Anda di halaman 1dari 5

Laporan Kegiatan Workshop Curiculum Plan

16 – 17 Januari, Benih Penabur Kasih Jakarta

Kegiatan

Rabu, 16 Januari 2019

Workshop dimulai pukul 08.30 WITA, di Ruang Rapat Gedung E, Lt 5, Benih Penabur
Kasih. Kegiatan workshop diawali ibadah pembukaan dengan topic perenungan adalah “kita
tetap harus menanam dan menabur” . Topik perenungan yang diberikan memberikan pesan
kepada peserta workshop untuk tetap bekerja dan berusaha, karena kita manusia hanya sebagai
penabur dan kita tidak tau akan apa yang terjadi hari esok. Hal yang terjadi esok hari adalah
misteri dalam kehidupan, maka dari itu berserah pada Tuhan merupakan kunci utama dalam
menjalani kehidupan iman Kristen kita. Menjadi penabur dikaitkan dalam profesi peserta
workshop yang sebagai besar adalah guru, dimana guru harus dapat menjadi sosok penabur yang
bijaksana sehingga dapat menabur benih - benih yang terbaik dalam setiap proses pembelajaran.
Hal ini juga yang menjadi pemaparan tujuan workshop yang dilakukan selama dua hari.

Tujuan workshop adalah membantu guru memahami pentingnya mempersiapkan masa


depan siswa. Persiapan masa depan siswa terkait dengan; keterampilan abad 21, pendekatan
pengajaran dan perubahan metode belajar dari pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher
center learning) ke (student center learning). Menurut Mr. David (Narasumber) 60% tenaga
kerja yang ada saat ini akan hilang pada abad 21 tergantikan dengan teknologi. Berita ini
mengejutkan bagi kami peserta seminar, namun hal yang membuat kami menjadi lebih lega
ketika mendengar bahwa profesi guru tidak termasuk dalam 60% pekerjaan yang akan hilang di
abad 21. Profesi guru kini memiliki tantangan besar yaitu bagaimana dapat memberikan
keterampilan abad 21 yang dibutuhkan siswa agar sukses dimasa depan.

Pada abad 21 masing-masing kerangka kerja memiliki daftar keterampilan penting yang
hampir mirip, semuanya sepakat tentang empat bidang penting untuk perkembangan siswa dalam
mempersiapkan keterampilan abad 21 yaitu;

1. Kolaborasi dan kerja tim


2. Kreativitas dan imajinasi
3. Berpikir kritis
4. Penyelesaian masalah

Empat bidang tersebut tidak akan dapat diberikan jika guru dalam proses pembelajarannya masih
ada dilevel 1. Proses pembelajaran level satu disini adalah system secara penuh mengatur seluruh
kegiatan proses pembelajaran, sehingga guru hanya akan berpaku pada system tersebut. Berpaku
nya guru hanya pada system akan membuat tidak kreatif nya g proses pembelajaran yang
dihasilkan, sehingga akan menyebabkan penurunan minat belajar siswa.

Pada gambar menunjukkan jika pembelajaran masih pada level 1 dimana system masih
mengontrol seluruh proses pembelajaran maka proses pembelajaran yang terjadi tidak akan dapat
berkembang. System yang dimaksud adalah kurikulum, sehingga keterbatasan pengembangan
proses ada pada kurikulum yang membatasinya. Level 2 dan Level 3 berbeda dari level satu
karena sama - sama dapat memberikan perubahan proses pembelajaran dimana system dan guru
bersama mengontrol jalan nya proses pembelajaran. Kolaborasi control ini dapat diartikan seperti
“kolam”, dimana kurikulum sebagai “batas-batas kolam” selama masih ada didalam kolam
berenang tidak akan terjadi masalah. Hal ini menjadikan kebebasan bagi guru untuk dapat
mengembangkan proses pembelajaran selama itu masih dalam lingkup kurikulum.
Kurikulum 2013 merupakan kurikulum yang berorientasi pada siswa atau Student Center
dimana salah satu tujuannya adalah membentuk siswa yang kritis. Hal ini senada dengan salah
satu dari 4 bidang penting yang diharapkan dimiliki oleh peserta didik untuk mempersiapkan
keterampilan abad 21. Membentuk siswa menjadi siswa yang kritis maka perlu mengembangkan
pembelajaran yang kritis, dimana perlu belajar untuk bertanya. Namun bagaimana cara
menumbuhkan minat bertanya pada siswa, sedangkan guru hanya menilai jawaban yang
diberikan oleh siswa. pertanyaan ini lah yang menjadi landasan penting bagi setiap guru untuk
mendorong perubahan proses pembelajaran sehingga mampu menyiapkan keterampilan siswa di
abad 21.

