Anda di halaman 1dari 6

Nama : Nike Putri Anggelina

NIM : 03031281621050

KANDUNGAN POLIKATIONIK DALAM CHITOSAN

1.1. Mekanisme Pembuatan Chitosan sehingga Bersifat Polikationik


Chitosan merupakan turunan dari polimer kitin, yakni produk samping
dari pengolahan industri perikanan (udang). Chitosan disebut juga dengan β-1,4-2-
amino-2-dioksi-D-glokosa. Senyawa ini merupakan kitin yang dihilangkan gugus
asetilnya menggunakan basa pekat. Chitosan merupakan suatu polimer multifungsi
karena mengandung tiga gugus yaitu asam amino, gugus hidroksil primer dan
sekunder, membuat chitosan mempunyai reaktifitas kimia. Chitosan merupakan
senyawa yang tidak larut dalam air, larutan basa kuat, sedikit larut dalam HCl dan
HNO3 dan H3PO4 dan tidak larut dalam H2SO4. Chitosan tidak beracun, mudah
terbiodegradasi, bersifat polielektrolitik, dan dapat dengan mudah berinteraksi
dengan zat-zat organik lainnya seperti protein. Kitin merupakan molekul polimer
berantai lurus dengan nama lain β-(1-4)-2-asetamida-2-dioksi-D-glukosa.

Gambar 1.1. Struktur Molekul Chitosan


(Sumber: Sugiarti, 2015)

Proses utama dalam pembuatan chitosan, meliputi penghilangan protein


dan kendungan mineral melalui proses kimiawi disebut deproteinasi dan
demineralisasi yang dilakukan dengan menggunakan larutan basa dan asam.
Chitosan diperoleh melalui proses deasetilasi dengan cara memanaskan dalam
larutan basa. Karakteristik fisika-kimia chitosan berwarna putih dan berbentuk
kristal, dapat larut dalam asam organik, tidak larut dalam pelarut organik lainnya.
Chitosan merupakan biopolimer yang bersifat polikationik atau memiliki
banyak muatan positif dari gugus nitrogennya. Sifat polikationik ini cenderung
menggolongkan chitosan kepada bahan dielektrik. Reaksi pembentukan chitosan
dari kitin merupakan reaksi hidrolisa suatu amida oleh suatu basa. Kitin bertindak
sebagai amida dan NaOH sebagai basanya. Gugus OH- masuk ke dalam gugus
NHCOCH3 lalu kemudian terjadi eliminasi gugus CH3COO- sehingga dihasilkan
suatu amida yaitu chitosan. Deasetilasi dilakukan dengan penambahan NaOH pada
kitin yang akan menghilangkan gugus asetil dan menyisakan gugus amino yang
bermuatan positif, sehingga mengakibatkan chitosan bersifat polikationik.
Semakin banyak gugus asetil yang hilang dari polimer kitin, interaksi
antar ion dan ikatan hidrogen dari chitosan akan semakin kuat. Gugus amina pada
chitosan yang dilarutkan di dalam suasana yang asam akan menyebabkan amina
primer pada molekul chitosan terprotonasi dan memperoleh muatan positif, karena
itu molekul chitosan yang terlarut memiliki sifat polikationik (Sugiarti, 2015).
Chitosan pada pH asam akan memiliki gugus amin bebas (-NH2) menjadi
bermuatan positif untuk membentuk gugus amin kationik (NH3). Sehingga, dapat
diketahui bahwa sifat larutan chitosan akan sangat tergantung pada dua kondisi di
atas. Chitosan yang dilarutkan dalam asam secara proporsional atom hidrogen dari
radikal amina primer akan lepas sebagai proton, sehingga larutan akan bermuatan
positif, dan bila ditambahkan molekul lain sebagai pembawa muatan negatif, maka
terbentuklah polikationat, dan chitosan akan menggumpal. Sebagai contoh, natrium
alginat (pembawa bermuatan negatif) dan larutan ervalensi dua (sulfat atau fosfat)
dari ion mineral atau protein membentuk senyawa kompleks dengan chitosan.

