
sumber perdarahan. Untuk sementara dalam persiapan, cukup dilakukan penekanan pada
luka atau balut tekan (bukan suatu torniket).
Setelah dalam narkose, dapat dilakukan teknik anastomosis langsung (end to end anastomosis)
bila : (1)jarak antara ujung arteri tidak berjauhan (0,5-1 cm setelah debridement ujung-ujung
arteri, bila lebih lebar dari jarak tersebut harus dilakukan interposition graft untuk mencegah
anastomosis yang tension dan anastomotic line yang menyempit),
(2) ruptur parsial ( dapat dilakukan anastomosis langsung bila luka clean cut, setelah
anastomosis lumen tidak lebih sempit dari 50% dari diameter asalnya; atau bila terjadi
penyempitan maka harus dilakukan patch graft atau dilakukan end to end anastomosis).
Teknik penjahitan:
Diusahakan continuous suturing, tetapi jangan terjadi efek purse string (jangan terlalu ditarik
benangnya). Mengingat interrupted suture dapat menimbulkan stump benang yang masuk
kedalam lumen arteri dan menimbulkan gangguan flow darah. Interrupted suture dapat
dilakukan bila continuous suture belum menguasai atau stump benang harus diperiksa jangan
ada yang masuk lumen setelah selesai penjahitan.
Lumen harus dibersihkan dari sisa trombus dengan bantuan larutan heparin encer (1 ml
heparin dalam 50 ml. larutan garam fisiologis atau ringer laktat), jaringan adventitia harus
dirapihkan supaya tidak masuk kedalam lumen yang terbuka pada saat penjahitan.
Pengambilan graft vena:
61

Graft vena untuk menyambung arteri (sebagai interposition graft, atau patch graft) diambil dari
vena saphena magna dari ekstremitas yang tidak menderita trauma (atau trauma ringan).
Dalam hal apabila kedua tungkai menderita trauma berat, maka vena cephalica atau vena
basilica pada lengan dapat diambil dan sebaliknya.
Prinsip yang harus diperhatikan dan diterapkan dengan konsekwen adalah meticulous
hemostasis (semua bleeding point harus ditutup), agar pascabedah dapat dilakukan pemberian
heparin untuk mencegah terjadinya pembekuan berulang pada anastomosis. Pilihan jenis
heparin adalah yang berberat molekul rendah mengingat komplikasi perdarahan yang jauh
lebih rendah. Dosis heparin dengan dosis rendah adalah 2 kali 20 mg subkutan daerah
lumbal selama 7-10 hari, dilanjutkan dengan cilostazol tablet. Arteriografi pascabedah tidak
perlu dilakukan bila secara pemeriksaan fisik dapat ditentukan patensi dari anastomosisnya.
Masalah trauma yang menimbulkan kerusakan pada vena dalam:
Ruptur pada vena dalam pada umumnya harus dicoba melakukan reparasi, kecuali bila
trauma menimbulkan kerusakan vaskular yang kompleks, keadaan hemodinamik tidak
stabil, cukup dilakukan ligasi pada vena dalam untuk memperpendek waktu operasi dan
menghentikan perdarahan. Walaupun dilakukan anstomosis untuk mereparasi vena dalam
yang ruptur, sering dijumpai trombosis pascabedah. Menurut penelitian Meyer dan
Timberlake, 59% kasus yang dilakukan interpositional graft mengalami sumbatan trombosis.
Perbaikan tungkai pascabedah tidak tergantung pada reparasi vena dalam. Edema
pascabedah setelah ligasi vena dalam hanya terjadi sementara saja, dan permanen hanya
pada sejumlah kecil penderita (permanent edema hanya 2% kasus). Setelah ligasi vena dalam
cukup dilakukan bebat elastis tungkai dan elevasi tungkai selama perawatan.
Kasus sumbatan yang melebihi golden period sehingga menimbulkan sindroma kompartemen:
Sindroma kompartemen tersebut harus dicegah karena akan terjadi produksi oksigen radikal
yang selanjutnya menimbulkan aktivasi lekosit dan adesi trombosit, kalsium influks kedalam
sel-sel, membrane ionic destruction, dan transudasi cairan ke ekstravaskular. Maka sambil
mempersiapkan operasi harus dilakukan pemberian cairan mannitol 25 gram per 12 jam
untuk membantu penurunan peningkatan tekanan intrafascial dan anti oksigen radikal,
tetapi pemberiannya harus dipertimbangkan pada kasus yang dalam keadaan hemodinamik
tidak stabil atau hipotensi.
Pembedahan harus segera dikerjakan di kamar operasi setelah diagnosis ditegakkan, dengan
memperhatikan resusitasi untuk mengembalikan volume darah yang hilang dengan cairan
kristaloid dan darah (perbandingan 3 bagian kristaloid untuk 1 bagian darah yang keluar)
sejak sebelum operasi dimulai di kamar operasi. Pengisian kekurangan cairan ini penting
62

mengingat pada saat dilakukan diseksi untuk menemukan lokasi trauma arteri akan terjadi
kehilangan darah lebih banyak pada penderita yang telah hipovolemia.

Hipotermia harus dihindarkan dengan cara memberi alas hangat, cairan kristaloid/darah
dihangatkan sebelum dimasukkan kedalam tubuh.
Antibiotika berspektrum luas harus diberikan seawal mungkin sebelum operasi dilakukan
agar kadar dalam darah tercapai pada saat insisi operasi dimulai.

Vena Saphena magna untuk grafting harus berasal dari tungkai yang sehat, bila kedua
tungkai menderita trauma maka vena diambil dari ekstremitas atas.
Insisi pada ekstremitas dikerjakan longitudinal, dan pada abdomen pada linea mediana.
Kontrol terhadap perdarahan arteri adalah dengan menemukan dan memasang klem bagian
proksimal dan distalnya. Pada situasi tertentu perdarahan dihentikan dengan penekanan
langsung pada tempat luka arteri, atau memasang Folley atau Fogarty catheter pada lumen
arteri.

Debridement harus dilakukan pada bagian luka arteri yang compang-camping dan nekrosis
(avital), terutama akibat peluru berkecepatan tinggi.
Trombus di bagian distal luka arteri dapat diatasi dengan pemberian heparin sistemik,
kecuali bila terdapat kontraindikasi (misalnya: terdapat perdarahan trauma capitis atau intra-
abdomen maka pemberian heparin dapat dilakukan secara lokal pada daerah operasi arteri).
Pemberian fibrinolitik (streptokinase atau urokinase) dalam jumlah terbatas dapat pula
diberikan intra-arteri pada daerah operasi (secara lokal) dengan risiko perdarahan yang
relatif sangat kecil bila tidak terdapat kontraindikasi.

