Diskusi Topik Group 3 - Kurang Budi
Diskusi Topik Group 3 - Kurang Budi
PENYUSUN
Ahmad Baihaki Ramadhan / 1306436325
Budi Santoso / 1306436382
Debora Roselita Karo Sekali / 1306436395
NARASUMBER
Dr. Winnugroho Wiratman, SpS.
dengan sebenarnya menyatakan bahwa makalah ini kami susun tanpa tindakan
plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas Indonesia. Jika di
kemudian hari ternyata kami melakukan tindakan plagiarisme, kami akan bertanggung
jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Indonesia
kepada kami.
2
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
Dengan ini, dinyatakan bahwa makalah Diskusi Topik yang diajukan oleh:
Pembimbing,
Ditetapkan di : Jakarta
3
Carpal Tunnel Syndrome (CTS)
I. Definisi dan epidemiologi
Carpal Tunnel Syndrome (CTS) merupakan sebuah neuropati akibat kompresi/jepitan terhada
saraf medianus dan paling sering ditemukan diantara neuropati lainnya.1,2,3,4,5 Kompresi pada saraf
medianus tersebut dapat menyebabkan mononeuropati dari saraf tersebut.1,2,3,5 Selain CTS,
kompresi pada saraf medianus dapat juga menyebabkan sindroma lain yaitu; 1) sindroma kompresi
saraf medianus proksimal (pronator teres syndrome) dan 2) sindroma kompresi saraf interoseus
anterior.2,3 Dibandingkan dengan kelainan/sindroma lain yang juga disebabkan oleh
terkompresinya saraf medianus tersebut, CTS tetap merupakan sindroma yang paling sering
ditemukan.3,4 CTS dibedakan dengan sindroma kompresi nervus medianus yang lain berdasarkan
lokasi kompresinya yang akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian diagnosis banding.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Atroshi et.al pada tahun 1999 mengenai prevalensi CTS
pada populasi umum di Swedia, diperoleh data epidemiologi dimana 1 dari 5 orang dengan keluhan
nyeri, kebas dan kesemutan pada tangan didiagnosis sebagai CTS.6 Jika dibandingkan berdasarkan
jenis kelamin, kasus CTS lebih banyak terjadi pada perempuan daripada laki-laki dengan
perbandingan 4:1. Hal tersebut didukung oleh studi yang juga dilaporkan oleh Atroshi et.al
mengenai populasi di Belanda dimana kasus CTS pada perempuan dan laki-laki sebesar 5.8% dan
0.6% secara berurutan.6 Studi epidemiologi lain mengenai CTS oleh Mondelli et.al pada tahun
2002 di Italia mengungkapkan hasil bahwa pada populasi orang Italia, insidensi CTS pada
perempuan meningkat bersama bertambahnya usia dan mencapai puncaknya pada usia 50-59
tahun, kemudian menurun.7 Sedangkan pada populasi laki-laki orang Italia, insidensi CTS juga
meningkat dengan pertambahan usia namun memiliki 2 puncak insidensi yaitu pada rentang usia
50-59 tahun dan 70-79 tahun.7 Selain usia dan jenis kelamin, faktor obesitas pun berperan dalam
meningkatkan insidensi CTS.
II. Anatomi
Nervus medianus terbentuk dari proses penggabungan dan pemisahan cabang cabang plexus
brakialis yang melibatkan ramus ventral nervus servikalis 4 hingga nervus torakalis 2 (Gambar
1).2,4,8 Pada bagian paling proksimal, nervus servikalis 4 hingga 6 bergabung membentuk trunkus
superior dari plexus brakialis,nervus servikalis 8 dan nervus torakalis 1 dan 2 bergabung
4
membentuk trunkus inferior sedangkan trunkus media hanya berasal dari nervus servikalis 7. Ke
arah lebih distal, trunkus superior, media dan inferior memiliki cabang anterior dan posterior.
Cabang anterior dari trunkus superior bersama dengan cabang anterior trunkus media bergabung
membentuk korda lateralis, cabang posterior trunkus superior bersama dengan cabang posterior
trunkus media dan cabang posterior trunkus inferior membentuk korda posterior sedangkan korda
media hanya merupakan lanjutan dari percabangan anterior trunkus inferior. Selanjutnya, korda
lateral bercabang menjadi nervus muskulokutaneus, nervus pektoralis lateralis dan menjadi
komponen yang membentuk nervus medianus. Korda posterior memiliki percabangan sebagai
nervus supskapular atas, torakodorsal, subskapular bawah, nervus aksilaris serta nervus radialis.
