Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara dengan tingkat kemajemukan masyarakatnya yang tinggi.


Masyarakatnya terdiri dari ratusan suku bangsa dan banyak ras. Dalam kehidupan beragama,
ada enam agama yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia, diantaranya: Hindu,
Buddha, Katolik, Kristen, Islam, dan Konghucu. Hampir 90% (sembilan puluh persen)
masyarakat Indonesia adalah pemeluk agama Islam.Kehidupan beragama masyarakat
Indonesia merupakan pengamalan dari sila pertama Pancasila. Kebebasan dalam kehidupan
beragama juga telah dilindungi oleh Undang-undang Dasar 1945. Akan tetapi, pemerintah tidak
akan dapat mewujudkan kebebasan beragama sendirian, masyarakat juga harus membantu
dengan memiliki rasa hormat dan toleransi terhadap masyarakat yang beragama lain.
Wacana kebebasan beragama sudah berkembang sejak bangsa ini akan diproklamirkan
tahun 1945 silam, bahkan jauh sebelum itu. Melalui Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), wacana ini hangat diperdebatkan founding father,
khususnya dalam perumusan pasal 29 UUD 1945. Selain itu selama tahun 2007 telah terjadi
pelanggaran HAM sebanyak 4075 kasus, dari kasus tersebut 20% diantaranya merupakan kasus
pelanggaran kebebasan beragama. Hal tersebut semakin mengindikasikan bahwa peraturan
yang mengatur kebebasan beragam di Indonesia masih perlu dikaji lagi.
Maka tidak berlebihan untuk mengatakan, di Tanah Air masalah kebebasan beragama
adalah masalah yang rumit dan kompleks. Tidak hanya dalam rumusan regulasinya tetapi juga
masalah pelaksanaannya di lapangan. Sejarah mencatat, ribuan menjadi korban kekerasan
agama sepanjang dari Orde lama hingga Orde Reformasi, baik oleh negara maupun masyarakat
sipil.
Setidaknya terdapat tiga ranah masalah yang muncul dalam problem rumit isu
kebebasan beragama. Pertama, ranah negara dengan berbagai aparaturnya (pemerintah, polisi,
pengadilan, dll); kedua, ranah hukum. Ketiga, ranah masyarakat sipil. Di level ini tantangan
paling serius adalah menguatnya arus gerakan radikalisme, tidak hanya di pusat tapi juga
didaerah. Selain itu, patut juga dipertimbangkan peran media dan ormas-ormas dalam
membangun karakter masyarakat yang lebih toleran.

1
B. Batasan Masalah
Penulis dalam penelitian ini akan membahas tentang penjabaran kebebasan beagama
dan berkeyakinan di Indonesia, tantangan-tantangan yang dihadapi peluang kebebasan
beragama dan berkeyakinan di Indonesia, juga pelanggaran-pelanggaran yang terjadi
berkaitan dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah kebebasan beragama berjalan di dalam masyarakat Indonesia
yang majemuk?
2. Apakah peran Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dalam mewujudkan
kebebasan beragama?
3. Bagaimana bentuk-bentuk pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan
di Indonesia?
4. Apa sajakah upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam proses mewujudkan
kebebasan beragama yang harmonis dalam masyarakat?

D. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui bagaimana kebebasan beragama berjalan di dalam
masyarakat Indonesia yang majemuk.
2. Untuk mengetahui peran Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dalam
mewujudkan kebebasan beragama dan berkeyakinan.
3. Untuk mengetahui bentuk-bentuk pelanggaran kebebasan beragaa dan
berkeyakinan di Indonesia.
4. Untuk mengetahui upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam proses
mewujudkan kebebasan beragama yang harmonis di masyarakat.

