Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN KASUS

Laki-Laki Umur 54 Tahun dengan PPOK Eksaserbasi Akut, Pneumonia


Komunitas dan Tumor Paru Kanan Jenis (?)

Disusun oleh:
dr. Oktavianus Prayitno

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA MATARAM


INTERNSHIP DOKTER INDONESIA
2019
Lembar Pengesahan

Laki-Laki Umur 54 Tahun dengan PPOK Eksaserbasi Akut, Pneumonia


Komunitas dan Tumor Paru Kanan Jenis (?)
Disusun untuk Memenuhi Persyaratan Kegiatan Internship
Di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Mataram

Disusun Oleh:
dr. Oktavianus Prayitno

Dokter Pembimbing,

dr. Ita Patriani, MARS


NIP. 1981808052011012006

1
LAPORAN KASUS
I. Identitas Pasien
Nama : Tn. MZ
Usia : 54 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Mataram
MRS : 28/1/2019

II. Anamnesis
Keluhan Utama : Sesak
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien mengeluhkan sesak sejak 3 hari yang lalu dan sesak dirasakan semakin
memberat, sesak memberat saat aktifitas (+), pasien juga mengeluhkan demam, yang
dirasakan turun naik sejak satu minggu yang lalu, pasien juga mengeluhkan batuk,
berdahak, berwarna putih terkadang kehijauan.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien pernah mengalami keluhan serupa seperti yang dirasakan saat ini. Riwayat batuk
lama disangkal. Riwayat hipertensi (-). Kencing manis disangkal. Pasien pernah pergi
kontrol ke Poli Paru RSUDP NTB dan terdiagnosis dengan tumor paru-paru, pasien
menolak untuk dirujuk.
Riwayat Keluarga :
Riwayat penyakit kencing manis, alergi, asma, hipertensi, sakit kuning, sakit jantung
dan ginjal dalam keluarga disangkal oleh pasien. Riwayat dengan penyakit tumor atau
keganasan lain tidak diketahui.
Riwayat Sosial:
Pasien mengaku saat ini sudah tidak bekerja, saat ini sudah berhenti merokok (sejak 3
tahun yang lalu), dulu merupakan perokok aktif >10 batang per hari (selama 30 tahun),
riwayat minum alkohol (-).

2
Riwayat Pengobatan:
- Ambroxol 3x1
- Dirujuk ke RSU Sanglah (tetapi pasien menolak)

III. Pemeriksaan Fisik


a. Pemeriksan umum
Keadaan umum : Sedang
Kesadaran : Compos mentis, GCS 15 E4V5M6
Tanda Vital :
Tekanan Darah: 170/80 mmHg (posisi baring)
Nadi : 124 x/menit, regular, kuat angkat
RR : 28 x/menit, regular, tipe torakal
Suhu aksiler : 36,6ºC
CRT : < 2 detikPemeriksaan Fisik
Kepala : Konjunctiva anemis -/- sklera ikterik -/- Pupil isokor 3mm/3mm reflek
cahaya +/+
Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening dan kelenjar tiroid, tidak
ada benjolan, deviasi trakea (-), JVP R+4cm, bruit (-).
Thorax :
Inspeksi : bentuk thorax normal, pergerakan dinding dada simetris saat statis dan
dinamis, tipe pernafasan abdominotorakal, retraksi sela iga (-), massa (-)
Pulmo :
Anterior Posterior
Inspeksi Pergerakan dinding Pergerakan dinding
dada simetris saat statis dada simetris saat statis
dan dinamis, jejas dan dinamis.
trauma (-).
Palpasi Sela iga melebar, Sela iga melebar,
fremitus taktil simetris, fremitus taktil simetris,
nyeri tekan (-). nyeri tekan (-).
Perkusi Sonor di lapang paru Sonor di lapang paru

3
kanan dan kiri kanan dan kiri.
Auskultasi Suara nafas vesikuler, Suara nafas vesikuler,
suara nafas tambahan: suara nafas tambahan:
rhonki (+/+) kasar pada rhonki (+/+) kasar pada
medial dan inferior medial dan inferior
paru, wheezing (+/+) di paru, wheezing (+/+) di
seluruh lapang paru. seluruh lapang paru.