Korda media memiliki percabangan nervus pektoalis medialis, nervus kutaneus medialis lengan
atas dan bawah, nervus ulnaris dan juga bersamaan dengan cabang dari nervus lateral membentuk
nervus medianus. Sehingga secara ringkas disimpulkan bahwa nervus medianus dibentuk oleh
cabang dari korda lateral dan cabang dari korda medial. 4
Selanjutnya, pada bagian antebrakii nervus medianus terbagi menjadi 2 cabang yaitu nervus
interoseus anterior yang berada tepat diatas otot pronator teres dan nervus utama medianus yang
5
tetap menuju ke arah distal melewati bagian bawah otot fleksor digitorum superfisialis. 2 Cabang
utama nervus medianus di antebrakii mempersarafi m. flexor carpi radialis, m. flexor digitorum
superficialis, m. palmaris longus dan m. pronator teres sedangkan nervus interoseus anterior
mempersarafi m. pronator quadratus, m. flexor digitorum profundus dan m. flexor policis longus.2,8
Dari bagian distal antebrakii, nervus medianus memasuki telapak tangan melalui terowongan
karpal yang terbentuk dari formasi tulang-tulang karpal pada bagian dasarnya dan ligamentum
karpal transversus (TCL) pada bagian atasnya. 5-8 cm sebelum memasuki terowongan karpal,
nervus medianus memiliki cabang ramus palmaris kutaneus yang mempersarafi emninensia tenar
dan tidak ikut masuk melalui terowongan karpal.2 Oleh karena itu, pada kasus hilangnya sensasi
pada bagian tear tidak berhubungan dengan CTS.
Nervus medianus melewati terowongan karpal bersamaan dengan 9 tendon yaitu tendon flexor
policis longus, 4 tendon flexor digitorum profundus dan 4 tendon flexor digitorum superfisialis.2,4
Diameter rongga terowongan karpal berkisar 2-2,5 cm.2 Setelah memasuki terowongan karpal,
nervus medianus berdasarkan fungsinya terbagi menjadi nervus motorik dan sensorik. sebagai
nervus sensorik, nervus medianus mempersarafi seluruh sisi palmar digiti I-III dan setengah bagian
digiti IV serta sisi dorsal seluas phalanx distal digiti I-III dan setengah phalanx distal digiti IV.2,8
Sebagai nervus motorik, nervus medianus mempersarafi m. oponens policis, m. abduktor policis
brevis, caput superficialis m.flexor policis brevis dan m. lumbricalis I dan II.2,8
6
Gambar 3. Lokasi yang dipersarafi N. Medianus dan lokasi predileksi terkompresinya N. Medianus2
7
III. Etiologi dan patogenesis
Mekanisme utama terjadinya CTS yaitu nervus medianus yang terkompresi sehingga terjepit di
terowongan karpal yang dapat disebabkan oleh beberapa etiologi. Etiologi primer terjadinya CTS
merupakan idiopatik sedangkan pada etiologi sekunder disebabkan oleh space occupying lesions
(SOL) yang dapat berwujud sebagai tumor, jaringan sinovial yang hipertrofi, kalus dari luka
fraktur, maupun osteofit, kondisi metabolik dan fisiologis seperti pada kondisi hamil,
hipotiroidisme dan rheumatoid arthritis, infeksi, neuropati akibat diabetes mellitus dan alkolisme
dan dapat juga akibat kelainan familial.2,4 Hal mekanik seperti gerakan pergelangan tangan
repetitif dan fleksi pergelangan tangan yang dipaksakan juga sering menjadi penyebab terjadinya
CTS.2,4 Adanya kompresi yang disebabkan oleh etiologi-etiologi tersebut dapat menekan
pembuluh darah yang juga melalui terowongan karpal yang selanjutnya akan menimbulkan kondisi
iskemik pada jaringan di bagian distal dari terowongan karpal termasuk iskemik nervus
medianus.2,4 Hantaran persarafan aksonal nervus medianus pun dapat terganggu akibat terjadinya
kompresi. Kompresi pada nervus medianus menyebabkan demielinisasi pranodal yang jika lebih
lama akan menyebabkan edema pada nervus dan dalam jangka waktu yang lebih lama akan
menyebabkan degenerasi dari akson nervus medianus.1,2 Rasa nyeri yang dirasakan berasal dari
impuls sensasi nyeri yang dihantarkan ke otak melalui saraf nosiseptif.
