Anda di halaman 1dari 9

EVALUASI PERENCANAAN PELAT BETON KONVENSIONAL

RENOVASI GEDUNG SD N 200113 PADANGSIDIMPUAN

Muhammad Rahman Rambe1

1) Dosen Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Graha Nusantara Padangsidimpuan
Email : rahman_rambe@ymail.com

Abstrak

Pada pelaksanaan sebuah proyek konstruksi, khususnya yang menggunakan konstruksi beton, umumnya
menggunakan metode konvensional yaitu menggunakan bekisting dan penyangga dari kayu. Mengingat
kebutuhan ruangan yang kurang dan luas lahan bagunan yang terbatas, maka tidak ada pilihan lain harus
mengembangkan bangunan secara vertikal atau dengan kata lain menjadikan gedung menjadi bertingkat.
Pekerjaan peningkatan gedung (menambah level bangunan) bukanlah pekerjaan yang mudah, artinya dalam
merencanakan pekerjaan ini memerlukan kemampuan khusus. Untuk itu perlu ditinjau ulang apakah
perencanaan pelat lantai beton tersebut sudah optimal jika dibandingkan dengan metode amplop berdasarkan
SKSNI T15-1991-03, supaya gedung dan fasilitas yang direnovasi dapat berfungsi secara optimal. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar perbandingan biaya pelaksanaan dan selisih biaya
antara pelaksanaan dilapangan dengan metode amplop berdasarkan SKSNI T15-1991-03. Adapun metode
penelitian yang digunakan dalam penulisan karyatulis ilmiah ini adalah metode amplop berdasarkan SKSNI
T15-1991-03 serta standart pembebanan berdasakan Pedoman Perencanaan Pembebanan untuk Rumah dan
Gedung 1987. Dari hasil analisa data diperoleh biaya pelaksanaan pelat lantai konvensional pada Proyek
Renovasi Gedung Ruang Kelas SD N 200113 Padangsidimpuan pelaksanaan dilapangan sebesar
Rp.406.741.648,83, sedangkan dengan metode amplop berdasarkan SKSNI T15-1991-03 sebesar
Rp.398.826.993,00. Dari perbandingan biaya pelaksanaan, maka pelat lantai dengan metode amplop
berdasarkan SKSNI T15-1991-03 memberikan biaya yang lebih murah dengan selisih biaya sebesar
Rp.7.914.655,83atau 1,95 %. Perbedaan bisa saja terjadi, untuk mengantisipasi agar tidak terjadi kegagalan
kontruksi dilapangan mengingat peralatan yang digunakan masih sederhana (manual).

Kata kunci: pelat beton konvensional

1. Pendahuluan
Sebagai hasrat fundamental dari setiap individu manusia selalu ingin mengalamai perubahan yang selalu
kurang puas dengan apa yang sudah ada, termasuk dengan ruangan dan fasilitas sekolah. Atas dasar
pertimbangan kebutuhan ruangan yang kurang dan luas lahan bagunan yang terbatas, maka tidak ada pilihan
lain harus mengembangkan bangunan secara vertikal atau dengan kata lain menjadikan gedung menjadi
bertingkat. Pekerjaan meningkat Gedung (menambah level bangunan) bukanlah pekerjaan yang mudah,
artinya dalam merencanakan pekerjaan ini memerlukan kemampuan khusus. Sehingga untuk pekerjaan
struktur beton bertulang perlu kecermatan dan pengetahuan yang cukup dalam menentukan kualitas beton
dan jumlah kebutuhan besi tulangan yang harus terpasangkan dalam sebuah struktur beton.
Banyak pekerja jasa konstruksi yang bisa mengerjakan pekerjaan beton tapi dari sisi kualiatas dan
jaminan keamanan sangatlah kecil, karena kalau salah dalam memasang besi tulangan ataupun salah dalam
menentukan kualitas beton, maka struktur yang terbangun bisa runtuh/hancur karena tidak mampu menahan
beban yang bekerja diatasnya. Begitu halnya dalam suatu pekerjaan perencanaan struktur beton khusunya
perencanaan tulangan pelat beton bertulang pada gedung bertingkat, juga memerlukan kecermatan yang
tinggi karena bagian ini adalah bagian yang pertama dalam perencanaan pembebanan merupakan bagian
yang pertama kali menerima beban guna dari fungsi bangunan yang direncanakan.
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan karya ilmiah ini adalah untuk menjelaskan
bagaimana cara merencanakan penulangan pelat lantai sesuai dengan metode amplop berdasarkan SKSNI
T15-1991-03 berdasarkan studi kasus yang ditinjau. Dengan demikian kemampuan ataupun ketrampilan
dalam menyelesaikan suatu permasalahan dengan cepat sangat berpengaruh dalam meningkatkan efisiensi
waktu, tenaga, dam biaya.