Cor :
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat.
Palpasi : ictus cordis teraba 1 cm medial dari linea midclavicula sinistra ICS IV.
Perkusi : Batas kanan : ICS IV linea parasternal dextra.
Batas atas : ICS II linea sternal sinistra.
Pinggang : ICS III linea parasternal sinistra.
Batas kiri : ICS IV 1 cm medial linea midclavicula sinistra.
Batas bawah : ICS V linea midclavicula sinistra.
Auskultasi : BJ I-II murni regular, gallop (-), murmur (+) pansistolik dominan di
ICS 5 MCL S/
Abdomen :
Inspeksi : soepel, massa (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : shifting dullness (+), traube’s space sde, liver span 8 cm
Palpasi : soefl, tidak teraba massa, nyeri tekan (-), hepar/lien tidak teraba
Ekstremitas: akral hangat, edema -/-/+/+

IV. Pemeriksaan Penunjang


Hasil pemeriksaan EKG 28/1/2019
(Irama Sinus Takikardi)

4
Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 28/1/2019
Darah Lengkap Kimia Darah
• Albumin : 3,2 mg/dL
WBC: 17,34 x 10^3
• SGOT 21 U/L
Neu%: 60,7% • SGPT 16 U/L
• GDS 116 mg/dL
RBC : 4,48x10^6
• Ureum 20,9 mg/dL
Hb : 12,5 g/dL • Kreatinin 0,48
• Elektrolit
PLT : 366 x 10^3
• Na 137 mmol/L
(adanya peningkatan WBC dan Neutrofil • K 3,6 mmol/L
menunjukan adanya infeksi akut) • Cl 100 mmol/L

Hasil pemeriksaan Thorax AP 28/1/2019

Ditemukan gambaran
jantung pendulum, khas
pada pasien dengan
PPOK (COPD), ditemukan
juga adanya gambaran
massa pada mediastinum
(DX).

5
CT Scan di RSUD
Prov.NTB
Menunjukkan adanya
massa pada paru kanan.
Curiga tumor mediastinum (?)

V. Diagnosis
- PPOK eksaserbasi akut
- Pneumonia Komunitas
- Tumor Paru Kanan Jenis (?)
- Hipertensi grade II

VI. Tatalaksana
O2 nasal 3lpm
Nebulizer Ventolin/8 jam
Injeksi Hidrokortison 1 vial/24 jam i.v
IVFD NS 0,9% drip aminofilin 240 mg (1 amp) 30tpm
Cefoperazone 1gr/12 jam i.v
Moxifloxacin 400mg/24 jam i.v
Lansoprazole 30mg/24 jam i.v

1
Acetylcysteine 600 mg (3cc) dalam NS 0,9% 100cc Drip/ 12 jam
Chana 2 tab/ 8 jam, oral
Candesartan 1x8 mg, oral
Amlodipin 1x5 mg , oral

VII. Prognosis
Ad vitam : ad malam
Ad functionam : malam
Ad sanationam : ad malam

2
PEMBAHASAN

DEFINISI
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas
yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik
dan emfisema atau gabungan keduanya.

Bronkitis kronik
Kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam
setahun,sekurang-kurangnya dua tahun berturut - turut, tidak disebabkan penyakit lainnya.

Emfisema
Suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus
terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Pada prakteknya cukup banyak penderita bronkitis
kronik juga memperlihatkan tanda-tanda emfisema, termasuk penderita asma persisten berat
dengan obstruksi jalan napas yang tidak reversibel penuh, dan
memenuhi kriteria PPOK.

FAKTOR RISIKO
1. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih
penting
dari faktor penyebab lainnya.
Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan :
a. Riwayat merokok
- Perokok aktif
- Perokok pasif
- Bekas perokok
b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang
rokok
dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun :
- Ringan : 0-200
- Sedang : 200-600
- Berat : >600
2. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja
3. Hipereaktiviti bronkus
4. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang
5. Defisiensi antitripsin alfa - 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia
Faktor yang berperan dalam peningkatan penyakit tersebut :
• Kebiasaan merokok yang masih tinggi (laki-laki di atas 15 tahun 60-70 %)
• Pertambahan penduduk
• Meningkatnya usia rata-rata penduduk dari 54 tahun pada tahun 1960-an menjadi 63
tahun pada
tahun 1990-an

3
• Industrialisasi
• Polusi udara terutama di kota besar, di lokasi industri, dan di pertambangan

PATOGENESIS DAN PATOLOGI


Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus, metaplasia sel goblet,
inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat fibrosis. Emfisema ditandai oleh
pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli.

