Anda di halaman 1dari 28

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi telinga tengah


Telinga tengah terdiri dari membran timpani, kavum timpani, tuba
eustacius dan prosesus mastoideus (Moore, 1989; Dhingra, 2004).

2.1.1 Membran timpani


Membran timpani di bentuk dari dinding lateral kavum timpani yang
memisahkan liang telinga luar dari kavum timpani. Membran timpani
mempunyai ukuran panjang vertikal rata-rata 9 -10 mm, diameter 8 - 9 mm
dan tebalnya kira-kira 0,1 mm. Membran timpani miring ke medial dari
posterior superior ke anterior inferior, membentuk sudut kira-kira 140º
antara kavum timpani dan liang telinga luar (Moore, 1989).
Membran timpani terdiri dari tiga lapisan. Lapisan skuamosa
membatasi telinga luar sebelah medial, lapisan mukosa membatasi telinga
tengah sebelah lateral dan jaringan fibrosa terletak diantara kedua lapisan
tersebut. Lapisan fibrosa terdiri dari serat melingkar dan serat radial yang
menjadikan bentuk dan konsistensi membran timpani. Serat-serat radial
masuk kedalam perikondrium lengan maleus dan kedalam annulus
fibrosa, membentuk gambaran kerucut yang penting secara fungsional.
Serat melingkar memberikan kekuatan bagi membran timpani telinga
tanpa mempengaruhi vibrasi, dibantu oleh beberapa serat tegak lurus
yang memperkuat bentuknya. Sifat arsitektur membran timpani
membuatnya dapat menyebarkan energi vibrasi secara ideal
(Austin,1997).
Membran timpani dibagi dalam dua bagian:
a. Pars tensa, merupakan bagian terbesar dari membran timpani.
Bagian pinggirnya menebal membentuk jaringan cincin
fibrokartilaginous yang disebut dengan annulus timpanikus yang
terdapat didalam sulkus timpanikus. Bagian sentral dari pars tensa

Universitas Sumatera Utara


melekuk kedalam ke ujung maleus disebut umbo. Refleks cahaya
dapat terlihat memancar dari ujung maleus ke pinggir membran
timpani di kuadran anteroinferior.
b. Pars flaksida (Shrapnel’s membrane), terletak diatas prosesus
lateral maleus antara notch of Rivinus dan plika maleolaris anterior
dan plika maleolaris posterior (Dhingra, 2004).

2.1.2 Kavum timpani (Telinga Tengah)


Telinga tengah (kavum timpani) terdiri dari suatu ruang yang terletak di
antara membran timpani dan kapsul telinga dalam, tulang-tulang dan otot
yang terdapat di dalamnya beserta penunjangnya, tuba Eustachius dan
sistem sel-sel udara mastoid. Batas-batas superior dan inferior membran
timpani membagi kavum timpani menjadi epitimpanum atau atik,
mesotimpanum dan hipotimpanum (Austin, 1997).
Hipotimpanum adalah suatu ruang dangkal yang terletak lebih rendah
dari membran timpani. Permukaan tulang pada bagian ini tampak seperti
gambaran kerang karena adanya sel-sel udara berbentuk cangkir. Dinding
ini menutupi bulbus yugularis. Kadang-kadang suatu celah pada dinding
ini menyebabkan sebagian bulbus yugularis dapat masuk kedalam
hipotimpanum (Austin, 1997).
Mesotimpanum, di sebelah medial dibatasi oleh kapsul otik, yang
letaknya lebih rendah daripada nervus fasial pars timpani. Suatu
penonjolan yang melengkung pada bagian basal kohlea terletak tepat
disebelah medial membran timpani dan disebut promontorium. Didalam
promontorium terdapat beberapa saluran-saluran berisi saraf-saraf yang
membentuk pleksus timpanikus. Disebelah posterior promontorium pada
bagian superior terdapat foramen ovale (vestibuler) dan pada bagian
inferior terdapat foramen rotundum (kohlear), yang keduanya terletak
pada dasar suatu lekukan. Kedua lekukan tersebut berhubungan pada
batas posterior mesotimpanum melalui suatu fosa yang dalam, yaitu sinus
timpanikus. Pada foramen ovale terdapat lempeng kaki stapes yang

Universitas Sumatera Utara


terletak pada bidang sagital. Foramen rotundum terlindung dari
penglihatan karena bagian ini terletak pada bidang melintang sebelah
anterior suatu tepi penonjolan dari promontorium. Foramen rotundum
ditutupi oleh suatu membran yang tipis yaitu membran timpani sekunder.
Dinding posterior mesotimpanum dibentuk oleh tulang yang menutupi
saraf fasial pars desendens. Tulang ini biasanya mempunyai sel-sel
pneumatisasi dan sering mempunyai hubungan dengan sistem sel udara
mastoid. Sebelah superior dinding ini terdapat suatu penonjolan berbentuk
kerucut yang disebut eminensia piramid, melindungi muskulus stapedius
dan tendonnya. Suatu cabang saraf ke-7 menginervasi otot tersebut.
Disebelah lateral eminensia piramid terdapat foramen untuk nervus korda
timpani yang berjalan dibagian inferior melalui suatu saluran untuk
bergabung dikanalis fasial atau pada foramen stilomastoid (Austin, 1997).
Suatu ruang yang secara klinis sangat penting ialah sinus posterior
atau resesus fasial yang terdapat disebelah lateral kanalis fasial dan
prosesus piramidal. Dibatasi sebelah lateral oleh anulus timpanikus
posterosuperior, sebelah superior oleh prosesus brevis inkus yang
melekat ke fosa inkudis. Ruang ini memanjang dari ruang telinga tengah
posterosuperior ke aditus ad antrum dan penyakit sering tersembunyi
disini. Pendekatan terhadap ruang ini dari antrum mastoid akan membuka
struktur tympanum posterior dan nervus fasial (Austin, 1997).
Bagian anterior saluran fasial pars timpani ditandai oleh penonjolan
berbentuk pengait di ujung oleh posterior saluran otot tensor timpani, yaitu
prosesus kokleariform yang membuat tendon muskulus tensor tersebut
membelok kelateral kedalam telinga tengah. Saluran muskulus tensor
timpani berjalan kedepan ke dalam permukaan superior tuba Eustachius
dan merupakan tanda batas anterosuperior mesotimpanum (Austin,
1997).
Pada dinding anterior mesotimpanum terdapat orificium timpani tuba
Eustacius pada bagian superior dan membentuk bagian tulang dinding
saluran karotis asenden pada bagian inferior. Dinding ini biasanya

