Anda di halaman 1dari 94

Asmaul Husna

Ilmu Mengenal nama-nama Allah

Pembahasan Pertama & Kedua


Oleh: DR. Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani / Publikasi: Rabu, 27 Januari 2016 15:09

1. Pertama: Asma Allah Subhanahu wa Ta’alaa Adalah Taufiqiyyah (Mutlak


Berdasarkan Pada Wahyu, Sedangan Akal Tidak Punya Peranan di Dalamnya)

2. Dalam masalah asma’ (nama) ini harus berlandaskan al-Qur’an dan as-Sunnah, tanpa
adanya penambahan dan pengurangan, karena akal tidak mungkin dapat mengetahui asma’ yang
dimiliki-Nya. Untuk itu, kita wajib berpijak pada nash berdasarkan firman Allah Subhanahu wa
Ta’alaa,

3. “Dan Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak memiliki pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungjawabannya.” (Al-Isra: 36).

4. Firman-Nya juga,

5. “Katakanlah: ‘Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak
maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang
benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan
hujjah untuk itu, dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak
kamu ketahui.’” (Al-A’raf: 33)

6. Selain itu, memberikan nama kepada Allah dengan asma’ yang tidak ditetapkan oleh Allah
bagi diri-Nya sendiri, atau mengingkari asma’-Nya adalah pelanggaran terhadap hak Allah. Maka
wajiblah berlaku sopan dalam masalah ini dan cukup dengan mengikuti apa yang datang dari nash.
(Al-Qawaa’idul-Mutslaa fii Shifatillahi wa Asamaa’-ihil Husnaa, Syaikh Muhammad bin Shalih
al-‘Utsaimin, hlm. 13)

7. Kedua: Rukun Iman Dengan Asma’ul-Husna

8. 1. Beriman dengan nama tersebut,


2. Beriman dengan makna yang ditunjukkan oleh nama tersebut.
3. Beriman dengan segala pengaruh yang berhubungan dengan nama tersebut.

9. Maka, kita beriman bahwa Allah adalah Rahiim (Yang Maha Penyayang), memiliki sifat
rahmah (kasih saying), yang meliputi segala sesuatu dan menyayangi semua hamba-
Nya, Qadiir (Yang Maha Kuasa) memiliki sifat Qudrah (kuasa) dan berkuasa atas segala
sesuatu, Ghafuur (Yang Maha Pengampun memiliki sifat maghfirah (ampunan) dan mengampuni
dosa hamba-hamba-Nya. (Mukhtashar al-Ajwibah al-Ushuliyyah Syarh al-‘Aqidah al-
Washithiyyah, Abdul-Aziz as-Salman, hlm. 27)

10. Sumber: DR. Sa’id Ali bin Wahf al-Qahthani. Syarah Asma’ul Husna”. Terj. Abu Fatimah
Muhammad Iqbal Ahmad Ghazali. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2005.

Pembahasan Ketiga: Pembagian Sifat Allah


Subhanahu wa Ta’alaa
Oleh: DR. Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani / Publikasi: Rabu, 27 Januari 2016 15:17

11. Ibnul Qayyim Rahimahullah mengatakan bahwa sifat dan khabar yang berlaku bagi
Allah Subhanahu wa Ta’alaa ada beberapa bagian:

12. 1. Sifat yang kembali kepada Dzat itu sendiri, seperti: Dzat Maujud (Ada),
dan Syai’ (sesuatu).

13. 2. Yang kembali kepada sifat maknawi, seperti Al-‘Aliim (Yang Maha Mengetahui), Al-
Qadiir(Yang Maha Kuasa), dan as-Samii’ (Yang Maha Mendengar).

14. 3. Yang kembali kepada af’al-Nya (perbuatan-Nya), seperti al-Khaaliq (Yang Maha
Pencipta) dan ar-Razaaq (Yang Maha Pemberi Rizki).

15. 4. Yang kembali kepada penyucian semata harus mengandung ketetapan karena menafikan
saja tidak menunjukkan kesempurnaan dari sesuatu, seperti al-Qudduus (Yang Maha Suci) dan as-
Salaam (Yang Maha Sejahtera).

16. 5. Yang tidak banyak disebut oleh kebanyakan orang, yaitu nama yang menunjukkan
sejumlah sifat-sifat yang banyak, tidak dikhususkan untuk satu sifat tertentu, tetapi menunjukkan
atas maknanya, bukan atas makna yang tunggal (satu). Misalnya, al-Majiid (Yang Maha
Terpuji), al-‘Azhiim (Yang Maha Besar), ash-Shamaad (Tempat bergantung seluruh makhluk).
Maka al-Majiid berarti yang bersifat dengan berbagai macam sifat kesempurnaan. Lafazhnya
menunjukkan pengertian ini. Lafazh al-Majd biasanya dipergunakan untuk keluasan, banyak, dan
tambahan. Perhatikan makna kalimat berikut ini; Istamjadal marikhu wal ghaffar (anak sapinya
menjadi banyak) dan amjadan naaqatu ‘alafan (unta itu banyak makan).

17. Dari makna ini: “Rabbul ‘Arsyil Majiid merupakan sifat ‘Arsy karena luas, besar, dan
mulianya. Renungkanlah, bagaimana nama ini disebut bersama ketika bershalawat atas Rasul-Nya,
sebagaimana yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam kepada kita. Sebab, ketika
itu, kita berada dalam posisi meminta tambahan dan mendatangi suatu pemberian yang luas,
banyak, dan kekal. Maka dari itu, permohonan ini harus diiringi dengan nama yang sesuai,
sebagaimana ketika seseorang berkata, “Ampunilah dan rahmatilah aku karena Engkau Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” Tidak pantas jika berkata, “Karena Engkau Maha Mendengar
lagi Maha Melihat.” Nama itu kembali kepada Dzat yang kita minta kepada-Nya dengan asma’ dan
sifat-Nya. Tawassul seperti itu adalah yang paling dekat dan lebih disukai-Nya. Sebagian dari itu
adalah hadits yang diriwayatkan dalam al-Musnad (Imam Ahmad) dan at-Tirmdzi, “Tetaplah
(terus menerulah berdoa dengan): ‘Yaa, Dzal-Jalaaali wal-Ikraam(yang memiliki keagungan
dan kemuliaan).’”

18. Termasuk juga di sini, “Ya, Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu. Bahwasanya
segala puji hanya untuk-Mu. Tidak ada Ilah (yang berhak diibadahi) selain Engkau, Yang Maha
Pemberi, Pencipta langit dan bumi, wahai, Yang memiliki keagungan dan kemuliaan.”

19. Ini permintaan dan tawassul kepada-Nya dengan memuji-Nya. Bahwsanya tidak ada Ilah
(yang berhak diibadahi) selain Dia, Yang Maha Pemberi; itu adalah tawassul kepada-Nya dengan
Asma’ dan sifat-Nya. Alangkah pantasnya untuk dikabulkan dan amat besar pengaruhnya terhadap
yang diminta. Ini adalah satu bab yang sangat penting dalam bab tauhid.

20. Allah disifati dengan nama yang mengandung beberapa sifat, Allah Yang Maha Agung
adalah Rabb Yang memiliki banyak sifat kesempurnaan. Demikian pula ash-Shamaad. Ibnu Abbas
berkaa, “Dia adalah Pemimpin yang sempurna kepemimpinannya.” Ibnu Wa’il berkata, “Dia
pemegang puncak kepemimpinan.” Ikrimah berkata, “Yang tidak ada sesuatu pun di atas-Nya.”
Demikian pula az-Zajjaj, ia berkata, “Yang disudahi (diakhiri) kepemimpinan kepada-Nya, segala
sesuatu sunguh bergantung kepadanya.” Ibnul Anbari berkata, “Semua ahli bahasa sepakah
sesungguhnya ash-Shamaad maknanya pemimpin yang tidak ada di atas-Nya sesuatu pun, semua
manusia bergantung kepada-Nya dalam segala keperluan dan urusan mereka. Isytiqaqnya
(pengambilan asal kalimat) mengindikasikan makna ini. Ia dari makna jamak(berkumpul)
dan qashd (tujuan), yaitu yang berhimpun segala tujuan kepada-Nya dan terkumpul pada-Nya sifat
kepemimpinan. Ini asal maknanya dalam bahasa Arab. Seperti yang ia katakan, “Anak pertama
yang mengabarkan kematian sebaik-baik Bani Asad adalah Amar bin Yarbu pemimpin tempat
bergantung.”