Teknik operasi reparasi/rekonstruksi arteri adalah sbb.:


Lateral arteriorrhaphy (patch), end to end anastomosis, interposition graft, atau by pass grafting
menggunakan bahan (umumnya vena saphena magna) yang berasal dari tubuh pasien
sendiri (autogenous). Protesa dipakai untuk reparasi aorta dan pembuluh darah berkaliber
besar. Polytetrafluoroethylene (PTFE) mungkin lebih tahan terhadap infeksi (dibandingkan
dengan bahan dari dacron) pada daerah operasi yang terkontaminasi.
Spasme arteri pasca operasi (dapat diketahui/dipastikan dengan arteriografi) dapat diatasi
dengan pemberian vasodilator (papaverin atau tolazoline). Spasme arteri, antara lain, dapat
terjadi pada keadaan sindroma kompartemen.
63

10.3.4 Sindroma kompartemen akibat trauma vaskular


10.3.4.1 Faktor penyebab:
1. Kerusakan jaringan lunak (trauma otot)
2. Kerusakan arteri.
3. Kerusakan vena.
10.3.4.2 Gejala klinis dan patofisiologi:
Seringkali kerusakkan terjadi 2 faktor atau lebih secara bersamaan. Walaupun dapat terjadi
karena kerusakkan jar.lunak saja, tetapi akibat trauma cukup hebat.
Terjadi kerusakkan sel jaringan yang banyak ( endotelium rusak akibat iskhemia selanjutnya
timbul extravasasi cairan ke extravaskular dan intracompartment, sel jaringan otot rusak),
sehingga terjadi : akibat iskhemia (oklusi arteri di proximal): penumpukkan asam laktat
(menimbulkan asidosis), hiperkalemia, kerusakkan sel otot menimbulkan pooling
myoglobin, dan penumpukkan cairan ekstravasasi (akibat kerusakkan endotelium dan
gangguan drainase cairan vena) dapat beserta hemosiderin (hemosiderin pada yang khronik
misalnya oklusi vena dalam/deep vein thrombosis).
Akibat penekanan oedem intrakompartemen (5 P): nyeri/pain (lebih hebat dari nyeri fraktur
dan berlangsung terus menerus tanpa gerakan aktif/pasif jari-jari, walaupun nyeri ini sukar
dibedakan dengan nyeri akibat trauma/fraktur, denyut nadi berkurang/absen (pulselessness),
pucat/pallor, paresthesia, paralisis.

10.3.4.3 Diagnosis sindroma kompartemen :


Diagnosis harus cepat karena bila lebih dari 6-8 jam (golden period) belum ditanggulangi ,
dapat terjadi kerusakkan sel saraf dan otot (bila tidak ada kolateral yang menjamin perfusi
yang cukup ke bagian distal) . Oleh sebab itu diagnosis harus ditegakkan secara klinis !
Tindakan arteriografi, pengukuran tekanan intrakompartemen memperpanjang kehilangan
waktu; hanya dilakukan bila terdapat keragu-raguan. Diagnosis cukup dengan menentukkan
adanya : oedema (ukuran lingkar yang membesar dengan cepat) dan konsistensi jaringan
lunak, misalnya didaerah cruris/betis yang menderita, yang menjadi keras dibandingkan
kontralateral / sisi normal, gangguan sensibilitas pada jari-jari.
10.3.4.4 Tindakan fasiotomi:
64

Fasciotomi, dengan melakukan insisi tajam melalui kulit, subkutis dan membuka fascia
sehingga 4 kompartemen terbuka semuanya (kompartemen anterior, lateral, posterior
superfisialis dan posterior dalam). Harus diperhatikan pada bagian medial jangan memotong
Vena Saphena magna, pada bagian lateral jangan mencederai N. Peroneus superfisialis.
Golden Period : 6-8 jam (dihitung mulai dari saat kejadian trauma sampai dengan dimulainya
penanganan atau terselenggaranya aliran darah kembali lancar setelah rekonstruksi
selesai/klem vaskular dibuka), karena iskhemi berat yang berlangsung 6-8 jam menyebabkan
kerusakkan sel saraf dan otot (kulit mengalami kerusakkan pada iskemi berat yang
berlangsung selama 24 jam), sehingga patokan waktu ini harus diperhatikan pada
penanganan kerusakkan pembuluh darah dan jaringan lunak pada extremitas. Waktu adalah
penting diperhatikan saat melakukan operasi anastomosis arteri dan vena, pekerjaan tersebut
harus selesai (aliran darah kembali lancar) sebelum 6-8 jam dihitung mulai dari onset
trauma. Karena: akibat dari waktu iskhemi yang terlalu lama dapat menimbulkan Reperfusion
syndrome dengan gejala yang sama dengan sindroma kompartemen.

VOLAR DORSAL

Insisi Fasciotomy

Sisi Medialis Sisi Lateralis


Nervus Fibularis
Sisi Medialis Communis
(Peroneus)

Insisi Fasciotomy
65

Gambar 10.1. Skema fasciotomy pada ekstremitas superior dan inferior.

11 Penyakit oklusi arteri karotis

11.1 Pendahuluan:
11.2 Menentukan berat stenosis:
Dicapai konvensi bahwa berat stenosis tersebut diukur berdasarkan gambar arteriografi
A.Carotis interna, yaitu pengecilan sebanyak 50% lumen arteri, atau 75% reduksi cross-
sectional area/diameter, disertai hasil positif pada pemeriksaan pneumoplethysmography
(OPG) atau duplex scan. Persentase stenosis diperoleh pada gambar arteriografi A. Carotis
interna dengan membandingkan antara besar diameter transversal stenosis yang terkecil
dengan diameter transversal arteri bagian distal yang normal/tidak stenosis.
Secara klinis ditentukan high-grade stenosis : diameter transversal < 1 mm, merupakan risiko
besar akan terjadinya stroke baik pada pasien dengan tanpa gejala maupun yang bergejala.
Rekomendasi intervensi operasi pada stenosis > 70-75% pada pasien yang bergejala
(symptomatic) maupun tidak (asymptomatic).

11.3 Indikasi operasi carotid endarterectomy:


a. Transient ischemic attack (TIA).
b. Reversible ischemic neurologic deficit (RIND).
c. Completed stroke.
d. Stenosis berat pada A.Carotis interna yang tak bergejala.

Operasi carotid endarterectomy hampir selalu merupakan operasi untuk pencegahan


terjadinya stroke.

11.4 Prosedur pembedahan:


Anestesi umum merupakan cara pembiusan yang dianjurkan untuk endarterektomi.
66

Posisi terlentang (supine) dengan bahu diganjal bantal sehingga leher ekstensi dan kepala
digelengkan berlawanan dengan letak arteri yang akan dioperasi sedemikian rupa sehingga
dicapai posisi A. Carotis tersebut berhadapan dengan operator.
Monitoring tekanan darah dilakukan dengan memasang kanula intra-arteri radialis sejak pra-
operasi sampai dengan 24 jam pasca-bedah.
Hipertensi lebih sering terjadi pada penderita ini, maka selama operasi dapat diberikan
nitroprusside atau nitroglycerin. Keadaan hypotensi dapat diatasi dengan pemberian
tambahan cairan intravena dan pada keadaan tertentu disertai pemberian vasopressor.
Teknik operasi:
Insisi dilakukan tepat anterior dari otot sternocleidomastoideus. V. Jugularis interna
ditemukan dan merupakan tanda anatomis penting karena tepat dibawahnya terletak
A.Carotis. V.Facialis communis dan cabang-cabang vena facialis diikat dan dipisahkan
sedemikian rupa sehingga memudahkan retraksi V.Jugularis ke lateral lebih mudah
dilakukan dan selanjutnya memudahkan pula diseksi A.Carotis communis, interna dan
externa. Diseksi A.Carotis communis dikerjakan lebih dahulu untuk mengidentifikasi
N.Vagus yang terletak diposteriornya. Kauterisasi jangan dilakukan atau hati-hati karena
membahayakan saraf. Selanjunya diseksi kearah superior dimana dijumpai A.Thyreoidea
superior yang terletak pada junction dari A.Carotis communis dan externa. A.Carotis
externa di identifikasi dan dibebaskan; diseksi harus sedekat mungkin dengan arteri karena
dibelakang dari A.Carotis externa terletak N.Laryngeus superior. Gangguan pada saraf
tsb.menimbulkan suara (fatigue dan gangguan sensasi pharynx posterior). Kemudian
dilakukan diseksi membebaskan A. Carotis interna sampai terletak proksimal dari bifurcatio
dan letak batas atas perabaan atheroma. Diseksi A. Carotis interna kesuperior harus
memperhatikan N.Hypoglosus dan cabang descendens-nya yang harus disisihkan kemedial
dari posisi arteri carotis. Arteri-arteri tersebut dipasangi vascular tape/benang sutera 1-0
tanpa menimbulkan trauma pada N.Vagus dan saraf berfungsi penting lainnya. Kadangkala
perlu dilakukan pemotongan tendo M.Digastricus untuk membuka lapangan operasi arteri
carotis interna, tetapi hati-hati terhadap N Glossopharyngeus yang terletak posterior superior
dari diseksi arteri dan otot tsb.