8
kemampuan sensoris untuk diskriminasi 2 titikdan berkurangnya kemampuan sensoris dalam
mendeteksi sentuhan halus terutama pada ujung jari.2,3,4 Gangguan motorik berupa kelemahan otot
terutama otot thenar sering dijumpai pada kasus yang berat.2 Selain gangguan sensorik dan
motorik, gejala lainnya yaitu adanya nyeri hebat pada tangan daerah pergelangannya yang
bertambah berat ketika malam hari dapat hingga mengganggu tidur namun dapat berkurang jika
tangan diayunkan, diistirahatkan dan diletakkan lebih tinggi dari posisi yang sama dengan tubuh
secara keseluruhan.2,3
Berdasarkan tanda dan gejalanya, kelainan sindroma terowongan karpal dapat diklasifikasikan
kepada tiga grup:9
1. Stage 1
Merupakan fase dimana pasien memiliki keluhan terbangun pada malam hari dengan
sensasi tangan yang seperti bengkak dan baal. Pada beberapa kasus pasien juga
mengeluhkan adanya rasa nyeri dan kesemutan yang mengganggu yang dirasakan pada
tangan dan jari-jari tangan (brachialgia paraesthetica nocturna). Keluhan pada pasien
9
umumnya membaik dengan menggoyangkan tangan, namun kekakuan umumnya masih
bertahan hingga pagi hari.
2. Stage 2
Merupakan fase dimana keluhan juga muncul pada pagi hari, terutama setelah pasien
melakukan pergerakan berulang dengan pergelangan tangan atau statis untuk waktu yang
cukup lama. Pada fase ini pasien juga mulai mengalami defisit motorik dimana pasien
umumnya melaporkan adanya benda yang jatuh dari genggamannya.
3. Stage 3
Merupakan fase akhir dimana mulai terlihat adanya hipotrofi hingga atrofi dari otot-otot
tenar. Keluhan defisit motorik umumnya dapat dilihat, namun keluhan sensorik dapat
menghilang.
VIII. Diagnosis
A. Anamnesis9
Dalam mendiagnosis sindroma terowongan karpal, diperlukan informasi mengenai beberapa hal
yang dapat mengarahkan:
Tabel dibawah menunjukkan beberapa karakteristik yang dapat menyokong diagnosis sindroma
terowongan karpal.
10
Symptom Faktor pencetus Faktor pereda
Tabel 1. Kemungkinan CTS meningkat bersamaan dengan jumlah gejala yang ada
B. Pemeriksaan Fisis9,10
Terdapat banyak sekali temuan fisis dan manuver yang positif pada pasien dengan sindroma
terowongan karpal. Pada literature terbaru, umumnya klinisi berpegang kepada penggunaan
diagram Katz dan hasil pemeriksaan tanda Tinel dan Phalen, walaupun pada studi lain didapati
kedua maneuver ini tidak memiliki nilai diagnostic yang baik.9
Hal yang penting dilakukan dalam pemeriksaan fisis adalah memeriksakan sensorik dan motorik
area dan otot yang dipersarafi oleh saraf medianus. Pemeriksaan ini dapat dibantu dengan
penggunaan diagram Katz.
Diagram tangan Katz merupakan diagram yang digunakan untuk pasien melokalisir keluhan yang
dirasakan. Diagram Katz secara umum dapat diklasifikasikan kepada tiga pola:
a. Classical pattern
Gejala klinis dirasakan pada paling tidak dua dari jari 1,2 dan 3. Gejala klinis juga dapat dirasakan
pada jari ke-4, ke-5, dan pergelangan tangan hingga sedikit proksimal, namun tidak boleh
melibatkan telapak dan punggung tangan.
b. Probable/possible pattern
11
Probable secara umum sama dengan classical pattern, namun keterlibatan telapak diperbolehkan
jika terbatas pada sisi median. Sedangkan possible pattern ditentukan jika gejala klinis hanya
ditemukan pada satu jari dari jari ke-1, ke-2, atau ke-3.
c. Unlikely pattern
Merupakan pola yang ditentukan jika tidak terdapat gejala klinis pada jari ke-1, ke-2, atau ke-3.