Secara anatomik dibedakan tiga jenis


emfisema:
- Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas ke perifer, terutama
mengenai
bagian atas paru sering akibat kebiasaan merokok lama
- Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara merata dan terbanyak
pada paru
bagian bawah
- Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai saluran napas distal, duktus dan
sakus
alveoler. Proses terlokalisir di septa atau dekat pleura

Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena perubahan struktural
pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi, fibrosis, metaplasi sel goblet dan hipertropi otot polos
penyebab utama obstruksi jalan napas.

4
Perbedaan patogenesis asma dan PPOK

DIAGNOSIS
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan hingga berat.
Pada
pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan jelas dan tanda inflasi paru
Diagnosis PPOK di tegakkan berdasarkan :
A. Gambaran klinis
a. Anamnesis
- Keluhan
- Riwayat penyakit
- Faktor predisposisi
b. Pemeriksaan fisis

A. Gambaran Klinis
a. Anamnesis
- Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
- Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah (BBLR),
infeksi
saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara
- Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
- Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
b. Pemeriksaan fisis
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
• Inspeksi
- Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
- Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
- Penggunaan otot bantu napas
- Hipertropi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga

5
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis i leher dan edema tungkai
Penampilan pink puffer atau blue bloater
• Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
• Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong
ke bawah
• Auskultasi
- suara napas vesikuler normal, atau melemah
- terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa
- ekspirasi memanjang
- bunyi jantung terdengar jauh

Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan pernapasan pursed –
lips breathing

Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema tungkai dan
ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer

Pursed - lips breathing


Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang.
Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi sebagai
mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik.

B. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan rutin
b. Pemeriksaan khusus
B. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan rutin
1. Faal paru
• Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP)
- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau VEP1/KVP ( % ).

Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %


- VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan
memantau perjalanan penyakit.
-Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun
kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi
dan sore, tidak lebih dari 20%

• Uji bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter.
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit kemudian

6
dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan
< 200 ml
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
2. Darah rutin
Hb, Ht, leukosit

3. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain
Pada emfisema terlihat gambaran :
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
- Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance)

Pada bronkitis kronik :


• Normal
• Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus

b. Pemeriksaan khusus (tidak rutin)


1. Faal paru
- Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru Total (KPT), VR/KRF,
VR/KPT meningkat
- DLCO menurun pada emfisema
- Raw meningkat pada bronkitis kronik
- Sgaw meningkat
- Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %

2. Uji latih kardiopulmoner


- Sepeda statis (ergocycle)
- Jentera (treadmill)
- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal

3. Uji provokasi bronkus


Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat hipereaktiviti
bronkus derajat ringan

4. Uji coba kortikosteroid


Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednison atau
metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama 2minggu yaitu peningkatan VEP1
pascabronkodilator > 20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan
faal paru setelah pemberian kortikosteroid

5. Analisis gas darah


Terutama untuk menilai :

7
- Gagal napas kronik stabil
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik

6. Radiologi
- CT - Scan resolusi tinggi
- Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula yang tidak
terdeteksi oleh foto toraks polos
- Scan ventilasi perfusi
Mengetahui fungsi respirasi paru

7. Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan.

8. Ekokardiografi
Menilai funfsi jantung kanan

9. bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan untuk
mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulng
merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.

10. Kadar alfa-1 antitripsin


Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia muda), defisiensi
antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.

DIAGNOSIS BANDING
• Asma
• SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberculososis)
Adalah penyakit obstruksi saluran napas yang ditemukan pada penderita pascatuberculosis
dengan lesi paru yang minimal.
• Pneumotoraks
• Gagal jantung kronik
• Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain misal : bronkiektasis, destroyed lung.
Asma dan PPOK adalah penyakit obstruksi saluran napas yang sering ditemukan di Indonesia,
karena itu diagnosis yang tepat harus ditegakkan karena terapi dan prognosisnya berbeda.