Klem vaskular dipasangkan. Pemasangan intra-arterial shunt secara rutin dianjurkan.


Arteriotomi dilakukan seperlunya sebelum shunt dipasangkan. Shunt dipasang bagian
superior terlebih dahulu kedalam A.Carotis interna, setelah tampak back bleeding, shunt
dimasukkan kebagian inferior arteri (A.Carotis communis). Endartrectomy dilakukan hati-
67

hati. Intimal flap jangan sampai dibiarkan tanpa fiksasi ke dinding arteri ! Debris kecil/halus
harus dibuang.

Penutupan/penjahitan arteri dapat dikerjakan langsung secara continuous/jelujur , tetapi


dianjurkan menggunakan patch arterioplasty dengan bahan vena terutama pada arteri karotis
kecil (wanita).
Drain penrose dipasangkan setelah jaringan ditutup lapis demi lapis dan kulit dijahit
subkutikular. Drain diangkat pada hari ke-1 pascabedah, kanul intraarteri untuk memonitor
tekanan darah diangkat 6 jam pascabedah.

Komplikasi bedah:
Pada kasus-kasus di Amerika Serikat perioperatif stroke dan kematian terjadi 3% pada kasus
stenosis asymptomatic, 5% pada kasus TIA, 7% pada kasus stroke dengan defisit permanen,
dan 10% pada kasus restenosis. Morbiditas kurang dari 5% dan mortalitas kurang dari 2%.
Mortalitas sering berhubungan dengan infark miokardium pascabedah.

12 Limfedema

12.1. Pendahuluan:
Penyakit ini telah dikenal ratusan tahun yang lalu, tetapi pencatatannya baru dikenal setelah
Winiwarter menerbitkan buku berjudul ‘Die elephantiasis’ pada tahun 1892 yang berisi cara
mendiagnosa dan teknik pengobatannya. Walaupun demikian penanganan limfedema
dianggap masih belum memuaskan. Limfedema adalah penyakit yang menahun yang
perjalanannya perlahan tetapi progresif, tidak menimbulkan rasa nyeri karena
pembengkakannya berjalan lambat, disebabkan oleh adanya gangguan transportasi sistim
peredaran limfe pada ekstremitas. Limfedema dapat disebabkan oleh gangguan
pembentukkan pembuluh limfe, berupa aplasia, hipoplasia atau hiperplasia yang disertai
gangguan fungsi katup-katupnya. Tetapi dapat pula disebabkan kelainan kongenital atau
68

akibat penyumbatan pembuluh limfe yang didapat (seperti misalnya akibat penyinaran
kelenjar limfe atau pengangkatan kelenjar limfe). Limfedema dapat terjadi karena
pengumpulan cairan lymph dalam ruang interstitial, khususnya dalam lemak subkutan,
disebabkan kerusakan sistim pembuluh limfe yang telah terjadi sebelumnya. Penumpukkan
cairan limf yang abnormal tersebut yang terdiri dari molekul protein dalam jumlah banyak
(konsentrasi tinggi) akan menimbulkan inflamasi khronik dan fibrosis berlebih didaerah
subkutan.

12.2. Ciri Diagnosis:


 Pembengkakan ekstremitas tanpa nyeri tetapi progresif.
 Non-pitting edema dimulai dari bagian distal.
 Hyperkeratosis, fissuring pada kulit, onychomycosis.
 Pembengkakan pada dorsum pedis memberi gambaran ‘buffalo hump’ dan jari kaki
berbentuk persegi (stemmer’s sign).

Gambar 12.1. Limfedema tungkai kanan pada seorang wanita berusia 42 tahun.

12.3. Pemeriksaan laboratorium:


Lymphoscintigraphy dengan technetium-99m atau human serum albumin (HAS) colloid yang
disuntikkan interdigitalis pada kaki, dan gambar pembuluh limfe dan kelenjar limfe dicatat
69

oleh kamera-gamma apakah terdapat disfungsi atau obstruksi dari aliran dalam pembuluh
limfe.
Limfografi:
Dikerjakan dengan menyuntikkan cairan berwarna biru yaitu sejenis metilen-blue ( merek
dagang yang sering digunakan dan dijumpai dipasaran adalah Patent Blue ) pada subkutis
interdigitalis jari kaki. Selanjutnya setelah tampak pembuluh limfe yang menangkap cairan
biru, segera dilakukan kanulasi/kateterisasi. Melalui kanul/kateter tersebut disuntikkanlah
zat kontras (lipid-soluble contrast) sambil dilakukan foto dengan sinar –X.

12.4. Terapi konservatif:


Pemijatan dengan menggunakan alat lymphapress.
Pemijatan atau masase pada ekstremitas yang mengalami limfedema dapat dilakukan
dengan menggunakan alat lymphapress di Bagian Rehabilitasi Medis. Penderita juga
diwajibkan memakai pembalut elastis sepanjang waktu pengobatan (bandaging). Selain itu
dapat pula dalam waktu bersamaan diberikan obat-obatan golongan benzo-pyrone.
Pembalutan (bandaging).
Pembalutan dilakukan memasangkan (rolling) mulai dari jari-jari sampai dengan proksimal
ekstremitas. Selain pembalut, adalah kaus elastis (low-stretch bandage) yang khusus yang
dapat dikenakan pada ekstremitas yang menderita. Mengingat ekstremitas yang menderita
limfedema mudah terserang peradangan (akibat akumulasi protein yang menjadi media
pertumbuhan mikrobakteri), maka pembalut atau kaus yang dipakai harus setiap hari dicuci
dan diganti dengan yang baru atau yang bersih. Teknik dalam membalut dilarang terlalu
ketat sehingga menimbulkan nyeri dan analgetik dilarang digunakan untuk melawan nyeri
akibat pembalutan yang terlalu ketat. Kaus khusus limfedema harus dipilih sesuai ukuran
ekstremitas yang menderita.
Diuretika.
Pemberian diuretika memiliki pengaruh kecil dalam mengurangi limfedema. Sebaliknya bila
terapi diuretika berhasil mengurangi limfedema, berarti pembengkakan tersebut bukan oleh
limfedema. Tetapi diuretika mungkin berguna pada kasus udem campuran (bukan murni
limfedema).
Benzo-pyrones.
Benzo-pyrones adalah kelompok obat-obatan yang terdiri dari: coumarin (5,6 benzo--
pyrones), dan flavonoid ( -benzo-pyrones, contoh: hydroxyethyl rutoside, diosmin dan
hesperidin). Mekanisme kerjanya dalam mengurangi pembengkakan oleh cairan tinggi
70