Selain dari anamnesis dan penggunaan diagram Katz, terdapat beberapa pemeriksaan provokasi
yang dapat dilakukan untuk menyokong diagnosis. Phalen dan Tinel merupakan tanda yang umum
diperiksa pada pasien dengan sindrom terowongan karpal, namun dibandingkan dengan anamnesis
dan pemeriksaan fisik dan lokalisasi gejala dengan diagram katz, pemeriksaan tanda Phalen dan
Tinel memiliki nilai diagnostik yang rendah.9 Berikut adalah beberapa tes provokasi yang dapat
dilakukan:9,10
12
Manuver Phalen
Tanda Tinel
Pasien diminta untuk meletakkan tangannya, dan
pemeriksa mengetuk (seperti melakukan perkusi)
pada permukaan volar dari pergelangan pasien.
Hasil pemeriksaan dinyatakan positif jika muncul
gejala paresthesia pada area yang dipersarafi saraf
medianus. Gambar 7. Tanda Tinel
C. Pemeriksaan Penunjang9,10
Nerve conduction studies dan electromyography dapat digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis
sindrom terowongan karpal. Tujuan dari kedua pemeriksaan ini adalah untuk mengkonfirmasi
adanya kerusakan fokal pada saraf median didalam terowongan karpal, mengkuantifikasi
kerusakan saraf yang terjadi, dan mendefinisikan patofisiologi yang terjadi pada pasien.
Electroneurography
Merupakan pemeriksaan yang mengukur motoric conduction velocity (MCV) dan sensory
conduction velocity (SCV) sepanjang pergelangan tangan. Pada pasien dengan sindrom
terowongan karpal, umumnya nilai yang kita perhatikan adalah nilai SCV, dimana terdapat
penurunan SCV sehingga waktu konduksinya pun ikut menurun. Penurunan dari SCV ini
menggambarkan adanya defisit neurologis yang dialami pasien. Pemeriksaan ini menjadi
13
pemeriksaan baku emas karena sifatnya yang objektif dan dapat menjelaskan patofisiologi pada
pasien. Sensitivitas pemeriksaan ini dapat mencapai 85% dengan spesifisitas sebesar 95%.
Needle electromyography
Dapat digunakan untuk mengkonfirmasi adanya degenerasi akson pada serabut motorik yang
menginervasi otot abductor pollicis brevis dan oponens pollicis.
Selain penggunaan nerve conduction studies dan electromyography, imaging studies juga dapat
membantu menegakkan diagnosis sindrom terowongan karpal
Ultrasound
Banyak digunakan karena biaya pemeriksaan yang murah dengan sensitivitas cukup baik (85%).
Spesifisitasnya ultrasound namun tidak sebaik studi konduksi, dan hanya mencapai 83%. Pada
pemeriksaan ultrasound dapat ditemukan gambaran penebalan dari saraf medianus. Kekurangan
dari pemeriksaan ini yang paling menonjol adalah operator dependent.
MRI
Umumnya digunakan untuk melihat lokasi lesi setelah dilakukannya prosedur pelepasan
terowongan karpal. MRI dapat dengan baik memberikan gambaran saraf medianus dan
keterlibatannya dalam terowongan karpal. Karena baiknya gambaran yang diberikan, sensitivitas
pemeriksaan ini dapat mencapai 95%, namun dengan spesifisitas yang rendah (40%)
Berdasarkan waktu kapan gejala muncul dan tanda deficit neurologisnya dapat diklasifikasikan
menjadi 3 sesuai dengan tingkat keparahannya sebagai berikut.
14
Menurut American Association of Family Physician (AAFP), CTS dapat dibedakan berdasarkan
pemeriksaan klinis dan penunjang sebagai berikut.10 Pasien dengan gejala CTS ringan-sedanhg
memiliki hasil konduksi saraf dan elektromiografi yang relatif normal atau sedikit abnormal.