21. Bangsa Arab memberi nama kepada para pemimpin mereka dengan nama ash-
Shamaadkarena berkumpulnya orang yang membutuhkan kepadanya dan terkumpulnya sifat-sifat
kepemimpinan padanya.

22. 6. Sifat yang disebutkan secara beriringan salah satu dari dua nama atau sifat dengan yang
lain. Hal itu merupakan nilai lebih daripada disebutkan satu persatu, seperti al-Ghaniyyu al-
Hamiidu (Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji), al-‘Afuwwu al-Qadiiru (Yang Maha Pemaaf lagi
Maha Kuasa), al-Hamiidu al-Majiid (Yang Maha Terpuji lagi Maha Mulia), dan seperti inilah
umumnya sifat-sifat yang disebutkan bersamaan dan nama-nama yang berpasangan.

23. Sesungguhnya al-Ghinaa merupakan sifat kesempurnaan, demikian juga al-Hamd, dan
berkumpulnya sifat kaya dan terpuji merupakan sifat kesempurnaan yang lain. Bagi-Nya pujian
dan kemahakayaan-Nya dan pujjian pada sifat terpuji-Nya dan pujian pada penggabungan
keduanya. Demikian juga al-‘Afuwwu al-Qadiiru, al-Hamiid al-Majiid, al-Aziiz al-Hakiim.
Adapun sifat salb (negative) yang mutlak, tidak termasuk dari sifat-Nya, kecuali jika sifat tersebut
mengandung makna itsbat (menetapkan sifat bagi Allah) seperti Ahad yang mengandung makna
Maha Esa dengan sifat Rububiyyah dan Uluhiyyah. Demikian dengan as-Salaam, yang
mengandung makna terhindar dari setiap kekurangan yang bertentangan dengan kesempurnaan-
Nya. Demikian pula berita tentang Dzat-Nya dengan sifat salbiyyah (yaitu sifat-sifat yang Allah
nafikan dari Dzat-Nya yang Maha Mulia karena mengandung sifat-sifat yang tidak pantas bagi
Allah), hal itu mengandung ketetapan (sifat kesempurnaan, sebagai lawan dari sifat-sifat yang
dinafikan tersebut) seperti firman-Nya,

24. “…..Dia tidak mengantuk dan tidak tidur….” (Al-Baqarah: 255)


25. Makna dari ayat ini mengandung kesempurnaan Maha Hidup-Nya dan berdiri sendiri-Nya.
Demikian juga firman Allah,

26. “….Dan Kami sedikit pun tidak ditimpa keletihan….” (Qaf: 38)

27. Ayat ini mengandung kekuasaan-Nya yang sempurna. Demikian pula firman Allah,

28. “….Tidak luput dari pengetahuan Rabbmu biarpun sebesar dzarrah (atom)….” (Yunus: 61)

29. Mengandung kesempurnaan ilmu-Nya. Demikian pula firman-Nya,

30. “Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan.” (Al-Ikhlash: 3).

31. Mengandung bergantungnya semua orang kepada-Nya dan kaya-Nya yang sempurna.
Demikian pula firman-Nya,

32. “Tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.” (Al-Ikhlash)

33. Mengandung Esa-Nya yang sempurna dan sesungguhnya tidak ada yang setara dengan-Nya.
Demikian pula firman-Nya,

“…Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata….” (Al-An’aam: 103)

34. Mengandung kebesaran-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Besar untuk bisa dicapai dengan
apa pun juga (tidak bisa diliputi). Ini berlaku untuk semua sifat yang Dia sifati untuk Dzat-Nya dari
sifat salb (negative).

Sumber: DR. Sa’id Ali bin Wahf al-Qahthani. Syarah Asma’ul Husna”. Terj. Abu Fatimah
Muhammad Iqbal Ahmad Ghazali. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2005.
Pembahasan Keempat & Kelima
Oleh: DR. Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani / Publikasi: Rabu, 27 Januari 2016 15:18

Kandungan (Dilaalah) Asma’ul-Husna

35. Seluruh asma Allah adalah husna, artinya Maha Indah. Dan semuanya menunjukkan
kesempurnaan dan pujian mutlak. Seluruhnya diambil dari sifat-sifat-Nya. Maka sifat yang ada
padanya tidak menafikan ‘alamiyyah (nama) dan ‘alamiyyah tidak menafikan sifat, dan
kandungannya ada tiga;
a. Dilaalah muthabaqah (adekusi), ketika kita tafsirkan nama dengan seluruh makna yang
ditunjukkan oleh nama tersebut.
b. Dilaalah tadhammun (inklusi), ketika kita tafsirkan nama tersebut dengan sebagian makna yang
ditunjukkan oleh nama itu.
c. Dilaalah iltizaam (konsekuensi), ketika kita menunjukkan keterkaitannya dengan asma’ (nama-
nama) yang lain.
36. Misalnya, ar-Rahman (Yang Maha Pengasih) yang menunjukkan adanya rahmat dan Dzat
(yang merahmati), maka ini adalah dilaalah muthabaqah (adekusi). Jika ditilik dari salah satu
maknanya, maka disebut dilaalah tadhammun (inklusi) karena termasuk dalam kandungannya.
Selain itu, indikasinya atas asma’ yang lain yang tidak terdapat di sifat rahmat, kecuali dengan
tetapnya asma’ tersebut,
seperti hayat (hidup), ‘ilmu (pengetahuan), iradah(kehendak), qudrat (kekuasaan), dan yang
lainnya, ini disebut dilaalah iltizam (konsekuensi). Bagian yang terakhir ini memerlukan
pemikiran yang kuat dan perenungan. Para ahli ilmu beragam dalam hal ini. Maka jalan untuk
mengenalnya adalah ketika kita memahami lafazh (kata) dan makna yang terkandung di dalamnya
dan memahaminya dengan baik.

