Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Seiring dengan perkembangan zaman, kebutuhan manusia akan obat juga

semakin berkembang. Hal ini sejalan dengan prevalensi penyakit yang semakin

sering bermunculan. Usaha penemuan obat baru baik dari bahan alam maupun

sintetik terus dilakukan untuk mencapai efektifitas terapi yang optimal. Obat-obat

baru diharapkan dapat menjadi obat pilihan dengan efek maksimal, efek samping

minimal serta toksisitas yang minimal. Salah satu upaya untuk mengetahui hal

tersebut, maka dilakukan berbagai penelitian spesifik tentang obat agar diketahui

katakteristik suatu obat baik bagaimana efeknya di dalam tubuh maupun bagaimana

nasib obat di dalam badan.

Salah satu senyawa yang telah berhasil disintesis dari alam adalah senyawa

kurkumin yang telah diketahui memiliki berbagai macam efek terapi yang

menguntungkan. Akan tetapi usaha sintesis dalam jumlah banyak mengalami

kendala dikarenakan senyawa kurkumin selalu berada dalam dua substituen yang

berbeda yaitu demetoksi kurkumin dan bis-demetoksi kurkumin. Oleh karena itu,

dalam perkembangannya dilakukan modifikasi terhadap kurkumin untuk

memperoleh senyawa yang lebih poten, stabil, aman, efektif, dan memiliki aktivitas

yang lebih spesifik. Telah disintesis senyawa turunan dan analog kurkumin untuk

dapat dikembangkan lebih lanjut, diantaranya adalah Pentagamavunon-0 (PGV-0),

Pentagamavunon-1 (PGV-1), dan Gamavuton (GVT-0). Selain itu masih banyak

1
2

senyawa analog dan turunan kurkumin yang telah berhasil disintesis, misalnya

Pentagamavunon-2 (PGV-2), Kalium Gamavuton (K2GVT-0), Diasetil

Gamavuton-0 (diasetil-GVT-0), Heksagamavunon-0 (HGV-0), Heksagamavunon-

1 (HGV-1) dan Kalium Monogamavuton-0 (KMGVT-0).

Dari studi praklinik sebelumnya di laporkan bahwa Garam Kalium 4-(4’-

hidroksi-3’-metoksifenil)-3-buten-2-on (garam kalium mono-GVT-0), KMGVT-0

aktif sebagai antioksidan, analgetik, dan antiinflamasi melalui mekanisme

penghambatan enzim Cox (Nugroho et al., 2006; Yuniarti et al., 2007; Nugroho et

al., 2007). KMGVT-0 sendiri merupakan bentuk garam dari monogamavuton

(dehydrozingerone).

Monogamavuton (dehydrozingerone) dilaporkan memiliki spektrum

farmakologi yang sangat luas (Hampannavar, et al., 2016) dan dengan diubahnya

monogamavuton kedalam bentuk garam menjadi KMGVT-0 diharapkan akan

memiliki kelarutan yang lebih baik dibanding pendahulunya (monogamavuton).

Dengan kelarutan yang baik diharapkan akan memberikan bioavaibilitas yang baik

pula baik secara oral maupun parenteral. Selain itu karena bentuknya berupa garam

diharapkan dapat dibuat menjadi sediaan dengan pembawa air sehingga lebih ramah

bagi tubuh.

Sampai saat ini belum pernah dilakukan penelusuran profil farmakokinetika

dari senyawa KMGVT-0 baik dari pemberian secara oral, injeksi intravena, maupun

secara intraperitoneal. Sehingga penelitian ini perlu dilakukan dalam rangka

mengetahui profil absorbsi, distribusi, metabolisme, dan eliminasi dari senyawa


3

KMGVT-0. Pemberian secara intravena antara lain memiliki keuntungan karena

tidak harus melalui proses absorpsi, selain itu obat juga terbebas dari proses

metabolisme awal yang biasanya terjadi pada pemberian obat secara oral ketika

melewati hepar. Selain itu pemberian intravena juga sangat menguntungkan saat

digunakan pada keadaan mendesak bagi pasien.