Universitas Sumatera Utara


mengalami pneumatisasi yang baik dan dapat dijumpai bagian-bagian
tulang yang lemah (Austin, 1997).
Dalam epitimpanum terdapat inkus dan maleus. Di bagian superior
epitimpanum dibatasi oleh suatu penonjolan tipis os petrosus, yaitu
tegmen timpani yang merupakan kelanjutan tegmen mastoid posterior.
Dinding medial atik dibentuk oleh kapsul atik yang ditandai oleh tonjolan
kanalis semisirkuler lateral. Pada bagian anterior terdapat bagian ampula
kanalis superior, dan lebih anterior ada gangglion genikulatum yang
merupakan tanda ujung anterior ruang atik. Dinding anterior terpisah dari
maleus oleh suatu ruang yang sempit, dan disini dapat dijumpai muara se-
sel udara yang membuat pneumatisasi pangkal tulang pipi (zygoma).
Dinding lateral atik dibentuk oleh os skuama yang berlanjut ke arah lateral
sebagai dinding liang telinga luar bagian tulang sebelah atas. Di posterior,
atik menyempit menjadi jalan masuk ke antrum mastoid, yaitu aditus ad
antrum (Austin, 1997).

2.1.3 Tuba Eustachius


Tuba Eustachius menghubungkan rongga telinga tengah dengan
nasofaring. Bagian lateral tuba Eustachius adalah yang bertulang,
sementara dua pertiga bagian medial bersifat kartilaginosa. Origo otot
tensor timpani terletak disebelah atas bagian bertulang sementara kanalis
karotikus terletak dibagian bawahnya. Bagian bertulang rawan berjalan
melintasi dasar tengkorak untuk masuk ke faring diatas otot konstriktor
superior. Bagian ini biasanya tertutup tetapi dapat dibuka melalui kontraksi
otot levator palatinum dan tensor palatinum yang masing-masing disarafi
pleksus faringealis dan saraf mandibularis. Tuba Eustachius berfungsi
untuk menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi membran timpani
(Liston, 1997).
Pada orang dewasa perbedaan tinggi muara tuba Eustachius di kavum
timpani dan nasofaring sekitar 25 mm. Tuba Eustachius panjangnya 30
sampai 40 mm, pada anak ukurannya lebih pendek dan lebih datar.

Universitas Sumatera Utara


Dinding tuba Eustachius mempunyai bagian tulang rawan yang
merupakan 2/3 seluruh panjangnya mulai dari muaranya di kavum
timpani, sedangkan 1/3 bagian yang lain berdinding tulang rawan, turun ke
arah nasofaring. Dinding tulang rawan ini tidak lengkap, dinding bawah
dan lateral bawah merupakan jaringan ikat yang bergabung dengan m.
tensor dan levator veli palatini. Pada keadaan istirahat, lumen tuba
Eustachius tertutup. Terdapat mekanisme pentil pada tuba ini, udara lebih
sukar masuk ke kavum timpani dari pada keluar (Helmi,2005).
Fungsi tuba Eustachius :
Secara fisiologi tuba Eustachius melakukan tiga peranan penting yaitu:
 Ventilasi dan mengatur tekanan telinga tengah.
Pada pendengaran yang normal, perlu sekali bahwa tekanan
pada dua sisi membran timpani harus sama. Tekanan positif atau
negatif mempengaruhi pendengaran. Dengan begitu tuba Eustachius
harus terbuka secara periodik untuk menyeimbangkan tekanan udara
pada telinga tengah. Normalnya tuba Eustachius tetap tertutup dan
terbuka secara intermitten selama menelan, mengunyah dan bersin.
Sikap badan juga mempengaruhi fungsi, pembukaan tuba kurang
berguna pada posisi berbaring dan selama tidur dikarenakan
pembendungan vena. Fungsi tuba yang buruk pada bayi dan anak-
anak bertanggung jawab pada masalah telinga pada kelompok usia
tersebut. Itu biasanya normal kembali pada usia 7-10 tahun.
 Perlindungan terhadap tekanan bunyi nasofaring dan reflux sekresi
dari nasofaring.
Secara abnormal, tekanan suara tinggi dari nasofaring dapat
dialirkan ke telinga tengah jika tuba terbuka, dengan demikian
mengganggu pendengaran yang normal. Biasanya tuba Eustachius
tetap tetutup dan melindungi telinga tengah melawan suara tersebut.
Tuba Eustachius yang normal juga melindungi telinga tengah dari
reflux sekresi nasofaring. Reflux ini terjadi dengan mudah jika diameter
tuba lebar (patulous tube), pendek (seperti pada bayi), atau membran

