Anda di halaman 1dari 5

Kisah sukses GBAC Gentle Birth After caesarean) oleh Bidan Kita pada 1 Desember 2011 jam 5:00

Cerita tiga (3) Kehamilan Dan tiga(3) Persalinan

Cerita Tiga Kelahiran

Tiga kali hamil, tiga kali melahirkan, tiga pengalaman yang ternyata memiliki keunikan tersendiri. Saya jadi
tersadar, memang betul bahwa setiap kehamilan dan kelahiran itu unik, jarang sekali ada yang sama.
Mengalami tiga kali kehamilan dan tiga kali kelahiran dengan cara yang berbeda membuat saya bersyukur, bisa
mendapatkan pengalaman yang membuat saya menyadari beberapa hal.

Kehamilan dan Kelahiran Pertama

Kehamilan pertama saya termasuk lancar, tidak terlalu mual di trimester pertama, rajin periksa ke dokter setiap
bulan, selalu mengkomsumsi obat dan vitamin yang diresepkan dokter, posisi dan berat badan bayi
Alhamdulillah selalu terkontrol dan berada posisi yang tepat. Belajar mengenai kehamilan dan kelahiran saya
lakukan melalui internet. Tidak ada olahraga khusus selain jalan kaki rutin setiap hari kerja dari rumah ke kantor
dan dari kantor ke rumah selama masing-masing 30 menit. Asupan makanan cukup saya jaga, buah-buahan
menjadi makanan favorit saya karena cukup menyegarkan, dan setelah mencoba minum hampir semua merk
susu ibu hamil saya memutuskan untuk tidak mengkonsumsinya kembali dan beralih ke susu murni, karena
pasokannya cukup melimpah di Bandung, dan saya suka rasanya J. Puasa ramadhan saya jalani di bulan ke-7 dan
bolong 5 hari 😀 Waktu itu saya tidak membuat birth plan secara tertulis, hanya membuat scenario global saja,
jika kehamilan saya tidak ada masalah, saya akan melahirkan di kampong dibantu oleh bidan yang kebetulan
rumahnya hanya 500m dari rumah orang tua.

HPL anak pertama 11 Januari 2006, dan saya putuskan untuk mulai mengambil cuti mulai 7 Januari 2006, mudik
ke kampong untuk melahirkan sekaligus merayakan Idul Adha bersama keluarga. Hari selasa, 10 Januari 2006,
sebelum berangkat sholat Ied saya mendapat flek coklat dan sedikit lendir darah. Selepas sholat saya
memeriksakan diri ke bidan dan beliau mengatakan kemungkinan sekitar 1-2 hari lagi saya akan melahirkan.
Beliau mengajari saya senam dan pernafasan yang bermanfaat untuk persiapan nanti melahirkan. Beliau juga
berpesan untuk datang ke tempat bersalin jika sudah tidak kuat menahan nyeri kontraksi, selama masih bisa
menahan nyeri kontraksi sebaiknya tetap di rumah saja. Malamnya saya merasakan sedikit kontraksi namun
jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari.

Keesokan paginya, saya diajak ibu saya jalan kaki dengan jarak tempuh yang agak jauh, kontraksi masih sesekali
saya rasakan. Dan malam itu mulai pukul 21.00 saya merasakan kontraksinya mulai berbeda, sudah mulai
teratur, dan saya pun mulai menghitung jarak antar kontraksi dan lama kontraksi. Pukul 3 saya merasa sudah
harus membangunkan orang tua, dan meminta bersiap-siap berangkat ke Bidan. Pukul 4 saya sudah ditempat
bu Bidan dan setelah VT … dinyatakan sudah pembukaan lengkap!!. Turun dari tempat tidur pemeriksaan VT,
tiba-tiba refleks lutut saya menekuk kemudian ketuban pecah. Segera saya naik ke tempat tidur persalinan
dengan posisi tidur/litotomi, dan mulai mengejan sesuai dengan irama kontraksi. Rasanya beberapa kali
mengejan tapi bayi belum keluar juga, yang terasa adalah kepala bayi mulai muncul kemudian masuk kembali,
namun akhirnya pukul 5 dengan nafas yang cukup panjang akhirnya putri pertama saya lahir juga J. Tali pusat
diklem kemudian dipotong, dan saya disuntikkan sesuatu, kata bidan untuk merangsang plasenta keluar.

Hari-hari pasca kelahiran kondisi fisik saya cepat pulih, walaupun ASI keluar namun si kecil jarang minum dan
tidak mau bangun kalau dibangunkan, kebetulan saat itu musim penghujan sehingga tidak ada sinar matahari
pagi untuk menjemur si kecil. Akhirnya bayi saya kuning dan dirawat selama 3 hari di rumah sakit.