Penelusuran profil farmakokinetika akan dilakukan dengan cara pemberian

secara injeksi intravena pada tikus putih jantan Wistar. Parameter farmakokinetika

yang diamati antara lain tetapan kecepatan eliminasi obat (Kel), waktu paro

eliminasi (t1/2), Klirens (Cl), volume distribusi (Vd), area under curve (AUC0-t), dan

AUC0-inf. Hasil yang diperoleh adalah diketahuinya profil farmakokinetika dari

KMGVT-0 yang selanjutnya bisa diketahui bagaimana nasib KMGVT-0 didalam

badan yaitu dari mulai obat dilepas, didistribusikan, hingga dieliminasi dari tubuh.

Profil farmakokinetika ini penting dalam rangka menuju ’ketepatan

pengobatan’ pada pasien, yaitu dalam hal tepat dosis obat untuk mencapai efek

farmakologi yang diinginkan dan tepat dalam menentukan frekuensi penggunaan

obat. Untuk menjadikan KMGVT-0 sebagai kandidat obat baru, masih banyak

penelitian lanjutan drug development yang harus dilakukan, antara lain formulasi

obat, uji toksisitas (akut, subkronis, kronis), dan uji klinik. Dengan adanya

informasi mengenai profil farmakokinetika obat diharapkan dapat diketahui dosis

yang tepat untuk administrasi KMGVT-0, yaitu dosis yang menghasilkan kadar

dalam darah selama kurun waktu tertentu dan menimbulkan efek farmakologi.

Sehingga kedepannya dapat diteliti lebih lanjut dan dapat dikonversikan untuk dosis

manusia
4

B. Rumusan Masalah

Bagaimana profil farmakokinetika KMGVT-0 setelah pemberian secara

intravena pada tikus putih jantan Wistar?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil farmakokinetika KMGVT-

0 setelah pemberian secara intravena pada tikus putih jantan Wistar.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi masyarakat

Penelusuran profil farmakokinetika diharapkan dapat dijadikan sebagai

sumber informasi untuk pengembangan obat baru yang nantinya dapat

bermanfaat bagi masyarakat.

2. Bagi universitas

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi penelitian unggulan Universitas

Gadjah Mada dan dapat menjadi sumber pengembangan untuk penelitian

lebih lanjut khususnya dalam bidang pengembangan obat.

3. Bagi mahasiswa

Penelitian ini dilakukan sebagai syarat penyelesaian studi jenjang S1

Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada.


5

E. Tinjauan Pustaka

1. Farmakokinetika

Farmakokinetika atau sering disebut dengan nasib obat dalam tubuh

merupakan peristiwa-peristiwa yang dialami obat dalam tubuh. Aksi beberapa obat

membutuhkan suatu proses untuk mencapai kadar yang cukup dalam jaringan

sasarannya. Dua proses penting yang menentukan kadar obat di dalam tubuh pada

waktu tertentu adalah translokasi dari molekul obat dan transformasi senyawa obat.

Translokasi obat menentukan proses absorpsi dan distribusi sedangkan transformasi

obat menentukan proses metabolisme obat atau proses eliminasi lain yang terlibat

dalam tubuh. Farmakokinetika terkait dengan dosis yang menentukan keberadaan

obat pada tempat aksinya (reseptor), dan intensitas efek yang dihasilkan sebagai

fungsi waktu (Shargel et al., 2005).

Gambar 1. Proses Absorpsi, Distribusi, Metabolisme, dan Ekskresi (ADME) (Shargel et al.,
2005)

