Anda di halaman 1dari 53

MAKALAH

HUKUM ADAT
Hukum Waris Adat Riau
Dosen Pemampu : Dasrol SH., MH

DISUSUN OLEH :

Jeremia Nicholas M (1809112541)

M. Ikrom (1809112464)

M. Sadewa Rafie Aldiza (1809112495)

M. Zakhri Andhika (1809113392)

Memory Jesaya Hutabarat (1809112934)

Muhammad Rafi Akbar (1809124952)

Samuel Yakub Radja Ginting Suka (1809112823)

FAKULTAS HUKUM

JURUSAN ILMU HUKUM

UNIVERSITAS RIAU

TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
Rahmat, Karunia, dan Hidayahnya penulis dapat menyelesaikan makalah dengan
judul “Hukum Waris Adat” dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya.
Dan juga penulis berterima kasih pada Dasrol SH., MH selaku Dosen mata kuliah
Hukum Adat yang telah memberikan tugas ini
Penulis sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai Hukum Waris Adat. Juga mengenai
materi-materi lainnya yang berkaitan dengan Hukum Waris Adat. Penulis juga
menyadari sepenuhnya bahwa didalam Makalah ini terdapat kekurangan dan jauh
dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan
demi memperbaiki makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa ada saran yang membangun
Semoga makalah yang kami buat dapat dipahami dan juga dimengerti oleh
kita semua bagi siapapun yang membaca dan melihatnya.

Pekanbaru, Maret 2019

Kelompok 4

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .............................................................................................. i

Daftar isi ....................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah .................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan ...................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hukum Waris Adat ................................................. 3


2.2 Ruang Lingkung Hukum Adat .................................................. 4
2.3 Sifat-Sifat dan Sistem Hukum Waris Adat ............................... 5
2.4 Unsur Pewarisan Adat............................................................... 7
2.5 Harta Waris Adat Berdasarkan Sifat Kekerabatan.................... 11
2.6 Hukum Waris Adat Rokan Hulu ............................................... 14
2.7 Hukum Waris Adat Daerah Kampar ......................................... 19
2.7.1 Sistem Hukum Waris Adat Daerah Kampar .................. 24
2.8 Hukum Waris Adat Melayu ...................................................... 26
BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan .............................................................................. 46


3.2. Saran ........................................................................................ 47
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………… ... 48

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Negara Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya dan adatnya, termasuk
dalam hal-hal di dalamnya seperti hukum, aturan, tali persaudaraan, dan pewarisan.
Indonesia sendiri memiliki beragam kebudayaan yang tersebar di berbagai pulau
dan tentu memiliki bentuk waris yang beraneka macam. Menurut buku hukum
bugerlijk wetboek (BW) diantaranya hukum islan dan adat. Masing-masing hukum
tersebut memiliki karakter yang berbeda dengan yang lain.
Hukum adat waris mempunyai sistem kolektif, mayorat, dan individual.
Sistem waris kolektif yaitu, harta warisan dimiliki secara bersama-sama, dan ahli
waris tidak diperbolehkan untuk memiliki secara pribadi. Jika ingin memanfaatkan
harta waris tersebut, harus ada musyawarah dengan ahli waris yang lain. Sistem
waris mayorat yaitu, harta waris dimiliki oleh ahli waris yang tertua, dikelola dan
dimanfaatkan untuk kepentingan ahli waris yang muda baik perempuan atau laki-
laki sampai mereka dewasa dan mampu mengurus dirinya sendiri. Sistem waris
individual yaitu, harta warisan bisa dimliki secara pribadi oleh ahli waris, dan
kepemilikkan mutlak ditangannya.
Harta warisan menurut hukum adat bisa dibagikan secara turun-temurun
sebelum pewaris meninggal dunia, tergantung dari musyawarah masing-masing
pihak. Hal ini sangat berbeda dengan kewarisan hukum BW dan hukum Islam yang
mana harta warisan harus dibagikan pada saat ahli waris telah meninggal dunia.
Apabila harta warisan diberikan pada saat pewaris belum meninggal dunia, maka
itu disebut pemberian biasa atau dalam hukum Islam bisa disebut sebagai hibah.
Dengan adanya beragam bentuk sistem kewarisan hukum adat,
menimbulkan akibat yang berbeda pula, maka pada intinya hukum waris harus
disesuaikan dengan adat dan kebudayaan masing-masing daerah dengan kelebihan
dan kekurangan yang ada pada sistem kewarisan tersebut.

1
1.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam “Hukum Waris Adat” adalah sebagai berikut.
1. Apakah pengertian hukum waris adat ?
2. Bagaimana pelaksaan hukum waris adat ?
3. Bagaimana pembagian hukum waris aAdat ?
4. Bagaimana hukum waris adat di Riau ?

1.3. Tujuan Masalah


1. Untuk mengetahui pengertian hukum waris adat
2. Untuk mengetahui bagaimana pelaksaan hukum waris adat
3. Untuk mengetahui cara pembagian waris dari hukum adat
4. Untuk mengetahui formulasi hukum waris adat di Melayu

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Hukum Waris Adat


Hukum Waris Adat adalah salah satu aspek hukum dalam lingkup
permasalahan Hukum Adat yang meliputi norma-norma yang menetapkan harta
kekayaan baik yang materiil maupun yang immaterial, yang mana dari seorang
tertentu dapat diserahkan kepada keturunannya serta yang sekaligus juga mengatur
SAAT, CARA dan Proses peralihannya dari harta dimaksud.
Di negara kita RI ini, hukum waris yang berlaku secara nasional belum
terbentuk, dan hingga kini ada 3 (tiga) macam hukum waris yang berlaku dan
diterima oleh masyarakat RI, yakni hukum waris yang berdasarkan hukum Islam,
hukum Adat dan hukum Burgerlijk Wetboek (BW)1 . Hal ini adalah akibat warisan
hukum yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda untuk Hindia Belanda
dahulu.
Menggunakan hukum waris menurut hukum adat, menurut Wirjono
Projodikoro (19911: 58), hukum adat pada umumnya bersandar pada kaidah sosial
normatif dalam cara berpikir yang konkret yang sudah menjadi tradisi masyarakat
tertentu2.
Menurut Ter Haar, hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang
bertalian dengan dari abad ke abad penerusan dan peralihan harta kekayaan yang
berwujud dan tidak berwujud dari generasi ke generasi. Selain itu, ada pendapat
lain ditulis bahwa Hukum Adat Waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur
proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda yang berwujud
dan yang tidak berwujud, dari suatu angkatan generasi manusia kepada
keturunnya3.

1
Moch. Koesnoe, Perbandingan antara Hukum Islam, Hukum Eropa dan Hukum Adat. Seminar
Pembinaan KuRikulum Hukum Islam di Perguruan Tinggi, Badan Kerjasama PTIS, Kaliurang,
1980.hlm 1-20.
2
Saebani, Beni Ahmad, Fiqh Mawaris (Bandung; Cv. Pustaka Setia,2009), Hal. 86
3
Beliau merupakan seorang pakar hukum adat yang terkenal pada masa 1900an.

3
2.2 Ruang Lingkup Hukum Waris Adat
Hukum waris di Indonesia merupakan satu hukum perdata secara keseluruhan
dan merupakan sebagian kecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris terkait erta
dengan ruang lingkup kehidupan manusia, karena setiap manusia pasti akan
mengalami peristiwa hukum.
Di Indonesia hukum waris masih bersifat pluralisme hukum (beragan). Di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia berlaku jenis-jenis sistem hukum
waris, yaitu hukum waris Barat yang tercantum di Burgerlijk Wetboek (BW),
hukum waris Islam dan hukum waris Adat. Dalam hukum waris adat juga masih
bersifat pluralisme hukum, karena pada realitanya hukum waris adat dipengaruhi
oleh 3 sistem kekerabatan atau kekeluargaan di Indonesia, yaitu :
1. Sistem patrilineal, yang menarik garis keturunan laki-laki atau ayah
misalnya masyarakat Batak, Tanah Gayo, Bali, Irian Jaya
2. Sistem matrilineal, yang menarik garis keturunan perempuan atau ibu
misalnya masyarakat Minangkabau
3. Sistem parental atau bilateral, yang menarik garis keturunan ayah dan ibu
misalnya masyarakat Jawa, Madura, Riau

Jika si pewaris memberlakukan Hukum Islam, maka menyelesaikannya


sebagaimana diketahui hukum warisnya adalah hukum faraid. Faraid menurut
istilah adalah takdir/qadar dan pada syarat bagian yang ditentukan pada ahli
warisnya. Harta waris menurut hukum Islam adalah harta yang ditinggalkan dalam
keadaan bersih. Artinya, harta telah lepas dari hutang-pihutang dan pembayaran
lainnya.4
Jika pewaris memberlakukan hukum BW, maka dalam hukum waris terdapat
2 (dua) unsur penting, yaitu :
1. Unsur Individual (menyangkut diri pribadi seseorang). Pada prinsipnya
seseorang pemilik atas suatu benda mempunya kekebasan yang seluas-

4
Wirdjono Prodjodikoro, Hukum Waris di Indonesia, (Bandung : Vorkink van Hoeve, T. Th.), 8-10

4
luasnya sebagai individu untuk berbuat apa saja atas benda yang
dimilikinya termasuk harta kekayaannya menurut kehendaknya 5.
2. Unsur Sosial (menyangkut kepentingan bersama). Perbuatan yang
dilakukan pemilik harta kekayan yang bebas dapat mengakibatkan
kerugian bagi ahli waris sehingga undang-undang memberikan
pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan pewaris demi kepentingan
ahli waris6

Pembatasan dalam kewarisan perdata disebut istilah legitieme portie yang


artinya bagian tertentu/mutlak dari ahli waris tertentu. Oleh karenanya bagian
mutlak tersebut erat kaitannya dengan pemberian/hibah yang diberikan pewaris,
yaitu pembatasan kebebasan pewaris dalam membuat wasiat, maka legitieme portie
diatur dalam bagian yang mengatur mengenai wasiat atau testament7.
Jika pewaris memberlakukan sistem hukum waris adat, maka pandangan
hukum adat terhadap hukum pewarisan sangat ditentuka oleh persekutuan hukum
adat itu sendiri. Beberapa persekutuan hukum adat itu diantaranya, pertama
persekutuan genealogis (berdasarkan keturunan) dan persekutuan territorial
(berdasarkan persekutuan hukum teritorial). Dalam persekutuan hukum genealogis,
anggota-anggotanya merasa diri terikat satu sama lain, karena mereka berketurunan
dari nenek moyang yang sama, sehingga di antara mereka terdapat hubungan
keluarga. Sementara persatuan hukum territorial, anggota-anggotanya merasa
terikat satu sama lain karena mereka bertempat keududukan di suatu daerah yang
sama.
Persekutuan territorial disebut juga desa atau gempong di Aceh dan sebagian
daerah Melayu-Sumatra, sedangkan persekutuan hukum territorial dan genealogis
terdapat pada daerah seperti Mentawai yang disebut Uma¸ di Nias disebut Euri¸di
Minangkabau disebut Nagari, dan di Batak disebut Kuria atau Huta.

2.3. Sifat-Sifat dan Sistem Hukum Waris Adat

5
Ahlan Sjarif, Surini, dan Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan BW Pewarisan menurut Undang-
undang, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2005, h, 13.
6
Ibid, h, 14.
7
Oemar Salim, Dasar-dasar Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), h. 115.

5
Hukum waris adat mempunyai corak yang khas dari alam pikiran yang
tradisional Indonesia. Oleh karenanya hukum waris adat bersendi atas prinsip yang
timbul dari aliran pikiran-pikiran yang komunal serta konkret bangsa Indonesia.
Hukum waris adat tampak mempunyai perbedaan prinsip dengan hukum waris
Islam dan juga Hukum Waris BW.
Soerojo Wignjodipoero mengemukakan bahwa sifat dari hukum waris adat
menunjukkan corak yang memang khas tersendiri mencerminkan cara berpikir
maupun semangat dan jiwa dari pikiran tradisional yang didasarkan atas prinsip
komunal atau kolektif, kebersamaan dan konkret bangsa Indonesia.8
Sifat dari Hukum Waris adat adalah sebagai berikut.
1. Hukum waris adat tidak mengenal legitieme portie, namun hukum waris
adat menetapkan dasar persamaan hak, hak sama ini mengandung hak
untuk diperlakukan sama oleh orangtuanya di dalam proses penerusan dan
pengoperan harta benda keluarga. Di samping dasar persamaan hak,
hukum waris adat juga meletakkan dasar kerukunan pada proses
pelaksanaan pembagian berjalan secara rukun dengan memperhatikan
keadaan istimewa tiap waris
2. Harta warisan tidak boleh dipaksakan untuk dibagi antara para ahli waris
3. Harta peninggalan dapat bersifat tidak dapat dibagi-bagi atau
pembagiaannya ditunda
4. Memberi kepada anak angkat, hak nafkah dari harta peninggalan orang tua
angkatnya
5. Pembagiaannya merupakan tidakan bersama, berjalan secara rukun dalam
suasana ramah tamah dengan memperhatikan keadaan khusus tiap waris
6. Anak perempuan, khususnya di Jawa apabila tidak ada anak laki-laki dapat
menutup hak mendapat bagian harta peninggalan kakek atau neneknya dan
saudara-saudara orang tuanya.
7. Harta peninggalan tidak merupakan suatu kesatuan harta warisan,
melainkan wajib diperhatikan sifat/macam, asal dan kedudukan hukum
daripada barang masing-masing yang terdapat dalam harta peninggalan
itu.