Kehamilan dan Kelahiran Kedua

Kehamilan kedua saya menyimpan kenangan dan pembelajaran buat saya. Trimester pertama lolos dengan
mulus, trimester kedua juga termasuk mulus, hanya saja di bulan ke-6 saya pindah kota ke Yogya dan mulailah
ada sedikit gangguan. Saat itu saya berpikir bahwa semua dokter kandungan adalah sama, jadi tidak menjadi
masalah kita akan memeriksakan ke dokter kandungan mana. Bulan ke-6 saya memeriksakan diri ke dokter
kandungan yang terdekat dari rumah mertua, dan analisa beliau membuat saya cukup terganggu. Janin saya
dinyatakan sungsang, dan beliau memberi peringatan jika itu tidak dibenahi maka akan membuat proses
persalinan saya sulit bahkan bisa berakhir ke SC.

Dengan berbekalkan pengalaman kehamilan pertama yang ‘baik-baik saja’ dan proses kelahiran pertama yang
menurut saya ‘lancar-lancar saja’, tiba-tiba saya divonis dengan keadaan yang ‘tidak baik’ dan hal itu membuat
saya shock. Walaupun sudah berusaha untuk tidak mengindahkan apa kata dokter, tokh janin umur enam bulan
memang masih berputar di dalam rahim, pikiran saya mulai terganggu, dan saya putuskan untuk tidak kembali
ke dokter yang sama bulan depan. Knee chest position pun menjadi aktifitas rutin di pagi dan malam hari
sebelum tidur. Di trimester ketiga saya mencari dokter lain. Karena selalu merasa kurang sreg, saya mencoba
periksa ke tiga dokter/bidan yang berbeda, sampai minggu ke-38 saya masih belum memutuskan akan
melahirkan dengan dibantu oleh dokter/bidan yang mana.

Di minggu ke-40 bersamaan dengan hari raya idul fitri, ternyata jadwal semua dokter yang pernah saya kunjungi
berubah, tersisa satu dokter di sebuah rumah sakit. Sampai HPL belum ada kontraksi sama sekali. Di minggu ke-
41, berdasarkan pemeriksaan USG, ketuban saya dinyatakan tinggal sedikit walau masih cukup untuk bayi, detak
jantung bayi masih normal, dan mulai ada pengapuran juga pada plasenta, hal-hal yang cukup membuat pikiran
saya bertanya-tanya, “Kenapa ya kok tidak ada kontraksi sama sekali??”. Akhirnya dokter menawarkan untuk
induksi, dan saya minta waktu untuk berpikir. Satu hal yang masih saya ingat, saya bertanya kenapa kok
kontraksi alami saya tidak muncul, sedang pada anak pertama semua lancer-lancar saja. Dokter hanya bilang
“itu karena hormonal bu … susah juga dijelasin kenapa kondisi hormon ibu tidak memunculkan kontraksi”

Saya Tanya lagi, “Apa yang bisa saya lakukan untuk menstabilkan hormon saya, sehingga bisa muncul kontraksi
alami?”

Dokter menjawab “Setiap kehamilan itu berbeda-beda, walaupun terjadi pada ibu yang sama. Jadi kondisi
hormone ibu saat ini dengan kehamilan pertama bisa berbeda”

Dan saya pun pulang dengan berbekal obat hormonal yang diresepkan dokter, dengan isi kepala yang runyam
penuh pertanyaan dan ketidakpuasan atas jawaban dokter, dan segudang pertanyaan seputar hormone,
mengapa ya …. ???.

Selama dua hari konsumsi obat hormonal, tidak ada perubahan sama sekali, tidak ada kontraksi. Akhirnya suami
meminta saya untuk induksi karena khawatir dengan kondisi bayi kami. Perasaan saya kacau sekali saat itu, ingin
rasanya menunda induksi, ingin menunggu 2-3 hari lagi, atau kalau boleh seminggu, rasanya masih bisa deh
menunggu. Namun karena keluarga khawatir kalau ada apa-apa dengan bayi kami, akhirnya saya pun setuju ..
walau dengan berat hati .. untuk melakukan induksi. Dan mulailah rentetan peristiwa itu terjadi …