Proses absorpsi dikaitkan dengan perpindahan obat dari permukaan tubuh

(termasuk mukosa dan saluran cerna) atau tempat-tempat tertentu dalam organ

menuju aliran darah atau dalam sistem pembuluh limfe. Proses ini dipengaruhi oleh

anatomi dan fisiologi tubuh (Shargel & Yu, 1999). Setelah obat diabsorpsi obat

akan didistribusikan ke seluruh tubuh melalui aliran darah sistemik. Proses


6

distribusi ini antara lain dipengaruhi oleh sifat fisika kimia dari obat, serta

kecepatan aliran darah itu sendiri. Proses distribusi ini berlangsung hingga ke organ

bahkan bisa mencapai bagian-bagian jaringan dan menembus otak untuk obat-obat

dengan lipofilisitas tinggi (Shargel & Yu, 1999). Fase terakhir setelah obat

didistribusikan adalah obat akan dieliminasi dari tubuh. Proses eliminasi sendiri

dibagi menjadi dua proses yaitu, metabolisme dan ekskresi. Pada proses

metabolisme secara umum obat akan diubah menjadi metabolitnya yang lebih polar

sehingga akan lebih mudah untuk diekskresikan baik melalului ginjal maupun

organ lain (Gibson & Skeet, 1991).

Farmakokinetika yang mempelajari absorpsi, distribusi, metabolisme dan

ekskresi obat diterangkan oleh beberapa parameter untuk mengukur perubahan

variabel fisiologi. Parameter yang digunakan dalam konteks tersebut adalah

parameter farmakokinetika (khususnya parameter primer) yang diturunkan secara

matematis dari hasil penetapan kadar obat utuh atau metabolitnya di dalam darah

atau urin. Pada dasarnya terdapat tiga parameter farmakokinetika yaitu parameter

primer, sekunder, dan turunan lainnya (Rowland dan Tozer, 1989; Shargel, 2005).

Parameter-parameter tersebut di atas pada dasarnya sangat dipengaruhi

langsung maupun tidak langsung oleh variabel fisiologi tubuh. Dan parameter

diatas tergantung dari parameter yang lainnya. Parameter yang harganya

dipengaruhi secara langsung oleh satu atau lebih variabel fisiologi terkait adalah

parameter primer. Parameter primer meliputi konstanta kecepatan absorpsi (ka),

fraksi obat terabsorpsi (fa), volume distribusi (Vd), kliren tubuh total (Cl), kliren

hepatik (ClH), dan kliren renal (ClR) (Rowland dan Tozer, 1989).
7

Parameter yang harganya dipengaruhi oleh parameter primer dinamakan

parameter sekunder. Parameter sekunder meliputi tetapan kecepatan ekskresi (ke),

waktu paruh eliminasi (t½ eliminasi), dan fraksi obat utuh yang diekskresi lewat

urin (fe). Selain itu juga terdapat parameter turunan yang lain, yaitu luas di bawah

kurva kadar obat utuh terhadap waktu pengambilan darah (AUC), kadar obat pada

keadaan tunak (Css) dan availabilitas oral (F). Harga parameter AUC berguna

sebagai ukuran dari jumlah total obat utuh yang mencapai sirkulasi sistemik. Harga

parameter AUC dan Css tergantung dari dosis dan kecepatan pemberian obat

(Shargel, 2005; Rowland dan Tozer, 1989).

Obat dapat diberikan baik secara ekstravaskuler maupun intravaskuler.

Pemberian secara intravaskuler merupakan pemberian obat langsung kedalam

darah yang biasanya melalui injeksi intravena atau intraarteri. Pada pemberian

intravena tidak ada proses absorpsi sehingga obat langsung masuk ke dalam aliran

sistemik. Sedangkan pemberian ekstravaskuler antara lain melalui oral, subkutan,

intramuscular, pulmonar, per-rektal, bukal dan sublingual. Pada pemberian

ekstravaskuler obat harus terabsorpsi dulu agar masuk aliran sistemik. (Rowland &

Tozzer, 1995).

Pemberian secara injeksi intravena banyak memberikan keuntungan

diantaranya efek yang timbul akan lebih cepat dibanding pemberian dengan per

oral. Selain itu administrasi ini sangat cocok diberikan pada kondisi darurat dan

terutama pada pasien yang kurang kooperatif (kondisi tidak sadar). Selain

memberikan keuntungan terdapat kekurangan yang dimiliki pada pemberian secara

intravena diantaranya adalah diperlukannya tenaga kesehatan dalam


8

pengadministrasiannya (sukar dilakukan sendiri oleh pasien). Selain itu proses

penginjeksiannya harus secara aseptis agar terhindar dari kemungkinan

kontaminasi (Ganiswara, 1995).

