Anda di halaman 1dari 6

Jangan Menunduk Terus, Tuan

Baru saja kemarin, diriku akhirnya keluar dari gudang. Ah, siapa pula yang mau gelap-gelapan dan
berdebu didalam ruang penuh sesak itu? Mana ada yang tahan coba? Syukurlah ada wanita paruh baya
yang berbaik hati mencari sepatu untuk anak lelakinya dengan ukuran kaki sebesar aku. Dengan corak perak
dan dasar yang berwarna hitam legam ini aku merasa aku ini keren. Aku juga teramat yakin akan tuan muda
yang akan memakaiku nanti. Pasti dia seorang jagoan di sekolahnya, dihormati, disegani, dan tak lupa
dengan gayanya yang begitu keren dengan rambut diusap minyak. Wih, semangat sekali aku!

Aku menunggu wanita baik hati tadi di kardusku. Meringkuk bahagia dengan kertas-kertas yang
dimampatkan ke tubuhku. Pelan-pelan aku mengintip, melihat teman-temanku di rak putih yang tua
dengan motif tak beraturan yang dengar-dengar manusia bilang itu sebuah ‘karat’. Mereka semua
menyaksikan kepergianku. Aneh saja rasanya berada di posisi ini. Lalu hei, wanita itu lama sekali, kemana
dia? Aku sangat bersemangat untuk peduli dan memperhatikan sekitar. Bahwa diujung sana, wanita paruh
baya itu sedang meniti tiap-tiap recehan yang ada. Satu persatu dari kantung lusuhnya ia keluarkan, ah,
dengan senyum aku hampir saja lupa. Senyum teduhnya, ah, anaknya berusia 17 tahun hari ini.

***

Ah, apa ini?

Gadis yang baru datang itu tersenyum, aduhai manis sekali. Baru saja dia bergumam atas kardus
yang diletakkan di depan pintu dengan pita merah muda. Mata kecilnya awas menatap sekitar, mencari
ibunya. Ah,kemana ibu? Tumben saja pikirnya ibunya tidak langsung muncul saat pulang sekolah. Lalu
seingat pikiran cerdasnya berdasarkan pengalaman ulang tahun beberapa tahun lalu, ibunya langsung
datang menyerbu. Menyambut dengan riang dengan daster terbaiknya. Sempat menimbang-menimbang
dan akhirnya duduk di kursi plastik dengan memangku kardus itu.

Kardus sepatu?

Dia hampir menangis. Lembut bak sutra sekali hatinya. Tidak ada yang tau apa yang dia rasakan
termasuk dirinya. Bahagia? Sedih? Aduhai rumitnya. Lihat kini akhirnya Clara punya sepatu baru. Amboi
indah sekali namanya, Clara, seperti nama spesial diantara nama pribumi di sekitarnya. Namanya pun
seindah dirinya. Indah hati yang terjunjung lebih penting daripada indah fisik. Maka sekarang mata cantik
itu menitikkan air mata, mengingat kemarin sang ibu sangat bekerja keras dibandingkan seperti biasanya.
Demi sepatu ini. Demi aku, ah, betapa beruntungnya aku.

Ujung-ujung matanya hampir menguapkan sesuatu. Tidak, dia berjanji untuk tegar dan menjadi
perempuan kuat yang tidak cengeng. Apalagi urusan alas kaki. Tertawa kecil gadis itu memikirkannya.
Tertawa getir. Ah, hidup ini rumit temanku. Mana ada yang bisa memilih takdir. Lalu rasanya ia ingin
bertanya pada semuanya kenapa pula dia berada di kota. Bertahan hidup di kota. Itu hanya akan
menambah kesulitannya saja. Desa lebih ramah pikirnya, lebih ramah karena semuanya. Tidak ada tekanan
disana, semuanya setara dan hidup bahagia. Tidak akan ada yang mengolok-olok dia hanya beralaskan
sandal jepit kemana-kemana hanya karena sepatu satu-satunya yang dia miliki sejak SD –dan bertahan
hingga SMP- sudah tak sanggup lagi dipaksakan masuk. Mulai koyak dan rombeng.