1
2. Tinjauan Pustaka
2.1 Umum
Pelat lantai merupakan suatu elemen struktur yang mempunyai ketebalan relatif kecil jika dibandingkan
dengan lebar dan panjangnya. Tujuan utama dari pelat lantai adalah memberikan kekuatan pada suatu
bangunan. Pelat lantai bangunan dipengaruhi oleh beban mati (dead load) berupa berat sendiri dan beban
hidup (live load) berupa beban sementara.
Di dalam konstruksi beton, pelat digunakan untuk mendapatkan bidang/permukaan yang rata. Pada
umumnya bidang/permukaan atas dan bawah suatu pelat adalah sejajar atau hampir sejajar. Tumpuan pelat
pada umumnya dapat berupa balok-balok beton bertulang, struktur baja, kolom-kolom dan dapat juga berupa
tumpuan langsung di atas tanah. Pelat dapat ditumpu pada tumpuan garis yang menerus, seperti halnya
dinding atau balok.
Pelat lantai adalah lantai yang tidak terletak langsung di atas tanah. Pelat didukung oleh balok-balok
yang bertumpu pada kolom-kolom bangunan. Adapun kegunaan pelat lantai, yaitu:
a. Memisahkan ruang bawah dan ruang atas.
b. Untuk meletakkan kabel listrik dan lampu pada ruang bawah.
c. Meredam suara dari ruang atas atau ruang bawah.
d. Menambah kekakuan bangunan pada arah horizontal.

2.2 Pelat Beton Bertulang


Pelat beton bertulang merupakan bagian struktur bangunan yang menahan beban permukaan (beban
vertikal), biasanya mempunyai arah horizontal, dengan permukaan atas dan bawahnya sejajar. Pelat dapat
ditumpu balok beton bertulang, dinding pasangan batu atau dinding beton bertulang, batang-batang struktur
baja yang ditumpu secara langsung oleh kolom, atau tertumpu secara menerus oleh tanah. Pelat dapat
ditumpu biasanya pada dua sisi yang berlawanan saja, yang biasanya disebut pelat satu arah (one ways). Pelat
juga dapat ditumpu pada keempat sisinya yang biasanya disebut pelat dua arah (two ways). Pada kondisi ini,
beban lantai dipikul dalam kedua arah oleh keempat balok pendukung sekeliling panel. Apabila perbandingan
panjang terhadap lebar sebuah panel pelat lebih besar atau sama dengan 2, maka sebagian besar beban akan
ditahan oleh pelat dalam arah pendek terhadap balok-balok penunjang dan sebagai akibatnya akan diperoleh
aksi pelat satu arah, walaupun keempat sisinya diberi tumpuan.

2.3 Persyaratan Umum Pelat Lantai


Struktur bangunan gedung umumnya tersusun atas komponen pelat lantai, balok anak, balok induk, dan
kolom yang umumnya dapat merupakan satu kesatuan monolit atau terangkai seperti halnya pada sistem
pracetak. Petak pelat dibatasi oleh balok anak pada kedua sisi panjang dan oleh balok induk pada kedua sisi
pendek.
Pelat yang didukung sepanjang keempat sisinya dinamakan sebagai plat dua arah, dimana lenturan akan
timbul pada dua arah yang saling tegak lurus. Namun, apabila perbandingan sisi panjang terhadap sisi pendek
yang saling tegak lurus lebih besar dari 2, pelat dapat dianggap hanya bekerja sebagai pelat satu arah dengan
lenturan utama pada arah sisi yang lebih pendek. Struktur plat satu arah dapat didefinisikan sebagai pelat
yang didukung pada dua tepi yang berhadapan sehingga lenturan timbul hanya dalam satu arah saja, yaitu
pada arah yang tegak lurus terhadap arah dukungan tepi.
Berdasarkan Peraturan Beton Bertulang Indonesia 1971 (PBBI 1971) ada beberapa pesyaratan yang
harus diperimbangkan dalam merencanakan pelat lantai. Persyatan-persyaratan tersebut, adalah:
1. Apabila tebal minimum pelat tidak ditentukan lain oleh pembatasan tulangan menurut pasal 11.2
ayat (2) atau pasal 12.2 syarat lebar retak menurut pasal 10.7 atau oleh syarat ketahan dalam
kebakaran menurut pasal 7.3, maka dalam segala hal tebal pelat tidak boleh diambil kurang dari 7
cm untuk pelat atap dan 12 cm untuk tebal pelat lantai.
2. Dengan memperhatikan pasal 8.16 ayat (2), maka dalam segala hal tulangan pelat, termasuk
tulangan pembagi, tidak boleh diambil kurang dari pada yang diperlukan untuk memikul susut dan
perubahan suhu. Luas tulangan ini diambil minimum 0,25% dari luas beton yang ada.
3. Pada pelat-pelat diamana tulangan pokoknya hanya berjalan dalam satu arah, maka tegak lurus pada
tulangan pokok tersebut harus dipasang tulangan pembagi. Apabila tulangan pembagi terdiri dari
baja dari mutu yang sama dengan mutu tulangan pokok, maka luas tulangan pembagi tersebut harus
diambil minimum 20% dari luas tulangan pokoknya. Jumlah prosentase minimum 20% di atas juga
berlaku tulangan pelat diarah momen terkecil pada pelat-pelat yang memikul pelat dua arah.
4. Pada pelat-pelat yang dicor monolit, diameter dari batang tulangan pokok dari jenis baja lunak dan
baja sedang harus diambil minimum 8 mm dan tulangan pembagi minimum 6 mm. Pada
penggunaan batang tulangan dari jenis baja keras, diameter tulangan pokok harus diambil minimum
5 mm dan tulangan tulangan pembagi minimum 4 mm.