Pada pemberian secara intravena obat yang masuk ke dalam sirkulasi sistemik

dapat mengikuti model kompartemen tunggal maupun kompartemen ganda. Pada

model kompartemen tunggal obat dianggap langsung terdistribusi ke sirkulasi

sistemik tanpa memasuki kompartemen lain (jaringan). Sedangkan pada model

kompartemen ganda obat digambarkan terdistribusi ke berbagai kompartemen

seperti pada gambar dibawah ini. (Shargel et al., 2005)

Gambar 2. Model Kompartemen Ganda Intravena (Shargel et al., 2005)

Salah satu aplikasi klinik dari farmakokinetika adalah berguna untuk

penentuan nilai konsentrasi efektif minimum (KEM) dan konsentrasi toksik

minimum (KTM). Informasi ini penting diketahui pada masing-masing obat guna

mengetahui rentang terapetik dari suatu obat. Informasi mengenai rentang terapi
9

obat dapat digunakan sebagai acuan dalam pemberian regimen dosis obat yang tepat

di dalam aplikasi klinik nantinya.

Gambar 3. KEM dan KTM (Shargel, et al., 2005)

Pengetahuan akan farmakokinetika obat memunculkan hubungan dengan

farmakodinamika obat. Dalam farmakodinamika, dibahas hubungan antara

konsentrasi obat di dalam reseptor (site of actions) dengan interaksi yang

ditimbulkannya baik secara fisiologi maupun biokimia. Hal ini penting untuk

mengetahui lebih dalam mengenai efek farmakologi suatu obat di dalam badan dan

hubungannya dengan konsentrasi yang terukur (PK-PD relationship).

2. Kurkumin

Kurkumin merupakan zat aktif yang terdapat dalam tanaman marga

Curcuma, tanaman yang biasa digunakan dalam ramuan tradisional untuk

antiinflamasi dan analgetika (Majeed et al., 1995). Kurkumin sendiri dilaporkan


10

memiliki aktivitas sebagai antiinflamasi dan analgetika yang poten, begitu pula

dengan beberapa analog dan turunannya (Majeed et al., 1995; Supardjan et al.,

2005).

Gambar 4. Struktur Kurkumin (Siviero, et al, 2015)

Studi toksikologi menunjukkan bahwa senyawa kurkumin tidak toksik pada

dosis tinggi (Tonnesan & Greenhill, 1992 cit. Alamin, 2006). Konsumsi kurkumin

pada dosis hingga 500 mg/kgBB menunjukkan toksisitas minimal pada manusia

(Ireson et al., 2001). Akan tetapi kurkumin sebagai senyawa dengan sifat sangat

lipofil secara oral ternyata profil absorbsinya sangatlah buruk (Pan et al., 1999).

Garam natrium dan kalium dari kurkumin pernah dilaporkan memiliki aktivitas

antiinflamasi dan analgetika yang lebih poten dibandingkan kurkumin (Pan et al.,

1999). Sebagai bentuk garam, baik garam natrium maupun garam kalium dari

kurkumin memiliki kelebihan lain yaitu sangat larut di dalam air, sehingga dapat

dibuat sediaan cair yang stabil.

Kurkumin diketahui memiliki efek biologi karena kemampuannya dalam

berinteraksi dengan berbagai target molekul di dalam tubuh seperti kemampuannya


11

menekan beberapa faktor transkripsi sehingga bisa menekan kanker, dapat bereaksi

dengan berbagai enzim seperti Cox2, menghambat protein kinase, menghambat

produksi sitokin dan hormon pertumbuhan, menghambat reseptor diantaranya

Her2/neu pada kanker, dan memiliki kemampuan cell cycle arrest serta memiliki

kemampuan adesi terhadap molekul target seperti DNA (Siviero, et al, 2015).