protein adalah dengan menimbulkan proteolisis dan peningkatan jumlah makrofag, sehingga
penumpukkan protein yang berasal dari cairan limfe berhasil diatasi, inflamasi jaringan
berkurang, pembengkakan berkurang, oksigenisasi jaringan membaik dan fibrosispun
berkurang (karena makrofag dapat mengangkut kelebihan kolagen jaringan yang dihasilkan
oleh fibroblast). Penggunaan obat-obatan golongan benzo-pyrones telah dilakukan di
Bagian Bedah (poliklinik sub-bagian bedah vaskular) RSU Dr.Hasan Sadikin dalam periode
6 tahun (1996-2001), yaitu pada kasus limfedema menahun pada scrotum (2 kasus) dan
ekstremitas bawah (3 kasus) dengan menghasilkan reduksi udem yang nyata dalam waktu
antara 3-4 bulan pengobatan (limfedema tungkai tidak dilakukan pemijatan di Bagian
Rehabilitasi Medik karena alat tersebut sedang diperbaiki). Tetapi pada 2 kasus limfedema
tungkai lainnya menghasilkan reduksi yang tidak nyata; sedangkan 1 kasus lainnya terjadi
peningkatan udem yang lambat, yang mungkin disebabkan pelaksanaan pengobatan yang
tidak teratur. Pengobatan tersebut disertai nasihat agar menghindari jenis makanan
berprotein tinggi, tetapi diharuskan memilih makanan nabati yang berserat tinggi. Pada
pemeriksaan darah penderita oleh bagian Parasitologi tidak dijumpai tanda-tanda filariasis.
Complex physical therapy (CPT).

CPT adalah suatu jenis terapi fisik yang dikembangkan dari terapi fisik untuk limfedema
yang diperkenalkan oleh Winiwarter melalui tulisannya tahun 1892. CPT untuk mengatasi
limfedema yang dikembangkan di Australia (Casley-Smith 1997) terdiri dari 4 aspek, yaitu 1)
perawatan kulit untuk pencegahan dan pengobatan terhadap infeksi, 2) cara pemijatan yang
khusus, 3) terapi kompresi menggunakan pembalut atau kaus, 4) latihan gerakan fisik –
ekstremitas (exercise) yang secara aktif dilakukan setelah pemijatan. Pemijatan harus dimulai
dari daerah proksimal (untuk limfedema ekstremitas inferior, pemijatan pertama dilakukan
didaerah inguinal, setelah itu barulah mulai dengan pemijatan dari bagian distal jari-jari
kaki menuju perlahan-lahan ke arah proksimal) untuk memperlancar aliran limfe, setelah
dianggap cukup barulah dimulai pemijatan bagian distal. Hasil CPT menunjukkan reduksi
sebanyak rata-rata 60% dalam sekali masa pengobatan (3 minggu) bersamaan dengan
dilakukannya terapi kompresi, latihan fisik aktif dan obat-obatan benzo-pyrones.

12.5. Terapi bedah:


Pembedahan dilakukan bila penanganan secara konservatif selama 6 bulan dianggap gagal.
Operasi eksisi (debulking atau tissue-reducing ): menurut prosedur/teknik dari Charles,
prosedur Homans, prosedur Thompson (Thompson dermal flap). Penerapan operasi ini pada
71

limfedema luas pada ekstremitas, angka keberhasilannya rendah, dan menimbulkan


komplikasi nyeri dan gangguan mobilitas, sering menimbulkan kekambuhan
komplikasi infeksi, nyeri dan angka kekambuhan tinggi. Rekonstruksi pembuluh limfe:
dengan indikasi adanya obstruksi aliran limfe, dilakukan operasi bedah mikrolimfatik
menggunakan mikroskop operasi, yaitu melakukan anastomosis pembuluh limfe ke vena
terdekat (anastomosis limfo-venosa end to end yang dilaporkan oleh Sedlacek 1969), atau
anastomosis kelenjar limfe ke vena (lymphonodovenous shunt yang diperkenalkan oleh
Nielubowicz dan Olszewski 1966), atau rekonstruksi dengan melakukan anastomosis
pembuluh limfe ke pembuluh limfe (lympho-lymphatic anastomosis). Pada umumnya operasi
mikrolimfatik ini memiliki tingkat kesulitan tinggi, karena pembedah dituntut untuk
memiliki keterampilan operasi menggunakan alat bantu berupa mikroskop yang khusus
(lama waktu operasi 4-6 jam).

Pembuluh limfe pada tungkai normal


Pembuluh limfe pada tungkai limfedema

Gambar 12.2. Skema operasi limfatiko-limfatik (penyambungan / end to end anastomosis


antara pembuluh limfe yang normal dengan pembuluh limfe yang edema) pada limfedema
pada tungkai kanan .
72

13. Sindroma Raynaud

13.1 Pendahuluan.
Penyakit vaskular yang terdapat sindroma Raynaud, tergolong kedalam penyakit
vasospastik, masih belum jelas benar patofisiologinya. Sebagian besar belum diketahui
penyebabnya, walaupun sebagian besar kasus dijumpai perubahan fungsi normal pada
sistim persarafan simpatis. Sebenarnya penyakit ini sering menimbulkan gangguan fungsi
normal pada jari-jari dan ekstremitas (limb threatening, mengancam organ ekstremitas karena
menimbulkan iskhemia) seperti pada penyakit oklusi akibat atherosklerosis, tetapi
manifestasinya sering kurang mendapatkan perhatian dan terabaikan dan karena penyebab
kejadiannya tidak/kurang dipahami. Banyak kasus sindroma Raynaud tidak diketahui
penyebabnya, tetapi seringkali adanya sindroma Raynaud adalah salah satu gejala dari
suatu penyakit.
13.2 Ciri Diagnosis:
 Vasospasme periodik pada jari , terasa baal, geli,perubahan warna dari pucat,
sianosis,rubor.
 Serangan timbul akibat dingin, dengan tes merendam jari dalam air es.
 Wanita lebih sering dijumpai dari pria, dengan pulsasi nadi tetap teraba atau absen.
 Kadangkala berhubungan dengan penyakit sistemik tertentu.

13.3. Keterangan umum :


Pada tahun 1862 Maurice Raynaud menerangkan keadaan yang disebabkan oleh
vasospasme pada jari-jari.
Selanjutnya Allen dan Brown pada tahun 1932 menjelaskan bahwa sindroma Raynaud
(Raynaud’s syndrome) adalah kumpulan gejala-gejala vasospasme yang dapat merupakan
salah satu dari gejala suatu penyakit. Mereka menganjurkan penggunaan penyakit Raynaud
(Raynaud’s disease) untuk kategori pasien dengan penyakit yang bersifat benigna, tanpa
dijumpai proses yang berhubungan dengan penyakit lainnya walaupun semua tes diagnostik
telah dikerjakan dan memberikan hasil negatip. Sedangkan fenomena Raynaud (Raynaud’s
phenomenon) digunakan pada kasus dengan gejala penyakit yang lebih berat, yaitu adanya
73

sindroma Raynaud dan dijumpai adanya proses penyakit yang mendasarinya (misalnya
arteriosklerosis, penyakit kolagen pembuluh darah). Karena itu perbedaan antara penyakit
Raynaud dan fenomena Raynaud sebenarnya juga tergantung pada lamanya observasi pada
kasus tersebut. Sering diperlukan observasi cukup lama (minimum 2 tahun) sebelum
berhasil menemukan penyakit sistemik yang mendasarinya. Misalnya pada awalnya reaksi
serologik masih negatip, tetapi seringkali setelah observasi selama beberapa waktu kemudian
berubah menjadi positip) maka akan diketahui penyebab yang mendasarinya yaitu seperti
pada Tabel dibawah ini.