Perubahan proses pembelajaran dapat dimulai dengan mengawali proses pembelajaran


dengan pertanyaan bagaimana dan mengapa, hal ini akan meningkatkan pemikiran kritis siswa.
Pertanyaan yang dibuat merupakan pertanyaan besar (memiliki value) yang harus dapat
mencakup kebutuhan dari siswa untuk tahu. Selain mencakup kebutuhan siswa untuk tahu juga
membuat siswa dapat mengembangkan pertanyaan-pertanyaan sendiri. Ketika siswa dapat
memberikan pertanyaan, saat inilah bagaimana cara guru untuk memberikan penghargaan bagi
siswa tersebut, sehingga mereka merasa senang untuk bertanya dan mulai untuk berpikir yang
lebih kritis. Pendekatan sangat penting untuk dapat memberikan kenyamanan bagi siswa. Proses
pembelajaran seperti ini dapat diwujudkan dalam metode Inquiry Based Learning (IBL).

Inquiry Based Learning merupakan proses pembelajaran dibagun dari pertayaan-


pertanyaan yang diajukan siswa. Siswa didorong untuk berkolaborasi untuk memecahkan
masalah, dan bukannya sekedar menerima instruksi langsung dari gurunya. Guru dalam IBL ini
bertugas bukan sebagai penyedia informasi (Tearcher Center Learning) namun membantu siswa
untuk berproses menemukan sendiri pengetahuan yang mereka cari atau perlukan. IBL didasari
atas pemikiran John Dewey, seorang pakar pendidikan Amerika, yang mengatakan bahwa
pembelajaran, perkembangan, dan pertumbuhan seorang manusia akan optimal saat mereka
dikonfrontasikan dengan masalah nyata dan substantif untuk dipecahkan. John Dewey percaya
bahwa kurikulum dan instruksi seharusnya didasarkan pada tugas dan aktivitas berbasis
komunitas yang integratif dan melibatkan para pembelajar dalam tindakan-tindakan sosial
pragmatis yang membawa manfaat nyata pada dunia.
Metode IBL dapat dilakukan dengan menggunakan inquiry cycle dari Kath Murdoch.
Pada Inquiry cycle ini memiliki beberapa siklus yaitu; menarik perhatian, pencarian informasi,
pemilahan informasi, pengembangan, membuat kesimpulan, pelaksanaan hasil belajar dan
kembali ke awal seperti yang ditunjuukan pada gambar.