Sedangkan pasien dengan gejala CTS berat memiliki hasil abnormal yang signifikan dalam studi
konduksi saraf dan elektromiografinya.10
X. Tatalaksana
Tatalaksana CTS berdasarkan tingkat keparahannya. Secara umum, tatalaksana CTS dibedakan
menjadi 2 yaitu secara konservatif dan pembedahan. Pasien dengan gejala CTS mild biasanya
mendapatkan tatalaksana konservatif selama 6 minggu – 3 bulan. Pasien dengan gejala CTS
moderate-severe atau pasien yang memiliki gejala persisten lebih direkomendasikan terapi
pembedahan.10
A. Terapi Konservatif
1. Modifikasi gaya hidup
Menghindari gerakan repetitif, misalnya menggunakan alat-alat yang lebih ergonomis (wrist rest,
mouse pad), istirahat setelah kegiatan yang berulang dan lama, menggunakan alternatif keyboard
(digital pen, voice recognition, dictation software).10
15
2. Splinting
Splinting adalah terapi lini pertama pada CTS dengan gejala ringan
karena murah, sederhana, mudah, dan dapat ditoleransi. Penggunaan
neutral and cock-up wrist splints terbukti memiliki manfaat yang
baik untuk mengurangi gejala. Namun, untuk penggunaan splint
yang memfiksasi hingga sendi metacarpophalangeal dan
pergelangan tangan karena dapat mengurangi migrasi lumbrikal ke
retinacular space. Penggunaan splint lebih baik lagi jika digunakan
24 jam dibandingkan hanya pada malam hari.10 Gambar 8. Cock-up splint
Pada penelitian sistematik review di Cochrane didapatkan injeksi steroid dapat mengurangi gejala
selama 10 minggu hingga 1 tahun. Injeksi lokal memiliki efek yang lebih baik daripada
kortikosteroid oral. Injeksi kortikosteroid juga dapat menunda kebutuhan pembedahan. Injeksi
steroid memiliki beberapa kelemahan seperti risiko cedera saraf medianus dan rupture tendon. Jika
dalam 2x penyuntikan gejala tetap terasa, maka perlu dipertimbangkan untuk metode lain atau
pembedahan. Belum ada data mengenai korelasi antara dosis dan perbaikan gejala, biasanya
dipakai triamcinolone acetonide 20 mg tanpa lidocaine disuntikan seperti gambar di bawah ini.10
Gambar 9. Lokasi injeksi kortikosteroid biasanya pada titik A yaitu medial dari palmaris longus
tendon, bisa juga ke titik B yaitu lateral dari palmaris longus tendon10
16
4. Steroid oral
Oral prednisone 20 mg sehari selama 10-14 hari dapat diberikan untuk memperbaiki gejala dan
efeknya akan bertahan hingga 8 minggu. Terapi NSAID, diuretik, vitamin B6 tidak efektif.10
5. Fisioterapi
Terdapat bukti yang terbatas mengenai efek fisioterapi pada gejala CTS. Contohnya seperti
ultrasound terapeutik, nerve glide exercise, dan yoga. Nerve glide exercise karpal dengan
menggerakkan jari-jari yang diinervasi oleh saraf medianus. Secara teori, gerakan ini dapat
memperbaiki pergerakkan saraf medianus dan dapat dilakukan di rumah. Terapi ultrasound
memerlukan seorang ahli dan masih belum ada bukti ilmiah yang cukup. Pada penelitian
randomized trial pasien yang melakukan yoga selama 8 minggu memiliki perbaikan gejala.10
B. Pembedahan
Terapi pembedahan dilakukan untuk pasien CTS dengan gejala moderate-severe atau memiliki
gejala kehilangan kemampuan sensoris dan motoris yang persisten, denervasi pada uji
elektrodiagnostik dan atrofi tenar. Tatalaksana ini merupakan tatalaksana definitif. Metode
pembedahan dapat dilakukan secara open atau arthroscopy untuk melonggarkan ligamentum
carpal transversus. Teknik ini dinamakan carpal tunnel release (CTR) yaitu dengan memotong
ligamen karpal transversus untuk meningkatkan ruang dan menurunkan tekanan interstitial. Tidak
ada perbedaan pada five-year outcome pada kedua teknik pembedahan, sekitar 70-90% memiliki
efek luaran jangka panjang yang bagus. Pasien akan pulih secara penuh dalam 1 tahun.12,13
17
Gambar 10. Carpal tunnel release12,13
Komplikasi yang paling sering pada CTS adalah atrofi tenar dan kelemahan otot di dasar ibu jari.