2
2.4 Syarat-Syarat Tumpuan
Untuk merencanakan pelat beton bertulang yang perlu dipertimbangkan tidak hanya pembebanan, tetapi
ukuran dan syarat-syarat tumpuan pada tepi. Syarat-syarat tumpuan menentukan jenis perletakan dan jenis
perhubungan di tempat tumpuan. Bila pelat dapat berotasi bebas pada tumpuan, maka pelat itu dikatakan
'ditumpu bebas' sesuai dengan yang dijelaskan pada Gambar 2.1 yang menyatakan sebuah pelat tertumpu
oleh tembok bata. Bila tumpuan mencegah pelat berotasi dan relative sangat kaku pada momen puntir, maka
pelat itu 'terjepit penuh' seperti pada Gambar 2.2 dimana pelat itu adalah monolit (menyatu) dengan pelat
yang tebal.
Bila balok tepi tidak cukup kuat untuk mencegah rotasi sama sekali, maka pelat itu 'terjepit sebagian'
(jepitan elastis seperti yang diberikan pada Gambar 2.3 yang menyatakan pelat terjepit sebagian pada balok
tepi. Selain mencegah atau memungkinkan terjadinya rotasi, tumpuan mungkin dapat atau tidak mengijinkan
lendutan.
Bila tidak mungkin terajadi lendutan pada tumpuan, yaitu bila tumpuan merupakan sebuah didinding
atau balok yang kaku, dinyatakan bahwa pelat itu 'tumpuan kaku'. Bila tumpuan dapat melendut, pelat itu
'tertumpu elastis'. Dalam beberapa hal, sebuah pelat mungkin tidak mempunyai tumpuan garis yang menerus,
seperti halnya dinding atau balok, tetapi ditumpu hanya pada kolom sepanjang tepinya. Dalam hal ini
tumpuan disebut tumpuan titik.

Panel adalah bagian segi empat dari suatu pelat lantai, khususnya satu bagian yang terletak diantara atau
dikelilingi oleh tumpuan. Selain jepitan penuh atupun sebagian, kerapkali ditemukan 'jepitan tak terduga'
pula. Misalnya bila balok tertanam sepanjang sisinya dalam tembok (Gambar 2.4), bergantung pada besar
beban diatas tembok maka pada bagian pelat yang ditanam dapat mnimbul momen jepit, walaupun secara
teoritis perencana menganggap pelat itu tertumpu bebas. Apakah sebenarnya momen ini akan timbul atau
tidak, dan bila timbul, berapa besarnya tidak dapat diperkirakan dengan teliti. Namun, secara umum pelat ini
akan direncanakan seakan-akan tertumpu bebas, dan selalu diberi tulangan tambahan tepi untuk memikul
momen tak terduga yang timbul pada tepi itu, dengan demikian akan diperoleh tingkat keamanan yang lebih
tinggi.

2.5 Dasar Perencanaan


Bekisting merupakan struktur sementara yang berfungsi sebagai alat bantu dalam membentuk beton,
dimana perkembangannya sejalan dengan perkembangan beton itu sendiri. Bekisting berfungsi sebagai acuan
untuk mendapatkan bentuk profil yang diinginkan serta sebagai penampung dan penumpu sementara beton
basah selama proses pengeringan. Dengan adanya inovasi teknologi dalam bidang bekisting, saat ini produksi
dilakukan oleh pabrik dengan desain sedemikian rupa sehingga bekisting mudah dibongkar, dipasang serta
memungkinkan untuk dimanfaatkan lebih dari satu kali.