Hakikat Ilhad Pada Asma Allah Subhanahu wa Ta’alaa

37. Hakikat ilhad pada asma’ Allah adalah berpaling dari istiqamah. Bisa dengan menetapkan
adanya sekutu bagi-Nya, seperti ilhad orang-orang musyrik yang memberikan nama untuk tuhan
(berhala) mereka dari sifat Allah Subhanahu wa Ta’alaa, nama yang tidak pantas, kecuali hanya
untuk Allah, seperti pemberian nama untuk berhala (al-Laata) berasal dari lafazh Ilaah dan
berhala ‘Uzza berasal dari al-‘Aziiz dan Manaah berasal dari kata al-Mannaan. Setiap orang
musyrik yang bergantung kepada makhluk yang dijadikan sebagai sesembahannya, dia akan
memberikan nama-nama kepada berhala-berhala tersebut dengan nama-nama yang mengandung
sifat-sifat rububiyyah dan uluhiyyah yang mereka jadikan pembenaran untuk menyembahnya.
38. Kelompok yang paling besar dalam melakukan ilhad adalah golongan ittihadiyyah yang
mengatakan bahwa sesungguhnya Rabb adalah makhluk itu sendiri, maka setiap nama yang terpuji
maupun tercela, menurut mereka, ditetapkan bagi Allah. Maha Suci Allah dari perkataan mereka
sesuci-sucinya.
39. Ada juga ilhad dengan menafikan (menolak) sifat-sifat Allah dan menetapkan nama-nama
yang tidak ada hakikatnya, seperti yang diyakini golongan Jahmiyyah dan kelompok-kelompok
pecahannya.
40. Ada yang mengingkari dan menolaknya secara mutlak, yang bertumpu pada pengingkaran
terhadap adanya Allah, seperti yang diperbuat orang-orang zindik dari golongan filosof. Mereka
orang-orang mulhid yang telah menyimpang dari jalan yang benar dan menuju jalan Neraka Jahim.
41. Ibnul-Qayyim Rahimahullah berkata, “Allah ta’alaa berfirman,
42. ‘Hanya milik Allah Asmaa’ul-Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut
Asma’ul-Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam
(menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah
mereka kerjakan.’ (Al-A’raf: 180)
43. Ilhad pada asma’-Nya adalah berpaling darinya, juga dari hakikat dan maknanya dari
kebenaran yang tetap. Lafazhnya diambil dari kata mail (miring/condong) seperti ditunjukkan oleh
asal kalimatnya laam-baa-daal. Dari asal kata itu kalimat al-lahd, yaitu belahan di sisi kubur yang
menyimpang dari tengah. Begitu juga ungkapan al-Mulhidu fid-diin, yaitu yang berpaling dari
kebenaran kepada kebatilan.”
44. Ibnu as-Sikiit berkata, “Al-Mulhiid adalah orang yang berpaling dari kebenaran, yang
memasukkan padanya sesuatu yang bukan bagian darinya.” Termasuk bagian dari maknanya al-
multahid yang mufta’al dari yang demikian itu. Firman Allah,
45. “… Dan kamu tidak akan dapat menemukan tempat berlindung selain daripada-Nya.” (Al-
Kahfi: 27)
46. Maksudnya, orang yang mereka telah berpaling kepadanya, berlari, berlindung, dan
mengharap dengan sangat kepadanya, dan bisa berpaling kepadanya dari yang lainnya. Orang Arab
berkata, “Ilatahada fulan ilaa fulan.” Maksudnya, ia berpaling kepadanya, apabila hal ini telah
dipahami, maka ilhad dalam asma’-Nya ada beberapa jenis:
47. Yang pertama, berhala-berhala yang diberi nama dengan nama-Nya, seperti orang-orang
musyrik yang menamakan berhala mereka laata berasal dari al-Ilaah, dan berhala ‘Uzzaberasal
dari al-‘Aziiz. Mereka memberikan nama kepada berhala sebagai tuhan. Ini adalah ilhad yang
sebenarnya. Sesungguhnya mereka telah berpaling dengan asma’-Nya kepada berhala mereka dan
tuhan-tuhan mereka yang bathil.
48. Yang kedua, menamakan Allah dengan nama yang tidak layak dengan kebesaran-Nya,
seperti tindakan orang Nashrani yang menamai-Nya, Bapa, dan tindakan filosof dengan menamai-
Nya muujiban bidzaatih (wajib bagi Dzatnya) atau ‘illatun faa’ilah bith-thab (sebab yang
melakukan secara alamiah) dan yang lainnya.
49. Yang ketiga, mensifati-Nya dengan sifat yang dengan kemahabesaran dan kemahasucian-
Nya, Dia terbebas dari segala kekurangan tersebut, seperti perkataan Yahudi yang paling
jahat, Innahu faqiir (bahwsanya Dia fakir) dan perkataan mereka bahwa dia beristirahat setelah
menciptakan makhluk-Nya. Selain itu, mereka berkata,
“’…. Tangan Allah terbelenggu’, sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah
yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakana itu….” (Al-Maidah: 64) Perbuatan-
perbuatan yang serupa dengan itu termasuk ilhad pada asma’ dan sifat Allah.
50. Yang keempat, meniadakan makna dari nama-nama-Nya dan mengingkari hakikatnya,
seperti perkataan golongan Jahmiyyah dan pengikutnya, “Bahwasanya asma’ adalah lafazh yang
kosong, tidak mengandung sifat dan makna.” Mereka memberikan kepada-Nya nama as-Samii’, al-
Bashiir, asl-Hayy, ar-Rahiim, al-Mutakallim, dan al-Muurid. Namun mereka berkata, ‘Tiada
kehidupan bagi-Nya, tiada pendengaran, tiada penglihatan, tiada perkataan, tiada kehendak yang
berdiri dengan-Nya.'” Ini adalah ilhad yang paling besar pada asma’, baik secara akal, syara’,
bahasa, maupun fithrah. Ilhad ini bertolak belakang dengan ilhad kaum musyrikin yang
memberikan asma’ dan sifat-Nya (yang mulia) untuk berhala mereka. Sedangkan mereka
(Jahmiyyah) menolak sifat kesempurnaan-Nya mengingkari dan mengosongkan (menolak
maknanya). Kedua-duanya adalah mulhid pada asma’-Nya. Kemudian golongan Jahmiyyah dan
pengikutnya berbeda-beda dalam ilhad ini. Sebagian dari mereka ada yang berlebihan (al-Ghali),
pertengahan (al-Mutawassith), dan yang terendah (al-Mankub). Setiap orang yang mengingkari
sesuatu dari sifat yang disifatkan Allah untuk diri-Nya atau yang disifatkan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, sesungguhnya dia telah melakukan ilhad terhadap yang
demikian itu sedikit maupun banyak.
51. Yang kelima, menyerupakan sifat-Nya dengan sifat makhluk-Nya. Maha Suci Allah dari
segala yang mereka katakan dengan kesucian yang besar. Ilhad ini bertolak belakang
dengan ilhad kaum Mu’aththilah (yang meniadakan sifat Allah) yang mereka menolak sifat
kesempurnaan-Nya dan mengingkarinya. Adapun mereka (yang kelima) menyerupakan-Nya
dengan sifat makhluk-Nya. Semuanya adalah ilhad dan jalan mereka berbeda-beda. Allah
menyelamatkan pengikut Rasul-Nya dan para pewarisnya yang senantiasa melaksanakan
sunnahnya dari semua itu. Mereka (golongan yang selamat) tidak mensifati-Nya, kecuali dengan
sifat yang Ia sifatkan untuk diri-Nya, tidak mengingkari sifat-Nya, tidak menyerupakan-Nya
dengan sifat makhluk-Nya dan tidak berpaling dari apa yang diturunkan kepadanya baik secara
lafazh maupun makna. Akan tetapi, mereka menetapkan asma’ dan sifat bagi-Nya dan menolak
dari-Nya penyerupaan dengan segala makhluk. Penetapan mereka terhindar dari penyerupaan dan
penyucian mereka bukan berarti mengosongkan makna (ta’thil). Tidak seperti orang yang
menyembah-Nya seolah-olah ia menyembah berhala, atau mengosongkan hingga seolah-olah ia
menyembah sesuatu yang tidak ada. Ahlus-Sunnah adalah pertengahan di antaa kedua golongan
tersebut, sebagaimana umat Islam merupakah pertengahan di antara umat agama lain.
52. “Lampu-lampu (pelita-pelita) ma’rifat ilmu mereka telah menyala dari pohon yang
banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur dan tidak pula di
sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh
api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang
Dia kehendaki.”
53. Kita memohon kepada Allah agar senantiasa membimbing kita kepada cahaya-Nya dan
memudahkan jalan bagi kita untuk mendapatkan keridhaan-Nya dan mengikuti (mutaaba’ah)
Rasul-Nya. Sesungguhnya Dia sangat dekat dan Maha Mengabulkan doa hamba-Nya.
54. Sumber: DR. Sa’id Ali bin Wahf al-Qahthani. Syarah Asma’ul Husna”. Terj. Abu Fatimah
Muhammad Iqbal Ahmad Ghazali. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2005.
Pembahasan Keenam & Ketujuh
Oleh: DR. Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani / Publikasi: Rabu, 27 Januari 2016 15:20