CTS merupakan penyakit yang memiliki kecenderungan yang bersifat progresif dan akan terjadi
kerusakan nervus medianus yang ireversibel. Secara umum, prognosis dari penyakit ini baik, 90%
pasien dengan gejala sedang akan berespon terhadap terapi konservatif namun seiring dengan
waktu pasien memerlukan pembedahan. Kurang dari 50% pasien masih memiliki gejala setelah
operasi. Beberapa gejala seperti baal atau lemah cukup sering. Modifikasi aktivitas kerja
diperlukan beberapa minggu setelah operasi. Stretching exercises, istirahat tiap melakukan
gerakan repetitif, memakai wrist splint dapat mengurangi gejala.14
18
REFERENCES
1. Aninditha T dan Wiratman Winnugroho. Buku Ajar Neurologi. Edisi pertama. Jakarta:
Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2017. p667
2. Campbell WW. DeJong’s The Neurologic Examination. Seventh Edition. Philadelphia:
Wolters Kluwer; 2005. p667-669
3. Solomon L, et.al. Apley’s System of Orthopaedics and Fractures. Ninth Edition. London:
Hodder Arnold; 2010. p288-289
4. Austin R, et al. Toronto Notes: Plastic Surgery. Toronto: Division of Plastic and
Reconstructive Surgery, University of Toronto; 2011. p25
5. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Panduan Praktik Klinis Neurologi. Jakarta
: PERDOSSI. 2016
6. Atroshi I, Englund M, Turkiewicz A, et al. Incidence of physician-diagnosed carpal tunnel
syndrome in the general population. Arch Intern Med 2011; 171:943.
7. Mondelli M et al. Carpal tunnel syndrome incidence in a general population. Neurology
2002; 58(2):289-294.
8. Martini FH et al. Human Anatomy. Seventh Edition. Pearson; 2012. p304
9. Alfonso C, Jann S, Massa R, Torreggiani A. Diagnosis, treatment and follow-up of the
carpal tunnel syndrome: a review. Neurol Sci. 2011;31(3):243–52.
10. Wipperman J. Carpal tunnel syndrome: diagnosis and management. Am Fam Physician.
2016 Dec 15;94(12):993-999.
11. Chammas M. Carpal tunnel syndrome part I (anatomy, physiology, etiology, diagnosis).
Rev Bras Ortop. 2014 Sep-Oct; 49 (5): 429-436.
12. Calandruccio JH. Carpal tunnel syndrome, ulnar tunnel syndrome and stenosing
tenosynositis. In: Azar FM, Beaty JH, Canale ST editor.
13. Campbell’s operative orthopaedics. 13th edition. Philadelphia: Elsevier; 2017.
14. Ashworthy NL. Carpal tunnel syndrome [internet] 2017[cited on 6 April 2019]. Available
from: https://emedicine.medscape.com/article/327330-clinical#showall
19
Tarsal Tunnel Syndrome (TTS)
II. Anatomi
Nervus tibialis posterior masuk ke bagian plantar melalui terowongan tarsal yang dibatasi oleh
komponen tulang dan ligamen pada permukaannya. Tulang yang terlibat dalam membentuk
terowongan ini adalah tulang tibia bagian distal sisi medial, tulang talus sisi medial dan tulang
calcaneus bagian superior.1,2 Ligamentum yang melapisi sisi yang lain dari terowongan tarsal
adalah ligamentum flexor retinaculum. Bersama dengan nervus tibialis posterior, terdapat struktur
lain yang juga ikut melewati terowongan ini antara lain tendon m. flexor digitorum longus, m.
