1.1. Mekanisme Pembuatan Chitosan sehingga Bersifat Polikationik
Chitosan merupakan turunan dari polimer kitin, yakni produk samping dari pengolahan industri perikanan (udang). Chitosan disebut juga dengan β-1,4-2- amino-2-dioksi-D-glokosa. Senyawa ini merupakan kitin yang dihilangkan gugus asetilnya menggunakan basa pekat. Chitosan merupakan suatu polimer multifungsi karena mengandung tiga gugus yaitu asam amino, gugus hidroksil primer dan sekunder, membuat chitosan mempunyai reaktifitas kimia. Chitosan merupakan senyawa yang tidak larut dalam air, larutan basa kuat, sedikit larut dalam HCl dan HNO3 dan H3PO4 dan tidak larut dalam H2SO4. Chitosan tidak beracun, mudah terbiodegradasi, bersifat polielektrolitik, dan dapat dengan mudah berinteraksi dengan zat-zat organik lainnya seperti protein. Kitin merupakan molekul polimer berantai lurus dengan nama lain β-(1-4)-2-asetamida-2-dioksi-D-glukosa.
Gambar 1.1. Struktur Molekul Chitosan
(Sumber: Sugiarti, 2015)
Proses utama dalam pembuatan chitosan, meliputi penghilangan protein
dan kendungan mineral melalui proses kimiawi disebut deproteinasi dan demineralisasi yang dilakukan dengan menggunakan larutan basa dan asam. Chitosan diperoleh melalui proses deasetilasi dengan cara memanaskan dalam larutan basa. Karakteristik fisika-kimia chitosan berwarna putih dan berbentuk kristal, dapat larut dalam asam organik, tidak larut dalam pelarut organik lainnya. Chitosan merupakan biopolimer yang bersifat polikationik atau memiliki banyak muatan positif dari gugus nitrogennya. Sifat polikationik ini cenderung menggolongkan chitosan kepada bahan dielektrik. Reaksi pembentukan chitosan dari kitin merupakan reaksi hidrolisa suatu amida oleh suatu basa. Kitin bertindak sebagai amida dan NaOH sebagai basanya. Gugus OH- masuk ke dalam gugus NHCOCH3 lalu kemudian terjadi eliminasi gugus CH3COO- sehingga dihasilkan suatu amida yaitu chitosan. Deasetilasi dilakukan dengan penambahan NaOH pada kitin yang akan menghilangkan gugus asetil dan menyisakan gugus amino yang bermuatan positif, sehingga mengakibatkan chitosan bersifat polikationik. Semakin banyak gugus asetil yang hilang dari polimer kitin, interaksi antar ion dan ikatan hidrogen dari chitosan akan semakin kuat. Gugus amina pada chitosan yang dilarutkan di dalam suasana yang asam akan menyebabkan amina primer pada molekul chitosan terprotonasi dan memperoleh muatan positif, karena itu molekul chitosan yang terlarut memiliki sifat polikationik (Sugiarti, 2015). Chitosan pada pH asam akan memiliki gugus amin bebas (-NH2) menjadi bermuatan positif untuk membentuk gugus amin kationik (NH3). Sehingga, dapat diketahui bahwa sifat larutan chitosan akan sangat tergantung pada dua kondisi di atas. Chitosan yang dilarutkan dalam asam secara proporsional atom hidrogen dari radikal amina primer akan lepas sebagai proton, sehingga larutan akan bermuatan positif, dan bila ditambahkan molekul lain sebagai pembawa muatan negatif, maka terbentuklah polikationat, dan chitosan akan menggumpal. Sebagai contoh, natrium alginat (pembawa bermuatan negatif) dan larutan ervalensi dua (sulfat atau fosfat) dari ion mineral atau protein membentuk senyawa kompleks dengan chitosan.