13.4 Penyakit-penyakit yang menunjukkan gejala sindroma Raynaud:

Penyakit jaringan ikat (connective tissue disorders):


Skleroderma, SLE, rheumatoid arthritis, sindroma CREST (calcinosis, Raynaud’s phenomenon,
esophageal hypomotility, sclerodactily dan telangiectasia), mixed connective tissue disease,
polimiositis, sindrom Syogren, sindrom Reiter, poliarteritis.

Trauma terpapar (exposure) dalam pekerjaan:


1)Pemakaian alat yang bergetar kuat (vibratory tools) seperti pada pekerjaan memperbaiki
jalan, pengeboran, penggergajian, dapat menimbulkan kerusakkan pada arteri tangan.
Awalnya daerah jari-jari terasa geli dan kurang peka, kemudian dapat berkembang menjadi
pucat pada ujung-ujung jari (acral) yang dapat membaik kembali setelah beberapa jam.
Tetapi bila trauma getaran terus dialami, jari-jari tangan dapat mengalami sianosis dan
sebagian penderita dapat berlanjut menjadi ulkus dan gangren. 2)Trauma keracunan akibat
terpapar (exposure) oleh vinylchloride (atau chloroethylene), yaitu substansi kimia yang
toksik dan karsinogenik yang digunakan oleh industri plastik sehingga dapat menimbulkan
penyakit pada pekerjanya. Penyakit keracunan kimia tersebut selain terdapat stenosis dan
kerusakkan arteri digitalis yang multipel (gejala sindroma Raynaud), juga ditemukan
kelainan kulit yang mengeras dan menebal (mirip scleroderma) pada dorsum tangan, acro-
osteolysis yaitu perubahan lisis ujung-ujung tulang jari tangan (phalanx terminal) dan kaki,
juga pada prosesus stiloideus ulna dan radius. 3)Jepitan arteri pada thoracic outlet
menimbulkan sindroma (thoracic outlet syndrome) yang mirip gejala Raynaud. Keadaan ini
dapat terjadi pada pelempar bola (pitcher) pada permainan baseball, perenang gaya kupu-
kupu, angkat besi, pendayung, sehingga terjadi hipertrofi otot scalenus anterior atau otot
pectoralis minor yang akan menimbulkan jepitan pada A.Subclavia, A.Axillaris dan
74

A.Circumflexa humeri posterior. 4)Jepitan saraf medianus pada pergelangan tangan


menimbulkan gejala nyeri, panas, parestesia pada jari tangan (carpal tunnel syndrome) ,
sehingga dapat menyerupai gejala Raynaud. Keadaan tersebut karena pada pergelangan
tangan saraf medianus dan tendon flexor masuk bersama-sama kedalam saluran yang
dibatasi tulang, sendi dan ligamentum transversus carpalis, maka saraf dapat terjepit bila
terjadi pembengkakan (edema) akibat suatu peradangan didaerah tersebut atau ganglion.

Endokrin:
Hipotiroidi, penyakit Graves, Penyakit Addison, Penyakit Cushing, tumor hipofungsi
hipofise.

Persarafan:
Polineropati, neurofibromatosis.

Penyakit oklusi arteri:


Arteriosclerosis, emboli arteri perifer, thromboangiitis obliterans.

Obat-obatan: Ergot, Beta-bloker, kontrasepsi oral, bleomycin, Vinblastine, Imipramine,


Bromocriptine, Clonidine, Cyclosporine.
Hematologis:
Lekemia, Metaplasia myeloid, Myeloma, Polisitemia, DIC, Cryoglobulinemia.

Lain-lain:
Gagal ginjal khronik, neoplasia, sindroma uremia hemolitik.

Sindroma Raynaud adalah kumpulan gejala akibat vasospasme pembuluh jari-jari secara
periodik, yang terdiri dari gejala jari-jari sukar digerakkan (numbness, seperti bila jari
kedinginan maka sukar digerakkan, perasaan berkurang dan terasa seperti kesemutan),
perubahan warna kulit mulai dari pucat (pallor) , sianosis sampai dengan timbulnya
kemerahan (rubor). Setelah terjadinya vasospasme, maka timbul hiperemia dan rubor. Dapat
pula terjadi hiperhidrosis. Tanda-tanda atau gejala-gejala tersebut bervariasi pada para
penderita. Perubahan yang bersifat episodik sering diawali tegangan/stress emosional,
terpapar hawa dingin, dan merokok. Sindroma Raynaud tersering terjadi pada jari-jari
tangan, tetapi dapat bersama dengan jari kaki.
75

Gambar 13.1. Gangren pada ujung jari ke 1 dan 3 tangan kanan dan jari ke-3 tangan kiri
pada penderita anak perempuan berusia 8 tahun yang menderita penyakit Raynaud; dengan
pengobatan konservatif berhasil sembuh seperti tampak pada gambar diatas.

13.5. Gejala klinis:


Organ yang diserang adalah biasanya jari-jari tangan dan tangan, tetapi dapat pula
menyerang jari-jari kaki, kaki, telinga, pipi dan hidung. Jari yang diserang dapat hanya
sebuah, walaupun tersering adalah semua jari-jari dan simetris. Keadaan emosional pasien
sangat penting diperhatikan, karena sering mengawali serangan vasospastik. Diantara waktu
serangan seringkali jari-jari normal. Wanita 4 kali lebih sering menderita penyakit ini
dibanding laki-laki.

13.6. Pemeriksaan Laboratorium:


Jenis pemeriksaan yang diperlukan untuk membantu diagnosis adalah :
Rheumatoid factor. Lupus Eritematosus (LE).
Antinuclear antibody (ANA). Immunoglobulin.
Double stranded DNA antibody (dsDNA). Complement C3 and C4.
Serologi Hepatitis B. Cryoglobulin assay.
Serum protein electrophoresis. Laju endapan darah, dan C-reactive protein (CRP).

Diagnosis penyakit sistemik jaringan ikat (connective tissue disorders) menghasilkan :


peningkatan ESR, ANA: (+), C3,C4: abnormal, Rhematoid factor: (+). Khusus untuk SLE:
antibodi terhadap dsDNA(+), anti-Sm (anti sel otot polos): (+), antibodi cardiolipin: (+).

Sulit untuk menjawab apakah sindroma Raynaud ini merupakan kelainan yang bersifat
benigna atau merupakan gejala awal dari suatu penyakit tertentu ? Seringkali pada kasus –
76

kasus yang tertentu memerlukan waktu lama untuk mencapai diagnosis terakhir, dapat
bertahun-tahun melakukan observasi sebelum berhasil menentukan penyebabnya.