Pada fase pertama dalam siklus yaitu Menarik perhatian (Tuning In) dapat dilakukan dengan
cara; respresentasi visual dan brainstorming. Fase ini dilakukan untuk menarik keingintahuan
dalam suatu topic tertentu. Fase kedua adalah Pencarian informasi (Finding Out) dapat dilakukan
dengan cara; bertanya pada ahlinya, karyawisata dan media. Fase kedua ini dilakukan sebagai
upaya untuk meneliti suatu permasalahan dan mencari informasi sebanyak-banyak nya terkait hal
yang diteliti. Fase ketiga adalah Pemilahan informasi (Sorting Out) dimana pada fase ketiga ini
dapat dilakukan dengan cara; diagram, grafik, diagram ven dan lagu-lagu. Dalam fase ketiga ini
mengharuskan siswa untuk memilah, mengorganisasi, menyajikan dan melogika hal apa yang
akan diteliti. Dapat diartikan adalah mempersempit kembali topik penelitian yang akan
dilakukan, sehingga akan mendapatkan informasi yang sesuai. Fase keempat pengembangan
(Going Further), pada fase ini dapat dilakukan dengan cara kelompok individual dan kelompok
ahli. Tujuan pada fase ini supaya siswa dapat mengelola informasi dan ide serta dapat
menunjukkan hal apa yang sedang di teliti. Berikutnya adalah fase ke lima yaitu membuat
keputusan (Making Conclusions), dimana pada fase ini dapat dilakukan dengan model-model,
booklets atau mesin waktu. Tahap ini memberikan kesempatan bagi siswa untuk dapat membuat
pilihan dan mengaplikasikan ide-ide mereka dalam wadah tertentu dan memungkinkan siswa
menghubungkan pembelajaran mereka pelajari dengan situasi kehidupan nyata. Fase terakhir
yaitu pelaksanaan hasil belajar (Taking Action) dapat dilakukan dengan beberapa contoh yaitu
menuliskan surat dan mengembangkan rencana aksi. Pada fase terkhir ini siswa diberikan
kesempatan untuk menyampaikan hasil penemuan mereka kepada orang lain dengan
menggunakan media apapun atau dapat mengembangkan suatu kegiatan yang berhubungan
dengan hasil penelitian yang mereka temukan.
Setiap fase tersebut tentunya membutuhkan peran guru sebagai fasilitator yang dapat
merangsang cara berpikir kritis siswa melalui pertanyaan. Sebagai guru peneliti yang baik tahu
bagaimana membuat lebih banyak siswa berpikir lebih dalam dari waktu ke waktu.

Melalui paparan informasi inquiry cycle dari Kath Murdoch tentang bagaimana langkah
langkah yang dapat diberikan untuk membentuk proses pembelajaran berbasis Inquiry
diharapkan dapat menjadikan siswa berpikir kritis dan menyiapkan keterampilan siswa pada
abad ke 21. Dapat mengubah proses pembelajaran traidsional dimana guru sebelum nya adalah
sebagai penyedia seperangkat instruksi, memastikan semua orang ‘tahu apa yang harus
dilakukan’, menjelaskan semuanya dan kemudian siswa hanya diberi waktu untuk melakukan
tugas itu sendiri (80% guru memimpin : 20% siswa). Menjadi siswa yang melakukan, berpikir
dan menyelidiki dan pengajaran eksplisit terjadi sebagai tanggapan apa yang guru lihat dan
dengar sehingga rasio yang perbandingan nya dapat dibalik (20% guru memimpin : 80% siswa).
Rasio 20 % guru memimpin merupakan tindakan yang harus diperhatikan dari sisi bagaimana
guru memberikan perhatian/ pendekatan saat siswa bertanya dan bagaimana membantu proses
siswa dapat menemukan, sehingga pendekatan pendekatan yang diberikan akan dapat
menjadikan sekolah yang berbeda dan dapat menjadi acuan dari sekolah lain. Dapat dikatakan
hal ini merupakan senjata bagi sekolah-sekolah Kristen untuk dapat mampu bersaing dengan
sekolah lain nya.

Saran untuk lembaga:


Mengingat dalam kurikulum 2013 yang dibuat pemerintah menyangkut tentang penerapan siklus
inquiry yang diperlukan dalam pendidikan abad 21, maka dipandang perlu untuk diadakan in
house training pada setiap unit sehingga guru dapat mengerti dan memahami apa itu siklus
inquiry sehingga kedepannya dapat diterapkan dalam proses belajar mengajar. Dalam
pelaksanaan workshop atau training diperlukan narasumber yang mengerti dan paham betul
tentang siklus inquiry ini dan dapat mentransferkan ilmunya dan tahap-tahap dari siklus ini
secara terperinci kepada guru-guru.

Anda mungkin juga menyukai