Perang Teluk, Sun Tzu & Relevansinya Ok

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 14

PERANG TELUK, SUN TZU DAN

RELEVANSINYA DEW ASA INI

Oleh :

LETKOL LAUT (KH) DRS. KAYAT MUSTAFA


KABAGPEN SESKOAL CIPULIR JAKARTA

PENDAHULUAN
Pasukan Koalisi yang dipimpin AS telab memenangkan perang dengan
mudah dalam Perang Teluk dengan korban-korban yang relatif sedikit, baik di pihak
Sekutu maupun Irak. Sedikitnya korban ini dikarenakan oleh perlawanan Irak yang
sedikit lringan terhadap serangan Sekutu dan banyaknya tentara Irak yang
menyerah. Menurut laporan Konggres AS jumlah tentara Irak yang menyerah
sebanyak 163.000 orang, suatu jumlah yang luar biasa banyak. Perlawanan Irak
yang sedikit / ringan dan hanyaknya tentara Irak yang menyerab ini antara lain
disebabkan oleb Perang Urat Saraf (Psywar) yang dilancarkan oleb Sekutu. Perang
urat syaraf ini demikian menggebu-gebunya sampai berhasil meruntuhkan mental
tentara Irak. Badan yang melaksanakan perang urat syaraf ini adalab US Army’s 4th
Psycholological Operation Group (Air Borne). Perang urat syaraf yang dilaksanakan
oleb badan ini demikian efektif sebingga oleh

Letkol Paul R. StaI1klewicz dari AU AS dalam majalah FORUM edisi Winter


1992/1993 disebut sebagai pelaksanaan strategi perang Sun Tzu yang intinya adalah
“Memenangkan Perang Tanpa Bertempur” atau dengan kalimat lain yang lebih
tandas yaitu “Menang Perang dalam 100 kali pertempuran bukanlah puncak ke-
ahlian, tetapi memenangkan perang tanpa bertempur itulah puncak keahlian”.
Betulkah pelaksanaan Perang Teluk oleh pasukan Koalisi demikian ? Sebelum
menjawab per- tanyaan ini lebih lanjut ada baiknya kita bahas dulu secara ringkas
bagai- manakah konsep memenangkan perang tanpa bertempur menurut Sun Tzu
dan bagaimana konsep itu diterapkan dalam Perang Teluk agar kita mempunyai satu
konsepsi persepsl yang sama.
MEMENANGKAN PERANG TANPA BERTEMPUR
Sebagian besar dari pembahasan ini didasarkan atas karya Sun Tzu, ahli
strategi militer Cina pada abad ke-6 sebelum Masehi, terutama dalam bukunya yang
berjudul “The Art of War”. Thlisan-tulisannya bertentangan secara tajam dengan
pandangan-pandangan yang diberikan oleh pemikir-pemikir strategi paling klasik di
dunia Barat. Berdasar karya Sun Tzu ini maka akan terlihat bahwa pendekatan Barat
tradisional cenderung membatasi dimensi persepsi mereka tentang konflik antar
negara yang mungkin terjadi dan secara umum telah menjuruskan pemikiran-
pemikiran tentang bentuk kekerasan dalam berbagai konflik. Untuk meng-
gambarkan beberapa keterbatasan tradisi pemikiran Barat ini, penulis akan mencoba
membandingkan karya CARL von CLAUSEWITZ yang berjudul “On War” dengan
karya Sun Tzu, dengan harapan dapat meyakinkan pembaca bahwa pada waktu ini
perlu melebarkan konsepsi persepsi strategi klasik tentang perang.

SUN TZU DAN CLAUSEWITZ

Barangkali merupakan suatu kenyataan untuk mengatakan bahwa sebagian


besar pemikiran strategik Barat dewasa ini berdasar pada pendapat Clausewitz
tentang perang yaitu bahwa “perang hanya merupakan kelanjutan politik dengan
cara / sarana lain”. Dilain pihak Sun Tzu tidak menganggap bahwa perang hanya alat
politik, tetapi mengidentifikasikan bahwa dibawah kondisitertentu perang itu sendiri
dapat men- jadi politik. Pemyataan ini yang menurut pemikir-pemikir strategi Barat
kelihatan seperti tidak masuk akal dapat mempunyai jangkauan pemikiran yang lebih
jauh untuk pelaksanaan perang “(The Waging of War)”.

Suatu indikasi awat tentang perbedaan dasar-dasar konsepsi dua pemikir ini,
dapat ditemukan dalam gagasan mereka tentang hubungan antara perang dengan
kegiatan politik. Di buku 8 pasat 6 Clausewitz menya-takan bahwa perang itu sendiri
bu- kanlah hubungan politik yang men- jadi tegang atau menjadi suatu yang
keseluruhnya berbeda. Pada pokok- nya bahwa sating berhubungan dapat terus
berlanjut terlepas dari sarana- sarana apa yang digunakan untuk itu. Bagaimana
sesuatu yang berlawanan ini dapat terjadi ? Apakah hubungan politik antara rakyat
dengan rakyat dan antar pemerintah dengan peme-rintah negara lain terhenti bila hu-
bungan diplomatik tidak dapat saling dipertukarkan lagi ? Tema pokok yang selatu
diulang-ulang dalam ke- seluruhan buku ini adatah perang itu sendiri yang seperti
ha1nya hubungan politik adatah juga suatu bentuk lain dalam berhubungan dengan
lawan. Keduanya perang dan politik ini sama-sama diselidiki, karena juga sama-
sama menghendaki agar lawan menyatakan persetujuannva atau tunduk tanpa sarat
terhadap ketentuan apa saja yang dibuat bila mereka sama-sama berhasil mencapai
perse- tujuan, meskipun menggunakan sa- rana-sarana yang berbeda. Sun Tzu
mengabaikan seluruh aspek ini. Satu- satunya petunjuk untuk memelihara saluran
hubungan yang normal dengan lawan tertera dalam buku 7, dimana ia
menasehatkan negara penyerang untuk ~eninggalkan lawannya secara total. Ketika
kebijaksanaan menyerang diputuskan, saat itu suasana menjadi genting, paspor-
paspor dicabut, hubungan diplomatik dengan musuh tidak ada lagi dan lembaga-
lembaga negara didesak untuk melaksanakan rencana- rencana yang telah dibuat.
Lebih jauh lagi Sun Tzu menyatakan bahwa pe- ngejaran perang (“pursuit of war”)
dapat menjadi satu bentuk hubungan dengan lawan.

Hal ini menarik dan sekaligus menakutkan, karena sebetulnya keputusan


untuk mengumumkan perang berarti meninggalkan dialog. Dalam artl yang demikian
Sun Tzu lebih ekstrim, karena ia tampak lebih menyokong penggunaan perang untuk
melenyapkan lawan dari pentas, sementara Clausewitz menganjurkan pemakaian
perang sebagi sarana memaksa lawan untuk berunding, tetapi masih dalam
kerangka yang lebih menyenangkan untuk menentukan syarat-syarat. Disini
kelihatan Clausewitz memusatkan pada usaha untuk mendapatkan pengaruh,
sedang Sun Tzu melenyapkan lawan. Dalam abad nuklir sekarang ini, dua pendapat
nya berbeda tentang perang ini, dalam pandangan sekilas ke1ihatan nya akan
terbukti bahwa Sun Tzu ada1ah pemikir yang lebih bodoh dari Clausewitz.

Clausewitz membantah tentang kemungkinan dilaksanakannya satu perang


total dengan dua dasar. Pertama konsepnya tentang pertentangan /perselisihan
(“friction “) yang dikenalkan dalam buku I dan ditegaskan lagi dalam keseluruhan
bukunya. la merumuskan bahwa berdasarkan pertimbangan besarnya ongkos/beaya
yang dikeluarkan untuk berperang yang tidak sebanding dengan manfaat yang
didapat, akan mengurangi kehendak seorang negarawan mengeluarkan
kebijaksanaan mernindahkan unsur perusak perang yang dahsat kedalam hanya
satu alat, demikian dia menulis dalam buku kedelapan bab enam. Ini dapat
dimisalkan dengan dua tangan ber pedang yang mengerikan yang akan dipakai
dengan kekuatan penuh untuk sekali tikam dirubah menjadi tidak lebih pedang tipis
yang tajam dan ringan, bahkan kadang-kadang hanya me satu pedang anggar yang
kurang berbahaya yang cocok untuk tusukan- tusukan dan tangkisan-tangkisan pura-
pura. Kedua, Clausewitz membantah bahwa sulit sekali menyusun situasi dimana
kekuatan total dapat dipakai untuk mendominasi sepenuhnya kemauan lawan.
Apalagi untuk melenyapkannya sama sekali dari pentas. Sebab itu ia meriganggap
pentIng menyambungkannya kedalam perang sebagai bentuk lain dari dialog dan
penekanannya berulang kali pada keterbatasan-keterbatasan perang dengan
memusatkan usahanya pada pusat gravitasi (gaya tarik) kegawatan lawan. Jadi
kekejaman militer (“violence”) harus dipakai dalam psikologis.

Dewasa ini ahli-ahli strategi Barat cenderung pada dua ajaran dasar ini yang
memandang perang sebagai perwujudan terbatas. Dalam kasus yang pertama sifat
alami yang paling tepat dari satu konflik nuklir ialah kondisi-kondisi “MAD/Mutual
Assumed Destruction” (saling menghancurkan) telah memperkuat lebih jauh
relevansi gagasan Clausewitz tentang perselisihan ditambah mahalnya biaya perang
serta manfaat- manfaat yang didapat yang dianggap tidak berarti/sepadan.
Ketakutan akan rneluasnya perang nuklir tercermin dari perhatian fihak Barat untuk
rnenghindari konfrontasi langsung, rneskipun dalam konflik-konflik terbatas seperti di
Timur Tengah.

Lagipula, sementara perkem-bangan kepala perang nuklir dan rudal antar


benua telah membuat kehancuran fisik lawan amat mungkin, saling mempunyai
kemampuan dibidang nuklir ini pada kenyataannya telah memperkuat pentingnya
mengendalikan faktor-faktor psikologis Clausewitz. Banyak teori tentang
penangkalan yang mengena secara tepat tentang penggunaan kekuatan secara
lengkap, mencari dan menilai pandangan d.an kekuatan nuk1ir negara Adi Kuasa
lainnya.

Semua ini mempengaruhi analis-analis blok Barat tentang hubungan Timur


Barat dewasa ini yang cen- derung untuk mengabaikan gagasan Sun Tzu yang
sederhana dan tidak dapat diterapkan. Sun Tzu merumuskan bahwa suatu perang
langsung dengan sasaran ekstrim yaitu penaklukan/pelenyapan lawan secara total
adalah mungkin (dapat dikerjakan) dan masuk akal. Sebenarnya dalam banyak hal
gagasan Sun Tzu lebih tepat dipakai pada situasi sekarang daripada gagasan
Clausewitz. Hal yang pokok dan terpenting dalam bahasan ini ialah bagaimana
analis- analis Barat memahami dan bagai-mana bentuk perang yang akan datang
serta bagaima membuat definisi perang itu sendiri (“The Waging of War”). Pada taraf
demikian seluk beluk Sun Tzu mulai tampak kelihatan.

KONSEP PERANG CLAUSEWITZ DAN SUN TZU

“ Jadi, perang ada1ah satu tindakan dengan kekuatan” kata Clause witz
dipermulaan buku pasal satu dan dilanjutkan dengan definisi kekuatan (“force”)
sebagai berikut : “Kekuatan adalah kekuatan fisik, sedangkan kekuatan moral tidak
mempunyai daya selamat (“survive”) akan keberadaannya sebagaimana dinyatakan
dalam undang-undang negara, karena itu kekuatan adalah kekuatan fisik yang
digunakan sebagai sarana perang”.

Tema ini yang menjadi dasar pemikiran Clause witz, diulangi dalam
keseluruhan bukunya dan ditambah kan bahwa begitu banyak tujuan akhir yang
harus dicapai namun hanya satu sarana yang dipakai yaitu pertempuran. Ini adalah
sesuatu yang sudah menjadi sifat konsep perang, yaitu bahwa segala sesuatu yang
terjadi harus murni berasal dari pertempuran. Dari sini Clausewitz menarik-
kesimpulan bahwa menghancurkan kekuatan lawan adalah selalu cara AS untuk
mencapai tujuan peperangan. Sebagai hasilnya Clausewitz mene tapkan bahwa
strategi adalah pemakaian pertempuran untuk perang.

Kini semua jelas bahwa perang adalah suatu tindakan kekuatan fisik yang
memanifestasikan dirinya sendiri dalam pertempuran yang membentuk semua
alasan Clausewitz. la meneruskan menganalisa faktor-faktor lain yang sating
mempengaruhi yang merubah dasar ajaran ini dan membuat perang sebagai satu
Trinitas tunggal luarbiasa yang tersusun atas kekejaman. rasa benci dan
permusuhan yang dianggap sebagai kekuatan alamiah yang buta. Dengan demikian
semua karyanya didasarkan atas anggapan bahwa perang bersifat memakai
kekuatan militer untuk bertempur dengan lawan. Karya ini benar-benar agak kasar
untuk apa yang dikatakan bahwa perang tidak terdiri atas penggunaan beberapa
bentuk lain selain bentuk kekuatan. Disinilah mulai kelihatan gambaran gagasan Sun
Tzu yang didasarkan pada satu pengertian yang berbeda sifatnya yang disusun atas
lima faktor dasar : yang pertama ialah pengaruh moral. la menulis: “Yang saya
maksudkan dengan pengaruh moral ialah sesuatu yang menyebabkan rakyat
menjadi harmoni dengan pemimpinnya. sehingga akan menyertai mereka dalam
hidup sampai mati tanpa takut resiko .lni bertentangan sama sekali dengan
Clausewizt yang seperti dinyatakan diatas, mengabaikan samasekali ”Kekuatan
Moral” karena tidak relevan dengan gagasan perang, sebagaimana dinyatakan
dalam per-mulaan karyanya. Sementara jelas sekali bahwa Sun Tzu memakai
“kekuatan moral” dalam arti etika / nilai-nilai yang mengatur kebiasaan / tingkah laku
waktu damai. Clause witz mengabaikan seluruh dimensi perang Sun Tzu ini dan
memusatkan serta menganggap bahwa kekuatan fisik yaitu kekejaman mi1iter (“mili-
tary violence”) sebagai alat / sarana pokok peperangan.

Di lain pihak Sun Tzu menggaris bawahi bahwa hasil konfrontasi militer
ditentukan tidak oleh keahlian memanipulasi kekerasan oleh jenderal-jenderal dan
pemimpin- pemimpin politik ketika perang dimaklumkan, tetapi oleh tahun-tahun
persiapan yang mendahului konfron- tasi tersebut. Menurut Sun Tzu pada taraf ini
perang dilaksanakan tidak pada medan pertempuran, tetapi dilaksanakan di waktu
damai yang mendahuluinya dan sasarannya dicapai bukanlah dengan memakai
kekerasan/kekejaman militer, tetapi dengan merusak “legitimacy” /kekuatan musuh,
yang menyebabkan musuh bertentangan dengan rakyatnya sendiri. “Legitimacy”/
kekuasaan ini adalah konsep kunci penyelidikan fikiran dan jantung hati musuh,
sedang kelompok penduduk adalah kunci yang lain. Persiapan-persiapan yang
efektif di waktu damai, sesuai pendapat Sun Tzu harus dapat melemahkan lawan
pada sisi yang lain. Persiapan ini harus mampu membentuk pendapat umum yang
mampu menolak anggaran belanja yang diperlukan untuk menyiapkan sarana-
sarana pertempuran, dan merusak kemauan musuh untuk bertempur. Bila tahap ini
disiapkan dengan hati-hati dan rakyat tidak lebih lama lagi dalam keadaan harmonis
dengan pemimpin-pemimpinnya, akan ada satu kenyataan bahwa amat sedikit
keperluan konfrontasi militer untuk mengatasi kepemimpinan musuh. Jadi Sun Tzu
bertolak belakang dengan pendekatan Clausewitz karena ia menulis “memperoleh
kemenangan dalam seratus pertem puran bukanlah puncak keahlian. Menundukan
musuh tanpa bertempur itulah puncak keahlian” . Dengan demikian jelaslah bahwa
type perang yang dibicarakan Sun Tzu secara radikal adalah betul-betul berbeda

Perbedaannya terletak dalam seora cara masing-masing memandang konsep


kekuatan. Sementara Clause witz memandang kekuatan sebagai penerapan
kekerasan militer semata- mata, yang sebagai konsekuensinya ialah satu perolehan
dimensi psiko logis, Sun Tzu membuat satu analisis yang mendalam tentang
kekuatan itu tidak sendiri

Pada bab V dari bukunya yang berjudul “Energy” (dalam bahasa Cina ini berarti
kekuatan, pengaruh,atau kekuasaan), Sun Tzu membuat konsepnya menjadi jelas.
Pada prinsipnya ia mengatakan bahwa ada dua type kekuatan yaitu “chi” atau
“kekuatan tidak langsung dan luar biasa” atau dan “ Cheng “ atau kekuatan langsung
dan normal / biasa-biasa saja, Dalam kosmosnya, kemenangan datang ketika
keduanya secara tepat bersambungan. Kekuatan tidak langsung dan luar biasa
dipakai secara luas untuk memperlemah lawan sampai pada satu titik diman
perpecahan didalam dan menimbulkan kolone kelima, menyebabkan musuh begitu
dapat dengan mudah dilemahkan sehingga pemakaian kekerasan militer hanya akan
mengha- dapi satu perlawanan yang minimal, atau perlawanan yang tidak teror-
ganisir karena musuh akan jatuh begitu dalam pada satu titik kemam- puan militer
yang paling rendah. Perang yang sesungguhnya dilaksa- nakan terutama dengan
pemakaian kekuatan moral, sarana-sarananya diarahkan untuk melawan kekuasaan
penguasa dalam negeri lawan dan untuk melemahkan kekuatan dasar lawan sampai
titik dimana lawan seperti sapi jantan yang kelelahan, kemudian hanya kekuatan
biasa digunakan untuk sentuhan terakhir. J adi keahlian dalam perang adalah
mengalahkan tentara lawan tanpa bertempur. Kota-kota lawan diduduki tanpa
serangan dan serbuan dan negara lawan ditaklukkan tanpat operasi yang berlarut-
larut. Dalam arti yang demikian Sun Tzu melihat -kekuatan biasa yang difokuskan i
Clausewitz, hanya sebagai ujung , , suatu gunung es yang terapung yangmana
sebagian besar gunung es terebut tersembunyi dibawah permukaan air ibarat tahun-
tahun persiapan yang melibatkan kekuatan tidak langsung yang luar biasa.

Konsekuensi-konsekuensi darihal ini ada dua macam. Pertama. Clausewitz


mengenali ada jarak antara pcrang dan damai berkenaan dengan type
kebijaksanaan yang harus dicapai pada masing-masing kondisi. Dan dewasa ini kita
tetap cenderung pada gagasan ini yaitu bahwa dua negara tidak dapat secara
serentak dalam keadaan saling berperang dan damai. Tidak demikian dengan Sun
Tzu yang gagasan ke- kuatan tidak langsungnya memung- kinkan satu negara
memerangi negara lain dalam satu perang rahasia. menyerang legitimacy/kekuasaan
pemimpin-pemimpin atau penguasa- penguasanya. sementara itujuga me-
nampakkan/menampilkan hubungan damai.
Yang kedua, dengan memindah- kan tekanan pada pelaksanaan perang dari taraf
kekerasan militer ke taraf perjuangan untuk melemahkan legiti- macy/kekuasan
pemimpin-pemimpin lawan, penentu kebijaksanaan dapat berjuang untuk mencapai
sasaran to- tal, karena kedua faktor penghambat Clausewitz dapat dihindari, yang
per- tama menghindari beaya kekerasan fisik yang mahal dengan cara mene-
kankan kampanye pada penerapan kekuatan tidak langsung dan yang kedua
kebutuhan menerapkan ke- kerasan militer yang berlebihan karena menghadapi
lawan yang tang- guh yang bersemboyan “cinta damai

tetapi lebih cinta kemerdekaan” atau- pun yang bersemboyan “lebih baik bersimpah
darah dari pada menjadi merah”, dengan memusatkan kampa- nye juga pada
penerapan dimensi kekuatan tidak langsung ini.

Setelah kita sepaham tentang konsep Sun Tzu ini sekarang mari kita lihat Perang
Teluk. Bahwa tentara Koa1isi berhasil melaksanakan perang tanpa perlawanan yang
berarti dari lawannya dan berhasil meme- nangkan perang memang betul, dan ini
pas dengan konsep Sun Tzu ten- tang “pemakaian kekuatan tidak langsung dengan
cara penyebaran desas-desus palsu, pejabat-pejabat yang korupsi, menimbulkan
perpe-

kem~dian hanya kekuatan biasa digunakan untuk sentuhan terakhir”. Kekuatan tidak
langsung tersebut dimanifestasikan dalam bentuk penyebaran ratusan ribu leaflet
dan propaganda melalui berita radio dan tv. (Mengenai ini pernah ditu1is da- lam
majalah Marinir no 66 edisi bulan Desember 1993.

leaflet yang disebarkan Pasukan titik kemampuan militer yang paling Koalisi yang
dapat menggambarkan rendah. Ketiga leaflet yang meng- bagaimana perang yang
sesungguh- gambarkan bagaimana dapat menim- nya dilaksanakan terutama
dengan bulkan perpecahan antara Presiden pemakaian kekuatan moral, dapat
Saddam Husein dengan rakyatnya, dikatagorikan dalam tiga macam : antara
Presiden Saddam Husin pertama leaflet yang dapat menimbu- dengan tentaranya,
dan antara rakyat lkan perpecahan didalam. Kedua, !eaflet yang menggambarkan
mampu melemahkan kekuatan dasar pasukan Irak (yaitu kemauan/semangat
bertempur) yang dapat menyebabkan pasukan Irak begitu dapat dengan mudah
dilemahkan sehingga pema- kaian kekerasan militer Koalisi menghadapi satu
perlawanan yang minimal atau perlawanan yang tidak
Kalau dilihat bahwa Presiden Saddam Husein lenyap dari pentas di Kuwait maka
bahasan oleh Letkol Paul P. Stanklewicz dalam majalah FO- RUM edisi Winter
1992/1993 inijuga 100 % betul. Barang kali ada dua ha1 yang tidak betull 00 % yaitu
pertama bahwa perang tersebut dilaksanakan tidak pada waktu damai yang men-
dahului perang yang sebenamya, te- tapi bersamaan dengan perang yang
sebenamya, dan yang kedua masih digunakannya kekuatan militer untuk
keberhasilan tersebut.

RELEVANSINYA DEWASA INI


Dewasa ini negara-negara demo- krasi Barat kelihatannya memper- siapkan diri
untuk melaksanakan suatu perang type Clausewitz dimasa depan, namun dalam
kenyataan kini mereka sedang melaksanakan perang type Sun Tzu. Dengan kata
lain strategi Barat dewasa ini selain me- musatkan diri pada penerapan atau
mengancam untuk menerapkan kekuatan psikologis dengan persen- jataannya yang
lengkap dan modern juga melaksanakan perang type Sun Tzu dengan meniup-
niupkan masalah HAM, Demokrasi Liberal, Kelestari- an Lingkungan dan lain-lain
:melalui penguasaan tehnologi informasinya yang mendominasi pemberitaan dunia.

Kita tidak tahu persis bagaimarumusu] Barat menerapkan perang type SU[kita 1<
Tzu ini terhadap Timur (baca UIJjsekar; Sovyet), yang kita tahu ialah bahwltegin)
tiba-tiba negara Uni Sovyet dan Yu.peran goslavia lenyap dari peta bumi. Apa.tetapi
kah karena arus globalisasi sehingglYang pengaruh Barat (demokrasi liberaldicap
HAM dan lain-Iain) dapat begit\kekeI mudah memasuki Uni Sovyet dar.deng negara-
negara komunis lainnya se.keku1 hingga dapat menimbulkan dishar.m~n~ moni
antara rakyat Sovyet dengalllang! pemimpin-pemimpin Sovyet dan an.men) tara
rakyat Yugo dengan pemimpin.tenta] pemimpin Yugo ? Dalam hallenyap-S~~J nya
negara Uni Sovyet dan Yugosla.gJtJn via dari pentas ini ungkapan Sun Tzukons~
“memenangkan perang tanpa bertem. terha~ pur” terasa mengena/pas sekali,
ka.seda~ rena pelaksanaannya adalah diwaktukunc] damai (sekarang ini) yang
menda.Yang hului perang yang sebenarnya (entah wakt kapan itu teriadi). sesua

mele] Mengingat demonstrasi-demons. Persi

trasi yang baru-baru ini sering terjadi bentu dinegara kita, kelihatannya kita harus
men( ekstra hati-hati menangani masalah perlu ini. Disamping kita liarus melihat per-
saran masalahan yang sebenarnya, kita juga kema harus dapat melihat apakah
semua berte: demonstrasi ini memang murni atau-Iama kah karena digerakkan oleh
musuh- deng musuh kita. Agaknya yang penting akan dalam menangani kasus-
kasus ini kita sedi1< harus menyadari bahwa musuh- must

ma musuh kita (yang secara resmi tidak :un kita ketahui), bukan tidak mungkin J ni
sekarang sedang melaksanakan stra- wa teginya Sun Tzu yaitu melaksanakan {u-
perang tidak di medan pertempuran, )a- tetapi dilaksanakan di waktu damai :ga yang
mendahuluinya dan sasarannya al, dicapai bukanlah dengan memakai itu
kekerasan/kekejaman militer, tetapi an dengan merusak “legitimacy” I :e- kekuasaan
pemerintah kita, dengan .r-1 menggunakan “kekuatan tidak an’langsung dan luar
biasa” yang n- menyeba.bkan pemerintah kita ber- n- tentangan dengan rakyat kita
sendiri. p- Seperti telah ditulis diatas bahwa “Le- a- gitimacy” Ikekuasaan ini adalah
~ukonsep kunci penyelidikan musuh !l-i terhadap fikiran dan jantung hati kita, a-1
sedang kelompok rakyat kita adalah tul kunci yang lain. Persiapan-persiapan l_i yang
efektif musuh-musuh kita di waktu damai seperti sekarang ini, sesuai pendapat Sun
Tzu harus dapat melemahkan kita pada sisi yang lain. ;- Persiapan ini harus mampu
mem- Ii bentuk pendapat umum yang mampu s menolak anggaran belanja yang di- h
perlukan untuk menyiapkan sarana- .-sarana pertempuran kita, dan merusak a i
kemauan dan kemampuan kita untuk a bertempur. Bila rakyat kita tidak lebih -! lama
lagi dalam keadaan harmonis -idengan pemimpin-pemimpin kita, ~ ! akan ada satu
keny~taan bahwa arnat 1 sedikit keperluan konfrontasi rniliter -! musuh kita untuk
mengatasi kepe-

mimpinan para pemimpin kita, dan tahu-tahu negara kita akan bernasib seperti
Sovyet dan Yugoslavia. Him- bauan penulis marilah kita sadari, dalam menangani
kasus-kasus yang ada jangan sampai menimbulkan disharmoni antara pemimpin
dengan pemimpin kita dan antara rakyat dengan rakyat kita dan antara pemim- pin
dengan rakyat kita dan antara tentara dengan rakyat kita.

Sementara itu untuk melengkapi naskah ini, penulis kutipkan karya bapak
Soebijakto Kepala Eksekutif Lembaga Pengkajian Strategis Indo- nesia (LPSI) yang
menurut hemat p.enulis ada pentingnya untuk me- lengkapi naskah ini. Thlisan beliau
ini dimuat dalam koran Media Indonesia Selasa 5 Juli 1994. Dengan judul ABRI
dalam GEOPOLITIK dan GEOSTRATEGI beliau menulis antara lain :
KONSEP HANKAM DALAM TELAAH HISTORIS
Pertahanan dan keamanan satu aspek konsep nasional yang sekarang
diberi nama Ketahanan Nasional, sangat menentukan mampu tidaknya
Indonesia mencapai kemerdekaan penuh atau tidak sejak kelahirannya.
Masalah-masalah poitik karenanya menjadi masalah kedua bagi bangsa
Indonesia setelah Proklamasi Kemer dekaan diumumkan. Sejarah
membuktikan bahwa politikus-politikus muda Indonesia yang memprioritaskan
pertahanan ini adalah benar, menentang pendapat po1itikus-po1itikus senior
yang memprioritaskan diplo- masi. Konsep perang yang dilaksanakan dengan
prioritas diplomasi ini, seperti halnya perang reguler, batas dan wewenang
masalah perang dan politik masih dapat dilihat secara terang dan di dalam
konsep perta- hanan konvensional melawan pasukan-pasukan Inggris yang
kemudian melawan pasukan Belanda, temyata konsep tersebut sangat
kurang berarti.

Setelah kekalahan beruntun, pe merintah pusat di Jogyakarta meng-


anggap perlu untuk merumuskan srategi yang lain yang sanggup
mengadakan perlawanan dalam waktu yang lama sehingga akhimya musuh
tidak sanggup menanggung korban dan biaya yang timbul, termasuk juga
tekanan-tekanan internasional. Akhimya Pemerintah Pusat melalui Markas
Besar Tentara mengeluarkan perintah “Siasat I” dimana kekuatan rakyat dan
tentara perlu disatukan yang konsepnya berupa perang rakyat se~esta
dengan intinya TNI bersenjata. Dengan dikombinasi- kannya konsep perang
dan diplomasi intemasional yang aktif oleh diplomat-diplomat muda Indonesia,
akhir nya Belanda terpaksa menyerah kepada kemauan bangsa Indonesi!
gota yaitu penyerahan kedaulatan. Dengan konsep perang rakyat yang
konsepnya berlarut, tidak akan ada negara agresor satupun yang akan
mampu berperang lama. Negara negara Barat yang kaya menamakan
perang seperti ini sebagai poor man war; karena sifatnya yang tidak
membutuhkan dukungan industri yang kuat. Dibarengi kemampuan diplomasi
politik internasional yang dalam perencanaan dan pelaksanaannya maka
strategi seperti ini menjadikan Indonesia tak tertaklukkan. Persiapan bagi
strategi segera mengharuskan setiap angkatan perang aktif di setiap aspek
kehidupan termasuk politik, agar mampu membuat daerah-daerah penting di
Indonesia menjadi ruang dan alat Juang yang tangguh. Sifat perang rakyat
sepertI membutuhkan perslapan yang terus menerus, dImana
pelaksanaannya memaksa Angkatan Perang aktif juga di dalam bidang politik
secara terus menerus pula sebagai persiapan mobilisasi nanti.

Sumber konsep perang seperti ni, mula-mula berasal dari negara


negara satu partai atau negara-negara berkekuasaan tunggal. Bagi negara
negara seperti ini, masalah politik atau tentangan politik terhadap anggota
Angkatan Perang yang aktif dalam bidang politik tidak ada, karena hampir
semua perwira adalah anggota Partai tunggal yang berkuasa.

Di Indonesia Angkatan Perang tidaklah dibentuk oleh Partai maupun


Pemerintah, tetapi dibentuk oleh rakyat sendiri. lnilah sebabnya, kalau agak
terlambat penyesuaian-penyesuaiannya terhadap dinamika Konsep
Ketahanan Nasional, akan menjadi la masalah yang kemudian dapat di
angkat menjadi masalah Nasional la. yang bersifat dikotomis oleh orang-
morang atau kelompok-kelompok atau k kekuatan-kekuatan politik yang
Imerasa dirugikan. Mobilisasi dalam pertahanan rakyat semesta berarti
memotivasi rakyat dan persiapan pembentukan pemerintahan dalam perang
kalau terpaksa.

Semua ini meropakan kegiatan politik yang pelaksanaannya haros


berada di atas semua golongan, dan ini semua meropakan suatu wewenang
po1itik luas yang perlu dipunyai Angkatan Perang. Tetapi, sekali lagi tidak
boleh dilupakan bahwa pelaksaannya haros sesuai dengan dinamika konsep
resmi negara yang sekarang dinamakan konsep nasional Ketahanan Nasional
itu.

ANTISIPASI KE DEPAN

Didalam perkembangan globalisasi sekarang, kedudukan geografi Indonesia tidak


berubah. Kedudukan sebagai penguasa perempatan jalan dunia masih bersifat
sangat penting, meskipun sumber-sumber perang dingin telah berubah apalagi kalau
dilihat kedepan, maka bisa diharap- kan jika Rusia telah selesai berbenah diri maka
ia akan menjadi super power lagi, melihat potensi-potensi manusia maupun
kekayaan alam yang ia miliki. Pandangan geopolitik Arnerika Serikat terhadap Asia
Timur juga belum berubah, yaitu Asia Timur tidak boleh didominasi oleh satu
kekuatan karena dapat dipastikan akan menjadi ancaman bagi kepen- tingan-
kepentingan Arnerika Serikat di Pasifik yaitu daerah yang ekono- minya terbesar di
dunia bagi super power ini. Pandangan satu-satunya super power yang kini dikuasai
Partai Demokrat, tetapi bertitik pangkal pada penertiban dan konsolidasi di dalam
negeri.

Sebagai platform kampanye demokrat yang akan datang, tercapainya hak asasi
manusia,naiknya kemampuan sumber daya manusia untuk mengurangi
pengangguran, peningkatan kesehatan, demokrasi dan ekonomi pasar di dunia akan
tetap di- pertahankan. Meskipun kadang-ka dang tujuan ini dikalahkan oleh pan-
dangan geopolitik, seperti untuk se mentara mempertahankan MFN (Most Favoured
Nation) status bagi RRC.

Asia Tenggara yang sangat penting bagi kekuatan-kekuatan besar di Asia seperti
Jepang dan China, se perti dikatakan diatas sementara re- gion ini belum
maju, tetap kurang penting bagi kepentingan Amerika Serikat selama kedua
kekuatan besar Asia ini dapat dikendalikan olehnya. Tekanan-tekanan di
bidang politik dan ekonomi untuk mempengaruhi tidak perlu besar, kecil saja
sudah terasa bagi Indonesia, sebab Indonesia tidak mempunyai le;verage
apapun untuk memba1asnya Akhirnya di da- 1am masalah pertahanan dan
keaman- an Asia Tenggara harus sela1u mam- pu berdiri sendiri, tanpa terlalu
banyak mengharapkan campur tangan super power.
Untuk ini tidak ada jalan lain bagi kita kecuali tetap mempertahan- kan konsep
Hankamrata sebagai faktor deUerent, sedangkan terbentuk- nya konsep pertahanan
modern dengan persenjataan yang canggih sebagai faktor detterent masih jauh dari
jangkauan bangsa, karena ekonominya sebagai faktor pendu- kung yang masih jauh
terbelakang. Meskipun sistem politik kita dari pandangan demokrasi dunia Barat
dianggap kurang relevan dalam rangka proses demokratisasi Bangsa, terpaksalah
sistem yang membenarkan Angkatan Perang berpolitik tetap kita terima, demi tetap
pentingnya dan perlunya konsep Hankamrata itu bagi eksistensi bangsa dan negara.
Di dalam konteks region masalah pertahanan dan keamanan yang mandiri tetap
menjadi perhatiar 1utama, karenanya waktu anggota. anggota ASEAN secara
bersama merumuskan konsep Ketahanan re. gional pada awal 1989, masalah ini
telah dibahas secara mendalam Dengan begitu ancaman maupul sumber-sumber
instabilitas Asil Tenggara dapat secara bersama-saml ditangani sehingga dapat
meringan kan biaya.

Anda mungkin juga menyukai