8
Perbedaan asma, PPOK dan SOPT

KLASIFIKASI
Terdapat ketidak sesuaian antara nilai VEP1 dan gejala penderita, oleh sebab itu perlu
diperhatikan kondisi lain. Gejala sesak napas mungkin tidak bisa diprediksi dengan VEP1

9
PENATALAKSANAAN
A. Penatalaksanaan umum PPOK
Tujuan penatalaksanaan :
- Mengurangi gejala
- Mencegah eksaserbasi berulang
- Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
- Meningkatkan kualiti hidup penderita

Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :


1. Edukasi
2. Obat - obatan
3. Terapi oksigen
4. Ventilasi mekanik
5. Nutrisi
6. Rehabilitasi
PPOK merupakan penyakit paru kronik progresif dan nonreversibel, sehingga penatalaksanaan
PPOK terbagi atas (1) penatalaksanaan pada keadaan stabil dan (2) penatalaksanaan pada
eksaserbasi akut.

1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil. Edukasi
pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah penyakit kronik yang
ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan
mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat
reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi atau tujuan
pengobatan dari asma.
Tujuan edukasi pada pasien PPOK :
1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal
3. Mencapai aktiviti optimal
4. Meningkatkan kualiti hidup

Obat - obatan
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan disesuaikan
dengan klasifikasi derajat berat penyakit ( lihat tabel 2 ). Pemilihan bentuk obat diutamakan
inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat
diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow release ) atau obat berefek panjang ( long
acting ).

Macam - macam bronkodilator :


- Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga
mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari ).

10
- Golongan agonis beta - 2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan
dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya
digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan
untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang.
Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.

- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta - 2


Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena
keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat
kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.

- Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang,
terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk
mengatasi sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi
eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.

b. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena, berfungsi
menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau prednison. Bentuk
inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu
terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.
c. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi.
Antibiotik yang digunakan :
- Lini I : amoksisilin
makrolid
- Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat
sefalosporin
kuinolon
makrolid baru
Perawatan di Rumah Sakit :
dapat dipilih
- Amoksilin dan klavulanat
- Sefalosporin generasi II & III injeksi
- Kuinolon per oral
ditambah dengan yang anti pseudomonas
- Aminoglikose per injeksi
- Kuinolon per injeksi
- Sefalosporin generasi IV per injeksi

d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N - asetilsistein.
Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai

11
pemberian yang rutin
e. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat perbaikan
eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous. Mengurangi
eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.
f. Antitusif
Diberikan dengan hati - hati
3. Terapi Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan
sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk
mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ -
organ lainnya.

Manfaat oksigen
- Mengurangi sesak
- Memperbaiki aktiviti
- Mengurangi hipertensi pulmonal
- Mengurangi vasokonstriksi
- Mengurangi hematokrit
- Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
- Meningkatkan kualiti hidup
Indikasi
- Pao2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%
- Pao2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal, perubahan P
pullmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru
lain

Macam terapi oksigen :


- Pemberian oksigen jangka panjang
- Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
- Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas

Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit. Terapi oksigen di rumah
diberikan kepada penderita PPOK stabil derajat berat dengan gagal napas kronik. Sedangkan
di rumah sakit oksigen diberikan pada PPOK eksaserbasi akut di unit gawat daruraat, ruang
rawat ataupun ICU.

Pemberian oksigen untuk penderita PPOK yang dirawat di rumah


dibedakan :
- Pemberian oksigen jangka panjang ( Long Term Oxygen Therapy = LTOT )
- Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
- Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada keadaan stabil terutama bila tidur
atau sedang aktiviti, lama pemberian 15 jam setiap hari, pemberian oksigen dengan nasal

12
kanul 1 - 2 L/mnt. Terapi oksigen pada waktu tidur bertujuan mencegah hipoksemia yang
sering terjadi bila penderita tidur.
Terapi oksigen pada waktu aktiviti bertujuan menghilangkan sesak napas dan meningkatkan
kemampuan aktiviti. Sebagai parameter digunakan analisis gas darah atau pulse oksimetri.
Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen di atas 90%.
Alat bantu pemberian oksigen
- Nasal kanul
- Sungkup venturi
- Sungkup rebreathing
- Sungkup nonrebreathing
Pemilihan alat bantu ini disesuaikan dengan tujuan terapi oksigen dan kondisi analisis gas
darah pada waktu tersebut.

4. Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas akut, gagal
napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat berat dengan napas
kronik.

Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit di ruang ICU atau di rumah.
Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara :
- ventilasi mekanik dengan intubasi
- ventilasi mekanik tanpa intubasi

Ventilasi mekanik tanpa intubasi


Ventilasi mekanik tanpa intubasi digunakan pada PPOK dengan gagal napas kronik dan dapat
digunakan selama di rumah.
Bentuk ventilasi mekanik tanpa intubasi adalah Nonivasive Intermitten Positif Pressure (NIPPV)
atau Negative Pessure Ventilation (NPV).
NIPPV dapat diberikan dengan tipe ventilasi :
- Volume control
- Pressure control
- Bilevel positive airway pressure (BiPAP)
- Continous positive airway pressure (CPAP)

NIPPV bila digunakan bersamaan dengan terapi oksigen terus menerus (LTOT / Long Tern
Oxygen Theraphy) akan memberikan perbaikan yang signifikan pada :
- Analisis gas darah
- Kualiti dan kuantiti tidur
- Kualiti hidup
- Analisis gas darah

Indikasi penggunaan NIPPV


- Sesak napas sedang sampai berat dengan penggunaan muskulus respirasi dan abdominal
paradoksal
- Asidosis sedang sampai berat pH < 7,30 - 7, 35
- Frekuensi napas > 25 kali per menit

13
NPV tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan obstruksi saluran napas atas, disamping
harus menggunakan perlengkapan yang tidak sederhana.

Ventilasi mekanik dengan intubasi


Pasien PPOK dipertimbangkan untuk menggunakan ventilasi mekanik di rumah sakit bila
ditemukan keadaan sebagai berikut :
- Gagal napas yang pertama kali
- Perburukan yang belum lama terjadi dengan penyebab yang jelas dan dapat diperbaiki,
misalnya pneumonia
- Aktiviti sebelumnya tidak terbatas
Indikasi penggunaan ventilasi mekanik invasif :
- Sesak napas berat dengan penggunaan muskulus respirasi tambahan dan pergerakan
abdominal paradoksal
- Frekuensi napas > 35 permenit
- Hipoksemia yang mengancam jiwa (Pao2 < 40 mmHg)
- Asidosis berat pH < 7,25 dan hiperkapni (Pao2 < 60 mmHg)
- Henti napas
- Samnolen, gangguan kesadaran
- Komplikasi kardiovaskuler (hipotensi, syok, gagal jantung)
- Komplikasi lain (gangguan metabolisme, sepsis, pneumonia, emboli paru, barotrauma,
efusi pleura masif)
- Telah gagal dalam penggunaan NIPPV
Ventilasi mekanik sebaiknya tidak diberikan pada pasien PPOK dengan kondisi sebagai berikut:
- PPOK derajat berat yang telah mendapat terapi maksimal sebelumnya
- Terdapat ko-morbid yang berat, misalnya edema paru, keganasan
- Aktiviti sebelumnya terbatas meskipun terapi sudah maksimal
Komplikasi penggunaan ventilasi mekanik
- VAP (ventilator acquired pneumonia)
- Barotrauma
- Kesukaran weaning

14
Algoritme penanganan PPOK

15
PNEUMONIA
DEFINISI
Secara kinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang disebabkan oleh
mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Pneumonia yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk. Sedangkan peradangan paru yang disebabkan oleh
nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik, obat-obatan dan lain-lain)
disebut pneumonitis.