Kurkumin telah lama ditelusuri mengenai bioavaibilitasnya karena

diketahui memiliki bioavaibilitas oral yang buruk. Berdasarkan review penelitian

(Anand et al., 2007), kurkumin diketahui dapat meningkat bioavaibilitasnya dengan

bantuan piperin. Selain itu dalam review tersebut juga dijelaskan mengenai

konsentrasi serum yang dapat dicapai oleh kurkumin dari berbagai penelitian yang

pernah dilakukan seperti pada tabel I. dibawah ini. Di dalam tabel terlihat bahwa

konsentrasi kurkumin yang terdeteksi baik dalam plasma maupun serum sangatlah

rendah pada pemberian secara oral. Selain percobaan pada tikus dan mencit

(rodensia), kurkumin juga diteliti bioavaibilitasnya pada manusia dan dapat dilihat

pada pemberian dosis hingga 2 g/kgBB pada manusiapun kadar kurkumin yang

muncul dalam serum masih sangat rendah (0,006 µg/mL)

Berbagai upaya telah dilakukan dalam hal meningkatkan potensi dari

kurkumin diantaranya dengan mempelajari bioavaibilitasnya, stabilitasnya,

metabolismenya, serta berbagai aktivitas farmakologi dari kurkumin. Dua garis

besar yang diambil sebagai upaya peningkatan potensi dari kurkumin adalah

dengan melakukan sintesis dan dengan melakukan formulasi sediaan kurkumin.

Modifikasi yang banyak dilakukan didasarkan kepada adanya analog kurkumin

yang berasal dari alam serta adanya metabolit dari kurkumin yang masih memiliki
12

efek yang mirip. Hal ini mendorong para peneliti untuk mengembangkan analog

kurkumin secara sintesis (Anand et al., 2008).

Tabel I. Kadar Kurkumin dalam Serum dan Jaringan pada Manusia dan Rodensia (Anand,
et al., 2007)

Selain itu dilaporkan pula bahwa metabolit yang terbentuk dari kurkumin

menyesuaikan dari rute administrasi kurkumin itu sendiri. Pada pemberian secara

oral kurkumin lebih banyak mengalami metabolisme fase II sehingga banyak

ditemukan dalam bentuk konjugat dan sulfat. Sedangkan pada pemberian secara

oral kurkumin diketahui lebih banyak dimetabolisme pada fase I yaitu dengan

proses reduksi menjadi produk yang lebih polar seperti pada gambar 6. dibawah.
13

Gambar 5. Analog Kurkumin dan Metabolitnya dari Alam (Anand, et al., 2008)

Gambar 6. Metabolit Kurkumin dari berbagai Rute Administrasi (Anand et al., 2007)
14

3. Analog Kurkumin : Garam kalium 4-(4’-hidroksi-3’-metoksifenil)-3-

buten-2-on) (garam kalium mono-GVT-0, KMGVT-0)

Penelitian terhadap kurkumin telah menghasilkan beberapa turunannya,

yang secara garis besar dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu

Heksagamavunon, Pentagamavunon, dan Gamavuton (Sardjiman, 2000). Senyawa

turunan dan analog kurkumin yang telah berhasil disintesis antara lain adalah PGV-

0, PGV-1, GVT-0, PGV-2, K2GVT-0, diasetil-GVT-0, HGV-0, HGV-1 dan

KMGVT-0. Turunan GVT-0 yaitu garam kalium dari 4-(4’-hidroksi-3’-

metoksifenil)-3-buten-2-on) atau disebut juga garam kalium dari mono-GVT-0

(KMGVT-0) merupakan senyawa baru dengan nomor paten IDP000035157

(Supardjan et al., 2013).