Saya datang ke rumah sakit dengan keyakinan penuh bahwa induksi akan berhasil, dan saya pun mulai
manjalani alur prosedur sebagai pasien rumah sakit. Setelah menandatangani surat pernyataan, perawat mulai
mencukur rambut pubis, melakukan enema, dan memasang infuse, di bangsal yang Cuma bersekat kain,
bersama dengan sesame wanita hamil lain dengan kondisi yang berbeda-beda, ada yang tenang, ada yang
menangis menyalahkan suaminya, ada juga yang meringis-ringis (mungkin sedang menahan kontraksi).
Walaupun tidak nyaman, saya cuek saja, yang penting induksi nanti berhasil. DI ruang bersalin saya dianjurkan
untuk tidur saja, menurut perawat supaya nanti tidak kehabisan tenaga waktu mengejan. Setahu saya ada
beberapa posisi yang baik dilakukan supaya bayi segera turun ke jalan lahir, kok malah diminta untuk tiduran?
Dan saya pun semakin tidak nyaman …

Tempat tidur dan bantal yang keras tidak bisa membuat saya tidur barang sekejap , apalagi dengan tangan
terpasang infuse, dan setiap 30-45 menit ada dokter magang yang memeriksa tekanan darah, temperature, dan
kemajuan kontraksi (gimana mau tidur??). Setelah beberapa jam induksi dilakukan saya pun merasakan sedikit
kontraksi, tapi kok rasanya berbeda ya dengan kontraksi yang pernah saya alami dulu? Di akhir induksi pertama,
perawat melakukan VT, tidak ada pembukaan sama sekali, harapan saya akan keberhasilan induksi pun pupus
sudah. Selanjutnya perawat pun menanyakan pada saya dan suami, apakah akan mengulang induksi atau
melakukan SC? Menurut perawat, jika induksi pertama tidak menghasilkan pembukaan sama sekali, biasanya
jika induksi diulang pun tidak memberikan hal yang berbeda. Saya dan suami pun menyetujui tindakan SC.

Akhirnya saya pun memasrahkan diri untuk melakukan SC, hal yang benar-benar di luar scenario rencana
kelahiran anak saya. Prosedur untuk SC pun mulai dilakukan mulai dari puasa makan dan minum, pemasangan
kateter, mengganti baju dengan baju operasi, bius setengah badan, dan operasi pun dimulai di ruang operasi
yang dingin. Yang saya ingat adalah badan serasa bagaikan mobil yang sedang dibengkelkan untuk
mengeluarkan si bayi, dan tangisan putra ke-2 saya pun terdengar. Tidak ada IMD saat itu, sama sekali tidak
terpikir IMD karena semua di luar scenario. Saya pun hanya diijinkan mengecup putra saya sebelum dibawa ke
ruang bayi, dan saya pun mulai tertidur (mata berat sekali, namun telinga masih bisa mendengar) karena hidung
mulai mampet akibat ruang operasi yang dingin sekali, sembari dijahit bekas luka SCnya. Pasca operasi saya
sempet menggigil walau sudah keluar dari ruang operasi.

Hari-hari pasca kelahiran cukup menyulitkan untuk saya karena pergerakan badan terbatas akibat luka bekas
operasi, namun sangat bahagia karena si kecil mau dan cukup antusias menyusu. Alhamdulillah si kecil tidak
mengalami kuning seperti pada kakaknya dulu.

Kehamilan dan Kelahiran Ketiga

Berbeda dengan kehamilan pertama dan kedua yang direncanakan waktunya, kehamilan ketiga hadir satu tahun
lebih cepat dari rencana J ketika anak kedua saya berumur 1 tahun 4 bulan. Saya masih ingat betul, di bulan
maret 2011 saya melihat foto-foto bayi temen saya Irwan/Uun, suami dari ibu Dyah/Prita. Saya terinspirasi
untuk mempelajari home birth – water birth walaupun saat itu belum hamil (belum tahu kalau sudah hamil
tepatnya :D), juga banyak membaca website, account facebook dan fan page bidan kita milik mbak Yesie
Aprillia. Dan ups …. di bulan April saya sudah hamil 10 minggu.

Kehamilan ketiga ini saya menginginkan persalinan normal dengan alasan recovery yang lebih cepat, dan lebih
nyaman untuk ibu dan bayi. Dari membaca artikel di website bidan kita, mengikuti posting di fb bidan kita,
melihat dan membaca semua foto dan ulasan seputar foto di bidan kita, saya mendapatkan jawaban atas semua
pertanyaan yang tidak terjawab di kehamilan saya sebelumnya J Saya mengakui walaupun sudah dua kali
melahirkan ternyata masih banyak yang perlu saya pelajari mengenai kehamilan, kelahiran, dan parenting. Tapi
tidak ada kata terlambat untuk belajar, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.

Disaat hamil ke-3 saya berdomisili di Batam, Kepulauan Riau. Saya pun mulai melakukan kontak dengan pemilik
situs bidan kita, mbak Yesie Aprillia, mengenai water birth – gentle birth dan kemungkinan untuk melakukannya
di Batam. Berhubung sampai saat itu belum ada kemungkinan untuk melakukannya di Batam, solusi yang paling
mudah adalah melakukannya di Klaten, di klinik Bidan Kita. Kebetulan mertua saya berdomisili di Yogyakarta,
hanya 30-60 menit dari Klaten. Yang terbersit di benak saya saat itu adalah “Saya akan melahirkan si kecil di
Bidan Kita Klaten”. Dan entah mengapa, satu demi satu muncul kebetulan yang semakin mendekatkan saya
untuk mewujudkan keinginan saya itu. Di situlah saya mulai mempercayai “your wish is my command”, alam
membawa saya ke sebuah scenario terbaik untuk saya dan keluarga.

Di akhir bulan Juli, umur kehamilan 23 minggu, saya resmi hijrah ke kota Yogyakarta, dan bertandang ke tempat
mbak Yesie, impresi pertama saat melihat beliau adalah “she is different !!”, sama sekali tidak ada perasaan
tidak sreg yang saya jumpai ketika bertemu dengan dokter kandungan. Untuk kehamilan kali ini saya bertekad
hanya berkunjung ke dokter kandungan sebanyak tiga kali , masing-masing sekali untuk setiap trimester.
Trimester pertama untuk mengetahui perkembangan embrio dan HPL berdasarkan USG, saya lakukan di minggu
ke-10. Trimester kedua untuk mengetahui perkembangan janin, cek jenis kelamin, sekaligus meminta surat
keterangan sehat sebagai syarat terbang dari Batam ke Yogya, saya lakukan di minggu ke-23. Trimester ketiga
untuk mengecek kondisi bayi dan bekas luka SC untuk persiapan melahirkan.

Selanjutnya saya mengikuti kelas hypnobirthing.Saya dan suami belajar kembali dari awal mengenai serba serbi
kehamilan. Jujur lho … banyak informasi yang terlewatkan di kehamilan sebelumnya dan semua pertanyaan
yang sebelumnya tidak terjawab pun akhirnya terjawab J Untuk menjaga berat badan bayi dalam kisaran yang
diinginkan, saya melakukan diet karbohidrat, lebih banyak mengkonsumsi sayur dan buah, juga bervisualisasi
berat badan bayi saya antara 2.5 – 3 kg, kalimat afirmasi favorit saya “My baby is the perfect size for me” J. Saya
pun rutin mengikuti kelas hypnobirthing, melakukan relaksasi, berafirmasi, berlatih tai chi (hanya berbekal
melihat video panduannya), berlatih yoga (setelah mengikuti kelas yoga), dan terakhir merembet ke belajar self
healing J

Kebetulan saya memiliki masalah dengan latihan relaksasi karena saya tipe orang yang logis dan analitis,
mencari sebab dan akibat, apa dan mengapa, intinya … kebanyakan mikir :D. Ternyata saya juga menyimpan
trauma yang tersimpan di bawah sadar dan berakibat saya susah untuk rileks. Dan saya pun kembali
mendapatkan jawaban untuk masalah saya tersebut yaitu self healing. Ketika saya mencari tahu tentang self
healing melalui internet, mesin pencari membawa saya ke situs Reza Gunawan dan mendapati ada jadwal
pelatihan self healing di Yogyakarta di bulan September . Kebetulan yang sangat menyenangkan J , saya pun
langsung mendaftarkan diri, mengikuti pelatihan dan mempraktekkannya.

Saya simpulkan, semua yang saya pelajari mulai dari relaksasi, afirmasi, visualisasi, tai chi, yoga, dan self healing
sangat bermanfaat untuk saya, sangat terasa bedanya. Saya senang dengan kehamilan saya, lebih enjoy dengan
diri saya dan kehidupan sehari-hari (terutama mengurus dua anak sambil hamil, suami tidak dapat mendampingi
karena bekerja di luar kota). Kondisi fisik senantiasa bugar, dan saya tahu kapan saya harus melakukan apa
(misal: makan atau istirahat) karena semakin peka dengan alarm tubuh. Kondisi pikiran jadi lebih tenang. Puasa
ramadhan di bulan ke-7 juga saya jalankan, dan yang membuat saya surprise … puasa kali ini tidak ada yang
bolong!. Masalah fisik yang biasanya terjadi di trimester ketiga juga terselesaikan dengan mudah, pegal
punggung/pinggang hilang, kaki tidak bengkak, tidur lebih nyenyak. Begitu saya bisa merasakan bayi posisinya
sudah turun dan merasakan adanya gelombang rahim, saya pun semakin tenang dan yakin bahwa semua yang
saya lakukan adalah benar J. Alam membawa saya semakin dekat dengan kehadiran bayi saya.