ETIOLOGI
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, yaitu bakteri, virus, jamur
dan protozoa. Dari kepustakaan pneumonia komuniti yang diderita oleh masyarakat luar negeri
banyak disebabkan bakteri Gram positif, sedangkan pneumonia di rumah sakit banyak
disebabkan bakteri Gram negatif sedangkan pneumonia aspirasi banyak disebabkan oleh bakteri
anaerob. Akhir-akhir ini laporan dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri
yang ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah bakteri Gram
negatif.

PATOGENESIS
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroornagisme di paru. Keadaan ini
disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya
tahan tubuh, mikroorganisme dapat berkembang biak dan menimbulkan penyakit. Resiko infeksi
di paru sangat tergantung pada kemampuan mikroorganisme untuk sampai dan merusak
permukaan epitel saluran napas. Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan : 1.
Inokulasi langsung 2. Penyebaran melalui pembuluh darah 3. Inhalasi bahan aerosol 4.
Kolonisasi dipermukaan mukosa Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah secara
Kolonisasi. Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria
atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 -2,0 m melalui udara dapat mencapai bronkus
terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran
napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi
inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru.
Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50 %) juga

16
pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse). Sekresi
orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10 8-10/ml, sehingga aspirasi dari
sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat memberikan titer inokulum bakteri yang tinggi dan
terjadi pneumonia. Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau
aspirasi. Umumnya mikroorganisme yang terdapat disaluran napas bagian atas sama dengan di
saluran napas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian tidak di temukan jenis
mikroorganisme yang sama.

PATOLOGI
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang berupa
edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit sehingga
terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi. Sel-sel PMN mendesak bakteri ke
permukaan alveoli dan dengan bantuan leukosit yang lain melalui psedopodosis sitoplasmik
mengelilingi bakteri tersebut kemudian dimakan. Pada waktu terjadi peperangan antara host dan
bakteri maka akan tampak 4 zona pada daerah parasitik terset yaitu : 1. Zona luar : alveoli yang
tersisi dengan bakteri dan cairan edema. 2. Zona permulaan konsolidasi : terdiri dari PMN dan
beberapa eksudasi sel darah merah. 3. Zona konsolidasi yang luas : daerah tempat terjadi
fagositosis yang aktif dengan jumlah PMN yang banyak. 4. Zona resolusiE : daerah tempat
terjadi resolusi dengan banyak bakteri yang mati, leukosit dan alveolar makrofag. Red
hepatization ialah daerah perifer yang terdapat edema dan perdarahan 'Gray hepatization' ialah
konsolodasi yang luas

KLASIFIKASI PNEUMONIA
1. Berdasarkan klinis dan epideologis :
a.Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)
b.Pneumonia nosokomial (hospital-acqiured pneumonia / nosocomial pneumonia)
c.Pneumonia aspirasi
d.Pneumonia pada penderita Immunocompromised pembagian ini penting untuk memudahkan
penatalaksanaan.

17
2. Berdasarkan bakteri penyebab
a.Pneumonia bakterial / tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri mempunyai
tendensi menyerang sesorang yang peka, misalnya Klebsiella pada penderita alkoholik,
Staphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza.
b.Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia
c.Pneumonia virus d.Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama
pada penderita dengan daya tahan lemah (immunocompromised)
3. Berdasarkan predileksi infeksi
a.Pneumonia lobaris. Sering pada pneumania bakterial, jarang pada bayi dan orang tua.
Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen kemungkinan sekunder disebabkan oleh
obstruksi bronkus misalnya : pada aspirasi benda asing atau proses keganasan
b. Bronkopneumonia. Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada lapangan paru. Dapat
disebabkan oleh bakteria maupun virus. Sering pada bayi dan orang tua. Jarang dihubungkan
dengan obstruksi bronkus c.Pneumonia interstisial

DIAGNOSIS
1. Gambaran klinis
a.Anamnesis
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat
melebihi 400 C, batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-kadang disertai darah, sesak
napas dan nyeri dada.
b.Pemeriksaan fisik
Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada inspeksi dapat terlihat
bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi
redup, pada auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin
disertai ronki basah halus, yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi.