Universitas Sumatera Utara


timpani yang perforasi (menyebabkan infeksi telinga tengah yang
persisten pada kasus perforasi membran timpani)
Tekanan tinggi di dalam nasofaring juga dapat memaksa
sekresi nasofaring ke dalam telinga tengah , misalnya meniup hidung
dengan kuat.
 Pembersihan sekresi telinga tengah
Membran mukosa tuba Eustachius dan bagian anterior telinga
tengah dilapisi oleh sel ciliated columnar. Silia bergerak kearah
nasofaring. Ini membantu untuk membersihkan sekresi dan debris
dalam telinga tengah ke arah nasofaring. Fungsi pembersihan
dipengaruhi oleh pembukaan dan penutupan yang aktif dari tuba
(Dhingra PL 2007; Kumar 1996)
Tuba biasanya tertutup dan akan terbuka melalui kontraksi aktif otot
tensor veli palatini pada saat menelan, atau saat menguap atau membuka
rahang. Ventilasi memungkinkan keseimbangan tekanan atmosfer pada
kedua sisi membran timpani. Tuba akan membuka melalui kerja otot
bilamana terdapat perbedaan tekanan sebesar 20 hingga 40 mmHg.
Untuk melakukan fungsi ini, diperlukan otot tensor veli palatine yang utuh
(Paparella,1997).
Terdapat beberapa etiologi yang dapat menyebabkan gangguan fungsi
tuba Eustachius. Salah satunya adalah obstruksi mekanik dapat terjadi
secara intraluminer maupun estraluminer. Obstruksi secara intraluminer
seperti keadaan alergi atau infeksi dapat menyebabkan edema sepanjang
mukosa tuba Eustachius. Sedang obstruksi secara ekstraluminer seperti
tumor terutama tumor nasofaring, polip nasal yang ekstensif dan hipertropi
adenoid yang menekan ostium tuba Eustachius. Penyebab lain dari
gangguan fungsi tuba Eustachius adalah deviasi septum dan sinusitis
(Kuppersmith 1996; Restuti 2006).
Gejala hidung yang berhubungan erat dengan adanya fungsi tuba
Eustachius adalah sumbatan hidung (Krouse dkk, 2002).

Universitas Sumatera Utara


2.1.4 Prosesus mastoid
Pneumatisasi
Sistem sel udara pneumatik tumbuh sehubungan dengan pembesaran
tulang temporal sebagai suatu penumbuhan ke luar dari telinga tengah
dan antrum. Kelompok-kelompok sel udara dapat diklasifikasikan
berdasarkan asal perkembangannya. Sel-sel yang berkembang dari
antrum merupakan kelompok terbesar, terbentuk di dalam prosesus
mastoid yang membesar. Sel-sel mastoid terletak di sebelah luar suatu
lempeng tulang yang biasanya dijumpai pada pertemuan prosesus antrum
os petrosa dan prosesus timpani os skuama (sutura petroskuamosa) yang
dikenal dengan nama septum korner. Sebelah dalam septum ini dijumpai
sel-sel antrum yang merupakan perluasan antrum asli ke arah medial ke
dalam os petrosa. Perluasan tersebut dapat terjadi jauh ke dalam petrosa
sampai ke pinggir kanalis semisirkuler dan kanal auditori interna. Sinus
sigmoid mungkin dikelilingi oleh suatu kelompok sinus yang dapat meluas
ke skuama. Perluasan sel-sel tersebut ke arah anterior dan lateral dapat
mencapai zigoma (sel-sel zigoma) dan berhubungan dengan atik. Sel-sel
ujung mastoid kadang-kadang membentuk suatu daerah koalesens yang
besar di ujung prosesus mastoid (Austin, 1997).
Mastoid terdiri dari sebuah tulang korteks dengan sebuah “sarang
lebah (honeycomb)” dari sel udara dibawahnya. Tergantung dari
pertumbuhan sel udara, mastoid dibagi tiga tipe:
1. Well-pneumatised atau cellular, sel-sel mastoid pertumbuhannya baik
dan septa tipis.
2. Diploetic, mastoid terdiri dari marrow spaces dan sedikit sel-sel udara.
3. Sclerotic atau acellular, tidak dijumpai sel-sel atau marrow spaces
(Dhingra,2004).

Universitas Sumatera Utara


2.1.5 Vaskularisasi kavum timpani
Vaskularisasi kavum timpani berasal dari cabang-cabang kecil arteri
karotis eksterna. Cabang-cabang pembuluh darah kecil tersebut adalah:
a.timpani anterior yang merupakan cabang dari a. maksilaris yang masuk
ke telinga tengah melalui fisura petrotimpani. Arteri ini mendarahi bagian
anterior kavum timpani termasuk mukosa membran timpani.
a. Arteri timpani posterior yang merupakan cabang stilomastoid yang
dapat berasal dari a. aurikularis posterior atau a. oksipital. A.timpani
posterior masuk ke kavum timpani bersama korda timpani lalu
mendarahi bagian posterior kavum timpani.
b. Arteri timpani inferior yang berasal dari cabang asendens a. karotis
eksterna yang masuk ke kavum timpani melalui kanalikulus timpani
bersama dengan cabang timpani n. IX lalu mendarahi terutama bagian
inferior kavum timpani.
c. Arteri petrosus superfisialis dan a. timpani superior yang merupakan
cabang-cabang a. meningea media yang masuk ke kavum timpani
masing-masing melalui lubang kecil di tegmen timpani dan melalui
fisura petroskuamosa, lalu mendarahi bagian superior kavum timpani.
d. Arteri karotikotimpani yang merupakan satu-satunya cabang berasal
dari a. karotis interna, masuk ke kavum timpani dengan menembus
lamina tulang tipis yang membatasi kanalis karotikus dengan telinga
tengah (Helmi, 2005). Aliran vena jalan seiring dengan arterinya untuk
bermuara pada sinus petrosus superior dan pleksus pterigoideus
(Helmi, 2005).

2.2 Anatomi Hidung


Rongga hidung atau kavum nasal berbentuk terowongan dari depan ke
belakang dipisahkan oleh septum nasal dibagian tengahnya sehingga
menjadi kavum nasal kanan dan kiri. Tiap kavum nasal mempunyai 4
buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior
(Corbrigde,1998).