1.2. Manfaat Polikationik dari Chitosan
Adanya gugus reaktif amino pada C-2 dan gugus hidroksil pada C-3 dan C-6 di chitosan membuat chitosan memiliki sifat reaktifitas yang tinggi. Chitosan sangat banyak berperan dalam berbagai aplikasinya, misalnya sebagai bahan pengawet, penstabil warna, flokulan, membantu proses reverse osmosis dalam penjernihan air, dan sebagai bahan aditif untuk proses agrokimia dan pengawet benih. Chitosan yang bersifat polikationik memiliki banyak kegunaan. 1.2.1. Chitosan sebagai Coagulating Agent Chitosan dengan sifat polikationiknya dimanfaatkan sebagai coagulating agent dalam penanganan limbah, terutama pada limbah yang berprotein, karena dapat menggumpalkan protein yang dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak. Berdasarkan sifat konfigurasinya chitosan pada penanganan limbah cair di dalam sistem berair maka chitosan dapat digunakan sebagai agensia pengelat yang dapat mengikat logam beracun seperti merkuri, timah, tembaga, plutonium, dan uranium dalam perairan, dan juga untuk mengikat zat warna tekstil dalam air limbah. Chitosan dapat digunakan sebagai zat koagulan, adanya sifat polikationik menyebabkan chitosan banyak dimanfaatkan bentuk recovery senyawa-senyawa organik dari limbah bekas media tumbuh seafood. Chitosan mudah mengalami degradasi secara biologis, tidak beracun, dan merupakan flokulan, koagulan yang baik, serta pengkelat logam. Chitosan telah digunakan bersama dengan bahan- bahan polimer perdagangan seperti PA 332 dan PN 161, serta diperoleh bahwa penambahan 1% larutan chitosan dan polimer tersebut ternyata mempengaruhi penurunan kekeruhan, dan bentuk padatan (Hendrawani dkk, 2015). 1.2.2. Chitosan sebagai Antibakteri Chitosan merupakan senyawa polikationik alam yang unik memiliki aktivitas antibakteri. Washino menyebutkan bahwa gugus amina terprotonasi dapat menghambat pertumbuhan dari bakteri dengan cara menahan muatan ion negatif mikroorganisme. Nitrogen merupakan salah satu sumber makanan bakteri. Adanya perbedaan faktor-faktor seperti konsentrasi chitosan dan Derajat Deasetilasi (DD) chitosan akan memberikan perbedaan aktivitas antibakteri (Purnawan, 2008). Bakteri Staphylococcus aureus merupakan salah satu bakteri pathogen yang berbahaya bagi kesehatan cangkang dan tubuh manusia sehingga perlu dihambat pertumbuhannya. Interaksi bahan antibakteri dapat melalui interaksi ionik dan interkasi hidrofobik. Namun karena chitosan tidak memiliki gugus alkil hidrofobik, maka kemungkinan besar interaksi sifat antibakteri polimer chitosan dengan bakteri melalui interaksi ionik antara polikationik ammonium kuaterner chitosan dengan muatan ion negatif sel bakteri. Gugus hidrofilik yang cenderung bermuatan negatif berinteraksi dengan polikation ammonium kuaterner chitosan. Adanya interaksi membuat keberadaan polikation chitosan mengganggu metabolisme bakteri dengan melapisi permukaan sel bakteri, mencegah masuknya nutrien ke sel, berikatan dengan deoxyribonucleic acid kemudian menghambat Ribonucleic acid serta sintesis protein yang menyebabkan kerusakan komponen intraseluler dan penyusutan secara perlahan mengakibatkan kematian sel. Umumnya semakin besar konsentrasi chitosan mengakibatkan aktivitas antibakteri kain semakin kecil. Dari penelitian setelah jam ke-12, chitosan dengan konsentrasi 1,4% akan mempercepat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus sehingga diperoleh persentase inhibisi yang negatif, dimana jumlah koloni bakteri pada konsentrasi tersebut lebih banyak daripada kontrol. Adanya atom nitrogen menjadikan chitosan sebagai inhibitor dan sumber makanan bakteri sekaligus. Semakin besar konsentrasi chitosan (>0,1%), sifat chitosan sebagai sumber makanan semakin besar sehingga sifat chitosan sebagai inhibitor semakin turun. Pengaruh derajat deasetilasi chitosan, besaran derajat deasetilasi dapat memberikan gambaran tentang jumlah gugus amina dalam chitosan. Perbedaan DD akan memberikan efek yang berbeda pula terhadap daya hambat bakteri. Derajat deasetilasi chitosan yang semakin besar mengakibatkan aktivitas antibakteri kain semakin besar. Hal ini disebabkan karena semakin besar DD chitosan maka jumlah ammonium kuaterner bermuatan positif yang terbentuk semakin besar sehingga interaksinya dengan sel bakteri yang cenderung bermuatan negatif semakin besar. 