Saya memutuskan untuk melakukan pemeriksaan di minggu ke-39 ke seorang dokter yang direkomendasikan
bidan saya. Tujuan kunjungan ke dokter kali ini adalah untuk mengetahui apakah kondisi dan posisi bayi baik,
adakah lilitan tali pusat, berapa berat badan bayi, dan bagaimana kondisi bekas luka operasi SC sebelumnya.
Saya hanya mendapat 3 jawaban dari sekian pertanyaan yang saya ajukan. Kondisi bayi baik dan posisi sudah
benar (posisi kepala), berat badan bayi kecil (2.2 kg berdasarkan USG), terdapat ‘defect’ atau bekas luka yang
penyembuhannya tidak sempurna pada bekas luka operasi sebelumnya. Dan pertanyaan terakhir saya “apakah
saya bisa dan aman untuk melahirkan normal? (saya sudah sesekali merasakan gelombang rahim walaupun
belum teratur)” dijawab dengan “lebih aman SC lagi karena ada defect pada luka sebelumnya”.

Pulang dari dokter malam itu saya bertemu dengan suami yang baru dijemput dari bandara. Hasil pertemuan
dengan dokter saya sampaikan semua. Suami menyerahkan keputusan pada saya, meminta agar saya
berkomunikasi lagi dengan bayi dengan jalan apa bayi ingin hadir. Feeling saya mengatakan bahwa tubuh saya
masih bisa, dan tubuh pun memberikan tanda-tandanya menuju ke persalinan normal, si kecil pun semakin
bergerak ke bawah. Dini hari itu juga, mulailah terjadi gelombang rahim yang teratur. Saya pun mengkonfirmasi
pada mbak yesie apakah itu adalah tanda-tanda yang benar sekaligus menentukan kapan saya berangkat ke
klaten.

Akhirnya pagi hari itu, setelah sholat subuh, saya dan suami berangkat ke Klaten. Musik David Foster mengiringi
perjalanan kami untuk membuat kami lebih rileks, waktu itu suami tegang 😀 karena masih agak ngantuk (baru
tidur 2 jam), masih jet lag, nyetir membawa istri yang sedang bergelombang rahim pula. Begitu sampai di klinik
Bidan kita, setelah dicek ternyata sudah pembukaan tujuh. Kolam pun segera disiapkan, saya menunggu sambil
bergoyang inul ria dengan bola kelahiran, sambil bervisualisasi bayi semakin turun dan turun ke bawah. Tiba-
tiba terasa sensasi seperti ingin BAB. Dan ternyata, setelah dicek …. sudah pembukaan lengkap!!! Saya pun
masuk ke kolam, melanjutkan goyang inul untuk menurunkan bayi ke posisi crowning, dengan posisi
menghadap dinding kolam. Kemudian saya berganti posisi dengan duduk bersandar pada kolam untuk
menyambut keluarnya bayi. Saya mengejan beberapa kali. Begitu bayi keluar, saya angkat dan tempelkan ke
dada, segera diselimuti dan diberi topi. Bahagiaaa rasanya menyambutnya dengan cara seperti itu. Begitu
plasenta keluar saya pun keluar dari kolam, dilanjutkan dengan IMD yang absen pada kelahiran anak pertama
dan kedua. Sekitar satu jam si kecil merangkak di atas badan dan akhirnya sukses menemukan puting susu J

Saya memutuskan untuk Lotus Birth J, membiarkan tali pusat tetap terhubung dengan bayi sampai akhirnya
terputus sendiri. Dan saya saksikan sendiri, tali pusat mulai mengering dan akhirnya terputus pada hari ke-3.
Takjub melihatnya !! Ternyata proses alami tanpa memotong tali pusat justru lebih cepat puput, padahal
biasanya butuh waktu kira-kira seminggu untuk puput tali pusat. Dan saya pun pulang ke rumah dengan
membawa banyak cerita, VBAC, menerapkan prinsip gentle birth dengan water birth dan lotus birth menjadi
kenyataan.

Sang Ayah yang baru kali ini mendampingi dan melihat indahnya proses persalinan istrinya (2 persalinan
sebelumnya tidak bisa mendampingi)

Anda mungkin juga menyukai