2
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Deskripsi Permasalahan Kebebasan Beragama di Indonesia
Masalah mengenai pelanggaran kebebasan kehidupan beragama sebenarnya telah
terjadi baik pada masa kekuasaan orde lama, orde baru maupun orde reformasi. Permasalahan
kehidupan beragama juga dapat dikatakan merupakan permasalahan klasik yang dihadapi baik
oleh pemerintahan pada masa sekarang maupun pemerintahan pada masa dahulu. Namun
berbagai bentuk pelanggaran kebebasan beragama mulai mencuat ketika orde baru berkuasa di
Indonesia.
Selama 32 tahun masa kekuasaannya, rezim Orde Baru memang seperti nyaris
sempurna melakukan intervensi terhadap kehidupan beragama di tanah air. Intervensi ini
setidaknya mengambil tiga bentuk. Pertama, campur tangan negara terhadap keyakinan dan
kehidupan keberagamaan warga. Rezim banyak melakukan pelarangan terhadap buku,
perayaan atau kelompok keagamaan tertentu yang dinilai bisa menganggu dan melakukan
perlawanan atas kekuasaannya. Selama dua tahun masa awal kekuasaannya, Orde Baru telah
melarang lebih dari seratus aliran kepercayaan atau kebatinan yang berhaluan kiri.
Namun begitu, tidak berarti masalah kebebasan beragama tidak memiliki payung
konstitusi yang kukuh. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 jelas menegaskan masalah ini:
(1) “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” (2). “Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu”
Untuk menunjang pelaksanaan pasal 29 (2) UUD 1945 itu pemerintah kemudian
mengeluarkan UU No. 1/PNPS/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan
agama yang dikukuhkan oleh UU No. 5/1969 tentang pernyataan berbagai Penetapan Presiden
dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang. Pasal 1 menyebutkan, “Setiap orang dilarang
dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dikungan
umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau
melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari
agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama”.
Sepintas, aturan hukum tersebut cukup netral, yakni sekadar mengingatkan warga
negara untuk bersikap hati-hati melemparkan tuduhan yang menodai komunitas agama, seperti
melontarkan sebutan “kafir”. Artinya, aturan itu berlaku umum bagi segenap komunitas agama
dan kepercayaan atau komunitas penghayat. Akan tetapi, ketetapan yang dikeluarkan oleh

3
Presiden Soekarno di awal Januari 1965, dan kemudian dukukuhkan oleh pemerintah Soeharto
pada 1969, membawa implikasi luas dalam kebebasan beragama di Indonesia pada masa-masa
berikutnya. Penetapan itu justru digunakan sebagai legimitasi untuk “mengamankan” agama-
agama resmi yang diakui Negara (Islam, Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha) terhadap
tindakan penyimpangan dan penistaan dari kelompok-kelompok agama atau kepercayaan lain.
Bahkan dijadikan pula alat untuk mengamankan stabilitas kekuasaan Negara. Kondisi inilah
yang membahayakan kehidupan beragama, yakni agama dijadikan alat politik bagi penguasa.
Mulailah terjadi politisasi agama untuk kepentingan penguasa.
Selanjutnya hak beragama ini diakui sebagai hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable) sebagaimana dinyatakan dalam TAP MPR
No. XVII tahun 1998, bab X mengenai Perlindungan dan Pemajuan HAM, pasal 37: “Hak
untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama,
hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk
tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikirangi dalam keadaan apapun (non-derogable).”
Bentuk intervensi kedua Orde Baru adalah melalui pendifinisian “agama resmi” dan
“tidak resmi”. Dengan cara ini Orde Baru mengontrol kelompok keagamaan lain di luar “agama
resmi” yang dianggap membahayakan kekuasaannya melalui tangan agama-agama resmi. Ini
membuktikan bahwa di masa-masa itu negara ingin menjadikan agama-agama resmi sebagai
perpanjangan tangan kekuasaan
Pendefinisian ini muncul dalam bentuk keluarnya Surat Edaran Menteri Dalam Negeri
No. 477/74054/1978 yang antara lain menyebutkan: Agama yang diakui pemerintah, yaitu
Islam, Katolik, Kristen/Protestan, Hindu, dan Buddha. Keloempok-kelompok yang jelas
menjadi korban adalah kelompok-kelompok kepercayaan Sunda Wiwitan di Cigugur,
Kuningan, komunitas Parmalim di Medan, komunitas Tolotang di Sulawesi Selatan, dan
komunitas Kaharingan di Kalimantan.
Pada saat yang sama kehadiran UU No. 1/PNPS/1965 tentang pencegahan
penyalahgunaan dan atau penodaan agama yang dikukuhkan UU No. 5/1969, jelas
menguntungkan arus mainstream dalam agama-agama resmi untuk mengontrol tumbuhnya
kelompok “pembaharu” dalam tubuh mereka, yang mungkin juga bisa mengganggu kekuasaan
Orde Baru.
Sementara pola intervensi yang terakhir adalah proses kolonisasi agama-agama
mayoritas terhadap kelompok kepercayaan atau agama-agama lokal sebagai dampak dari
kebijakan dari pendefinisian “agama resmi”. Beberapa kelompok seperti komunitas Sunda
4
Wiwitan, Parmalim, Tolotang, dan Kaharingan menjadi target dari kolonisasi agama resmi
melalui islamisasi atau kristenisasi.
Sistuasi ini mendapat legitimasi hukum dengan dirilisnya TAP MPR No. II/MPR/1998
tentang GBHN. Pada penjelasan tentang Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa (TYME) menyebutkan (butir 6): Penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
dibina dan diarahkan untuk mendukung terpeliharanya suasana kerukunan hidup
bermasyarakat. Melalui kerukunan hidup umat beragama dan penganut kepercayaan kepada
TYME terus dimantapkan pemahaman bahwa kepercayaan terhadap TYME adalah bukan
agama dan oleh karena itu pembinaannya dilakukan agar tidak mengarah pada pembentukan
agama baru dan penganutnya diarahkan untuk memeluk salah satu agama yang diakui oleh
Negara. Pembinaan penganut kepercayaan terhadap TYME merupakan tanggung jawab
pemerintah dan masyarakat.
Jelas sekali bahwa Surat Edaran menteri dan TAP MPR di atas bertentangan dengan
prinsip kebebasan beragama yang terkandung dalam UUD 1945. Prinsip UUD 1945
semestinya hanya memberikan kewenangan kepada pemerintah mengambil langkah melalui
perundang-undangan untuk mengatur agar kebebasan beragama serta kebebasan mengamalkan
ajaran agama dan berdakwah jangan sampai mengganggu keserasian dan kerukunan hidup
beragama yang dikhawatirkan akan membahayakan stabilitas politik dan kesinambungan
pembangunan, bukan membatasi definisi dan jumlah agama.