8
Soerojo Wignjodipoero, Op, cit., 1994, h. 161.

6
Dalam pembagiannya, hukum adat memiliki tiga sistem yang dapat digunakan
berdasarkan sistem mana yang hendak dipilih oleh pemangku adatnya. Ketiga
sistem tersebut adalah sebagai berikut9.
1. Sistem Mayorat
Menurut sistem ini, harta warisan tidak dibagi tetapi berada di bawah
kekuasaan seseorang ahli waris. Lazimnya adalah orang yang dituakan.
Dalam sistem ini, dibagi dalam dua hal, yaitu:
a. Mayorat laki-laki seperti pada suku Bali dan Batak
b. Mayorat perempuan seperti pada sebagian suku di lampung

2. Sistem Kolektif
Dalam sistem ini, harta warisan tidak untuk dibagi tetapi pemanfaatannya
dilaksanakan secara bersama-sama dan untuk kepentingan para pihak,
misalnya di Minangkabau. Harta pusaka tidak untuk dijual-belikan atau
dibagikan, tetapi bila terdapat keadaan mendesak dan atas kesepakatan para
ahli waris, harta pusaka dapat dijual.
Harta pusaka terdiri dua bagian, yaitu :
a. Harta pusaka tinggi
b. Harta pusaka rendah

3. Sistem Individual
Dalam sistem ini, tanah yang telah menjadi harta pusaka tinggi dikenal
sebagai tanah ulayat. Tanah ulayat bersifat terus-menerus, turun-temuru,
tidak dapat dibagi dan dipecah. Pengecualiannya terhadap tanah yang terjadi
kesepakatan dari anggota masyarakat adat untuk menjual sebagian tanah
ulayat untuk kepentingan bersama.

2.4. Unsur Pewarisan Adat

9
Soerojo Wignjodipoero, Op,cit., hlm.170.

7
Untuk mengetahui bagian objek waris adat, maka penting untuk diketahui
unsur-unsur apa sajakah yang dilingkupi. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai
berikut.

1. Harta Asal
Yaitu semua kekayaan yang dikuasai dan dimiliki pewaris, baik berupa
harta peninggalan ataupun harta bawaan yang dibawa masuk ke dalam
perkawinan. Harta peninggalan dapat dibedakan lagi dengan harta peninggalan
yang tidak terbagi, peninggalan yang belum terbagi dan peninggalan yang
terbagi. Harta peninggalan ini pada daerah tertentu seperti di Minangkabau di
kenal pula dengan harta pusaka rendah. Harta pusaka tinggi adalah harta warisan
yang diperoleh ahli waris dari lebih dua generasi di atas pewaris, sedangkan harta
pusaka rendah semua harta warisan yang diperoleh dari satu atau dua angkatan
kerabat di atas pewaris. Harta bawaan dapat dibedakan antara harta bawaan
suami dan harta bawaan istri. Dilihat dari sudut perkawinan, baik harta
peninggalan maupun harta bawaan kesemuanya merupakan harta asal.
Sebaliknya, dilihat dari sudut pewarisan, keduanya merupakan harta
peninggalan. Harta bawaan suami maupun harta bawaan istri akan kembali
kepada pemilik asalnya yaitu yang membawanya bila terjadi perceraian.
Menurut S.A Hakim dalam Hadikusuma menyatakan bahwa 10 harta-harta
asal itu terdiri dari :
a. Harta-harta sebelum perkawinan:
- Harta yang tiap istri atau suami telah mempunyai sebelum pernikahan.
- Harta yang dipunyai istri atau suami karena merupakan pemberian bagian
harta yang bertalian dengan kematian yang diperoleh dari orangtua mereka
masing-masing.
- Harta yang diperoleh karena pewarisan.
- Harta atau barang yang diperoleh karena pemberian orang lain.
b. Harta-harta selama dalam ikatan perkawinan
 Harta yang tiap suami atau istri memperoleh karena usaha sendiri tanpa
bantuan kawan nikah yang lain.

10
Hilman Hadikusuma, Op, cit., 1999, h. 37.

8
 Harta yang karena pemberian bagian harta yang bertalian dengan kematian
atau karena pewarisan atau karena pemberian (hadiah) hanya jatuh kepada
salah seorang suami/istri saja.

2. Harta Pencaharian (Bersama)


Yaitu harta yang didapat suami isteri secara bersama selama dalam ikatan
perkawinan. Tidak perlu dipermasalahkan apakah isteri ikut aktif bekerja atau
tidak. Walaupun yang bekerja hanya suami, sedangkan isteri hanya tinggal di
rumah mengurus rumah tangga dan anak, namun tetap menjadi hasil usaha suami
isteri. Adapun istilah harta bersama dalam Minangkabau disebut harta suarang.
Di Jawa disebut gana-gini. Dan lain-lain.
3. Harta Pemberian
Yaitu harta pemberian yang merupakan harta warisan yang bukan karena
jerih payah seseorang bekerja untuk mendapatkannya. Pemberian dapat
dilakukan seseorang atau sekelompok orang atau seseorang atau kepada suami-
isteri. Untuk harta pemberian ini, bila terjadi perceraian maka dapat dibawa
kembali oleh masing-masing, sebagaimana peruntukan yang dimaksud
pemberinya.
4. Harta Peninggalan
Harta Peninggalan merupakan harta atau barang-barang yang dibawa oleh
suami atau istri didalam perkawinan yang berasal dari peninggalan orangtuanya
untuk diteruskan penguasaan dan pengaturan pemanfaatannya guna kepentingan
ahli waris bersama.
Macam-macam harta peninggalan berdasarkan hukum waris adat adalah
sebagai berikut.
 Harta Peninggalan Tidak Terbagi
Harta pusaka tidak terbagi, yang merupakan harta peninggalan yang
tidak terbagi biasanya diwariskan secara turun-temurun dari zaman nenek
moyang dan merupakan milik bersama sekerabat serta biasanya diawasi oleh
kepala Adat. Misalnya suku Minangkabau disebut Mamak Kepala Waris yang

9
menjaga pusaka, di Lampung disebut Punyimbang Buway yang menjaga
tanoh Menyenyak.
Terkait dengan harta pusaka tinggi apabila dalam keadaan terpaksa
hanya dapat digadaikan, dan tidak dapat diperjualbelikan. Menggadaikan
pusaka tinggi dalam keadaan darurat, yang dimana hak kepemilikan atas
tanah atau rumah adat tersebut masih tetap pada pemiliknya.

 Harta Peninggalan Terbagi


Pekembangan zaman mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan
dari harta pusaka menjadi harta kekayaan keluarga serumah tangga yang
dikuasai dan dimiliki oleh seseorang. Oleh karena melemahnya pengaruh
kekerabatan, maka kemungkinan harta penginggalan yang berupa harta
pusaka menjadi terbuka pembagiannya, bukan saja terbatas pembagian hak
pakai, melainkan juga pembagian hak miliknya menjadi perseorangan.
Contohnya di Lampung, di kalangan masyarakat beradat pepaduan
yang semula terkenal dengan kuatnya ikatan kekerabatannya dengan sistem
kewarisan mayorat laki-laki (bahwa harta peninggalan dari orangtuanya,
dikuasai oleh anak tertua laki-laki), dengan perkembangan zaman, maka
tanah-tanah semak belukar bekas usaha pertanian ladang yang merupakan
milik bersama kerabat atautanah-tanah boedel bukan saja ada yang diadakan
pembagian hak pakai dan hak milik diantara para ahli waris, malah berlaku
transaksi peralihan hak milik atas dasar jual-beli atau diserahkan kepada
masyarakat pendatang atas dasar kerja sama bagi hasil dan bagi tanah usaha11.
 Harta Peninggalan Belum terbagi
Harta Peninggalan yang belum terbagi, karena ditangguhkan waktu
pembagiannya.
5. Pewaris
Yaitu orang yang memiliki harta kekayaan yang akan diwariskan. Lazimnya
adalah orang tua.
6. Ahli waris

11
Hilam Hadikusuma, Op,cit., 1993, h. 42-43.

10
Yang menjadi ahli waris terpenting adalah anak kandung, sehingga anak
kandung dapat menutup ahli waris lainnya. Di dalam hukum adat juga dikenal
istilah :
a. Anak angkat
Dalam hal status anak angkat, setiap daerah mempunyai perbedaan. Putusan
Raad Justitie tanggal 24 Mei 1940 mengatakan anak angkat berhak atas
barang-barang gono gini orang tua angkatnya. Sedangkan barang-barang
pusaka (barang asal) anak angkat tidak berhak mewarisinya, (Putusan M.A.
tanggal 18 Maret 1959 Reg. No. 37 K/SIP/1959)12.
b. Anak tiri
Terhadap bapak dan ibu kandungnya anak tersebut merupakan ahli waris,
namun anak tersebut tidak menjadi ahli waris orang tua tirinya. Kadang-
kadang begitu eratnya hubungan antara anggota rumah tangga, sehingga
anak tiri mendapat hak hibah dari bapak tirinya, bahkan anak tiri berhak atas
penghasilan dari bagian harta peninggalan bapak tirinya demikian
sebaliknya.
c. Anak luar nikah
Anak diluar nikah hanya dapat menjadi ahli waris ibunya.
d. Kedudukan janda
Didalam hukum adat kedudukan janda didalam masyarakat di Indonesia
adalah tidak sama sesuai dengan sifat dan system kekelurgaan. Sifat
kekelurgaan Matrilineal : harta warisan suaminya yang meninggal dunia
kembali kekeluarga suaminya atau saudara kandungnya.
e. Kedudukan duda
Di Daerah Minangkabau dengan sifat kekeluargaan matrilineal suami pada
hakekatnya tidak masuk keluarga isteri, sehingga duda tidak berhak atas
warisan isteri.

2.5 Harta Waris Adat Beradasarkan Sistem Kekerabatan

12
Hilman Hadikusuma. Hukum Kekerabatan Adat., 1993. H. 38

11
Hukum waris adat di Indonesia tidak terlepas dari pengarauh susunan
masyarakat kekerabatannya yang berbeda 13 . Hal ini sebagaimana dikemukakan
oleh Hazairin 14 bahwa hukum waris adat mempunyai corak sendiri dari dalam
pikiran masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistim
kekerabatannya patrilinial,matrilineal, dan parental atau bilateral, meskipun pada
bentuk kekerabatan yang sama belum tentu berlaku sistem pewarisan yang sama.
Bangsa Indonesia yang asli mempunyai pikiran yang berasaskan kekeluargaan,
dimana kepentingan hidup rukun damai lebih di utamakan dari sifat sifat kebendaan
dan mementingkan diri sendiri. Jika pada akhir akhir ini tampak kecendrungan
adanya keluarga keluarga yang mementingkan kebendaan, maka akan merusak
kerukunan hidup kekeluargaan. Hal ini merupakan sesuatu pengaruh perkembangan
zaman dan pengaruh kebudayaan asing.
Masyarakat bangsa Indonesia menganut berbagai macam agama dan
kepercayaan yang berbeda beda, mempunyai bentuk bentuk kekerabatan dengan
sistem keturunan yang berbeda beda. Sistem keturunan ini sudah diberlakukan sejak
dahulu kala sebelum masuknya agama hindu,islam,dan kristen. Sistem kekerabatan
atau keturunan yang berbeda beda tampaknya berpengaruh terhadap sistem
pewarisan dalam hukum waris adat.
1. Hukum Kekerabatan
Istilah “kekerabatan” bersangkutpaut dengan sistem kekerabatan atau
kekeluargaan dalam hukum adat. Adanya hubungan antara sistem istilah
kekerabatan dalam suatu bahasa dengan sistem kekerabatan dalam
masyarakatnya mula-mula di kemukakan oleh L.M. Morgan dalam
Koentjaraningrat15 yang pernah berkerja sebagai pengacara di pemukiman suku
suku bangsa indian iroquois di Canada. Beliau tertarik akan adanya memahami
berbagai logat bahasa adat istiadat masyarakat setempat, Morgan menenukan
cara umum untuk mengupas sistem kekerabatan, walaupun bebeda bentuknya
berdasarkan adanya gejala kesejajaran dalam sistem istilah kekerabatan dengan
sistem kekerabatannya.

13
Ibid, H. 164
14
Hilman Hadikusma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2003), H.
211.
15
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h. 127.

12
16
Menurut Ter Haar sebagai ahli hukum adat menyatakan istilah
kekerabatan disebut sebagai “hukum sanak keluarga” (Verwantschpsrecht), dan
Soerojo Wignjodipoero17 menyebut dengan “hukum kekeluargaan” sedangkan
menurut Hilman Hadikusuma 18
menyatakan dengan istilah “hukum adat
kekerabatan”.

2. Hukum Kekerabatan Menurut Hukum Adat


Hilman Hadikusuma 19 menyatukan, bahwa pengertian “hukum adat
kekerabatan”, yaitu hukum adat yang mengatur tentang bagaimana kedudukan
pribadi seseorang sebagai anggota kerabat (keluarga), kedudukan anak terhadap
orangtua dan sebaliknya, kedudukan terhadap kerabat dan sebaliknya, serta
masalah perwalian anak.
Soerojo Wignjodipoero20 menyebutkan sebagai keturunan (kewangsaan)
adalah ketunggalan leluhur yang ada berhubungan darah orang yang seseorang
dengan orang lain, dua atau lebih yang mempunyai hubungan darah. Jadi yang
tunggal leluhur adalah keturunan yang seorang dari orang lain.
Pada umumnya hubungan hukum yang di dasarkan kepada hubungan
kekeluargaan atau kekerabatan antara orang tua dengan anak anaknya, juga
apabila kita melihat akibat akibat hukum yang berhubungan dengan keturunan
(pertalian darah) bergandengan dengan ketunggalan leluhur, akibat hukum ini
tidaklah semua daerah sama, meskipun akibat-akibat hukum yang berhubungan
dengan ketunggalan leluhur di seluruh daerah tidak sama, akan tetapi pada
kenyataannya terdapat suatu pandangan yang sama terhadap masalah
“keturunan” ini di seluruh Indonesia, yaitu bahwasanya “keturunan” merupakan

16
TerHaar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, terjemahan K.Ng. Soebakti Poesponoto, (Jakarta:
Pradnya Paramita, 1999), h. 144.
17
Soerojo Wignjodipoero, Op,cit., 1994, h. 108.
18
Hilman Hadikusuma, Hukum Kekerabatan, (Jakarta: Fajar Agung, 1987), h. 202.
19
Ibid, h. 202.
20
Soerojo Wignjodipoero, Op,cit., 1994, h. 108.

