Pariwisata
Pariwisata
Pariwisata telah dikenal di dunia sejak zaman prasejarah namun tentu saja
pengertian pariwisata pada zaman itu tidak seperti saat ini (modern). Sejak dahulu
kala bangsa-bangsa di dunia seperti Sumeria, Phoenisia, sampai dengan Romawi
sudah melakukan perjalanan, namun tujuannya masih untuk berdagang,
menambah pengetahuan ilmu hidup, ataupun ilmu politik. Selanjutnya setelah
modernisasi meluas di segala penjuru dunia, khususnya setelah terjadinya revolusi
industri di Inggris, maka muncul traveller – traveller yang secara bergantian
melakukan perjalanan pariwisata seperti yang kita kenal saat ini. Sedangkan di
Indonesia sendiri, pariwisata telah dikenal sejak zaman kerajaan – kerajaan yang
menguasai wilayah nusantara, walaupun masih berkepentingan untuk saling
menguasai, namun tidak dapat dipungkiri akan adanya pertukaran kebudayaan
antar wilayah.
Yang bila diartikan secara keseluruhan, pariwisata adalah Pergi Secara Lengkap,
Meninggalkan Rumah (Kampung) untuk berkeliling secara terus menerus.
Ketika krisis ekonomi tahun 1997 menerpa Indonesia, basis perekonomian negara
porak poranda. Krisis ekonomi mengakibatkan jutaan orang terkena PHK,
puluhan perusahaan gulung tikar serta dibarengi melonjaknya angka kemiskinan.
Krisis inilah juga yang mendorong terjadinya perubahan politik nasional yang
berlangsung secara cepat. Walaupun satu dasawarsa telah berlalu, namun dampak
krisis tersebut masih terasa. Hal ini ditandai dengan masih tingginya angka
kemiskinan, tingginya angka pengangguran serta konflik-konflik sosial yang
mengikutinya.
Ketika kondisi sektor industri yang selama ini dijadikan sebagai ujung tombak
perekonomian Indonesia masih tersendat-sendat menghadapi berbagai macam
kendala, pemerintah mulai melirik untuk melakukan pengembangan di sektor
lainnya. Salah satu sektor tersebut adalah sektor pariwisata yang merupakan
sektor usaha penghasil devisa negara. Pariwisata merupakan sektor yang
melibatkan multistakeholder baik dari pihak pemerintah, dunia usaha maupun
masyarakat luas.
Dalam living culture, unsur-unsur yang bisa dijadikan sebagai daya tarik antara
lain tradisi suatu suku bangsa tertentu, upacara dan ritual keagamaan, seni
pertunjukan, dan sebagainya. Sedangkan dalam cultural heritage, daya tarik yang
ditawarkan dapat berupa benda-benda peninggalan sejarah dan purbakala,
lansekap budaya, dan sebagainya.
Dalam era global sekarang ini muncul kecenderungan bahwa masyarakat ingin
memahami kebudayaan diluar lingkungannya. Menurut James J. Spillane (2003)
bahwa produk pariwisata budaya memiliki segmen pasar khusus yaitu para
”knowledge workers” atau dalam istilah kepariwisataan disebut ”mature tourist”
atau wisatawan yang berpengalaman dimana mereka melakukan perjalanan atau
kunjungan ke kawasan lain dengan tujuan tidak hanya bersifat recreational tetapi
lebih bermotivasi untuk menimba pengalaman melalui keterlibatan langsung
dengan aktivitas kehidupan dan tradisi serta budaya masyarakat lokal. Segmen
wisatawan tersebut terdiri para lanjut usia atau pensiunan (retired) yang pada
umumnya merupakan kelompok menengah ke atas dan berpendidikan yang
mempunyai waktu luang untuk bepergian.
Sumber:
http://eprints.uny.ac.id/18655/6/BAB%20II.pdf
Dea Sudarman. 2006. The Roles And Challenges of Cultural Tourism For Local
Communities In Indonesia in International Conference On Cultural Torism And
Local Communities. Yogyakarta.
Oka A. Yoeti. 2006. Pariwisata Budaya Masalah daan Solusinya. PT. Pradnya
Paramita. Jakarta
2018