1.2. Manfaat Polikationik dari Chitosan


Adanya gugus reaktif amino pada C-2 dan gugus hidroksil pada C-3 dan
C-6 di chitosan membuat chitosan memiliki sifat reaktifitas yang tinggi. Chitosan
sangat banyak berperan dalam berbagai aplikasinya, misalnya sebagai bahan
pengawet, penstabil warna, flokulan, membantu proses reverse osmosis dalam
penjernihan air, dan sebagai bahan aditif untuk proses agrokimia dan pengawet
benih. Chitosan yang bersifat polikationik memiliki banyak kegunaan.
1.2.1. Chitosan sebagai Coagulating Agent
Chitosan dengan sifat polikationiknya dimanfaatkan sebagai coagulating
agent dalam penanganan limbah, terutama pada limbah yang berprotein, karena
dapat menggumpalkan protein yang dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak.
Berdasarkan sifat konfigurasinya chitosan pada penanganan limbah cair di dalam
sistem berair maka chitosan dapat digunakan sebagai agensia pengelat yang dapat
mengikat logam beracun seperti merkuri, timah, tembaga, plutonium, dan uranium
dalam perairan, dan juga untuk mengikat zat warna tekstil dalam air limbah.
Chitosan dapat digunakan sebagai zat koagulan, adanya sifat polikationik
menyebabkan chitosan banyak dimanfaatkan bentuk recovery senyawa-senyawa
organik dari limbah bekas media tumbuh seafood. Chitosan mudah mengalami
degradasi secara biologis, tidak beracun, dan merupakan flokulan, koagulan yang
baik, serta pengkelat logam. Chitosan telah digunakan bersama dengan bahan-
bahan polimer perdagangan seperti PA 332 dan PN 161, serta diperoleh bahwa
penambahan 1% larutan chitosan dan polimer tersebut ternyata mempengaruhi
penurunan kekeruhan, dan bentuk padatan (Hendrawani dkk, 2015).
1.2.2. Chitosan sebagai Antibakteri
Chitosan merupakan senyawa polikationik alam yang unik memiliki
aktivitas antibakteri. Washino menyebutkan bahwa gugus amina terprotonasi dapat
menghambat pertumbuhan dari bakteri dengan cara menahan muatan ion negatif
mikroorganisme. Nitrogen merupakan salah satu sumber makanan bakteri. Adanya
perbedaan faktor-faktor seperti konsentrasi chitosan dan Derajat Deasetilasi (DD)
chitosan akan memberikan perbedaan aktivitas antibakteri (Purnawan, 2008).
Bakteri Staphylococcus aureus merupakan salah satu bakteri pathogen
yang berbahaya bagi kesehatan cangkang dan tubuh manusia sehingga perlu
dihambat pertumbuhannya. Interaksi bahan antibakteri dapat melalui interaksi ionik
dan interkasi hidrofobik. Namun karena chitosan tidak memiliki gugus alkil
hidrofobik, maka kemungkinan besar interaksi sifat antibakteri polimer chitosan
dengan bakteri melalui interaksi ionik antara polikationik ammonium kuaterner
chitosan dengan muatan ion negatif sel bakteri. Gugus hidrofilik yang cenderung
bermuatan negatif berinteraksi dengan polikation ammonium kuaterner chitosan.
Adanya interaksi membuat keberadaan polikation chitosan mengganggu
metabolisme bakteri dengan melapisi permukaan sel bakteri, mencegah masuknya
nutrien ke sel, berikatan dengan deoxyribonucleic acid kemudian menghambat
Ribonucleic acid serta sintesis protein yang menyebabkan kerusakan komponen
intraseluler dan penyusutan secara perlahan mengakibatkan kematian sel.
Umumnya semakin besar konsentrasi chitosan mengakibatkan aktivitas
antibakteri kain semakin kecil. Dari penelitian setelah jam ke-12, chitosan dengan
konsentrasi 1,4% akan mempercepat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus
sehingga diperoleh persentase inhibisi yang negatif, dimana jumlah koloni bakteri
pada konsentrasi tersebut lebih banyak daripada kontrol. Adanya atom nitrogen
menjadikan chitosan sebagai inhibitor dan sumber makanan bakteri sekaligus.
Semakin besar konsentrasi chitosan (>0,1%), sifat chitosan sebagai sumber
makanan semakin besar sehingga sifat chitosan sebagai inhibitor semakin turun.
Pengaruh derajat deasetilasi chitosan, besaran derajat deasetilasi dapat
memberikan gambaran tentang jumlah gugus amina dalam chitosan. Perbedaan DD
akan memberikan efek yang berbeda pula terhadap daya hambat bakteri. Derajat
deasetilasi chitosan yang semakin besar mengakibatkan aktivitas antibakteri kain
semakin besar. Hal ini disebabkan karena semakin besar DD chitosan maka jumlah
ammonium kuaterner bermuatan positif yang terbentuk semakin besar sehingga
interaksinya dengan sel bakteri yang cenderung bermuatan negatif semakin besar.
1.2.3. Chitosan sebagai Pengikat Zat Warna
Chitosan dengan sifatnya yang polikationik dapat berperan sebagai
pengikat, dimana chitosan dapat berikatan dengan zat warna. Hal ini dikarenakan
dalam keadaan terprotonasi, gugus amina pada chitosan di dalam suasana yang
asam akan terprotonasi sehingga chitosan dapat berikatan dengan gugus sulfonate
pada zat warna sedangkan dalam suasana yang basa chitosan gugus hidroksil pada
chitosan dapat berikatan dengan gugus vinil sulfon pada zat warna (Pratiwi, 2014).
1.2.4. Chitosan sebagai Pengikat Lemak dan Logam Berat
Chitosan bersifat polikationik dapat mengikat lemak dan logam berat
pencemar. Chitosan yang memiliki gugus amina yaitu adanya unsur N bersifat
sangat reaktif dan bersifat basa. Prinsip koagulasi chitosan adalah penukar ion
dimana garam amina yang terbentuk karena reaksi amina dengan asam akan
mempertukarkan proton yang dimiliki logam pencemar dengan elektron yang
dimiliki oleh nitrogen (N). Limbah cair yang mengandung logam berat apabila
direaksikan dengan reagen yaitu chitosan khususnya dengan gugus aminanya maka
akan berubah menjadi koloid dan koloid inilah yang disebut flok. Chitosan dengan
sifat penukar ionnya dapat membentuk komplek dengan berbagai logam transisi,
hal ini melibatkan donasi pasangan elektron bebas dari nitrogen dan atau oksigen
dari gugus hidroksil kepada ion logam berat yang bersaing (Sukma dkk, 2018).