2.2 Jaminan Konstitusi Tentang Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Secara terperinci jaminan kebebasan beragama dan/atau berkeyakinan dapat kita


simak pada sejumlah kebijakan sebagaimana tersebut di bawah ini:

1. UUD 1945 Pasal 28 E, ayat (1): Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat
menurut agamanya. Ayat (2): Setiap orang berhak atas kebebasan menyakini
kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya.
2. UUD 1945 Pasal 29, ayat (2): Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.
3. UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-
Hak Sipil Politik Pasal 18 ayat (1): Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir,
berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau
menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan,

5
baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat
umum atau tertutup untuk menjalankan agama atau kepercayaan dalam kegiatan
ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran. Pasal 18 ayat (2) Tidak seorang pun
boleh dipaksa sehingga mengganggu kebebasannya untuk menganut atau menerima
suatu agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.
4. UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM Pasal 22 ayat (1): Setiap orang bebas memeluk
agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu. Pasal 22 ayat (2): Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk
agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu.
5. UU No. 1/PNPS/1965, jo. UU No. 5/1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan
dan/atau Penodaan Agama, pada penjelasan Pasal 1 berbunyi: “Agama-agama yang
dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan
Khonghucu (Confucius). Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan
agama di Indonesia. Karena 6 macam Agama ini adalah agama-agama yang dipeluk
hampir seluruh penduduk Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan
seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 UUD juga mereka mendapat bantuan-
bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan oleh pasal ini”. Namun perlu
dicatat bahwa penyebutan ke-6 agama tersebut tidaklah bersifat pembatasan yang
membawa implikasi pembedaan status hokum tentang agama yang diakui
melainkan bersifat konstatasi tentang agama-agama yang banyak dianut di
Indonesia. Hal ini diperjelas oleh penjelasan UU itu sendiri yang menyatakan
bahwa, “Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain seperti Yahudi, Zarasustrian,
Shinto, Taoism di larang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti
yang diberikan pasal 29 ayat (2) dan mereka dibiarkan adanya…”.