3
Pelat lantai pada Proyek Renovasi Gedung Ruang Kelas SD N 200113 Padangsidimpuan direncanakan
dari struktur beton bertulang yang dicor secara monolit (menyatu) dengan struktur utama bangunan.
Perhitungan perencanaan pelat lantai didasarkan atas besarnya beban beton per m2 yang dipikul oleh pelat
lantai itu sendiri, sesuai dengan fungsi pemakaian lantai tersebut. Peraturan-peraturan yang digunakan dalam
perhitungan pelat lantai, yaitu:
a. Dasar-dasar Perencanaan Beton Bertulang SKSNI T15-1991-03
b. Peraturan Beton Bertulang Indonesia 1971
c. Peraturan Muatan Idonesia (PMI) 1970
d. Peraturan Perencanaan Bangunan Baja Indonesia (PPBBI) 1984

2.6 Diagram Alir Untuk Menghitung Pelat-Pelat Satu Arah


Bila syarat-syarat batas (sampan), panjang bentang dalam distribusi momen diketahui, maka tulangan
pelat yang dipergunakan dapat dihitung. Memang tebal total pelat harus diketahui pula. Untuk pelat, tebal ini
didapatkan dari syarat-syarat kelangsingan (tebal minimum h) yang telah di tetapkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Tebal minimum h (Kusuma, 1993)
fy fy fy fy fy fy fy fy
Komponem
400 240 400 240 400 240 400 240
1 1 1 1 1 1 1 1
Pelat mendukung satu arah
20 27 24 32 28 37 10 13
1 1 1 1 1 1 1 1
Balok mendukung satu arah
16 21 18,5 24,5 21 28 8 11

Tebal minimum yang diberikan pada tabel 1 dapat pula diterapkan untuk lantai-lantai keempat sisinya
didukung dinding atao balok-balok yang kaku. Bentang yang digunakan adalah bentang l yang paling
pendek. Keuntungan dari penentuan tebal pelat sebelumnya, untuk perhitungan pelat yang dibahas adalah
pemeriksaan sesudah tidak dibutuhkan.
Sedangkan pemeriksaan sesudahnya atau lendutan cukup rumit. Uraian kegiatan yang diperlukan untuk
menhitung pelat yang dinyatakan dalam diagram alir pada gambar 2.5. Setelah menentukan syarat-syarat
batas, bentang dan tebal pelat kemudian beban-beban dapat dihitung.

Untuk pelat yang sederhana maka beban yang diperhitungkan, yaitu:


Wu = 1,2 DL + 1,6 LL (1)
Dimana : DL = Beban Mati (Dead Load) berupa berat sendiri
LL = Beban Hidup (Live Load) berupa beban akibat penggunaan ruangan

2.7 Perencanaan Penulangan


Beton bertulang adalah beton yang terdiri dari beton dan baja. Sifat kedua baha ini dapat diketahui dari
"teknologi beton". Bila sebuah balok beton (tidak bertulang) diberi beban tekan yang makin membesar dan
regangan yang terjadi setelah setiap pertambahan beban diukur. Hal ini sesuai dengan pada tali yang terikat
pada katrol. Nilai-nilai 'c dan ϵ'c didapat dari hasil percobaan kuat tekan benda uji dan ternyata membentuk
sebuah garis lengkung.
Besar tegangan ultimat 'cu tergantung pada mutu beton, jadi semakin baik betonnya semakin tinggi
harga maksimum 'cu. Bila beton dengan mutu yang sama diberi beban tarik yang makin lama makin
diperbesar, ternyata hubungan antara tegangan dan regangan berupa non- linier. Retakan pada beton sudah
terjadi pada nilai  dan ϵ (tegangan dan regangan tarik) yang amat rendah dibandingkan dengan akibat beban
tekan. Ini terjadi karena beton sangat mempu menahan tegangan tekan tetapi tidak dapat, atau hampit tidak
dapat menahan tegangan tarik.
Bila suatu penampang beton bertulang yang dibebani lentur murni yang dianalisis, pertama-tama perlu
dipakai sejumlah kriteria agar penampang itu mempunyai probabilitas keruntuhan yang layak pada keadaan
batas hancur. Penampang yang dianalisis mempunyai pengaruh yang sangat besar pada suatu prosedur atau
suatu anggapan dasar tertentu yang disepakati mempunyai ada probabilitas keruntuhan yang tertentu pula.
Bila anggapan-anggapan ini diubah (secara drastis), maka probabilitas juga berubah. Anggapan yang
digunakan dalam menganalisis beton bertulang yang diberi beban lentur, adalah:
a. Beton tidak dapat menerima gaya tarik karena beton tidak mempunyai kekuatan tarik.
b. Perubahan bentuk berupa pertambahan panjang dan perpendekan (regangan tarik dan regangan
tekan) pada serat-serat penampang, berbanding lurus dengan jarak tiap serat ke sumbu netral. Ini
merupakan kriteria yang kita kenal, yaitu penampang bidang datar akan tetap berupa bidang datar.
c. Hubungan antara tegangan dan regangan baja (s dan ϵs ) dapat dinyatakan secara sekematis.
d. Hubungan antara tegangan dan regangan beton ('c dan ϵ'c) dapat dinyatakan secara sekematis.