Universitas Sumatera Utara


Bagian dari kavum nasal yang letaknya sesuai ala nasal, tepat
dibelakang nares anterior, disebut sebagai vestibulum. Vestibulum ini
dilapisi oleh kulit yang memiliki banyak kelenjar sebasea dan rambut-
rambut yang disebut dengan vibrise. (Ballenger, 1997; Hilger, 1989).

Septum Nasal
Dinding medial rongga hidung adalah septum nasal. Septum dibentuk
oleh tulang rawan, dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan
dan periostium pada bagian tulang sedangkan diluarnya dilapisi juga oleh
mukosa hidung. (Hollinshead, 1996; Corbridge, 1998).
Bagian tulang terdiri dari:
1. Lamina perpendikularis os etmoid
Lamina perpendikularis os etmoid terletak pada bagian supero-
posterior dari septum nasal dan berlanjut ke atas membentuk
lamina kribriformis dan Krista gali.
2. Os Vomer
Os vormer terletak pada bagian postero-inferior. Tepi belakang os
vomer merupakan ujung bebas dari septum nasal.
3. Krista nasalis os maksila
Tepi bawah os vomer melekat pada krista nasalis os maksila dan
os palatina.
4. Krista nasalis os palatine (Lund, 1997; Corbridge, 1998).

Bagian tulang rawan terdiri atas:


1. Kartilago septum (kartilago kuadrangularis)
Kartilago septum melekat dengan erat pada os nasal, lamina
perpendikularis os etmoid, os vomer dan krista nasalis os maksila
oleh serat kolagen.
2. Kolumela

Universitas Sumatera Utara


Kedua lubang berbentuk elips disebut nares, dipisahkan satu sama
lain oleh sekat tulang rawan dan kulit yang disebut kolumela (Lund
1997; Corbridge 1998).

Gambar 2.1. Kerangka Tulang dan Tulang Rawan Hidung (Hansen, 2011)

Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontsalis os


maksila, os lakrimalis, konka inferior dan konka media yang merupakan
bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina perpendikularius os palatum,
dan lamina pterigoides medial. Pada dinding lateral terdapat empat buah
konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior,
kemudian yang lebih kecil adalah konka media, yang lebih kecil lagi konka
superior, sedangkan yang terkecil ialah konka suprema dan konka
suprema biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri
yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka
media, superior, dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.
Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit
yang dinamakan dengan meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga
meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior. Dinding inferior

Universitas Sumatera Utara


merupakan dasar hidung yang dibentuk oleh prosesus palatina os maksila
dan prosesus horizontal os palatum (Ballenger, 1997; Hilger, 1989).
Dinding superior atau atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior
dan inferior, os nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid dan
korpus os sphenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina
kribrosa yang dilalui filament-filamen n.olfaktorius yang berasal dari
permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas
septum nasal dan permukaan kranial konka superior (Ballenger, 1997;
Hilger, 1989).

Gambar 2.2. Pendarahan Hidung (Hansen 2011)

Pendarahan
Bagian postero-inferior septum nasal diperdarahi oleh arteri
sfenopalatina yang merupakan cabang dari arteri maksilaris (dari arteri
karotis eksterna). Septum bagian antero-inferior diperdarahi oleh arteri
palatina mayor (juga cabang dari arteri maksilaris) yang masuk melalui
kanalis insisivus. Arteri labialis superior (cabang dari arteri fasialis)
memperdarahi septum bagian anterior mengadakan anastomose
membentuk pleksus Kiesselbach yang terletak lebih superfisial pada

Universitas Sumatera Utara


bagian anterior septum. Daerah ini disebut juga Little’s area yang
merupakan sumber perdarahan pada epistaksis (Lund, 1997).
Arteri karotis interna memperdarahi septum nasal bagian superior
melalui arteri etmoidalis anterior dan superior (Lund, 1997).
Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang arteri
maksilaris interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri
sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama nervus
sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior
konka media. Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang-
cabang arteri fasialis (Ballenger, 1997).
Vena sfenopalatina mengalirkan darah balik dari bagian posterior
septum ke pleksus pterigoideus dan dari bagian anterior septum ke vena
fasialis. Pada bagian superior vena etmoidalis mengalirkan darah melalui
vena oftalmika yang berhubungan dengan sinus sagitalis superior (Lund,
1997).

Persarafan
Bagian antero-superior septum nasal mendapat persarafan sensori dari
nervus etmoidalis anterior yang merupakan cabang dari nervus
nasosiliaris yang berasal dari nervus oftalmikus (n.V1). Sebagian kecil
septum nasal pada antero-inferior mendapatkan persarafan sensori dari
nervus alveolaris cabang antero-superior. Sebagian besar septum nasal
lainnya mendapatkan persarafan sensori dari cabang maksilaris nervus
trigeminus (n.V2)
Nervus nasopalatina mempersarafi septum bagian tulang, memasuki
rongga hidung melalui foramen sfenopalatina berjalan berjalan ke septum
bagian superior, selanjutnya kebagian antero-inferior dan mencapai
palatum durum melalui kanalis insisivus (Hollinshead, 1966).

Universitas Sumatera Utara


Sistem limfatik
Aliran limfatik hidung berjalan secara paralel dengan aliran vena. Aliran
limfatik yang berjalan di sepanjang vena fasialis anterior berakhir pada
limfe submaksilaris (Lund, 1997).

2.2.1 Definisi
Polip nasi merupakan suatu penyakit inflamasi kronis dari membran
mukosa pada hidung dan sinus paranasal yang secara histologi ditandai
adanya infiltrasi sel inflamatori seperti oesinofil dan netrofil. Polip nasi
ditandai dengan adanya massa semitranslusen seperti anggur mempunyai
badan dan tangkai berwarna pucat atau kuning mengkilat dengan
permukaan yang mulus (Mygind, 2000; Kirtreesakul, 2005; Wright, 2008).