Sementara itu berdasarkan dari yang tersirat di Pasal 70 UU No. 39 tahun 1999 tentang
HAM dan tersurat dalam UU No. 12 Tahun 2005, Pasal 18 ayat (3) Tentang Pengesahan
Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, maka pemerintah dapat
mengatur/membatasi kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan melalui Undang-
Undang. Elemen-elemen yang dapat dimuat di dalam pengaturan tersebut antara lain:

1. Restriction for the Protection of Public Safety (Pembatasan untuk Melindungi


Masyarakat). Pembatasan kebebasan memanifestasikan agama di public dapat

6
dilakukan pemerintah seperti pada musyawarah keagamaan, prosesi keagamaan dan
upacara kematian dalam rangka melindungi kebebasan individu-individu (hidup,
integritas, atau kesehatan) atau kepemilikan.
2. Restriction for the Protection of Public Order (Pembatasan untuk Melindungi
Ketertiban Masyarakat). Pembatasan kebebasan memenifestasikan agama dengan
maksud menjaga ketertiban umum, antara lain keharusan mendaftar badan hokum
organisasi keagamaan masyarakat, mendapatkan ijin untuk melakukan rapat umum,
mendirikan tempat ibadah yang diperuntukan umum. Pembatasan kebebasan
menjalankan agama bagi narapidana.
3. Restriction for the Protection of Public Health (Pembatasan untuk Melindungi
Kesehatan Masyarakat). Pembatasan yang diijikan berkaitan dengan kesehatan
public dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada pemerintah melakukan
intervensi guna mencegah epidemic atau penyakit lainnya. Pemerintah diwajibkan
melakukan vaksinasi, pemerintah dapat mewajibkan petani bekerja secara harian
untuk menjadi anggota askes guna mencegah penularan penyakit TBC. Bagaimana
pemerintah harus bersikap seandainya ada ajaran agama tertentu yang melarang
diadakan transfuse darah atau melarang penggunaan helm pelindung kepala.
Contoh yang agak ekstrim adalah praktik mutilasi terhadap kelamin perempuan
dalam adapt-istiadat tertentu di Afrika.
4. Restriction for the Protection of Morals (Pembatasan untuk Melindungi Moral
Masyarakat). Untuk justifikasi kebebasan memenifestasikan agama atau
kepercayaan yang terkait dengan moral dapat menimbulkan kontroversi. Konsep
moral merupakan turunan dari berbagai tradisi keagamaan, filsafat, dan social.
Olehkarena itu, pembatasan yang terkait dengan prinsip-prinsip moral tidak dapat
diambil hanya dari tradisi atau agama saja. Pembatasan dapat dilakukan oleh
Undang-Undang untuk tidak disembelih guna kelengkapan ritual aliran agama
tertentu.
5. Restriction for the Protection of The (Fundamental) Rights and Freedom of Others.
(Pembatasan untuk Melindungi Kebebasan Mendasar dan Kebebasan Orang Lain)
a. Proselytism (Penyebaran Agama). Dengan adanya hukuman terhadap
tindakan proselytism, pemerintah mencampuri kebebasan seseorang di
dalam memanifestasikan agama mereka melalui aktivitas-aktivitas
misionaris dalam rangka melindungi agar kebebasan orang lain untuk tidak
dikonversikan.
7
b. Pemerintah berkewajiban membatasi manifestasi dari agama atau
kepercayaan yang membahayakan hak-hak fundamental dari orang lain,
khususnya hak untuk hidup, kebebasan, integritas fisik dari kekerasan,
pribadi, perkawinan, kepemilikan, kesehatan, pendidikan, persamaan,
melarang perbudakan, kekejaman dan juga hak kaum minoritas.