Tak ada yang akan menertawakan itu pikirnya jika dia ada di desa, dan hidupnya akan bahagia
disana. Tidak ada yang akan mengolok. Lalu tersenyum penuh arti. Arti yang rumit temanku, rumit sekali.
Senyuman yang getarannya sampai hati, mengikhlaskan. Lalu dengan lekas dia menggeleng gelengkan
kepala. Dia tak boleh berpikir seperti itu pikirnya. Kenapa pula dia harus peduli? Kenapa dia sangat lemah
sejauh ini? Hanya karena olokan alas kaki dan penampilannya selama ini tidak akan membuatnya kabur ke
desa. Lalu tertunduk lagi. Berat sekali pikirannya. Berat sekali bebannya. Tapi tidak apa, pikirnya. Dia masih
punya alasan untuk dia bahagia walau dia berbeda.

Ah, kangen sekali aku memakai sepatu.

Lalu tertawa cekikikan, apa sih kok lebay? Hanya beberapa tahun saja pakai sandal tentu tidak akan
membuatnya lupa rasanya pakai sepatu. Banyak lagak sekali pikirnya, memangnya dia seperti teman-
temannya yang lain? Mengganti sepatu seperti mengganti tanggal. Amboi bahkan tidak hanya sepatu,
segalanya, semuanya, semua yang membuatnya terasa berbeda. Lalu apa? Haha peduli amat? Lalu dengan
bersemangat dia membuka kardus sepatu itu.

Apa ini bukan untuk ku?

***

“Ih makin aneh saja dia,”

“Bisa bedain ga sih mana sepatu cowok mana cewek?”

“Dia mau tomboy ya ceritanya?”


“Apa perlu aku temani belanja sepatu? Agar tidak salah seperti itu”

“Kau pikir sepatumu akan menyesuaikan kakimu begitu? Ku pikir kau pintar”

“Lihat, dia seperti memakai perahu. Permisi, apa aku boleh membonceng di belakang sepatu mu?”

Baik sekali Tuhan, dia hanya tersenyum. Dia yang kupikir seorang lelaki dengan rambut diusap
minnyak ternyata hanya seorang gadis manis dengan sepatu kebesarannya sekarang. Terus melangkah
maju saja, tidak terlalu peduli walau aku tau hatinya sakit. Seperti dihujam banyak anak panah, tanpa
ampun. Jahat sekali manusia.

Hei, jangan menunduk Tuan.

Miris sekali rasanya, gadis manis majikanku ini harus berlagak seperti lelaki. Juga pantas aku sebut
Tuan. Bukan berarti jadi pandai bermain bola dan memakai celana bukan rok lagi, bukan. Maksudku
hatinya. Kuat sekali, lebih kuat dari siapapun yang ada, aku yakin, sangat yakin walau aku baru saja bertemu
dengannya.

Hei tegakkan kepalamu Tuan.

Aku ingin berteriak rasanya. Lihat, sudah berapa kali dia menunduk dan memandangiku. Walau raut
mukanya adalah kebanggaan, namun dia tetap tidak menyembunyikan rasa yang membuncah itu. Walau
dia terus tutupi dengan gurauan dan senyuman, tidak menyembunyikan fakta bahwa sebenarnya dia rapuh.
Amat pengertian terhadap ibunya yang ketika ditanya dengan lembut, “Buk, ini kan sepatu laki-laki?” lalu
segera meralat perkataan yang dia sudah anggap akan menyakiti hati ibunya. “Buk, hehehe ini terlalu besar
untuk ukuran Clara, dulu sepatu Clara hanya seukuran 39 buk” dan tersenyum bergurau.

Juga tetap menerima hadiah pada Sweet Seventeenth-nya ketika wanita itu berkata bahwa ia sangat
suka dengan modelnya tanpa lihat ukurannya, ukuranku, 41. Aku mencemaskan setiap ia hendak berlari
dengan sepatu yang bahkan sangat besar untuknya. Gapapa, suatu saat mungkin cukup. Ucap kecilnya
setiap dia menunduk tersenyum padaku dengan manis. Aduhai dia sangat pintar untuk mengetahui bahwa
kakinya tidak akan bertumbuh banyak-banyak ketika sudah menginjak remaja. Dia lagi-lagi hanya
menghibur dirinya dengan kepiawaiannya. Ini semua tentang perbedaan. Maka jika aku menjadi manusia,
aku akan menuntut semboyan itu. Seharusnya tidak selalu diartikan pada keaneka ragaman ras dan suku.
Tapi juga diartikan sebagai keaneka ragaman kondisi, keadaan ekonomi, eh? Sejak kapan aku begini?
Untung aku hanya sepatu ya?