Gambar 2.3. Polip Nasal (Archer, 2009)


2.2.2 Kekerapan
Prevalensi polip nasal pada populasi bervariasi antara 0,2%-4,3%
(Drake Lee, 1997; Ferguson, et al., 2006). Polip nasal dapat mengenai
semua ras dan frekuensinya meningkat sesuai usia. Polip nasal biasanya
terjadi pada rentang usia 30 tahun sampai 60 tahun dimana dua sampai
empat kali lebih sering terjadi pada pria (Kirtsreesakul, 2005; Ferguson, et
al., 2006; Erbek, et al., 2007).
Penelitian Larsen dan Tos di Denmark tahun 2002 memperkirakan
insidensi polip nasal sebesar 0,627 per 1000 orang per tahun (Bateman,

Universitas Sumatera Utara


2003; Ferguson, et al., 2006). Di RSUP H. Adam Malik Medan selama
Januari 2003 sampai Desember 2003 didapatkan kasus polip nasal
sebanyak 32 orang terdiri dari 20 pria dan 12 wanita (Ananda, 2005),
selama Maret 2004 sampai Februari 2005 didapatkan kasus polip nasal
sebanyak 26 orang terdiri dari 17 pria (65%) dan 9 wanita (35%) (Munir,
2008), dan selama September 2009 sampai Oktober 2010 didapatkan
kasus polip nasal sebanyak 21 orang terdiri dari 15 pria (71,4%) dan 6
wanita (28.6%) (Harahap, 2010).
Prevalensi alergi pada pasien polip nasal dilaporkan bervariasi antara
10-64%. Kern et al menemukan polip nasal pada pasien dengan alergi
sebesar 25,6% dibandingkan dengan kontrol sebesar 3,9% (Fokkens, et
al., 2007). Settipane dan Chaffe melaporkan 55% dari 211 pasien polip
nasal memiliki tes kulit positif. Keith et al melaporkan 52% dari 87 pasien
memiliki tes kulit positif (Grigoreas, et al., 2002). Bertolak belakang
dengan penelitian di atas yang menunjukkan bahwa alergi lebih sering
terdapat pada pasien polip nasal, dilaporkan beberapa penelitian yang
menunjukkan hasil yang berbeda (Fokkens, et al., 2007). Seperti
penelitian Grigoreas et al di Yunani tahun 1990-1998 menemukan polip
nasal lebih banyak ditemukan pada pasien non alrergi dibandingkan
dengan pasien alergi (10,8% vs 2,1%). Pada penelitian ini 37,5% dari 160
pasien polip nasal memiliki tes kulit positif. Pada penelitian Drake Lee et al
dijumpai 44% dari 200 pasien polip nasal memiliki tes kulit positif. Pada
penelitian Small et al dijumpai 47% dari19 pasien polip nasal memiliki
hasil tes kulit positif (Grigoreas, et al., 2002).

2.2.3 Etiologi dan patogenesis


Banyak teori yang menyatakan bahwa polip merupakan manifestasi
utama dari inflamasi kronis, oleh karena itu kondisi yang menyebabkan
inflamasi kronis dapat menyebabkan polip nasal. Beberapa kondisi yang
berhubungan dengan polip nasal seperti alergi dan non alergi, sinusitis
alergi jamur, intoleransi aspirin, asma, sindrom Churg-Strauss (demam,

Universitas Sumatera Utara


asma, vaskulitis eosinofilik, granuloma), fibrosis kistik, Primary ciliary
dyskinesia, Kartagener syndrome (rinosinusitis kronis, bronkiektasis, situs
inversus), dan Young syndrome (sinopulmonary disease, azoospermia,
polip nasal) (Kirtreesakul, 2005).
Beberapa mekanisme lain terbentuknya polip nasal juga telah
dikemukakan antara lain ketidakseimbangan vasomotor, gas NO,
superantigen, gangguan transportasi ion transepitel, gangguan
mukopolisakarida, obstruksi mekanik, dan ruptur epitel (Assanasen, 2001;
Kirtreesakul, 2005).
Patogenesis polip nasal masih belum diketahui. Perkembangan polip
telah dihubungkan dengan inflamasi kronik, disfungsi sistem saraf
autonom dan predisposisi genetik. Berbagai keadaan telah dihubungkan
dengan polip nasal, yang dibagi menjadi rinosinusitis kronik dengan polip
nasal eosinofilik dan rinosinusitis kronik dengan polip nasal non eosinofilik,
biasanya neutrofilik (Drake Lee,1997; Ferguson dan Orlandi, 2006;
Mangunkusumo dan Wardani 2007).
Pada penelitian akhir-akhir ini dikatakan bahwa polip berasal dari
adanya epitel mukosa yang rupture oleh karena trauma, infeksi, dan alergi
yang menyebabkan edema mukosa, sehingga jaringan menjadi prolaps
(King 1998). Fenomena Bernoulli menyatakan bahwa udara yang mengalir
melalui tempat yang sempit akan mengakibatkan tekanan negatif pada
daerah sekitarnya. Jaringan yang lemah akan terisap oleh tekanan negatif
sehingga mengakibatkan edema mukosa dan pembentukan polip.
Fenomena ini menjelaskan mengapa polip kebanyakan berasal dari area
yang sempit di kompleks ostiomeatal di meatus media. Walaupun
demikian polip dapat timbul dari tiap bagian mukosa hidung atau sinus
paranasal dan sering kali bilateral atau multiple (Nizar dan
Mangunkusumo, 2001).