13
suatu unsur yang essensial serta mutlak bagi sesuatu suku atau kerabat yang
menginginkannya dirinya tidak punah, yang menghendaki supaya ada generasi
penerusnya21.
Menurut Soerojo Wignjodipoero hukum adat kekerabatan, apabila dilihat
dari keberadaan keturunan, maka sifat dan kedudukan yaitu :
1. Lurus, apabila orang yang satu itu merupakan langsung keturunan yang lain,
misalnya antara bapak dan anak, antara kakek, bapak dan anak disebut lurus
ke bawah, sedangkan dari anak,bapak, dan kakek itu lurus ke atas.
2. Menyimpang atau bercabang, apabila antara kedua orang atau lebih
terdapat adanya ketunggalan leluhur, misalnya bapak-ibunya sama
sekandung (saudara sekandung), sekakek, senenek, dan lain-lain22.

2.6. Hukum Waris Adat di Daerah Rokan Hulu


Dalam masyarakat daerah di Riau yang merupakan daerah rumpun Melayu,
Rokan Hulu juga memiliki Hukum Adat yang sangat kuat dan bagaiamana
pelaksanaan hukum adatnya sebagai berikut.
1. Harta Bawaan
Dalam masyarakat melayu Rokan Hulu, harta bawaan diakui sebagai
bahagian dari harta keluarga, tapi harta itu hanya ada pada keluarga yang
mempunyai ekonomi yang kuat (kaya) yang membekali anak-anaknya dengan
harta benda asal sebagai modal bagi keluarga yang baru. Bagi keluarga yang
ekonominya relatif rendah, jarang ditemui pemberian kepada anaknya yang akan
melangsungkan perkawinan. Dengan demikian harta bawaan bukanlah suatu
persyaratan mutlak dalam pembentukan harta dalam suatu perkawinan. Selain
harta bawaan, juga terdapat harta tepatan yaitu hasil usaha seorang perempuan
sebelum melangsungkan perkawinan. Dan juga harta tepatan ini ada pula yang
berasal dari keluarga asal. Harta bawaan dan harta tepatan tidak dipersoalkan
status hukumnya sepanjang perkawinan itu berlangsung normal. Akan tetapi
bila perkawinan berakhir dengan perceraian, harta bawaan dan harta tepatan
dikuasai oleh pemiliknya. Dan bila terjadi kematian, harta itu terpisah satu sama

21
Ibid, h. 109.
22
Ibid, h. 209.

14
lainnya dan akan dipusakai oleh keluarga asal yang berhungan nasab terdekat
dengan yang meninggal23.
2. Harta Soko
Dalam masyarakat melayu Rokan Hulu, selain harta bawaan dan harta
tepatan terdapat pula harta yang disebut dengan Harta Soko. Yaitu harta yang
yang diwarisi secara turun-temurun dari beberapa generasi, yang diwarisi
turuntemurun dari mamak kepada kemenakan.
Menguraikan sistem hukum adat waris dalam suatu masyarakat tertentu,
kiranya tidak dapat terlepas dari sistem kekeluargaan yang terdapat dalam
masyarakat yang bersangkutan. Demikian pula halnya dengan sistem hukum
adat waris dalam masyarakat melayu Rokan Hulu, hal ini berkaitan erat dengan
sistem kekeluargaan baik yang menarik garis keturunan dari pihak ibu maupun
yang menarik garis keturunan dari pihak bapak.
Hukum waris menurut hukum adat Rokan Hulu, senantiasa merupakan
masalah yang aktual dalam berbagai pembahasan. Hal itu mungkin disebabkan
karena kekhasan dan keunikannya bila dibandingkan dengan sistem hukum adat
waris dari daerah-daerah lain di Indonesia ini. Seperti telah dikemukakan, bahwa
sistem kekeluargaan sebahagian masyarakat di Rokan Hulu, adalah sistem
menarik garis keturunan dari pihak ibu yang dihitung menurut garis ibu. Dengan
sistem tersebut, dalam masalah harta soko ini, maka semua anak-anak hanya
dapat menjadi ahli waris dari ibunya sendiri.
Dasar hukum waris kemenakan di Rokan Hulu, bermula dari pepatah adat,
yaitu pusaka itu dari nenek turun kemamak, dari mamak turun ke kemenakan.
Pusaka yang turun itu bisa mengenai gelar pusaka ataupun mengenai harta soko
misalnya gelar Datuk. Apabila ia meninggal dunia, gelar tersebut akan turun
kepada kemenakannya dan tidak sah jika gelar itu dipakai oleh anaknya sendiri.
Demikian pula yang berupa sebidang tanah atau sebuah rumah yang diwarisi
secara turun temurun dari dahulu sampai sekarang. Harta ini hanya boleh diambil
manfaatnya dan tidak boleh diperjual belikan. Harta ini hanya diwarisi oleh
anggota persukuan dan sebahagian persukuan mempunyai Harta Soko.
3. Harta Bersama

23
Syawir,SP.d, Datuk Manggung, Wawancara, tanggal 26, Oktober, 2010

15
Harta bersama adalah harta kekayaan yang dihasilkan oleh suami isteri
selama mereka diikat oleh tali perkawinan, atau dengan kata lain harta bersama
itu adalah harta yang dihasilkan dengan jalan syirkah antara suami isteri
sehingga terjadi percampuran harta yang satu dengan yang lain dan tidak dapat
dibedakan lagi.
Dalam hukum adat, harta bersama merupakan bagian dari harta perkawinan.
Harta perkawinan adalah harta benda yang dapat digunakan oleh suami-isteri
untuk membiayai biaya hidup mereka sehari-hari beserta anakanaknya. Suami
dan isteri sebagai suatu kesatuan bersama anak-anaknya dalam masyarakat adat
disebut serumah. Dengan demikian, harta perkawinan pada umumnya
diperuntukkan bagi keperluan serumah. Harta perkawinan dalam hukum adat
dapat dipisah menjadi empat macam sebagai berikut:
a. Harta yang diperoleh suami atau isteri sebagai warisan atau hibah dari kerabat
masing-masing dan dibawa ke dalam perkawinan.
b. Harta yang diperoleh suami atau isteri untuk diri sendiri serta atas jasa diri
sendiri sebelum perkawinan atau dalam masa perkawinan.
c. Harta yang dalam masa perkawinan diperoleh suami dan isteri sebagai milik
bersama.
d. Harta yang dihadiahkan kepada suami dan istri bersama pada waktu
pernikahan.

Masalah harta bersama dalam Undang-undang Perkawinan diatur dalam


Pasal 35-37. Pasal 35 (1) menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama
perkawinan menjadi harta bersama, sementara Pasal 35 (2) menjelaskan bahwa
harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Pasal
36 ayat (1) mengatur, bahwa suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan
kedua belah pihak. Pasal 37 menjelaskan bahwa bila perkawinan putus karena
perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Pasal 37
ini mengindikasikan bahwa ketika terjadi perceraian, harta bersama yang
diperoleh oleh pasangan suami isteri selama perkawinan dapat diatur dengan

16
menggunakan aturan yang berbeda-beda tergantung pada variasi hukum adat
atau hukum lain di luar hukum adat.
Harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Pasal 37 ini
mengindikasikan bahwa ketika terjadi perceraian, harta bersama yang diperoleh
oleh pasangan suami isteri selama perkawinan dapat diatur dengan
menggunakan aturan yang berbeda-beda tergantung pada variasi hukum adat
atau hukum lain di luar hukum adat.
Masyarakat melayu Rokan Hulu mengakui adanya harta bersama memiliki
konsepsi bahwa segala kekayaan yang diperoleh suami atau isteri selama
perkawinan berlangsung termasuk harta bersama, selama suami isteri tersebut
sama-sama bekerja untuk keperluan serumah. Dan pengertian bekerja itu sendiri
lama-kelamaan menjadi semakin luas dan kabur, sehingga seorang isteri yang
bekerja di rumah saja untuk memelihara anak-anak dan mengurus rumah tangga,
sudah dianggap bekerja juga, sehingga dalam hal ini semua kekayaan yang
diperoleh suami menjadi harta bersama. Ini adalah sesuatu yang wajar, sebab
meskipun pihak isteri tidak bekerja sendiri untuk memperoleh harta tersebut,
namun dengan memelihara anak-anak dan membereskan urusan rumah tangga
itu, pihak suami telah menerima bantuan yang sangat berharga dan sangat
mempengaruhi kelancaran pekerjaannya sehari-hari, sehingga secara tidak
langsung juga mempengaruhi jumlah harta yang diperoleh.
Selain itu, apabila dalam mengurus rumah tangga sehari-hari, isteri mampu
melakukan penghematan yang pantas, maka secara langsung isteri juga
membantu dalam memelihara dan memperbesar harta milik bersama suami
isteri. Oleh karena itu, anggapan umum yang saat ini berlaku adalah bahwa harta
yang diperoleh selama dalam perkawinan selalu menjadi milik bersama suami
isteri, tanpa mempersoalkan siapakah yang sesungguhnya berusaha memperoleh
harta tersebut. Hukum adat juga mengatur pembagian harta bersama ketika
perkawinan berakhir akibat kematian salah satu pihak atau akibat perceraian.
Namun demikian yang menjadi arus utama dalam pembagian harta bersama
adalah bahwa suami atau isteri masing-masing mendapat separoh dari harta
bersama. jika perceraian itu sebelum mempunyai anak. Akan tetapi bila

17
perceraian terjadi setelah punya anak, maka harta bersama itu tidak dibagi, tetapi
sepenuhnya diperuntukkan kepada anak-anaknya.
4. Pembagian Harta Warisan
Adapun yang dimaksud harta warisan adalah harta peninggalan setelah
dikurangi biaya perawatan, hutang, zakat, dan wasiat. Dalam arti, harta yang
menjadi harta warisan itu tidak terdapat hak orang lain di dalamnya. Setelah
empat hak tersebut ditunaikan barulah sisa harta tersebut (bila masih ada)
dibagikan kepada ahli waris sesuai bagian mereka masing-masing.
Pelaksanaan pembagian warisan di Rokan Hulu tergantung pada hubungan
dan sikap para ahli waris pada saat pembagian. Pembagian warisan mungkin
terjadi dalam suasana tanpa sengketa atau sebaliknya dalam suasana
persengketaan di antara para ahli waris.
Dalam suasana tanpa persengketaan, suasana persaudaraan dengan penuh
kesepakatan, pelaksanaan pembagian waris dilakukan dengan cara: Musyawarah
antara sesama ahli waris/keluarga atau musyawarah antara sesama ahli waris
dengan disaksikan oleh seorang ulama.
Sebaliknya, apabila suasana persengketaan mengiringi pembagian itu, maka
pelaksanaan pembagian dilakukan dengan cara: musyawarah sesama ahli waris
dengan disaksikan oleh sesepuh desa atau musyawarah sesama ahli waris dengan
disaksikan oleh Kepala desa, pemuka masyarakat dan juga dimintakan bantuan
ulama. Apabila usaha-usaha permusyawaratan ini gagal, baru diajukan ke
pengadilan.
Tidak ada kepastian waktu mengenai harta warisan harus dibagikan. Di
daerah ini, terdapat kebiasaan bahwa harta warisan tidak akan dibagikan selama
anak/anak-anak pewaris belum dewasa kecuali bila ada wali atas anak belum
dewasa tersebut.
Di Rokan Hulu, anak angkat tidak dipandang sebagai ahli waris yang
mempunyai hak penuh atas warisan orang tua angkatnya. Seorang anak angkat
tetap merupakan ahli waris dari orang tua kandungnya. Oleh karena itu,
pengangkatan anak sama sekali tidak memutuskan kedudukanya sebagai ahli
waris dari orang tua kandungnya.

18
Janda/duda berhak mendapat ½ dari harta bersama. Dalam hal harta
bersama tidak mencukupi, janda dapat menguasai harta asal suaminya sampai ia
menikah lagi atau meninggal. Lazimnya, harta asal dikuasai oleh keluarga asal
apabila tidak ada anak. Sedangkan kalau ada anak harta asal tersebut akan jatuh
pada anak. Apabila suami membeli sesuatu barang atas nama si suami, maka
barang tersebut akan jatuh pada anak, kalau barang tersebut dibeli atas nama
isteri, maka barang tersebut akan jatuh pada janda. Demikian pula harta asal
kembali ke asalnya kalau tidak ada anak, sedangkan kalau ada anak harta asal
tersebut akan jatuh kepada anak.
Para ahli waris bertanggung jawab untuk melunasi hutang-hutang pewaris.
Pada tahap pertama, hutang-hutang pewaris dilunasi dengan harta
peninggalannya. Karena itu, harta peninggalan pewaris baru akan dibagi setelah
semua hutang-hutang tersebut dilunasi. Biaya penguburan merupakan salah satu
hutang yang harus diutamakan pelunasannya. Apabila harta peninggalan pewaris
tidak mencukupi untuk melunasi hutang-hutangnya, maka hibbah yang telah
diberikan ketika pewaris masih hidup dapat ditarik kembali untuk melunasi
hutang-hutang tersebut.