tibialis posterior, m. flexor hallucis longus beserta arteri tibialis posterior.1,2
20
III. Etiologi dan patogenesis
Sama seperti pada CTS, seluruh kondisi yang dapat menyebabkan mengecilmya diameter rongga
terowongan tarsal dapat memberikan kompresi pada nervus didalamnya dan dapat mengganggu
hantaran akson nervus tersebut serta dapat mengakibatkan degradasi sel saraf akibat kondisi iskemi
akibat terkompresinya pembuluh darah yang juga melewati struktur ini sehingga jaringan sekitar
yang dialiri pembuluh darah tersebut menjadi kekurangan suplai oksigen dan nutrisi. Kondisi yang
dapat menimbulkan kompresi pada nervus tibialis posterior adalah adanya massa space occupying
lesion seperti tumor lipoma, ganglioma, schwannoma, pertumbuhan berlebihan dari tulang
(eksostosis), pembesaran pembuluh darah, inflamasi membran sinovial dan bergabagai macam
trauma seperti fraktur, sprain, dan deformitas valgus.1,2,3 Sama seperti pada CTS, faktor
metabolisme seperti diabetes mellitus dan arthritis dapat menimbulkan kompresi di dalam
terowongan tarsal.3
V. Manifestasi Klinis
Gejala yang muncul bervariasi pada setiap orang begitu juga dengan onset timbulnya dapat secara
mendadak dan dapat juga secara bertahap.3 Rasa nyeri seperti terkena benda tajam terasa
disepanjang nervus tibialis posterior umum dirasakan. Selain nyeri, didapatkan juga gangguan
sensori sehingga orang yang terkena TTS akan merasa kebas, paresthesia atau terasa panas seperti
terbakar pada pergelangan kaki yang terkena.3 Pada keadaan yang lama, akan dapat ditemukan
gangguan motorik.3 Sama seperti CTS, gejala-gejala yang timbul akan memburuk dnegan aktivitas
yang memerlukan ketahanan dan repetisi yang lama namun akan berkurang dengan istirahat.
Meskipun begitu, istirahat bukan penatalaksanaan karena kompresi nervus yang progresif suatu
21
saat akan menimbulkan gejala yang tidak akan berkurang dengan istirahat dan dapat muncul
bahkan ketika sedang beristirahat seperti saat tidur di malam hari.3
VI. Diagnosis
A. Anamnesis4-6
Pada umumnya pasien dengan sindrom terowongan tarsal memiliki keluhan berupa sensasi baal
dan kesemutan terutama pada bagian telapak kaki, dan nyeri pada bagian telapak hingga tumit.
Keluhan umumnya di provokasi oleh berdiri dan berjalan untuk waktu yang cukup lama. Keluhan
juga umum dirasakan pada malam hari dibandingkan siang hari. Pada beberapa pasien, keluhan
terkadang membaik dengan pijatan dan elevasi kaki.
B. Pemeriksaan Fisis4-6
Sensorik
Pada pasien dengan sindrom terowongan tarsal, defisit sensoris dapat diperoleh karena sifat
persarafan sensorik yang lebih sensitif terhadap kerusakan. Pemeriksaan raba halus, nyeri, suhu,
dan diskriminasi dua titik dapat dilakukan kepada pasien dengan kecurigaan sindrom terowongan
tarsal. Umumnya pasien dengan sindrom terowongan tarsal akan memberikan hasil penurunan
sensorik pada bagian medial dan lateral dari telapak kaki.
Motorik
Pada tahap lanjut, pasien dengan sindrom terowongan tarsal akan memiliki defisit motorik. Dari
inspeksi dapat ditemui adanya hipo/atrofi dari otot abductor hallucis. Dari pemeriksaan motorik,
umumnya pasien akan menunjukkan kelemahan saat melakukan fleksi pada sendi
metatarsophalangeal.
Pemeriksaan Khusus4,5
o Tanda Tinel
Merupakan pemeriksaan yang dapat menunjang diagnosis sindrom terowongan tarsal. Prinsip
pemeriksaannya sama dengan Tinel pada sindroma terowongan karpal. Pemeriksa akan mengetuk
(seperti perkusi) pada area yang terdapat saraf tibialis posterior. Hasil pemeriksaan dinyatakan
positif jika pada pemeriksaan didapati pasien mengeluh adanya nyeri atau sensasi baal pada kaki.
22
Sensitivitas dan spesifitas pemeriksaan Tinel pada sindrom terowongan tarsal lebih baik daripada
pada sindrom terowongan karpal, yaitu 92% dan 100% secara berurutan.
o Uji Valleix
Merupakan uji provokasi lain pada kasus sindroma terowongan tarsal. Pada pemeriksaan ini kaki
pasien akan dilakukan dorsofleksi dan eversi selama 15 detik. Hasil positif ditandai oleh adanya
rasa nyeri atau sensasi baal saat pemeriksaan sebagai akibat dari bendungan vena sementara dan
regangan saraf tibialis posterior. Uji Valleix memiliki sensitivitas dan spesifisitas lebih baik yaitu
97% dan 100% secara berurutan.
C. Pemeriksaan Penunjang4
Sama halnya dengan kasus sindrom terowongan carpal, nerve conduction studies dan
electromyography dapat digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis. Prinsip kerja dari kedua tes
pun sama, dengan otot yang diperiksa pada elekromyography berbeda. Pada sindrom terowongan
tarsal, electromyography akan mengidentifikasi adanya latensi dari saraf tibialis posterior yang
mempersarafi otot abductor hallucis dan abductor digini quinti.