)
Kurkumin

Sebagai lead compound

H3 CO OCH 3

HO OH Gamavuton-0 (GVT-0)

H 3 CO OCH 3

HO OH Pentagamavunon-0 (PGV-0)
O
CH OC
Heksagamavunon (HGV-0)
3O H3
H OH
O
15

K O KMGVT-0

Gambar 7. Analog Kurkumin

Senyawa KMGVT-0 merupakan senyawa analog kurkumin yang pernah

dilaporkan sebagai hasil degradasi dari kurkumin. Sebagai garam dari sebuah

analog kurkumin, KMGVT-0 dilaporkan memiliki aktivitas sebagai antiinflamasi

dan analgetika yang lebih poten dan memiliki kelarutan yang lebih baik dalam air,

baik dibandingkan dengan kurkumin maupun parasetamol. KMGVT-0 juga

dilaporkan aktif sebagai antioksidan, analgetik, antiinflamasi melalui mekanisme

penghambatan enzim Cox (Yuniarti et al., 2007a; Yuniarti et al., 2007b; Nugroho

et al., 2007). Berdasarkan hasil penelitian (Mulyani, 2006), KMGVT-0 terbukti

memiliki aktivitas menghambat enzim siklooksigenase dengan IC50 sebesar 17,28

µM. Sedangkan penelitian lebih lanjut yang dilakukan oleh (Sayekti, 2011),

KMGVT-0 terbukti tidak selektif dalam menghambat aktivitas enzim Cox-2. Hal

ini dikarenakan KMGVT-0 juga menghambat enzim Cox-1 sebesar 25,29 µM dan

Cox-2 sebesar 103,56 µM.

KMGVT-0 memiliki pemerian berupa serbuk dengan warna merah bata,

tidak berbau dan berasa khas, belum melebur pada suhu 200ºC, sangat mudah larut

dalam air. Jika dilarutkan dalam air dan diasamkan akan menjadi serbuk berwarna

kuning dengan titik lebur 124-127 ºC yang tidak larut dalam air, dan jika serbuk

diidentifikasi dengan kromatografi gas – spektrometri massa didapat waktu retensi

17,076 menit dan m/z ion molekuler 192 (100%) (Supardjan, et al, 2013).
16

Proses pembuatan KMGVT-0 relatif lebih mudah dan cepat serta memiliki

rendemen yang relatif lebih banyak dibandingkan dengan kurkumin dan

parasetamol. Secara ekonomis, produksi senyawa ini diperkirakan cukup murah

karena menggunakan bahan-bahan dasar yang murah dan mudah didapat di

Indonesia karena diproduksi di Indonesia, yaitu vanillin (hasil fermentasi dari biji

tanaman vanili (Vanilla planifolia)), aseton, dan kalium hidroksida. Pemerian

senyawa ini berupa serbuk berwarna merah kecoklatan, tidak berbau, dan berasa

khas.

Dari studi praklinik untuk mengidentifikasi aktifitas farmakologi dilaporkan

KMGVT-0 memberikan efek farmakologi positif sehingga menjanjikan untuk

dijadikan kandidat sebagai obat baru. Sampai saat ini belum pernah dilakukan

penelusuran profil farmakokinetika dari senyawa KMGVT-0 secara in vivo pada

tikus melalui injeksi intravena. Sehingga penelitian ini perlu dilakukan dalam

rangka mengetahui profil distribusi, metabolisme, dan eliminasi dari senyawa

KMGVT-0.

Berdasarkan review terbaru yang dilakukan oleh (Hampannavar et al.,

2016), monogamavuton terbukti memiliki efek farmakologi yang luas seperti yang

tercantum dalam gambar 8. yaitu sebagai antioksidan, antiinflamasi, antibakteri,

antimutagen, antimalaria, antiplatelet, antifungal, bahkan hingga antidepresan dan

untuk penyakit alzhaimer. Sehingga sangat menjanjikan untuk ditelusuri lebih

lanjut.
17

Gambar 8. Efek Farmakologi Dehydrozingerone (Monogamavuton) (Hampannavar, et al.,


2016)
18

Gambar 9. Hubungan Struktur Aktivitas Dehydrozingerone (Hampannavar, et al., 2016)


70

Kelimpahan efek farmakologi dehydrozingerone (monogamavuton)

dikaitkan dengan strukturnya (Gambar 9.) yang merupakan setengah dari kurkumin

sehingga memiliki gugus fenolik yang diketahui banyak memberikan efek

farmakologi. Monogamavuton diketahui memiliki gugus metoksi posisi ortho

terhadap gugus fenolik serta rantai α,β unsaturated carbonyl dengan ujung gugus

metil. (Hampannavar, et al., 2016)