Universitas Sumatera Utara


2.2.4 Gejala dan tanda
Gejala utama dari polip nasal adalah sumbatan hidung yang terus
menerus namun dapat bervariasi tergantung dari lokasi polip. Pasien juga
mengeluh keluar ingus encer dan post nasal drip. Anosmia dan hiposmia
dan menurunnya pengecapan juga menjadi ciri dari polip nasal. Sakit
kepala jarang terjadi pada polip nasal (Drake Lee, 1997; Ferguson, et al.,
2006).
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dan posterior dapat dijumpai
massa polipoid, licin, berwarna pucat keabu-abuan yang kebanyakan
berasal dari meatus media dan prolaps ke kavum nasal. Polip nasal tidak
sensitif terhadap palpasi dan tidak mudah berdarah (Newton, et al., 2008).
Pemeriksaan nasoendoskopi memberikan visualisasi yang baik
terutama pada polip yang kecil di meatus media (Assanasen, 2001).
Penelitian Stamberger pada 200 pasien polip nasal yang telah dilakukan
bedah sinus endoskopik fungsional ditemukan polip sebanyak 80% di
mukosa meatus media, processus uncinatus dan infundibulum (Tos,
2001). Stadium polip berdasarkan pemeriksaan nasoendoskopi menurut
Mackay dan Lund dibagi menjadi stadium 0: tanpa polip, stadium 1: polip
terbatas di meatus media, stadium 2: polip di bawah meatus media,
stadium 3: polip masif (Assanasen, 2001). Polip nasal hampir semuanya
bilateral dan bila unilateral membutuhkan pemeriksaan histopatologi untuk
menyingkirkan keganasan atau kondisi lain seperti papiloma inverted
(Newton, et al., 2008).
Pada pemeriksaan histopatologi, polip nasal ditandai dengan epitel
kolumnar bersilia, penebalan dasar membran, stoma edematous tanpa
vaskularisasi dan adanya infiltrasi sel plasma dan eosinofil. Eosinofil
dijumpai sebanyak 85% pada polip dan sisanya merupakan neutrofil
(Bernstein, 2001; Bachert, et al., 2003; Newton, et al., 2008).

Universitas Sumatera Utara


2.2.5 Diagnosis
Diagnosis polip dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan rinoskopi anterior, pemeriksaan nasoendoskopi biopsi dan
histopatologi (Assanasen, 2001; Ferguson, et al., 2006; Fokkens, et al.,
2007).

2.2.6 Penatalaksanaan
Penanganan polip nasal mencakup kombinasal dari medikamentosa
dan operasi. Pada tahap awal, pasien diberi pengobatan madikamentosa
sebelum dipertimbangkan untuk operasi oleh ahli THT. Tujuan dari
penanganan polip nasal adalah untuk mengeliminasal atau secara
signifikan mengurangi ukuran polip nasal sehingga meredakan gejala
hidung tersumbat, beringus, perbaikan dalam drainase sinus, restorasi
penciuman dan pengecapan (Newton, 2008). Dengan kedua tipe
penanganan ini kekambuhan sering terjadi dengan angka kekambuhan
sebesar 31% (Kirtreesakul, 2002).

2.3 Tes Fungsi Tuba Eustachius


1. Tes Valsalva
Prinsip tes ini adalah untuk membuat tekanan positif di dalam
nasofaring sehingga udara masuk ke tuba Eustachius. Untuk
melakukan tes ini, pasien memencet hidungnya diantara ibu jari
dan jari telunjuk, ambil nafas dalam, tutup mulutnya dan coba untuk
meniup udara ke telinga. Jika udara masuk telinga tengah,
membran timpani akan terdorong ke lateral yang dapat di ferifikasi
dengan otoskop atau mikroskop. Jika terdapat perforasi membran
timpani, akan terdengar suara mendesis atau jika terdapat sekret di
telinga tengah, suara retak akan terdengar.
Kegagalan tes ini tidak membuktikan tersumbatnya tuba karena
sekitar 65% orang berhasil melakukan tes ini. Tes ini harus di
hindarkan jika terdapat atropic scar dari membran timpani yang

Universitas Sumatera Utara


dapat menyebabkan ruptur, dan adanya infeksi hidung dan
nasofaring dapat menyebabkan otitis media.
2. Tes Politzer
Tes ini dilakukan pada anak-anak yang tidak bisa melakukan tes
valsalva. Pada tes ini, olive-shaped dari kantong Politzer
dimasukkan kelubang hidung pasien yang ingin dites, lubang
hidung yang lain di tutup, dan kantong ditekan bersamaan dengan
saat pasien menelan.
3. Tes Toynbee
Perasat Toynbee menimbulkan tekanan negatif. ini dilakukan
dengan meminta pasien untuk menelan sementara hidung ditutup.
Ini menarik udara dari telinga tengah ke dalam nasofaring dan
menyebabkan gerakan kedalam membran timpani yang diverifikasi
dengan pemeriksaan otoskopi atau dengan mikroskop.
4. Tympanometri
Pada tes ini, tekanan positif dan negatif diberikan pada liang telinga
luar dan pasien menelan berulang-ulang. Kemampuan tuba
menyeimbangkan tekanan positif dan negatif yang menandakan
fungsi tuba normal. Tes dapat dilakukan pada pasien dengan
membran timpani yang perforasi atau intak (Dhingra, 2007).

2.4 Timpanometri
Pada tahun 1946, Otto Metz secara sistematis mengevaluasi akustik
imitans dari telinga normal dan abnormal. Metz menerangkan dengan
jelas perubahan-perubahan akustik imitans yang dihubungkan dengan
gangguan-gangguan di telinga tengah (Katz, 1994). Pengembangan alat
elektroakustik sederhana oleh Terkildsen dan Scott-Nielson pada tahun
1960 telah memberikan banyak kemajuan, sehingga alat pengukur ini
dapat digunakan dengan mudah di klinik (O’Connor, 1997). Selanjutnya
pada awal 1970, pengukuran imitans mulai dimasukkan ke dalam
rangkaian tes audiometri rutin (Katz, 1994).