2.7. Hukum Waris Adat di Daerah Kampar


Pada umumnya dalam sistem kewarisan suatu masyarakat didasarkan pada
sistem kekerabatan yang dianut. Sebagai bagian dari pemerintahan, masyarakat
Kampar bersuku keibuan dengan rumpun adat kekerabatan Matrilineal, yaitu
mendasarkan garis keturunan melalui garis keturunan ibu, waluapun kita ketahui
bahwa masyarakat Melayu cendong ke sistem Patrilineal tetapi masyarakat adat
Kampar berbeda. Dengan susunan kemasyarakatan persekutuan yang disebut
kolekti. Dengan demikian harta pusaka pada masyarakat Kampar diturunkan
melalui garis keturunan ibu dan tertutup sama sekali penurninan harta pusaka
melalui bapak, baik kebawah maupun keatas.
Harta Waris pusaka dalam suku adat di daerah Kampar biasanya Tanah, dan
Hutan Ulayat. Tanah dan hutan ulayat merupakan sumber daya alam milik
perkauman, pauk, ataupun suku tertentu dalam struktur adat di Riau yang
kepemilikannya diwariskan secara turun temurun. Tanah dan Hutan di Riau

19
kegunaannya berbeda aturannya dengan kegunaan yang terdapat ditempat-tempat
lain.
Walupun demikian dalam pewarisan di Kampar, terdapat 2 kelompok harta
yang menjadi dasar pewarisan secara umum yaitu:24
1. Harta Pusaka Rendah; Harta yang diperoleh dari penghasilan kedua orangtua
selama mereka dalam pernikahan
2. Harta Pusaka Tinggi; Harta yang diperoleh secara turun temurun dan orang
terdahulu dan berlaku selama keturunan dalam masyarakat tersebut masih ada
yang sering diistilahkan Hak Ulayat

Hasan Basri mengatakan bahwa harato kembali kagamo, pusako kembali


kaadaik, artinya terhadap harata pencarian orang tua, maka sistem pewarisan
didasarkan pada Syara’, yaitu diturun wariskan kepada anak, dengan pembagian
anak laki-laki sebanyak 2 bahagian dari bahagian perempuan. Semetara itu bagi
pusako (pusaka tinggi/hak ulayat), berlaku sistem menurut adat, dimana harta
diturunkan kegaris perempuan keturunan ibu.
Pewarisan Harta Pusaka Rendah, pewarisan dalam hal harta ini, pada
masyarakat Kampar tetap melandaskan filosofinya kepada konsep Islam dimana
tempat tinggal istri disediakan oleh suami, sehingga hukum Islam memberikan
porsi yang lebih besar bagi pihak laki-laki dibanding perempuan. serta tanggung
jawab dan kekuasaan berada ditangan suami. Dalam hal pewarisan terhadap harta
pusaka rendah ini, Prof. Suwardi.MS25, mengatakan adanya tren peningkatan kasus
rebut waris yang bersumber dari pencarian orang tua saat ini diindikasikan
kegagalan orangtua untuk berperan aktif dalam memberikan pemahaman kepada
anak-anak mengenai agama yakni tentang pentingnya silaturahim, serta mendidik
anak agar berprilaku mandiri dan peduli dengan lingkungan sekitar. Disamping itu
masyarakat dan instansi terkait harus pro aktif menyelesaikan permasalahan ini
melalui mediasi atau papaun namanya guna mencari penyelesaian yang adil dan
memuaskan bagi kedua pihak. Apabila dalam suatu keadaan terjadi pupus

24
Hasan Basri, Pemuka Masyarakat Kapar, Rumbio-Kampar, wawancara dilakukan Senin, 5
November 2012
25
Dosen Hukum Adat Riau, Peneliti LAM Riau, Pemateri Seminar Adat Melayu. 2012.

20
keturunan, maka semua harta waris akan jatuh ke pengawasan baitul maal. Untuk
selanjutnya diarahkan penggunaannya.
Sedangkan Harta Waris Pusaka Tinggi, Berbeda dengan pewarisan harta
pusaka rendah, pada sistem pewarisan harta pusaka tinggi adat Kampar peranan
penting berada pada pihak ibu/ perempuan beserta mamak. Peranan suami sebagai
kepala keluarga tidak kuat. Karena dalam rumah tangga peranan mamak, saudara
laki-laki ibu lebih dominan dibanding suami. Seorang bapak posisinya hanya
sebagai semenda bahkan lebih diharapkan sebagai pemberi benih bagi keturunan
isterinya. Dalam hal ini keberadaan keturunan dari pihak perempuan sangat dinanti,
keluarga yang tidak mempunyai anak perempuan dianggap sebagai keluarga
pupus.26
Pewarisan dalam masyarakat adat Kampar dibawah pengawasan pihak laki-
laki dalam hal ini adalah Ninik mamak Tertua dalam kaum, Kalau ada yang dibagi
maka berdasarkan musyawarah ninik mamak membagi pewarisan ini meliputi 2 hal
yakni berupa barang bergerak dan tidak bergerak, terkait benda bergerak, seperti
kendaraan biasanya diberikan kepihak laki-laki. Namun untuk barang tidak
bergerak seperti tanah, biasanya bagian tersebut diberikan ke pihak perempuan. hal
ini bisa jadi hak pakai atau hak milik. Karena pihak perempuan punya tanggung
jawab juga terhadap pihak laki-laki, yaitu dalam hal ketidak harmonisan hubungan
laki-laki dengan keluarga isterinya sehingga pihak laki-laki ini nanti akan kembali
kerumah saudara perempuan, sehingga selama kita dirumah akan menjadi tanggung
jawab saudara kita perempuan, termasuk diantaranya jika saat sakit saudara kita
perempuanlah yang akan membiayai, bahkan sampai biaya penguburan.
Terkait harta pusaka tinggi ada beberapa hal yang perlu diketahui adalah
sebagai berikut.27
1. Bahwa yang dimaksud harta pusaka tinggi adalah harta yang diwariskan
temurun berupa tanah
2. Pada dasarnya tidak dapat dialihkan,
3. Berapa banyak dan sampai kapan berlakunya Hak,
4. Terjadinya Kepupusan/ Kepunahan.

26
Ibid.
27
Ibid.

21
Sebagai suatu masyarakat agraris, masyarakat adat kampar terikat dengan
tanah, sumber kekayaan mereka berasal dari pengelolahan tanah. Tanah menjadi
ukuran simbol kekayaan suatu kaum. Orang yang tak memiliki tanah dianggap
miskin atau tak jelas asal-usulnya. Tanah yang berada dalam pengelolahan inilah
yang disebut tanah ulayat/ tanah kaum. Tanah ini dalam pengawasan mamak tertua
dalam kaum botuang tumbuah dimato, air tertuang diureknyo, artinya orang yang
dicalonkan dalam kaum dengan turunan asli yang mengemukakan musyawrah
untuk mufakat dalam rangka memelihara adat, agama, negeri serta anak cucu.
Selain itu juga memelihara harta pusaka yang dalam pituah adat sumbing dititik,
hilang dicari, kurang batukok, rusak diperbaiki, sawah nan bapiriang, ulayat,
ladang nan babidang, bandar nan baliku, padang nan berbatas. Artinya inilah yang
menjadi harta pusaka turun temurun, dari ninik turun ke mamak, dari mamak turun
ke kamanakan dalam jalur rumpun waris keibuan/ matrilineal.
Dalam adat Kampar harta pusaka diartikan sebagai penjaga sumpah setia,
kuat memegang adat dan lembaganya, indak lakangdek paneh, indak lapok kareno
hujan. Sebagai penjaga sumpah, ninik mamak tertua dalam kaun tidak boleh
berkehedak bebas dalam harta pusaka kaumnya termasuk membawa hasil atau
memperuntukan harta itu untuk kerumah isteri/anaknya. Namun terkait hal-hal
istimewah/ mendesak, maka ninik mamak pemegang waris dapat berdiskusi dengan
kaumnya untuk menggadaikan sementara harta pusaka dalam hal meliputi:28 1
1. Rumah gadang katirisan
2. Mayat terbujur yang perlu diselamatkan
3. Janda/ gadis tua yang belum bersuami
4. Kepentingan sosial yang jelas

Kesemua harta pusaka ini termasuk sawah, ladang, perkebunan didalam


kampung, baik didarat/ tegalan, rumah gadang, kesemuanya dipegang, dan
dipelihara oleh pihak perempuan dibawah pengawasan siompu suku. Karena
kedudukan wanita dalam adat harus senantiasa dilindungi, dijaga, dan dipelihara

28
Hasan Basri, Op Cit., 2012.

22
sehingga terhindar dari keadaan kondisi yang mencemarkan kehormatannya
sebagai wanita, tidak ditelantarkan, dan dijauhkan dari kesengsaraan.
Harta pusaka yang diwariskan oleh suatu generasi ke generasi berikutnya
dalam pewarisan adat Kampar umumnya berupa Tanah, yang penggunaannya
dibedakan dalam 2 bentuk:
 Hak Bersama; berupa tanah yang dimiliki oleh suku, kaum secara kolektif dalam
bentuk ganggam beruntuk yang tidak dapat ditentukan bagian masing-masing
dari anggota ulayat, yaitu berstatus pusaka tinggi.
 Bukan Hak Bersama; dapat dikuasai oleh suatu perut dalam kaum/ suku, yang
mana perut lain tidak dapat menguasainya.
Jika dilihat dari cara seseorang mendapatkan harta atau tanah, ada beberapa
bentuk harta, yakni; harta yang dipusakai, harta pencarian, harta pemberian, harta
bawaan, dan harta tempatan. Dalam kekerabatan adat Kampar dengan sistem
matrilinealnya, maka kedudukan mamak dari kemenakan atau anak dari saudara
perempuan adalah pengawas terhadap harta kemenakannya, sedangkan dalam
pengelolaannya berada dalam penguasaan pihak perempuan. Disamping tanah,
dalam harta waris Kampar ada juga yang dinamakan hutan ulayat, sebagai pusaka
tinggi milik bersama kaum yang peruntukannya dibagi menurut kebutuhan kaum,
hutan Ulayat/ kesepakatan status kepemilikan bersama, yang batas ulayatnya
terbagi atas batasan penguasaan atau kekuasaan yang diatur oleh pucuk adat
disetiap negeri menurut susunan penguasaan yang dikondisikan, diantaranya
adalah:29
 Hutan Soko; Berasal dari tanah dan hutan ulayat, kemudian menjadi hutan tanah
soko persukuan 4 besar. Ulayat soko ini demi keadilan bagi suku-suku lain yang
kecil atau pendatang, maka didistribusikan pula ke ninik mamak dibawah suku
empat besar. Hutan soko lainnya ada juga yang dihibahkan kepada kepentingan
pendidikan, sosial kemasyarakatan, kepentingan jalan kampung, dan lainnya.
Sementara Tanah soko didistribusikan kepada anak kemenakan perempuan yang
lantas digunakan untuk perumahan, persawahan, ladang, perkebunan, tambak,
perkuburan, serta surau.

29
H. Answar DT.Panglimo Rajo, Op,cit., 2012

23
 Hutan Larangan; Terdiri atas hutan lindung, suaka marga satwa, hutan kampung
sialang, yang tidak boleh diganggu dan digugat oleh siapapun, wilayah ini harus
dijaga, dipelihara, dan dilestarikan sampai anak cucu mendatang.
 Hutan Pecadangan; Diperuntukan bagi keperluan, hutan industri, suaka alam,
hutan produksi terbatas, hutan tetap, dan cadangan lainnya.