13.7 Terapi:
Pencegahan terhadap trauma dingin, asap rokok, menjauhkan dari obat-obatan tertentu,
berhenti melakukan pekerjaan yang menggunakan alat bantu yang bergetar (contoh: alat
yang dipakai meratakan permukaan tanah untuk membuat jalan), dan latihan fisik
(berolahraga senam) harus dimulai secara teratur sedemikian rupa sehingga dapat mencegah
gejala penyakit muncul kembali. Kompresi pada saraf tangan (carpal tunnel syndrome) harus
dihilangkan melalui operasi. Dalam literatur obat-obatan yang tercatat biasa diberikan
untuk mengobati sindroma Raynaud adalah sbb.:
Nifedipine, Guanethidine, Reserpine, Prazocin, Tolazoline, dan Phenoxybenzamine.
Pengalaman di sub-Bagian Bedah Vaskular FKUP/RSUP dr.Hasan Sadikin menunjukkan
bahwa pemberian obat-obatan vasodilator berupa PGE1 (Prostaglandin-E1) intravena
(1X10-20 mikrogram/hari) selama 3 minggu telah menunjukkan hasil yang baik untuk
mengurangi atau menghilangkan keluhan vasospasme. Pemberian PGE1 dapat dihentikan
setelah memberikan hasil yang baik, kemudian dilanjutkan dengan pemberian obat per-oral
tablet cilostazol (3 X 1 tablet ) selama 3 – 6 bulan berikutnya.
Sebagai contoh dapat dikemukakan mengenai seorang anak perempuan berusia 8 tahun
(lihatlah Gambar 13.1 diatas) menderita tanda-tanda sindroma Raynaud yang berhasil
diobati dengan PGE1 i.v.dripping dilanjutkan tablet cilostazol peroral (walaupun
sesungguhnya cilostazol tidak dianjurkan untuk diberikan pada pasien yang bukan orang
berusia dewasa). Demikian pula halnya dengan penderita-penderita iskhemia tungkai akibat
peny.Buerger dan atherosclerosis obliterans yang dapat diatasi dengan cara pemberian
tersebut.

Kedua jenis obat tersebut (PGE1 + cilostazol) dapat pula diberikan bersama-sama dalam
waktu yang sama, mengingat hasil penelitian kedua jenis obat tersebut menunjukkan sifat
sinergistik mengaktifkan adenylate cyclase sehingga meningkatkan kadar cAMP pada sel
trombosit sehingga menimbulkan peningkatan kemampuan antiaggregasi trombosit .

Bagan 13.1. Predisposisi genetik.


Predisposisi genetik (genetic predisposition) untuk timbulnya penyakit autoimmun.
77

Sistim autoimmun menjaga daya tahan tubuh dari serangan ‘antigen’ yang dapat berasal dari:
-Toxin (asap rokok mengandung 2000 macam racun, atau obat-obatan tertentu ),
-Mikroorganisme (menimbulkan infeksi khronik),
-Sel kanker ,
-Sel asing (transplantasi organ) yg.berbeda spesies.

Reaksi Normal: sistim immun akan membuat antibodi dan sensitized lymphocytes (lekosit khusus
yg. mengenal dan menghancurkan antigen) yang bertugas menghancurkan antigen.

Reaksi penyakit autoimmun: sistim kekebalan tidak sanggup mengatasi rangsang antigen
sehingga terjadi : sistim immun menghancurkan sel normal (terjadi pada penyakit
autoimmun, hipersensitivitas, serupa dengan reaksi alergi), atau merusak 1 atau lebih tipe
jaringan tubuh, atau mengganggu pertumbuhan suatu organ, atau menimbulkan
perubahan fungsi suatu organ. Organ dan jaringan yang sering dikenai oleh penyakit
autoimmun adalah: komponen darah (eritrosit, pembuluh darah), jaringan ikat, kelenjar
endokrin (seperti tiroid, pankreas), otot, sendi dan kulit.
Penderita dapat dikenai lebih dari 1 kelainan /penyakit autoimmun dalam satu waktu
yang bersamaan.
Contoh penyakit autoimmun:
Tiroiditis Hashimoto, Penyakit Graves (thyrotoxicosis), Anemia perniciosa, Penyakit
Addison, Diabetes mellitus, Rheumatoid arthritis, SLE, dermatomyositis, Sindroma
Syogren, Multiple sclerosis, Myasthenia gravis, Sindroma Reiter.

14 Arteritis Takayasu

14.1 Pendahuluan:
Arteritis Takayasu adalah peradangan pembuluh arteri yang terjadi terutama pada aorta dan
percabangannya, tetapi penyebabnya belum jelas diketahui. Kasus arteritis Takayasu
tergolong jarang dijumpai dalam klinik; biasanya lebih sering dijumpai pada wanita muda di
negara-negara Asia timur (ras Asia ), berusia kurang dari 40 tahun atau pada masa
reproduktif, 7-8 kali lebih sering dibandingkan dengan jumlah penderita pria. Pada penyakit
ini terjadi peradangan khronis yang dapat menimbulkan penyempitan (stenosis), sumbatan,
pelebaran (anerisma) pada suatu segmen pembuluh aorta atau pada cabang-cabang besarnya.
Akibat penyempitan arteri pada ekstremitas unilateral tekanan darah terukur menjadi
berbeda dibandingkan sisi yang tidak menderita, dan pada penyempitan tersebut pada
78

auskultasi dapat terdengar bruit. Lokasi dan beratnya penyempitan dapat diketahui dengan
aortografi atau arteriografi. Arkus aorta dan cabangnya merupakan tempat pertama dan
tersering (predileksi) lesi stenosis ditemukan, berikutnya adalah aorta abdominalis bagian
proksimal dan percabangannya.
Penyakit inflamasi arteri lainnya adalah contohnya arteritis sel giant , poliarteritis nodosa,
arteritis hipersensitif, arteritis pada penyakit Kawasaki, arteritis pada penyakit Behcet.
Sedangkan penyakit arteri golongan non-inflamasi non-aterosklerosis contohnya adalah
displasia fibromuskular, sindroma Marfan, sindroma Ehlers-Danlos, pseudoxanthoma
elasticum, coarctatio aorta abdominalis. Menurut Patman dan Shutze (1995) arteritis adalah
sekelompok penyakit yang ditandai adanya perubahan akibat inflamasi dinding arteri yang
seringkali penyebabnya tidak diketahui atau akibat kelainan imunologik. Sedangkan istilah
vaskulitis lebih banyak digunakan karena penyakit-penyakit tersebut menimbulkan
gangguan baik pada pembuluh arteri maupun vena. Mekanisme patogenesisnya belum
sepenuhnya difahami, walaupun telah diketahui bahwa reaksi imun atau reaksi hipersensitif
mendasari mekanisme kejadian penyakit ini. Sedangkan menurut Horvath dan Hoffman
(1997) vaskulitis dapat terjadi sebagai penyakit primer atau sebagai gejala sekunder dari
penyakit lain yang mendasarinya. Vaskulitis yang sistemik dapat terjadi bila menyerang
multisistim, serta menunjukkan tanda-tanda penyakit yang merupakan kombinasi dari paling
sedikit dua dari tanda-tanda berikut ini: 1) demam yang persisten, 2) purpura, 3) neropati
perifer, 4) tanda-tanda iskemia, 5) glomerulonefritis.

14.2 Ciri-ciri diagnosis arteritis Takayasu:


 Klaudikasio, bruit, pulsus defisit, perbedaan tekanan darah yang terjadi unilateral pada
penderita muda usia < 40 tahun, penderita perempuan lebih sering 7-8 X dari pria.
 Stenosis aorta atau dibagian proksimal cabang utamanya.

14.3 Patologi:
Ditemukan inflamasi granulomatosa pada tunika adventitia, tunika media, lapisan elastika
dan vasa vasorum sehingga menimbulkan panarteritis (peradangan seluruh lapisan dinding
pembuluh). Setelah gejala inflamasi mereda didapatkan reaksi hipertrofi tunika intima,
proliferasi tunika adventitia dan penipisan tunika media, sehingga menimbulkan sklerosis
dan kalsifikasi pembuluh arteri yang mengakibatkan stenosis, oklusi atau anerisma.

14.4 Gejala klinis:


79

Keluhan penderita pada fase khronis adalah berasal dari hipertensi yang terjadi unilateral,
keluhan serebrovaskular, kegagalan fungsi jantung, klaudikasio, angina pektoris, impotensi.
Hipertensi dapat timbul akibat coarctatio aortae atau stenosis arteri ginjal. Stenosis terjadi
setelah bertahun-tahun lamanya menderita inflamasi pembuluh darah.

14.5 Penemuan laboratorium:


Pada saat terjadi peradangan sistemik umumnya dijumpai peninggian laju endapan darah
(LED), C-reactive protein (CRP), lekositosis dan anemia. LED dan CRP sering digunakan
untuk mengukur aktifitas inflamasi pada penyakit ini, walaupun demikian dari 60 penderita
yang diteliti LED-nya secara teratur selama 20 tahun, ternyata hanya sejumlah 72%
penderita dengan penyakit yang secara klinis masih aktif yang menunjukkan adanya
peninggian LED. Sebaliknya, 56% penderita yang secara klinis mengalami remisi ternyata
masih menunjukkan peninggian LED. Demikian pula dari 9 penderita yang secara klinis
mengalami remisi, spesimen biopsi berasal dari 4 orang diantaranya ternyata masih
menunjukkan tanda-tanda peradangan. Pada penderita yang masih aktif penyakitnya, pada
88% diantaranya ditemukan lesi stenosis yang baru pada pemeriksaan arteriografi ulang, dan
61% kasus yang diduga mengalami remisi ternyata ditemukan lesi vaskular yang baru .
Anemia ditemukan pada 50% penderita dengan penyakit khronis ini. (Horvath dan Hoffman
1997) Dengan demikian sesungguhnya tidak ada satupun pemeriksaan laboratorium yang
spesifik atau marker trauma endotelium yang berhubungan dengan diagnosa penyakit ini.

14.6 Terapi:
Pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan obat-obatan anti-peradangan non-steroid,
golongan kortikosteroid , cyclophosphamide (anti-neoplastik), atau cyclosporine. Bila ditemukan
tanda-tanda aktifitas inflamasi, kortikosteroid dosis tinggi harus diberikan , dan bila tidak cukup
menghambat aktifitas peradangan ditambahkan pula golongan cyclophosphamide. Pemeriksaan
LED dan CRP dapat digunakan untuk memonitor keberhasilan dalam menekan aktifitas
peradangan. Stenosis berat yang menimbulkan gejala hipertensi dan iskemia harus diatasi dengan
melakukan pembedahan (by pass). Inflamasi harus ditekan secara medikamentosa sebelum
dilakukan pembedahan untuk mencapai hasil yang optimal.
80

LAMPIRAN I :

Pemeriksaan Fisik pada kasus Bedah Pembuluh Darah

Nama : Kelamin: Tanggal pemeriksaan:


Alamat:
Pekerjaan:
Sejarah penyakit yang pernah diderita:
Alergi Operasi
Trauma
Kehamilan Flebitis
Emboli paru Infeksi berat
Jantung: Angina pektoris Dekompensatio Infark miokardium
Aritmia kordis Orthopnea Edema
Paru-paru
Diabetes
Hipertensi
Ginjal
Neurologis-serebrovaskular

Penyakit kelamin
Arthritis atau penyakit kolagen vaskular
Lain-lain

Sejarah penyakit dalam keluarga:


Diabetes / Hipertensi/ Gangguan pembekuan darah atau lainnya.

Kebiasaan pribadi dan sosial:


Alkohol Merokok
Pendidikan Psikologis
Pekerjaan Obat-obatan yang pernah digunakan.

Keluhan:
Nyeri
Kelemahan
Panas / dingin
Kepekaan
Perubahan warna
Pembengkakan
Ulkus
Varises pada ekstremitas inferior
Lokasi anatomi keluhan : disebelah kanan/kiri , medial/lateral , dorsal/ventral, pada:
Ekstrimitas superior/inferior, perut, punggung, leher.
Onset /saat timbulnya keluhan: tiba-tiba / lambat / bertahap (gradual)

Berapa lama keluhan sudah terjadi: sejak .. hari / minggu / bulan / tahun.

Frekwensi keluhan: - berapa kali per hari / minggu / bulan / tahun.


- kontinyu / intermittent / siang hari / malam hari.

Perjalanan penyakit: tak berubah / membaik / memburuk / fluktuasi.


81

Keluhan menghilang oleh: tidur / bekerja / latihan fisik (olahraga) / kegiatan lainnya.

Faktor yang mempengaruhi keluhan: (Memperberat / Menghilang / tidak berpengaruh)


Elevasi Digantungkan Latihan fisik Istirahat Panas
Dingin Perubahan cuaca Menstruasi Emosi Getaran (vibrasi)
Tekanan Posisi badan Aktifitas Lain-lain

Pemeriksaan Fisik
Berat badan:..Kg Tinggi badan:..cm
Tekanan darah: Nadi: Suhu:
Pemeriksaan umum: kesan sakitnya: ringan/sedang/berat dehidrasi/normal/overhidrasi
Pemeriksaan: Kepala dan leher: Jantung: Paru: Abdomen:

Ekstremitas Atas Bawah


Kanan Kiri Kanan Kiri
Kulit:
Hangat / dingin
Atrofis / menebal
Cyanosis / mottling (kulit busik)
Pucat / rubor (kemerahan)
Capillary filling
Rambut
Kuku

Udem: Pitting / Non-pitting


Ulkus
Pigmentasi
Eritema
Limfangitis
Pembengkakan sendi
Range of motion
Refleks saraf motorik
Fungsi sensorik

Survey arteri Kanan Kiri


Pulsasi / bruit / anerisma Pulsasi / bruit / anerisma
A.Carotis
A.Subclavia
A.Brachialis
A.Radialis
A.Ulnaris
Aorta abdominalis
A.Iliaca
A.Femoralis
A.Poplitealis
A.Dorsalis pedis
A.Tibialis posterior

Survey vena (Normal/menonjol/ varises/trombosis).


Kanan Kiri
V.Saphena magna
V.Saphena parva
Vena di daerah inguinal
Vena Perforator
Vena intracutaneous
82

Torniquet test

Perbedaan (diagnosa diferensial) ulkus yang terjadi pada ekstremitas inferior:

Insufisiensi vena Insufisiensi arteri Ulkus trofik


khronik (varises) khronik
Lokasi Distal, diatas Distal, malleolus Daerah ulkus sensasi
malleolus medial lateral, neropati menurun
Kulit ulkus Pigmentasi, fibrotik, Shiny, atrofi bercallus
lipodermatosclerosis
Nyeri nyeri tidak berat, Nyeri bertambah berat Tidak ada nyeri
hilang dengan elevasi dengan elevasi,
berkurang dengan
dependensi (kaki
digantungkan disisi
tempat tidur)
Gangren Tidak ada, kecuali Mungkin ada Biasanya tidak ada
bersamaan dengan
adanya oklusi arteri
Perdarahan Oozing dari luka, atau Tidak ada/sedikit Mungkin ada
perdarahan dari
pelebaran (varises)
vena berdinding tipis
Tanda lainnya Udem, Pulsasi berkurang, Sensasi menurun
dependent cyanosis dengan elevasi kulit
memucat,
dependent rubor

Perbedaan (diagnosa diferensial) pembengkakan (edema) :