Universitas Sumatera Utara


Pemeriksaan timpanometri merupakan salah satu dari rangkaian
pemeriksaan fungsi telinga tengah secara objektif. Penilaian objektif fungsi
telinga dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter dari
isyarat akustik yang direfleksikan oleh membran timpani yang utuh
(Ballenger 1997). Keadaan tekanan pada telinga tengah, integritas
membran timpani serta mobilitas tulang pendengaran dapat dievaluasi
dengan pemeriksaan ini (Ballenger, 1997; Sjarifuddin, Bashiruddin dan
Purba, 2001).
Hasil pemeriksaan timpanometri (Audiometri Impedans)
menggambarkan fungsi ventilasi dan drainase telinga tengah serta
mobilitas membran timpani. Akibat sumbatan di tuba Eustachius, tekanan
udara dalam telinga tengah akan menurun / berkurang dibandingkan
dengan tekanan udara luar, sehingga didapatkan hasil timpanogram tipe
C. Jika ada cairan efusi dalam rongga telinga tengah akan menghasilkan
timpanogram tipe B. Gangguan fungsi ventilasi dan drainase telinga
tengah pada penderita polip nasal serta gambaran timpanogramnya telah
dilaporkan oleh P.J. Hadfi eld, dkk (1999), dari 211 penderita kistik fibrosis
didapatkan 37% polip nasal; 193 penderita di antaranya menjalani
pemeriksaan timpanometri, dan ditemukan otitis media efusi pada 7
penderita (3,6 % ) (Hanis dkk, 2010).
Pada penderita polip nasal dijumpai gambaran tipe timpanogram A
pada 29 sampel (67.7%), tipe timpanogram As pada 3 sampel (6.9%), tipe
timpanogram Ad pada 2 sampel (4.6%), tipe timpanogram B pada 3
sampel (6.9%) dan tipe timpanogram C pada 6 sampel (14.0%) (Hanis, et
al., 2010).
Menurut definisinya, timpanometri adalah teknik pemeriksaan yang
objektif untuk menilai aliran energi bunyi dalam liang telinga dan telinga
tengah, tekanan bervariasi pada telinga tengah serta digambarkan dalam
bentuk grafik (timpanogram) (Feldmen, 1977). Timpanometri merupakan
alat pengukur tak langsung dari compliance (kelenturan) membran timpani
dan sistem osikular dalam berbagai kondisi tekanan positif, normal atau

Universitas Sumatera Utara


negatif. Timpanogram merupakan suatu penyajian berbentuk grafik dari
kelenturan relatif sistem timpano-osikular. Kelenturan maksimal diperoleh
pada tekanan udara normal dan berkurang jika tekanan udara ditingkatkan
atau diturunkan. Individu dengan pendengaran normal akan
memperlihatkan sistem timpano-osikular yang normal juga (Greenfield, et
al., 1996)

2.4.1 Terminologi
Beberapa terminologi atau istilah yang harus diketahui adalah:
1. Imitans: Istilah umum yang menunjukkan penggabungan akustik
impedans dan admitans.
2. Impedans: Suatu ukuran, dimana sebuah sistem dapat
menahan aliran energi yang melaluinya (tahanan).
3. Admitans: Total aliran energi yang melalui sebuah sistem.
4. Static Acoustic Admittance/ SAA (Compliance Peak): titik pada
sumbu Y dalam timpanogram, dimana kurva mencapai
maksimum. Pada dasarnya merupakan titik dari kurva, nilai
normal anak-anak adalah 0,3-0,9 ml; mean: 0,5 (ASHA) dan
dewasa adalah 0,3-1,4 ml; mean: 0,8.
5. Tympanometric Peak Pressure (TPP): Titik pada sumbu X
dalam timpanogram, dimana compliance peak berada. Nilai
normalnya adalah +100 daPa sampai -100 daPa.
6. Ear canal Volume (ECV): memperlihatkan pengukuran volume
udara yang terdapat dalam ruang antara ujung probe dari
tympanometer dan membran timpani. Nilai normalnya 0,4-1,0
cm3 (anak-anak) dan 0,6-1,5 cm3 (dewasa). Volume pada♀ <
♂.
7. Deca Pascals (daPa): satuan unit pengukuran tekanan udara,
dimana 1 daPa=10 Pascals.
8. Millimeter H 2 O (mmH 2 O): Satuan unit pengukuran imitans,
dimana 1 mH 2 O=1.000 mmH 2 O (Katz, 1994; Minnesota, 2011).

Universitas Sumatera Utara


2.4.2 Peralatan
Pada dasarnya alat pengukur impedans terdiri dari 4 bagian yang
semuanya dihubungkan ke liang telinga tengah oleh sebuah alat kedap
suara, sebagai berikut :
1. Sebuah alat yang memproduksi nada bolak-balik (oscillator)
dengan frekuensi yang tetap (biasanya 220Hz).
2. Sebuah mikrofon dan meter pencatat sound pressure level
dalam liang telinga.
3. Sebuah pompa udara dan manometer yang dikalibrasi dalam
milimeter air (-600 mmH 2 O s.d +1.200 mmH 2 O). Suatu
mekanisme untuk mengubah dan mengukur tekanan udara
dalam liang telinga (Jerger, 1976; Katz, 1994; Stach, 1998).