4
Dua besaran yang berperan penting pada analisis penampang beton bertulang adalah tinggi total (h) dan
tinggi efektif (d). Untuk sebuah pelat, hubungan antara h dan d secara umum ditentukan oleh:
Tinggi efektif d dalam arah-x, adalah:
dx = h – p – ½  Dx (2)
Tinggi efektif d dalam arah-y, adalah:
dy = h – p –  dx – ½  Dy (3)
Dimana :
h = tebal pelat total
p = tebal penutup beton (selimut beton).
 Dx = diameter tulangan utama dalam arah-x.
 Dy = diameter tulangan utama dalam arah-y.

Salah satu faktor yang menentukan perbedaan antara d dan h, baik dalam pelat maupun dalam balok,
adalah penutup beton p. Sesuai dengan namanya penutup beton ini, digunakan untuk melindungi baja
tulangan. Lapisan pelindung yang digunakan sesuai dengan tebal penutup beton yang akan :
a. Menjamin penanaman tulangan dan lekatannya dengan beton.
b. Menghindari korosi pada tulangan yang mungkin dapat terjadi.
c. Meningkatkan perlindungan struktur terhadap kebakaran.
Penutup beton yang diberikan cukup memenuhi fungsi ini, tergantung pada :
a. Kepadatan dan kekedapan beton.
b. Ketelitian pelaksanaan pekerjaan.
c. Lingkungan di sekitar lingkungan tersebut.

Memang tebal penutup beton ditentukan oleh faktor-faktor tersebut, serta peranan untuk komponem
yang bersangkutan khususnya berkaiatan dengan keamanan konstruksi secara meneluruh. Alasan an terakhir
ini mengakibatkan penutup beton untuk kolom umumnya lebih tebal dari pada pelat. Tabel 2 memberikan
tebal minimum penutup beton yang diukur dari tulangan terluar.
Tabel 2. Tebal minimum penutup/selimut beton pada tulangan terluar dalam mm (Kusuma, 1993)
Yang tidak langsung berhubungan Yang langsung berhubungan
Bagian Konstruksi
dengan tanah dan cuaca dengan tanah dan cuaca
D-36 dan lebih kecil : 20 D-16 dan lebih kecil : 40
Lantai/dinding
>D-36 : 40 >D-16 : 50
D-16 dan lebih kecil : 40
Balok Seluruh diameter : 40
> D-16 : 50
D-16 dan lebih kecil : 40
Kolom Seluruh diameter : 40
>D-16 : 50

Untuk konstruksi beton yang dituang langsung dan selalu berhubungan dengan tanah berlaku tebal
penutup beton minimal yang umum sebesar 70 mm.

2.8 Persentase Tulangan


Bila pada penampang terjadi retak awal, maka tegangan baja tiba-tiba akan mengikat jauh lebih tinggi
didapat 30 Mpa(300 kg/cm2). Sebenarnya dengan faktor beban rata-rata sekitar 1,4 ; tegangan baja dalam
masa layanan dapat sebesar fy/1,4.Pertambahan baja yang tiba-tiba dapat mengakibatkan baja mendadak
purtus. Untuk mencegahnya, penampang beton bertulang yang dibebani lentur harus diberi sejuhlah tulangan
minimum tertentu. Ini dapat dinyatakan dengan "nilai tulangan minimum" ρmin. Nilai minimum ini harus
dipilih sedemikian rupa sehingga, terdapat perbedaan yang kecil antara momen lentur yang dapat ditahan
oleh penampang yang tak retak dan momen lentur yang dapat ditahan oleh penampang yang retak. Tabel 3
memberikan nilai-nilai tulangan minimum (ρmin) teoretis.
Tabel 3. Nilai-nilai ρmin teoritis (Kusuma, 1993)
f 'c Mpa ( kg/cm2 )
fy Mpa (kg/cm2)
15 (150) 20 (200) 25 (250) 30 (300) 35 (350)
240 (2400) 0,0025 0,0029 0,0032 0,0035 0,0038
400 (4000) 0,0015 0,0017 0,0019 0,0021 0,0023

Dengan perkataan lain, disamping adanya persyaratan persentase tulangan minimum apakah terdapat
juga persentase "tulangan maksimum" dengan mempertahankan rasio tulangan yang lebih rendah dari ρmaks
akan menghasilkan struktur berkapasitas deformasi yang cukup. Pada tabel 4 diberikan harga-harga ρmaks
untuk seluruh kombinasi mutu beton dan mutu baja.