2.3 Peran Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dalam Kebebasan Beragama

Indonesia, dengan ideologi Pancasila-nya, meletakkan agama sebagai hal yang sangat
penting bagi kehidupan masyarakatnya. Bahkan, kehidupan berketuhanan dan beragama
tertuang dalam sila yang paling awal. Selain itu, konsep hubungan antara negara dan agama
yang diterapkan di Indonesia adalah negara dan agama saling membantu.
Indonesia sebagai suatu negara mempunyai hubungan khusus dengan agama, yakni:
a. Negara berdasarkan Sila pertama: “KETUHANAN YANG MAHA ESA”.
b. Norma hukum untuk kehidupan bernegara, sedangkan norma moral untuk
kehidupan beragama.
c. Negara dan agama saling melengkapi, tidak disatukan dan juga tidak
dipertentangkan.
d. Kebebasan berketuhanan, beragama, dan beribadah diatur dalam Pasal 29 ayat
(1) dan (2) Undang-undang Dasar 1945.
e. Indonesia bukan negara theokrasi, bukan sekuler dan bukan atheis. Indonesia
merupakan negara yang berketuhanan.
Dari Sila Pertama Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, dapat
dikatakan bahwa masyarakat Indonesia berhak memilih dan memeluk agama yang dipercayai
secara bebas.
Tidak dapat diragukan bahwa agama memainkan peran yang amat penting di Indonesia.
Memiliki agama sebagai identitas individual menjadi sangat penting dalam proses reproduksi
“politik identitas” di Indonesia. Kepemilikan agama bahkan telah menjadi jati diri bangsa
(national identity).
Kebebasan beragama sebagai hak asasi manusia di Indonesia mendapat jaminan, yaitu
melalui Undang Undang Dasar 1945 Pasal 29:
(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2) Negara menjaminkemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu.

