Chapter II-31 PDF
Chapter II-31 PDF
TINJAUAN PUSTAKA
Septum Nasal
Dinding medial rongga hidung adalah septum nasal. Septum dibentuk
oleh tulang rawan, dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan
dan periostium pada bagian tulang sedangkan diluarnya dilapisi juga oleh
mukosa hidung. (Hollinshead, 1996; Corbridge, 1998).
Bagian tulang terdiri dari:
1. Lamina perpendikularis os etmoid
Lamina perpendikularis os etmoid terletak pada bagian supero-
posterior dari septum nasal dan berlanjut ke atas membentuk
lamina kribriformis dan Krista gali.
2. Os Vomer
Os vormer terletak pada bagian postero-inferior. Tepi belakang os
vomer merupakan ujung bebas dari septum nasal.
3. Krista nasalis os maksila
Tepi bawah os vomer melekat pada krista nasalis os maksila dan
os palatina.
4. Krista nasalis os palatine (Lund, 1997; Corbridge, 1998).
Gambar 2.1. Kerangka Tulang dan Tulang Rawan Hidung (Hansen, 2011)
Pendarahan
Bagian postero-inferior septum nasal diperdarahi oleh arteri
sfenopalatina yang merupakan cabang dari arteri maksilaris (dari arteri
karotis eksterna). Septum bagian antero-inferior diperdarahi oleh arteri
palatina mayor (juga cabang dari arteri maksilaris) yang masuk melalui
kanalis insisivus. Arteri labialis superior (cabang dari arteri fasialis)
memperdarahi septum bagian anterior mengadakan anastomose
membentuk pleksus Kiesselbach yang terletak lebih superfisial pada
Persarafan
Bagian antero-superior septum nasal mendapat persarafan sensori dari
nervus etmoidalis anterior yang merupakan cabang dari nervus
nasosiliaris yang berasal dari nervus oftalmikus (n.V1). Sebagian kecil
septum nasal pada antero-inferior mendapatkan persarafan sensori dari
nervus alveolaris cabang antero-superior. Sebagian besar septum nasal
lainnya mendapatkan persarafan sensori dari cabang maksilaris nervus
trigeminus (n.V2)
Nervus nasopalatina mempersarafi septum bagian tulang, memasuki
rongga hidung melalui foramen sfenopalatina berjalan berjalan ke septum
bagian superior, selanjutnya kebagian antero-inferior dan mencapai
palatum durum melalui kanalis insisivus (Hollinshead, 1966).
2.2.1 Definisi
Polip nasi merupakan suatu penyakit inflamasi kronis dari membran
mukosa pada hidung dan sinus paranasal yang secara histologi ditandai
adanya infiltrasi sel inflamatori seperti oesinofil dan netrofil. Polip nasi
ditandai dengan adanya massa semitranslusen seperti anggur mempunyai
badan dan tangkai berwarna pucat atau kuning mengkilat dengan
permukaan yang mulus (Mygind, 2000; Kirtreesakul, 2005; Wright, 2008).
2.2.6 Penatalaksanaan
Penanganan polip nasal mencakup kombinasal dari medikamentosa
dan operasi. Pada tahap awal, pasien diberi pengobatan madikamentosa
sebelum dipertimbangkan untuk operasi oleh ahli THT. Tujuan dari
penanganan polip nasal adalah untuk mengeliminasal atau secara
signifikan mengurangi ukuran polip nasal sehingga meredakan gejala
hidung tersumbat, beringus, perbaikan dalam drainase sinus, restorasi
penciuman dan pengecapan (Newton, 2008). Dengan kedua tipe
penanganan ini kekambuhan sering terjadi dengan angka kekambuhan
sebesar 31% (Kirtreesakul, 2002).
2.4 Timpanometri
Pada tahun 1946, Otto Metz secara sistematis mengevaluasi akustik
imitans dari telinga normal dan abnormal. Metz menerangkan dengan
jelas perubahan-perubahan akustik imitans yang dihubungkan dengan
gangguan-gangguan di telinga tengah (Katz, 1994). Pengembangan alat
elektroakustik sederhana oleh Terkildsen dan Scott-Nielson pada tahun
1960 telah memberikan banyak kemajuan, sehingga alat pengukur ini
dapat digunakan dengan mudah di klinik (O’Connor, 1997). Selanjutnya
pada awal 1970, pengukuran imitans mulai dimasukkan ke dalam
rangkaian tes audiometri rutin (Katz, 1994).
2.4.1 Terminologi
Beberapa terminologi atau istilah yang harus diketahui adalah:
1. Imitans: Istilah umum yang menunjukkan penggabungan akustik
impedans dan admitans.
2. Impedans: Suatu ukuran, dimana sebuah sistem dapat
menahan aliran energi yang melaluinya (tahanan).
3. Admitans: Total aliran energi yang melalui sebuah sistem.
4. Static Acoustic Admittance/ SAA (Compliance Peak): titik pada
sumbu Y dalam timpanogram, dimana kurva mencapai
maksimum. Pada dasarnya merupakan titik dari kurva, nilai
normal anak-anak adalah 0,3-0,9 ml; mean: 0,5 (ASHA) dan
dewasa adalah 0,3-1,4 ml; mean: 0,8.
5. Tympanometric Peak Pressure (TPP): Titik pada sumbu X
dalam timpanogram, dimana compliance peak berada. Nilai
normalnya adalah +100 daPa sampai -100 daPa.
6. Ear canal Volume (ECV): memperlihatkan pengukuran volume
udara yang terdapat dalam ruang antara ujung probe dari
tympanometer dan membran timpani. Nilai normalnya 0,4-1,0
cm3 (anak-anak) dan 0,6-1,5 cm3 (dewasa). Volume pada♀ <
♂.
7. Deca Pascals (daPa): satuan unit pengukuran tekanan udara,
dimana 1 daPa=10 Pascals.
8. Millimeter H 2 O (mmH 2 O): Satuan unit pengukuran imitans,
dimana 1 mH 2 O=1.000 mmH 2 O (Katz, 1994; Minnesota, 2011).
2. Tipe B:
a. Terdapat pada kavum timpani yang berisi cairan, misalnya
pada otitis media efusi
b. Timpanogram tidak memiliki puncak dan cenderung
mendatar atau sedikit membulat. ECV dalam batas normal,
3. Tipe C:
a. Terdapat pada keadaan membran timpani yang retraksi dan
malfungsi dari tuba Eustachius.
b. Tekanan telinga tengah negative, titik puncak berada pada
titik > -150 daPa.
4. Tipe A s :
a. Terdapat pada otosklerosis dan keadaan membran timpani
yang berparut.
b. Timpanogram kelihatan seperti tipe A (normal), dimana
puncak berada atau dekat titik 0 daPa, tapi dengan
ketinggian puncak yang secara signifikan berkurang. Huruf s
dibelakang A berarti stiffness atau shallowness.
Alergi Lingkungan
Cairan
intravascular keluar
Mukosa
Gangguan
Drainase Telinga
Massa polipoid Tengah
Infeksi bakteri
Disfungsi Tuba
Eustachius
Kerusakan epitel multiple
dengan proliferasi
jaringan granulasi
Polip
Infeksi jamur
Keterangan:
Tidak diteliti
Variabel yang ditelliti