5
Tabel 4. Persentase tulangan maksimum ρmaks (Kusuma, 1993)
f 'c Mpa ( kg/cm2 )
fy Mpa (kg/cm2)
15 (150) 20 (200) 25 (250) 30 (300) 35 (350)
240 (2400) 0,0242 0,0323 0,0404 0,0484 0,0538
400 (4000) 0,0122 0,0163 0,0203 0,0244 0,0271

2.9 Perencanaan Pelat Lantai


Perkiraan biaya adalah memperkirakan kemungkinan jumlah biaya yang diperlukan untuk suatu
kegiatan. Perkiraan biaya memegang peranan penting dalam penyelenggaraan proyek. Pada taraf pertama
dipergunakan untuk mengetahui berapa besar biaya yang diperlukan untuk membangun proyek. Selanjutnya,
perkiraan biaya memiliki fungsi dengan spektrum yang amat luas yaitu merencanakan dan mengendalikan
sumber daya seperti material, tenaga kerja, pelayanan, maupun waktu.
Apabila momen Mu pada sebuah penampang diketahui, kemudian diperkirakan ukuran beton b dan d.
Selanjutnya mutu beton dan mutu baja ditentukan, maka jumlah tulangan yang diperlukan dapat dihitung:
As = M u (4)
bd2

Untuk setia kombinasi f 'c dan fy yang dipilih, serta nilai-nilai urutan dari M u selanjutnya dapat
bd2
dihitung dengan harga-harga rasio tulangan ρ. Kemudian dapat ditabelkan agar yang memungkinkan
melakukan perhitungan perencanaan dengan cepat. Bila f 'c dan fy bersatuan Mpa (N/mm2), maka harga-
harga dari M u harus dalam Mpa (N/mm2) pula.
bd2
Untuk mencapai Mu harus dalam Nmm sedangkan b dan d dalam mm. andaikan besar momen-momen
dalam kNm kemudian b dan d dalam m (pada pelat per m b = 1,0 m), maka faktor M u harus dikalikan
bd2
3 2
dengan 10 . Oleh karena itu jumlah tulangan harus didapatkan dalam mm , maka As berlaku:
As = ρ · b · d · 106  (dengan b dan d dalam m) (5)

Dari segi ekonomis, sebaiknya peraturan praktis berikut diikuti untuk penulangan pelat:
a. Batasi ukuran batang yang berdiameter berbeda-beda.
b. Sedapat mungkin gunakan diameter berikut : 6, 8, 10, 12, 14, 16, 19 dan 20 mm.
c. Gunakan batang sedikit mungkin, yaitu jarak tulangan semaksimum mungkin (sesuai dengan yang
diijinkan).
d. Sebaiknya pergunakan jarak batang dalam kelipatan 25 mm.
e. Perhitungkan panjang batang umum yang digunakan. Gunakanlah mutu baja yang umum, panjang
batang dipasaran adalah 6, 9 dan 12 m. dengan demikian potongan sebesar 3, 4 atau 4,50 m mudah
didapat dari batang awal, tanpa menghasilkan sisa potongan baja yang terbuang percuma.
f. Pertahankan bentuk batang sederhana mungkin, agar dapat menghidari pekerjaan pembengkokan
yang sukar.

Dalam memilih tulangan untuk pelat diperlukan tabel yang memberi hubungan antara jarak antar batang
dan luas penampang baja yang sesuai dengan mm2 per meter lebar pelat. Tabel 5a memberikan hubungan
antara jarak dan diameter yang dianjurkan. Luas penampang total untuk 1 sampai 10 batang diberikan pada
tabel 5b.
Tabel 5a. Diameter batang dalam mm2 per meter lebar pelat (Kusuma, 1993)
Jarak Pusat Kepusat Diameter dalam mm
dalam mm 6 8 10 12 14 16 19 20
50 565 1005 1571 2262 3079 4022 5671 6284
75 377 670 1047 1508 2053 2681 3780 4189
100 283 503 785 1131 1539 2011 2835 3142
125 226 402 628 905 1232 1608 2268 2513
150 188 335 524 754 1026 1340 1890 2094
175 162 287 449 646 880 1149 1620 1795
200 141 251 393 565 770 1005 1418 1571
225 126 223 349 503 684 894 1260 1396
250 113 201 314 452 616 804 1134 1257