8
Dalam Pasal 28E ayat (1) yang menyangkut hak asasi manusia juga tercantum:
(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih
pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan,
memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya srta berhak
kembali.
Selain itu, kebebasan beragama juga dijamin dengan Undang-undang Nomor 39 Tahun
1999 Tentang Hak Asasi Manusia:
Pasal 22
(1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Secara normatif dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) hak kebebasan
beragama atau berkeyakinan dapat disarikan ke dalam 8 (delapan) komponen yaitu:
a. Kebebasan Internal
Setiap orang mempunyai kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini
mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan
atas pilihannya sendiri termasuk untuk berpindah agama dan keyakinannya.
b. Kebebasan Eksternal
Setiap orang memiliki kebebasan, apakah secara individu atau di dalam masyarakat,
secara publik atau pribadi untuk memanifestasikan agama atau keyakinan di dalam
pengajaran dan peribadahannya.
c. Tidak ada Paksaan
Tidak seorangpun dapat menjadi subyek pemaksaan yang akan mengurangi
kebebasannya untuk memiliki atau mengadopsi suatu agama atau keyakinan yang
menjadi pilihannya.
d. Tidak Diskriminatif
Negara berkewajiban untuk menghormati dan menjamin kebebasan beragama atau
berkepercayaan semua individu di dalam wilayah kekuasaannya tanpa
membedakan latar belakangnya.
e. Hak dari Orang Tua dan Wali
Negara berkewajiban untuk menghormati kebebasan orang tua, dan wali yang sah,
jika ada untuk menjamin bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anaknya
sesuai dengan keyakinannya sendiri.
9
f. Kebebasan Lembaga dan Status Legal
Aspek yang vital dari kebebasan beragama atau berkeyakinan, bagi komunitas
keagamaan adalah untuk berorganisasi atau berserikat sebagai komunitas. Oleh
karena itu komunitas keagamaan mempunyai kebebasan dalam beragama atau
berkeyakinan termasuk di dalamnya hak kemandirian di dalam pengaturan
organisasinya.
g. Pembatasan yang diijinkan pada Kebebasan Eksternal
Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat
dibatasi oleh undang-undang dan demi kepentingan melindungi keselamatan dan
ketertiban publik, kesehatan atau kesusilaan umum atau hak-hak asasi dan
kebebasan orang lain.
h. Non-Derogability
Negara tidak boleh mengurangi kebebasan beragama atau berkeyakinan dalam
keadaan apapun.
2.4 Kebebasan Beragama dalam Masyarakat Majemuk Indonesia
Meskipun telah mendapat jaminan akan kebebasan beragama melalui Pancasila dan
Undang-undang dasar 1945, penegakkan hak kebebasan beragama masih jauh dari
memuaskan. Masih sering terjadi pelanggaran-pelanggaran akan hak kebebasan beragama di
dalam masyarakat terutama dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan laporan The Wahid
Institute, terdapat 121 peristiwa pada 2009. Jumlah ini meningkat menjadi 184 peristiwa pada
2010, 267 peristiwa pada tahun 2011, dan 278 peristiwa pada tahun 2012. Tahun 2013,
jumlahnya sedikit menurun menjadi 245 peristiwa, tetapi kasusnya kian menyebar
(Kompas.com, 3 November 2014).
Jawa Barat menjadi tempat di mana terjadi pelanggaran kebebasan umat beragama
tertinggi dengan 80 peristiwa, disusul Jawa Timur, Jakarta, dan Jawa Tengah pada tahun 2013.
Di Jawa Barat ada lima wilayah kabupaten atau kota yang paling banyak memberikan
konstribusi yaitu Kota Bekasi dengan 16 peristiwa, kemudian Tasikmalaya, Bandung, dan
Cianjur. Tingginya pelanggaran kebebasan beragama di wilayah Jawa Barat karena kelompok
intolerannya cukup tinggi (Okezone.com 16 Januari 2014).
Pelanggaran-pelanggaran hak kebebasan beragama di dalam masyarakat memang
paling banyak dilakukan oleh kelompok intoleran dan kelompok beragama yang
fundamentalis. Kelompok-kelompok tersebut biasanya berbentuk ormas dan memiliki jaringan
di berbagai daerah. Selain itu terkadang ada oknum yang sengaja mengadu domba atau
memancing permusuhan antara dua kelompok masyarakat beragama yang berbeda dengan
10
tujuan tertentu. Beberapa bentuk pelanggaran kebebasan beragama yang paling marak terjadi
di antaranya:
a. Penyerangan terhadap kelompok beragama lain
b. Pelarangan beribadat
c. Pelarangan pembangunan tempat ibadat
d. Pengrusakan tempat ibadat
e. Intimidasi terhadap kelompok beragama lain
Contoh-contoh adalah:
a. Gedung GKJ Sukorejo dibakar massa (10 Juli 2010)
b. Gereja Katolik Sukoharjo dilempari bom Molotov (7 desember 2010)
Contoh yang mungkin masih teringat jelas di ingatan kita adalah penyerangan terhadap
sekelompok umat Katolik yang sedang beribadah Rosario di salah satu rumah umat pada 29
Mei 2014 di Yogyakarta. Tiga hari berselang, juga masih di wilayah Yogyakarta, terjadi
pengrusakan di sebuah bangunan yang biasa digunakan untuk kebaktian sejumlah umat
Kristen.
Tidak hanya dari kelompok intoleran dan fundamentalis yang menjadi pelaku. Pada
banyak kasus, pemerintah dan aparat juga kerap menjadi pelaku pelanggaran hak kebebasan
beragama. Beberapa contoh dari kasus-kasusnya adalah:
a. 2 Januari 2009
Aparat gabungan Polda Jawa Tengah membubarkan pengajian jemaat Ahmadiyah
Indonesia (JAI) dengan alasan belum mendapat izin pelaksanaan.
b. 16 Oktober 2009
Bupati Purwakarta mencabut Izin Mendirikan Bangunan (IMB) gereja Stasi Santa
Maria yang akan dibangun di Desa Bungur Sari, Kecamatan Cinangka, dengan alasan
pesyaratan yang kurang lengkap yakni dukungan warga sekitar rumah ibadah yang
tidak mencapai 60 orang. Jumlah dukungan masyarakat yang kurang ternyata karena
masyarakat takut akan teror dari Front Pembela Islam (FPI).
c. Pernyataan Kapolri setelah terjadi peristiwa pengrusakan bangunan yang biasa
digunakan untuk beribadah umat Kristen di Yogyakarta pada 1 Juni 2014, bahwa
rumah hunian tidak boleh dipakai untuk ibadah rutin.
Pelanggaran-pelanggaran yang sering dilakukan pemerintah dan pihak aparat adalah:
1. Pelarangan pendirian tempat ibadat
2. Mempersulit proses pendirian tempat ibadah
3. Pelarangan aktivitas keagamaan
11
4. Kriminalisasi keyakinan
5. Pemaksaan keyakinan
6. Intimidasi, dan
7. Tindakan pembiaran
Hal ini sungguh sangat menyedihkan mengingat bahwa pemerintah dan pihak aparat
sebenarnya adalah pihak yang harus menegakkan hak kebebasan beragama dalam masyarakat
dan menjadi pedoman serta pengayom masyarakat. Negara terkesan tidak tegas dalam
menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat
yang majemuk.
Namun demikian, bukan berarti semua masyarakat Indonesia bersikap intoleran
terhadap masyarakat yang menganut agama yang berbeda. Masih banyak warga masyarakat
Indonesia yang bisa bertoleransi terhadap kelompok beragama lain.