Berat sekali jadi manusia. Karena terlalu banyak, maka timbul juga lah perbedaan yang banyak. Tapi
entahlah, mungkin mereka hanya masyarakat gadget yang tidak terlalu peduli masalah begini. Waduh aku
ngomongin apa sih? Kenapa jadi ngelantur gini? Aku hanya berharap suatu saat akan ada yang berjuang
untuk orang-orang seperti majikanku. Berjuang untuknya melawan suka dukanya perbedaan.

***

Kutipan ini berasal dari pupuh 139, bait 5.

Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa,


Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.

Terjemahan:

Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.


Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu.

Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.

Aku harap, segala kondisi pahit ini kelak akan menjadi Bhineka Tunggal Ika.

Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu.

Berbeda, tapi tetap satu.

Setidaknya, menjadi satu kesatuan.

Tidak peduli mereka miskin, tidak peduli mereka kaya.

Tidak peduli mereka partai apa.

***
Dear, Diary

Hei, menurutmu, Apa itu Perbedaan?

Ah, tanpa perlu ada lisan yang menyampaikan,

sejatinya semua sudah tahu betul dan paham maksud kata itu.

Sudah selama ini bumi kita hidup, ribuan tahun lamanya hingga hewan tak lagi seukuran gunung.

Ribuan tahun lamanya bumi berputar tanpa merasa perlu beristirahat sejenak untuk mengusap peluh.

Tapi, kenapa?

Pemikiran para makhluk berakal di bumi kita atas kata itu terlalu rumit, terlalu dibuat rumit.

Bahkan kita semua tau, jarak adalah bagian kecil perbedaan yang sederhana.

Lalu karena ada jaraklah, kita bisa melompat dan bergerak.

Entah sebagai pemicu atas sebuah gerakan, atau menjadi sebuah alasan untuknya,

Atau karena kita bergerak, perbedaan itu tercipta.

Perbedaan membuat kita hidup, atau bisa menjadi alasan untuk kita hidup.

Lagi-lagi perbedaanlah yang membuat kehidupan ini tidak melulu monokrom, hitam dan putih, siapa pula
yang akan menjadi penentunya?

Tidak akan ada selain Yang Maha Adil yang dapat melakukannya.

Karena? Ya, itu dia, kita semua berbeda apapun itu. Sudut pandang, latar belakang, cara berpikir.

Dan kenapa memangnya kalau berbeda?

Dunia sudah telalu lama ada untuk membuktikan bahwa hanya karena adanya perbedaanlah yang
membuat kehidupan ini masih saja ada sampai sekarang.

Perbedaan hanya butuh keseimbangan.


Perbedaan pula butuh ikatan agar semuanya menjadi satu kesatuan, kekuatan terbesar yang mungkin saja
terpendam,

dan akan selalu terpendam jika generasi ini hanya menatap pilu yang terjadi tanpa aksi hingga rambut tak
hitam lagi.

***

“Hei, ada apa? Jangan terus menunduk ya?”

Bungkusan itu diberikan kepada pengemis kecil yang lusuh.

Pengemis itu mendongak, dan segera melihat isinya.

Sepatu itu diberikan oleh wanita manis yang tersohor dan sukses.

Teramat kaya raya.

Bahkan sebenarnya dia bisa membeli yang baru untuk sepatunya. Tidak yang kebesaran lagi tentunya.

Tapi dia abai dan tertawa jika ada yang bertanya kenapa aku selalu dipakainya ketika menghadiri
pertemuan.

Tadi pagi baru saja dia menyelesaikan pertemuannya di gedung negara.

Tentang ekonomi, ah, apa namanya ya?

Hmm, menteri? Ah, sepatu mana tau banyak?

Anda mungkin juga menyukai