1.2.3. Chitosan sebagai Pengikat Zat Warna Chitosan dengan sifatnya yang polikationik dapat berperan sebagai pengikat, dimana chitosan dapat berikatan dengan zat warna. Hal ini dikarenakan dalam keadaan terprotonasi, gugus amina pada chitosan di dalam suasana yang asam akan terprotonasi sehingga chitosan dapat berikatan dengan gugus sulfonate pada zat warna sedangkan dalam suasana yang basa chitosan gugus hidroksil pada chitosan dapat berikatan dengan gugus vinil sulfon pada zat warna (Pratiwi, 2014). 1.2.4. Chitosan sebagai Pengikat Lemak dan Logam Berat Chitosan bersifat polikationik dapat mengikat lemak dan logam berat pencemar. Chitosan yang memiliki gugus amina yaitu adanya unsur N bersifat sangat reaktif dan bersifat basa. Prinsip koagulasi chitosan adalah penukar ion dimana garam amina yang terbentuk karena reaksi amina dengan asam akan mempertukarkan proton yang dimiliki logam pencemar dengan elektron yang dimiliki oleh nitrogen (N). Limbah cair yang mengandung logam berat apabila direaksikan dengan reagen yaitu chitosan khususnya dengan gugus aminanya maka akan berubah menjadi koloid dan koloid inilah yang disebut flok. Chitosan dengan sifat penukar ionnya dapat membentuk komplek dengan berbagai logam transisi, hal ini melibatkan donasi pasangan elektron bebas dari nitrogen dan atau oksigen dari gugus hidroksil kepada ion logam berat yang bersaing (Sukma dkk, 2018).
Gambar 1.2. Mekanisme Pengikatan Logam Berat oleh Chitosan
(Sumber: Sugiarti, 2015)
Chitosan dengan kemampuan daya serap atau daya ikatnya mampu
dijadikan koagulan yang tidak berbahaya. Polielektrolit merupakan bagian dari polimer khusus yang dapat terionisasi dan mempunyai kemampuan untuk membuat terjadinya suatu flokulasi dalam medium cair. Chitosan merupakan salah satu contoh dari polielektrolit. Koagulasi yang disebabkan oleh chitosan yang memiliki sifat polielektrolit meliputi empat tahap proses, yaitu: 1. Dispersi dari polielektrolit dalam suspensi 2. Adsorbsi antara permukaan solid-liquid. 3. Kompresi atau pemeraman dari polielektrik yang teradsorbsi. 4. Koalisi atau penyatuan dari polielektrik ntuk membentuk flok kecil.
1.2.5. Chitosan sebagai Bahan Pengikat
Chitosan dapat berfungsi sebagai pengikat bahan untuk pembentukan alat- alat gelas, plaslik, karet dan selulosa sehingga sering disebut specialily adhesif formulations. Chitosan dapat digunakan sebagai perekat, misalnya chitosan yang berkosentrasi rendah dan sedang yang berkosentrasi 3-4% dalam asam asetat 2% pada bahan untuk pembuatan rayon cotton. Chitosan dapat meningkatkan kekuatan mekanik permukaan kertas, menghilangkan kelebihan penggunaan perekat, dan dapat mencegah kelarutan hasil dari kertas, pulp, dan tekstil (Ferdiansyah, 2005). DAFTAR PUSTAKA
Ferdiansyah, V. 2005. Pemanfaatan Kitosan dari Cangkang Udang sebagai
Matriks Penyangga pada Imobilisasi Enzim Protease. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Hendrawati, dkk. 2015. Kitosan sebagai Koagulan Alami dalam Perbaikan Kualitas Air Danau. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Ilmu Kimia. 1(1):1-11. Purnawan, C. 2008. Kitosan dari Cangkang Udang dan Aplikasi Kitosan sebagai Bahan Antibakteri pada Kain Katun. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Pratiwi, R. 2014. Manfaat Kitin dan Kitosan bagi Kehidupan Manusia. Oseana. 39(1): 35-43. Sugiarti, R. A. 2015. Kandungan Polikationik Chitosan. (Online): https://dokumen. tips/documents/kandungan-polikationik-chitosan.html. (Diakses pada tanggal 2 Maret 2019). Sukma, D. H., dkk. 2018. Pemanfaatan Kitosan sebagai Adsorben Sianida pada Limbah Pengolahan Bijih Emas. Jurnal Pengolahan Hasil Pertanian Indonesia. 21(3): 460-470.