2.5 Upaya-upaya Penegakan Kebebasan Beragama di Indonesia


Masyarakat Indonesia yang majemuk membuat konflik-konflik serta pelanggaran-
pelanggaran hak kebebasan beragama kerap terjadi. Jumlah kasus yang terjadi tiap tahun dapat
dikatakan selalu meningkat. Hal ini tentu membahayakan bagi persatuan bangsa. Tindakan-
tindakan yang melanggar hak kebebasan beragama dan intoleran yang dilakukan kelompok-
kelompok fundamentalis suatu agama dapat memicu permusuhan antar kelompok masyarakat
beragama akibat dari pandangan-pandangan negatif terhadap kelompok satu dan yang lainnya
yang muncul akibat tindakan-tindakan tadi. Oleh karena itu, diperlukan upaya-upaya untuk
menjamin dan menegakkan hak kebebasan beragama masyarakat.
Negara dan pemerintah Indonesia wajib untuk menciptakan dan menjaga kebebasan
masyarakat untuk beragama tetap terjamin meskipun di dalam masyarakat yang majemuk.
Kemudian, pemerintah juga berperan dan bertanggung jawab demi terwujud dan terbinanya
kerukunan hidup umat beragama. Dalam hal ini, pemerintah sebagai pelayan, mediator atau
fasilitator merupakan salah satu elemen yang dapat menentukan kualitas atau persoalan umat
beragama.
Dalam menyikapi kemajemukan agama, pemerintah berkewajiban untuk memberikan
jaminan kebebasan beragama dan memelihara kerukunan umat beragama dengan mengacu
pada empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar
1945, Bhineka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam melaksanakan
tugasnya, pemerintah berpedoman pada landasan yuridis sebagai berikut:

12
a. Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 28E, 28I, 28J, dan 29 yang
pada intinya bahwa setiap warga bebas dan berhak untuk memeluk agama dan
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu, negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu, namun dalam
menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk pada
pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang.
b. Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
c. Undang-Undang No. 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik.
d. Undang-Undang No. 1/PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan
dan/atau Penodaan Agama.
e. Undang-Undang No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
f. Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1986 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang No. 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
g. Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 1
Tahun 1979 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan
Luar Negeri Kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia.
h. Peraturan Bersama Menteri Agama dan ivienteri Dalam Negeri No. 9 dan 8
tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala
Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan
Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.
i. Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam
Negeri Rl Nomor 3 Tahun 2008, KEP-033/A/JA-6/2008, Nomor 199 Tahun
2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau
Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga
Masyarakat.

Dalam rangka membangun dan memelihara kerukunan umat beragama, Pemerintah


mengarahkan pada dua kebijakan besar yaitu:
a. Pemerintah berupaya memberdayakan masyarakat pada umumnya dan
kelompok umat beragama serta pemuka agama untuk menyelesaikan sendiri
masalah umat beragama.