VENA LIMFE JANTUNG/ORTOSTATIK LIPEDEMA
Konsistensi tegang Lunak/spongy pitting Non-pitting
Bilateral tidak Kadangkala Selalu Selalu
Nyeri Rasa Tidak ada Sedikit/tak ada Pegal
tegang/berat
Elevasi berkurang Sedikit berkurang Berkurang sekali Minimal
Kulit Atrofi, Hipertrofi,lichenified Licin,berkilat/shiny Tak ada
pigmentasi skin perubahan

Pembagian derajat gejala iskhemia tungkai menurut FOUNTAINE:

Fountaine I : gejala tidak khas:terasa dingin terutama pagi hari (sindrom Raynaud), pegal, linu.
Fountaine II : claudicatio intermittent (nyeri/kram otot setelah berjalan beberapa meter).
Fountaine III : rest pain (nyeri yg terasa terus-menerus walaupun pada saat istirahat).
Fountaine IV : terdapat luka/ulkus/gangren pada ujung jari kaki.
83

LAMPIRAN II :

Teknik bedah vaskular

Daftar pustaka:
84

Barnet,JL.Anorectal diseases. In: Yamada T.(Editor). Textbook of gastroenterology, Vol.2, Lippincott Williams
& Wilkins, Philadelphia, (1999)2083-6.
Calaitges SG,Silver D.Antithrombotic therapy. In:Rutherford RB.Editor.Rutherford Vascular Surgery.5th Ed. WB
Saunders Co.Philadelphia.2000:442-443.
Casley-Smith JR; Casley-Smith JR. Modern treatment of lymphedema.5th edition. The lymphedema Association
of Australia.Terrace Printing, Adelaide, Australia.1997.
Coleridge Smith PD (Editor). Microcirculation in Venous Disease. 2nd.Ed. Austin,USA.Landes
Bioscience.1998:1-228.
Corman, ML. Hemorrhoids. In: Corman,ML.Colon and rectal surgery. Lippincott Raven, Philadelphia
(1998)154-156.
Cotran RS,Kumar V,Collins T.(Editor).Robbins Pathologic Basis of Disease.6th Ed.WB Saunders
Co.Philadelphia.1999:56-58.
Crawford JM and Cotran RS.The Pancreas.In: Robbins Pathologic Basis of Disease.6 th Ed.WB Saunders
Co.Philadelphia.1999:922-3.
Darling R, Austen W, Linton R. Arterial embolism. Surg Gynaecol Obstet 1967;124:106.
Ericsson UB, Lindgarde F.Effects of cigarette smoking on thyroid function and the prevalence of goitre,
thyrotoxicosis and autoimmune thyroiditis. J Intern Med, 229(1); 67-71, Jan.1991.
Godeberge P. Atlas of hemorrhoids.A medical publication and service from Les Laboratoires Servier.1993.
Gruss JD.State of the Art of Modern PGE1 Treatment. The 2nd.Congress of Asian Vascular Surgeons, Seoul,
South Korea, June 2-4, 1996.
Horvath JR, Hoffman GS. Systemic Vasculitis:Pitfalls in Diagnosis and Treatment. Hospital Medicine 33 (8):10-
12,14-16,18,20,27-28,1997.
Ismail Y.2002. Gambaran kasus penyakit Buerger di poliklinik bedah dan rawat inap bedah RSUP Dr.Hasan
Sadikin Bandung periode I Januari 1997 sampai 30 Juni 2001.Skripsi.FK.Universitas Negeri Padjadjaran,
Bandung.
Jennings PE and Belch JJF.Free radical scavenging activity of sulfonylureas:a clinical assessment of the effect of
gliclazide.Metabolism,vol.49,no.2,Suppl 1 (February),2000:pp 23-26.
LoGerfo,FW.The diabetic foot.In:Dean RH, Yao YST,Brewster DC.(Editors).Current Diagnosis & Treatment in
Vascular Surgery.1st Ed.Appleton & Lange, Connecticut.1995: 297-302.
Lyerly HK.The handbook of surgical intensive care. Year book Medical Publishers,Inc. 1990: 417.
Myers KA.Classification and grading of chronic venous disease in the lower limbs: A consensus statement.
Aust.N.Z.J.Surg ., 65,1995: 769-772.
Nurul EC.Gambaran kasus kaki diabetik dan pengelolaannya pada pasien rawat inap di rumah sakit dr.Hasan
Sadikin Bandung periode 1 januari 2000 – 31 desember 2001.Skripsi, FK.Universitas Padjadjaran, Bandung.
Partsch H. A new classification scheme of chronic venous disease in the lower extremities- the CEAP-system.
Phlebology, 1994:3-8.
Patman RD, Shutze WP.Nonatherosclerotic Vascular Disease & Conditions. In: Dean RH, Yao JST,Brewster
DC.Current Diagnosis &treatment in Vascular Surgery, Prentice–Hall Int.Inc.1995:172-192.
Rosen RJ, Riles TS.Hemangioma. In: Strandness DE, Breda Av,Vascular diseases, surgical & interventional
therapy, London, Churchill Livingstone, 1994:1115-1120.
Rutherford RB.Lumbar sympathectomy:indications and technique.In:Rutherford RB. Rutherford Vascular
Surgery.WB Saunders Co.Philadelphia.2000:1069-77.
85

Staubesand, J.(Editor).Sobotta Atlas of Human Anatomy.Vol.2.Urban & Schwarzenberg, Munich. (1989)199.


Shionoya S. Buerger’s Disease.Pathology,Diagnosis and Treatment. The University of Nagoya Press 1990.
Shionoya S. Buerger’S disease: diagnosis and management. Cardiovascular Surgery 1 ( 3): 207-214, 1993.
Sjamsuhidajat R,de Jong W.Buku -ajar Ilmu Bedah.Edisi Revisi. VU university press/Penerbit buku kedokteran
EGC.1996
Wahid E, Yuwono HS.1991.Evaluasi penatalaksanaan penyakit Buerger di RS Dr.Hasan Sadikin Bandung tahun
1986-1991. FK.Universitas Negeri Padjadjaran, Bandung.
Weaver FA,Hood DB, Yellin AE,Vascular Injuries of the Extremities, In : Rutherford RB (Eds) : Vascular
Surgery, 5th ed. Philadelphia, WB Saunders, 2000, vol.1 : 862-870

Yuwono HS.Efektifitas PGE1 pada beberapa kasus iskemi jaringan ekstremitas. Muktamar IKABI, Hotel
Horison, Jakarta, 13 Juli 1999.
Yuwono HS.Pemeriksaan sitogenetika penderita penyakit Buerger. Muktamar IKABI, Hotel Horison, Jakarta, 13
Juli 1999.
Cheatle TR, Scott HJ. History of the Venous Ulceration.In: Coleridge Smith PD.(Editor) Microcirculation in
venous disease.2nd Ed.Austin, Landes Bioscience. 1998: 1-13.
Lowell RC,Glovicski P,Miller VM.In vitro evaluation of endothelial and smooth muscle function of primary
varicose veins.J Vasc Surg 1992;16:679-86.
Yuwono, HS. A structural histologic defect detected in the proximal great saphenous vein in case of distal stem
varicosis. Proceeding: European Congress of the International Union of Phlebology, Bremen,
Germany,September 26-October 1,1999.
Yuwono, HS. Tinjauan aspek vaskular penyakit hemoroid sebagai dasar pemikiran terapi konservatif. Simposium
sehari:Paradigma Baru Penatalaksanaan Hemoroid, 9-2-2002, di Hotel Horison, Bandung.

__________
86
87

Anda mungkin juga menyukai