2.7.1. Sistem Hukum Waris Adat di Daerah Kampar


Bahwa ahli waris dibedakan atas ahli waris terhadap harta pusaka
rendah dan ahli waris terhadap harta pusaka tinggi. Berikut akan diuraikan ahli
waris menurut Adat Kampar dan proses pewarisannya: Ahli waris harta pusaka
rendah; Dalam silsilah adat Kampar dikenal istilah bahwa harato kambalikan
ka agamo, pusakao kambalikan ka adat, artinya berkaitan dengan harta (
pusaka rendah ), adat kampar menganut pola pewarisan yang berlandaskan
syara’/ ajaran Islam, baik mengenai jenis, cara pewarisan, maupun pembagian
ahli waris. Mengenai harta yang diwariskan meliputi harta pencarian orang tua
atau jerih payah mereka selama pernikahan. Bahkan dijelaskan lebih lanjut
bahwa harta ini dapat berupa harta bawaan orang tua atau harta bersama
orangtua yang dikurangi dengan keperluan si-pewaris atau utang nya selama
masih hidup, serta wasiat beliau jika ada.
Menurut Hasan Basri30, yang menjadi ahli waris dalam harta pusaka
rendah ini dikarenakan 3 hal:
1. Adanya hubungan nasab/ kekerabatan/ keturunan, seperti ayah, kakek, anak,
cucu, atau saudara, baik dalam garis lurus keatas, kebawah, atau
menyamping.
2. Adanya hubungan pernikahan, seperti suami, isteri
3. Hubungan persaudaraan Islam
Terkait dengan pola pembagian warisan sebagaimana hubungan
pernikahan dan keturunan, berlaku sistem yang diatur dalam Alquran dan

30
Ibid., 2012.

24
hadist, atau diistilahkan dengan ashabul furudl. Terhadap hubungan
persaudaraan dalam Islam, hal ini terjadi jika sipewaris tidak memiliki garis
keturunan yang akan mewarisi hartanya, sehingga harta tersebut akan
diserahkan ke baitu maaluntuk dimanfaatkan bagi kemashlahatan umat Islam.
Sebagai penganut pola kekerabatan Matrilineal, masyarakat Kampar
mendasarkan pola pewarisannya berdasarkan garis keturunan ibu, pihak ibu
mempunyai peranan penting dalam keluarga dibawah bimbingan mamak/
mamak waris tertua. Sehingga perkembangan keturunan dari pihak ibu atau
perempuan menjadi sangat penting karena berkaitan langsung dengan
pewarisan harta pusaka nantinya. Pada masyarakat Kampar, kaum yang tidak
memiliki anak perempuan dianggap sebagai pihak yang tidak dapat
melanjutkan garis keturunan sehingga akan perlahan pupus atau putus waris.
Harta pusaka ini nantinya akan diatur pewarisannya oleh mamak waris
kepada kemenakan perempuan/anak dari saudara perempuannya. Di Kampar
perempuan sebagai pewaris tunggal terhadap harta pusaka, yang berdasarkan
musyawarah ninik mamak dapat dijadikan hak pakai bahkan hak milik. Posisi
laki-laki pada adat Kampar hanya sebagai pengawas terhadap harta pusaka.
Biasanya laki-laki akan mendapat bagian dari harta pusaka hanya terbatas pada
benda bergerak seperti sepeda, motor, atau kendaraan lainnya seperti perahu.
Hasan Basri menyatakan bahwa Karena kedudukan wanita dalam adat
harus senantiasa dilindungi, dijaga, dan dipelihara sehingga terhindar dari
keadaan kondisi yang mencemarkan kehormatannya sebagai wanita, tidak
ditelantarkan, dan dijauhkan dari kesengsaraan maka perempuan lebih di
prioritaskan. Lebih jauh Hasan basri menyatakan bahwa pihak perempuan juga
memiliki tanggung jawab besar terhadap laki-laki/ saudara kandungnya seperti:
 Jika saudara laki-lakinya sakit
 Jika saudara laki-lakinya ada masalah dirumah anaknya, atau terjadinya
perceraian
 Jika melakukan tindakan tercela, seperti selingkuh,dan lainnya
 Jika mempunyai Utang masa muda yang baru diketahui
 Jika meninggal dunia
 Dan keadaan khusus lainnya.

25
Maka terhadap hal ini akan menjadi beban bagi saudara perempuannya,
sehingga selama saudara laki-lakinya mengalami permasalahan dan menetap
dirumah induk maka semua beban nya menjadi beban saudara perempuan.
Demikian besarnya penghargaan adat terhadap perempuan, sehingga disegala
segi kehidupannya perempuan harus dilindungi, bahkan tidak jarang
perempuan menerima hal yang sebaliknya dari saudara laki-lakinya, yang
dengan keegoisan dan kekuatannya mencoba mengambil alih semua hak yang
telah diberikan adat terhadap perempuan yang dalam adat dikatakan urang nan
tonkar jo adat, ibaraik kacang lupo kuliknyo.
2.8. Hukum Waris Adat Melayu

A. Pembagian Pembagian Harta Warisan


1. Harta Bawaan dan Tepatan
Hukum harta benda dalam sistem kewarisan islam dan kewarisan adat
pada dasarnya dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya oleh cara harta
benda itu diperdapat, dan oleh sistem garis keturunan yang berlaku bagi
pembentukan keluarga dan kekerabatan. Mengenai harta benda itu diperoleh
dapat dibedakan dalam beberapa bentuk, pertama harta benda yang di peroleh
oleh seseorang sebelum melangsungkan perkawinan, baik atas usahanya
sendiri maupun dari pemberian dari keluarga asalnya. Harta ini bila dibawa
kedalam perkawinan maka statusnya tidak mengalami perubahandan tetap
menjadi hak milik bagi suami yang membawanya, kecuali ada kerelaan dari
suami untuk menjadikan harta bawaan itu sebagai modal pengembangan
usaha berikutnya.
Dalam Masyarakat Penyengat dan Daik, harta bawaan itu memang
diakui sebagai bahagian dari harta keluarga, tapi harta itu hanya ada pada
keluarga yang mempunyai ekonomi kuat/kaya, yang membekali anaknya
dengan harta benda asal sebagai modal suatu keluarga yang baru. Tapi bagi
keluarga yang ekonominya relatif rendah jarang ditemui adanya pemberian
kepada anaknya yang akan melangsungkan perkawinan. Dengan demikian,
harta bawaan itu bukanlah suatu persyaratan mutlak bagi pembentukan harta
dalam perkawinan. Bila satu orang membawanya kedalam perkawinan dan

26
satu lagi tidak membawanya, maka ia tidak akan dihitung sebagai bagian
harta warisan31.
Dalam masyarakat melayu juga terdapat harta tetapan, hasil usaha
seorang perempuan sebelum melangsungkan perkawinan. Ada juga
sebahagian diantaranya harta tetapan itu bersalah dari keluarga asal, baik
diterima sebagai warisan kerabat atau diterima sebagai warisan dari
mewarisinya. Harta tetapa mempunyai status hukum tersendiri, ia tidak
bercampur dengan harta bawaan suaminya kecuali adanya persetujuan dari
pihak suami dan istri untuk menyatukannya sebagai dasar ekonomi keluarga
yang dibentuknya. Namun bila tidak ada kesepakatan maka harta tersebut
sepenuhnya menjadi hak istri, dan suami tidak mempunyai hak untuk
memanfaatkannya, namun mempunyai kewajiban untuk menjaganya.
Harta tepatan dan harta bawaan tidak dipersonalkan status hukumya
sepanjang perkawinan itu berlangsung stabil dan normal. Akan tetapi harta
itu akan dipersonalkan bila perkawinan itu mengalami perceraian atau
meninggalnya salah satu dari pasangan tersebut. Bila terjadi perceraian maka
harta tersebut akan kembali ke pihak yang memilikinya. Namun, bila
terjadinya kematian dari salah satu pasangan, harta tetapan dan harta bawaan
tidak disatukan secara bersama, harta itu terpisah satu sama lainnya dan akan
dikuasai oleh pihak keluarga asal yang mempunyai hubungan nasab terdekat
dari mewaris.
Harta bawaan dan harta tepatan itu secara hukum tetap menjadi hak
milik orang yang memperolehnya dan tidak diwarisi oleh suami atau istrinya,
jika mereka meninggal dan tidak memiliki anak maka harta yang ditinggalkan
itu akan kembali kekeluarga asalnya. Dengan ketentuan itu berarti harta
tepatan dan harta bawaan tidak akan diperoleh oleh siapapun kecuali anak
kandungnya sendiri. Jika mereka tidak memiliki anak maka anggota
kerabatlah yang dapat menjadi ahli waris dari harta yang ditinggalkan.
Harta warisan ini dalam masyarakat Islam Penyengat dan Daik-Lingga
jarang diwarisi oleh ahli warisnya, sebab harta tersebut sulit ditemui didalam

31
Abdul Kadir, Wawancara, tgl. 8 oktober 1992. Mengenai harta bawaan yang biasa berlaku
dalam keluarga yang mampu adalah bervariasi, ada yang bentuk benda berharga semacam tanah,
kebun, dan lainnya.

27
sistem harta keluarga32. Disamping itu adda tradisi yang berlaku dimana anak
yang sudah dewasa membantuk ekonomi keluarga. Jika anak laki lakinya itu
berkerja di suatu perusahaan, maka hasil pencahariannya itu diserahkan
kepada orangtuanya dan orangtuanya inilah yang akan memanfaatkan hasil
usahanya itu untuk memenuhi keeperluan dan kebutuhan hidup keluarga. Ada
juga anggapan dari masyarakat, bahwa hasil pencaharian anggota keluarga
adalah menjadi milik keluarga asal.
Adanya satu kesatuan harta dalam suatu keluarga disebabkan kuatnya
penganut sistem kekerabatan dalam satu masyarakat. Semakin kuat sistem
kekerabatannya maka semakin kuat hubungan individu individu dengan
keluarga asalnya. Kenyataan ini bisa dilihat pada masyarakat Daik-Lingga
dan Penyengat, dimana anak laki laki dan perempuan tetap tinggal bersama
keluarganya meskipun ia sanggup untuk membiayai hidupnya sendiri, namun
ia tetap tinggal dengan orangtuanya. Sebagai imbalan dari keluarga asal pada
saat anak anak yang sudah dewasa melangsungkan pernikahan maka biaya
akan di tanggung

2. Harta Benda Hadiah


Dalam masyarakat Melayu juga dijumpai harta benda yang berupa
hadiah oleh kerabat atau dari masyarakat setempat33. Tradisi ini sudah lama
dikenal dalam masyarakat Nusantara, seperti yang diungkapan oleh ahli
hukum adat Ter Haar34, telah menjadi kelaziman bagi masyarakat indonesia,
apabila pernikahan dilangsungkan, masyarakat memberikan barang-barang
atau uang sebagai haduah perkawinan bagi kedua pihak yang melangsungkan
perkawinan. Pemberian hadiah ini diberikan saat berlangsungnya perkawinan.
Pernyataan dari Ter Haar itu ada benarnya dan bisa dilihat pada masyarakat
Daik-Lingga dan Penyengat, Bila ada perkawinan anggota kerabat dan
masyarakat memberi hadiah berupa barang-barang atau uang.

32
Usman H.M Salch, Wawancara, tgl 6-10-1992 dan A. Hasan, Wawancara, tgl. 8 Oktober 1992

33
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, ( Jakarta : Rajawali, 1981 ) hal. 273
34
Muhammad Amin, Wawancara, tgl. 6 Oktober 1992, dan A. Kadir, wawancara, tgl. 8 Oktober
1992

28
Mengenai status hukum harta hadiah ini biasannya menjadi harta
bersama istri dan suami, dan keluarganya dapat memanfaatkannya bagi
kepentingan keluarga. Karna sifat harta ini merupakan pemberian untuk
kedua pengantin, maka harta itu menyatu dengan hak suami istri dalam
perkawinan. Menurut A. Kadir 35 harta hadiah itu sifatnya insidental dan
bukanlah sejenis harta yang mempunyai harga tinggi, tetapi relatif rendah
sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat. Bahkan bagi keluarga yang
dibentuk juga tidak memandang hadiah sebagai dasar bagi ekonominya,
hanya memandangnya sebagai suatu pertanda atas kerelaan dan restu kerabat
serta masyarakat terhadap perkawinan36.
Hadiah perkawinan tidak dipersoalkan dalam kehidupan keluarga,
karena sifat dan jenisnya bernilai ekonomis. Meskipun demikian, status harta
itu tidak dapat di abaikan, karna berapapun kecil nilainya tetap menyangkut
hak dari pihak yang memilikinya37. Fakta ini terlihat pada saat perceraian,
terutama menyangkut harta hadiah berharga seperti emas dan sejenisnya.
Mengenai harta hadiah semacam ini menurut A. Kadir harta itu di bagi sama
rata, separuh untuk suami dan separuhnya untuk istri. Apabila perkawinan itu
menghasilkan anak maka harta tersebut diperuntukkan kepada anak.
Pemberian hadiah itu akan terjadi bila perkawinan itu dibini hanya beberapa
tahun. Jika perkawinan telah dibina cukup lama mencaai 8-10 tahun maka
hadiah itu menjadi harta pencaharian keluarga38.
Dalam adat yang berlaku dalam melayu jika salah satu pasangan suami
istri meninggal dan perkawinan itu belum lama berlangsung itu tetap dihitung
sebagai harta tirkah, dalam arti harta itu diperhitungkan kedudukan
hukumnya untuk dibagikan kepada ahli waris. Terutama bila ahli waris
nasabiyah memihaknya kepada istri sebagai ahli waris sababiyah. Tuntutan
itu biasanya dilakukan ahli nasabiyah selain anak darimawaris, sebab bila

35
Abdul Kadir, Wawancara, tgl. 8 Oktober, 1992,

36
Kantan, Wawancara, tgl. 6 Oktober 1992, dan Muhammad Amin, Wawancara, tgl. 5 Oktober
1992
37
Hadiah Perkawinan ini baiasanya berbentuk perhiasan, Idlina (30), Sekretariat Desa Penyengat,
Wawancara, tgl. 7 Oktober 1992
38
Ibid.