13
b. Pemerintah memberikan rambu-rambu dalam pengelolaan kerukunan umat
beragama baik yang dilakukan oleh umat maupun Pemerintah dan Pemerintah
Daerah. Rambu-rambu tersebut berupa peraturan perundangan yang mengatur
lalu lintas kehidupan warga negara yang berbeda kepentingan karena
perbedaan agama. Rambu-rambu tersebut disusun dengan tetap
memperhatikan partisipasi masyarakat, seperti dalam penyiapan draf Peraturan
Bersama Menteri (PBM) Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun
2006/Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala
Sekolah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat
Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian
Rumah Ibadat, melalui beberapa kali pertemuan para wakil majelis agama
sehingga hampir seluruh naskah PBM merupakan hasil diskusi pemuka
agama.
Sejalan dengan hal tersebut, Pemerintah melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Pembentukan dan peningkatan efektivitas Forum Kerukunan Umat Beragama
(FKUB). Hingga saat ini telah terbentuk FKUB di 33 provinsi di seluruh
Indonesia, dan juga telah terbentuk di 421 kabupaten atau kota di seluruh
Indonesia. Sebagian FKUB itu telah banyak yang berperan maksimal dalam
pemeliharaan kerukunan, namun sebagian lainnya masih berproses menuju
optimalitas perannya.
b. Pengembangan sikap dan perilaku keberagamaan yang inklusif dan toleran.
Pengembangan sikap dan perilaku seperti ini menjadi sangat penting di tengah
isu terorisme dan radikalisme belakangan ini. Badan Litbang dan Diklat telah
melakukan sejumlah penelitian dan lokakarya terkait upaya deradikalisasi dan
pengembangan budaya damai.
c. Penguatan kapasitas masyarakat dalam menyampaikan dan mengartikulasikan
aspirasi-aspirasi keagamaan melalui cara-cara damai, serta pengembangan
pelaksanaan Hak Asasi Manusia (HAM).
d. Peningkatan dialog dan kerjasama intern dan antarumat beragama, dan
pemerintah dalam pemeliharaan "kerukunan umat beragama. Kementerian
Agama telah melaksanakan kegiatan "Dialog Pengembangan Wawasan
Multikultural Antara Pemuka Agama Pusat dan Daerah" sejak tahun 2003
hingga saat ini, dan sudah dilakukan di 26 provinsi dan kabupaten/kota di
seluruh Indonesia.
14
e. Pengembangan wawasan multikultur bagi guru-guru agama, penyuluh agama,
siswa, mahasiswa dan para pemuda calon pemimpin agama.
f. Peningkatan peran Indonesia dalam dialog lintas agama di dunia internasional.
Pemerintah telah turut aktif bahkan menjadi inisiator dalam berbagai kegiatan
dialog lintas agama atau keyakinan (interfaith dialogue) antarnegara, baik
tingkat regional, bilateral, maupun internasional.
g. Penguatan peraturan perundang-undangan terkait kehidupan keagamaan,
seperti perlunya penyusunan rancangan undang-undang tentang kerukunan
umat beragama, perlindungan dan kebebasan beragama.
Meskipun pemerintah telah membuat langkah-langkah sehingga kerukunan umat
beragama dan kebebasan beragama dapat berjalan di tengah masyarakat, seperti yang telah
dipaparkan sebelumnya, pemerintah malah kerap menjadi pelanggar hak kebebasan beragama
itu sendiri.
Masyarakat sendiri juga perlu untuk mewujudkan kebebasan beragama. Ini bertujuan
untuk mencegah terjadinya konflik antar umat beragama yang kerap muncul dalam masyarakat
majemuk.
Dalam hal ini untuk menciptakan kerukunan umat beragama dapat dilakukan dengan
cara-cara sebagai berikut:
1. Saling tenggang rasa, menghargai, dan toleransi antar umat beragama
2. Tidak memaksakan seseorang untuk memeluk agama tertentu.
3. Mematuhi peraturan keagamaan baik dalam agamanya maupun peraturan Negara
atau Pemerintah.
4. Mengembangkan rasa persatuan sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
5. Menciptakan suasana kehidupan beragama yang kondusif.
6. Menempatkan cinta dan kasih dalam kehidupan umat beragama dengan cara
menghilangkan rasa saling curiga terhadap pemeluk agama lain.
7. Menyadari bahwa perbedaan adalah suatu realita dalam kehidupan bermasyarakat,
oleh sebab itu hendaknya hal ini dijadikan mozaik yang dapat memperindah
fenomena kehidupan beragama.

15
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, dan Undang-undang yang lain telah menjamin
Kebebasan beragama masyarakat
2. Masih banyak kasus pelanggaran kebebasan beragama di dalam masyarakat Indonesia
yang majemuk.
3. Masih banyak kasus pelanggaran hak kebebasan beragama serta konflik antar umat
beragama dan cenderung meningkat tiap tahunnya. Contohnya aksi perusakan tempat
ibadah dan pelarangan ibadah.
4. Kinerja pemerintah dan aparat dalam menegakkan hak kebebasan beragama masih
belum maksimal dan penegakkan hak kebebasan beragama merupakan tanggung
jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
 Adisusilo, J.R., Sutarjo. 2013. Pancasila Dalam Pusaran Globalisasi. Yogyakarta
 Robertso, Roland. ed. Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis. 1998.
Jakarta: CV.Rajawali.
 m.kompasiana.com/potret-pelanggaran-hebebasan-beragama.html diakses pada 22 Mei
2017 pukul 15.30 WIB

16

Anda mungkin juga menyukai