6
Tabel 5b. Luas penampang batang total dalam mm2 (Kusuma, 1993)
Jumlah Batang
ϕ
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
6 28 57 85 113 141 170 198 226 254 283
8 50 101 151 201 251 302 352 402 453 503
10 79 157 236 314 393 471 550 628 707 785
12 113 226 339 452 565 679 792 905 1018 1131
14 154 308 462 616 770 924 1078 1232 1385 1539
16 201 402 603 804 1005 1206 1407 1608 1810 2011
19 284 567 851 1134 1418 1701 1985 2268 2552 2835
20 314 628 942 1257 1571 1885 2199 2513 2827 3142
22 380 760 1140 1521 1901 2281 2661 3041 3421 3801
25 491 982 1473 1963 2454 2945 3436 3927 4418 4909
28 616 1232 1847 2463 3079 3695 4310 4926 5542 4158
32 804 1608 2413 3217 4021 4825 5630 6434 7238 8042

Pelat dua arah yang ditumpu pad keempat sisinya adalah struktur statis tak tentu. Seperti pelat satu arah
yang menerus pada lebih dari dua tumpuan, juga dapat digunakan tabel untuk mempermudah analisis
perencanaan pelat dua arah yaitu tabel 6.
Tabel ini menunjukkan momen lentur yang bekerja pada jalur selebar 1 meter masing-masing pada arah-
x dan pada arah-y:
Mlx = Momen lapangan maksimum per meter lebar arah-x
Mly = Momen lapangan maksimum per meter lebar arah-y
Mtx = Momen tumpuan maksimum per meter lebar arah-x
Mty = Momen tumpuan maksimum per meter lebar arah-y
Mtix = Momen jepit tak terduga per meter lebar arah-x
Mtiy = Momen jepit tak terduga per meter lebar arah-y
Tabel 6. Momen yang menentukan per meter lebar dalam jalur tengah pada pelat dua arah akubat beban
terbagi rata (Kusuma, 1993)

7
3. Metode Penelitian
Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah metode amplop
berdasarkan SKSNI T15-1991-03 serta standart pembebanan berdasakan Pedoman Perencanaan Pembebanan
untuk Rumah dan Gedung 1987. Selain metode penulisan ataupun peraturan pembebanan yang digunakan
masih banyak metode yang lain. Metode ini merupakan metode yang paling sering digunakan dalam
merencanakan pelat lantai beton konvensional karena pembagian bebannya dilakukan secara merata sesuai
dengan fungsi pelat lantai. Adapun bagan alir yang yang digunakan dalam penelitian ini seperti terlihat pada
Gambar 2.5.

Gambar 1. Diagram alir untuk menhitung tulangan pada pelat

4. Hasil dan Pembahasan


4.1 Hasil
Pada pelaksanaan pelat konvensional, jenis item pekerjaan yang dilakukan yaitu pekerjaan cor beton
Ready Mix K-225 dengan panjang bangunan 22,50 m serta lebar 8,80m dan pekerjaan pembesian dilakukan
secara manual. Peralatan yang digunakan yaitu Mesin Mixer Semen (Molen) dan Scaffolding. Sebelum
perhitungan biaya pelaksanaan pelat, dilakukan analisa harga satuan masing-masing item pekerjaan, sehingga
didapat total biaya pengerjaan pelat konvensional lantai 2 (dua) sebesar Rp.406.741.648,83. Perhitungan
analisa biaya pekerjaan pelat konvensional selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 7.
Dengan luas dan item pekerjaan yang sama sesuai pelaksanaan dilapangan dengan beton Ready Mix K-
225, maka didalam penelitian ini akan kita coba evaluasi kembali dengan metode amplop berdasarkan
SKSNI T15-1991-03sejauh mana perbedaannya terutama pembesian. Sebelum analisa biaya pelaksanaan
pelat, dilakukan analisa harga satuan masing-masing item pekerjaan. Berdasarkan hasil evaluasi data yang
dilakukan diperoleh total biaya pengerjaan pelat konvensional lantai 2 (dua) sebesar Rp.398.826.993,00.
Perhitungan analisa biaya pekerjaan pelat konvensional selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 7. Analisa Biaya Pekerjaan Pelat Konvensional Dilapangan
Jumlah Harga
No Jenis Pekerjaan Satuan Volume Harga Satuan (Rp)
(Rp)
Pekerjaan Pelat Konvensional Lantai II Dilapangan
1 Beton K. 225 m³ 55,02 1.245.686,99 68.537.698,19
2 Pembesian dengan Besi Beton kg 11.771,68 19.567,00 230.336.462,56
3 Bekisting Untuk Balok m² 73,28 378.834,00 27.760.955,52
4 Bekisting Untuk Lantai m² 162,84 491.934,00 80.106.532,56
Jumlah 406.741.648,83