VII. Tatalaksana
Terdapat bukti literature yang terbatas dalam penanganan TTS. Sama seperti penanganan CTS,
penangan TTS secara umum dibagi menjadi 2 yaitu tatalaksana konservatif dan pembedahan.7
A. Konservatif
Berdasarkan durasi gejalanya, ada 3 tahap, yaitu tahap akut, subakut, dan settled. Tiap tahap
memiliki cara tatalaksana yang berbeda, mulai dari penggunaan physical agents, orthotics and
taping, therapeutic exercises, dan manual therapy. Pada tahap akut, tujuan dari terapi konservatif
adalah mengurangi inflamasi, tekanan, dan nyeri. Pada tahap subakut, tujuannya adalah
meningkatkan kekuatan dan fleksibilitas. Pada tahap settled, tujuannya adalah untuk
meningkatkan fungsi mobilitas, kekuatan, dan fleksibilitas bilateral.7
Untuk mengurangi inflamasi dan nyeri, pasien dapat diberikan es, lidocaine ointment, atau
NSAID.
23
2. Sepatu ortotik dan taping7
Pasien dapat diberikan sepatu ortotik maupun taping untuk mengurangi gejala yang dirasakan. Contohnya
seperti University of California Berkeley Laboratory (UCBL) orthosis untuk memperbaiki hindfoot
alignment. Selain itu, ada Controlled Ankle Motion (CAM) walker seperti boot untuk mengkontrol range of
movement dari ankle pasien. Selanjutnya, ada plantar arch taping yang dapat mengurangi gejala TTS yang
dirasakan saat berjalan.
3. Therapeutic Exercises7
Pada tahap akut, latihan yang dapat dikerjakan adalah calf stretching dan nerve mobility. Pada
tahap subakut, latihannya seperti penguatan otot tibialis posterior. Pada tahap settled,
latihannya adalah penguatan otot tibialis posterior dengan weight bearing. Nerve mobilization
seperti yang disebutkan oleh Meyer, etal adalah satu latihan yang memperbaiki range of
movement, kekuatan otot, dan mengurangi nyeri pada pasien dengan TTS.
24
Gambar 4. Latihan penguatan m. gastrocnemius dan m. soleus7
25
Gambar 7. Nerve mobilization7
B. Pembedahan
Sebaiknya pasien TTS diberikan terapi konservatif terlebih dahulu sebelum terapi pembedahan.
Pembedahan dilakukan jika pasien tidak berespon terhadap terapi konservatif dan ada tanda atrofi
atau kerusakan motorik. Tindakan ini dilakukan dengan membuat insisi medial antara malleolus
medial dan tendon Achilless. Lalu, retinaculum fleksor dibuka menggunakan benda tumpul untuk
mencegah cedera saraf. Rehabilitasi pasca-pembedahan dibagi menjadi 3 fase seperti di bawah ini.
26
Tabel 1. Fase pasca dekompresi TTS7
27
IX. REFERENCES
1. Solomon L, et.al. Apley’s System of Orthopaedics and Fractures. Ninth Edition. London:
Hodder Arnold; 2010. p294
2. Kiel J dan Kaiser K. Tarsal tunnel Syndrome [Internet] [cited on 5 April 2019]. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK513273/
3. Kennedy JG. Tarsal Tunnel Syndrome [Internet] [cited on 5 April 2019]. Available from:
https://rarediseases.org/rare-diseases/tarsal-tunnel-syndrome/
4. Persich G, Panchbhavi VK. Tarsal tunnel syndrome [Internet] [cited on 6 April 2019].
Available from: https://emedicine.medscape.com/article/1236852-overview#a4
5. Ellison T, Saxena S. Tarsal Tunnel Syndrome : An Overview. Texas : Austin J
Musculoskelet Disord. 2015;2(3):1022
6. Kiel J dan Kaiser K. Tarsal tunnel Syndrome [Internet] [cited on 5 April 2019]. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK513273/
7. Burns S, Blondeel J. Tarsal tunnel syndrome [internet] [cited on 6 April 2019]. Available
from: https://www.physio-pedia.com/Tarsal_Tunnel_syndrome
28