55. Menghafal Asma’ul Husna Adalah Pokok Bagi Pengetahuan (Ilmu)


56. Menghafal Asma’ul Husna dan memahaminya merupakan dasar untuk mengetahui
segala maklummat (yang diketahui). Maka sesungguhnya seluruh yang diketahui selain-Nya bisa
berupa ciptaan-Nya atau perintah-Nya. Bisa jadi hal itu adalah pengetahuan tentang sesuatu yang
telah diciptakan-Nya. Bisa jadi hal itu adalah pengetahuan-Nya. Sumber dari ciptaan dan perintah
berasal dari asma’-Nya Yang Maha Indah. Keduanya berhubungan dengan Asma’ul-Husna seperti
hubungan subjek dengan objek. Maka semua perkara sumbernya dari Asma’ul-Husna. Semuanya
indah, tidak keluar dari mashlahat (kepentingan) hamba, kasih sayang dan rahmat terhadap
mereka. Berbuat baik kepada mereka dengan menyempurnakan perintah dan larangan-Nya kepada
mereka. Semua perintah-Nya adalah mashlahat, hikmah, rahmat, lemah lembut, dan kebaikan
karena sumbernya adalah asma’-Nya yang sangat indah.
57. Semua perbuatan-Nya tidak keluar dari keadilan, hikmah, mashlahat, dan rahmat (kasih
sayang) karena sumbernya adalah asma’-Nya Yang Maha Indah. Maka tidak ada perbedaan pada
makhluk-Nya (ciptaan-Nya) dan tiada yang sia-sia. Dia tidak menciptakan setiap
yang maujud (ada) selain-Nya, maka keberadaannya (di dunia ini) adalah karena Dia yang
mengadakannya. Adanya segala sesuatu selain Dia mengikuti keberadaan-Nya
sebagaimana maf’ul (objek) yang diciptakan mengikuti yang menciptakannya. Demikian pula ilmu
tentang Asma’ul-Husna, yang merupakan dasar bagi pengetahuan dan segala sesuatu yang lainnya.
Mengetahui asma’-Nya dan menghafalnya merupakan dasar bagi semua ilmu. Maka dari itu siapa
yang menghafal asma’-Nya, dengan sebagaimana mestinya, niscaya ia menghafal seluruh ilmu.
Sebab menghafal asma’-Nya adalah pokok menghafal seluruh maklummat (diketahui), karena ia
adalah bagian dari tuntunan asma’-Nya dan berhubungan dengannya. Sesungguhnya kekeliruan
yang terjadi pada apa yang diperintahkan oleh Allah kepada hamba-Nya atau yang ia perbuat,
boleh jadi karena ketidaktahuan hamba-Nya tentang perkara itu atau karena ketiadaan hikmah
pada dirinya. Adapun Rabb, Dialah Yang Maha Tahu dan Maha Bijaksana, maka tidak ada
kesalahan, perbedaan, dan pertentangan dalam perbuatan dan perintah-Nya.
58. Semua Asma’ Allah Adalah Indah
59. Asma’ Allah semuanya indah, sama sekali tidak ada padanya nama selain yang demikian itu.
Pada pembicaraan yang lalu disebutkan bahwasanya sebagian dari asma’-Nya ada yang dipandang
dari perbuatan, seperti al-Khaaliq (Yang Menciptakan), ar-Raaziq (Yang Memberi Rizqi), al-
Muhyi (Yang Menghidupkan), dan al-Muumit (Yang Mematikan). Ini menunjukkan
(mengindikasikan) bahwasanya semua perbuatan-Nya merupakan kebaikan yang mutlak, tiada
kejahatan padanya. Kalau Dia melakukan perbuatan jahat, niscaya diambil bagi-Nya nama dari
perbuatan itu sehingga berarti asma’-Nya tidak semuanya indah/baik. Ini adalah pendapat
yang bathil (salah). Maka kejahatan tidak terpulang kepada-Nya sebagaimana kejahatan tidak
termasuk dalam sifat dan Dzat-Nya, kejahatan juga tidak masuk pada perbuatan-Nya. Kejahatan
tidak terpulang kepada-Nya dan tidak disandarkan kepada-Nya, baik pada perbuatan maupun pada
sifat, namun hanya masuk pada maf’ul-Nya (objek-objek-Nya).
60. Bedakanlah antara fi’il (perbuatan) dan maf’ul (yang diperbuat). Kejahatan yang terjadi, itu
dilakukan maf’ul-Nya (makhluk-makhluk-Nya) yang sangat berbeda dengan-Nya. Dalam arti lain,
kejahatan itu tidak terjadi karena Dia yang melakukannya. Banyak pula orang yang tergelincir
dalam masalah ini dan banyak juga yang tersesat. Allah memberi petunjuk kepada ahlul
haq (orang-orang yang benar) ketika mereka berselisih padanya dengan izin-Nya. Allah memberi
petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya menuju ke jalan yang lurus.
61. Sumber: DR. Sa’id Ali bin Wahf al-Qahthani. Syarah Asma’ul Husna”. Terj. Abu Fatimah
Muhammad Iqbal Ahmad Ghazali. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2005.
Pembahasan Kedelapan & Kesembilan
Oleh: DR. Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani / Publikasi: Rabu, 27 Januari 2016 15:22

62. Asma’ Allah Ada yang Dipakai Sendirian Dan Bersama Dengan Sifat yang
Lainnya, Ada Juga yang Tidak Dipakai Sendirian, Tetapi Harus Bersama Dengan
Lawannya
63. Sesungguhnya asma’ Allah, sebagian darinya ada yang dipakai sendirian dan bersama yang
lainnya, dan ini adalah kebanyakan asma’. Al-Qadiir (Yang Maha Kuasa), as-Samii’ (Yang Maha
Mendengar), al-Bashiir (Yang Maha Melihat), al-‘Aziiz (Yang Maha Perkasa), dan al-Hakiim (Yang
Maha Bijaksana). Asma’ ini boleh disebut sendirian dan bersama yang lainnya, seperti jika
dikatakan: “Ya ‘Aziiz, Ya Haliim, Ya Ghafuur, Ya Rahiim.” Boleh juga disebut sendirian (tanpa
bersama nama yang lain). Demikian pula dalam memuji-Nya dan menyebut tentang-Nya dengan
sifat yang boleh bagi kita menyebut salah satunya saja maupun menggabungkannya dengan asma’
yang lain.
64. Sebagian dari asma’ ada yang tidak disebutkan sendirian. Tetapi disertakan dengan
lawannya, seperti al-Maani’ (Yang Mencegah), adh-Dhaarr (Yang Memberi Mudharat), dan al-
Muntaqim(Yang Membela). Asma’ ini idak boleh disebutkan terpisah dari sifat yang merupakan
sifat lawannya yaitu al-Mu’thi (Yang Maha Memberi), an-Naafi’ (Yang Memberi Manfaat), dan al-
‘Afuww (Yang Memberi Maaf). Dialah al-Mu’thi al-Maani’, adh-Dhaarru an-Naafi’, al-Muntaqim
al-‘Afuww, dan al-Mu’izz al-Mudziil. Sesungguhnya kesempurnaan terdapat ketika disebutkan
nama ini bersama muqaabil-nya (lawanny) karena yang dimaksud dengannya bahwasanya hanya
Dialah yang bersifat Rububiyyah (ketuhanan), mengatur makhluk, dan mengatur keadaan mereka,
mamberi, mencegah, memberi manfaat, memberi mudharat, memaafkan, dan menyiksa. Adapun
memuji-Nya dengan hanya memakai sifat mencegah, menyiksa, dan memberi mudharat, hal itu
tidak boleh. Nama-nama yang bergabung ini berlaku sebagaimana dengan yang lain. Dia (asma’
yang berpasangan) sekalipun banyak, berlaku seperti satu nama. Oleh karena itu, tidak terdapat
(dalam nash) nama-nama ini disebutkan secara terpisah dan tidak pernah digunakan, kecuali
berpasangan.
65. Sebagian Dari Asma’ul Husna Ada yang Menunjukkan Beberapa Sifat
66. Ibnul-Qayyim berkata, “Sebagian dari Asma’ul-Husna ada yang menunjukkan beberapa
sifat. Nama tersebut mendapatkan semuanya seperti satu nama yang menunjukkan satu sifat
baginya, seperti nama-Nya al-‘Azhiim (Yang Maha Agung), al-Majiid (Yang Maha Mulia, Yang
Maha Terpuji), dan ash-Shamaad (Tempat Bergantung), sebagaimana dikatakan Ibnu Abbas yang
diriwayatkan Ibnu Abi Hatim dalam Tafsirnya, “Ash-Shamaad adalah pemimpin yang sempurna
dalam kepemimpinan-Nya, Yang Maha Mulia yang sempurna kemuliaan-Nya, Yang Maha Agung
yang sempurna keagungan-Nya, al-Haliim (Yang Maha Penyantun) yang sempurna pada santunan-
Nya, Yang Maha Mengetahui yang sempurna pengetahuan-Nya, Yang Maha Bijaksana yang
sempurna kebijaksanaan-Nya, Dia Yang sepmpurna dalam segala kemuliaan-Nya dan
kepemimpinan-Nya, Dia adalah Allah, ini adalah sifat yang tidak pantas kecuali bagi-Nya, tiada
yang setara bagi-Nya. Tiada sesuatu yang serupa dengan-Nya. Maha Suci Allah Yang Maha Esa dan
Maha Perkasa.” Ini adalah lafazhnya. Ini adalah sebagian yang tersembunyi bagi sebagian orang
yang membicarakan tentang tafsir Asma’ul-Husna. Ia menerangkan nama tanpa maknanya
(pengertiannya) dan menguranginya dari tempat yang tidak diketahui. Siapa yang tidak meliputi
hal ini dengan pengetahuan, niscaya ia telah mengurangi al-Ismul A’zham (Nama Yang Maha
Agung) akan haknya dan mengurangi maknanya, maka renungkanlah.
67. Sumber: DR. Sa’id Ali bin Wahf al-Qahthani. Syarah Asma’ul Husna”. Terj. Abu Fatimah
Muhammad Iqbal Ahmad Ghazali. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2005.
Pembahasan Kesepuluh: Asma’ul Husna Yang
Kembali Kepada-Nya Semua Asma’ Dan Sifat
Oleh: DR. Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani / Publikasi: Rabu, 27 Januari 2016 15:24

1. Ibnul Qayyim berkata pada tafsir surat al-Fatihah, “Ketahuilah, bahwasanya surat ini
mengandung induk segala permintaan yang tinggi dengan kandungan yang sempurna. Ia
meliputi pengenalan terhadap Yang Disembah –Allah—Dengan tiga nama yang merupakan
rujukan Asma’ul-Husna dan sifat yang tinggi yang semuanya berporos padanya, yaitu
Allah, ar-Rabb, dan ar-Rahmaan.”
2. Surat ini dibangun atas Uluhiyyah, Rububiyyah, dan rahmah. Kalimat (iyyaka na’budu)
menunjukkan atas Tauhid Uluhiyyah dan (Iyyaka nasta’iin) menunjukkan atas Tauhid
Rububiyyah dan memohon petunjuk kepada jalan yang lurus dengan sifat rahmah (kasih
sayang). Adapun al-Hamd mengandung tiga perkara, Dia yang dipuji pada Uluhiyyah,
Rububiyyah, dan rahmah-Nya. Pujian dan sanungan adalah kesempurnaan bagi
keagungan-Nya. Surat ini juga mengandung ketetapan Nubuwwah dari beberapa sisi:
3. 1. Allah adalah Rabb semesta alam. Karena itulah, tidak pantas Dia meninggalkan hamba-
Nya begitu saja, terlantar tidak terurus, tanpa ada yang mengenalkan perkara-perkara yang
bermanfaat untuk kehidupan mereka dan tempat kembali (akhirat), serta apa yang
membahayakan mereka di dunia dan akhirat. Ini adalah kezhaliman bagi Rububiyyah dan
menisbahkan Rabb kepada yang tidak pantas bagi-Nya. Mereka tidak menghormati Allah
sebagaimana mestinya.
2. Dari nama (Allah), Dialah Yang disembah, tiada jalan bagi hamba untuk mengenal cara
ibadah kepada-Nya, kecuali dari jalan para Rasul.
3. Dari nama-Nya, ar-Rahmaan, sesungguhnya rahmat-Nya mencegah-Nya dari menyia-
nyiakan hamba-Nya dan tidak mengenalkan sesuatu yang menyampaikan mereka kepada
tujuan yang sempurna. Siapa yang memberikan nama ar-Rahmaan pada haknya, niscaya
ia mengenal bahwa sifat ini mencakup perbuatan-Nya mengutus para Rasul dan
menurunkan kitab, yang lebih besar dari menurunkan hujan, menumbuhkan rumput dan
mengeluarkan benih maka peran rahmat bagi terwujudnya kehidupan hati dan ruh lebih
besar daripada perannya untuk sesuatu yang memberi kehidupan pada badan dan orang.
Akan tetapi orang-orang yang terhalang, mereka hanya menemukan dari konsekuensi
nama ini sebagaimana bintang dan hewan memahaminya. Adapun orang yang memiliki
akal, ia akan menemukan dari nama itu perkara yang ada di belakang semua itu.
4. Surat al-Fatihah mengandung pembagian tauhid yang tiga, yang sudah menjadi
kesepakatan para Rasul, yaitu;
5. 1. At-Tauhid al-‘ilmi, diberinama demikian karena berhubungan dengan kabar dan
pengenalan, dinamakan pula (Tauhid Asma’ dan Sifat).
2. At-Tauhid al-Qashdi al-Iraadi, dinamakan demikian karena berhubungan dengan
tujuan dan keinginan. Yang kedua ini terbagi dua bagian: Tauhid Rububiyyah, dan Tauhid
Uluhiyyah, maka semuanya menjadi tiga.
6. Adapun Tauhid ‘Ilmi (Tauhid Asma’ dan Sifat) maka pembicaraannya berkisar pada
penetapan sifat kesempurnaan, penolakan terhadap kesamaan dan keserupaan serta
terhindarnya dari segal cela dan kekurangan. Ada dua perkara yang menunjukkan hal ini:
7. a. Mujmal (Global), yaitu penetapan segala pujian hanya bagi Allah.
b. Mufashshal (terperinci), yaitu menyebut sifat Uluhiyyah, Rububiyyah, rahmat, dan
kerajaan. Pada empat asma’ inilah pembicaraan mengenai asma’ dan sifat.
8. Adapun kandungan al-Hamd (pujian) bagi yang demikian karena mengandung pujian
terhadap yang dipuji dengan sifat kesempurnaan-Nya dan sifat kebesaran-Nya, beserta
cinta, ridha, dan tunduk kepada-Nya. Maka bukanlah memuji jika mengingkari sifat yang
dipuji dan berpaling dari mencintai dan tunduk kepada-Nya. Apabila sifat yang dipuji lebih
banyak, niscaya pujian kepada-Nya lebih banyak dan apabila kurang sebagian dari sifat
kesempurnaannya, niscaya kuranglah pujian menurut ukurannya.
9. Karena sebab ini, segala pujian hanya milik Alah, pujian yang tidak bisa menghitungnya,
kecuali Dia karena kesempurnaan sifat-sifat-Nya. Karena ini pula, tiada seorang makhluk
pun yang bisa menghitung pujian kepada-Nya, karena Dia memiliki sifat kesempurnaan
dan kebesaran yang tidak ada seorang pun bisa menghitungnya selain Dia. Sebagaimana
sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
10. “Ya Allah, aku berlindung dengan ridha-Mu dari kemurkaan-Mu, dan dengan maaf-Mu
dari siksa-Mu, dan dengan-Mu dari-Mu aku tidak bisa menghitung pujian kepada-Mu,
sebagaimana pujian yang Engkau memuji atas diri-Mu.” Ini adalah indikasi kepada
Tauhid Asma’ dan Sifat.
11. Adapun indikasi asma’ yang lima atasnya (atas asma’ dan sifat), yaitu (Allah, ar-Rabb, ar-
Rahmaan, ar-Rahiim, dan al-Maalik). Maka dibangun atas dua dasar:
12. Dasar yang pertama, nama-nama Rabb mengindikasikan atas sifat kesempurnaan-Nya.
Dia (asma’) berasal dari sifat, di samping sebagai asma’ (nama-nama), ia juga merupakan
sifat Allah. Dengan demikian, asma’ dan sifat adalah indah karena jika merupakan nama
yang tidak ada maknanya, berarti tidak indah, juga tidak menunjukkan atas pujian dan
tidak pula atas kesempurnaan. Jika demikian, akan menjadi boleh untuk
menempatkan asma’ intiqam(penyiksaan) dan ghadhab (marah) pada tempat rahmat dan
ihsan, begitu juga sebaliknya. Akibatnya orang akan berdoa dengan doa berikut, “Ya Allah,
sesungguhnya saya berbuat zhalim kepada diriku sendiri, ampunilah aku karena Engkau
yang menyiksa.” Selain itu, ungkapan, “Ya Allah, berilah aku, sesungguhnya Engkaulah
Yang memberi mudharat dan Yang Mencegah.” Dan ungkapan-ungkapan yang sejenisnya.
Maha Suci Allah dari perkataan orang-orang zhalim dengan kesucian Yang Maha Besar.
13. Menafikan makna Asma’ul-Husna termasuk ilhad yang paling besar. Allah ta’alaa
berfirman,
14. “…Dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut)
nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah
mereka kerjakan.” (Al-A’raf: 180).
15. Asma’ jika tidak menunjukkan makna dan sifat, niscaya tidak boleh ia menisbatkan
mashdar dari kata itu untuk dirinya dan tidak boleh disifati dengannya. Akan tetapi, Allah
telah menceritakan tentang diri-Nya dengan bentuk mashdar-nya (morfologisnya) dan
menetapkannya sebagai salah satu nama-Nya dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallamjuga telah menetapkannya untuk-Nya, sebagaimana firman-Nya,
16. “Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi Rizki. Yang Memiliki Kekuatan lagi Sangat
Kokoh.” (Adz-Dzariyaat: 58).
17. Dari ayat ini diketahui bahwa nama al-Qawiyu: Yang Maha Kuat, merupakan bagian dari
asma’-Nya dan maknanya: yang disifati dengan kekuatan. Demikian pula firman-Nya,
18. “….Maka bagi Allah kemuliaan itu semuanya…” (Faathir: 10)
19. Nama al-‘Aziiz artinya Yang memiliki keperkasaan. Jika tidak ada ketetapan sifat kuat dan
perkasa, niscaya Dia tidak diberi nama al-Qawiyyu dan al-‘Aziizu. Demikian pula firman-
Nya,
20. “…Allah menurunkannya dengan ilmu-Nya..” (An-Nisaa: 166)
21. Kaum muslimin sepakat bahwa jika seseorang bersumpah dengan kehidupan Allah atau
pendengaran-Nya, atau penglihatan-Nya, kekuatan-Nya, keperkasaan-Nya, keagungan-
Nya, niscaya sumpahnya adalah wajib ia ditebus (dibayar) karena ini merupakan sifat
kesempurnaan-Nya yang diambil dari asma’-Nya.
22. Jika asma’-Nya tidak mengandung makna dan sifat, niscaya tidak boleh dikabarkan
(diberitakan) dengan perbuatan-Nya. Maka tidak boleh dikatakan, “Allah Mendengar,
melihat, mengetahui, berkuasa, dan bekehendak.” Menetapkan hukum-hukum sifat
merupakan cabang dari menetapkan asma’. Apabila tidak ada asal dari sifat niscaya
mustahil hukum sifat tersebut ada pada asma’. Menolak makna asma’-Nya termasuk ilhad
terbesar dalam asma’ Allah. Ilhad pada asma’ itu ada beberapa bagian, dan ini salah
satunya.
23. Dasar yang kedua, nama dari nama-nama-Nya sebagaimana mengindikasikan kepada
Dzar dan sifat yang diambil dari (asal katanya) dengan muthaabaqah (adekusi).
Sesungguhnyaha itu mengindikasikan kepadanya dengan dua indikasi yang lain, yaitu
dengan tadhammun(induksi) dan luzuum (konsekuensi).
24.Menunjukkan atas sifat itu sendiri dengan inklusi seperti halnya juga atas dzat, dan
mengindikasikan atas sifat yang lain dengan konsekuensi.
25. Sesungguhnya nama as-Samii’ menunjukkan terhadap Dzat Rabb dan pendengaran-Nya
dengan adekusi. Selain itu, menunjukkan atas dzat dan atas sam’ saja dengan inklusi, juga
menunjukkan atas nama al-Hayy (Yang Maha Hidup) dan memiliki sifat hayat (hidup)
dengan iltizaam (konsekuensi), demikian pula semua asma’ dan sifat-Nya. Akan tetapi
orang-orang berbeda dalam mengenal luzuum dan tidaknya.
26.Apabila dua dasar ini telah tetap, maka nama Allah menunjukkan seluruh Asma’ul-Husna
dan sifat Yang Maha Tinggi dengan indikasi yang tiga tersebut (al-Muthaabaqah, at-
Tadhammun, al-Luzuum).
27. Sesungguhnya dia menunjukkan sifat Uluhiyyah-Nya dengan mengandung ketetapan sifat
Uluhiyyah bagi-Nya, beserta penolakan lawan-lawannya dari-Nya. Dan sifat Uluhiyyah
inilah sifat kesempurnaan Yang Maha Suci terhindar dari penyerupaan dan kesamaan,
serta dari segala cela dan kekurangan. Oleh karena itu Allah menyandarkan seluruh
Asma’ul-Husna kepada nama Yang Maha Agung in seperti dalam firman-Nya,
“Hanya milik Allah Asma’ul-Husna…” (Al-A’raaf: 180)
28. Dikatakan, (ar-Rahmaan, ar-Rahiim, al-Quddus, as-Salaam, al-‘Aziiz, dan al-
Hakiim) bagian dari asma’ Allah, dan tidak dikatakan, Bahwa Allah sebagian dari asma’ ar-
Rahmaan dan tidak dikatakan juga, bagian dari asma’ al-‘Aziiz, dan yang semisalnya.
29.Dengan demikian, dapat diketahui bahwasanya nama-Nya (Allah) merangkum seluruh
makna Asma’ul-Husna, mengindikasikan kepadanya secara global, dan menjelaskan sifat
Uluhiyyah yang diambil darinya nama (Allah). Adapun nama (Allah) menunjukkan atas
keadaan-Nya sebagai Ilah yang diibadahi. Semua hamba mengabdi kepada-Nya dalam
segala keperluan dan musibah. Yang demikian itu merupakan konsekuensi bagi
kesempurnaan Rububiyyah dan rahmat-Nya, yang mencakup kesempurnaan kerajaan dan
pujian, Uluhiyyah dan Rububiyyah-Nya, kasih saying dan kerajaan-Nya, merupakan
konsekuensi bagi semua sifat kesempurnaan-Nya. Sebab, mustahil ada ketetapan yang
demikian itu bagi sesuatu yang tidak hidup, tidak mendengar, tidak melihat, tidak kuasa,
tidak berkata-kata, tiada berbuat apa yang dikehendaki, dan tidak bijaksana dalam
perbuatan-Nya.
a. Sifat kebesaran dan keelokan, lebih khusus dengan nama (Allah).
b. Sifat perbuatan, kekuasaan, sendiri dalam memberi mudharat dan manfaat, memberi
dan mencegah, melaksanakan kehendak, sempurna kekuatan, dan mengatur urusan
makhluk, lebih khusus dengan nama (ar-Rabb).
c. Sifat ihsan (berbuat baik), pemurah, limpahan kebaikan, kasih sayang, pemberian,
belas kasihan, dan lembut lebih khusus dengan nama (ar-Rahmaan).
30. Pengulangan berfungsi sebagai pemberitahuan ketetapan sifat, terjadi pengaruhnya,
dan hubungan-Nya dengan objeknya. Ar-Rahmaan, Yang memiliki sifat kasih saying
(rahmat). Ar-Rahiim Yang mengasihi hamba-hamba-Nya. Karena itulah Dia berfirman,
“Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” (Al-Ahzab: 43)
31. Dalam ayat di atas, tidak disebutkan, Rahmaan terhadap hamba-Nya dan Rahmaan
terhadap orang-orang yang beriman karena makna pada nama ar-Rahmaan yang berwazan
(timbangan) fa’laan, juga karena luasnya sifat ini dan ketetapan semua maknanya yang
disifati dengannya, dan bentuk wazan fa’laan menunjukkan pengertian luas dan
menyeluruh. Karena itulah, bersemayam-Nya di atas Arsy disertai dengan nama ar-
Rahmaan dalam beberapa ayat seperti firman-Nya,
32. “(Yaitu) Rabb Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy.” (Thaahaa: 5)
33. Sesungguhnya ‘Arsy meliputi semua makhluk. Sungguh ia meliputinya, dan rahmat
meliputi makhluk, luas untuk mereka semua, sebagaimana firman-Nya,
34.”… Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu…” (Al-A’raaf: 156)
35. Dalam sebuah hadits yang shahih dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallambersabda,
36.“Ketika Allah telah selesai (menciptakan) makhluk, Dia menulis dalam kitab yang ada di
sisi-Nya diletakkan di atas ‘Arsy, ‘Sesungguhnya rahmat-ku mengalahkan marah-Ku.’”
37. Pengkhususan kitab ini dengan menyebut rahmat dan meletakkannya di sisi-Nya di atas
‘Arsy lalu sesuaikanlah ini dengan firman-Nya,
38. “(Yaitu) Rabb Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy.” (Thaahaa: 5)
39.Firman-Nya pula,
40. “…Kemudian, Dia bersemayam di atas ‘Arsy, (Dia-lah) Yang Maha Pemurah, maka
tanyakanlah tentang Allah kepada yang lebih mengetahui (Muhammad).” (Al-Furqaan:
59)
41. Sifat ‘adl, menyempitkan (rizki) dan melapangkannya, merendahkan dan mengangkat,
memberi dan menahan, memuliakan dan menghinakan, kekuasaan dan keadilan, dan yang
seumpamanya lebih tepat (khusus) dengan nama (al-Malik/Raja). Dia mengkhususkannya
(nama al-Maalik) dengan Yaumid-Diin, yaitu hari pembalasan dengan adil karena hanya
Dia (Yang memberi keputusan pada hari itu). Sesungguhnya hari itu adalah hari yang
sebenarnya dan masa sebelumnya bagaikan satu waktu (jam) saja; hari itu adalah hari
kesudahan (penghabisan), dan hari-hari di dunia adalah jenjang menuju ke sana.
Penyebutan asma’ ini sesudah pujian dalam firman-Nya:
42.“Segela puji bagi Allah, Rabb semesta alam, Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Yang
menguasai hari pembalasan.” (Al-Faatihah: 2-4)
43.Peletakkan al-Hamd (puji) atas yang dikandung dan yang dituntut mengindikasikan
bahwasanya Dialah Yang Terpuji (dipuji) pada Uluhiyyah, Rububiyyah, Rahmaniyyah dan
pada kekuasaan-Nya (kerajaan-Nya). Bahwsanya Dialah Ilah, Rabb, dan penguasa Yang
Dipuji. Maka dengan itu, milik-Nya ah semua bagian kesempurnaan.
44. Terdapat kesempurnaan pada nama ini ketika (disebutkan) sendirian dan
kesempurnaan pada yang lain ketika (disebutkan) sendirian, serta kesempurnaan (ketika
disebutkan) bersamaan dengan asma’ yang lain. Sebagaimana pada firman Allah berikut;
45. “… Dan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (At-Taghaabun: 6)
46. “… Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (An-Nisaa: 26)
47. “….. Dan Allah adalah Maha Kuasa. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(Al-Mumtahanah: 7)
48. Sifat al-Ghinaa (kekayaan) dan al-Hamd (pujian) merupakan sifat kesempurnaan.
Sifat kaya dan terpuji bila disebutkan bersamaan juga merupakan kesempurnaan. Ilmu-
Nya adalah kesempurnaan dan kebijaksanaan-Nya adalah kesempurnaan. Ilmu dan
bijaksana jika disebutkan bersamaan merupakan kesempurnaan juga. Kakuasaan-Nya
merupakan kesempurnaan, dan ampunan-Nya merupakan kesempurnaan, dan jika
keduanya disebutkan bersamaan juga merupakan kesempurnaan, demikian pula sifat maaf
setelah sifat kuasa,
49. “Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa.” (An-Nisaa: 149)
50. Tidak setiap orang yang mampu (untuk membalas) mau memaafkan, dan tidak
setiap orang yang memberi maaf, memaafkan dalam keadaan mampu (untuk
membalas/menyiksa). Tidaklah setiap orang yang mengetahui dia juga penyantun dan
tidak setiap orang yang penyantun juga mengetahui. Maka sesuatu disertakan kepada
sesuatu yang lebih indah, dari (penyertaan sifat) hilm (penyantun) kepada sifat ‘ilm, dari
sifat pemaaf kepada sifat berkuasa, dari sifat raja kepada sifat terpuji, dan dari sifat perkasa
kepada sifat kasih sayang.
51. “Dan sesungguhnya Rabbmu benar-benar Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha
Penyayang.” (Asy-Syu’araa: 191)
52. Ini adalah indikasi yang paling jelas bahwasanya asma’ Rabb diambil dari sifat dan makna
yang berdiri dengannya. Setiap nama disebutkan pada tempat dan kondisi yang sesuai
dengan pekerjaan atau perintah-Nya. Hanya Allah-lah yang memberi taufik kepada yang
benar. Maka orang yang berdoa sudah seharusnya memohon kepada Allah dengan Asma’
dan sifat-Nya, seperti dalam al-Ismul A’zham,
53. “Yaa Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu, bahwasanya hanya bagi-Mu pujian,
tiada Ilah (yang berhak diibadahi) kecuali Engkau, Yang Maha Memberi nikmat, Pencipta
Langit dan Bumi. Wahai Yang memiliki kebesaran dan kemuliaan. Wahai Yang Maha
Hidup dan Yang Mengurus perkara mahluk.” Doa tersebut terbagi tiga,
54. 1. Memohon kepada Allah dengan asma’ dan sifat-Nya.
2. Memohon kepada-Nya dengan menyebutkan kebutuhan kita, kefakiran, kehinaan
seorang hamba, seperti kalimat berikut, ‘Aku adalah hamba yang fakir, miskin, hina,
meminta perlindungan.’ Dan seumpamanya.
3. Memohon keperluan tanpa menyebutkan salah satu dari dua di atas.
55. Dengan demikian, yang pertama lebih sempurna dari yang kedua, dan yang kedua lebih
sempurna dari yang ketiga, apabila ketiga doa itu digabungkan, inilah yang paling
sempurna, inilah yang biasa terkandung dalam doa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Doa yang diajarkannya kepada yang paling jujur dari ummat ini (Abu Bakar), menyebutkan
ketiga (bagian) doa tersebut;
56. 1. Bahwasanya dia berkata di permulaannya, “Yaa Allah, sesungguhnya aku berbuat zhalim
kepada diriku sendiri dengan kezhaliman yang banyak.” Ini adalah keadaan orang yang
memohon.
2. Kemudian ia berkata, “Dan sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa, kecuali
Engkau.” Ini adalah keadaan Dzat yang dimintai, yaitu Allah.
3. Kemudian, dia berkata, “ Ampunilah aku.” Makai a pun menyebutkan keperluannya dan
menutup doa dengan dua nama dari Asma’ul-Husna yang sesuai dengan yang diminta dan
yang dituntut.
57. Setalah itu, Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata, “Perkataan inilah yang telah kami pilih,
yang telah datang (diriwayatkan) dari beberapa salaf. Al-Hasan al-Bashri berkata,
“Allahumma adalah kumpulan segala doa.” Abu Rajaa al-‘Athridi berkata, “Sesungguhnya
mim dalam perkataannya, ‘Allahumma.’ Di dalamnya terdapat 99 dari asma’ Allah.” An-
Nadhar bin Syamil berkata, “Siapa yang berkata, ‘Allahumma.’ Maka sungguh ia telah
berdoa dengan seluruh asma’-Nya.”
58.Sumber: DR. Sa’id Ali bin Wahf al-Qahthani. Syarah Asma’ul Husna”. Terj. Abu Fatimah
Muhammad Iqbal Ahmad Ghazali. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2005.
Pembahasan Kesebelas: Asma’ Allah dan Sifat-
Sifat-Nya Hanya Untuk-Nya, dan Persamaan Nama
Tidak Menunjukkan Persamaan Yang Diberi Nama
Oleh: DR. Sa’id Ali bin Wahf al-Qahthani / Publikasi: Rabu, 27 Januari 2016 15:25