29
mempunyai anak maka merekalah yang menempati posisi utama untuk
mendapatkan harta hadiah tirkah tersebut.39

3. Harta Pencaharian Bersama


Pada dasarnya, begitu aqad nikah dilaksanakan maka antara pihak yang
melangsungkan perkawinan sudah terjalin hubungan hukum, serta akibat
hukum mengenai hak dan kewajiban suami istri dalam kesatuan keluarga.
Salah satu kewajiban yang harus dipenuhi seorang suami adalah mencari
nafkah untuk keluarganya. Legitimasi atas kewajiban suami mengisi nafkah
zahir ini sesuai dengan prinsip hukum syara’ sebab hukum syara’ tidak
membebankan pencarian nafkah itu pada istri. Istri cukup merawat serta
memelihara apa yang dapat oleh suaminya. Istri mempunyai kewajiban
mengurus rumahtangga dan menata semua harta yang didapat suami dalam
perkawinannya40.
Dalam masyarakat Penyengat dan Daik-Lingga, ketergantungan
pasangan yang baru kawin kepada keluarga asal sangat kuat sebab belum
mempunyai sistem ekonomi yang baik. Untuk beberapa tahun pertama,
kebutuhan primernya sepenuhnya tanggung jawab keluarga asal, terutama
dari pihak perempuan. Hukum adat telah menetapkan bahwa setiap yang akan
melangsungkan perkawinan akan bergabung dengan keluarga atau kerabat
pihak perempuan. Tanggung jawab itu berakhir ketika kedua pasangan
tersebut pindah kerumah sendiri untuk menjalani kehidupan siklus berumah
tangga pertama.
Pada siklus rumah tangga tahap kedua, sistem ekonomi sudah mulai
terbentuk, dan aktifitas serta kreativitas suami dalam mencari nafkah telah

39
Ibid.
40
A. Hasan, Wawancara, tgl. 7 Oktober 1992, dan Rauzi, tgl. 8 Oktober 1992

30
terlihat nyata dan terpisah dari ekonomi keluarga asal. Dalam masa tahap
kedua ini semua pendapatan serta penghasilan suami merupakan milik
bersama. Ini sudah merupakan ketentuan hukum syara’ yang menetapkan
akibat perkawinan bahwa adanya kesatuan nafkah dan pendapatan dalam
keluarga. Karena itu dampak hukum perkawinan itu akan menyentuh dimensi
hak dan kewajiban nafkah serta status hukum keluarga.41
Dalam masyarakat Penyengat dan Daik-Lingga, yang mencari nafkah
itu pada dasarnya adalah kewajiban suami. Akan tetapi bukan berarti isteri
tidak mempunyai aktifitas ekonomi. Banyak diantaranya yang aktif
membantu suami berkebun atau bercocok tanam. Keikutsertaan isteri ini
menurut infoman adalah kesadaran diri sendiri dan tanpa paksaan suami,
kesadaran itu timbul karena kenyataan hiduo yang butuh pengorbanan tenaga
untuk mencukupi hidup bagi anggota keluarga yang makin besar dan biaya
pendidikan yang semakin mahal.42
Suatu tradisi sosial dalam adat melayu, tidak adanya pembagian
pekerjaan secara tegas anatara suami dan isteri, Seakan akan mereka hanya
bekerjasama dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka. Demikian
juga si anak yang ingin membantu orangtuanya dalam berkerja. Dan tidak ada
juga pembagian hasil kerja masing masing, karena hasil usaha suami, isteri,
dan anak anak merupakan harta kekayaan bersama dalam kesatuan keluarga.
Harta benda yang menjadi milik keluarga itu meliputi berbagai jenis,
pertama benda yang tidak bergerak, seperti tanah, tumbuh tumbuhan, rumah
dan benda mati lainnya. Kedua benda bergerak meliputi, perabotan rumah
tangga, hewan, kendaraan dan lainnya. Pokoknya yang dijadikan objek yaitu
Harta Benda, yaitu segala benda yang berharga secara materi yang beredar
antara manusia43
Bagi Masyarakat melayu harta kekayaan yang amat berharga adalah
tanah, rumah, perhiasan, kendaraan, dan benda lainnya yang dianggap
lengkap. Mengenai jumlah harta yang dimilik tergantung seseorang dalam
menekuni bidang usahanya serta rezeki yang diberikan oleh ALLAH SWT

41
Menurut A. Kadir, wawancara, tgl. 9 Oktober 1992.
42
Muhammad Amin, Wawancara, Tanggal 09 Oktober 1992.
43
Lihat Hasbi Ash-Shiddiqi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hal.151

31
kepada seseorang atau keluarga batih tersebut. Tinggi atau rendahnya
ekonomi warga melayu tidak menjadi persoalan, karna orang melayu
mempunyai filsafat hidup tidak bercorak matrelialistis. Filsafat hidup nya
dilandasi oleh doktrin agama yang memandang harta sebagai amalan allah,
dan merupakan hak milik mutlak. Harta bukanlah suatu media untuk
mengukur status sosial seseorang, melainkan yang menjadikan naiknya status
sosial adalah atas dasar taqwa dan moral yang dimiliki seseorang atau
keluarga yang bersangkutan.
Harta pencaharian bersama dapat bertambah apabila suami istri dapat
mengembangkannya dan memanfaatkannya secara produktif dan bisa
mempertahankan eksistensinya sampai akhirnya menjadi harta warisan, akan
tetapi harta bersama itu bisa berkurang jika harta itu dimanfaatkan secara
konsumtif dan tidak dapat menjadi harta warisan bagi generasi berikutnya,
bahkan akan menjadi beban ahli waris yang disebabkan timbulnya hutang
piutang untuk menutupi kekurangan tersebut.44
Status harta bersama tidak dipertanyakan secara tidak dipersoalkan
sepanjang rumah tangga suami isteri berjalan ideal sesuai ketentuan syara’.
Persoalan akan muncul ketika permasalahan yang tidak terselesaikan secara
rukun yang mengakibatkan perceraian. Perceraian menyebabkan putusnya
hubungan hukum suami istri dan juga menyebabkan status hukum mengenai
harta bersama. Dalam ketentuan hukum adat persoalan ini diselesaikan
dengan dibagi rata/dua harta warisan tersebut kepada suami dan istri, jika
mereka mempunyai anak maka sang anaklah yang menerima seluruh harta
bersama tersebut, dan harta itu pada suatu saat akan berubah statusnya
menjadi harta warisan apabila kedua orangtuanya meninggal dunia.45
Sebagaimana yang telah dikemukakan diatas, harta warisan inilah yang
akan didistribusikan kepada ahli waris, baik ahi waris sababiyah maupun ahli
waris nasabiyah. Harta bersama yang akan diwariskan secara sababiyah,
yakni harta yang ada hubungan hukum dengan istri sebagai ahli waris dan
hubungan sebagai muwaris, maksudnya harta itu sampai menjelang

44
Ustadz Syafi’i Munir, Wawancara, tgl 9 Oktober 1992
45
A. Kadir, Wawancara, tgl. 9 Oktober 1992 dan M. Runi, Wawancara, tgl. 6 Oktober 1992

32
meninggalnya muwaris, tetap berstatus harta bersama. Tujuan dari harta
bersama adalah memenuhi kebutuhan primer dan sekunder. Artinya harta
tersebut bisa dinikmati oleh keturunan mereka, baik orangtuanya masih hidup
maupun sudah meninggal. Setelah meninggal orangtuanya harta bersama
statusnya berubah menjadi harta warisan.

4. Harta Tirkah Pusaka


Dalam sistem harta kekeluargaan, harta tirkah pusaka cukup
diperhitungkan, baik sebelum perkawinan maupun setelah perkawinan antara
pihat yang membentuk keluarga batih. Sebelum perkawinan dimaksudkan
bila orangtua diantaranya meninggal dunia sebelum melanngsungkan
pernikahan, dengan demikian berarti ia mendapatkan bagian harta
peninggalan dari orangtuanya bila orangtuanya berekonomi kuat, baik
mereka yang berasal dari pihak perempuan maupun dari laki laki. Penerimaan
harta pusaka dalam perkawinan adalah bila orangtuanya meninggal saat
anaknya menempuh siklus kedua dalam rumah tangga. Mengenai tirkah
pusaka dari keluarga asal ini pada dasarnya akan diterima oleh masing-
masing suami isteri secara terpisah. Yaitu harta itu dari orangtua laki laki,
maka harta itu akan diterima oleh suami pada saat itu berstatus sebagai anak
dari muwaris, ia menerima harta tirkahnya dengan sebab nasabiyah bersama
saudara yang lain. Jika yang wafat orangtua perempuan maka yang akan
menerima yaitu isteri yang berstatus sebagai ahli waris nasabiyah.
Harta pusaka yang diterima suami dari keluarga asalnya tidak akan
menjadi kesatuan dalam ikatan perkawinan. Harta itu akan terpisah satu sama
lainnya, harta warisan yang diterima oleh suami tetap menjadi hak milik
suamin dan begitu juga sebaliknya. Didalam keluarga harta itu bisa dijadikan
dasar pengembangan ekonomi, dalam arti harta waris diambil manfaatnya
atas persetujuan pemiliknya, sedangkan materi itu sendiri tetap berstatus
semula. Hasil produk dari harta warisan itu dapat di klaim sebagai harta

33
bersama karena pengelolaan atas harta benda itu melibatkan jerih payah dan
keringat suami isteri.
Harta tirkah pusaka yang terpisah secara hokum itu tidak menjadi suatu
masalah bila putusan perkawinan antara suami istri, sejak dari awalnya harta
itu telah terpisah dan dikuasai secara sah oleh pemiliknya. Akan tetapi harta
warisan itu menjadi persoalan bila pihak suami istri sebagai pemiliknya
meninggal dunia dan tidak meninggalkan anak atau ahli waris. Sebab dalam
kasus semacam ini yang muncul sebagai ahli waris dari mewaris adalah
kerabat terdekat yang tidak mengetahui secara jelas garis pemisah antara harta
pusaka yang dikuasai muwaris dengan harta pencaharian bersama selama
perkawinan.
Bila kasus ini timbul dalam masyarakat, penyengat menurut Imam
Muhammad Thanib, penyelesaiannya adalah dengan menghadirkan semua
kerabat kedua belah pihak untuk menentukan secara konkrit mengenai harta
kekayaan suami istri dan harta pusaka yang dikuasai oleh masing masingnya46.
Penentuan serta pemisahan harta tirkah pusaka dengan harta
pencaharian bersama penting artinya sebelum harta itu diberikan kepada ahli
waris tirkah yang diterima keluarga asal didalam distribusinya hanya
mengikuti satu jalur saja. Diantara yang paling berhak atas harta warisan
tirkah pusaka adalah anak anak muwaris serta orang tuanya jika masih hidup,
sedangkan suami istri tidak mewarisinya. Sama halnya dengan harta bawaan
dan lipatan masing masing suami istri. Adapun pelaksanaan pembagian harta
waris tirkah itu adalah melihat jumlah sahabul furudh dalam ketentuan
hukum waris islam. Sedangkan harta warisan sebagai hasil usaha bersama
selama perkawinan akan diwarisi oleh ahli waris suami istri sebagai hubungan
hokum.

B. Pembagian Harta Warisan


Pembagian harta warisan yang biasa berlaku dalam masyarakat Penyengat
dan Daik Lingga dilakukan setelah selesainya penyelenggeraan mayat serta serta
semua yang berhubungan dengan harta peninggalan. Bila hal ini sudah

46
Kadir, Wawancara, tgl 9 Oktober 1992

34
diselesaikan maka barulah dihadirkan semua ahli waris nasaabiyah dan ahli
waris sababiyah. Menghadirkan semua ahli waris itu besar artinya untuk mencari
kesepakatan bersama atas hokum waris yang akan disampaikan dalam
pembagian harta peninggalan, selain itu untuk mengetahui ahli waris yang
berhak atas harta peninggalan tirkah pusaka serta menentukan ahli waris yang
terhalang atau terhijrah dari ahli waris yang lain47.
Dalam musyawarah keluarga itu tidak akan menimbulkan pertentangan
antara satu dan yang lainnya, bila semua ahli waris sepakat untuk membagi harta
peninggalan bersama dalam masyarakat Penyengat dan Daik Lingga.Masalah itu
akan muncul adalah disebabkan oleh kurangnya kejelasan siapa diantara ahli
waris yang tergolong kedalam ashabul furudh, ashabah dikarenakan terlalu
banyak ahli waris.
Untuk memecah persoalan-persolan yang berhubungan dengan ahli waris
diatas, maka langkah yang pertama kali dilakukan menurut Imam Muhammad
adalah mencatat semua orang yang dianggap sebagai ahli waris setelah itu
diadakan semacam penyelidikan guna mencari siapa dan golongan mereka di
dalam status ahli waris. Jika ternyata ada, maka kedudukannya sebagai ahli waris
terjamin dalam artian tidak terdapat masalah yang menghalanginya sebagai ahli
waris, maka langkah berikutnya adalah mengadakan peninjauan terhadap ahli
waris yang menjadi ashabah48.
Bila penetapan ahli waris mengalami pertentangan atau konflik diantara
ahli waris maka atas inisiatif ahli waris yang lain masalah tersebut ditujukan
kepada peradilan agama. Pengadilan agama dalam hal ini menurut Drs, Ahd.
Karim, mengadakan sidang penetapan ahli waris, sebelum sidang dilaksanakan
terlebih dahulu melakukan penyelidikan terhadap semua orang yang mempunyai
hubungan dengan muwaris,baik hubungan khusus yang bersifat sababiyah atau
dengan sebab nasabiyah. Bila ahli waris diadakan penelitian dari semuanya
dapat hadir di pengadilan agama, maka barulah majelis hakim melakukan siding
penetapan ahli waris.49

47
Imam Muhammad Thalib, Wawancara , tgl 6 Oktober 1992
48
Menurut Imam Muhammad Thalib (Johor,1958 1337 HJ)
49
Drs.Abd,Karim,Ketum Pengadilan Agama,Tanjung Pinang,Wawancara,,tanggal 3 Oktober 1992