Karena efek farmakologi monogamavuton yang cukup luas, banyak peneliti

yang melakukan modifikasi terhadap gugus-gugus monogamavuton sehingga

memiliki efek yang lebih poten. Salah satunya yang dilakukan oleh (Ratcovic et al.,

2016) dengan judul Dehydrozingerone based 1-acetyl-5-aryl-4,5-dihydro-1H-

pyrazoles: Synthesis, characterization and anticancer activity menghasilkan bahwa

turunan monogamavuton tersebut memiliki efek antimutagen yang kuat.

Gambar 10. Sintesis Turunan Dehydrozingerone (Ratcovic et al., 2016)

4. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

Kromatografi cair kinerja tinggi dikembangkan sejak tahun 1960 - 1970-an.

Kini, penggunaannya secara luas diterima untuk analis maupun pemurnian sampel

baik pharmaceutical, bioteknologi, polimer, dan makanan. Bahkan seiring


71

perkembangannya KCKT dikembangkan juga untuk analisis protein, karbohidrat,

hingga analisis kiralitas (Settle, 1997).

Prinsip pemisahan pada kromatografi adalah karena terdapat perbedaan

distribusi solute dalam fase gerak dan fase diam. Kromatografi yang diterapkan

dalam pemisahan dengan KCKT ada berbagai mekanisme. Untuk mendapatkan

pemisahan terbaik biasanya dilakukan pemilihan mekanisme sesuai dengan

karakteristik senyawa yang akan dianalisis. Mekanisme yang umum digunakan

antaralain adalah patrisi, adsorpsi, ion exchange, eksklusi ukuran, afinitas, dan

kromatografi kiral (Katz, 1996; Settle, 1997).

Gambar 11. Sistem KCKT (Settle, 1997)

Instrumen KCKT dibangun oleh delapan komponen dasar reservoir fase

gerak, sistem penghantaran solven, alat pengenalan sampel, kolom, detektor,

reservoir pembuangan, tabung penghubung, dan sebuah komputer, integrator atau

rekorder. Penggunaan kromatografi cair akan berhasil apabila digunakan kombinasi


72

yang benar berkaitan dengan kondisi operasi tipe kolom dan fase gerak, panjang

dan diameter kolom, kecepatan alir fase gerak, suhu kolom dan ukuran sampel

(Settle, 1997).

Sistem KCKT harus terintegrasi dengan baik agar analisis dapat berjalan

secara maksimal dimulai dari preparasi sampel hingga pembacaan hasil. Oleh

karena itu pada analisis senyawa dengan KCKT dibutuhkan proses optimasi untuk

mengetahui sistem apa yang cocok digunakan pada saat analisis seperti fase gerak

apa yang digunakan, kecepatan alir berapa yang digunakan, hingga masalah

detektornya (UV, MS). KCKT sendiri memiliki kekurangan diantaranya akan sulit

jika untuk menganalisis sampel yang kompleks, hanya dapat menganalisis satu

sampel dalam satu waktu, beberapa membutuhkan preparasi sampel, serta waktu

analisis terkadang lama (Settle, 1997).

F. Keterangan Empirik

Senyawa garam kalium 4-(4’hidroksi-3’-metoksifenil)-3-buten-2-on

(KMGVT-0) merupakan salah satu analog kurkumin dengan spektrum farmakologi

yang luas sehingga berpotensi dikembangkan menjadi kandidat obat baru.

Keterangan mengenai profil kadar obat dalam darah perlu diketahui dalam rangka

menemukan regimen terapi yang tepat nantinya. Oleh karena itu perlu dilakukan

penelitian mengenai profil farmakokinetika KMGVT-0 dalam darah setelah

pemberian secara intravena pada tikus putih jantan Wistar dalam rangka menelusuri

bagaimana nasib KMGVT-0 di dalam badan.

Anda mungkin juga menyukai