68. Ibnu Taimiyyah Rahimahullah berkata, “Allah menamakan diri-Nya dengan beberapa nama
dan menamai sifat-sifat-Nya dengan beberapa nama. Apabila asma tersebut disandarkan kepada-
Nya, berarti asma itu hanya untuk-Nya, tiada sesuatu pun yang menyekutui-Nya pada sifat
tersebut. Dia juga memberi nama sebagian makhluk-Nya dengan beberapa nama yang hanya untuk
mereka, yang disandarkan kepada mereka sesuai dengan nama-nama tersebut apabila diputuskan
dari sandaran dan pengkhususan. Persamaan nama tidak menunjukkan persamaan yang diberi
nama. Bersatunya nama ketika kosong dari sandaran dan pengkhususan tidak menunjukkan
persamaan keduanya, juga tidak menunjukkan persamaan yang dinamai ketika sandaran dan
pengkhususan. Allah menamai diri-Nya al-Hayy (Yang Maha Hidup). Allah berfirman, “Allah tidak
ada Ilah (yang berhak diibadhi) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus-menerus mengurus
(makhluk-Nya)…” (Al-Baqarah: 255)

69. Dia pun memberi nama sebagian hamba-Nya hay(yang hidup) dalam firman-Nya, “Dia
mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup….”(Ar-
Ruum: 19)

70. Bukanlah al-hayy dalam ayat ini seperti al-Hayy pada ayat yang di atas, karena firman-Nya
“al-Hayy” adalah nama Allah yang khusus bagi-Nya, dan firman-Nya, “Dia mengeluarkan yang
hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup….” (Ar-Ruum: 19)

71. Nama bagi makhluk hidup yang khusus baginya. Keduanya sama apabila disebutkan secara
mutlak (dalam kalimat yang tidak terikat) dan kosong dari pengkhususan. Namun, penyebutan
secara mutlak tidak ada kenyataannya. Tetapi, akal bisa memahami adanya persamaan yang
disebutkan dalam dua hal yang disebutkan secara mutlak. Ketika disebutkan secara khusus, hal ini
dibatasi dengan perbedaan yang membedakan antara Khaaliq (pencipta) dari makhluk (yang
diciptakan) dan antara makhluk dari Khaaliq.

72. Semua asma dan sifat Allah harus diberlakukan seperti ini, di samping kesamaan dalam
penyebutan. Namun, karena yang satu dikhususkan dan disandarkan kepada Allah, itulah yang
menghalangi adanya kesamaan antara makhluk dan Khaaliq (yang menciptakan) sebagai
keistimewaan-Nya.