Gambar 2.4 Skema Alat yang Digunakan untuk Pemeriksaan


Timpanometri (Jerger, 1976)

Universitas Sumatera Utara


2.4.3 Cara kerja impedans meter
Timpanometri merupakan salah satu dari 3 pengukuran imitans yang
banyak digunakan dalam menilai fugnsi telinga tengah secara klinis,
disamping imitans static dan ambang refleks akustik (Stach,1998).
Cara kerja timpanometri adalah alat pemeriksaan (probe) yang
dimasukkan ke dalam liang telinga memancarkan sebuah nada dengan
frekwensi 220 Hz. Alat lainnya mendeteksi respon dari membran timpani
terhadap nada tersebut.
Secara bersamaan, probe yang menutupi liang telinga menghadirkan
berbagai jenis tekanan udara. Pertama positif, kemudian negative ke
dalam laing telinga. Jumlah energy yang dipancarkan berhubungan
langsung dengan compliance. Compliance menunjukkan jumlah mobilitas
ditelinga tengah. Sebagai contoh, lebih banyak energi yang kembali ke
alat pemeriksaan, lebih sedikit energi yang diterima oleh membran
timpani. Hal ini menggambarkan suatu compliance yang rendah.
Compliance yang rendah menunjukkan kekakuan atau obstruksi pada
telinga tengah. Data-data yang didapat membentuk sebuah gambar 2
dimensi pengukuran mobilitas membran timpani. Pada telinga normal,
kurva yang timbul menyerupai gambaran lonceng.
Penghantaran bunyi melalui telinga tengah akan maksimal bila tekanan
udara sama pada kedua sisi membran timpani. Pada telinga yang normal,
penghantaran maksimum terjadi pada atau mendekati tekanan atmosfir.
Itulah sebabnya ketika tekanan udara di dalam liang telinga sama dengan
tekanan udara di dalam kavum timpani, imitans dari sistem getaran telinga
tengah yang normal akan berada pada puncak optimal dan aliran energi
yang melalui sistem ini akan maksimal. Tekanan telinga tengah dinilai
dengan bermacam-macam tekanan pada liang telinga yang ditutup probe
sampai sound pressure level (SPL) berada pada titik minimum. Hal ini
menggambarkan penghantaran bunyi yang maksimum melalui telinga
tengah. Tetapi bila tekanan udara dalam salah satu liang telinga lebih dari
(tekanan positif) atau kurang dari (tekanan negatif) tekanan dalam kavum

Universitas Sumatera Utara


timpani, imitans sistem akan berubah dan aliran energi berkurang. Dalam
system yang normal, begitu tekanan udara berubah sedikit di bawah atau
diatas dari tekanan udara yang memproduksi imitans maksimum, aliran
energi akan menurun dengan cepat sampai nilai minimum.
Pada tekanan yang bervariasi diatas atau di bawah titik maksimum,
SPL nada pemeriksaan di dalam liang telinga bertambah,
menggambarkan sebuah penurunan dalam penghantaran bunyi yang
melalui telinga tengah (Stach, 1998).
Ada beberapa tipe timpanogram konvensional, sebagai berikut:
1. Tipe A:
a. Terdapat pada fungsi telinga tengah yang normal.
b. Mempunyai bentuk khas, dimana puncak imitans berada
pada titik 0 daPa dan penurunan imitans yang tajam dari titik
0 ke arah negative atau positif.

Gambar 2.5 Timpanogram tipe A (Jerger, 1976)

2. Tipe B:
a. Terdapat pada kavum timpani yang berisi cairan, misalnya
pada otitis media efusi
b. Timpanogram tidak memiliki puncak dan cenderung
mendatar atau sedikit membulat. ECV dalam batas normal,

Universitas Sumatera Utara


terdapat sedikit atau tidak ada abnormalitas pada telinga
tengah. Bila tidak ada puncak tetapi ECV > normal, ini
menunjukkan adanya perforasi pada membran timpani.

Gambar 2.6 Timpanogram tipe B (Jerger, 1976)

3. Tipe C:
a. Terdapat pada keadaan membran timpani yang retraksi dan
malfungsi dari tuba Eustachius.
b. Tekanan telinga tengah negative, titik puncak berada pada
titik > -150 daPa.

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.7 Timpanogran tipe C (Jerger, 1976)

4. Tipe A s :
a. Terdapat pada otosklerosis dan keadaan membran timpani
yang berparut.
b. Timpanogram kelihatan seperti tipe A (normal), dimana
puncak berada atau dekat titik 0 daPa, tapi dengan
ketinggian puncak yang secara signifikan berkurang. Huruf s
dibelakang A berarti stiffness atau shallowness.

Gambar 2.8 Timpanogram tipe A s (Jerger, 1976)

Universitas Sumatera Utara


5. Tipe A d :
a. Terdapat pada keadaan membran timpani yang flaksid atau
diskontinuitas (kadang-kadang sebagian) dari tulang-tulang
pendengaran.
b. Timpanogram kelihatan seperti tipe A (normal), tetapi
dengan puncak lebih tinggi secara signifikan dibandingkan
normal. Huruf d di belakang A berarti deep atau discontinuity
(Jerger, 1976; Stach, 1998).

Gambar 2.9 Timpanogram tipe A d (Jerger 1976)

Universitas Sumatera Utara


2.5 Kerangka Konsep

Faktor Penyebab Faktor

Alergi Lingkungan

Mukosa hidung Genetik

Cairan
intravascular keluar

Mukosa
Gangguan
Drainase Telinga
Massa polipoid Tengah

Polip nasal Gangguan Fungsi


Non-alergi berdasarkan Ventilasi Telinga
histopatologi Tengah

Infeksi bakteri

Disfungsi Tuba
Eustachius
Kerusakan epitel multiple
dengan proliferasi
jaringan granulasi

Polip

Infeksi jamur
Keterangan:
Tidak diteliti
Variabel yang ditelliti

Gambar 2.10 Diagram Kerangka konsep

Universitas Sumatera Utara


2.6 Hipotesa Penelitian
Ho: Tidak ada hubungan polip nasal dengan fungsi ventilasi dan
drainase telinga tengah
H1: Ada hubungan polip nasal dengan fungsi ventilasi dan drainase
telinga tengah

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai