Anda di halaman 1dari 83

EFISIENSI SEDIAAN MINYAK INTI SAWIT SEBAGAI

BAHAN BAKU DALAM MENINGKATKAN KINERJA


RANTAI PASOK PT XYZ

FIKA HARINI SINAGA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Efisiensi Sediaan Minyak
Inti Sawit sebagai Bahan Baku dalam Meningkatkan Kinerja Rantai Pasok PT XYZ
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2017

Fika Harini Sinaga


NIM H351150151
RINGKASAN

FIKA HARINI SINAGA Efisiensi Sediaan Minyak Inti Sawit sebagai Bahan Baku
dalam Meningkatkan Kinerja Rantai Pasok PT XYZ. Dibimbing oleh RITA
NURMALINA dan AMZUL RIFIN.

Sektor industri kimia dasar memiliki prospek yang cerah namun kontribusi
terhadap nilai ekspor nasional masih rendah khususnya pada industri oleokimia,
sehingga membuat pemerintah memberlakukan beberapa kebijakan dan upaya di
level pelaksana. Peningkatan kapasitas produksi dan stimulasi pertumbuhan bisnis
baru merupakan upaya yang dilakukan pada industri ini. Ketersediaan bahan baku
yang melimpah memunculkan peluang untuk merealisasikan peningkatan ekspor
produk olahan di sektor industri olekimia.
PT XYZ merupakan salah satu perusahaan yang bergerak di industri
oleokimia yang telah menerapkan manajemen rantai pasok dan melakukan
peningkatan kapasitas produksi. Munculnya perusahaan baru menyebabkan
terjadinya persaingan antar perusahaan dalam memberikan pelayanan terbaik
kepada pelanggan, sehingga perlu melihat efisiensi sediaan minyak inti sawit
sebagai bahan baku dan kinerja rantai pasok pada PT XYZ yang menjadi subjek
tujuan penelitian ini. Metode yang digunakan untuk mengukur efisiensi sediaan
minyak inti sawit sebagai bahan baku adalah Economic Order Quantity (EOQ),
sedangkan metode yang digunakan untuk mengukur kinerja rantai pasok adalah
Supply Chain Operation Reference (SCOR). Penelitian ini dibatasi pada bahan
baku PKO dari pemasok dan produk lauric acid 99 persen dan myristic acid 99
persen yang diproduksi oleh PT XYZ.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode sediaan bahan baku dengan
menggunakan metode EOQ dapat menghemat 2 865.1 USD atau 0.003 persen
dibandingkan dengan metode perusahaan. Bila dilihat dari jumlah pemesanan
dengan menggunakan metode EOQ dalam setahun sebanyak 436 kali tidak dapat
dilakukan oleh PT XYZ. Perusahaan melakukan pemesanan sebanyak 44 kali
selama setahun, namun pengiriman bahan baku disesuaikan dengan kebutuhan
produksi harian. Hal ini disebabkan oleh hubungan antara pemasok dan PT XYZ
yang berada dalam satu grup, sehingga kegiatan dari hulu hingga hilir terintegrasi
dengan baik. Aliran rantai pasok PT XYZ melibatkan pemasok, perusahaan (PT
XYZ), dan langsung ke pelanggan. Kinerja rantai pasok PT XYZ dapat dikatakan
belum optimal karena nilai matrik Perfect Order Fullfilment (POF) sebesar 88.36
persen lebih rendah dibandingkan dengan target perusahaan. Sedangkan matrik
Order Fullfilment Cycle Time (OFCT) selama 44 hari dan Cash to Cash Cycle Time
(CTCCT) selama 51 hari sesuai dengan target. Pada level 2, PT XYZ melakukan
seluruh kegiatan pada proses planning (P1-P5), executing (S2, M1, M2, M3, D2,
D3, dan DR1) dan enabling. Pada pemetaan level 2 diperoleh hasil bahwa proses
deliver memiliki kinerja paling rendah dibandingkan sources dan make.
Selanjutnya dilihat level 3 guna memaparkan lebih detil lagi proses deliver yang
merupakan kinerja paling rendah.

Kata kunci: EOQ, kinerja rantai pasok, minyak inti sawit, SCOR, sediaan.
SUMMARY

FIKA HARINI SINAGA. Effeciency of Palm Kernel Oil Inventory as Raw


Material to Improve The Supply Performance at PT XYZ. Supervised by RITA
NURMALINA and AMZUL RIFIN.

The basic chemical industry sector has a bright prospect, but its contribution
to the value of national exports is still low, especially in the oleochemical industry,
which causing the government to impose some policies and efforts at the practical
level. The increase production capacity and stimulation of new business growth is
an effort that performed in this industry. Abundant material products create an
opportunity to realize the improvement of processed products in the oleochemical
industry sector.
PT XYZ is one of the companies engaged in the oleochemical industry that
has implemented supply chain management and increased production capacity. The
emergence of new companies led to competition among companies in providing
excellent service to customers, so it is necessary to see the efficiency of palm kernel
oil as raw materials and supply chain performance at PT XYZ which became the
subject of this research. The method that employed to measure the efficiency of
palm kernel oil as a raw material is Economic Quantity Order (EOQ). The method
employed to measure supply chain performance is Supply Chain Operation
Reference (SCOR). This research was confined to raw material PKO of 99 percent
lauric acid and lauric acid product and 99 percent myristic acid owned by PT XYZ.
The results showed that using the EOQ method can save 2 865.1 USD or
0.003 percent compared with the recent method. But examined from the number of
reservations using the EOQ method in the season (which is 436 times), it cannot be
performed by PT XYZ. The company made 44 reservations during the season, but
the delivery of raw materials tailored to daily production needs. This was due to the
relationship between suppliers and PT XYZ that are in one group so that the
activities from upstream to downstream were well integrated. The supply chain of
PT XYZ involves suppliers, companies (PT XYZ), and then directly to customers.
The supply chain performance of PT XYZ was not optimal because the value
Perfect Order Fulfillment (POF) matrix was 88.36 percent, which lower than the
target of the company. Full Order Time Cycle Time (OFCT) Matrix for 44 days and
Cash to Cash Cycle Time (CTCCT) for 51 days was fulfilled the target. At level 2,
PT XYZ performs all activities in the process of planning (P1-P5), executing (S2,
M1, M2, M3, D2, D3, and DR1) and enabling. Mapping at the level 2 resulting
deliver became the lowest performance compared to Source and Make.
Furthermore, level 3 was examined to describe in more detail about the delivery
process which showed was the lowest performance.

Keywords: EOQ, inventory, palm kernel oil, SCOR, supply chain performance.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
EFISIENSI SEDIAAN MINYAK INTI SAWIT SEBAGAI
BAHAN BAKU DALAM MENINGKATKAN KINERJA
RANTAI PASOK PT XYZ

FIKA HARINI SINAGA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Harianto, MS
Judu1 Tesis : Efisiensi Sediaan Minyak Inti Sawit sebagai Bahan Baku dalam
Meningkatkan Kinerja Rantai Pasok PT XYZ
Nama : Fika Harini Sinaga
NIM : H351150151

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing


Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS Dr Amzul Rifin, SP MA
Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi


Agribisnis

Prof Dr Ir Rita Nurrnalina, MS

Tanggal Ujian: 21 Agustus 2017 Tanggal Lulus: 1 0 OCT 2017


PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang berjudul
Efisiensi Sediaan Minyak Inti Sawit sebagai Bahan Baku dalam Meningkatkan
Kinerja Rantai Pasok PT XYZ dilaksanakan pada Bulan Desember 2016 hingga
Bulan Maret 2017 di PT XYZ, Sumatera Utara. Penulis menyadari bahwa penulisan
karya ilmiah melibatkan bantuan, doa, dan dukungan dari banyak pihak. Oleh
karena itu, ucapkan terima kasih kepada:
1. Orang tua yang telah memberikan dukungan materi, moril, dan doa yang tidak
pernah putus sehingga penulis berada pada tahap ini.
2. Ibu Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku ketua komisi pembimbing (Ketua
Program Studi Magister Sains Agribisnis) dan Bapak Dr Amzul Rifin, SP MA
selaku anggota komisi pembimbing atas kesabaran memberikan dukungan,
arahan, dan masukan baik berupa ilmu pengetahuan serta waktu hingga penulis
dapat menyelesaikan karya ilmiah ini.
3. Bapak Dr Suharno, M.Adev selaku Sekretaris Program Studi Magister Sains
Agribisnis dan penguji perwakilan program studi pada ujian tesis. Terima kasih
atas saran yang telah diberikan kepada penulis untuk penyempurnaan tesis ini.
4. Ibu Dr Ir Ratna Winandi Asmarantaka, MS selaku dosen evaluator pada
kolokium. Terima kasih atas saran yang telah diberikan kepada penulis untuk
penyempurnaan tesis ini.
5. Bapak Dr Harianto, MS selaku dosen penguji utama pada ujian tesis. Terima
kasih atas saran yang telah diberikan kepada penulis untuk penyempurnaan
tesis ini.
6. Seluruh Staff program studi Magister Sains Agribisnis.
7. Seluruh rekan-rekan Magister Sains Agribisnis angkatan VI.
8. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan dapat menjadi bahan masukan
maupun referensi bagi penelitian selanjutnya.

Bogor, Oktober 2017

Fika Harini Sinaga


H351150151
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 4
Tujuan Penelitian 5
Manfaat Penelitian 6
Ruang Lingkup Penelitian 6
2 TINJAUAN PUSTAKA 6
Pengendalian Persediaan Bahan Baku 6
Kinerja Rantai Pasok 7
3 KERANGKA PEMIKIRAN 8
Kerangka Teoritis 8
Kerangka Pemikiran Operasional 21
4 METODE PENELITIAN 22
Lokasi dan Waktu Penelitian 22
Jenis dan Sumber Data 23
Metode Analisis 23
5 KEADAAN UMUM PERUSAHAAN 34
Model Rantai Pasok PT XYZ 34
6 HASIL DAN PEMBAHASAN 37
Pengendalian Persediaan Bahan Baku 37
Kinerja Rantai Pasok 43
7 SIMPULAN DAN SARAN 60
Simpulan 60
Saran 61
DAFTAR PUSTAKA 61
LAMPIRAN 65
RIWAYAT HIDUP 69
DAFTAR TABEL

1 PDB menurut lapangan usaha, tahun 2011-2015 dalam juta Rupiah 1


2 Pertumbuhan industri pengolahan non-migas menurut cabang-
cabang industri tahun dasar 2010 dalam juta USD 2
3 Perusahaan yang bergerak pada industri oleokimia 3
4 Pemesanan dan pemakaian minyak inti sawit (PKO) sebagai bahan
baku di PT XYZ, Januari-Desember 2016 5
5 Matriks kinerja dan atribut kinerja 29
6 Jumlah tenaga kerja PT XYZ, 2016 36
7 Jam kerja tenaga kerja non-shift (reguler) 36
8 Jam kerja tenaga kerja shift 37
9 Total biaya bahan baku, sesuai dari tingkat penerimaan tahun 2016 39
10 Pemesanan dan pemakaian minyak inti sawit (PKO) sebagai bahan
baku di PT XYZ, Januari-Desember 2016 40
11 Rincian biaya pemesanan bahan baku 40
12 Rincian biaya penyimpanan bahan baku per hari 41
13 Perhitungan jumlah pesanan minyak inti sawit (PKO) optimal
metode EOQ 42
14 Perbandingan total biaya sediaan perusahaan dengan metode EOQ
PT XYZ, 2016 42
15 Penjualan lauric acid 99 persen dan myristic acid 99 persen tahun
2015-2016 46
16 Ruang lingkup unsur-unsur proses SCOR 48
17 Persentase kinerja pengiriman produk lauric acid 99 persen dan
myristic acid 99 persen, tahun 2016 49
18 Total stok produk lauric acid 99 persen dan myristic acid 99 persen,
2016 50
19 Metrik SCOR level 1, tahun 2016 52
20 Nilai POF dan OFCT pada proses source, make, dan deliver 59

DAFTAR GAMBAR

1 The EOQ cost model 10


2 Perbandingan tingkat sediaan dengan waktu 11
3 Bagan rantai pasok untuk produk barang 12
4 Kerangka Pemikiran Operasional 22
5 Tahapan Pemetaan SCOR 27
6 SCOR Model 28
7 Model pemetaan level 1 rantai pasok dengan SCOR 31
8 Pemetaan level 4 33
9 Model rantai pasok PT XYZ 35
10 The EOQ cost model 42
11 Proses produksi lauric acid 99 persen dan myristic acid 99 persen 45
12 Grafik produksi dan penjualan lauric acid 99 persen tahun 2016
(dalam ton) 45
13 Grafik produksi dan penjualan myristic acid 99 persen tahun 2016
(dalam ton) 46
14 Pemetaan level 2 54

DAFTAR GAMBAR

1 Struktur organisasi PT XYZ 67


2 Pemesanan dan pemakaian PKO sebagai bahan baku di PT XYZ,
Januari-Desember 68
3 Perhitungan metode EOQ menggunakan POM-QM 68
4 Perhitungan metode EOQ secara manual 68
5 Pemetaan level 3 69
1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Prospek sektor industri saat ini semakin cerah. Sektor industri memiliki
peran strategis dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi Nasional. Salah satu
kegiatan yang dilakukan pada sektor industri adalah kegiatan pengolahan, baik
pengolahan produk menjadi produk setengah jadi (semi finish product) maupun
produk jadi (finish product). Dengan adanya pengolahan produk menjadi berbagai
produk turunan, dapat memberikan nilai tambah pada suatu produk, terlebih untuk
produk pertanian. Nilai tambah yang semakin besar atas produk pertanian tentunya
dapat berperan bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) (2016), nilai Pendapatan
Domestik Bruto (PDB) berdasarkan lapangan usaha sektor pertanian mengalami
peningkatan dari tahun 2011-2015. Dari lima lapangan usaha pada sektor pertanian,
lapangan usaha tanaman perkebunan memberikan sumbangan terbesar terhadap
nilai PDB (Tabel 1), yaitu 30 persen hingga 40 persen dari total PDB menurut
lapangan usaha pada tahun 2011 sampai 2015.

Tabel 1 PDB menurut lapangan usaha, tahun 2011-2015 dalam juta Rupiah
PDB Lapangan Usaha 2011 2012 2013 2014 2015
Tanaman pangan 270 977.4 305 670.5 332 111.9 343 252.3 393 371.7
Tanaman hortikultura 125 286.1 125 107.9 137 368.8 160 568.6 175 164.5
Tanaman perkebunan 303 402.9 323 361.6 358 172.4 398 260.7 411 863.4
Peternakan 117 256.6 130 614.2 147 981.9 167 008.0 183 444.1
Jasa pertanian dan 15 590.6 17 371.7 19 143.4 20 460.1 22 676.9
perburuan
Total 832 513.6 902 125.9 994 778.4 1 089 549.7 1 186 520.6
Sumber: BPS (2016)

Tanaman perkebunan Indonesia yang saat ini menjadi prioritas adalah


kelapa sawit. Selain itu, kelapa sawit juga merupakan tanaman yang memiliki
kontribusi besar bagi perekonomian Nasional. Hal ini disebabkan oleh kondisi
negara yang mendukung pengembangan industri kelapa sawit. Berdasarkan data
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) (2016), nilai ekspor pengolahan industri
kelapa sawit pada tahun 2015 sebesar 20 746.10 juta USD atau setara dengan 19.45
persen dari total ekspor non-migas sebesar 93 750.30 juta USD atau sebesar 87.65
persen dari total ekspor Nasional (Tabel 2). Besarnya kontribusi tersebut
menjadikan produk industri kelapa sawit sebagai penyumbang ekspor terbesar bagi
Indonesia dari sektor non-migas.
Produk yang dihasilkan dari tanaman kelapa sawit adalah minyak kelapa
sawit (crude palm oil (CPO)) dan minyak inti sawit (palm kernel oil (PKO)). CPO
merupakan hasil dari pengolahan buah kelapa sawit berupa minyak nabati yang
dihasilkan dari buah kelapa sawit yang berwarna kuning, sedangkan PKO tidak
berwarna (jernih). Nilai ekspor pengolahan yang tinggi dipengaruhi oleh
ketersediaan bahan baku yang juga tinggi. Berdasarkan data Direktorat Jendral
Perkebunan (Ditjenbun) (2015), total produksi minyak sawit atau crude palm oil
(CPO) Nasional pada 2015 sebesar 31.28 juta ton, sedangkan total produksi minyak
2

inti sawit atau palm kernel oil (PKO) sebesar 6.25 juta ton. Angka tersebut
menggambarkan ketersediaan bahan baku yang cukup melimpah, sehingga
diharapkan kegiatan industri hilir tidak akan mengalami hambatan, khususnya pada
masalah bahan baku. Namun terdapat beberapa masalah yang saat ini dihadapi,
antara lain terkait dengan infrastruktur, termasuk akses jalan dan konektivitas
dengan pengangkutan, serta pertumbuhan industri hilir yang tidak selaras dengan
pertumbuhan industri hulu. Sampai saat ini, pemanfaatan CPO dan PKO pada
pengembangan industri hilir dianggap belum optimal. Hal tersebut dapat dilihat dari
kontribusi industri kimia dasar terhadap nilai ekspor 2015 yang masih rendah, yakni
4 150.70 juta USD atau hanya 3.89 persen dari total nilai ekspor Nasional
(Kemenperin 2016). Jika industri hilir hasil olahan seperti surfactant, farmasi,
kosmetik, toiletries dan produk kimia dasar organik dikembangkan, akan
meningkatkan nilai tambah dan dapat meningkatkan kontribusi terhadap nilai
ekspor Nasional.

Tabel 2 Pertumbuhan industri pengolahan non-migas menurut cabang-cabang


industri tahun dasar 2010 dalam juta USD
% % Peran
No Kelompok komoditas 2013 2014 2015
Perubahan 2015
1 Pengolahan 20 660.40 23 711.60 20 746.10 - 12.51 19.45
kelapa/kelapa sawit
2 Besi-baja, mesin-mesin 14 684.40 15 813.50 14 443.20 - 8.67 13.54
dan otomotif
3 Tekstil 12 661.70 12 720.30 12 262.60 - 3.60 11.50
4 Elektronika 8 520.10 8 066.90 6 903.70 - 14.42 6.47
5 Pengolahan karet 9 724.10 7 497.50 6 171.40 - 17.69 5.79
6 Kimia dasar 5 083.50 5 703.40 4 150.70 - 27.22 3.89
7 Makanan dan minuman 5 379.80 5 554.40 5 597.00 0.77 5.25
8 Pulp dan kertas 5 644.00 5 498.60 5 332.60 - 3.02 5.00
9 Pengolahan kayu 4 727.70 5 202.30 5 186.60 - 0.30 4.86
10 Pengolahan tembaga, 4 843.50 4 886.40 3 619.30 - 25.93 3.39
timah, dll
11 Kulit, barang kulit dan 3 933.10 4 090.30 4 615.40 12.84 4.33
sepatu/ alas kaki
12 Pengolahan emas, 2 031.20 3 671.80 4 721.70 28.60 4.43
perak, logam mulia,
perhiasan, dll
12 besar hasil industri 97 893.50 102 417.00 93 750.30 - 8.46 87.92
Industri lainnya 15 136.40 14 913.00 12 886.50 - 13.59 12.08
Industri pengolahan 113 029.90 117 330.00 106 636.80 - 9.11 100.00
Sumber: Kemenperin (2016)

Dalam mendukung terealisasinya pengembangan di sektor hilir, pemerintah


terus mengupayakan penguatan industri di dalam negeri melalui berbagai kebijakan.
Salah satu kebijakan yang diterapkan adalah pemberian insentif fiskal kepada
industri hilir di sektor industri agro di dalam negeri yang berlaku mulai tahun 2010
khususnya pada industri kelapa sawit, kakao, dan karet (Media Industri 2011).
Industri kelapa sawit dapat dikategorikan menjadi industri hulu, antara, dan
hilir. Industri oleokimia merupakan industri antara yang berbasis minyak kelapa
sawit (CPO) dan minyak inti sawit (PKO). Kelompok industri yang termasuk dalam
3

industri antara kelapa sawit adalah oleokimia dasar, yaitu fatty acid, fatty alcohol,
fatty amines, methyl esther, glycerol. Produk tersebut digunakan sebagai bahan
baku industri farmasi, toiletres dan kosmetik. Sebaran perusahaan oleokimia di
Indonesia terdapat di Provinsi Sumatera Utara, Riau, Jawa Barat dan Jawa Timur.
Tim Advokasi Minyak Sawit Indonesia (2010) memaparkan terdapat sembilan
perusahaan yang bergerak pada industri oleokimia di Indonesia, hal ini juga
didukung oleh data yang tertera pada Kemenperin (2014). Nama sembilan
perusahaan yang bergerak pada industri oleokimia di Indonesia tertera pada Tabel
3.

Tabel 3 Perusahaan yang bergerak pada industri oleokimia di Indonesia


Nama Perusahaan Kapasitas (Ton/ Tahun)
PT Musim Mas 450 000
PT Ecogreen 419 000
PT Nubika Jaya 150 000
PT Wilmar Nabati Indonesia 132 000
PT Domba Mas 104 000
PT Sumi Asih 101 000
PT Cisadane Raya 100 000
PT Soci Mas 88 000
PT Flora Sawita 55 100
Sumber: Kemenperin (2014)

Banyaknya perusahaan yang bergerak di sektor oleokimia memberikan


dampak bagi ekspor Nasional. Namun hal tersebut menunjukkan bahwa memakin
banyak usaha yang berkembang, maka semakin banyak pesaing yang harus
dihadapi. Perusahaan harus dapat mengetahui kemampuan internal agar dapat
memberikan kebutuhan pasar. Setiap perusahaan dituntut untuk melakukan
manajemen yang baik pada internal maupun eksternal perusahaan serta pengelolaan
atau perbaikan secara kontinyu pada bisnis prosesnya agar dapat diterima oleh pasar
serta dapat bersaing agar dapat mempertahankan keberlangsungan bisnis
perusahaan.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh perusahaan dalam menghadapi
persaingan tersebut yaitu dengan peningkatan kinerja manajemen rantai pasok.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh perusahaan untuk meningkatkan kinerja
rantai pasok adalah dengan mengefisiensikan sediaan bahan baku. Sediaan bahan
baku yang cukup akan menjamin keberlangsungan kegiatan produksi, selain itu
juga akan berpengaruh pada kegiatan distribusi dan pemasaran produk. Oleh karena
itu perlu dilakukan analisa pengukuran tentang kuantitas bahan baku yang optimum
bagi perusahaan agar dapat menghasilkan biaya yang efisien. Pengeluaran
perusahaan dipengaruhi oleh biaya bahan baku. Jumlah persediaan bahan baku yang
berlebih akan meningkatkan pengeluaran perusahaan, namun bila kekurangan
jumlah persediaan bahan baku akan menghambat proses produksi. Hal tersebut
akan mempengaruhi kinerja pemasaran dan pendistribusian, hingga mengakibatkan
beralihnya pelanggan ke perusahaan lain sehingga berdampak pada keuntungan dan
keberlangsungan perusahaan.
4

Perumusan Masalah

Industri oleokimia merupakan industri turunan pengolahan kelapa sawit


yang mampu menaikkan nilai tambah dari hasil produksi yang dihasilkan. Peluang
tersebut menginisiasi pendirian perusahaan PT XYZ. PT XYZ merupakan anak
perusahaan salah satu perusahaan consumer terbesar di Indonesia yang berbasis
kelapa sawit dan terintegrasi.
Secara umum, ada dua bentuk produk oleokimia yang diproduksi PT XYZ,
yaitu berupa padatan (khususnya untuk kelompok produk fatty acid) dan cairan
(khususnya untuk kelompok gliserin). Produk padatan terbagi dalam dua bentuk,
yaitu dalam bentuk serpihan (flake) dan dalam bentuk butiran (bead). Produk
oleokimia yang dihasilkan PT XYZ di pasarkan baik di dalam maupun luar negeri.
Sekitar 90 persen produk diekspor antara lain ke negara Jepang, Korea, Taiwan,
Amerika Serikat, Eropa, Timur Tengah dan beberapa negara lain. Sisanya, sebesar
10 persen dijual kepada perusahaan lokal atau dalam negeri.
Dari kedua produk tersebut, produksi terbesar yang dihasilkan oleh
perusahaan adalah fatty acid, dengan kapasitas tersedia sebesar 220 000 ton per
tahun atau sebesar 88.00 persen dari total kapasitas produksi perusahaan yaitu 250
000 ton. Bahan baku yang digunakan untuk menghasilkan fatty acid adalah PKO
yaitu minyak pengolahan dari inti sawit. Peningkatan kapasitas produksi
perusahaan merupakan jawaban peningkatan permintaan produk oleokimia di pasar.
Selain itu, hal ini dilakukan guna meningkatkan penyerapan bahan baku yang
banyak tersedia agar dapat dimanfaatkan dan diperoleh nilai tambah yang tinggi.
Perkembangan perusahaan tersebut di atas tidak terlepas dari bangkitnya
industri hilir kelapa sawit Nasional. Melalui kebijakan yang diterbitkan oleh
pemerintah diharapkan dapat mendorong pertumbuhan industri hilir kelapa sawit.
Kebijakan tersebut antara lain, pemerintah melakukan revisi terhadap kebijakan
Bea keluar komoditas sawit yang lebih mendukung perkembangan industri hilirnya,
dan sebaliknya lebih tidak kondusif bagi kegiatan ekspor bahan mentah sawit.
Selain itu, pemerintah juga telah menerbitkan kebijakan insentif di bidang
perpajakan untuk mendorong masuknya investasi di sektor industri hilir kelapa
sawit seperti kebijakan tax holiday dan tax allowance. Dengan diterbitkannya
kebijakan pemerintah tersebut, saat ini banyak perusahaan yang melakukan
ekspansi bisnis baik yang berasal dari luar maupun dari perusahaan lokal yang telah
ada sebelumnya. Tentu dengan ekspansi tersebut maka akan dicapai peningkatan
kapasitas produksi, serta diversifikasi produk hilir. Diharapkan, dengan
meningkatnya ekspansi yang dilakukan oleh perusahaan maka akan berpengaruh
pada kinerja rantai pasok yang efisien.
Namun dengan bertambahnya kapasitas produksi, maka perusahaan juga
menambah kapasitas gudang penyimpanan, baik penyimpanan bahan baku maupun
penyimpanan produk. Salah satu yang mempengaruhi kinerja rantai pasok adalah
sediaan. Hal ini disebabkan karena sediaan bahan baku memegang peranan penting
dalam menghasilkan produk. Sediaan bahan baku yang tidak stabil dapat
menimbulkan masalah bagi produksi perusahaan. Oleh karena itu perusahaan harus
dapat menentukan jumlah sediaan bahan baku yang optimum dan efisien agar dapat
menjaga keberlangsungan proses produksi serta menjaga pengadaan sediaan
tersebut tidak berlebihan dan dapat meminimalisasi biaya penyimpanan yang akan
5

berpengaruh pada pengeluaran perusahaan dan lebih jauh pada profit yang diterima
oleh perusahaan.

Tabel 4 Pemesanan dan pemakaian minyak inti sawit (PKO) sebagai bahan baku
di PT XYZ, Januari-Desember 2016
Carry over Unloading Pemakaian Stok
Bulan Periode
(Ton) (Kg) (Kg) (Kg)
Januari 2 679 591 2 4 066 450 6 332 344 413 697
Februari 413 697 2 4 816 480 3 269 416 1 960 761
Maret 1 960 761 4 5 814 130 5 615 376 2 159 515
April 2 159 515 4 6 135 720 6 209 440 2 085 795
Mei 2 085 795 7 8 245 650 8 582 482 1 748 963
Juni 1 748 963 4 6 037 070 5 148 923 2 637 110
Juli 2 637 110 3 4 360 660 5 249 508 1 748 262
Agustus 1 748 262 3 6 804 230 6 585 729 1 966 763
September 1 966 763 4 4 956 290 4 912 002 2 011 051
Oktober 2 011 051 5 4 457 770 5 402 801 1 066 020
November 1 066 020 2 6 952 400 6 953 139 1 065 281
Desember 1 065 281 4 3 848 420 2 666 216 2 247 485
Total 21 542 809 44 66 495 270 66 927 376 21 110 703
Rata-rata 1 795 234.08 3.67 5 541 272.50 5 577 281.33 1 759 225.25
Sumber: PT XYZ 2017 (data diolah)

Berdasarkan data yang diperoleh, jumlah safety stock yang bahan baku rata-
rata 1 759 225,25 kg per bulan atau sekitar 10 hari kerja produksi bila melihat rata-
rata penggunaan PKO sebesar 5 577 281,33 kg per bulan.
Persediaan bahan baku yang rendah dapat mengganggu proses produksi dan
akan berdampak hingga ke pelanggan. Namun apabila persediaan terlalu tinggi
dapat mengakibatkan meningkatnya biaya penyimpanan yang dikeluarkan oleh
perusahaan. Maka perlu dilakukan analisis terhadap pengendalian bahan baku
perusahaan. Hal tersebut nantinya akan berdampat terhadap kinerja rantai pasok
perusahaan. Adapun pertanyaan penelitian terkait permasalahan yang terjadi
adalah:
1. Metode pengadaan bahan baku apakah yang lebih efisien bagi PT XYZ diantara
metode EOQ dan perusahaan?
2. Bagaimana kinerja manajemen rantai pasok PT XYZ?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dalam penelitian ini, maka tujuan penelitian


ini dapat dirinci sebagai berikut:
1. Menganalisis efisiensi pengadaan bahan baku di PT XYZ dengan menggunakan
metode EOQ dan perusahaan.
2. Menganalisis kinerja manajemen rantai pasok PT XYZ.
6

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perusahaan-perusahaan yang


berfokus pada perkembangan produk hilir. Mengetahui apakah metode yang
digunakan oleh perusahaan sudah efisien atau belum dan bagaimana kinerja rantai
pasok pada jenis perusahaan oleokimia. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat
dijadikan bahan referensi untuk penelitian lanjutan dan sebagai pertimbangan bagi
perusahaan.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian adalah batasan yang digunakan dalam penelitian


yang sedaang dilakukan. Berikut merupakan batasan-batsan dalam penelitian ini
antara lain:
a. Bahan baku yang diamati adalah minyak inti sawit (palm kernel oil (PKO));
untuk seterusnya, minyak inti sawit akan disebut PKO.
b. Data pemesanan, pemakaian serta sediaan bahan baku yang digunakan adalah
satu tahun, Januari-Desember 2016;
c. Analisis pengadaan bahan baku menggunakan metode EOQ dengan asumsi
harga bahan baku, jumlah pemesanan maupun jarak antar pesanan konstan;
d. Harga bahan baku yang digunakan adalah harga pasar dan merupakan harga
rata-rata PKO pada tahun 2016;
e. Rantai pasok yang dianalisis adalah rantai pasok PT XYZ;
f. Pengukuran kinerja manajemen rantai pasok menggunakan metode SCOR level
1 sampai level 3.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Pengendalian Persediaan Bahan Baku

Bahan baku merupakan bahan utama dari suatu produk atau barang
(Prawirosentoso 2001). Pengendalian persediaan bahan baku dapat dilakukan
dengan berbagai metode, salah satu metode yang digunakan adalah Economic
Order Quantity (EOQ). Metode tersebut digunakan untuk membandingkan
bagaimana pengendalian persediaan bahan baku yang diterapkan oleh perusahaan.
Beberapa penelitian yang dilakukan bertujuan melihat perbandingan metode
pengendalian persediaan bahan baku yang dilakukan oleh perusahaan dengan
beberapa metode yang sering digunakan.
Sutono dan Taufik (2005) menganalisis optimalisasi sediaan bahan baku
utama pada PT Colorindo Aneka Chemicals. Hasilnya dengan metode usulan POQ,
perusahaan dapat menghemat total biaya sediaan sebesar 9.80 persen dari total
biaya sediaan yang disediakan oleh perusahaan. Permana (2011) menganalisis
alternatif model pengadaan bahan baku yang dapat menurunkan total biaya sediaan
sebagai pendukung kinerja rantai pasok di PT Hadinata Brothers menggunakan
metode lot sizing. Terdapat empat teknik pengukuran, yaitu lot for lot (LFL), EOQ,
7

POQ, dan part period balancing (PPB). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
metode yang memberikan penghematan dalam total biaya sediaan adalah metode
lot sizing dengan service level sebesar 80 persen. Sedaangkan teknik POQ
menghasilkan total sediaan biaya terendah untuk bahan baku plywood dengan
jumlah penghematan sebesar 11.44 persen dan metode LFL mampu menghemat
sebesar 30 persen untuk bahan baku MDF.
Hasil penelitian Rohmah (2013) menyimpulkan bahwa metode EOQ
mampu meminimalkan biaya persediaan dengan penghematan biaya 28 persen dari
biaya persediaan perusahaan. Penelitian Fithri dan Sindikia (2014), Iswan (2015)
juga menunjukkan bahwa metode EOQ dan POQ lebih baik daripada metode aktual
yang diterapkan oleh perusahaan karena dapat menghemat total biaya sediaan. POQ
lebih baik digunakan karena menghasilkan periode waktu yang lebih sedikit dan
dapat menghemat total biaya persediaan perusahaan. Penelitian serupa dilakukan
oleh Nugraha (2015), menyatakan hasil perbandingan total biaya sediaan antara
metode yang digunakan oleh perusahaan dengan metode EOQ dan POQ
menunjukkan bahwa metode EOQ mengahasilkan total biaya sediaan terendah
untuk sediaan bahan baku four quarter (RQ85CL) serta metode POQ menghasilkan
total sediaan terendah untuk bahan baku mechanical debone meat (MDM).
Koeswara dan Suhada menunjukkan bahwa penelitian yang dilakukan pada
perencanaan kebutuhan material (MRP) dengan menggunakan teknik lot sizing
pada bahan baku Brispack J Varnish dengan metode Lot-For-Lot (LFL), EOQ, dan
POQ menyimpulkan bahwa teknik Lot Sizing Lot-For-Lot (LFL) dan POQ yang
menghasilkan biaya total persediaan yang terendah.

Kinerja Rantai Pasok

Rantai pasok dapat didefinisikan sebagai sistem penyaluran barang, baik


produk mentah (fresh product) ataupun barang yang telah diproduksi menjadi
barang setengah jadi (semi finish product) atau barang jadi (finish product), maupun
jasa dari produsen hingga ke pelanggan atau konsumen akhir. Rantai pasokan dapat
berkontribusi terhadap kinerja perusahaan. Kinerja perusahaan dipengaruhi oleh
seberapa baik kapasitas pengembangan pengetahuan dan upaya modal intelektual
serta strategi alternatif (Craighead et al. 2009). Tujuan rantai pasok adalah
pemenuhan kebutuhan konsumen akhir. Untuk dapat mengetahui apakah sebuah
rantai pasok berjalan dengan baik atau tidak, perlu dilakukan evaluasi hasil kerja
dari setiap anggota rantai pasok. Evaluasi yang dilakukan adalah pengukuran
kinerja. Baik atau buruknya kinerja dari sebuah rantai pasok ditentukan oleh seluruh
anggota rantai pasok. Hal ini disebabkan karena rantai pasok merupakan sebuah
sistem, sehingga adanya keterkaitan satu dengan yang lainnya.
Beberapa peneliti melakukan pengukuran kinerja rantai pasok dengan
menggunakan metode yang berbeda-beda. Beberapa peneliti menggunakan metode
Supply Chain Operation Reference (SCOR) dengan tingkatan level yang berbeda.
SCOR merupakan satu model acuan dari operasi rantai pasokan (Pujawan 2005).
Penelitian yang dilakukan oleh Bellerina (2009); Setiawan et al. (2010); Hanugrani
et al. (2013); Kersten dan Saeed (2014) menggunakan pehitungan kinerja pada level
1, lain halnya dengan penelitian Luthfiana dan Perdana (2012) dan Rouli (2008)
yang melalukan perhitungan kinerja pada level 1 hingga level 3.
8

Mutakin dan Hubeis (2011) mengukur kinerja rantai pasok di PT


Indocement Tunggal Perkasa Tbk. dengan melihat ketiga level. Pada level 1
dihasilkan matrik perfect order fulfillment dan cost of goods sold belum mencapai
target, sedangkan matrik lain telah melewati target. Selanjutnya pada level 2 proses
deliver memiliki kinerja paling rendah dan pada level 3 adalah pemaparan lebih
detil proses deliver yang dilakukan di perusahaan yang merupakan hasil pemetaan
pada level 2.
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan Sari (2015) yang mengukur
kinerja rantai pasok beras organik di Jawa Barat dari dimensi internal dan eksternal
yang merupakan atribut SCOR pada level 1. Penelitian tersebut membandingkan
kinerja rantai pasok beras organik pada tahun dilakukannya penelitian dan
dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada penelitian tersebut, integrasi rantai
pasok berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja rantai pasok.
Frohlich dan Westbrook (2001) menggunakan kategori market place
(lingkup pasar), productivity (produktivitas), dan non-productivity (non
produktivitas). Sedangkan Hausman (2002) mengukur kinerja rantai pasok melihat
dari service (pelayanan), assets (aset), dan speed (kecepatan).
Indikator lain yang dapat digunakan dalam mengukur kinerja rantai pasok
adalah indikator finansial dan non finansial (Bhagwat dan Sharma 2007; Thakkar
et al. 2009; Bigliardi dan Bottani 2010). Namun Schoenherr dan Swink (2011)
mengelompokkan indikator kinerja rantai pasok ke dalam empat dimensi
persaingan, yaitu dimensi quality (kualitas), delivery (pengiriman), flexibility
(fleksibilitas), dan cost (biaya). Indikator yang digunakan untuk mengukur kinerja
rantai pasok secara umum menggambarkan kinerja rantai pasok secara keseluruhan.

3 KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Teoritis

Manajemen Sediaan
Manajemen Sediaan
Persediaan merupakan salah satu aset yang penting dalam suatu perusahaan.
Hal tersebut berpengaruh pada pencapaian profit bagi perusahaan. Pada satu sisi,
manajemen perusahaan menghendaki biaya yang tertanam pada persediaan itu
minimum, namun di lain pihak manajemen juga harus menjaga agar persediaan
tidak habis dan mengganggu proses produksi yang berjalan. Setiap perusahaan
harus dapat mengatur kondisi perusahaan agar tetap berada pada kondisi seimbang
antara mempertahankan biaya minimum, namun persediaan tidak terganggu. Yang
dikategorikan sebagai persediaan adalah raw materials, work in process dan
finished goods. Setiap perusahaan memiliki jenis, perencanaan dan sistem
pengendalian peersediaan yang spesifik. Persoalan utama dalam pengelolaan
persediaan ini terkandung dalam dua pertanyaan utama, yaitu: berapa banyak harus
disediakan dan kapan penyediaan itu dilakukan.
Manajemen sediaaan menurut Indrajit dan Djokopranoto (2003) adalah
kegiatan yang berhubungan dengan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan
penentuan kebutuhan material sedemikian rupa sehingga di satu pihak kebutuhan
9

operasi dapat dipenuhi pada waktunya dan di lain pihak investasi persediaan
material dapat ditekan secara optimal. Khalid (2008) dalam penelitiannya
mengungkapkan bahwa manajemen sediaan dalam industri manufaktur perlu
mendapatkan perhatian dan kajian kritis untuk menghindari terhentinya proses
produksi dan meningkatkan kinerja operasi.
Handoko (2011) mengklasifikasikan biaya sediaan menjadi empat:
1. Biaya penyimpanan, biaya yang bervariasi langsung dengan kuantitas sediaan,
dimana biaya penyimpanan tersebut akan semakin besar jika rta-rata sediaan
semakin besar. Memiliki proporsi nilai 12 sampai 40 persen dari biaya produksi
serta memiliki proporsi nilai 25 persen dalam perusahaan manufaktur
2. Biaya pemesanan, biaya yang dibutuhkan setiap kali bahan dipesan
3. Biaya penyiapan, biaya yang terjadi apabila bahan-bahan tidak dibeli, tetapi
diproduksi sendiri dalam perusahaan sehingga perusahaan menghadapi biaya
penyiapan
4. Biaya kekurangan bahan, biaya yang terjadi akibat sediaan yang lebh kecil
dibandingkan dengan jumlah yang diperlukan sehingga menyebabkan
kebutuhan pelanggan tidak tersedia.

Analisis ABC
Pendekatan ABC merupakan suatu pendekatan yang seringkasi Analisis
ABC diperkenalkan oleh HF Dickie pada tahun 1950-an. Analisis ABC yang
digunakan di Amerika Serikat telah diterapkan dan menghasilkan yang memuaskan
oleh perusahaan-perusahaan di Jepang. Analisis ABC merupakan aplikasi
persediaan yang menggunakan prinsip pareto “the critical few and trivial many”,
dimana info tersebut bertujuan untuk memfokuskan pengendalian persediaan
kepada jenis persediaan yang bernilai tinggi dari pada yang bernilai rendah.
Pada analisis ini, jenis barang untuk persediaan harus diurutkan sesuai
dengan harga pada pembukuan. Ogawa (1986) mengklasifikasikan persediaan pada
analisis ABC ke dalam tiga kelas. Kriteria masing-masing kelas dalam analisis ABC
adalah sebagai berikut:
1. Kelas A.
Kelas A merupakan persediaan yang memiliki nilai sebesar 75 persen dari
total persediaan. Barang-barang yang termasuk dalam kelas A umumnya
mendapat pengawasan yang ketat dalam pemesanan, yang biasanya berdasarkan
pemesanan dengan kuantitas yang tetap (fixed quantity ordering) serta
dilakukan pengecekan fisik atas persediaan barang yang kritis tersebut.
2. Kelas B.
Kelas B merupakan persediaan yang memiliki nilai sebesar 15 persen dari
total persediaan. Dalam kelas ini diperlukan teknik pengendalian yang moderat.
3. Kelas C.
Kelas C merupakan persediaan yang memiliki nilai sebesar 10 persen dari
total persediaan. Dikelas ini diperlukan sistem ordering secara periodik.
Klasifikasi tersebut dilakukan untuk mengetahui, bahan baku mana yang
harus mendapat perhatian lebih intensif dan serius dibandingkan dengan jenis bahan
baku yang lain. Sehingga perusahaan dapat melakukan pengendalian persediaan
bahan baku. Hal ini dilakukan karena pertimbangan, apabila perusahaan melakukan
persediaan yang terlalu besar maka akan mengakibatkan peningkatan pada biaya
penyimpanan serta resiko kerusakan barang yang lebih besar. Sedangkan jika
10

persediaan terlalu sedikit, maka akan mengakibatkan kekurangan persediaan yang


akan berdampak pada terhambatnya proses produksi, tertundanya keuntungan, dan
bahkan mennimbulkan resiko hilangnya pelanggan.

Economic Order Quantity (EOQ)


Metode EOQ merupakan salah satu metode dalam manajemen persediaan
yang klasik dan sederhana. Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh Ford Harris
dari Westinghouse pada tahun 1915. Metode ini merupakan teknik pengendalian
pemesanan barang yang optimal dengan biaya minimun (Yunarto dan Santika 2005).
Metode ini dapat mengasumsikan permintaan secara pasti dengan pesanan yang
dibuat secara konstan serta tidak adanya kekurangan persediaan.
EOQ terdiri dari biaya pemesanan (ordering cost/ set up cost) dan biaya
penyimpanan di gudang (inventory carrying cost). Biaya pemesanan adalah semua
biaya dari persiapan pemesanan sampai barang yang dipesan datang. Sifat dari
biaya pemesanan adalah konstan, tidak tergantung pada jumlah barang yang
dipesan. Yang termasuk ke dalam biaya pemesanan adalah biaya persiapan
pemesanan, biaya mengirim atau menugaskan karyawan untuk melakukan
pemesanan, biaya saat penerimaan bahan yang dipesan dan biaya penyelesaian
pembayaran pemesanan. Sedangkan biaya penyimpanan di gudang (inventory
carrying cost) terdiri dari biaya sewa gudang, biaya pemeliharaan bahan, biaya
asuransi bahan, biaya tenaga kerja di gudang serta biaya kerusakan bahan baku.
Pada kurva EOQ (Gambar 1), dapat digambarkan ketika kuantitas
pemesanan meningkat dan jumlah aktivitas pemesanan menurun maka biaya
pemesanan total tahunan akan menurun. Sedangkan, ketika kuantitas pemesanan
meningkat dan inventori rata-rata yang tersedia menjadi meningkat, hal ini
menyebabkan biaya total penyimpanan inventori tahunan juga ikut meningkat.
Diasumsuikan harga pembelian total adalah konstan, maka biaya yang dapat
diminimalisasi adalah biaya inventori total yaitu dengan cara meminimalisasi biaya
total penyimpanan dan biaya total pemesanan. Kurva biaya total terkecil adalah
irisan antara kurva biaya pemesanan dan kurva biaya penyimpanan. Kurva tersebut
yang dikatakan sebagai EOQ.
Cost (Rp)

Total cost

Total carrying cost


Optimisation point

Total ordering cost

Order size (units per order)

Gambar 1 The EOQ cost model


Sumber: Russell dan Taylor (2014)
11

Reorder Point
Reorder point merupakan tingkat sediaan dimana ketika sediaan telah
mencapai pada tingkat tertentu, maka pemesanan harus dilakukan kembali (Heizer
dan Render 2011). Dengan kata lain, reorder point adalah pengendalian inventori
untuk memulai pengadaan pemesanan. Hal tersebut dilakukan agar pembelian
bahan yang sudah ditetapkan dalam EOQ tidak mengganggu kelancaran kegiatan
produksi.

Order quantity, Q Demand


rate

Reorder point, R

lead Lead Time


time time

Order Order Order Order


placed receipt placed receipt

Gambar 2 Perbandingan tingkat sediaan dengan waktu


Sumber: Russell dan Taylor (2014)

Faktor-faktor yang mempengaruhi titik pemesanan kembali adalah:


1. Lead time, yaitu waktu yang dibutuhkan antara bahan baku dipesan hingga
sampai diperusahaan. Lead time ini akan mempengaruhi besarnya bahan baku
yang digunakan selama masa lead time, semakin lama lead time maka akan
semakin besar bahan yang diperlukan selama masa lead time.
2. Tingkat pemakaian bahan baku rata-rata persatuan waktu tertentu.
Persediaan pengaman (safety stock), yaitu jumlah persediaan bahan minimum
yang harus dimiliki oleh perusahaan untuk menjaga kemungkinan keterlambatan
datangnya bahan baku, sehingga tidak terjadi stagnasi. Perusahaan akan melakukan
reorder point apabila jumlah sediaan yang terdapat di dalam stock berkurang, maka
perusahaan harus menentukan jumlah sediaan minimal.

Rantai Pasok
Rantai Pasok
Rantai pasok merupakan sekumpulan organisasi baik yang terlibat secara
langsung maupun tidak langsung yang terintegrasi untuk pemenuhan kebutuhan
konsumen mulai dari bahan baku hingga produk akhir di tangan konsumen akhir
(Chopra dan Meindl 2007; Nurmalina 2014). Mentzer (2002) mengungkapkan
bahwa konsumen akhir juga termasuk sebagai anggota rantai pasok. Definisi lain
dari rantai pasok adalah urutan bisnis proses dan aktivitas dari pemasok hingga ke
konsumen dengan menyediakan produk, jasa, serta informasi yang bertujuan untuk
mencapai kepuasan pelanggan (Russell dan Taylor 2002).
12

Bisnis proses tersebut melibatkan tiga aliran yang mengalir di sepanjang


rantai pasok, yaitu aliran produk, aliran finansial, dan aliran informasi. Ketiga aliran
tersebut bergerak dari setiap anggota rantai pasok ke anggota berikutnya hingga
konsumen akhir maupun sebaliknya. Produk yang mengalir di dalam rantai bukan
hanya produk akhir (finish product), tetapi juga dapat berupa produk mentah (raw
product) atau produk setengah jadi. James dan Mona (2006) menggambarkan rantai
pasok untuk produk barang seperti yang tersaji pada Gambar 3.

Suppliers
Recycling/ Remanufacturing

Process & Customer


Product Manufacturing Distribution Retailing Customer
Sevice
Design

Ket: : aliran barang, : aliran informasi

Gambar 3 Bagan rantai pasok untuk produk barang


Sumber: James dan Mona (2006)

Menurut Chopra dan Meindl (2004) serta Pujawan (2005), aliran produk dan
finansial bergerak dari pemasok hingga konsumen akhir satu arah, sedangkan aliran
informasi tidak hanya bergerak satu arah, tetapi dua arah, bergerak dari konsumen
akhir ke pemasok dan sebaliknya. Rantai pasok dikelola oleh perusahaan-
perusahaan dalam suatu rantai nilai yang dilatarbelakangi oleh dua alasan penting.
Pertama, perusahaan berusaha untuk mendekatkan diri dengan konsumen dan
memberikan kepastian adanya tautan dengan pasar. Kedua, semua perusahaan yang
terkoordinasi dalam suatu rantai pasok merumuskan tujuan bersama (Anatan dan
Ellitan 2008).
Tujuan dari rantai pasok adalah memaksimalkan aliran produk serta
menciptakan nilai produk bagi konsumen sebagai pemenuhan kebutuhan serta nilai
bagi perusahaan yaitu menerima profit yang lebih tinggi. Terdapat tiga tipe rantai
pasok berdasarkan derajat kompleksitas rantai pasok, yaitu direct supply chain,
extended supply chain, dan ultimate supply chain. Pengertian ketiga tipe rantai
pasok menurut Mentzer et al. (2001) adalah sebagai berikut:
1. Direct supply chain merupakan rantai pasok yang terdiri dari perusahaan,
supplier, dan konsumen yang terlibat pada aliran produk atau jasa, finansial, dan
informasi dari hulu hingga ke hilir.
2. Extended supply chain merupakan rantai pasok yang mencakup supplier dari
supplier utama dan juga konsumennya konsumen yang terlibat pada aliran
produk atau jasa, finansial, dan informasi dari hulu hingga ke hilir.
3. Ultimate supply chain merupakan rantai pasok yang mencakup seluruh
organisasi yang terlibat pada ketiga aliran rantai pasok dari hulu hingga hilir.
Jenis rantai pasok ini merupakan rantai pasok yang paling kompleks.
13

Bekerja bersama dengan seluruh anggota rantai pasok yang terlibat dalam
mengalirkan aliran produk, finansial, dan informasi akan membuat ketiga aliran
tersebut lancar sehingga tujuan memenuhi kebutuhan dan kepuasan konsumen akhir
tercapai. Pada umumnya, persaingan yang dihadapi perusahaan secara individual
adalah persaingan antar perusahaan sesamanya atau dapat dikenal dengan istilah
single alone competition (Sari 2015). Tuntutan konsumen yang semakin kritis dan
teknologi semakin canggih saat ini merubah lingkungan bisnis. Sehingga, cara
pandang menurut Indrajit dan Djokopranoto (2006) serta Anatan dan Ellitan (2008)
terhadap persaingang yang terjadi di lingkungan bisnis pun berubah menjadi
network competition, yaitu persaingan antar jaringan-jaringan perusahaan. Network
competition dihadapi oleh kumpulan perusahaan yang berada di dalam sebuah
rantai pasok.
Rainer dan Cegielski (2011) mengungkapkan tiga komponen dalam supply
chain, yaitu: (1) Upstream, dimana sumber atau pengadaan dari pemasok eksternal
terjadi. Di segmen ini, manajer supply chain memilih pemasok untuk mengantarkan
barang dan jasa perusahaan butuhkan untuk menghasilkan produk atau jasa mereka.
Selanjutnya manajer supply chain mengembangkan harga, pengiriman, dan proses
untuk mengelola persediaan, menerima dan memverifikasi pengiriman, mentransfer
barang ke fasilitas manufaktur dan otorisasi pembayaran kepada pemasok, (2)
Internal, dimana pengemasan, perakitan, atau produski terjadi. Manajer supply
chain menjadwalkan kegiatan yang diperlukan untuk produksi, pengujian,
pengemasan, dan mempersiapkan produk untuk pengiriman. Manajer supply chain
juga memantau tingkat kualitas, hasil produksi dan produktivitas pekerja, dan (3)
downstream, dimana distribusi berlangsung, sering kali oleh distributor eksternal.
Di segmen ini, manajer supply chain mengkoordinasikan penerimaan pesanan dari
pelanggan, mengembangkan jaringan pergudangan, memilih pembawa untuk
mengantarkan produk mereka ke konsumen dan mengembangkan sistem penagihan
untuk menerima pembayaran dari konsumen.

Manajemen Rantai Pasok


Konsep manajemen rantai pasok (supply chain management) pertama kali
diperkenalkan oleh Oliver dan Weber pada tahun 1982. Manajemen rantai pasok
merupakan sebuah filosofi yang terintegrasi untuk mengelola seluruh aliran
distribusi dari supplier ke konsumen dimana terdiri atas aliran-aliran di antara
tingkatan dalam suatu rantai pasok untuk memaksimumkan keuntungan total
(Chopra dan Meindl 2007). Anatan dan Ellitan (2008) mengungkapkan bahwa pada
dasarnya manajemen rantai pasok memiliki tiga tujuan utama, yaitu penurunan
biaya, penurunan modal, dan perbaikan layanan. The Council of Logistics
Management mendefinisikan manajemen rantai pasok sebagai koordinasi strategi
yang sistematis antar fungsi utama bisnis di perusahaan tertentu dengan bisnis lain,
yang masih dalam satu rantai pasok, yang bertujuan untuk meningkatkan
performansi atau prestasi jangka panjang bagi perusahaan pada khususnya dan
rantai pasok pada umumnya.
Flynn et al. (2010) mengungkapkan bahwa integrasi rantai pasokan
merupakan tingkat dimana produsen secara strategis bekerja sama dengan mitra
secara kolaboratif dalam mengelola proses intra dan antar organisasi untuk
mencapai arus yang efisien dan efektif. Produk dan layanan, informasi, uang dan
keputusan, untuk memberikan nilai maksimal kepada pelanggan. Integrasi internal
14

dan pelanggan lebih berpengaruh pada peningkatan kinerja dibandingkan dengan


integrasi pemasok.
Terdapat empat penggerak (driver) dalam rantai pasok menurut Chopra dan
Meindl (2004) yaitu persediaan, transportasi, fasilitas, dan informasi. Penjabaran
dari setiap penggerak rantai pasok didefinisikasn sebagai berikut:
1. Persediaan (inventory) merupakan salah satu penggerak rantai pasok yang
penting karena perubahan kebijakan persediaan dapat mengubah secara drastis
tingkat responsivitas dan efisiensi rantai pasok. Komponen dari keputusan
mengenai persediaan adalah:
a. Cycle inventory adalah jumlah rata-rata dari persediaan yang digunakan
untuk memenuhi permintaan dalam suatu waktu. Hal tersebut dipengaruhi
oleh strategi rantai pasok yang diterapkan oleh perusahaan (responsif atau
efisiensi) dengan memperhitungkan ordering cost (biaya pesan) dan holding
cost (biaya penyimpanan).
b. Safety Inventory adalah persediaan yang dibuat untuk berjaga-jaga terhadap
perkiraan akan kelebihan permintaan. Ini digunakan untuk mengatasi
ketidakpastian atas permintaan yang tinggi.
c. Seasonal Inventory adalah persediaan yang dibuat untuk mengatasi
keragaman yang dapat diprediksi dalam permintaan. Perusahaan yang
menggunakan seasonal inventory akan membangun persediaan mereka
pada periode permintaan barang rendah dan menyimpannya untuk periode
permintaan barang menjadi tinggi, dimana pada saat permintaan tinggi
mereka tidak dapat memproduksi semua barang untuk memenuhi
permintaan.
2. Transportasi adalah memindahkan persediaan dari titik ke titik dalam ranti
pasok. Transportasi terdiri atas banyak kombinasi dari model dan bentuk yang
memiliki keunggulan masing-masing. Pemilihan transportasi juga mempunyai
dampak besar dalam tingkat responsifitas dan efisiensi rantai pasok. Komponen
dari keputusan mengenai transportasi adalah sebagai berikut:
a. Modes of transportation adalah cara-cara dimana sebuah produk
dipindahkan dari saru lokasi dalam jaringan rantai pasok ke tempat lainnya
b. Route and network selection. Dimana rute adalah jalur jalan dimana sebuah
produk dikirimkan dan network adalah sebuah kumpulan lokasi dan rute
kemana produk dapat dikirimkan. Perusahaan membuat beberapa keputusan
mengenai rute pada tahap desain rantai pasok.
c. In house or outsource, yaitu pemilihan antara fungsi transportasi yang
dilakukan oleh perusahaan sendiri, atau dibebankan ke perusahaan lain
(outsourced).
3. Fasilitas adalah tempat-tempat dalam jaringan rantai pasok dimana persediaan
disimpan, dirakit, atau diproduksi. Dua jenis umum dari fasilitas adalah tempat
produksi dan tempat penyimpanan. Bila perusahaan memilih tingkat efisiensi
tinggi, maka memiliki lebih sedikit gudang. Jadi penentuan fasilitas mempunyai
dampak yang besar dalam tingkat responsifitas dan efisiensi rantai pasok.
Komponen dari keputusan mengenai fasilitas adalah sebagai berikut:
a. Lokasi yaitu penentuan keputusan dimana suatu perusahaan menentukan
lokasi fasilitasnya merupakan bagian yang sangat besar dalam langkah
desain rantai pasok. Penentuan lokasi secara ekonomis, sedangkan
15

penentuan lokasi secara desentralisasi akan menjadi lebih responsif dalam


permintaan konsumen.
b. Kapasitas. Perusahaan juga harus menentukan seberapa kapasitas dari
fasilitas yang dimiliki oleh perusahaan tersebut. Sejumlah besar kapasitas
akan menjadikan perusahaan tersebut menjadi lebih responsif, demikian
pula sebaliknya.
c. Operation methodology. Metode ini menggambarkan bagaimana metode
perusahaan dalam memproduksi barang, apakah mesin yang dipakai untuk
membuat produk itu bersifat fleksibel maksudnya adalah mesin tersebut
juga dapat pula digunakan untuk membuat produk lain yang biasanya mesin
itu relatif mahal atau menggunakan mesin yang dapat membuat satu macam
produk saja (efisien).
d. Warehouse methodology. dalam metode ini menggunakan Stock Keeping
Unit (SKU) Storage yaitu gudang tradisional yang menyimpan segala
macam produk dalam suatu tempat. Kemudian Job Lot Storage yaitu suatu
metode penyimpanan persediaan dimana semua produk-produk yang
berbeda dibutuhkan untuk suatu pekerjaan khusus atau memuaskan
konsumen tipe khusus, disimpan bersama-sama. Serta crossdocking yang
merupakan sebuah metode, dimana barang sebenarnya tidak disimpan
dalam fasilitas (gudang) perusahaan. Truk dari pemasok barang, tiap-tiap
hari truk tersebut membawa jenis-jenis yang berbeda dari barang yang
dipesan diangkut menuju fasilitas perusahan, kemudian dari sana dipecah
menjadi bagian-bagian kecil dan dengan cepat diangkut ke retailer
menggunakan truk-truk yang berisi barang-barang yang beragam dari truk-
truk sebelumnya.
4. Informasi terdiri dari data dan analisis yang berkaitan dengan persediaan,
transportasi, fasilitas dan pelanggan diseluruh rantai pasok. Informasi bertujuan
membentuk rantai pasok yang lebih responsif dan efisien. Informasi secara
potensial adalah penggerak terbesar kinerja rantai pasok. Komponen dari
keputusan mengenai informasi adalah push versus pull, kordinasi dan sharing
informasi, peramalan dan perencanaan secara keseluruhan serta penggunaan
teknologi.
Tujuan utama penerapan manajemen rantai pasok, yaitu memaksimalkan
nilai keseluruhan yang diperoleh rantai pasok (Chopra dan Meindl 2007). Tidak
seluruh anggota rantai pasok menerapkan pengelolaan atau manajemen di dalam
rantai pasok. Secara arti rantai pasok hanya berupa jaringan fisik yang terdiri dari
perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam mengalirkan aliran produk, finansial,
dan informasi yaitu dari supplier hingga konsumen akhir. Sedangkan manajemen
rantai pasok merupakan pengelolaan bersama yang diterapkan, dilakukan, dan
direncanakan oleh seluruh anggota rantai pasok untuk mencapai tujuan akhir rantai
pasok, yaitu memenuhi kepuasan konsumen akhir. Sehingga konsep dari
manajemen rantai pasok lebih kompleks.
Menurut Turban et al. (2004), terdapat 3 macam komponen manajemen
rantai pasok, yaitu:
1. Hulu (Upstream Supply Chain)
Bagian upstream (hulu) supply chain meliputi aktivitas dari suatu
perusahaan manufaktur dengan para penyalurannya (yang mana dapat
manufaktur, assembler, atau kedua-duanya) dan koneksi mereka kepada pada
16

penyalur mereka (para penyalur second-trier). Hubungan para penyalur dapat


diperluas kepada beberapa strata. Di dalam upstream supply chain, aktivitas
yang utama adalah pengadaan.
2. Manajemen Internal (Internal Supply Chain Management)
Bagian dari internal supply chain meliputi semua proses pemasukan
barang ke gudang yang digunakan dalam mentransformasikan masukan dari
para penyalur ke dalam keluaran organisasi itu. Hal ini meluas dari waktu
masukan masuk ke dalam organisasi. Di dalam rantai suplai internal, perhatian
yang utama adalah manajemen produksi, pabrikasi, dan pengendalian
persediaan.
3. Hilir (Downstream Supply Chain)
Downstream (arah muara) supply chain meliputi semua aktivitas yang
melibatkan pengiriman produk kepada pelanggan akhir. Di dalam downstream
supply chain, perhatian diarahkan pada distribusi, pergudangan, transportasi,
dan after-sales-service.
Ketiga konponen rantai pasok harus terintegrasi dengan baik. Dalam
mencapai pengusahaan rantai pasok yang optimal, terdapat lima prinsip dasar yang
terdiri dari:
a. Mengetahui konsumen dan pelanggan
Manajemen rantai pasok berubah menjadi pull system, yaitu konsumen
sebagai penentu keputusan yang dibuat perusahaan (Indrajit dan Djokopranoto
2006; Anatan dan Ellitan 2008). Hal yang sangat mendasar dan penting dalam
rantai pasok karena tujuan akhir pengelolaan rantai pasok sebagai pemenuhan
kepuasan konsumen akhir yang menuntut produk yang better (lebih baik),
cheaper (lebih murah), dan faster (lebih cepat) dengan cara mengerti kebutuhan
konsumen dan bagaimana sistem kerja para pemasok.
b. Mengadopsi filosofi lean
Banyak perusahaan yang mengadopsi filosofi lean atau ramping. Filosofi
ini menganjurkan perusahaan untuk merampingkan semua hal dalam
manajemennya yang mencerminkan pemborosan seperti mengurangi lead time,
menerapkan just in time, mengurangi persediaan bahkan zero inventory (tidak
ada persediaan) dan lainnya. Hal-hal tersebut akan berdampak pada
pengurangan biaya perusahaan. Filosofi ini sebaiknya diaplikasikan ke seluruh
anggota rantai pasok.
c. Membuat infrastruktur informasi
Informasi merupakan aliran yang mengalir di dalam rantai pasok selain
aliran produk dan finansial. Aliran informasi merupakan hal yang penting untuk
diintegrasikan untuk menciptakan rantai pasok yang efisien. Sudah banyak
perusahaan yang menggunakan internet sebagai infrastruktur mereka dalam
berkomunikasi dengan anggota rantai pasoknya.
d. Mengintegrasikan proses bisnis
Proses bisnis di dalam rantai pasok terjadi antara setiap anggota rantai
pasok. Proses ini bersamaan dengan infrastruktur informasi mendukung
efisiensi aliran produk melalui rantai pasok. Pada umumnya, perusahaan hanya
peduli dan fokus pada proses bisnis internalnya. Hal tersebut menjadi
kekurangan rantai pasok karena agar saling terintegrasi, melakukan proses
bisnis bersama akan dapat meningkatkan efisiensi rantai pasok karena informasi
tersampaikan.
17

e. Menggabungkan sistem pengambilan keputusan


Terdapat banyak pengambilan keputusan yang sebaiknya dilakukan
bersama di dalam rantai pasok. Keputusan-keputusan yang dapat diputuskan
bersama merupakan hal-hal yang berkaitan dengan anggota rantai pasok lainnya
seperti keputusan alokasi produksi. Informasi mengenai permintaan konsumen
akhir diketahui oleh retailer yang mengalirkan langsung ke konsumen akhir.
Informasi tersebut dapat diinfokan ke produsen untuk menjaga kontinuitas
produk. Oleh karena itu, para anggota rantai pasok dapat melakukan peramalan
permintaan bersama agar pelanggan atau konsumennya tidak berpindah ke
rantai pasok lain (Muckstadt et al. 2003).
Ma’arif dan Tanjung (2003) menyatakan bahwa terdapat beberapa
fungsi yang dilakukan dalam manajemen rantai pasok adalah:
a. Perkiraan permintaan
Pada dasarnya manajemen rantai pasok adalah rantai pasok dari produsen
ke konsumen, maka permintaan konsumen menjadi acuan untuk proses ke
produsen (belakang). Artinya, permintaan konsumen harus diketahui. Salah satu
ketidakpastian dalam manajemen rantai pasok adalah kesalahan perkiraan atau
peramalan.
b. Menyeleksi pemasok
Pemasok yang digunakan haruslah pemasok yang dipercaya. Oleh karena
itu, kegiatan memilih pemasok merupakan kegiatan awal yang krusial.
c. Memesan bahan baku
Begitu diketahui berapa perkiraan permintaan, dilakukan pemesanan
bahan baku. Salah satu ketidakpastian dalam manajemen rantai pasok adalah
penundaan pesanan.
d. Pengendalian persediaan
Persediaan harus dikendalikan agar tidak memboroskan anggaran
keuangan atau biaya produksi. Intinya adalah bagaimana melakukan pengadaan
sehingga biaya persediaan menjadi minimal.
e. Penjadwalan produksi
Setelah bahan baku dipesan, penjadwalan produksi mulai dilakukan.
Salah satu ketidakpastian yang mungkin terjadi adalah kerusakan mesin yang
menyebabkan produksi telah dijadwalkan tertunda.
f. Pengapalan dan pengiriman
Pengapalan dan pengiriman menjadi penting ketika barang-barang yang
diangkut bersifat cepar rusak. Salah satu ketidakpastian yang mungkin terjadi
adalah keterlambatan pengiriman.
g. Manajemen informasi
Informasi harus dikelola dengan baik sehingga informasi yang
dikumpulkan merupakan informasi yang benar. Salah satu ketidakpastian yang
mungkin terjadi adalah penyampaian informasi yang salah.
h. Manajemen mutu
Mutu bahan baku yang diperoleh dari pemasok hendaknya dengan mutu
yang terbaik. Seringkali mutu yang dikirim pemasok tidak sama dengan yang
sesuai dengan kesepakatan. Salah satu ketidakpastian yang mungkin terjadi
adalah kualitas produk yang tidak sesuai dengan standar.
18

i. Pelayanan konsumen
Fungsi manajemen rantai pasok yaitu untuk melayani konsumen yang
terlihat dari berapa banyak barang yang sebenarnya dibutuhkan oleh konsumen.
Produsen akan memproduksi sesuai dengan kebutuhan dan keinginan konsumen.
Forum Rantai Pasok Global mengidentifikasi bahwa terdapat delapan proses
bisnis kunci yang membentuk inti proses manajemen rantai pasok (Lambert et al.
2001). Kedelapan proses bisnis tersebut adalah sebagai berikut:
a. Konsumen Relationship Management (Manajemen hubungan pelanggan)
b. Konsumen Service Management (Manajemen pelayanan pelanggan)
c. Demand Management (Manajemen permintaan)
d. Order Fulfillment (Pemenuhan pesanan)
e. Manufacturing Flow Management (Manajemen aliran pengolahan)
f. Procurement (Pembelian)
g. Product Development and Commercialization (Pengembangan produk dan
komersialisasi)
h. Returns (Pengembalian)
Proses bisnis dalam rantai pasok dapat dilihat dari dua sudut pandang. Sudut
pandang pertama adalah cycle view yang menjelaskan bahwa terdapat beberapa
siklus dimana setiap siklusnya terjadi di antara dua anggota rantai pasok berhadapan.
Terdapat empat siklus proses di dalam cycle view. Siklus procurement (pembelian)
merupakan siklus pemesanan bahan baku dari anggota rantai pasok paling awal.
Siklus manufacturing (pengolahan) merupakan siklus pengolahan bahan baku
menjadi produk jadi (finished good). Siklus replenishment (pengisian kembali)
merupakan siklus pengisian produk kembali yang dibeli dari anggota rantai pasok
sebelumnya. Siklus ini dilakukan karena adanya tambahan produk yang diminta
lebih dari pesanan seharusnya oleh konsumen atau dapat dikatakan sebagai tindakan
antisipasi produsen atas permintaan yang tidak terduga. Siklus konsumen order
(pemesanan konsumen) merupakan siklus pemesanan oleh konsumen.
Sudut pandang yang kedua adalah push or pull view, menjelaskan bahwa
terdapat dua kategori pandangan tergantung pada tindakan anggota rantai pasok
dalam merespon pesanan (permintaan) konsumen atau sebagai tindakan antisipasi
dari permintaan konsumen. Proses pull (tarik) merupakan proses merespon
permintaan konsumen, sedangkan proses push (dorong) merupakan proses yang
dilakukan anggota rantai pasok sebagai antisipasi terhadap permintaan konsumen.
Menurut Mentzer et al. (2001) terdapat beberapa aktivitas yang terjadi di
dalam manajemen rantai pasok. Aktivitas tersebut terbagi menjadi 7 aktivitas, yaitu:
a. Integrated behaviour
Perilaku atau aktivitas terintegrasi dilakukan untuk seluruh anggota rantai
pasok. Aktivitas-aktivitas di dalam rantai pasok yang terkoordinasi disebut
sebagai manajemen rantai pasok di antara seluruh anggota rantai pasok.
b. Mutually sharing information
Aktivitas penyebaran informasi yang sejajar atau sama dilakukan untuk
mengimplementasikan filosofi manajemen rantai pasok, khususnya proses
perencanaan dan pengawasan.
c. Mutually sharing risk and rewards
Aktivitas ini seharusnya dilakukan dalam jangka waktu yang panjang agar
beban atau risiko ditanggung bersama sehingga meringankan beban anggota
rantai pasok masing-masing.
19

d. Cooperation
Kerja sama (cooperation) di antara anggota rantai pasok diperlukan untuk
menerapkan manajemen rantai pasok yang efektif.
e. The same goal and focus on serving consumes
Rantai pasok akan sukses jika seluruh anggota rantai pasok memiliki
tujuan dan fokus yang sama atau satu visi dalam memenuhi kebutuhan dan
kepuasan konsumen.
f. Integration of processes
Terdapat banyak proses bisnis yang terjadi di sepanjang rantai pasok. Jika
tidak terkontrol dengan baik, maka akan menyebabkan aliran-aliran tidak lancar
sehingga harus diintegrasikan oleh seluruh anggota rantai pasok.
g. Partners to build and maintain long-term relationship
Manajemen rantai pasok yang efektif mengharuskan adanya partner atau
rekan kerja yaitu anggota rantai pasok lainnya untuk membangun hubungan
kerja yang jangka panjang.
Dalam rantai pasok, ada beberapa pemain utama yang merupakan
perusahaan-perusahaan yang mempunyai kepentingan yang sama dalam arus
barang seperti yang dinyatakan oleh Indrajit dan Djokopranoto (2003). Pemain
utama dalam rantai pasok yaitu:
a. Chain 1: Supplier
Jaringan yang bermula dari sini, merupakan sumber yang menyediakan
bahan pertama, dimana mata rantai penyaluran barang akan dimulai. Bahan
pertama ini bisa dalam bentuk bahan baku, bahan mentah, bahan penolong,
bahan dagangan, sub-assemblies, suku cadang dan sebagainya. Sumber pertama
ini dinamakan suppliers. Dalam arti yang murni, ini termasuk juga suppliers
atau sub-suppliers. Jumlah supplier bisa banyak atau sedikit, tetapi suppliers
biasanya berjumlah banyak.
b. Chain 1-2: Supplier-Manufacturer
Rantai pertama dihubungkan dengan rantai yang kedua, yaitu
manufacturer atau plants atau assembler atau fabricator atau bentuk lain yang
melakukan pekerjaan membuat, memfabrikasi, meng-assembling, merakit,
mengkonversikan, atau pun menyelesaikan barang (finishing). Hubungan
dengan mata rantai pertama yaitu memiliki potensi untuk melakukan
penghematan sebesar 40 sampai 60 persen bahkan lebih. Hal ini dapat diperoleh
dari inventory carrying cost dengan menggunakan konsep supplier partnering
atau kemitraan.
c. Chain 1-2-3: Supplier-Manufactures-Distributor
Penyaluran barang jadi yang dihasilkan oleh manufaktur kepada
pelanggan. Banyak cara dalam penyaluran barang ke pelanggan, yang umum
adalah melalui distributor. Barang dari gudang pabrik disalurkan ke gudang
distributor kemudian distributor menyalurkan dalam jumlah yang lebih kecil
kepada pengecer (retailer).
d. Chain 1-2-3-4: Supplier-Manufacturer-Distributor-Retail Outlet
Pedagang besar biasanya mempunyai fasilitas gedung sendiri atau dapat
juga menyewa dari pihak lain. Gudang ini digunakan untuk menimbun barang
sebelum disalurkan ke pihak pengecer. Pada rantai ini ada kesempatan untuk
memperoleh penghematan dalam bentuk jumlah inventories dan biaya gudang,
20

dengan cara melakukan desain kembali pola-pola pengiriman barang baik dari
gudang manufacturer maupun ke toko pengecer (retail outlet).
e. Chain 1-2-3-4-5: Supplier-Manufacturer-Distributor-Retail Outlet-Konsumen
Pengecer (retailer) menawarkan barangnya secara langsung kepada para
pelanggan. Terdapat jenis-jenis outlet antara toko, warung, toko serba ada, pasar
swayalan, atau koperasi dimana konsumen melakukan pembelian. Rantai ini
bukan merupakan mata rantai terakhir karena pembeli belum tentu pengguna
akhir. Mata rantai pasok baru benar-benar berhenti setelah barang diterima oleh
konsumen akhir (real user).
Dalam manajemen rantai pasok, setiap stakeholder harus memiliki strategi.
Supplier berperan sebagai penyedia bahan baku. Perusahaan atau manufacture
sebagai user pengguna dan kemudian mengolah bahan baku juga memiliki strategi
dalam menjalankan kegiatan rantai pasok. Terdapat lima strategi yang dapat dipilih
perusahaan untuk melakukan pembelian kepada supplier yaitu adalah sebagai
berikut:
a. Banyak Pemasok (Many Supplier)
Strategi ini memainkan antara pemasok yang satu dengan pemasok yang
lainnya dan membebankan pemasok untuk memenuhi permintaan pembeli. Para
pemasok saling bersaing secara agresif. Meskipun banyak pendekatan negosiasi
yang digunakan dalam strategi ini, tetapi hubungan jangka panjang bukan
menjadi tujuan. Dalam pendekatan ini, tanggung jawab dibebankan pada
pemasok untuk mempertahankan teknologi, keahlian, kemampuan ramalan,
biaya, kualitas dan pengiriman.
b. Sedikit Pemasok (Few Supplier)
Dalam strategi ini, perusahaan mengadakan hubungan jangka panjang
dengan para pemasok yang komit. Karena dengan cara ini, pemasok cenderung
lebih memahami sasaran-sasaran luas dari perusahaan dan konsumen akhir.
Penggunaan hanya beberapa pemasok dapat menciptakan nilai
denganmemungkinkan pemasok mempunyai skala ekonomis dan kurva belajar
yang menghasilkan biaya transaksi dan biaya produksi yang lebih rendah.
Dengan sedikit pemasok maka biaya mengganti partner besar, sehingga
pemasok dan pembeli menghadapi resiko akan menjadi tawanan yang lainnya.
Kinerja pemasok yang buruk merupakan salah satu resiko yang dihadapi
pembeli sehingga pembeli harus memperhatikan rahasia-rahasia dagang
pemasok yang berbisnis di luar bisnis bersama.
c. Integrasi vertikal
Artinya pengembangan kemampuan memproduksi barang atau jasa yang
sebelumnya dibeli, atau dengan benar-benar membeli dari pemasok atau
distributor. Integrasi vertikal dapat berupa:
- Integrasi ke belakang (backward integration) yaitu penguasaan kepada
sumber daya.
- Integrasi kedepan (forward integration) yaitu penguasaan kepada
konsumennya.
d. Kairetsu Network
Kebanyakan perusahaan manufaktur mengambil jalan tengah antara
membeli dari sedikit pemasok dan integrasi vertikal dengan cara mendukung
secara finansial pemasok melalui kepemilikan atau pinjaman. Pemasok
kemudian menjadi bagian dari koalisi perusahaan yang lebih dikenal dengan
21

kairetsu. Keanggotaan ini diharapkan dapat berfungsi sebagai mitra. Para


anggota kairetsu dapat beroperasi sebagai subkontraktor rantai dari pemasok
yang lebih kecil.
e. Perusahaan Maya (Virtual Company)
Perusahan maya mengandalkan berbagai hubungan pemasok untuk
memberikan pelayanan pada saat diperlukan. Perusahaan maya mempunyai
batasan organisasi yang tidak tetap dan bergerak sehingga memungkinkan
terciptanya perusahaan yang unik agar dapat memenuhi permintaan pasar yang
cenderung berubah. Hubungan yang terbentuk dapat memberikan pelayanan
jasa diantaranya meliputi pembayaran gaji, pengangkatan karyawan, disain
produk atau distribusinya. Hubungan bisa bersifat jangka pendek maupun
jangka panjang, mitra sejati atau kolaborasi, pemasok atau subkontraktor.
Apapun bentuk hubungannya diharapkan akan menghasilkan kinerja kelas
dunia yang ramping. Keuntungan yang bisa diperoleh diantaranya adalah:
keahlian manajemen yang terspesialisasi, investasi modal yang renadh,
fleksibilitas dan kecepatan. Hasil yang diharapkan adalah efisiensi.

Kinerja Rantai Pasok


Mentzer dan Konrad (1991) serta Beamon (1998) mengatakan bahwa
pengukuran kinerja rantai pasok diperlukan untuk mengetahui efisiensi dan
efektivitas dari sistem yang ada atau untuk membandingkan dengan sistem lainnya
dan digunakan sebagai evaluasi aktivitas yang sudah dilakukan anggota rantai
pasok. Efektivitas di dalam konteks rantai pasok menunjukkan sejauh mana tujuan
rantai pasok tercapai, sedangkan efisiensi mengukur seberapa baiknya alokasi atau
penggunaan sumber daya. Kinerja sebuah perusahaan atau satu anggota rantai pasok
belum cukup mencerminkan pencapaian tujuan rantai pasok keseluruhan, namun
kinerja seluruh anggota di dalam rantai pasok (Hausman 2002; Lockamy III dan
McCormack 2004).
Terkait dengan upstream supply chain dalam hal pengadaan bahan bahan
baku dan internal supply chain terkait pengendalian sediaan bahan baku. Persediaan
merupakan salah satu penggerak yang penting dalam rantai pasok. selain itu,
persediaan dapat mempengaruhi tingkat responsivitas dan efisiensi rantai pasok.
Teori pendukung upstream dan internal supply chain adalah manajemen sediaan.

Kerangka Pemikiran Operasional

Penelitian ini bermula dari peningkatan jumlah industri hilir kelapa sawit
khususnya pada industri oleokimia. Hal tersebut mengharuskan PT XYZ
meningkatan efisiensi kinerja rantai pasok. Salah satu cara yang dilakukan PT XYZ
adalah dengan merubah sistem produksi yang awalnya menggunakan sistem made
by order, namun mulai tahun 2014 berubah menjadi make to stock. Sistem tersebut
mengharuskan perusahaan melakukan safety stock agar dapat tetap memproduksi
sesuai waktu yang ditentukan tanpa khawatir kekurangan stock bahan baku.
Langkah selanjutnya yaitu mengukur kinerja rantai pasok perusahaan. Sediaan
bahan baku merupakan salah satu atribut dari pengukuran kinerja perusahaan.
Setiap perusahaan memiliki metode masing-masing dalam pengadaan bahan baku,
sehingga perlu dianalisis bagaimana metode yang diterapkan oleh perusahaan
22

dibandingkan dengan metode EOQ sehingga memperoleh biaya persediaan


terendah agar dapat menghemat total cost inventory. Metode dengan biaya
persediaanterendah dipilih sebagai bahan rekomendasi perusahaan untuk
menetapkan kebijakan perencanaan dan pengendalian persediaan bahan baku
perusahaan.
Seluruh tahap penelitian ini diharapkan dapat memperoleh solusi dan
implikasi manajerial bagi pengadaan bahan baku dalam meningkatkan kinerja
rantai pasok di PT XYZ. Kerangka operasional penelitian ini dapat dilihat pada
Gambar 4.

1. Upaya peningkatan ekspor produk hasil industri


2. Peningkatan kapasitas produksi PT XYZ
3. Orientasi terhadap pemenuhan kepada pelanggan

Usaha peningkatan efisiensi kinerja rantai pasok PT XYZ

Efisiensi sediaan bahan baku Anlisis ABC;


inerja rantai pasok PT SOCI EOQ
MAS
Kinerja rantai pasok Metode SCOR
reliability,
responsiveness,
flexibility,
asset.

Rekomendasi perbaikan kinerja rantai pasok

Gambar 4 Kerangka pemikiran operasioanl efisiensi sediaan palm kernel oil (PKO)
sebagai bahan baku dalam meningkatkan kinerja rantai pasok PT XYZ

4 METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian berada di PT XYZ yang terletak di Kawasan Industri Medan,


Sumatera Utara. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) berdasarkan
pertimbangan bahwa PT XYZ termasuk salah satu perusahaan besar yang berfokus
pada sektor hilir sehingga bersinggungan dengan pemasok untuk dapat memenuhi
kebutuhan produksi. Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2016 sampai Maret
2017.
23

Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini akan menggunakan data yang berbentuk data primer dan
sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung oleh peneliti
untuk menjawab pertanyaan penelitian. Sumber data primer data dari PT XYZ
tahun 2015-2016 dan wawancara. Data sekunder ini diperoleh dari berbagai sumber
informasi seperti BPS, Kementrian Perindustrian Republik Indonesia (Kemenperin),
Fx Sauder, publikasi internasional, publikasi nasional serta sumber lain yang
berhubungan dengan tujuan penelitian.

Metode Analisis

Analisis Pengadaan Bahan Baku


Analisis pengadaan bahan baku digunakan untuk menjawab tujuan
penelitian pertama. Metode yang digunakan dalam pada analisis tersebut adalah
metode EOQ. Sebelum melakukan analisis tersebut, perlu dilakukan perkiraan
biaya sediaan yang terdiri dari biaya pesanan dan penyimpanan dengan cara
mengumpulkan kemudian mengelompokkan komponen-komponen biaya
penyimpanan dan pemesanan sehingga diperoleh total biaya sediaan bahan baku.
Biaya pemesanan merupakan biaya dibutuhkan oleh perusahaan setiap kali
perusahaan melakukan pemesanan bahan baku.
𝑆𝑥𝐷
Ordering cost (OC)= …………………………………………………... (1)
Q
Oc = Biaya pemesanan bahan baku per periode (Rupiah)
S = Biaya pemesanan bahan baku per pesanan (Rupiah)
D = Penggunaan atau permintaan yang diperkirakan per periode waktu (Ton)
Q = Jumlah yang dipesan dalam unit (Ton)

Biaya penyimpanan adalah biaya yang timbul karena perusahaan melakukan


penyimpanan selama waktu tertentu. Biaya penyimpanan sangat bergantung pada
kuantitas barang yang disimpan.
𝐻𝑥𝑄
𝐻𝑜𝑙𝑑𝑖𝑛𝑔 𝑐𝑜𝑠𝑡 (Hc) = …………………………………………………... (2)
2
Hc = Total biaya penyimpanan bahan baku per periode (Rupah)
Q/2 = Tingkat rata-rata sediaan (Ton)
H = Biaya penyimpanan per unit periode (Rupiah)

Setelah diketahui nilai dari total biaya pemesanan dan biaya penyimpanan,
maka dapat diperoleh total biaya sediaan. Total biaya sediaan merupakan total
keseluruhan dari biaya pemesanan dan biaya penyimpanan (Heizer et al. 2015).
Secara matematis, total biaya dapat dituliskan sebagai berikut;
Total cost (Tc) = Oc + Hc …………………………………………………... (3)
Dimana;
Oc = Ordering cost (biaya pemesanan)
Q/2 = Tingkat rata-rata sediaan (Ton)

Setelah diperoleh nilai total cost, maka dapat dianalisis bagaimana


pengendalian sediaan bahan baku dengan menggunakan metode EOQ. Penentuan
24

kuantitas optimum pada metode EOQ dapat hitung secara manual dengan
menggunakan persamaan berikut;
2 𝑆𝐷
Q=√ …………………………………………………………………... (4)
𝐻

Dimana;
Q = Jumlah barang yang dipesan dalam unit (Ton)
S = Biaya pemesanan per pesanan (Rupiah)
D = Penggunaan atau permintaan yang diperkirakan per periode waktu (Ton)
H = Biaya penyimpanan per bahan baku per tahun (Rupiah)

Reorder point adalah strategi operasi persediaan yang merupakan titik


pemesanan yang harus dilakukan perusahaan sehubungan dengan adanya lead time
dan safety stock (Rangkuti 2004). Lead time adalah waktu yang dibutuhkan antara
pemesanan dengan barang sampai di perusahaan. Safety stock adalah persediaan
tambahan yang disiapkan untuk menjaga kemungkinan terjadinya kekurangan
sediaan bahan baku (stock out). Penentuan waktu reorder point terbagi menjadi dua,
yaitu reorder point tanpa safety stock dan reorder point dengan safety stock.
Penentuan reorder point tanpa safety stock dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan berikut (Heizer et al. 2015);
Reorder point = LD x AU …………………………………………………... (5)
Dimana;
LD = Lead time
AU (Average Usage) = Pemakaian rata-rata

Sedangkan penentuan reorder point dengan safety stock dapat dihitung


dengan menggunakan persamaan berikut;
Reorder point = (LD x AU) + SS …………………………………………... (6)
Dimana;
LD = Lead time
AU (Average Usage) = Pemakaian rata-rata
SS = Safety stock

Safety stock menggambarkan tingkat stok extra yang dipertahankan unuk


mengurangi resiko stockout karena ketidakpastian pasokan dan permintaan. Nilai
safety stock apat dihitung dengan persamaan berikut;
Safety stock = Zα Sd √L …………………………………………………... (7)
Dimana;
Sd = Standart deviasi permintaan
Zα = Faktor pengaman
LD = Lead time

Analisis klasifikasi ABC


Gasperz (1998) mengungkapkan terdapat beberapa tahapan dalam
melakukan analisis klasifikasi ABC, tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai
berikut;
25

1. Menentukan volume penggunaan per periode waktu dari baha-bahan yang ingin
diklasifikasi
2. Menghitung nilai total penggunaan biaya per periode waktu dengan mengalikan
volume penggunaan dengan biaya per unitnya
3. Menghitung nilai total penggunaan agregat dari semua bahan
4. Daftarkan bahan-bahan tersebut dalam peringkat persentase nilai total
penggunaan biaya 1dari yang terbesar hingga terkecil
5. Klasifikasikan bahan-bahan tersebut ke dalam kelompok A, B, atau C

Pengukuran Kinerja Rantai Pasok


Setiap perusahaan memiliki strategi yang berbeda-beda dalam mencapai
tujuannya. Hal ini didasari oleh karakteristik perusahaan maupun produk yang
diusahakan. Untuk melihat sejauh mana strategi yang diterapkan dapat mencapai
tujuan rantai pasok suatu perusahaan, maka dilakukan evaluasi terhadap strategi
yang telah dirancang sebelumnya melalui pengukuran kinerja.
Sistem pengukuran kinerja diperlukan untuk melakukan monitoring dan
pengendalian, mengkomunikasikan tujuan organisasi ke fungsi-fungsi pada rantai
pasok, mengetahui dimana posisi suatu organisasi relatif terhadap pesaing maupun
terhadap tujuan yang hendak dicapai, dan menentukan arah perbaikan untuk
menciptakan keunggulan dalam bersaing.
Salah satu metode yang digunakan untuk mengukur performansi rantai pasok
yaitu dengan menggunakan pendekatan SCOR. Metode tersebut diperkenalkan oleh
Supply Chain Council (SCC) sebagai model satuan proses dalam pengukuran
kinerja pada sektor industri (Bolstroff dan Rosenbeum 2003). SCOR merupakan
sebuah metode yang menyajikan suatu kerangka bisnis proses yang unik, indikator
kinerja, praktik terbaik, dan teknologi untuk mendukung komunikasi dan kolaborasi
antar mitra pada rantai pasok, sehingga dapat meningkatkan efektivitas manajemen
rantai pasok dan penyempurnaan pada rantai pasok (Paul 2014). Kelebihan dari
metode ini adalah dapat dirancang secara matriks kinerja rantai pasok yang
seimbang dan mencakup kinerja keseluruan dari rantai pasok dalam berbagai
dimensi.
Menurut Bolstorff dan Rosenbaum (2003), metode ini dilakukan dengan
mengintegrasikan tiga unsur, yakni business process reengineering, benchmarking,
dan process measurement dengan fungsi-fungsi sebagai berikut:
1. Business process reengineering berfungsi untuk menggambarkan proses
kompleks yang terjadi pada masa sekarang dan mendefinisikan proses yang
diharapkan ke depannya atau target.
2. Benchmarking berfungsi untuk menentukan data pembanding sebagai acuan
peningkatan kinerja rantai pasok.
3. Process measurement berfungsi untuk mengukur, mengendalikan, dan
memperbaiki proses-proses supply chain.
Berdasarkan SCOR model, komponen-komponen yang tercakup dalam
process reference model (PRM) adalah:
1. Deskripsi standar dari tiap proses dalam manajemen rantai pasok.
2. Standar pengukuran untuk setiap proses.
3. Praktik manajemen yang dapat menghasilkan kinerja terbaik dalam industri
sejenis.
4. Standar penyesuaian pada aspek fungsional dan fitur rantai pasok.
26

Pada kasus manajemen rantai pasok yang kompleks, pemetaan dalam model
referensi dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal berikut:
1. Implementasi dilakukan sesuai dengan fungsinya, yang ditujukan untuk
mendapatkan keunggulan kompetitif yang dimiliki perusahaan.
2. Digambarkan secara jelas dan komunikatif.
3. Diukur, dikelola dan dikontrol.
4. Dilakukan langkah penyesuaian untuk kepentingan spesifik.
Dalam SCOR model, disebutkan bidang-bidang yang termasuk dalam
SCOR adalah:
1. Seluruh interaksi yang terdapat dalam rantai pasok perusahaan, baik itu
interaksi dengan pemasok maupun dengan konsumen, mulai dari proses
pemesanan produk hingga proses pembayaran oleh konsumen.
2. Seluruh transaksi produk yang berupa barang dan jasa, yaitu semua aliran
transaksi mulai dari suppliers sampai ke customers, termasuk peralatan,
supplies, spareparts, bulk product, software, dan sebagainya.
3. Keseluruhan interaksi dengan pasar, yaitu dari pemahaman mengenai
permintaan keseluruhan sampai dengan proses pemenuhan setiap pesanan yang
ada.
SCOR tidak mencakup hal-hal yang termasuk dalam proses-proses
administrasi penjualan dan pemasaran, proses riset dan pengembangan teknologi,
perancangan dan pengembangan produk, dan beberapa unsur yang berhubungan
dengan pasca pengiriman dukungan pelanggan. Model SCOR mengasumsikan
tetapi tidak secara eksplisit mendeskripsikan kegiatan yang dilakukan pada bidang
pelatihan, mutu, teknologi informasi dan administrasi non-SCM.

Pemetaan Rantai Pasok dengan SCOR Model


Supply Chain Operations Reference (SCOR) Model menjelaskan pemetaan
dilakukan untuk mendapatkan gambaran model yang jelas mengenai aliran material,
aliran informasi dan aliran keuangan dari suatu rantai pasok perusahaan. Tujuan
dari proses pemodelan ini adalah:
1. Menggunakan terminologi standar untuk komunikasi yang lebih baik dan
mempelajari isu-isu rantai pasokan.
2. Menggunakan ukuran standar untuk membandingkan dan mengukur kinerja
dari rantai pasokan.
3. Memudahkan untuk mendapatkan gambaran rinci dari setiap rantai pasokan,
sehingga proses penghubungan antar aktivitas lebih mudah.
Dalam memetakan rantai pasok, langkah-langkah utama yang harus
dilakukan adalah:
1. Menentukan sebuah rantai proses pemasokan produk, mulai dari pasokan bahan
baku dari pemasok sampai pada realisasi pasokan produk jadi yang diterima
pelanggan.
2. Menggambarkan rangkaian aliran material dalam proses pembuatan dan
penciptaan nilai tambah produk.
3. Menggambarkan rangkaian aliran informasi dalam proses rantai pasok.
Beberapa tahapan pemetaan dalam SCOR menurut SCC (20015) (Gambar
5) dapat dideskripsikan sebagai berikut:
1. Level 1 mendefinisikan ruang lingkup dan isi dari SCOR Model. Selain itu,
pada tahap ini juga ditetapkan target-target kinerja perusahaan untuk bersaing.
27

Level
# Description Schematic Comments

Top Level Level 1 defines th e scope


(Process Types) Plan and contentfor the Supply
Chain Operations
Source Make Deliver
Reference-model. Here
basis of competition
Return Return performance targets are set.

Configuration A company’s supply chain


Level (Process can be “configured-to-
Supply-Chain Operation Reference-Model

Categories) order” at Level 2 from core


“process categories.”
Companies implement their
operations strategy through
the configuration they
choose for their supply
chain.

Process Level 3 defines a company’s


Element ability to compete
Level successfully in its chosen
(Decompose markets, and consists of:
Processes) - Process element
definitions
- Process element
information inputs, and
P1.1
Identify, Prioritize, and outputs
Aggregate Supply-Chain
Requirements - Process performance
P1.3
Balance Supply-Chain
P1.4
Establish and metrics
P1.2
Resources with Supply
Chain Requirements
Communicate
Supply-Chain Plans - Best practices, where
Identify, Assess, and
Aggregate Supply
applicable
Chain Resources - System capabilities
required to support best
practices
- Systems/tools
Companies “fine tune” their
Operations Strategy at
Level 3.
Implementation Companies implement
Level specific supply-chain
Not in Scope

(Decompose management practices at


Process this level. Level 4 defines
Elements) practices to achieve
competitive advantage and
to adapt to changing
business conditions.

Gambar 5 Tahapan Pemetaan SCOR


Sumber: SCC (2006)

2. Level 2 merupakan level konfigurasi dan berhubungan erat dengan


pengkategorian proses. Pada level 2 ini dilakukan pendefinisian kategori-
kategori terhadap setiap proses pada level 1. Pada level ini, proses disusun
sejalan dengan strategi rantai pasokan.
28

3. Level 3 merupakan tahap penguraian proses-proses yang ada pada rantai pasok
menjadi unsur-unsur yang mendefinisikan kemampuan perusahaan untuk
berkompetisi. Tahap ini terdiri dari definisi unsurunsur proses, masukan dan
keluaran dari informasi mengenai proses unsur, metrik-metrik dari kinerja
proses, praktik terbaik dan kapabilitas sistem yang diperlukan untuk
mendukung praktik terbaik.
4. Level 4 merupakan level yang menggambarkan secara detail tugas-tugas
didalam setiap aktivitas yang dibutuhkan pada level 3 untuk
mengimplementasikan dan mengelola rantai pasokan berbasis harian, serta
mendefinisikan perilaku-perilaku untuk mencapai keuntungan bersaing dan
beradaptasi terhadap perubahan kondisi bisnis

Pemetaan level 1
Dalam SCOR Model level 1, proses-proses yang ada dalam rantai
pasok dikategorikan dalam lima proses utama dalam manajemen.
Pemetaan level 1 oleh SCOR dinyatakan lebih jelas dalam Gambar 6 sebagai
panduan untuk memetakan rantai pasok sesuai dengan karakteristik perusahaan.

Gambar 6 SCOR Model


Sumber: SCC (2006)

Gambar 6 menampilkan gambar pemetaan rantai pasok. Penjelasan dari


proses SCOR Model dipaparkan sebagai berikut:
1. Plan merupakan proses-proses yang menyeimbangkan permintaan dan pasokan
secara menyeluruh yang bertujuan untuk mengembangkan kebutuhan
pengiriman, produksi dan pasokan secara optimal
2. Source adalah roses-proses pembelian barang dan jasa yang bertujuan untuk
memenuhi permintaan aktual atau yang direncanakan
3. Make adalah proses transformasi material menjadi produk akhir untuk memenuhi
permintaan aktual atau yang direncanakan
4. Deliver adalah proses-proses penyediaan produk jadi/jasa untuk memenuhi
permintaan aktual atau yang direncanakan, mencakup manajemen pemesanan,
manajemen transportasi dan distribusi
5. Return merupakan proses-proses yang diasosiasikan dengan pengembalian dan
penerimaan produk dengan kategori pengembalian produk denga berbagai alasan.
Proses ini diperluas hingga ke layanan setelah pengiriman kepada konsumen.
29

Matrik kinerja dari masing-masing atribut kinerja pada metode SCOR


disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Matriks kinerja dan atribut kinerja


Atribut
Matriks kinerja Keterangan
kinerja
Reliabilitas Pesanan terkirim Persentase pesanan yang dapat dipenuhi dari
penuh seluruh pemesanan
Kinerja pengiriman Persentase ketepatan waktu dalam memenuhi
permintaan konsumen
Keakuratan Persentase keakuratan doku-mentasi pendukung
dokumentasi dalam hal pemesanan
Kondisi barang Persentase pesanan yang terkirim sesuai dengan
sempurna spesifikasi pelanggan
Responsivitas Waktu siklus Rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk proses
pengadaan pengadaan
Waktu siklus Rata-rata waktu yang berkaitan dengan
pembuatan pengolahan bahan baku
Waktu siklus Rata-rata waktu yang berkaitan dengan
pengiriman pengiriman produk
Adaptibilitas Fleksibilitas rantai Jumlah hari yang dibutuhkan untuk mencapai
pasok atas permintaan tak terencana 20%
Penyesuaian rantai Maksimum persentase peningkatan kapasitas
pasok atas secara berkelanjutan
Penyesuaian rantai Minimum persentase penurunan kapasitas secara
pasok bawah berkelanjutan
Biaya Bahan baku Total biaya yang dikeluarkan untuk membeli
bahan baku
Produksi Total biaya yang dikeluarkan dalam aktivitas
pembuatan produk
Pengiriman Total biaya yang dikeluarkan dalam aktivitas
pengiriman produk
Sumber: SCC (2012)

Pengukuran kinerja rantai pasok dengan menggunakan metode SCOR


dilakukan dengan melakukan penilaian terhadap atribut-atribut kinerja pada
manajemen rantai pasok, yaitu:
b. Reliabilitas merupakan atribut kinerja yang menilai kemampuan perusahaan
dalam melaksanakan tugas sesuai dengan yang diharapkan atau ditargetkan.
c. Responsivitas merupakan atribut kinerja yang menilai kecepatan rantai pasok
produk hingga tiba di tangan pelanggan atau konsumen.
d. Adaptibilitas merupakan atribut kinerja yang menilai kemampuan rantai pasok
dalam merespon perubahan pasar untuk meningkatkan dan mempertahankan
keuntungan yang ada.
e. Biaya merupakan atribut kinerja yang menghitung biaya yang dikeluarkan
dalam suatu proses rantai pasok.
Parameter yang diukur berdasarkan atribut tersebut sebagai matriks kinerja
adalah:
1. Dimensi Internal
a. Total Supply Chain Management Cost (TSCMC)
TSCMC merupakan jumlah seluruh biaya yang dikeluarkan dari
semua proses di sepanjang rantai pasok. Secara matematis:
30

TSCMC = Penjualan - Profit - Biaya (pemasaran, penjualan, dan


administrasi) …………………………………………... (8)

b. Cost of Good Sold (COGS)


COGS merupakan biaya membeli bahan baku untuk memproduksi
produk jadi. Secara sistematis:
COGS = Direct material costs + Direct labor costs + Indirect cost ....... (9)

c. Cash to cash cycle time


Cash to cash cycle time merupakan waktu antara perusahaan
membayar material ke supplier dan menerima pembayaran dari konsumen.
Secara sistematis:
Cash to cash cycle time = Inventory days of supply + Days sales outstanding
– Days payable outstanding …………………..(10)

d. Persentase defect
Defect merupakan produk yang cacat atau tidak sesuai dengan standar
yang diinginkan konsumen sehingga tidak diperhitungkan dalam penjualan.
Defect merupakan waste atau sampah yang harus diminimalkan di dalam
lean supply chain. Indikator kinerja ini mencerminkan kualitas produk
rantai pasok. Secara matematis:
jumlah produk cacat (𝑑𝑒𝑓𝑒𝑐𝑡)
Persentase 𝑑𝑒𝑓𝑒𝑐𝑡 = 𝑥 100 % …………. (11)
total seluruh produk

2. Dimensi Eksternal
a. Perfect order fulfillment
Perfect order fulfillment merupakan persentase order atau pesanan
yang terkirim sempurna. Indikator ini mencakup empat komponen
perhitungan, yaitu percentage of order delivered in full, percentage of order
delivered in committed date, percentage of document accuracy, dan
percentage of order delivered in perfect condition. Secara sistematis:
Perfect order fulfillment = (% of order delivered in full) x (% of order
delivered in committed date) x (% of document
accuracy) x (% of order delivered in perfect
condition) ................................................ (12)

b. Order fulfillment lead time


Order fulfillment lead time adalah rata-rata jangka waktu antara
konsumen memesan hingga pesanan diterima.

c. On time delivery
On time delivery menunjukkan tingkat konsumen service yang
dilakukan perusahaan atau anggota rantai pasok. Indikator ini merupakan
persentase order terkirim sesuai jadwal (on time). Secara sistematis:
pesanan yang dikirim sesuai jadwal
𝑂𝑛 𝑡𝑖𝑚𝑒 𝑑𝑒𝑙𝑖𝑣𝑒𝑟𝑦 = ……………… (13)
total seluruh pesanan
31

Pemetaan level 2
Pemetaan level 2 merupakan tahap konfigurasi dari proses-proses rantai
pasok yang ada ke dalam tiga kategori utama. Pemetaan level 2 dapat digambarkan
pada Gambar 7.

PLAN
P1 Plan Supply Chain

P2 Plan P3 Plan P4 Plan P5 Plan


Source Make Deliver Return

CUSTOMER
SUPPLIER

SOURCE MAKE DELIVE


R
D1 Deliver
S1 Source M1 Make to Stocked Product
Stoked Product Stock

D2 Deliver Make to
S2 Source Make Order Product
to Order Product M2 Make to Order

D3 Deliver
Engineered to Order
S3 Source M3 Make Product
Engineer to
Engineer to
Order Product D4 Deliver
Order
Retail Product

SOURCE RETURN DELIVER RETURN


SR1 Return Defective Product DR1 Return Defective Product
SR2 Return MRO Product DR2 Return MRO Product
SR3 Return Excess Product DR3 Return Excess Product

ENABLE
1) Establish and manage rules Plan Source Make Deliver Return
2) Accees performance
3) Manage data
4) Manage inventory
5) Manage capital assets Align SC Suppliers
6) Manage transportation Financials Agreements
7) Mangae supply chain configuration
8) Manage regulatory compliance
9) Manage supply chain risk process
10) Specialist element

Gambar 7 Model pemetaan level 1 rantai pasok dengan SCOR


Sumber: SCC (2006)
32

Tahapan pada level 2 dapat dijelaskan sebagai berikut:


1. Planning adalah suatu proses yang menyelaraskan sumber daya-sumber daya
perusahaan untuk memenuhi keperluan-keperluan akan harapan permintaan.
a. Penyeimbangan keseluruhan permintaan dan pasokan.
b. Mempertimbangkan horizon waktu perencanaan yang konsisten.
c. Dapat memberikan kontribusi terhadap waktu respon dari rantai pasok.
2. Execution adalah suatu proses yang dipacu dengan adanya permintaan
terencana ataupun permintaan aktual yang mentransformasikan bentuk
material. Proses-proses eksekusi meliputi:
a. Pengaturan operasional secara umum seperti penjadwalan, transformasi
produk, aliran produk ke proses berikutnya dan sebagainya
b. Memberikan kontribusi dalam order fulfillment cycle time
3. Enable adalah suatu proses yang menyiapkan, memelihara dan mengendalikan
jaringan informasi, sehingga proses planning dan execution saling terkait.

Pemetaan level 3
Pada pemetaan level 3 ini, perusahaan mendefinisikan secara detil
bagaimana proses-proses atau kemampuan perusahaan, ukuran kinerja dan praktik
terbaik pada setiap aktivitas yang dijalankan. Pada level ini, benchmarking dan
atribut-atribut diperlukan untuk enabling software. Sistem rantai pasok perusahaan
didefinisikan sebagai kemampuan perusahaan untuk bersaing pada pasar yang
dipilih. Pada level 3, terdapat tiga bentuk proses yaitu informasi masukan, proses
dan keluaran yang terdiri dari:
1. Definisi proses
2. Informasi masukan dan keluaran proses unsur.
3. Metrik pengukuran kinerja.
4. Praktik terbaik.
5. Kemampuan sistem yang diperlukan untuk menerapkan praktik terbaik.
6. Sistem dan alat bantu pada level strategi operasi.

Pemetaan level 4 dan seterusnya


Pada pemetaan di bawah level 3, unsur proses diuraikan kedalam tugas
dan aktivitas lanjutan. Proses unsur diuraikan menjadi aktivitas tugas untuk setiap
unsur, sehingga setiap tugas dapat digambarkan secara rinci. Level 4 merupakan
tahap implementasi. Tahap tersebut bukan merupakan cakupan dalam ruang
lingkup SCOR. Level 4 dan seterusnya dapat dilihat pada Gambar 8.

Defenisi Operasional
Batasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bahan baku
Bahan yang digunakan untuk memproduksi suatu produk, baik produk jadi
maupun produk setengah jadi. Bahan baku yang dianalisis adalah PKO dalam
satuan ton.
2. Minyak inti sawit (PKO)
Minyak inti sawit atau PKO merupakan produk turunan kelapa sawit yang
berasal dari inti sawit.
33

D1.7 D1.6 D1.5 D1.4 D1.3 D1.2 D1.1


Select Route Build Reserve Consolidate Receive, Process
Carriers
Rate &
Shipments Loads Inventory &
Determine
Orders Enter &
Validate
Inquiry &
Quote
D1
Shipments Delivery Order Deliver
Stocked
Product
D1.8 D1.9 D1.10 D1.11 D1.12 D1.13 D1.14 D1.15
From Receive Pick Pack Load Product Ship Install Receive & Invoice
Source Product Product Product & Generate Product Product Verify
or Make from Source Shipping Product by
or Make Docs Customer
D1.10

Process Element – D1.2 Tasks


Receive Enter Check Validate
Level 4 Order Order Credit Price

Below Level 3, each


process element is
Task – D1.2.3 Activities described by classic
Level 5 Access Credit Check Credit
Clear Order
hierarchical process
Screen Availability
decomposition
Contact Communicate
Accounting Results to Customer

1. Contact customer account rep.


2. Look up customer history.
3. If necessary, account rep. calls
sales manager to authorize
additional credit.
Level 6 4a. Account rep. clears credit issue
4b. Account rep. refuses credit
request

Gambar 8 Pemetaan level 3


Sumber: SCC (2006)

3. Persediaan
Sumberdaya milik perusahaan yang disimpan dalam rangka antisipasi terhadap
pemenuhan permintaan dimasa yang akan dating. Persediaan PKO dalam satuan
ton
34

4. Biaya pemesanan
Biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk kegiatan pemesanan bahan baku.
Biaya pemesanan dalam satuan Dolar (USD)
5. Biaya penyimpanan
Biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan karena adanya penyimpanan bahan
baku. Komponen biaya penyimpanan terdiri dari biaya yang berhubungan
dengan penanganan pada tangki penyimpanan. Biaya penyimpanan dihitung
dalam satuan Dolar (USD).
6. Lauric acid 99 persen
Lauric acid merupakan salah satu produk utama yang diproduksi oleh PT XYZ.
Bahan baku yang digunakan adalah PKO. Produk tersebut diproduksi melalui
proses splitting dan fraksinasi dengan kandungan minimal lauric acid sebanyak
99 persen dan kandungan capric acid, myristic acid dan lainnya sebesar satu
persen.
7. Myristic acid
Myristic acid adalah salah satu produk sampingan yang diproduksi oleh PT
XYZ. Bahan baku yang digunakan adalah PKO. Produk tersebut diproduksi
melalui proses splitting dan fraksinasi dengan kandungan minimal myristic acid
sebanyak 99 persen dan kandungan lauric acid, palmitic acid dan lainnya
sebesar satu persen.

5 KEADAAN UMUM PERUSAHAAN

Model Rantai Pasok PT XYZ

PT XYZ dalam menjalankan operasi produksinya dengan menerapkan


rantai pasok. Aliran rantai pasok tersebut melibatkan pemasok hingga pelanggan.
Jalur rantai pasok pada PT XYZ merupakan proses pemesanan bahan baku hingga
produk jadi (Gambar 9). Model rantai pasok tersebut menerangkan anggota-anggota
yang terlibat dalam rantai pasok PKO pada PT XYZ. Anggota yang terlibat adalah
pemasok bahan baku, PT XYZ dan pelanggan.
Pada rantai pasok PT XYZ, untuk dapat memenuhi pesanan pelanggannya
perusahaan harus memesan kebutuhan bahan baku sebagai bahan pembuatan lauric
acid 99 persen dan myristic acid 99 persen kepada perusahaan pemasok yang telah
dipilih oleh perusahaan. Pemasok PKO yang terlibat dalam rantai pasok PT XYZ
adalah pemasok tunggal. Pemasok tersebut merupakan perusahaan yang juga
berada pada grup yang sama dengan PT XYZ. Sedangkan yang menjadi pelanggan
PT XYZ merupakan perusahaan industri yang terkait penggunaannya dengan
produk yang dihasilkan oleh PT XYZ, yaitu pembuatan lauric acid 99 persen dan
myristic acid 99 persen. Pelanggan PT XYZ dibagi menjadi pelanggan dengan
tujuan ekspor dan tujuan domestik. Persentase dengan tujuan ekspor memiliki
proporsi lebih tinggi yaitu sebesar 75 persen sedangkan 25 persen sisanya
difokuskan untuk tujuan domestik.
35

Pemasok Pelanggan
bahan baku

Pemasok PT XYZ
submaterial
Ekspor
75 %
Pemasok
sparepart

Pemasok Lokal
kemasan 25 %

Gambar 9 Model rantai pasok PT XYZ

Keterangan:
Aliran barang
Aliran informasi
Aliran uang

Pemasok
Dalam melakukan proses produksi, PT XYZ menggunakan PKO, RBDPS,
dan RBDPO sebagai bahan baku utama. Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku
tersebut, perusahaan membutuhkan beberapa pemasok. Hal tersebut dilakukan
karena perusahaan tidak dapat memproduksi bahan baku sendiri karena
keterbatasan sumber daya. Selain bahan baku utama, perusahaan juga
membutuhkan bahan pendukung (sub-material), suku cadang (spare part), dan
kemasan. Perusahaan pemasok tidak hanya berada di dalam negeri namun juga
berada di luar negeri.
Penelitian yang dilakukan dibatasi hanya pada bahan baku PKO, sehingga
untuk bahan baku lainnya tidak dijelaskan dalam pembahasan. Perusahaan yang
menjadi pemasok adalah pemasok tunggal. Hal tersebut dikarenakan karena
perusahaan tersebut mampu memenuhi kebutuhan bahan baku yang diperlukan oleh
PT XYZ baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
Jumlah pasokan rata-rata bahan baku PKO yang dipesan oleh PT XYZ
adalah 5 600 ton per sekali pemesanan. Bahan baku tersebut digunakan untuk
memproduksi beberapa produk di PT XYZ. Produk yang menjadi fokus penelitian
adalah lauric acid 99 persen dan myristc acid 99 persen. Penentuan jumlah pesanan
berdasarkan data trend permintaan pelanggan akan produk yang diproduksi serta
kemampuan produksi perusahaan.

Perusahaan
PT XYZ adalah salah satu perusahaan yang bergerak di industri oleokimia
atau industri pengolahan minyak kelapa sawit menjadi bahan-bahan kimia seperti
asam lemak (fatty acid) dan gliserin di Indonesia. Perusahaan tersebut terletak di
Kawasan Industri Medan (KIM), Sumatera Utara. PT XYZ sebagai sebuah
36

perusahaan yang dapat dikatakan sebagai perusahaan besar pasti memiliki jumlah
tenaga kerja yang banyak. Tentu dengan hal tersebut perusahaan akan membentuk
sebuah struktur organisasi yang baik.
Struktur organisasi merupakan spesifikasi pekerjaan yang harus dilakukan
dalam sebuah organisasi serta bagaimana cara mengintegrasikan suatu pekerjaan
dengan pekerjaan lainnya. Struktur organisasi sangat dibutuhkan bagi sebuah
perusahaan dengan seiring perkembangan suatu usaha. Gambaran struktur
organisasi PT XYZ terdapat pada Lampiran 1. Struktur organisasi itu sendiri
merupakan pola formal kegiatan dan hubungan di antara berbagai sub-unit dalam
sebuah organisasi. Masing-masing sub unit tersebut memiliki fungsi yang berbeda
dengan sub unit yang lainnya, namun tetap berkaitan satu sama lainnya sebagai satu
kesatuan sebagai organisasi. Selain itu, adanya struktur organisasi juga dapat
membantu setiap anggota atau karyawan dalam mengidentifikasi kedudukannya di
dalam organisasi tersebut.
Berjalannya sebuah organisasi ataupun perusahaan tidak lepas dari peran
penting tenaga kerja. Eksistensi dari sebuah perusahaan dapat dipengaruhi dari
kuantitas maupun kualitas tenaga kerja. PT XYZ memiliki tenaga kerja sebanyak
505 orang, baik tenaga kerja lokal maupun tenaga kerja asing. Rincian jumlah
tenaga kerja PT XYZ disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Jumlah tenaga kerja PT XYZ, 2016


Tenaga Kerja Jumlah Keterangan
Tenaga kerja lokal 504 Orang
Tenaga kerja asing 1 Orang
Total tenaga kerja 505 Orang
Sumber: PT XYZ (2017)

Selain pembagian tenaga kerja menurut kewarganegaraan, pada sub-bab ini


juga dijelaskan pembagian waktu kerja di lingkungan kerja PT XYZ. Waktu kerja
untuk para tenaga kerja dibagimenjadi dua kelompok, yaitu tenaga kerja non-shift
(reguler) dan tenaga kerja sfift.
Tenaga kerja non-shift adalah tenaga kerja yang memulai jam kerjanya
mulai pagi hari hingga sore hari selama delapan jam per hari. Tenaga kerja non-
shift bekerja selama lima hari dalam satu minggu dimulai dari hari senin sampai
hari jumat. Jam kerja tenaga kerja non-shift (reguler) disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Jam kerja tenaga kerja non-shift (reguler)


Hari Jam Kerja Istirahat
Senin-Jum’at 08.00-17.00 WIB 12.00-13.00 WIB
Sabtu dan Minggu Libur Libur
Sumber: PT XYZ (2017)

Sedangkan tenaga kerja shift adalah tenaga kerja yang juga memiliki jam
kerja yang sama dengan tenaga kerja reguler yaitu delapan jam dan berlangsung
selama lima hari kerja. Namun perbedaan antara tenaga kerja shift dengan tenaga
kerja reguler yaitu mereka memiliki tiga bagian jam kerja dimana ketiga bagian
tersebut harus dilalui bergantian setelah satu minggu. Jam kerja tenaga kerja shift
disajikan pada Tabel 8.
37

Tabel 8 Jam kerja tenaga kerja shift


Shift Jam Kerja Istirahat
I 08.00-16.00 WIB 12.00-13.00 WIB
II 16.00-24.00 WIB 20.00-21.00 WIB
III 24.00-08.00 WIB 04.00-05.00 WIB
Sumber: PT XYZ (2017)

6 HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengendalian Persediaan Bahan Baku

Dalam kegiatan industri, bahan baku merupakan hal terpenting. Hal tersebut
disebabkan sangat berpengaruhnya kesediaan bahan baku dalam proses produksi.
Selain itu, bahan baku merupakan salah satu satu faktor yang menentukan kualitas
maupun kuantitas dari produk yang dihasilkan. Penggunaan bahan baku dengan
kualitas baik akan menghasilkan produk yang berkualitas baik, begitu juga
sebaliknya. Serta menjadi faktor yang menentukan kelancaran proses produksi.
Ketersediaan bahan baku yang sesuai dengan kebutuhan, dapat melancarkan proses
produksi dan perusahaan dapat mengirimkan produk kepada konsumen tepat waktu
sesusai dengan yang telah jadwalkan.
Bahan baku yang digunakan untuk proses produksi di PT XYZ adalah PKO,
RBDPS, dan RBDPO. Pada penelitian ini hanya difokuskan pada penggunaan PKO
sebagai bahan baku. Pengendalian bahan baku PT XYZ dilakukan dengan
memperhatikan prosedur pembelian bahan baku, prosedur penerimaan bahan baku
dari pemasok, dan prosedur pemakaian bahan baku. Adapun proses pengendalian
tersebut, yaitu sebagai berikut:

Prosedur Pembelian Bahan Baku


Bahan baku diperlukan untuk melancarkan proses produksi. Perusahaan
diharuskan membeli bahan baku yang dibutuhkan agar proses produksi berjalan
lancar. Metode pengadaan bahan baku yang digunakan oleh PT XYZ mengacu pada
peramalan penjualan dari divisi pemasaran serta jadwal produksi yang telah di-input
pada System Application and Product for Data Processing (SAP). Namun dalam
realisasi produksi tidak selalu sama dengan rencana yang telah disusun, oleh karena
itu diterapkan sistem safety stock, dimana perusahaan akan memesan sejumlah
barang pada saat persediaan di gudang telah dibawah Reorder Point (ROP).
Waktu pembelian bahan baku dijadwalkan oleh divisi Production Planning
and Control (PPC) saat persediaan bahan baku di bawah ROP. Bagian inventory
akan membuat Purchase Requisition (PR) yang kemudian diperiksa dan
ditandatangani oleh supervisor, manager, general manager dan Chief Operating
Officer (COO). Jika PR sudah disetujui maka divisi PPC akan membuat PO
(Purchase Order) kemudian diberikan ke bagian Purchasing dan nantinya akan
dikirim ke supplier untuk pemesanan bahan baku.
38

Prosedur Penerimaan Bahan Baku


Setelah PO dikirim ke pemasok, maka pemasok akan mengirimkan barang
yang diminta dan akan diterima oleh bagian warehouse. Divisi unloading akan
menerima bahan baku tersebut sesuai dengan nomor PO, waktu pemesanan, tanggal
pengiriman, dan kondisi fisik bahan baku yang dating sesuai dengan spesifikasi
yang diharapkan oleh PT XYZ. PT XYZ menentukan tanggal pengiriman dengan
metode pengiriman secara parsial sesuai dengan kebutuhan produksi dan kapasitas
tangki penyimpanan yang dimiliki. Apabila tangki penyimpanan tidak mampu
menampung PKO, maka PKO yang telah dipesan akan disimpan pada tangki
penyimpanan pemasok.
Pemeriksaan fisik barang diperlukan untuk melihat kondisi barang apakah
sesuai atau tidak dengan barang yang diminta. Apabila bahan baku tersebut tidak
sesuai dengan kriteria maka bahan baku akan dikembalikan dan akan meminta
bahan baku yang sesuai. Apabila sudah sesuai kemudian dilakukan pencatatan
penerimaan bahan baku atau good receipt dan di input ke SAP. Setelah selesai,
bahan baku dilakukan pemeriksaan kembali oleh bagian quality control (QC) dan
diuji kelayakannya berdasarkan standar perusahaan. Selama tahun 2016, PT XYZ
tidak pernah menolak dan melakukan pengembalian PKO kepada pemasok. Hal
tersebut disebabkan karena kualitas PKO yang dikirimkan oleh pemasok sesuai
dengan standar yang dipesan oleh PT XYZ.

Prosedur Pemakaian Bahan baku


Bahan baku yang telah diterima dari pemasok disimpan pada tangki-tangki
penyimpanan. Jumlah tangki penyimpanan bahan baku sebanyak 12 tangki. Namun
jumlah tangki yang digunakan untuk penyimpanan PKO hanyak sebanyak tiga
tangki. Setelah bahan baku tersedia di tangki penyimpanan, makan akan langsung
diarahkan secara langsung melalui pipa-pipa penghubung dengan kombinasi
manual dan komputerisasi ke coloum produksi untuk selanjutnya dilakukan proses
produksi sesuai dengan yang telah direncanakan oleh PPIC dan divisi produksi.

Penentuan Bahan Baku Prioritas dengan Analisis ABC


Analisis ABC merupakan analisis yang membagi persediaan kedalam tiga
klasifikasi dengan basis volume dolar tahunan. Analisis ABC memiliki tujuan yakni
untuk membuat kebijakan-kebijakan persediaan yang memfokuskan persediaan
pada bagian-bagian persediaan bahan baku yang penting dan sedikit, bukan pada
yang banyak tetapi sepele (Heizer dan Reinder 2010).
Bahan baku yang digunakan untuk proses produksi di PT XYZ adalah PKO,
RBDPS, dan RBDPO. PKO dan RBDPS merupakan bahan baku prioritas
dibandingkan dengan RBDPO. RBDPO merupakan bahan baku pengganti bila
harga RBDPS mahal dan ketersediaan di pasar sedikit. Ketiga bahan baku tersebut
termasuk kedalam kelas A pada analisis ABC. Biaya yang dikeluarkan oleh PT
XYZ untuk pembelian bahan baku berkisar 75 sampai 80 persen dari total
pengeluaran. Selain total biaya yang dikeluarkan tinggi, tingkat penggunaan bahan
baku untuk proses produksi juga tinggi. Tingkat penerimaan dan penggunaan bahan
baku dapat dilihat pada Tabel 9.
39

Tabel 9 Total biaya bahan baku, sesuai dari tingkat penerimaan tahun 2016
Bahan baku Harga Penerimaan Penggunaan Total Biaya
(USD) (a) (Ton) (b) (Ton) (c) (USD)
PKO 1 288.77 66 495.27 66 927.38 86 253 999.50
RBDPS 639.85 118 568.39 118 451.58 75 865 984.30
RBDPO 627.50 500.08 500.08 313 800.20
Sumber: (a) indexmundi (2017)
(b), (c) PT XYZ (2017)

Tabel 9 menunjukkan bahwa penerimaan PKO berada pada urutan kedua


setelah RBDPS yaitu sebesar 66 495.27 ton. Jumlah pembelian dan penggunaan
PKO bukan yang tertinggi, namun memiliki total biaya pembelian tertinggi
dibandingkan dengan RBDPS dan RBDPO yaitu sebesar 85 650.71 ribu USD. Hal
tersebut disebabkan tingginya harga PKO dibandingkan dengan bahan baku lainnya.
Harga bahan baku yang tertera dalam Tabel 9 merupakan harga pasar, dan
merupakan harga rata-rata selama tahun 2016.
Bahan baku yang telah diproses akan menghasilkan produk fatty acid,
glycerine, dan soap noodle. Penelitian yang dilakukan hanya dibatasi pada produk
yang bahan utamanya yang berasal dari PKO, yaitu lauric acid 99 persen dan
myristic acid 99 persen. Lauric acid 99 persen merupakan produk utama yang
berasal dari PKO sebagai bahan baku, sedangkan myristic acid 99 persen
merupakan produk sampingan.

Jumlah Pemesanan dan Penggunaan Bahan Baku PKO


Jumlah pemesanan dan penggunaan bahan baku PKO dapat dilihat pada
Tabel 10. Data yang ditampilkan merupakan data selama satu tahun, yaitu tahun
2016. PT XYZ melakukan pemesanan PKO selama tahun 2016 sebanyak 44 kali
dengan total pemesanan sebanyak 67 245 ton. Jumlah pemesanan tertinggi terjadi
pada bulan Mei, yaitu sebanyak tujuh kali pemesanan dengan total PKO yang
dipesan sebanyak 9 500 ton, dengan jumlah PKO yang diterima sebanyak 8 245.65
ton. Tingginya jumlah pemesanan yang dilakukan pada bulan Mei diikuti dengan
tingginya jumlah pemakaian bahan baku PKO untuk proses produksi, yaitu
sebanyak 8 582.48 ton. Sedangkan jumlah pemesanan terendah yaitu dua kali
pemesanan dalam satu bulan terjadi pada bulan Januari, Februari, dan November.

Biaya Persediaan
Biaya persediaan adalah biaya yang timbul akibat adanya persediaan bahan
baku. Biaya persediaan terdiri dari biaya pemesanan (ordering cost), biaya
penyimpanan (holding cost), biaya kekurangan bahan (shortage cost). Biaya yang
terkait dengan adanya persediaan perlu mendapat perhatian lebih untuk
persediaannya adalah sebagai berikut:

1. Biaya Pemesanan (Ordering Cost)


Biaya pemesanan adalah biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan setiap kali
perusahaan melakukan pemesanan kepada pemasok. Komponen biaya pemesanan
terdiri dari biaya telepon, internet, materai, dan kertas untuk arsip dokumen. Pada
pemesanan PKO, perusahaan tidak mengeluarkan biaya transportasi secara terpisah
dikarenakan biaya transportasi sudah termasuk dalam biaya atau harga bahan baku.
40

transportasi untuk pengiriman PKO ke PT XYZ disediakan oleh perusahaan


pemasok. Dengan kata lain, perusahaan pemasok mengirimkan PKO langsung ke
PT XYZ dengan menggunakan transportasi milik pemasok.

Tabel 10 Pemesanan dan pemakaian PKO sebagai bahan baku di PT XYZ, Januari-
Desember 2016
Carry over Jumlah Unloading Pemakaian Stok
Bulan
(Kg) pemesanan (Kg) (Kg) (Kg)
Januari 2 679 591 2 4 066 450 6 332 344 413 697
Februari 413 697 2 4 816 480 3 269 416 1 960 761
Maret 1 960 761 4 5 814 130 5 615 376 2 159 515
April 2 159 515 4 6 135 720 6 209 440 2 085 795
Mei 2 085 795 7 8 245 650 8 582 482 1 748 963
Juni 1 748 963 4 6 037 070 5 148 923 2 637 110
Juli 2 637 110 3 4 360 660 5 249 508 1 748 262
Agustus 1 748 262 3 6 804 230 6 585 729 1 966 763
September 1 966 763 4 4 956 290 4 912 002 2 011 051
Oktober 2 011 051 5 4 457 770 5 402 801 1 066 020
November 1 066 020 2 6 952 400 6 953 139 1 065 281
Desember 1 065 281 4 3 848 420 2 666 216 2 247 485
Total 21 542 809 44 66 495 270.00 66 927 376 21 110 703
Rata-rata 1 795 234.08 3.67 5 541 272.50 5 577 281.33 1 759 225.25
Sumber: PT XYZ 2017 (data diolah)

Komponen biaya pemesanan tidak dipengaruhi oleh besarnya jumlah bahan


baku yang dipesan tetapi dipengaruhi oleh frekuensi pemesanan bahan baku
tersebut. Hal ini disebabkan karena biaya yang dikeluarkan meliputi biaya telepon,
internet, materai, dan pengarsipan. Sedangkan biaya transportasi untuk pengiriman
bahan baku sudah termasuk dalam biaya ataupun harga pembelian PKO kepada
pemasok. Biaya yang ditampilkan adalah biaya yang dikeluarkan untuk mendukung
kegiatan pemesanan PKO. Rincian biaya pemesanan PKO disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11 Rincian biaya pemesanan bahan baku


Jenis biaya Biaya (Rp) Persentase (%)
Biaya telepon 3 750 34.25
Biaya internet 950 8.86
Biaya materai 6 000 54.79
Biaya pengarsipan 250 2.28
Total biaya 10 950 100.00
Sumber: PT XYZ (diolah)

Biaya telepon merupakan biaya yang dikeluarkan oleh PT XYZ untuk


keperluan saat menghubungi pemasok untuk melakukan pemesanan PKO. Cara ini
dilakukan untuk konfirmasi awal terkait ketersediaaan PKO dan harga yang berlaku
saat pemesanan. Setelah sesuai dengan yang diharapkan oleh PT XYZ dan
dilakukan kesepakatan, maka selanjutkan akan dituangkan secara rinci dalam PO.
41

Biaya internet yang diperhitungkan pada saat pengiriman PO kepada pemasok.


Serta biaya materai dan pengarsipan.
Total biaya pemesanan bahan baku PKO di PT XYZ untuk satu PO sebesar
Rp 10 950 atau 0.82 USD (dengan konversi nilai tukar Dolar pada tahun 2016
sebesar Rp 13 292.92). Biaya tersebut tidak berhubungan dengan besarnya jumlah
kuantitas PKO yang dipesan oleh PT XYZ. Jika pada tahun 2016 perusahaan
melakukan 44 kali pemesanan bahan baku PKO, maka total biaya pemesanan yang
harus dikeluarkan selama satu tahun sebesar 36.08 USD.

2. Biaya Penyimpanan
Biaya penyimpanan merupakan biaya yang terkait dengan kegiatan
penyimpanan persediaan baik bahan baku, bahan pendukung, kemasan maupun
barang lainnya yang membutuhkan ruang penyimpanan selama waktu tertentu.
Secara umum, biaya penyimpanan mencakup biaya yang terkait penyimpanan
seperti fasilitas penyimpanan, biaya asuransi dan biaya administrasi gudang serta
biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan akibat bahan baku rusak atau usang. Biaya
yang diperhitungkan dalam biaya penyimpanan pada PT XYZ adalah biaya
electrical (listrik) dan biaya steam. Biaya tersebut digunakan untuk menjaga
temperatur pada tangki penyimpanan. Rincian biaya penyimpanan PKO PT XYZ
per hari terdapat pada Tabel 12.

Tabel 12 Rincian biaya penyimpanan bahan baku per hari


Total Biaya per
Pemakaian T Total biaya
Jenis biaya pemakaian satuan
per jam (jam) (Rp)
per hari (Rp)
Penggunaan listrik
Lampu 1 000 kwh 12 12 000 kwh 880 10 560 000
Pompa 110 kwh 24 2 640 kwh 880 2 323 200
Penggunaan steam 2 ton 24 48 ton 160 000 7 680 000
Total biaya 20 563 200
Sumber: PT XYZ (diolah)

Suhu pada tangki harus tetap stabil dan minimal temperatur pada tangki
penyimpanan bahan baku PKO adalah 52 oC. Bila temperatur kurang dari angka
tersebut, maka akan berpengaruh pada kualitas PKO. Dari Tabel 12, diperoleh total
biaya penyimpanan harian sebesar Rp 20 563 200 atau setara dengan 1 534.81 USD.
Sehingga total biaya penyimpanan PKO selama satu tahun sebesar 561 738.78 USD
dengan total hari kerja adalah 366 hari pada tahun 2016. Total biaya tersebut
merupakan biaya yang dikeluarkan untuk seluruh tangki penyimpanan bahan baku
yang tersedia di PT XYZ. Persentase biaya untuk bahan baku PKO adalah 1.46
persen dan rata-rata penyimpanan perbulan sebanyak 1 759.52 ton, maka biaya yang
dikeluarkan oleh PT XYZ untuk penyimpanan per ton PKO adalah sebesar 4.66
USD per tahun.

Analisis Sediaan Menggunakan Metode Economic Order Quantity (EOQ)


Metode yang diperkenalkan oleh Ford Harris digunakan untuk menghitung
cara meminimalisasi total biaya persediaan. Perhitungan jumlah pesanan optimal
PT XYZ dengan menggunakan EOQ dapat dilihat pada Tabel 13.
42

Tabel 13 Perhitungan jumlah pesanan PKO optimal metode EOQ


Parameter Value Parameter Value
Demand rate(D) (a)
66 927.38 Optimal order quantity (Q*) (a)
153.47
Setup/Ordering cost(S) (b)
0.82 Maximum Inventory Level (Imax) (a)
153.47
Holding cost(H) (b)
4.66 Average inventory (a)
76.74
Unit cost(b) 1 288.77 Orders per period(year) 436.09
Annual Setup cost(b) 357.59
Annual Holding cost (b)
357.59
Unit costs (PD) (b)
86 254 010
Total Cost(b) 86 254 720
Keterangan: (a) Kuantitas demand rate dalam ton
(b) Biaya dalam satuan USD

Pada Tabel 13 dapat dilihat bahwa jumlah pemesanan optimal menurut


metode EOQ sebesar 153.47 ton dengan frekuensi pembelian sebanyak 436 kali
pemesanan. Grafik kuantitas pemesanan optimal yang dihasilkan dengan
menggunakan metode EOQ ditampilkan pada Gambar 10.

Gambar 10 The EOQ cost model

Perbandingan jumlah pemesanan pada perhitungan dengan model EOQ dan


perusahaan dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14 Perbandingan total biaya sediaan perusahaan dengan metode EOQ PT


XYZ, 2016
Parameter Metode perusahaan Metode EOQ
(a)
Pemesanan optimal 1 528.29 153.47
Periode order(b) 44 437
(c)
Biaya pemesanan 36.08 358.44
Biaya penyimpanan(c) 4.66 358.44
Biaya bahan baku(c) 86 253 999.50 86 253 999.50
Total biaya sediaan (c) 86 257 759.70 86 254 716.40
Keterangan: (a) dalam ton; (b) dalam kali; (c) dalam USD

Dari Tabel 14, dapat dilihat bahwa metode EOQ dapat menghemat 2 865.1
USD atau setara dengan 0.003 persen dari total biaya yang dikeluarkan oleh
43

perusahaan. Penelitian ini sejalan dengan beberapa hasil penelitian sebelumnya


yang menggunakan metode EOQ.
Namun metode tersebut tidak dapat digunakan pada jenis perusahaan seperti
PT XYZ. Hal tersebut disebabkan oleh jumlah order yang dihasilkan dengan
metode EOQ sebanyak 437 kali pemesanan yang tidak relevan digunakan oleh
perusahaan. Dengan sistem pembelian bahan baku yang dijalankan oleh perusahan
yaitu pengiriman dilakukan secara parsial, hal tersebut dapat dikatakan hampir sama
jumlahnya denganmetode EOQ. Hal tersebut disebabkan kareta adanya integrasi
perusahaan dari hulu ke hilir. Integrasi dilihat dari pembelian PKO pada pemasok
yang merupakan satu grup dengan perusahaan PT XYZ dan beberapa bahan
pendukung keperluan administrasi dipasokdari perusahaan lain yang merupakan
satu grup juga.
Selain itu, penggunaan metode EOQ juga kurang cocok digunakan untuk
perhitungan pada perusahaan seperti PT XYZ. Hal tersebut dikarena perhitungan
yang digunakan pada model EOQ memakai asumsi bahwa harga, jarak, dan
pemesanan kon stan. Namun pada kenyataannya harga bahan baku yang digunakan
sangat berfluktuasi. Selain itu, sistem penerimaan bahan baku di perusahaan yang
tidak langsung sejumlah yang dipesan pada saat pemesanan, namun secara parsial.
Sistem produksi yang dilakukan sepanjang waktu, sehingga bahan baku yang ada
di tangki penyimpanan langsung ditarik untuk proses produksi. Sehingga jumlah
stok yang ada di tangki dapat berubah dengan cepat, baik penambahan karena
proses unloading maupun pengurangan akibat digunakan untuk proses produksi.
Hasil tersebut berbeda dengan beberapa peneliti yang menyatakan bahwa
penggunaan metode EOQ akan menghasilkan kuantitas pemesanan optimal.
Sitanggang (2005) menyatakan bahwa penggunaan metode EOQ memberikan
penghematan total biaya sediaan gandum di PT ISM Bogasari Flour Mills Tbk
sebesar 3.6 persen dibandingkan dengan metode perusahaan. Mathew (2013) juga
memperoleh hasil bahwa penggunaan metode EOQ mengurangi total biaya sediaan
sebesar 20 persen dibandingkan dengan metode yang digunakan oleh perusahaaan.
Nugraha (2015) memperoleh kuantitas pemesanan optimal dengan menggunakan
metode EOQ.

Safety stock
Untuk menghindari terjadinya kekurangan persediaan (stock out) atau risiko
lainnya yang akan berakibat kehilangan penjualan ataupun terhentinya proses
produksi, perusahaan menerapkan tingkat persediaan pengaman (safety stock).
Tingkat persediaan pengaman (safety stock) berdasarkan kebijakan perusahaan
untuk masing-masing bahan baku utama ditetapkan sebesar 30 persen dari
kebutuhan bahan baku yang digunakan untuk proses produksi. Perhitungan tersebut
berdasarkan peramalan dari bagian pemasaran (untuk penjualan produk) dan bagian
produksi (sebagai eksekutor pengguna bahan baku untuk proses produksi).

Kinerja Rantai Pasok

Kinerja merupakan salah satu ukuran evaluasi dalam sebuah organisasi,


perusahaan maupun rantai pasok. Pengukuran kinerja dilakukan untuk melihat
apakah tujuan akhir telah tercapai atau belum. Bolstorff dan Rosenbaum (2012)
44

menyatakan bahwa dalam SCOR, manajemen rantai pasok didefinisikan sebagai


proses perencanaan, pengadaan, pembuatan, penyampaian, dan pengembalian yang
saling terintegrasi mulai dari pemasok hingga kepada pelanggan ataupun konsumen
akhir. Hal tersebut didukung oleh strategi operasional serta aliran material, kerja,
dan informasi.

Perencanaan (Plan)
Perencaan sangat penting dalam sebuah perusahaan. Proses ini merupakan
awal penentuan dari pengadaan, produksi, serta pengiriman. Proses ini merupakan
proses perencanaan dan pengendalian sediaan (bahan baku, bahan pendukung, suku
cadang, dan kemasan), perencanaan produksi, perencanaan pengiriman, serta
menyelaraskan semua aliran rantai pasok dengan aliran keuangan.
Bahan baku utama yang digunakan oleh PT XYZ berasal dari dalam negeri.
Pemasok bahan baku PKO untuk PT XYZ adalah pemasok tunggal dan letak
perusahaan pemasok tidak jauh dari letak perusahaan. Pemesanan rata-rata
dilakukan sebanyak 44 kali pemesanan dalam sebulan, dengan total pemesanan
rata-rata per bulan sebanyak 5 600 ton.

Pengadaan (Source)
Proses pengadaan mencakup penjadwalan pengiriman dari pemasok baik
bahan baku, bahan pendukung, suku cadang, dan kemasan, proses penerimaan,
proses pengecekan, pemberian otoritas pembayaran untuk barang yang dikirim oleh
pemasok, pemilihan pemasok, dan mengevaluasi kinerja pemasok.
Sistem pengadaan bahan baku pada PT XYZ menggunakan metode make to
stock. Proses produksi dari PKO hingga menjadi lauric acid 99 persen dan myristic
acid 99 persen melewati proses splitting dan fraksinasi. Rata-rata penggunaan PKO
sebagai bahan baku dalam satu bulan sebanyak 5 577.28 ton. Produksi produk-
produk utama yang diproduksi oleh PT XYZ sesuai dengan metode make to order
(sesuai pesanan pelanggan).

Pembuatan
Proses pembuatan adalah proses merubah bahan baku menjadi sebuah
produk yang diinginkan oleh pelanggan. Proses produksi didasarkan oleh ramalan
penjualan yang dibuat oleh divisi pemasaran serta berdasarkan pesanan dari
pelanggan. Proses yang dilakukan pada proses pembuatan atau proses produksi
antara lain penjadwalan produksi, waktu produksi, kegiatan produksi, uji coba
produk bila produk tersebut merupakan produk baru atau produk yang
spesifikasinya tidak sama dengan spesifikasi produk yang diproduksi, serta kegiatan
pemeliharaan faktor produksi.
PT XYZ memproduksi sebanyak 59 jenis produk, dimana terbagi dari 39
jenis produk yang tergolong fatty acid, 6 jenis produk glycerine, dan 14 jenis produk
soap noodle. Dari 39 jenis produk fatty acid, produk yang merupakan produk
unggulan PT XYZ adalah lauric acid 99 persen, dan FAH. Namun produk yang
yang diproduksi menggunakan bahan baku fresh PKO adalah lauric acid 99 persen.
Alur proses singkat produksi lauric acid 99 persen tertera pada Gambar 11.
Dalam proses produksi, penggunaan bahan baku PKO tidak hanya
menghasilkan satu produk saja (produk utama) namun juga menghasilkan produk
sampingan. Untuk memproduksi lauric acid 99 persen sebagai produk utama,
45

perusahaan juga menghasilkan myristic acid 99 persen, produk setengah jadi serta
residu. Produk setengah jadi, dan residu pada Gambar 11 ditulis dengan keterangan
lainnya. Pada penelitian ini akan dijelaskan dua produk fatty acid, fatty acid, yaitu
lauric acid 99 persen dan myristic acid 99 persen.

PKO
Proses spliting

PKO FA Glycerine
Proses fraksinasi

Lauric acid 99 persen Myristic acid 99 persen Lainnya

Gambar 11 Proses produksi lauric acid 99 persen dan myristic acid 99 persen
Sumber: PT XYZ (diolah)

Jumlah produksi lauric acid 99 persen rata-rata dalam satu bulan selama
tahun 2016 sebanyak 1 566.89 ton dengan jumlah produksi terbanyak terjadi pada
bulan Desember yaitu sebanyak 2 246.98 ton. Namun jumlah penjualan tertinggi
tidak terjadi pada bulan Desember, melainkan pada bulan Juli yaitu sebesar 2
217.53 ton. Data fluktuasi produksi dan penjualan lauric acid 99 persen dapat
dilihat pada Gambar 12.

2.500,00

2.000,00
KUANTITAS

1.500,00

1.000,00

500,00

-
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
Produksi 1.698 1.501 1.566 1.132 508,3 1.734 2.076 2.154 2.106 1.456 620,0 2.246
Penjualan 1.352 1.749 1.266 1.058 508,9 1.387 2.217 2.023 2.160 542,8 541,3 1.412

Gambar 12 Grafik produksi dan penjualan lauric acid 99 persen tahun 2016
(dalam ton)
Sumber: PT XYZ (diolah)

Rata-rata produksi myristic acid 99 persen sebanyak 555 ton per bulan
dengan jumlah produksi terbanyak pada bulan September yaitu 830.42 ton. Namun
penjualan tertinggi terjadi pada bulan Juni yaitu sebesar 769.86 ton. Data fluktuasi
produksi dan penjualan myristic acid 99 persen dapat dilihat pada Gambar 13.
46

900,00
800,00
700,00
KUANTITAS

600,00
500,00
400,00
300,00
200,00
100,00
-
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
Produksi 581,5 579,3 508,8 500,3 143,3 524,4 585,0 638,8 830,4 760,8 740,6 266,4
Penjualan 397,8 431,4 646,5 479,6 373,5 769,8 435,1 757,6 416,5 503,2 269,5 64,89

Gambar 13 Grafik produksi dan penjualan myristic acid 99 persen tahun 2016
(dalam ton)
Sumber: PT XYZ (diolah)

Produk-produk yang telah diproduksi langsung dikemas dalam berbagai


macam bentuk kemasan. Pada produk lauric acid 99 persen kemasan yang
digunakan adalah isotank, tanker, paper bag 20 kg, paper bag 25 kg, jumbo bag 600
kg, dan woven bag 25 kg. sedangkan penggunaan kemasan pada produk myristic
acid 99 persen adalah isotank dan paper bag 25 kg.
Jumlah produksi dan penjualan lauric acid 99 persen dan myristic acid 99
persen pada 2015-2016 dapat dilihat pada Tabel 13. Dari Tabel dapat dilihat
persentase perubahan jumlah produksi lauric acid 99 persen selama satu tahun
mengalami peningkatan produksi sebesar 7.93 persen namun terjadi penurunan
penjualan sebesar 9.83 persen. Berbeda dengan myristic acid 99 persen yang
mengalami peningkatan produksi dan penjualan berturut-turut sebesar 19.66 persen
dan 3.39 persen. Penurunan penjualan disebabkan beberapa faktor, antara lain
adanya perusahaan baru pada industri oleokimia.

Tabel 15 Penjualan lauric acid 99 persen dan myristic acid 99 persen tahun 2015-
2016
Produksi (ton) Per (%) Penjualan (ton) Per (%)
Produk
2015 2016 2015 2016
Lauric acid 99 persen 17 421.05 18 802.64 7.93 17 989.46 16 221.11 (9.83)
Myristic acid 99 persen 5 565.61 6 660.01 19.66 5 363.71 5 545.74 3.39
Total 22 986.66 25 462.64 27.59 23 353.17 21 766.84 (6.44)
Keterangan: Per adalah persentase perubahan dari 2015 ke 2016
Sumber: PT XYZ (diolah)

Pengiriman (Delivery)
Proses pengiriman merupakan kegiatan paling penting dalam memenuhi
permintaan pelanggan terhadap suatu barang. Pengiriman dapat dimulai dari
mempersiapkan fisik produk dari gudang ke lokasi tujuan sesuai dengan dokumen
pemesanan dan pengiriman serta dalam kondisi sesuai dengan persyaratan
penanganan produk. Kegiatan yang dilakukan pada proses pengiriman pada PT
XYZ antara lain manajemen pemesanan baik pemesanan kepada pemasok maupun
pesanan dari pelanggan, transportasi (pemilihan moda transportasi), dan distribusi.
47

Distribusi dipandang sebagai hubungan kunci (fisik) antara aktivitas rantai pasokan
internal perusahaan dengan pelanggan (Rexhausen et al. 2012).
Moda transportasi yang digunakan PT XYZ dalam mengirimkan produk
adalah truk kontainer, tangki dan kapal laut. Truk kontainer dan tangki digunakan
saat pengiriman ke pelanggan lokal yang berada di sekitar perusahaan ataupun
daerah yang dapat dijangkau oleh jalur darat. Sedangkan pengiriman ke pelanggan
lokal yang berada di luar pulau Sumatera dan tujuan ekspor, pengiriman dilakukan
dengan menggunakan kapal laut dari Pelabuhan Belawan yang sebelumnya produk-
produk tersebut diangkut menggunakan truk kontainer atau tangka dari perusahaan
ke pelabuhan. Beberapa ukuran kontainer yang biasa digunakan oleh PT XYZ
adalah ukuran 20 ft dan 40 ft.

Pengembalian (Return)
Proses pengembalian merupakan kondisi dimana perusahaan menerima
kembali produk dari pelanggan dengan sesuatu alasan. Kegiatan yang terlibat pada
proses ini adalah identifikasi kondisi produk, jadwal pengembalian, dan proses
penembalian. Dalam pemenuhan pesanan dari pelanggan, PT XYZ tidak pernah
menerima pengembalian produk dari pelanggan lokal. Sedangkan untuk pelanggan
ekspor perusahaan tidak melakukan pengembalian produk jika terjadi kesalahan,
atau produk tidak sesuai dengan yang dipesan oleh pelanggan namun cara lain yang
dilakukan perusahaan untuk bertanggung jawab akan hal tersebut adalah dengan
memberikan harga khusus atau mencari pelanggan lain yang mau membeli produk
tersebut. Hal tersebut dilakukan karena beberapa pertimbangan antara lain biaya
yang harus dikeluarkan untuk pengembalian produk yang sangat tinggi serta
pengurusan dokumen ekspor impor.
Penjelasan unsur-unsur proses SCOR pada rantai pasok PT XYZ dapat
dilihan pada Tabel 16. Unsur-unsur proses SCOR yang dijelaskan pada ruang
lingkup rantai pasok PT XYZ adalah perencanaan, pengadaan, pembuatan,
pengiriman, dan pengembalian pada setiap pelaku rantai pasok yang terdiri dari
pemasok, PT XYZ dan pelanggan.

Metriks Kinerja SCOR


Pengukuran kinerja pada suatu perusahaan digunakan untuk menilai apakah
rantai pasok pada perusahaan tersebut memiliki kinerja yang baik atau tidak. Salah
satu metode yang digunakan dalam pengukuran kinerja rantai pasok adalah SCOR.
Rantai pasok PT XYZ akan diukur dengan metrik kinerja level 1, yaitu kinerja
penyampaian PT XYZ dalam menyampaikan lauric acid 99 persen dan myrirtic
acid 99 persen kepada perusahaan pelanggan. Analisis level satu dimulai dengan
mendefinisikan tujuan bisnis perusahaan (Bolstorff 2003). Hal tesebut dilakukan
agar penelitian yang dilakukan sejalan dengan strategi perusahaan dan fokus pada
tujuan utama yang ingin dicapai perusahaan. Berdasarkan hasil wawancara, dapat
disimpulkan bahwa tujuan bisnis PT XYZ didefinisikan sebagai berikut:
1. Memberikan tingkat pelayanan terbaik kepada pelanggan;
2. Meningkatkan keuntungan perusahaan.
Namun pada penelitian ini hanya mengukur kinerja pada atribut yang
berhubungan pada pengukuran kinerja tingkat pelayanan terbaik kepada pelanggan
(tujuan bisnis 1). Hal tersebut dilakukan karena orientasi perusahan lebih kepada
pelanggan.
48

Tabel 16 Ruang lingkup unsur-unsur proses SCOR


Unsur proses Pemasok PT XYZ Pelanggan
Perencanaan Perencanaan bahan Perencanaan kebutuhan Perencanaan pembelian
baku PKO dan PKO, perencanaan produk, persediaan dan
perencanaan sediaan PKO, produksi pemakain produk (lauric
finansial dan pengiriman. acid 99 persen dan
myristic acid 99 persen)
Pengadaan Pengadaan bahan Pemilihan pemasok, Pembelian produk
baku sesuai membuat kesepakatan (lauric acid 99 persen
permintaan dengan pemasok, dan myristic acid 99
pelanggan, baik dari pemesanan, persen) langsung kepada
sisi kualitas maupun pengiriman, PT XYZ
kuantitas) dan pemeriksaaan dan
membuat pengeluaran bahan baku
kesepakatan dengan dari pemasok
PT XYZ
Pembuatan Proses pengolahan Memproduksi produk Pelanggan sebagai
kelapa sawit menjadi (lauric acid 99 persen pemakai akhir produk
PKO dan myristic acid 99 lauric acid 99 persen dan
persen) dan membuat myristic acid 99 persen
ke dalam kemasan
sesuai dengan
permintaan pelanggan
Pengiriman Melakukan Melakukan loading ke Tidak melakukan proses
pengangkutan bahan dalam container, pengiriman karena
baku PKO ke PT melakukan pengiriman pelanggan sebagai
XYZ dengan transportasi pengguna akhir
yang depat dan tepat
waktu, mengelola
proses pesanan dan
menjaga hubungan baik
dengan pelanggan.
Pengembalian Mengelola Membuat kalim atas Pembuatan klaim atas
pengembalian bahan bahan baku yang tidak produk yang rusak,
baku yang tidak sesuai kepada pemasok. kuantiti yang kurang,
sesuai dengan Mengganti bahan baku kotor, ataupun tidak
permintaan PT XYZ yang tidak sesuai sesuai dengan
terkait dengan dengan permintaan PT permintaan
kualitas dan XYZ
menyediakan
transportasi untuk
pengiriman bahan
baku pengganti
Sumber: PT XYZ (diolah)

Atribut perhitungan metrik kinerja


Atribut yang digunakan dalam perhitungan kinerja pada PT XYZ dibatasi
pada atribut supply chain reliability, supply chain responsiveness, dan supply chain
asset management. Sedangkan metrik yang di perhitungkan dalam pengikuran
kinerja adalah Perfect Order Fulfillment (POF), Order Fulfillment Cycle Time
(OFCT) dan Cash to Cash Cycle Time (CTCCT).

1. Perfect Order Fulfillment (POF)


Pengukuran POF bertujuan untuk mengetahui kepuasan konsumen akhir.
Metrik ini mengukur sejauh mana PT XYZ dapat memenuhi pesanan dari konsumen
49

secara sempurna. Pemenuhan pesanan secara sempurna dapat diartikan pemesanan


yang sesuai dengan permintaan konsumen dan tepat pada waktu yang dijadwalkan
dengan dokumen yang tepat dan produk berada dalam kondisi yang baik.
PT XYZ selalu berusahan untuk dapat memenuhi seluruh permintaan
konsumen dengan baik. Namun tetap terdapat kendala yang terjadi, baik yang
disebabkan dari sisi internal perusahaan, eksternal, serta force majeure. Pelanggan
PT XYZ dibedakan menjadi pelanggan domestik dan ekspor. Persentase
perbandingan jumlah pelanggan ekspor sebesar 75 persen dan sisanya dijual pada
pelanggan domestik. Hal tersebut mengacu pada Peraturan Direktur Jendral Bea
dan Cukai PER 35/BC/2013.
Item yang dilihat pada pengukuran POF adalah persentase produk terkirim
sesuai dengan permintaan pelanggan (percentage of order delivered in full), waktu
yang telah disepakati (percentage of order delivered in committed date) atau on
time, dokumen-dokumen yang tepat (percentage of documentation accuracy) serta
di dalam kondisi yang sempurna (percentage of order in perfect condition).
Konsumen membeli produk ke PT XYZ sesuai dengan PO dari pelanggan yang
diajukan kepada perusahaan. Konsumen selalu memesan dengan jumlah kuantitas
tertentu dan tidak tetap. Persentase kinerja pengiriman produk lauric acid 99 persen
dan myristic acid 99 persen, tahun 2016 disajikan pada Tabel 17.

Tabel 17 Persentase kinerja pengiriman produk lauric acid 99 persen dan myristic
acid 99 persen, tahun 2016
Produk In full On time Dokumen Perfect POF
(%) (%) (%) condition (%) (%)
Lauric acid 83.23 89.12 100.00 76.21 87.14
Myristic acid 85.87 88.56 100.00 83.83 89.57
Sumber: PT XYZ (diolah)
Persentase pengiriman kelengkapan dokumen yang lengkap adalah 100
persen. Dokumen yang harus dilengkapi saat melakukan pengiriman produk ke
pelanggan adalah DO, CoA, serta dokumen ekspor. Dokumen ekspor merupakan
dokumen khusus yang dilengkapi untuk produk tujuan ekspor. Dokumen-dokumen
tersebut dibutuhkan untuk unloading produk di pelabuhan tujuan. Semua dokumen
ekspor dikirim dalam bentuk hard copy ke pelanggan dan harus tiba maksimal tujuh
hari sebelum produk tiba di pelabuhan tujuan.

2. Order Fulfillment Cycle Time (OFCT)


Order fulfillment cycle time (OFCT) (waktu tunggu dalam pemenuhan
pesanan) adalah jarak waktu antara pemesanan dan produk tiba di konsumen.
Pesanan dilakukan oleh konsumen langsung ke perusahaan melalui sales. Dalam
pemenuhan pesanan ke konsumen, PT XYZ tidak memiliki perjanjian yang
berkaitan dengan waktu baku pengiriman produk. Hal tersebut dikarenakan terdapat
beberapa konsumen yang tidak menetapkan tanggal pasti untuk produk tiba di
lokasi. Sebagai contoh, konsumen yang hanya memberikan informasi kepada
perusahaan agar dapat menerima produk pada awal bulan Maret. Dari hal tersebut,
PT XYZ yang harus mengestimasikan waktu agar produk sampai di tujuan tepat
waktu. Estimasi lama waktu kirim mengacu pada jadwal transit time kapal yang
akan digunakan sebagai armada pengiriman produk ke pelabuhan tujuan.
50

Rata-rata lama proses produksi perusahaan untuk dapat memenuhi pesanan


dari pelanggan selama 14 hari. Hal ini disebabkan oleh jumlah pesanan pelanggan
yang besar dan dapat berubah-ubah baik penambahan maupun pengurangan
kuantitas. Setiap perusahaan memiliki waktu tunggu dalam pemenuhan pemesanan
produk yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut disebabkan oleh jenis produk yang
dipesan, lokasi pelanggan, penggunaan kapal serta berkaitan dengan internal
perusahaan, baik tenaga kerja maupun jumlah order pelanggan. Estimasi waktu
terlama yang dibutuhkan untuk pengiriman produk ke konsumen adalah 34 hari
dengan menggunakan kapal COSCO dengan tujuan pelabuhan Zhangjiagang,
China dan waktu tercepat adalah 2 hari dengan menggunakan kapal QEL dengan
tujuan pelabuhan Port Klang, Malaysia. Pemilihan kapal tergantung dari
permintaan konsumen, serta estimasi waktu pengiriman yang sudah direncanakan
oleh PT XYZ agar produk sampai tepat waktu. Selain itu, juga berkaitan dengan
biaya pengiriman dan jenis produk yang dikirim.
PT XYZ sangat meminimalisir terjadinya lead time pengiriman kepada
pelanggan. Namun selama tahun 2016, terdapat 2 konsumen yang komplain terkait
dengan delay delivey product selama 29 hari dan 11 hari dari tanggal dijadwalkan
produk akan tiba di konsumen.

3. Cash to Cash Cycle Time (CTCCT)


Cash to cash cycle time (CTCCT) merupakan metrik yang mengukur
kecepatan rantai pasok mengubah persediaan menjadi uang tunai. Semakin rendah
nilai metrik ini, semakin baik kinerja rantai pasok. Komponen dari perhitungan
CTCCT adalah nilai inventory days of supply (persediaan harian), days sales
outstanding, dan days payable outstanding.
Inventory days of supply merupakan lamanya hari perusahaan bertahan
dalam memenuhi permintaan dengan persediaan yang dimiliki di dalam gudang
atau tempat penyimpanan. Perusahaan memproduksi produk sesuai dengan pesanan
perusahaan pelanggan. Produk yang dihasilkan bukan hanya produk utama, namun
ada produk sampingan maupun residu. Produk sampingan tersebut yang menjadi
stok di gudang penyimpanan.

Tabel 18 Total stok produk lauric acid 99 persen dan myristic acid 99 persen,
tahun 2016 dalam ton.
Produk Produksi Defect Penjualan Carry over Stock
Lauric acid 18 802.64 12.83 16 221.11 9 396.35 11 965.06
Myristic acid 6 660.00 12.20 5 545.74 12 349.85 13 451.92

Pada Tabel 18 dapat dilihat bahwa stok produk lauric acid dalam setahun
sebesar 11 965.06 ton, sehingga rata-rata persediaan perbulan sebesar 997.01 ton.
Dari total permintaan pertahun sebesar 16 221.11, maka rata-rata permintaan harian
sebesar 44.32 ton. Sehingga dengan total persediaan tersebut, perusahaan hanya
dapat memenuhi kebutuhan pelanggan selama 22 hari atau sama dengan 0.73 bulan.
Jumlah tersebut lebih sedikit dibandingkan dengan persediaan myristic acid 99
persen yaitu sebesar 1 120.99 ton per bulan. Rata-rata permintaan pelanggan per
hari sebesar 15.15 ton. Maka dengan jumlah persediaan yang ada, perusahaan dapat
memenuhi kebutuhan pelanggan selama 72 hari atau sama dengan 2.47 bulan.
Selain melihat persediaan harian, dihitung juga days sales outstanding.
51

Days sales outstanding merupakan lamanya hari perusahaan mendapatkan


bayaran uang tunai atas produk yang dijual. Sistem pembayaran yang dilakukan
oleh pelanggan tidak secara tunai. Hal tersebut disebabkan oleh jarak dan system
yang digunakan oleh perusahaan. Proses transaksi antara perusahaan dengan
pelanggan dilakukan dengan sistem cash in advance, cash agent document, letter
of credit dan sistem down payment. Sistem pembayaran yang paling banyak
digunakan oleh pelanggan adalah cash in advance setelah pelanggan setuju dengan
spesifikasi produk yang akan dikirim. Lama hari pelanggan melakukan pembayaran
tergantung dari system yang digunakan pelanggan sebagai media pembayaran.
Rata-rata waktu pembayaran yang dilakukan oleh pelanggan adalah 30 hari. Hal
tersebut dapat dikatakan lancar. Suryanto (2016) menyatakan bahwa rata-rata
periode pembayaran untuk industri material bangunan, bahan kimia, alat tulis
kantor, dan peralatan listrik yaitu antara 21-90 hari.
Days payable outstanding merupakan lamanya hari perusahaan membayar
seluruh input-nya ke pemasok-pemasoknya. Pembayaran bahan PKO dilakukan
setelah barang tiba di perusahaan. Dan maksimal pembayaran dilakukan satu hari
setelah bahan baku diterima.
Total nilai CTCCT adalah jumlah dari nilai inventory days of supply
(persediaan harian) dan days sales outstanding dikurang dengan nilai days payable
outstanding. Total nilai CTCCT lauric acid 99 persen sebesar 51 hari dan untuk
myristic acid 99 persen sebesar 101 hari.
Setelah mendapatkan data aktual produk lauric acid 99 persen dan myristic
acid 99 persen serta mengkalkulasi berdasarkan metrik kinerja, maka langkah
selanjutnya yaitu menentukan posisi aktual dan menetapkan kinerja target untuk
masing-masing metrik berdasarkan data benchmark. Data benchmark diperoleh dari
Global Supply Chain Benchmark tahun 2010 untuk sebuah perusahaan industri.
Data benchmark ini digunakan untuk menentukan kinerja target, memberikan
gambaran mengenai besarnya gap antara kinerja perusahaan dengan kinerja
perusahaan yang menjadi acuan dalam data benchmark dan tren kinerja dari tahun
ke tahun, serta membantu dalam mengarahkan pengembangan rantai pasok.
Data benchmark terdiri dari 3 kategori, yaitu superior, advantage dan parity.
Data pada kategori superior diperoleh dari persentil 90 perusahaan-perusahaan
dengan nilai terbaik untuk masing-masing metrik. Data pada kategori parity
diperoleh dari rataan nilai perusahaan pada posisi median (rataan nilai tengah).
Sedangkan data pada kategori advantage merupakan rataan nilai tengah antara
kategori superior dan parity (Bolstorff 2003).
Apabila data aktual dari suatu metrik berada di posisi superior, dapat
diartikan bahwa kinerja perusahaan berdasarkan metrik tersebut sudah dalam posisi
terbaik, sehingga tidak perlu lagi dilakukan analisis pada level 2 maupun level
selanjutnya. Namun, bila data aktual yang diperoleh oleh perusahaan berada pada
posisi advantage, parity, atau di bawah parity, maka harus dilakukan analisis lebih
rinci pada level-level selanjutnya. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui pada
kegiatan apa yang menyebabkan kinerja yang diperoleh perusahaan kurang
maksimal. Dalam menetapkan kinerja target untuk setiap metrik, SCC menjelaskan
ketentuan penetapan tersebut dalam (Bolstorff 2003). Kinerja target pada kategori
superior ditetapkan hanya untuk satu atribut yang menjadi fokus perusahaan atau
metrik-metrik yang mewakili tujuan bisnis yang utama. Demikian juga dengan
kinerja target pada kategori advantage hanya diberikan pada satu atribut yang
52

menjadi fokus berikutnya. Sedangkan, kinerja target kategori parity ditetapkan


untuk dua atribut lainnya.
Tabel 19 merupakan metrik SCOR level satu yang menunjukkan data aktual
dan benchmark dari industri sejenis secara global yang terdiri dari tiga kategori
untuk mengetahui posisi kinerja PT XYZ. Setelah mendapatkan data aktual dan
mengkalkulasi berdasarkan metrik yang akan dianalisis, langkah selanjutnya yaitu
menentukan posisi aktual dan menetapkan kinerja target untuk masing-masing
metrik berdasarkan data benchmark.
Berdasarkan Tabel 19 terlihat bahwa PT XYZ berada pada posisi superior
untuk metrik ketersediaan dan fleksibilitas rantai pasokan. Namun untuk metrik
kehandalan rantai pasokan, PT XYZ berada pada posisi advantage. Sedangkan
untuk metrik aset, yaitu CTCCT dan inventory days supply chain perusahaan berada
pada posisi parity.

Tabel 19 Metrik SCOR level 1, tahun 2016


Atribut Metric Data actual Superior Advantage Parity
performansi (a) (b) (c) (d)
Lauric acid Myristic acid
Reability POF 87.14 % 89.57 % 99 % 90.8% 80%
Responsiveness OFCT 44 hari 44 hari 46 hari 100 hari 170 hari
Fleksibilitas Production 14 hari 14 hari 15 hari 19 hari 30 hari
rantai pasokan flexibility
Aset rantai CTCCT 51 hari 101 hari 25 hari 41 hari 62.5 hari
pasokan Inventory days 22 hari 72 hari 55 hari 70 hari 84 hari
of supply
Return on N/A N/A N/A N/A N/A
supply chain
fixed assets
Keterangan: N/A = not available (tidak tersedia)
Sumber: (a) PT XYZ (diolah)
(b), (c), (d) dipilih dari SCC (2010), Mutakin (2010)

Pemetaan Level 2
Pada pemetaan SCOR level 2, setiap proses akan ditampilkan lebih rinci
dari proses-proses rantai pasok perusahaan. Terdapat tiga tipe proses SCOR, yaitu
planning (perencanaan), excecution (pelaksanaan) dan enable (pengaturan antara
perencanaan dan pelaksanaan). Tipe proses SCOR pada PT XYZ dijelaskan sebagai
berikut:

1. Planning (Perencanaan)
Proses perencanaan pada PT XYZ sudah sangat baik. Dimulai dari
perencanaan rantai pasok secara keseluruhan, yaitu proses perencanaan pengadaan
bahan baku dari pemasok, perencanaan kebutuhan bahan baku oleh PT XYZ,
perencanaan persediaan lauric acid 99 persen dan myristic acid 99 persen,
persiapan peralatan, perencanaan produksi, perencanaan pengiriman kepada
pelanggan, hingga perencanaan pelayanan klaim dari pelanggan.
PT XYZ telah dapat menyeimbangkan permintaan dan penawaran agregat
dalam bisnis penyampaian/pengiriman lauric acid 99 persen dan myristic acid 99
persen kepada pelanggannya sehingga dapat mencapai target dalam mencapai
tujuan bisnis yang telah ditetapkan.
53

2. Excecution (Pelaksanaan)
Pelaksanaan proses-proses SCOR pada PT XYZ juga sudah sangat baik.
Departemen Produksi telah membuat proses penjadwalan produksi lauric acid 99
persen dan myristic acid 99 persen dengan baik sehingga dapat menyediakan
kebutuhan lauric acid 99 persen dan myristic acid 99 persen dengan tepat sesuai
dengan permintaan pelanggan. Divisi PPIC membuat proses penjadwalan dalam
memenuhi kebutuhan bahan baku dari pemasok yang dijadwalkan secara tepat
dalam jumlah maupun waktu dengan persediaan bahan baku yang cukup untuk
meminimalisir biaya angkut tangki dan biaya penyimpanan, serta menjalin
hubungan baik dengan para pemasok.
Kegiatan pengiriman produk serta pelayanan terhadap pelanggan juga sudah
dilakukan dengan baik oleh Divisi Logistik. Kegiatan tersebut tidak lepas dari
koordinasi dengan pihak Pelni agar pengiriman produk maupun dokumen dapat
disampaikan dengan tepat waktu sesuai dengan harapan pelanggan dan target yang
telah ditentukan oleh perusahaan.

3. Enable
Keterlibatan system informasi juga sangat penting untuk mendukung
seluruh proses rantai pasok di PT XYZ. Perusahaan saat ini menggunakan sistem
SAP untuk mempermudah proses monitoring pada internal perusahaan. Selain itu,
PT XYZ telah memiliki sistem informasi yang menghubungkan database dari
departemen saru ke database divisi lainnya.
Setiap departemen terdapat jaringan Local Area Network (LAN) maupun
Wireless Local Area Network (WLAN) yang memudahkan transfer data yang
dibutuhkan karyawan menjadi lebih cepat dan efisien, sehingga memaksimalkan
produktivitas kerja karyawan. Dalam operasi produksi, PT XYZ juga menerpakan
pengontrolan mesin-mesinnya tidak secara manual, namun dengan menggunakan
teknologi informasi dan komputerisasi. Selain itu, PT XYZ memanfaatkan WEB
sebagai media promosi dan informasi tentang keberadaan perusahaan serta produk
yang diproduksi. Penjabaran level 2 digambarkan pada Gambar 14.
Bolstroff (2003) menguraikan lima proses level 1 (plan, source, make,
deliver dan return) pada model SCOR menjadi 12 tipe proses pelaksanaan
(execution) dan lima tipe proses perencanaan (planning).
1. Plan
Plan supply chain (P1) adalah proses penjadwalan dan perencanaan pasokan
untuk keseluruhan proses rantai pasok. Proses pada perencanaan ini adalah
mengambil data permintaan aktual sebagai landasan untuk meramalkan penjualan
dan produksi produk. Rencana pasokan yang membatasi peramalan tersebut
berdasarkan pada persediaan bahan baku, kapasitas mesin untuk proses produksi
dan kesediaan mesin untuk proses produksi.
Plan source (P2) adalah proses membandingkan persyaratan total
material dengan batasan peramalan P1 yang telah dibuat sebelumnya serta membuat
sebuah perencanaan bahan baku berdasarkan P3 dengan tujuan sebagai persediaan
berdasarkan jenis bahan baku. Hal ini dilakukan untuk jenis bahan baku yang telah
dikelompokkan berdasarkan jenis bahan baku. Tipe proses P2 berhubungan dengan
perencanaan persyaratan bahan baku yang dapat diterima oleh perusahaan.
54

P1 – Plan Supply Chain


Mengidentifikasi, membuat penjadwalan, menentukan prioritas
dan menghitung kebutuhan rantai pasok secara keseluruhan

P2-Plan Source P3-Plan Make P4-Plan Deliver P5-Plan Return


Perencanaan Perencanaan Perencanaan Perencanaan
material handling SDM, proses pengiriman pelayanan
dan pemilihan produksi, dan
pemasok material
(jadwal dan klaim dari
production pemilihan pelanggan
schedule (MPS) kapal), serta
Perencanaan standar
mesin/peralatan mutu
& fasilitas

PELANGGAN
PEMASOK

S2-Source M2-Make-to- D3-Deliver


MakeTo-Order order Engineered-to-
Product Proses pabrikasi Order Product
Pengadaan, (produksi), Persiapan
kontrak pengepakan dokumen,
pelayanan dan sesusai pencetakan DO
pengiriman permintaan pengiriman, dan
material pelanggan
laporan

DR1-Return Defective
SR1-Return Product
Defective Product laporan klaim pelanggan,
Pengecekan produk tidak ada pengembalian
yang rusak, produk (alternative lain
pengembalian adalah menjual dengan harga
produk yang rendah atau pengalihan
rusak, laporan pelanggan), pergantian
klaim. produk yang rusak

1) Manajemen proses
2) Penilaian kinerja
3) Pengelolaan data Plan Source Make Deliver Return
4) Pengelolaan sediaan
5) Pengelolaan asset
6) Pengelolaan transportasi
7) Pengelolaan konfigurasi rantai pasok Rantai pasok Perjanjian pemasok
8) Pengelolaan peraturan atau hambatan
9) Pengelolaan risiko rantai pasok
10) Identifikasi proses produksi

Gambar 14 Pemetaan level 2

Plan make (P3) adalah proses membandingkan pesanan produksi


aktual serta pesanan tambahan yang berasal dari P4 terhadap perkiraan yang
dibatasi oleh P1 yang telah dibuat untuk menghasilkan rencana sumber jadwal
55

induk produksi dengan tujuan untuk memberikan pelayanan, perhitungan biaya


yang dikeluarkan oleh perusahaan dan perencanaan persediaan produk. Kebutuhan
bahan baku pada P3 didukung dari perencanaan pada P2, baik dari segi jenis bahan
baku dan jadwal proses produksi. Proses di P3 sangat dekat dengan praktik-praktik
penjadwalan proses produksi.
Plan deliver (P4) adalah proses membandingkan pesanan aktual
yang telah disepakati pada P1 dan mengembangkan rencana pengiriman kepada
pelanggan untuk memenuhi pelayanan serta menguraikan biaya yang dikeluarkan
selama sepanjang proses pengiriman. Rencana ini merupakan kebutuhan tambahan
yang menginformasikan kepada manager produksi seberapa banyak produk yang
direncanakan, kebutuhan P3 serta inventory yang telah direncanakan. Proses P4
berhubungan dengan perencanaan kebutuhan distribusi dan logistik.
Plan return (P5) adalah proses perencanaan pengembalian yang
telah direncanakan dalam memenuhi pelayanan baik kepada pemasok maupun
kepada pelanggan dan estimasi biaya yang dikeluarkan dari kegiatan pengembalian
yang dilakukan. P5 mendeskripsikan bahwa pengembalian yang dilakukan dengan
menginformasikan tipe kerusakan/ permasalahan, volume/ kuantitas, jadwal
pengembalian yang telah direncanakan dan pengembalian yang tidak direncanakan
tetapi telah diketahui kepada departemen pemasaran, departemen SCM dan
departemen produksi dan semua departemen terkait.

2. Source
Tipe proses source pada level 2, terdiri dari source stocked product (S1),
source make-to-order-product (S2) dan source engineer-to-order product (S3).
Tipe-tipe pengadaan tersebut mencirikan suatu perusahaan dalam proses pembelian
bahan baku, bahan pendukung kegiatan proses produksi lainnya serta barang jadi.
Faktor-faktor yang tipe-tipe proses source adalah plan, make, deliver, dan kondisi
bahan baku ataupun barang di pemasok pada saat dilakukan pemesanan.
S1 merupakan persediaan di pemasok ataupun PT XYZ. Penentuan tersebut
mengacu pada peramalan pada tahap plan, make, deliver, serta kondisi bahan baku
sudah tersedia di pemasok sebelum perusahaan melakukan pemesanan.
S2 merupakan persediaan yang mengacu pada proses produksi yang
disesuaikan dengan pesanan pelanggan. Pesanan tersebut berdasarkan kriteria yang
diinginkan oleh pelanggan baik pada proses produksi (make), kemasan, maupun
pengiriman (deliver). Perusahaan harus memproduksi barang setengah jadi dan
barang jadi sesuai permintaan pelanggan sebagai respon dari pesanan pembelian
oleh pelanggan.
S3 merupakan rekayasa pesanan yang dibuat berdasarkan pesanan
pelanggan ataupun desain awal yang dimiliki oleh perusahaan, baik dari sisi
produksi, kemasan ataupun jenis pengiriman.
PT XYZ melaksanakan proses S2. Sebelum melakukan pemesanan pada
pemasok, perusahaan harus mengidentifikasi pemasok sesuai dengan kriteria dan
sesuai dengan persyaratan yang diterapkan oleh perusahaan. Dalam penelitian ini,
pemasok PKO merupakan pemasok tunggal yang sudah dipastikan akan tetap dapat
memenuhi kebutuhan bahan baku PT XYZ. Jumlah pesanan bahan baku yang
dipesan kepada pemasok disesuaikan dengan jumlah kebutuhan produksi
perusahaan yang direncanakan berdasarkan jumlah pesanan pelanggan.
56

3. Make
Tipe proses make pada level 2 terbagi atas tiga tipe, yaitu make-to-stock
(M1), make-to-order (M2) dan engineered-to-order (M3). Tipe-tipe tersebut
merupakan kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan dalam mengubah bahan
mentah menjadi barang setengah jadi ataupun barang jadi. Penentuan tipe pada
proses pembuatan (make) berdasarkan perencanaan, pengiriman, serta kondisi
bahan baku pada saat dilakukan pemesanan serta kondisi mesin produksi sebelum
dilakukan proses produksi.
M1 merupakan kegiatan produksi yang didasari oleh peramalan pesanan
pelanggan serta penambahan stok yang sudah direncanakan pada P3. Proses ini
dilakukan sebelum adanya pesanan pelanggan. Jumlah produksi tidak bergantung
kepada pesanan pelanggan, tetapi berdasarkan pada skala ekonomis produksi dan
kapasitas produksi serta peramalan yang telah dilakukan oleh departemen
pemasaran produk.
M2 merupakan kegiatan produksi berdasarkan pada pesanan pelanggan,
yaitu pengubahan bahan baku menjadi barang setengah jadi ataupun barang jadi
sesuai dengan permintaan pelanggan. Kegiatan tersebut merupakan respon terhadap
pelanggan, sebagai salah satu jenis pelayanan kepada pelanggan. Jumlah produk
yang diproduksi sama dengan jumlah yang dipesan oleh pelanggan.
M3 adalah proses produksi produk yang dipesan sesuai dengan kriteria dan
desain yang diminta oleh pelanggan. Sebelum melakukan proses produksi, PT XYZ
akan melakukan uji coba terhadap produk yang diinginkan oleh pelanggan dan
kemudian mengirimkan contoh produk kepada pelanggan. Setelah contoh produk
diterima dan sesuai dengan permintaan pelanggan, PT XYZ akan memroduksi
produk sesuai yang diminta oleh pelanggan. Proses produksi ini hanya dilakukan
saat adanya pesanan khusus dari pelanggan.
PT XYZ melakukan semua kegiatan pada proses make, yaitu M1, M2, dan
M3. M1 dilakukan karena untuk kegiatan produksi lauric acid 99 persen sebagai
produk utama juga menghasilkan produk sampingan seperti myristic acid 99 persen,
rantai pendek, barang setengah jadi, dan residu. Sehingga yang yang menjadi stok
adalah produk sampingan. M2 dapat dikatakan kegiatan produksi untuk produk
utama, dalam penelitian ini adalah lauric acid 99 persen. PT XYZ juga melakukan
kegiatan M3 dalam memenuhi permintaan pelanggan tertentu, baik dari segi produk
maupun kemasan.

4. Deliver
Tipe proses deliver pada level 2 terdiri dari deliver stocked product (D1),
deliver make-to-order product (D2) dan deliver engineer-to-order (D3). Kegiatan
tersebut mencirikan bagaimana perusahaan memproduksi barang setengah jadi
ataupun barang jadi sebagai respon atas permintaan pelanggan.
D1 merupakan kegiatan yang didasarkan pada peramalan dalam proses
perencanaan yang menjadikan produk yang diproduksi sebagai persediaan. Tingkat
persediaan perusahaan tidak bergantung pada jumlah pesanan pelanggan tertentu
melainkan faktor lain yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Pengiriman yang
dilakukan merupakan jumlah persediaan yang ada pada perusahaan.
D2 merupakan kegiatan yang prosesnya berdasarkan pesanan pelanggan.
Proses produksi dilakukan setelah perusahaan menerima pesanan dari pelanggan.
Pengiriman produk juga disesuaikan dengan pesanan dari pelanggan.
57

D3 merupakan kegiatan yang dilakukan karena adanya pesanan tertentu


oleh pelanggan, baik dari segi desain atau spesifikasi manufaktur, kemasan, dan
moda transportasi. Jumlah pengiriman produk sesuai dengan jumlah pesanan
pelanggan dan hal ini biasanya hanya sekali dilakukan.
Kegiatan pengiriman yang dilakukan oleh PT XYZ adalah D2. Pada D2, PT
XYZ mengirim produk sesuai dengan pesanan pelanggan, baik dari segi jumlah,
kemasan, dan moda transportasi. Sedangkan D3 adalah pengiriman produk yang
merupakan hasil dari proses M3.

5. Return
Tipe proses return pada level 2 adalah return defective product (R1),
return maintenance repair and overhoul (MRO) product (R2) dan deliver
return excess product (R3). Proses ini mencirikan pengembalian barang jadi dalam
merespon hak pengembalian pelanggan. Proses pengembalian produk jarang terjadi
di perusahaan karena terdapat beberapa alternatif yang dilakukan oleh perusahaan
untuk pengembalian. Karena bila barang dikembalikan ke perusahaan akan
menimbulkan biaya yang tinggi. Tipe proses pengembalian terbagi menjadi dua
perspektif, yaitu pengembalian dari pelanggan dan pengembalian kepada pemasok.
Faktor yang menjadi dasar penentuan tipe proses pengembalian berdasarkan data
pemesanan pelanggan dan kondisi barang saat pengiriman ke pelanggan. Hal
tersebut juga merupakan dasar pengembalian kepada pemasok.
R1 merupakan proses yang dilakukan karena dipicu oleh warranty claim
oleh pelanggan. Hal ini diberlakukan bagi seluruh pelanggan, baik domestik
maupun tujuan ekspor. R2 merupakan proses yang dipicu oleh kegiatan
pemeliharaan oleh plan return atau kejadian pemeliharaan yang tidak direncanakan
oleh engineering, maintenance atau technical resources lain. Pada proses ini,
produk yang dikembalikan tidak sesuai dengan spesifikasi produk pada awal
pemesanan. R3 adalah proses pengembalian produk karena kelebihan pengiriman
produk kepada pelanggan. Hal tersebut mengacu pada perjanjian kontrak dengan
pelanggan khusus atau pengembalian persediaan yang tidak direncanakan
berdasarkan data manajemen perusahaan.
Ketiga proses tersebut merupakan kriteria untuk pengembalian produk dari
pelanggan dan pengembalian bahan baku kepada pemasok. Penamaan untuk
pengembalian produk dari pelanggan dalah delivery return (DR) dan source return
(SR). PT XYZ hanya melakukan kegiatan DR1 yaitu kegiatan pengembalian karena
warranty claim. Namun pada tahun 2016, PT XYZ tidak pernah menerima
pengembalian produk dari pelanggan, baikdari semua alasan. PT XYZ hanya
melakukan ganti rugi seperti pergantian produk dan pembayaran kepada pelanggan.
Hal tersebut dilakukan karena biaya pengembalian yang sangat tinggi, mengingat
lokasi pelanggan yang berada di luar negeri. Alternatif lain yang dilakukan oleh PT
XYZ adalah menjual produk kepada pelanggan lain dengan harga yang lebih rendah
dibandingkan dnegan harga normal. Pada pelanggan lokal, PT XYZ tidak pernah
menerima komplain karena produk sesuai dengan yang dipesan oleh pelanggan
lokal. PT XYZ pernah melakukan kelebihan pengiriman produk kepada pelanggan.
Namun tidak dilakukan pengembalian karena kelebihan produk dengan jumlah
sedikit dan merupakan batas error yang ditoleransi oleh PT XYZ. Selain itu, PT
XYZ tidak pernah mengembalikan bahan baku PKO kepada pemasok. Hal tersebut
58

disebabkan pengiriman bahan baku sesuai dengan kriteria ataupun pemesanan yang
dilakukan PT XYZ kepada pemasok.
Berdasarkan penjelasan yang merujuk pada Gambar 14, PT XYZ melakukan
kegiatan pada proses planning (P1-P5), executing (S2, M1, M2, M3, D2, D3, dan
DR1) dan enabling. PT XYZ bergerak dibidang produksi produk dan mengirimkan
langsung kepada pelanggan. Proses yang mencerminkan PT XYZ adalah D2, yaitu
PT XYZ melakukan penjualan dan pengiriman produk berdasarkan permintaan
pelanggan. Pada kategori ini, jumlah penjualan PT XYZ sama dengan jumlah
permintaan pelanggan.
PT XYZ memiliki stok produk di gudang penyimpanan, namun jangka
waktu penyimpanan produk di gudang terbatas karena daya tahan produk yang tidak
tahan lama dan akan berpengaruh pada kualitas produk. Produk yang dikatakan stok
adalah produk sampingan, sedangkan produk utama tidak dikatakan stok karena
hanya disimpan sampai memenuhi jumlah pemesanan pelanggan. Hal tersebut
dilakukan PT XYZ karena jumlah pemesanan yang dilakukan oleh pelanggan
sangat besar, sehingga harus menunggu proses produksi.
Produk yang diproduksi oleh PT XYZ merupakan bahan baku bagi produsen
Fast Moving Consumer Goods (FMCG) antara lain produk kosmetik dan toiletters.
Produk kosmetik dan toiletters merupakan kebutuhan pokok manusia yang harus
disediakan secara memadai karena digunakan setiap harinya. Kebutuhan yang
semakin meningkat, berkorelasi pada peningkatan permintaan dari sektor retail
akan produk fatty acid dan myristic acid Hal ini yang menjadi alasan bagi PT XYZ
untuk tetap melangsungkan produksi dan mengembangkan bisnisnya.
Pengukuran rantai pasok pada level 2 dilakukan dengan cara
mengidentifikasi nilai metrik POF dan OFCT yang kurang baik. Pada perhitungan
POF dan OFCT ada beberapa poin yang harus di perhatikan antara lain ketepatan
waktu dan ketepatan kuantitas atau on time in full (OTIF), kelengkapan dokumen
pendukung serta kondisi barang. Apabila terdapat satu dari poin tersebut tidak
terpenuhi maka dapat dikatakan pelayanan PT XYZ kepada pelanggan kurang baik.
Berdasarkan data PT XYZ (2017), beberapa penyebab ketidaksempurnaan dalam
pemenuhan pesanan kepada pelanggan disebabkan oleh pengiriman yang tidak
tepat waktu dan kondisi barang saat diterima oleh pelanggan.
Penyebab terjadinya pengiriman barang yang tidak tepat waktu dilihat dari
hulu hingga hilir dari proses produksi barang tersebut, baik dari source, make
maupun delivery. Pada proses source, nilai POF berada di angka 99.88 persen.
Angka tersebut merupakan persentasi perbandingan jumlah pesanan bahan baku
yang dapat dipenuhi oleh pemasok dengan baik pada tahun 2016. Nilai OFCT
sekitar 2 hari.
Nilai POF pada proses make adalah sebesar 99 persen. Nilai tersebut
diperoleh berdasarkan perkiraan persentase kesediaan bahan baku di tangki
penyimpanan yang mampu memenuhi kebutuhan seluruh proses produksi.
Perolehan nilai tersebut didukung dengan lokasi penyimpanan bahan baku yang
berada di dalam lingkungan pabrik serta lokasi pemasok yang tidak jauh dari lokasi
pabrik. Nilai OFCT kurang dari satu hari. Sedangkan nilai POF pada proses
pengiriman sebesar 88.36 persen. Nilai tersebut diperoleh atas perkiraaan
persentase ketepatan pengiriman barang dalam hal kuantitas dan kondisi barang
dengan permintaan barang dari pelanggan. Nilai OFCT sekitar 44 hari. Nilai POF
dan OFCT pada proses source, make, dan deliver dapat dilihat pada Tabel 20.
59

Tabel 20 Nilai POF dan OFCT pada proses source, make, dan deliver
Metrik Source Make Deliver
POF (%) 99.88 99 88.36
OFCT (hari) 2 <1 44

Berdasarkan Tabel 20, dapat dikatakan bahwa dari ketiga proses tersebut,
proses deliver memperoleh nilai terendah dibandingkan dengan proses source dan
make¸ yaitu dengan nilai POF sebesar 88.36 persen dan OFCT selama 44 hari. Hal
tersebut menginterpretasikan bahwa dalam memenuhi permintaan pelanggan dari
segi waktu, kuantitas dan kondisi barang dinilai kurang baik.
Jika ditelusuri lebih lanjut, yang menjadi penyebab terjadinya keterlambatan
dan kondisi barang yang tidak sesuai dengan permintaan pelanggan lebih banyak
terjadi pada proses loading. Beberapa komplain yang diterima oleh perusahaan
antara lain barang tiba di pelanggan tidak sesuai dengan waktu yang ditentukan,
kuantitas barang yang tidak sesuai dengan jumlah permintaan, kemasan rusak,
produk basah, produk berubah bentuk dan terdapat kotoran pada produk.
Keterlambatan yang terjadi karena terlambatnya barang tiba di pelabuhan untuk
loading di kapal pengangkutan. Sehingga harus menunggu jadwal kapal berikutnya.
Nilai OFCT selama 44 hari merupakan lama hari dari mulai barang dipesan oleh
pelanggan hingga barang tiba di lokasi pelanggan. Nilai tersebut merupakan waktu
terlama barang tiba di lokasi pelanggan. Hal tersebut menyesuaikan jarak dan kapal
yang digunakan dalam pengiriman barang. Ketidaktepatan pengiriman barang
sesuai dengan permintaan pelanggan dapat menghambat tujuan bisnis perusahaan
dalam pelayanan pelanggan. Untuk mengetahui penyebab dari kinerja proses
delivery yang kurang baik, dilakukan penelitian pada level 3.

Pemetaan Level 3
Pemetaan level 3 dilakukan untuk melihat lebih detil proses delivery. Hal
ini dilakukan karena berdasarkan pemetaan level 2, nilai pada proses ini merupakan
nilai terendah dibandingan dengan proses source dan make. Pemetaan level 3
menggambarkan semua aktivitas deliver di PT XYZ (Lampiran 2).
Berdasarkan pemetaan yang dilakukan pada PT XYZ, maka implikasi
manajerial yang dihasilkan untuk beberapa divisi terkait adalah sebagai berikut:
1. Divisi produksi dan operasi
Penerapan manajemen rantai pasok di PT XYZ pada bidang produksi
dan operasi adalah sebagai berikut:
a. Pengiriman produk selama rata-rata 19 hari, dengan waktu terlama yaitu
selama 32 hari. Hal tersebut tergantung oleh lokasi pelanggan dan
penggunaan transportasi pengiriman dinilai cukup baik. Jadwal produksi
yang terjadwal dan sesuai dengan permintaan pelanggan dinilai baik pada
tahun 2016 dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Hal tersebut
dikarenakan proses produksi saat ini sudah stabil setelah operasi pabrik baru
pada tahun 2013. Pembagian data maupun informasi produksi dan
permintaan yang akurat dan dibantu komputer ke setiap anggota rantai
pasokan, sehingga setiap anggota rantai pasokan dapat melakukan
penjadwalan secara efektif. Hal ini diharapkan menciptakan kelancaran dan
kecepatan aliran pasokan lauric acid dan myristic acid ke pelanggan,
sehingga barang sampai tepat waktu.
60

b. Nilai POF 88.36 persen berada pada posisi advantage. Tidak hanya tidak
tepat waktu, namun kondisi barang yang tidak sesuai yang membuat PT XYZ
memperoleh nilai POF yang rendah. PT XYZ dapat mencapai target superior
dengan memanajemen waktu dari proses loading, disesuaikan dengan
kondisi alam. Dan saat ini perusahaan sudah membangun prasarana seperti
kanopi yang mendukung kegiatan di area loading, sehingga proses loading
tidak terhambat walau cuaca sedang tidak mendukung.
2. Divisi keuangan
Nilai CTCCT adalah 51 hari berada pada posisi parity dan advantage.
Semakin pendek waktu yang dibutuhkan, maka semakin bagus bagi rantai
pasokan. Perusahaan yang bagus biasanya memiliki siklus CTCCT yang pendek.

3. Divisi SDM
Pada bidang SDM, seluruh pekerja yang terlibat dalam aliran rantai
pasok harus memiliki keahlian sesuai bidangnya masing-masing. Keahlian pada
setiap bidang, tanggung jawab dan sikap profesional dari setiap pekerja
menentukan keberhasilan sebuah rantai pasokan. Selain itu, pelayanan yang
optimal dapat menciptakan penyaluran bahan baku dari pemasok hingga produk
jadi ke pelanggan tepat waktu dan tepat jumlah serta sesuai dengan yang
diharapkan oleh pelanggan. Hal tersebut dapat meningkatkan kepuasan kepada
pelanggan dan memberikan keuntungan pada perusahaan.

7 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode sediaan bahan baku yang


digunakan oleh PT XYZ dapat dikatakan sudah efisien. Selisih biaya antara metode
EOQ dan metode perusahaan sebesar 2 865.1 USD atau sebesar 0.003 persen dari
total biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan. Namun jika dilihat dari jumlah
pemesanan dengan metode EOQ selama setahun sebanyak 436 kali tidak dapat
dilakukan oleh perusahaan. Sedangkan perusahaan melakukan pemesanan
sebanyak 44 kali dalam setahun, namun pengiriman bahan baku dilakukan secara
parsial sesuai kebutuhan produksi harian.
Dalam menjalankan operasi produksi, PT XYZ memiliki tahapan rantai
pasok yang melibatkan pemasok, perusahaan (PT XYZ), dan langsung ke
palanggan. Hasil yang diperoleh dari hasil pengukuran metrik: level 1 bahwa
pencapaian kinerja pengiriman PT XYZ sebesar 88.36 persen, siklus pemenuhan
pesanan selama 44 hari dan perputaran uang selama 51 hari. Dari ketiga metrik
tersebut, pencapaian kinerja pengiriman dapat dikatakan belum optimal karena nilai
pencapaian belum sesuai target yang diharapkan. Pada level 2, PT XYZ melakukan
kegiatan pada proses planning (P1-P5), executing (S2, M1, M2, M3, D2, D3, dan
DR1) dan enabling. Pada pemetaan level 2, diperoleh hasil proses deliver memiliki
kinerja paling rendah. PT XYZ telah menerapkan SCM dengan baik, yaitu
menerapkan kelima proses manajemen inti dalam SCM yaitu plan, source, make,
deliver, dan return, sehingga seluruh unsur rantai pasok saling terintegrasi dan
61

menghasilkan kinerja yang baik, namun kurang memperhatikan proses loading


yang merupakan awal tahapan pada proses pengiriman yang menjadi indikator pada
kinerja pengiriman.

Saran

Berdasarkan simpulan dan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka saran
yang dapat disampaikan adalah sebai berikut:
1. Upaya perbaikan pada kinerja pengiriman rantai pasok di PT XYZ yaitu
perusahaan harus fokus terhadap setiap proses kegiatan di rantai pasok, baik
dari segi sistem, manajemen waktu, dan SDM. Perlu ada perhatian khusus pada
aktivitas loading agar dapat mengurangi komplain dari pelanggan terkait
kekurangan maupun kelebihan kuantitas, adanya partikel hitam dalam
kemasan, dan beberapa keluhan lainnya. Dengan demikian PT XYZ dapat
memberikan pelayanan terbaik bagi pelanggan.
2. Agar dapat memberikan pelayanan bagi pelanggan adalah adanya aplikasi
berbasis web. Pada sistem tersebut dapat menghilangkan proses pendataan
pemesanan pelanggan secara manual, sehingga dapat meningkatkan efektivitas
dan efisiensi produktivitas, serta biaya.
3. Saran bagi penelitian lanjutan diharapkan dapat membandingkan kinerja rantai
pasok perusahaan yang terintegrasi pada setiap pelaku rantai pasok dengan
perusahaan yang tidak terintegrasi, untuk dapat mengetahui besaran persentase
perbedaan antara kedua jenis perusahaan.

DAFTAR PUSTAKA

Anatan L, Ellitan L. 2008. Supply Chain Management Teori dan Aplikasi. Bandung
(ID): CV. Alfabeta.
Bellerina YB. 2009. Pengukuran performa SCM dengan integrasi metode SCOR
dan AHP. Working paper. Yogyakarta (ID). Universitas Islam Indonesia.
Benton WC, Maloni M. 2004. The influence of power driven buyer/seller
relationships on supply chain satisfaction. Journal of Operations
Management. 23(2005):1-22.
Bhagwat R. Sharma MK. 2007. Performance measurement in the food supply chain:
a balanced scorecard approach. Computers and Industrial Engineering.
(53):43-62.
Bigliardi B. botani E. 2010. Performance measurement in the food supply chain: a
balanced scorecard approach. Facilities Journal. 28(5/6):249-260.
Bolstroff P, Rosenbeum R. 2003. Supply Chain Exellence: A Handbook for
Dramatic Improvement Using the SCOR Model. New York (US):
AMACOM.
Bowersox DJ, Morash EA. 1989. Marketing concept integration and the division of
labor. Journal of Michigan State University. 215-224.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Data Statistik Indonesia. Jakarta (ID): Badan
Pusat Statistik.
62

Chopra S, Meindl P. 2007. Supply Chain Management: Strategy, Planning &


Operations, 3rd Edition. Amerika Serikat (US): Pearson Prentice Hall.
Craighead CW, Hult GTM, Ketchen Jr DJ. 2009. The effects of innovation-cost
strategy, knowledge, and action in the supply chain on firm performance.
Journal of Operations Management. 27(5): 405-421.
doi:10.1016/j.jom.2009.01.002
[Ditjenbun] Direktorat Jendral Perkebunan. 2015. Statistik Perkebunan Indonesia
2014-2016 Kelapa Sawit. Jakarta (ID): Direktorat Jendrgamal Perkebunan.
Dollinger MJ, Kolchin MG. 1986. Purchasing and the Small Firm. American
Journal of Small Business. Winter (US). 33-45.
Flynn BB, Huo B, Zhao X. 2010. The impact of supply chain integration on
performance: A contingency and configuration approach. Journal of
Operations Management. 28(1): 58-71. doi:10.1016/j.jom.2009.06.001
Frohlich MT, Westbrook R. 2001. Arcs of Integration: An International Study of
Supply Chain Strategies. Journal of Operations Management. 19:185-200.
Gasperz V. 1998. Production, Planning and Inventory Control. Jakarta (ID):
Gramedia Pustaka Utama.
Handoko TH. 2011. Dasar-dasar Manajemen dan Operasi. Ed ke-1. Yogyakarta
(ID): BPFE.
Hanugrani N, Setyanto NW, Efranto RY. 2013. Pengukuran performansi supply
chain dengan menggunakan supply chain operation reference (SCOR)
berbasis analytical hierarchy process (AHP) dan objective matrix (OMAX).
Portal Garuda. 163-172.
Hausman WH. 2002. The Practice of Supply Chain Management. Belanda: Kluwer
Academic Publisher.
Hsiao MJ, Purchase S, Rahman S. The impact of buyer-supplier relationship and
purchasing process on the supply chain performance: a conceptual
framework.
Henmaidi, Heryseptemberiza. 2007. Evaluasi dan penentuan kebijakan persediaan
bahan baku kantong semen tipe pasted pada PT Semen Padang. Jurnal
Optimasi Sistem Industri. 6(2):23-29.
Heizer J, Render B. 2011. Principles of Operation and Management. (8th Ed). New
Jersey (US): Prentice Hall, Inc.
Heizer J, Render B, Munson C. 2015. Operations Management: Sustainability and
Supply Chain Management. (12nd Ed). Amerika (US): Pearson.
Indrajit RE, Djokopranoto. 2003. Konsep Manajemen Supply Chain: Strategi
Mengelola Manajemen Rantai Pasokan Bagi Perusahaan Modern di
Indonesia. Jakarta (ID): PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Iswan AH. 2015. Analisis manajemen persediaan bahan baku (Studi kasus pada PT
Sumber Jaya Pramudita). Jurnal Ilmiah Universitas Bakrie. 3(03).
James FA, Mona JF. 2006. Service Management (Operation, strategy, Information
Technology). The McGraw-Hill International Edition.
[Kemenperin] Kementrian Perindustrian. 2014. Profil Industri Oleokimia Dasar
dan Biodiesel. Jakarta (ID). Kementrian Perindustrian Republik Indonesia.
______. 2016. Statistik Industri. Jakarta (ID). Kementrian Perindustrian Republik
Indonesia.
63

Kersten W, Saeed MA. 2014. A SCOR based analysis of simulation in supply chain
management. Proceedings 28th European Conference on Modelling and
Simulation.
Khalid S. 2008. Trend forcasting for stability in supply chain. Journal of Business
Research. 61:1113-1124.
Koeswara S, Suhada RT. Perencanaan kebutuhan material (MRP) dengan
menggunakan teknik lot sizing pada bahan baku Brispack J Varnish. Jurnal
Sinergi. 46-57.
Kotler P. 2003. Manajemen Pemasaran. Edisi Kesebelas. Jakarta (ID): Indeks
Kelompok Gramedia.
Lambert DM, Croxton KL, Garcia-Dastugue SJ, Rogers DS. 2001. The Supply
Chain Management Processes. The International Journal of Logistics
Management. 12(2):13-36.
Lockamy III A, McCormack K. 2004. Linking SCOR planning practices to supply
chain performance. International Journal of Operations and Production
Management. 24(12):1192-1218.
Luthfiana AC, Perdana YR. 2012. Pengukuran performansi supply chain dengan
pendekatan Supply Chain Operation Reference (SCOR) dan Analytical
Hierarchy Process (AHP) Studi Kasus: PT Indofarma Global Medika.
Jurnal Inovasi. 2(1-5):57-72.
Ma’arif MS, Tanjung H. 2003. Manajemen Operasi. Jakarta (ID): Grasindo.
Mathew A. 2013. Demand forcasting for economic order quantity in inventory
management. International Journal of Scientific and Research Publication.
3(10):2250-3153.
Media Industri. 2011. Industrialisasi menuju kehidupan yang lebih baik: 03.
Kementrian Perindustrian Republik Indonesia.
Mentzer. 2001. Defining supply chain management. Journal of Business Logistics,
22(1).
Muckstadt JA, Murray DH, Rappold JA, Collins DE. 2003. The Five Principles of
Supply Chain Management: An Innovative Approach to Managing
Uncertainty. Amerika Serikat (US): Cayuga Partners. LLC.
Mutakin A, Hubeis M. 2011. Pengukuran kinerja manajemen rantai pasokan dengan
SCOR Model 9.0: Studi kasus di PT Indocement Tunggal Prakasa Tbk.
Jurnal Manajemen dan Organisasi. 2(3):89-103.
Nugraha A. 2015. Efisiensi sediaan bahan baku dalam meningkatkan kinerja rantai
pasok di CV Fiva Food [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Nurmalina R. 2014. Pemasaran: Konsep dan Aplikasi. Bogor (ID). IPB Press.
Ogawa E. 1986. Manajemen Produksi Modern “Modern Production Management”
Pengalaman Jepang. Jakarta (ID). Lembaga SIUP Jakarta dan Lembaga
Penerbit FEUI. 139-140.
Paul J. 2014. Transpormasi Rantai Supply dengan Model SCOR: 15 Tahun Aplikasi
Praktis Lintas Industri. Jakarta (ID): PPM Manajemen.
Permana HPP. 2011. Analisis pengadaan bahan baku sebagai bagian dari internal
supply chain management PT Hadinana Brothers. [tesis]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Prawirosentoso S. 2001. Manajemen Operasi: Analisis dan Kasus, Edisi ke 3.
Jakarta (ID): Salemba Empat.
Pujawan IN. 2005. Supply Chain Management. Surabaya (ID). Guna Widya.
64

Rangkuti F. 2004. Manajemen Persediaan. Ed 2. Jakarta (ID): PT Raja Grafindo


Persada.
Rexhausen D, Pibernil R, Kaiser G. 2012. Customer-facing supply chain practices-
The impact of demand and distribution management on supply chain
success. Journal of Operations Management. 30(4): 269-281.
doi:10.1016/j.jom.2012.02.001
Rohma W. 2013. Analisis pengendalian persediaan bahan baku dan bahan
pendukung pada PT MGN. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Rouli J. 2008. Evaluasi kinerja supply chain management dengan pendekatan
SCOR model 8.0. [tesis]. Jakarta (ID): Universitas Indonesia.
Russell RS, Taylor BW. 2002. Operations Management 4th Ed. New Jersey (US):
Prentice Hall, Inc. 266-272.
______. 2014. Operations and Supply Chain Management 8th Ed International
Student Version. Hoboken: John Wiley & Sons, Inc. 432-450.
Sari PN. 2015. Pengaruh relationship marketing terhadap kinerja rantai pasok beras
organik bersertifikat di Kabupaten Bandung melalui integrasi [tesis]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Saunders M. 1997. Strategic Purchasing and Supply Chain Management. London
(UK): Pitman Publishing.
[SCC] Supply Chain Council. 2006. Supply Chain Operations Reference Model
Revision 11.0. Dictionary, United States of America (US).
Schoenherr T, Swink M. 2011. Revisiting the arcs of integration: cross-validations
and extensions. Journal of Operations Management. 30: 99-115.
Setiawan A, Marimin, Arkeman Y, Udin F. 2010. Integrasi model SCOR dan Fuzzy
AHP untuk perancangan metrik pengukuran kinerja rantai pasok sayuran.
Jurnal Manajemen dan Organisasi. 1(3): 148-161.
Sitanggang J. 2005. Analisis sediaan gandum untuk meningkatkan kinerja rantai
pasokan di PT. ISM Bogasari Flour Mills Tbk. [tesis]. Bogor (ID): Institusi
Pertanian Bogor.
Spekman RE, Kamauff JW Jr, Myhr N. 1998. An empirical investigation into
supply chain management: a perspective on partnerships. International
Journal of Physical Distribution and Logistics Management. 28(8):630-650.
Subroto, Anggun. 2014. Evaluasi kinerja supply chain manajemen pada produksi
beras di Desa Panasen Kecamatan Kakas. Jurnal Emba. 2(3):1584-1591.
Suryanto MH. 2016. Sistem operasional manajemen distribusi. Jakarta (ID):
Grasindo.
Sutono, Taufik. 2005. Mengoptimalkan persediaan bahan baku utama Begcron GI
200%: Studi Kasus PT Colorindo Aneka Chemicals. INASEA. 6(1):1-10.
Thakkar J, Kanda A. Deshmukh SG. 2009. Supply chain performance measurment
framework for small and medium scale enterprises. Benchmaking: An
International Journal. 16(5):702-712.
Yunarto HI, Santika MG. 2005. Business concepts implementation series in
inventory. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Umum.
LAMPIRAN
66

Lampiran 1 Struktur organisasi PT XYZ

COO

CEO

logistic &
administration & factory production & sales
finance manager quality assurance manager manager

sales
quality assurance logistic department
finance & accounting production department department
administration maintenance & engineering department assistant assistant manager
department assistant assistant manager assistant
departmenet asisstant department assistant manager manager
manager manager
manager

packing process quality


control quality loading & warehouse export
finance group group local group
accounting information & PPC maintanance group assurance purchasing & unloading group leader group
group leader leader leader
HRD group Purchasing general affair group leader technologi group group group leader leader group leader doc. group group leader leader
leader
leader group leader group leader leader leader leader
packing process warehouse staff
finance maintanance staff staff staff quality quality loading & local staff
accounting staff control export staff
HRD staff assurance unloading
purchasing information & PPC staff staff staff
staff general affair staff operator
staff staff technologi staff operator purchasing & doc.
operator operator satff
analyst
analyst
operator
67

Lampiran 2 Pemesanan dan pemakaian PKO sebagai bahan baku di PT XYZ,


Januari-Desember 2016
Carry over Unloading Pemakaian Stok
Bulan Periode
(Ton) (Kg) (Kg) (Kg)
Januari 2 679 591 2 4 066 450 6 332 344 413 697
Februari 413 697 2 4 816 480 3 269 416 1 960 761
Maret 1 960 761 4 5 814 130 5 615 376 2 159 515
April 2 159 515 4 6 135 720 6 209 440 2 085 795
Mei 2 085 795 7 8 245 650 8 582 482 1 748 963
Juni 1 748 963 4 6 037 070 5 148 923 2 637 110
Juli 2 637 110 3 4 360 660 5 249 508 1 748 262
Agustus 1 748 262 3 6 804 230 6 585 729 1 966 763
September 1 966 763 4 4 956 290 4 912 002 2 011 051
Oktober 2 011 051 5 4 457 770 5 402 801 1 066 020
November 1 066 020 2 6 952 400 6 953 139 1 065 281
Desember 1 065 281 4 3 848 420 2 666 216 2 247 485
Total 21 542 809 44 66 495 270 66 927 376 21 110 703
Rata-rata 1 795 234.08 3.67 5 541 272.50 5 577 281.33 1 759 225.25

Lampiran 3 Perhitungan metode EOQ menggunakan POM-QM


Parameter Value Parameter Value
Demand rate(D)(a) 66 927.38 Optimal order quantity (Q*)(a) 153.47
Setup/Ordering cost(S)(b) 0.82 Maximum Inventory Level (Imax) (a) 153.47
Holding cost(H)(b) 4.66 Average inventory(a) 76.74
Unit cost(b) 1 288.77 Orders per period(year) 436.09
Annual Setup cost(b) 357.59
Annual Holding cost(b) 357.59
Unit costs (PD) (b) 86 254 010
Total Cost(b) 86 254 720
Keterangan: (a) Kuantitas demand rate dalam ton
(b) Biaya dalam satuan USD

Lampiran 4 Perhitungan metode EOQ secara manual

. .
EOQ = .
152.75 ton
ROP = 5 577.28 x 3 = 16 731.84 ton
.
Jumlah Pemesanan = = .
= 438.15 = 438 kali
Biaya pesanan = x S = 438 x 0.82 = 359.16 USD
.
Biaya penyimpanan = xH= x 4.66 = 355. 90 USD
Total biaya = Biaya pemesanan + Biaya penyimpanan + Biaya produk
= 359.16 USD + 355.90 USD + 86 253 999.50 USD
= 86 254 714.6 USD
68

Lampiran 5 Pemetaan level 3

D3 Deliver Engineered-
to-order
product

Membuat rencana Identifikasi kebutuhan Identifikasi kebutuhan Data pesanan yang telah Tanggal
Inputs: pengiriman, mengelola pelanggan pelanggan disusun pengiriman dan
persediaan dan koordinasi
komunikasi SCM
terhadap proses produksi

D3.1 D3.2 D3.3 D3.4 D3.5

Process Merencanakan,
Menerima dan Penawaran dan Memasukkan data mengarur
Elements pesanan pesanan dan
merespon menerima kontrak transportasi, dan
permintaan pembelian koordinasi dengan loading barang
pihak produksi dan Pencetakan DO
pelanggan
gudang

Output Payment term, payment


Informasi pelanggan Catatan pesanan Data pesanan pelanggan Time order entry
request

Inputs: Mengelola transportasi, Dokumen pengiriman Mengelola transportasi Surat DO

D3.7 D3.8 D3.9


D3.6

Pengaturan Menerima dan


Process pengiriman barang memverifikasi barang
Menentukan rute Melengkapi dokumen kepada pelanggan
Elements dan invoice
transportasi pengiriman

Output Mengelola informasi Surat jalan


pengiriman
69

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada 11 Mei 1992 di Lima Puluh, Kabupaten Asahan


Provinsi Sumatera Utara. Penulis merupakan putri pertama dari pasangan suami
istri, Bapak Rafik Sinaga dan Ibu Harianum.
Pendidikan formal penulis dimulai dari TK Muhammadiyah pada tahun
1997. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan pada SD Negeri 091578 PTPN IV
Dolok Sinumbah lulus pada tahun 2003. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan
di SMP N 06 Medan, pada tahun 2003 sampai dengan tahun 2006. Penulis
kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Swasta Al Azhar
Medan pada tahun 2006 sampai dengan tahun 2009. Pada tahun 2009 penulis
diterima di Universitas Sumatera Utara melalui jalur Seleksi Nasional Masuk
Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) pada Program Studi Agribisnis, Fakultas
Pertanian USU.
Selama masa Sekolah Mengangah Atas, penulis aktif di kegiatan Organisasi
Intra Sekolah. Selama mengikuti pendidikan di Fakultas Pertanian USU, penulis
aktif di Himpunan Mahasisws Islam (HMI), Ikatan Mahasiswa Sosial Ekonomi
Pertanian (IMASEP) sebagai anggota divisi pengabdian masyarakat, Koperasi
Akademik sebagai Bendahara.
Penulis menyelesaikan studi di Fakultas Pertanian USU dengan melakukan
penelitian dan menyusun skripsi yang berjudul “Studi Kelayakan Pengembangan
Packing House Komoditi Hortikultura di Desa Siboras Kecamatan Pematang
Silimahuta Kabupaten Simalungun” di bawah bimbingan Ir Yusak Maryunianta,
MSi dan Ir H Hasman Hasyim, MSi dan lulus pada tanggal 23 Januari 2014.
Penulis pernah bekerja sebagai Pemantau Pemilihan Umum di Partnership
for Governance Reform (Kemitraan) pada tahun 2014. Pada tahun 2014 sampai
dengan 2015 penulis pernah bekerja di PT Sinar Mitra Sepadan Finance sebagai
Act. Operation Supervisor. Tahun 2015 penulis melanjutkan pendidikan di
Magister Sains Agribisnis Institut Pertanian Bogor.

Anda mungkin juga menyukai