8
Tabel 8. Analisa Biaya Pekerjaan Pelat Konvensional Berdasarkan Metode Amplop SKSNI T15-1991-03
Jumlah Harga
No Jenis Pekerjaan Satuan Volume Harga Satuan (Rp)
(Rp)
Pekerjaan Pelat Konvensional Lantai II Berdasarkan Metode SKSNI T15-1991-03
1 Beton K. 225 m³ 55,02 1.245.686,99 68.537.698,19
2 Pembesian dengan Besi Beton kg 11.367,19 19.567,00 222.421.806,73
3 Bekisting Untuk Balok m² 73,28 378.834,00 27.760.955,52
4 Bekisting Untuk Lantai m² 162,84 491.934,00 80.106.532,56
Jumlah 398.826.993,00

4.2 Pembahasan
Adapun hasil pembahasan yang diperoleh setelah melakukan evaluasi data pada proyek Renovasi
Gedung Ruang Kelas SD N 200113Padangsidimpuan, yaitu: biaya pelaksanaan dilapangan sebesar
Rp.406.741.648,83, sedangkan metode amplop berdasarkan SKSNI T15-1991-03 sebesar Rp.398.826.993,00.
Dari hasil analisis data juga diperoleh perbandingan biaya pelaksanaan antara pelaksanaan dilapangan dan
berdasarkan metode SKSNI T15-1991-03, jika ditinjau dari segi biaya, pelaksanaan dilapangan yang lebih
mahal dari pada metode amplop berdasarkan SKSNI T15-1991-03 dengan selisih biaya yaitu sebesar
Rp.7.914.655,83atau 1,95 %. Perbedaan antara pelaksanaan dilapangan dengan berdasarkan metode SKSNI
T15-1991-03 itu bisa saja terjadi, karena untuk mengantisipasi agar tidak terjadi kegagalan kontruksi
dilapangan mengingat peralatan yang digunakan masih sederhana (manual).

5. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dilakukan, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Total biaya pelaksanaan dilapangan pelat lantai konvensional sebesar Rp. 406.741.648,83.
2. Total biaya dengan metode amplop berdasarkan SKSNI T15-1991-03 sebesar Rp.398.826.993,00.
3. Dengan membandingkan total biaya pelaksanaan, maka pelat lantai dengan metode amplop
berdasarkan SKSNI T15-1991-03 memberikan biaya yang lebih murah dengan selisih biaya sebesar
Rp.7.914.655,83atau 1,95 %.
4. Perbedaan bisa saja terjadi, untuk mengantisipasi agar tidak terjadi kegagalan kontruksi dilapangan
mengingat peralatan yang digunakan masih sederhana (manual).

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1971, Peraturan Beton Bertulang Indonesia, Yayasan Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan,
Bandung.
Anonim, 1987, Pedoman Perencanaan Pembebanan untuk Rumah dan Gedung, Yayasan Badan Penerbit
Pekerjaan Umum, Jakarta.
Anomin, 1991, Tata Cara Perhitungan Struktur Beton Untuk Bangunan Gedung/SK SNI T-15-1991-03,
Yayasan Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan, Departemen Pekerjaan Umum, Bandung.
Dipohusodo, I,. 1999, Struktur Beton Bertulang, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Kriswanto, D., 2015, Perencanaan Struktur Pelat Beton Bertulang Untuk Rumah Tinggal 3 Lantai, Tugas
Akhir, Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang.
Kusuma, Gideon dan Vis, W.C, 1993, Dasar-Dasar Perencanaan Beton Bertulang menurut SKSNI T15-
1991-03, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Kusuma, Gideon dan Vis, W.C, 1993, Grafik dan Tabel Perhitungan Beton Bertulang menurut SKSNI T15-
1991-03, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Kusuma, I., K., 2006, Perbandingan Biaya Pelaksanaan Pekerjaan Struktur Beton Dengan Metode
Konvensional dan Precast, Tugas Akhir, Program Studi Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas
Udayana.
Rambe, M. R., 2016, Perbandingan Biaya Pelaksanaan Pelat Beton Menggunakan Boundeck Dan Pelat
Konvensional Pembangunan Gedung Ruang Kelas Baru UGN, Jurnal Sipil, Terapan dan Science 1
(1), 60-65.
Widhiawati, I., A., R., dan Asmara, A., A., 2010, Analisa Biaya Peleksanaan Antara Pelat Konvensional Dan
Sistem Pelat Menggunakan Metal Deck, Jurnal Ilmiah Teknik Sipil Volume 14 (1).

Anda mungkin juga menyukai