18
Diagnosis pneumonia komuniti didapatkan dari anamnesis, gejala klinis pemeriksaan fisis, foto
toraks dan labolatorium. Diagnosis pasti pneumonia komuniti ditegakkan jika pada foto toraks
trdapat infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di bawah ini :
• Batuk-batuk bertambah
• Perubahan karakteristik dahak / purulen
• Suhu tubuh > 380 C (aksila) / riwayat demam
• Pemeriksaan fisis : ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial dan ronki
• Leukosit > 10.000 atau < 4500

2. Pemeriksaan penunjang
a.Gambaran radiologis
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk menegakkan diagnosis.
Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai konsolidasi dengan " air broncogram",
penyebab bronkogenik dan interstisial serta gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara
khas menentukan penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi,
misalnya gambaran pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae,
Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran
bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkan konsolidasi yang terjadi
pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus.
b.Pemeriksaan labolatorium
Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit, biasanya lebih dari
10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis leukosit terdapat
pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi
diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 20-
25% penderita yang tidak diobati. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan hikarbia,
pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.

PENGOBATAN
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian antibiotik pada penderita
pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya, akan tetapi
karena beberapa alasan yaitu :

19
1. penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
2. bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab pneumonia.
3. hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu.
Maka pada penderita pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris. Secara umum pemilihan
antibiotik berdasarkan baktri penyebab pneumonia dapat dilihat sebagai berikut :
Penisilin sensitif Streptococcus pneumonia (PSSP)
ƒ Golongan Penisilin
ƒ TMP-SMZ
ƒ Makrolid Penisilin resisten
Streptococcus pneumoniae (PRSP) ƒ TMP-SMZ
ƒ Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat ƒ Azitromisin
jalan) ƒ Sefalosporin gen. 2 atau 3
ƒ Sefotaksim, Seftriakson dosis tinggi ƒ Fluorokuinolon respirasi
ƒ Marolid baru dosis tinggi
ƒ Fluorokuinolon respirasi Legionella
ƒ Makrolid
Pseudomonas aeruginosa ƒ Fluorokuinolon
ƒ Aminoglikosid ƒ Rifampisin
ƒ Seftazidim, Sefoperason, Sefepim
ƒ Tikarsilin, Piperasilin Mycoplasma pneumoniae
ƒ Karbapenem : Meropenem, Imipenem ƒ Doksisiklin
ƒ Siprofloksasin, Levofloksasin ƒ Makrolid
ƒ Fluorokuinolon
Methicillin resistent Staphylococcus
aureus (MRSA) Chlamydia pneumoniae
ƒ Vankomisin ƒ Doksisikin
ƒ Teikoplanin ƒ Makrolid Fluorokuinolon
ƒ Linezolid Hemophilus influenzae

20
Menurut ATS kriteria pneumonia berat bila dijumpai 'salah satu atau lebih' kriteria di bawah
ini. Kriteria minor: • Frekuensi napas > 30/menit
• Pa02/FiO2kurang dari 250 mmHg
• Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
• Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus
• Tekanan sistolik < 90 mmHg
• Tekanan diastolik < 60 mmHg 10 Kriteria mayor adalah sebagai berikut :
• Membutuhkan ventilasi mekanik
• Infiltrat bertambah > 50%
• Membutuhkan vasopresor > 4 jam (septik syok)
• Kreatinin serum > 2 mg/dl atau peningkatan > 2 mg/dI, pada penderita riwayat penyakit ginjal
atau gagal ginjal yang membutuhkan dialysis.

1
Berdasar kesepakatan PDPI, kriteria yang dipakai untuk indikasi rawat inap pneumonia komuniti
adalah :
1. Skor PORT lebih dari 70
2. Bila skor PORT kurang < 70 maka penderita tetap perlu dirawat inap bila dijumpai salah satu
dari kriteria dibawah ini.
• Frekuensi napas > 30/menit
• Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg
• Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
• Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus Tekanan sistolik < 90 mmHg Tekanan diastolik < 60
mmHg
3. Pneumonia pada pengguna NAPZA

2
DAFTAR PUSTAKA

PDPI. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di
Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2003.

PDPI. Pneuomonia Komuniti Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta:


Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2003.

WHO. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Global Strategy for The
Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Geneva:
WHO Press;2018

Anda mungkin juga menyukai