Gambar 1.2. Mekanisme Pengikatan Logam Berat oleh Chitosan


(Sumber: Sugiarti, 2015)

Chitosan dengan kemampuan daya serap atau daya ikatnya mampu


dijadikan koagulan yang tidak berbahaya. Polielektrolit merupakan bagian dari
polimer khusus yang dapat terionisasi dan mempunyai kemampuan untuk membuat
terjadinya suatu flokulasi dalam medium cair. Chitosan merupakan salah satu
contoh dari polielektrolit. Koagulasi yang disebabkan oleh chitosan yang memiliki
sifat polielektrolit meliputi empat tahap proses, yaitu:
1. Dispersi dari polielektrolit dalam suspensi
2. Adsorbsi antara permukaan solid-liquid.
3. Kompresi atau pemeraman dari polielektrik yang teradsorbsi.
4. Koalisi atau penyatuan dari polielektrik ntuk membentuk flok kecil.

1.2.5. Chitosan sebagai Bahan Pengikat


Chitosan dapat berfungsi sebagai pengikat bahan untuk pembentukan alat-
alat gelas, plaslik, karet dan selulosa sehingga sering disebut specialily adhesif
formulations. Chitosan dapat digunakan sebagai perekat, misalnya chitosan yang
berkosentrasi rendah dan sedang yang berkosentrasi 3-4% dalam asam asetat 2%
pada bahan untuk pembuatan rayon cotton. Chitosan dapat meningkatkan kekuatan
mekanik permukaan kertas, menghilangkan kelebihan penggunaan perekat, dan
dapat mencegah kelarutan hasil dari kertas, pulp, dan tekstil (Ferdiansyah, 2005).
DAFTAR PUSTAKA

Ferdiansyah, V. 2005. Pemanfaatan Kitosan dari Cangkang Udang sebagai


Matriks Penyangga pada Imobilisasi Enzim Protease. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Hendrawati, dkk. 2015. Kitosan sebagai Koagulan Alami dalam Perbaikan Kualitas
Air Danau. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Ilmu Kimia. 1(1):1-11.
Purnawan, C. 2008. Kitosan dari Cangkang Udang dan Aplikasi Kitosan sebagai
Bahan Antibakteri pada Kain Katun. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Pratiwi, R. 2014. Manfaat Kitin dan Kitosan bagi Kehidupan Manusia. Oseana.
39(1): 35-43.
Sugiarti, R. A. 2015. Kandungan Polikationik Chitosan. (Online): https://dokumen.
tips/documents/kandungan-polikationik-chitosan.html. (Diakses pada
tanggal 2 Maret 2019).
Sukma, D. H., dkk. 2018. Pemanfaatan Kitosan sebagai Adsorben Sianida pada
Limbah Pengolahan Bijih Emas. Jurnal Pengolahan Hasil Pertanian
Indonesia. 21(3): 460-470.

Anda mungkin juga menyukai