35
Dalam siding pengadilan agama itu, hakim menghubungkan silsilah dari
anggota keluarga dengan muwaris dan bagi ahli waris yang mempunyai
hubungan hukum yang kuat, yang disebut ikatan perkawinan dan anak keturunan
dalam waris nasabiyah atau mendapatkan perhatian utama beserta dengan orang
tua muwaris. Sedangkan ahli waris yang lain menempati posisinya sebagai
ashabah atau sebagai arham. Dengan mengklasifikasikan ahli waris ke ashabul
furudh, ashabab dan zawil arham.
Anak laki-laki mendapat bagian dua kali lebih banyak dari perempuan.
Mereka tidak memahami dan tidak mengetahui pihak pihak yang tergolong,
meskipun mereka tidak mengetahui secara rinci tentang tingkat ahli waris
sebagainya yang digariskan oleh hukum faraidh, namun mereka dapat menerima
penetapan ahli waris yang dilakukan oleh para ulama dan imam setempat, jika
masalah kewarisan itu hanya sampai pada tingkat tingkat desa.
Demikian juga mereka dapat menerima keputusan hakim dan tidak merasa
ada kesulitan untuk melaksanakan pembagian harta warisan tersebut, karena
ketentuan secara rinci mengenai pembagian yang fardhu itu dan sudah
dirumuskan jelas dalam kitab pedomannya.50
Fardhu yang dimaksudkan dalam pembagian ini adalah sebagaian yang
ditentukan oleh syarii yaitu ketentuan Allah di dalam nash Al – Quran bagi waris
yang mendapat bagian secara khusu.Tidak boleh lebih kecuali dengan Rad dan
tidak boleh kurang.
Fardhu yang dimaksudkan dalam pembagian ini adalah sebagaian yang
ditentukan oleh syarii yaitu ketentuan Allah di dalam nash Al – Quran bagi waris
yang mendapat bagian secara khusu.Tidak boleh lebih kecuali dengan Rad dan
tidak boleh kurang .Maka fardhu itu ada enam yang tersebut dalam Al- Quran:
1. [ ½] satu perdua disebut “nisfu”
2. [1/4] satu perempat disebut “rubu”
3. [1/8] satu perdelapan disebut “sumunun”
4. [2/3] dua pertiga disebut “sulustani”
Adapun waris yg mendapat bahagian 2/3 dari harta peninggalan
diantaranya adalah:

50
Imam Muhammad Thalib,Wawancara,tgl 6 Oktober 1992

36
(1) Dua anak perempuan dari saudaranya yang laki-laki, ketika mati (laki-laki)
tdak mempunyai keturunan,
(2) Dua orang cucu anak perempuan dari laki-laki atau lebih ketika si mati tiada,
(3) Dua orang saudara perempuan seibu sebapak atau lebih ketika si mati tiada,
(4) Dua orang saudara perempuan sebapak atau lebih ketika si mati tiada.51
Disamping ada waris yg mendapat warisan ½, ¼, 1/8, dan 2/3, maka
terdapat pula ketentuan waris yang memperoleh harta peninggalan 1/3 , diantara
lain:
1. Ibu ketika tiada (a) anak laki-laki atau perempuan, furu’ waris (b) (terbilang
saudara dua orang atau lebih baik laki-laki maupun perempuan)
2. Dua orang saudara seibu atau lebih, sama ada laki-laki atau perempuan
keduanya, atau seorang laki-laki atau perempuan keduanya, atau seorang
laki-laki seorang perempuan. Antara laki-laki dan perempuan hokum semua
dibagi sama rata ketiak si mati tiada.52
Adapun diantara waris yg mendapat harta tirah pusaka yg mendapat 1/6
dari 7 orang waris, diantara waris yg berhak itu adalah:
1. Bapak jika di muwaris mempunyai anak atau cucu.
2. Ibu ketika si mati ada mempunyai beberapa orang saudara.
3. Cucu perempuan seorang atau lebih dari anak laki-laki disaat muwaris
hanya memiliki satu anak perempuan.
4. Untuk laki-laki ketika si mati mempunyai anak atau cucu, dan di saat si mati
tiada bapak atau saudara laki-laki seibu sebapak.
5. Saudara perempuan sebapak seorag atau lebih, dan disaat muwaris wafat
ada seorang saudara seibu sebapak.
6. Datuk erempuan, seorang atau lebih, ketika si matai tiada ibu.
7. Seorang saudara seibu baik laki-laki atau perempuan mempuyai kedudukan
yag sama.53

Beberapa ketentuan hukum waris yang berlaku dalam masyarakat Melayu


Kepulauan riau, bila harta tirkah itu diwarisi oleh beberapa waris dan ashabul

51
Ibid., hal. 53
52
Ibid., hal. 51-52
53
Ibid., hal. 52-53

37
furudh maka masing-masing mereka adalah mengikuti kadar bagian yang telah
ditentukan diatas. Akan tetapi, bila dalam pewarisan itu tidak terdapat waris yang
mengambil jalan fardhu, maka harta tirkah itu akan diwarisi sera ta’syib, yaitu
waris yg mengambil semua harta pusaka ketika si mati tiada waris yang
mengambil fardhu. Ada ada juga tidak mendapatkan bahagian sama sekali ketika
waris fardhu telah menghabisi semua pusaka.dan waris yang mendapatkan
ta’syib disebut: Aashabah.54
Bila dilihat hubungan waris dengan muwaris dalam sisi Ashabah, maka
ashabah itu dapat di deklasifikasikan kepada tiga bagian. Pertama, Ashabah
dengan sendiriya, ashabag binafasih. Kedua, Ashabah dengan sebab orang lain
disebut Ashabah bi ghari. Ketiga, Ashabah beserta orang lain, Ashabah maal
ghairi. Ashabah binafsi dimaksudkan orang yang mengambil semua harta
pusaka seketika muwaris meniggal tidak terdapat waris yang mengambil fardhy,
sedangkan Ashabah bighairi, yaitu setiap anak perempuan atau cucu perempuan
atau saudara perempuan yang mengambil ta’syib dengan saudaranya yang laki-
laki, yaitu anak perempuan dengan anak laki-laki, cucu perempuan sebapak
dengan saudara laki-laki sebapak. Keempat, perempuan ini mengambil ta’syib
beserta laki-laki yaitu pihak laki-laki dua bahagian dari bagian perempuan.55
Adapun ashabah maal gahari yakni saudara-saudara perempuan menjadi
ashabah bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan, diantaranya ada
dua kemungkinan, pertama; perempuan saudara seibu sebapak seorang atau
lebih bersama-sama dengan anak perempuan atau cucu perempuan. Kedua,
saudara perempuan sebapak, seorang atau lebih bersama dengan anak
perempuan. Dalam pemberian harta, pihak saudara mengambil berlebihan dari
hrta tirkah yang diterima anak perempuan. Saudara perempuan atau seorang
cucu perempuan dan speretiga ketika bersama dua orang perempuan atau cucu
perempuan atau lebih sama dengan ketentuan ini.56

54
Ibid., hal. 53-55
55
Ibid., hal. 56
56
Ibid., hal. 57.

38
Saudara perempuan seibu sebapak apabila telah jadi ‘Aashalabah ma’al
ghairi, hukumnnya seperti saudara laki-laki seibu sebapak ketika mendinding
saudara sebapak baik laki-laki atau perempuan57
Proses pewarisan antara waris-waris yang ada dalam lingkaran kekerabatan,
ada yang tidak mendapatkan harian sama sekali yang dikarenakan terhijan,
artinya terdinding mendapat pusaka setelah seseorang itu ada sebab
menghalanginya. Mengenai hijan ini ada dua macam pertama, hijan dengan sifat,
ialah antara muwaris mslim tidak dapat diwarisi oleh muwaris kafir.

Kedua, dengan sebab berdirinya waris, seperti datuk laki-laki terdinding dengan
sebab bapaknya, begitu seterusnya. Hijan kedua ini ada dua macam yaitu Hijab
nuqasan, dan hijab hirman.58
Didalam ketentuan waris, ada enam orang yang tidak dapat berhijab
diantaranya bapak, ibu, anak lakilaki, anak perempuan, suami, istri, selain dari
waris diatas waris yang lain dapat berhiab dalam menerima warisan, artinya
tidak diketahui dalam penentuan waris yang disebabkan statusnya sendiri.
Umpamanya hujab hirma, bapak menghijab nenek dan menghijab dari suami
seperdua menjadi seperempat yang disebut hijab nuqsan.59
Para fuqaha sepakat bahwa saudara laki-laki kandung dan saudara sebapak
menghalangi paman karena saudara adalah anak dari ayah, sedangkan paman
adalah sebagai anak nenek. Anak perempuan serta anak perempuan dari anak
laki-laki menghalangi saudara seibu, saudara terdekat menghalangi yang jauh
bila diantara mereka mempunyai derajat yang sama. Demikian juga waris yang
mempunyai dan sebab menghalangi yang satu.60
Menurut imam malik saudara laki-laki seibu mendapat seperenam karena
kedudukannya sebagai saudara laki-laki seibu dan sesanya menjadi ‘ashabah

57
Ibid., hal. 58-59.
58
Ibid. hal. 60-61
59
Ibid., hal. 63-65, dan bandingkan dengan Muhammad Jawari Mughniyah, Al-Akhwalusy
syahsyiah. (Bairut: Darul Il, 1969), Hal. 238
60
Ibid. hal. 65

39
bersama paman yang lain dimana sisa dari harta itu dibagi sama banyak.
Sedangkan fuqha lain berpendapat harta sepenuhya untuk anak laki-laki.61
Hisab, untuk menentukan suatu pembahagian, dua inti masalah yg harus
diketahui. Pertama asal masalah, dan kedua tashihnya. Yang dimaksud asal
masalah iayalah mula-mula bahagian waris-waris. Sedangkan yang dimaksud
dengan Tashih adalah bilangan-bilangan yang harus disempurnakan bahagian-
bahagiannya setiap waris dengan tidak memecah-mecahkannya. Jika satu fardhu
itu terbilang seperti dua fardhu maka haruslah di perhatikan nisbah seperti dua
fardhu dan ada kalanya tamasil dan ada kalanya tabadu, bawafu, dan tabayun.62
Tamasil artinya supaya antara dua bilangan seperti nisfu dengan nisfu dan
sadus dengan sudus. Sedangkan tabadul diartikan boleh memasukkan satu
mukharij atau beberapa mukharij kedalam mukharij yang lain dan antara
keduanya boleh dibagi sampai habis sepertiga dengan seperenam. Akan tetapi
diantara keduanya tidak boleh dibagi, cara membaginya adalah memasukkan
mukharij kepada mukharij yang lain.63
Tabayun (mubayanah), apabila angka-angka membagi pada bagian-bagian
yang ada dalam satu kasus itu berbeda dengan yang lain, angka pembagi yang
tidak habis dibagi dengan yang ada, dengan katalain, berbeda-beda antara
mukharij atau bilangan salahsatunya tidak mempunyai setengah, seperti angka
pembagi 1/3 dan ¼ cara membaginya disatukan mukharij dengan mukharij yang
lainnya64.
Pembagian dari dzawil furudh ialah dengan cara memntukan angka yg
menjadi kelipatan persekutuan terkecil dari angka-angka pembagi yang ada pada
dzawil furudh. Setelah ditentukan bahagian masing-masing ahli waris secara
utuh ternyata masih dapat dicari pembagian persukutan terbesar dari bagian
bagian itu, maka bagian masing-masing dibagi dengan angka membagi
peresekutuan terbesar, kemudian asal asalah 24 dibagi dengan 6 bagian ,x dapat2,
r dapat 1, da z menerima 3 harta tertentu.65

61
Ibid. Hal. 66
62
Haji Abd Gani bin Haji Yahya, Op. cit., hal.95
63
Ibid., hal 70
64
Ibid., hal. 98-99
65
Ibid., dan lihat Haji Jasfar bin Abu Bakar Lingga, op. C=CIT., HAL. 13-23

40
Menurut Imam Mujtahid, kekurangan haruslah ditutupi dengan maul
sehingga masing-masing waris dapat menerima bagian yang sesuai dengan
haknya. Alasan Imam Mujtahid tentang hal ini adalah berdasarkan atas suatu
pertimbangan bahwa nash tidak menetapkan adanya ketentuan ashabul furudh
atas waris ashul furudh yang lain, karena itu semua waris mendapat bagian yang
sama banyak antara waris-waris ashabul furudh.66
Untuk menjamin ada posisi waris usaha yang harus ditempuh ialah dengan
menetapkan asal itu, dengan mengetahui masalah itu kita mengetahui pula
totalitas harta tirkah serta kekurangannya. Kekurangan itu haruslah ditutupi dan
di tanggung masing-masing, kemudian setelah di’aulkan dibagi kembali sesuai
dengan dengan kadar masing-masing.67
Raad, artinya makna membalikkan tapi yang dimaksudkan disini adalah
pengurangan atau pengecilan bilangan pada asal masalah Atau dengan kata lain,
mengembalikan. Adapun sebab suami istri tidak boleh diraadkan kepadanya
karena perhubungan antara suami istri bukan hubungan rahim atau perhubungan
pertalian darah anak, ibu, dan saudara, bahkan hubungannya dengan sebab ikatan
perkawinan.68
Adapun kaidah membagi raad didalam negeri yang telah ada undang-
undang begitu maal, seperti di Johor, namun bagi negeri yang mana daitul
maalnya belum teratur, ada beberapa kemungkinan, (a) masalah suami isteri
diraadkan dan diterima oleh ahli furudh, (b) jika ahli furudh itu seorang saja
maka harta pusaka berpulang pada furudh dan raadnya, (c) bila waris itu terdiri
dari beberapa orang saudara seibu maka diradkan menurut bilangan kepalanya.69
Jika seseorang meninggal tidak mempunyai waris, atau waris itu suami isteri
saja di negeri yang tidak mempunyai waris, atau waris itu suami istri terpulang
kepada dzaril arham. Kaidah pembagiannya: 1 datuk laki-laki dari ibu dan datuk
perempuan yang bukan waris. 2. Anak kepada anak perempuan yaitu ibu

66
Haji Abd. Gani bin haji Yahya, Op. cit., hal,109, dan haji ja8far bin Abu Bskar Lingga, Op. cit.,
hal.39, dan Muhammad Jawari Mungkuiyah, Op. cit., Hal 80.
67
Ibid.
68
Haji Abd. Gani bin Haji Yahya, Op. cit., hal.179
6969
Ibid., hal. 180-181

41
almarhum atau bintum almarhum. 3. Anak perempuan dari saudara laki-laki itu
sebapak atau sebapak atau seibu.70
Anak dari saudara perempuan sebapak dijadikan sebagi saudara perempuan
sebapak ia berhak seperenam yaitu satu dan anak kepada saudara perempuan
seibu dijadikan seperti seibu, ia berhak seperenam, yaitu satu. Masalah
berikutnya adalah mengenai anak laki-laki kepada anak perempuan dijadikan
seperti anak perempuan, ia memperoleh separuh. Paman saudara sebelah bapak
dijadikan seperti bapak, ia berhak menerima fardhu dan ‘ashabah yaitu dua, dan
paman saudara sebelah ibu dijadikan seperti ibu berhak sepertiga, yaitu 1. Masih
banyak lagi masalah lainnya yang melingkari persoalan dzawil arham.71
Apabila menentukan bahagian-bahagian warisan tersebut, apakah tirkah
diatas telah jelas dan diketahui oleh orang yg mendapat amanah untuk membagi
harta tirkah tersebut, apakah dari anggota ahli waris atau kerabat sendiri,atau
pemuka agama, seperti imam dan ulama, maka langkah berikutnya adalah
membagi harta itu, diantara harta benda berhubungan dengan keturunan ini
adalah rumah, binatang. Kedua, harta benda yang boleh dibagi kepada waris-
waris yang berhak, lantarannya adalah barang-barang yang boleh dibilang atau
dihitung atau dapat disukat, diukur, sperti barang-barang perhiasan dan uang
tunai.72
Mengenai harta benda yang tidak boleh dibagi maka cara pembagiannya
dalah melalui suatu perhitungan adalah melalui kesepakatan. sekiranya waris
tidak berkemauan menjual atau ditaksirkan harganya, maka harta itu dibagi
menurut nisbah syara’nya saja, umpamanya seorang meninggal, meninggakan
harta warisnya antara lain istri, dan orang anak laki-laki dan dua orang
perempuan maka bila rumah diatas sebagi objek pembahagian waris itu boleh
dibagi sebagai uang tunai, dan semua waris rela ditaksirkan atau di jual dan
dibagi dengan asal masalah.73
Sedangkan harta warisan yang dapat dibagi, pada masyarakat islam Melayu
penyengat Daik Lingga mengikuti prinsip-prinsip pembagaian warisan yang

70
Ibid., hal. 185
71
Ibid., hal. 187-188
72
Ibid., hal. 189
73
Ibid, hal. 190

42
ditetapkan Hukum waris islam, namun demikian tidaklah terlepas dari
kesepakatan keluarga, ada kemungkinan ahli waris akan melaksanakan
pembagian sama rata antara mereka, dengan catatan mereka terlebih dahulu
mengetahui hak masing-masing menurut ketentuan faraidh atau dengan katalain
diahulukan hukum Tuhan, baru kemudian kesepakatan ahli waris.. dalam
pembagian harta waris ulama, dan pemuka agama tidak ikut hadir
menyaksikannya namun mendapat penjelasan atau petunjuk dari para ulama
sebelumnya, setelah mendapat penjelasan daripara ulama atau imama setempat
barulah pembagian harta waris dilaksanakan. Dengan cara itulah pembagian
harta warisan dapat dilaksanakan dengan haknya.74
Proses pembagian warisan muncul di penyengat menurut ustaz syafi’I munir
adalah harta warisan dalam tenggang waktu yang lama, dalam arti tidak segera
dilakukan setelah muwaris meniggal dunnia. Akibatnya terjadi tumpang tindih,
hartawarisan si mati belum diselesaikan menyusul lagi kedua, akhirnya harta
warisan yang menumpuk yang disahkan sistem menunggu dan tidak diadakan
pembagian langsung.75
Proses penghibahan dilakukan semasa orang bersangkutan masih hidup.
Pemindahan itu juga berlangsung pada waktu yang bersamaan. Akan secara
hukum akan dilaksanakan setelah pemberi hibah meninggal. Sesuai dasar
keikhlasan, hibah tidak punya batas sesorang boleh berhibah sebagian atau
semua hartanya kepada orang lain yang dikehendakinya sebagai penerima hibah
juga menghendakinya.76
Adapun perilaku hibah itu pada umumnya adalah orangtua yang sudah
berusia lanjut yang memiliki tanah dan kebun kelapa, atau kebun karet. Mereka
berusaha menhibahkannya kepada anak-anaknya dengan harta benda yang dapat
dimanfaatkan bagi pengembangan ekonomi anak cucunya. Tujuan lain untuk
memindahakn harta benda lain kepada anak-anaknya dengan adil agar tidak ada
perselisihan di waktu mendatang.77

74
Usman H. M. Saleh, Wawancara, Tgl. 6 Oktober
75
USTAZ Syafi’I Munir, wawancara tanggal. 9 Oktober 1992.
76
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtshif, (Darul Fikri, 595H), hal. 245-248, dan Muhammad Arsyad,
Wawancara, tgl. 9 Oktober 1992
77
Ibnu Rusyd, Op, cit., hal. 249. Abd. Kadir, Wawancara, tgl,9 Oktober 1992

43
Bagi keluarga yang kaya, dan juga bahagian warga Penyengat yang berada
di perantauan dan sulit untuk merawat hak miliknya, akan untuk itu dia
menghimbau harta benda itu kepada anak cucu dan kerabat dekatnya. Sebagai
satu lembaga agama yag dipercaya dan sudah dikenal, proses hibah dalam
masyarakat tidak pernah menjadi masalah pertentangan atau konflik antara anak
cucunya, sebab pelaksanaan hibah itu juga disebabkan oleh masyarakat beserta
anggota lainnya.78

C. Perubahan dalam Pelaksanaan Kewarisan


Mengenai sistem kewarisan ini, masyarakat Melayu mendasarkan dan
memperlakukan hokum faraidh, baik dalam menentukan waris-waris, muwaris,
maupun mengenai murus. Mengenai waris, hukum faraidh menetapkan atas
dasar sahabiyah dan nasabiyah. Ahli waris sahabiyah yang diterima atas dasar
ikatan perkawinan mempunyai hubungan hukum yang kuat antara waris dengan
mawaris yang menyebabkan keduanya saling mewarisi, baik itu harta benda
maupun utang piutang yang ditinggalkan muwaris.
Ahli waris nasabiyah, yang didasarkan atas hubungan darah, mempunyai
posisi waris utama. Ia bersama waris sahabiyah akan menerima harta benda
peninggalan muwaris. Keutamaan mereka diakui oleh hukum syara’, sebab
merekalah yang meneruskan garis geneologis muwarisnya, baik dari pihak
bapak ataupun dari pihak ibunya. Atas dasar itulah anak-anak muwaris, baik
laki-laki maupun perempuan, akan mendapatkan haknya atas harta peninggalan.
Meskipun anak laki-laki mendapat dua kali lebih banyak dari anak perempuan,
namun didalam menempati urutan waris mendapat kedudukan hukum yang sama.
Mengenai hubungan hokum sahabiyah, dalam masyarakat Penyengat telah
mengalami perubahan, dimana telah dapat menerima orang lain yang berasal dari
kerabat lain, bahkan berbeda etnis juga dapat diterima dalam pembentukan
sahabiyah. Sedangkan keadaan berbeda dengan masyarakat Islam Melayu Daik,
yang mengutamakan kerabat dalam pembentukan sahabiyah, dan belum terbuka
dengan etnis lain. Pola pembentukan keluarga berdasarkan sistem sahabiyah
terdahulu mengakibatkan distribusi harta telah menyebar ke berbagai kerabat

78
Muhsmmad Arsyad, Op. cit.

44
dan etnis lain. Sedangkan hal berlawanan terjadi pada keluarga yang dibina atas
dasar sahabiyah tertutup.
Dalam pelaksanaan warisan pada prinsipnya sama antara masyarakat
Penyengat dan Daik, dalam arti sama-sama memperlakukan hukum faraidh.
Kendala yang dihadapi masyarakat Penyengat dalam membagi harta warisan
adalah tidak hadirnya sebagian waris disaat muwaris wafat, sebab sebagian
diantaranya pergi merantau, dan jarang pulang ke desa, meskipun ada masalah
dalam keluarga. Akibat hukumnya adalah tertundanya pembagian harta
peninggalan. Lain halnya dengan masyarakat Daik, dalam masalah pembagian
harta warisan hampir tidak mengalami kesulitan, sebab umumnya waris-waris
berada di lingkungannya sendiri.
Di dalam pembagian harta peninggalan ini, kedua masyarakat ini
mempunyai pola yang sama, yaitu pada tahapan pertama mereka menentukan
harta peninggalan serta bukti-buktinya. Apabila terdapat masalah maka mereka
akan menyerahkan persoalan tersebut kepada imam atau ulama setempat. Jika
belum tuntas, mereka mengajukan ke penghulu untuk diselesaikan.
Permasalahan sengketa tanah tidak pernah terjadi di Daik, karena mereka belum
banyak terpengaruh dengan perkembangan sosial ekonomi yang cenderung
materialistis. Mereka masih memandang harta sebagai alat dan tujuan hidup
adalah mengabdi kepada Allah yang menciptakan dan menguasai alam semesta,
termasuk harta benda yang di tangan pemiliknya seperti harta peninggalan dan
lainnya. 79
Dari filsafat hidup dan pandangan yang berbeda di dalam menilai materi
itulah yang membawa perbedaan antara masyarakat Penyengat dan Daik.
Dampak dari pandangan itu juga menyentuh ke persoalan kewarisan, sebab
didalam objek pembagian warisan terkandung nilai materi yang dapat
dimanfaatkan oleh yang mewarisinya. Dengan pandangan ini mereka tetap
bertahan dan menjalankan prinsip-prinsip ideal dari doktrin hukum syara’.

79
Usman H. Muhammad Saleh, Op. cit.

45
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Hukum waris adat merupakan hukum yang bertalian dengan proses aturan-
aturan penurunan dan peralihan kekayaan materiil dan immateriil dari turunan ke
turunan. Merumuskan hukum waris adat sebagai hukum yang menurut peraturan-
peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengalihkan barang-barang
harta benda dan barang-barang tidak berwujud dari suatu angkatan manusia kepada
turunannya.
Hukum adat waris mempunyai sistem kolektif, mayorat, dan individual.
Hukum Waris Adat mengatur proses penerusan dan peralihan harta, baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud dari pewaris pada waktu masih hidup atau
setelah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Harta waris adalah harta yang
ditinggalkan atau yang diberikan oleh pewaris kepada warisnya, baik yang dapat
dibagi maupun yang tidak dapat dibagi. Harta waris dapat dibagi dalam empat

46
bagian, yaitu : harta asal, harta pemberian, harta pencaharian, hak dan kewajiban
yang diwariskan.
Di dalam sistem patrinial kedudukan dan pengaruh pihak laki-laki dalam
hukum waris sangat menonjol, contohnya pada masyarakat Batak dan Bali. Yang
menjadi ahli waris hanya anak laki-laki. Dalam sistem matrilinial semua anak-anak
hanya dapat menjadi ahli waris dari ibunya sendiri baik untuk harta pusaka tinggi
maupun untuk harta pusaka rendah. Jika yang meninggal itu adalah seorang laki-
laki maka anak-anaknya dan jandanya tidaklah ahli waris mengenai harta pusaka
tinggi, tetapi ahli warisnya adalah seluruh kemenakannya dari pihak laki-laki.
Di Masyarakat bumi Melayu sendiri dalam eberapa daerah seperti Rokan
Hulu, Siak, Kampar, Lingga dan Diak corak sistem kekeluargaannya berbeda-beda.
Walapun seperti yang diketahui bahwa masyarakat Melayu itu lebih Condong
kepada Patrilineal akan tetapi masyarakat suku di Kampar lebih kepada sistem
kekerabatan Matrilineal.

3.2. Saran
Bahwa Hukum adat di daerah-daerah terutama masyarakat Melayu sudah
mulai ditinggalkan akibat urbanisasi dan arus globalisasi. Tak terkecuali juga aturan
hukum waris adat di tiap-tiap daerah Riau yang sudah tergusur dengan budaya-
budaya asing yang masuk. Penulis berharap agar generasi muda bisa
mengembangkan Budaya Adat daerahnya dan melaksanakan visi dan misi kota
Pekanbaru yang menjadi kota yang maju budaya adatnya yaitu budaya Melayu.

47
DAFTAR PUSTAKA

Harun, Badriyah. 2009. Panduan Praktis Pembagian Waris. Jakarta: Pustaka


Yustisia.
Mustari, Suriyaman. 2014. Hukum Adat Dahulu, Kini, dan Akan Datang Edisi
Pertama. Jakarta : Fajar Interpratama Mandiri.
Poespasari, Ellyne Dwi. 2018. Pemahaman Seputar Hukum Waris Adat Di
Indonesia. Jakarta: Prenadamedia Group.
Setiady, Tolib. 2008. Intisari Hukum Adat Indonesia dalam Kajian Kepustakaan.
Bandung : Alfabeta.
Soekanto, Soejono. 2016. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Raja Gratindo Persada
Suwardi, Hendra Rahman, Ismi, Hayatul dan Ulfia Hasanah. 2011. Hukum Adat
Melayu Riau. Pekanbaru : Alaf Riau.
Utomo, Laksanto. 2017. Hukum Adat. Depok: Rajawali Press
Wicaksono, F Satriyo. 2011. Hukum Waris Cara Mudah dan Tepat Membagi Harta
Warisan. Jakarta: Visimedia.

48
49

Anda mungkin juga menyukai