73. Sebagaimana Allah menamakan diri-Nya ‘Aliim, Haliim (Yang Maha Mengetahui lagi Maha
Penyantun), Dia juga memberikan kepada sebagian hamba-Nya dengan nama ‘aliim. Allah ta’alaa
berfirman, “…. Dan mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak
yang ‘aliim.” (Adz-Dzariyaat: 28)

74. Maksud dari ayat di atas adalah Nabi Ishaq ‘Alaihissalaam. Adapun anak Ibrahim yang lain
disebut “Haliim”, Allah ta’alaa berfirman, “Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang
anak yang haliim (amat sabar).” (Ash-Shaffaat: 101)

75. Maksud ayat ini adalah Ismail ‘Alaihissalaam. Al-‘Aliim (di sini) bukan seperti al-
‘Aliim (nama Allah) begitu juga dengan al-Haliim.
76. Dia juga menyifati diri-Nya dengan sifat mengajar dan mensifati hamba-Nya dengan sifat
yang sama dalam firman-Nya,
“(Rabb) Yang Maha Pemurah, Yang telah mengajarkan al-Qur’an Dia Menciptakan manusia,
mengajarnya pandai berbicara.” (Ar-Rahmaan: 1-4)

77. Firman-Nya juga, “…Kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah
kepadamu…” (Al-Maaidah: 4)

78. Allah ta’alaa juga berfirman,“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang
yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka
sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan
mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah…” (Ali ‘Imran: 164).

79. Dia juga mensifati diri-Nya denga membuka kedua tangan-Nya, seperti firman-
Nya, “Orang-orang Yahudi berkata, ‘Tangan Allah terbelenggu.’ Sebenarnya tangan merekalah
yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakana itu.
(Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia
kehendaki.” (Al-Maaidah: 64)

80. Dia juga mensifati sebagian hamba-Nya denga membuka kedua tangan dalam firman-
Nya,“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu
terlalu mengulurkannya..” (Al-Israa: 29)

81. Bukanlah tangan Allah seperti tangan makhluk. Dia membuka tangan-Nya juga bukan
seperti makhluk membuka tangan mereka. Apabila yang dimaksud dengan membuka adalah
memberi dan pemurah, maka tidaklah pemberian Allah seperti pemberian makhluk-Nya dan
tidaklah sifat pemurah-Nya seperti sifat pemurah mereka. Perbandingan seperti telah disebutkan.

82. Sudah menjadi suatu keharusan untuk menetapkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk
diri-Nya dan menolak penyerupaan-Nya dengan makhluk-Nya. Siapa yang berkata, ‘Allah tidak
memiliki ilmu, kekuatan, rahmat, dan perkataan. Dia tiada mencintai dan meridhai, tidak
memanggil dan menyeru, tidak pula bersemayam.’ Orang itu adalah orang yang meniadakan sifat
Allah. Dan mengingkari sifat Allah, karena dia menyerupakan Allah dengan sesuatu yang tiada dan
benda-benda mati.

83. Siapa yang berkata, ‘Allah memiliki ilmu seperti ilmu saya, atau kekuatan seperti kekuatan
saya, atau memiliki cinta seperti cinta saya, atau keridhaan seperti keridhaan saya, atau dua tangan
seperti dua tangan saya, atau bersemayam seperti bersemayam saya.’ Dia adalah orang yang
menyerupakan Allah dengan makhluk, menyamakan Allah dengan hewan. Akan tetapi kita harus
menetapkan sifat tanpa menyamakan dan mensucikan tanpa meniadakan maknanya.

84. Ibnul-Qayyim Rahimahullah menjelaskan, “Sesungguhnya nama dan sifat dari jenis ini
dapat dilihat dari tiga sudut pandangan;
1. Memandang sifat dan nama apa adanya, tanpa terikat dengan Rabb atau hamba.
2. Memandang dengan mengaitkannya kepada Rabb yang khusus bagi-Nya.
3. Memandang dengan mengaitkannya kepada hamba yang terikat dengannya.

85. Maka nama yang lazim bagi Dzat dan hakikat-Nya, nama itu ditetapkan untuk Rabb dan
untuk hamba, bagi Rabb dari nama itu yang pantas dengan kesempurnaan-Nya dan bagi hamba
dari nama itu yang pantas dengannya. Misalnya, nama as-Samii’, yang konsekuensinya adalah
dapat mendengar segala yang didengar. Seperti juga nama al-Bashiir, yang konsekuensinya adalah
melihat segala yang dapat dilihat. Begitu pula al-‘Aliim, al-Qadiir dan seluruh asma’.

86. Sesungguhnya syarat benarnya pemakaian nama tersebut adalah adanya makna dan hakikat
bagi yang diberi sifat. Selama nama in lazim (tetap), sesungguhnya syarat pemakaiannya adalah
adanya makna dan hakikatnya bagi yang disifatkan dengannya. Selama asma’ ini tetap bagi
dzatnya, maka menetapkannya bagi Rabb tanpa diragukan lagi, bahkan sifat itu tetap bagi-Nya dari
sisi yang tidak ada makhluk yang menyerupai-Nya pada sifat itu dan Dia tidak menyerupai mereka.
Siapa yang menafikannya dari-Nya dengan alasan nama itu juga dipakai oleh makhluk, berarti ia
telah berbuat ilhad pada asma’-Nya dan meningkari sifat kesempurnaan-Nya.

87. Siapa yang menetapkannya bagi-Nya atas sisi yang diserupai oleh makhluk-Nya padanya,
sungguh ia telah menyerupakan-Nya dengan makhluk-Nya. Maka siapa yang menyerupakan-Nya
dengan makhluk-Nya, niscaya ia telah kafir. Siapa yang menetapkannya bagi-Nya atas sisi yang
tidak ada yang menyerupai-Nya dari makhluk-Nya, sebagaimana yang pantas dengan kebesaran
dan keagungan-Nya, sungguh ia telah berlepas dari tasybih dan ta’thil. Inilah jalan Ahlus-Sunnah.

88. Apa pun yang melazimi sifat karena disandarkan kepada hamba, sifat itu harus dinafikan
dari Allah, seperti tidur, ngantuk, ingin makan, dan lainnya yang selalu menyertai kehidupan
hamba. Demikian juga apa yang menyertai kehendaknya, seperti gerakan jiwa dalam mencari yang
bermanfaat dan mengindari dari yang membawa kepada kemudharatan. Demikian pula yang
menyertai ‘uluww-nya, seperti berhajat (memerlukan) kepada yang lebih tinggi di atasnya,
keadaannya yang dipikul, yang memerlukan, serta diliputi dengannya. Semua ini harus ditolak dari
Allah al-Qudduus as-Salaam (Yang Maha Suci dan Maha Sejahtera). Apa pun yang selalu
menyertai sifat dari sisi khusus Allah dengan sifat tersebut, sesungguhnya hal itu tidak
ditetapkannya untuk makhluk dengan sisi seperti ilmu-Nya yang selalu melaziminya
(menyertainya) al-Qidaam (dahulu), al-wujub, dan meliputi dengan segala sesuatu. Qudrat dan
Iradat-Nya, dan semua sifat-Nya, sesungguhnya yang khusus bagi-Nya dari sifat tersebut, tidak
boleh diterapkan untuk makhluk.

89. Apabila kaidah ini sebagai sebuah kabar dan memahaminya sebagaimana mestinya, niscaya
telah selamat dari dua penyakit yan merupakan sumber bencana para ahli kalam, yaitu
penyakit ta’thil (peniadaan) dan penyakit tasybiih (penyerupaan). Apabila anda telah
menyempurnakan keududkan ini sebagaimana mestinya sebagai tashawwur (gambaran), berarti
menetapkan hakikat bagi Allah asma’ Yang Maha Indah dan sifat Yang Maha Tinggi. Maka telah
selamat dari ta’thil. Dan jika menolak darinya keistimewaan (yang hanya ada) pada makhluk dan
menyerupai mereka, maka telah selamat dari tasybiih.

90. Ibnul Qayyim Rahimahullah juga berkata, Pandangan (para ulama) berbeda pada masalah
asma’ yang dipakaikan kepada Allah dan makhluk seperti al-Hayy, as-Samii’, al-Bashiir, al-‘Aliim,
al-Qadiir, al-Malik, dan yang seumpamanya.

91. Pendapat yang pertama, segolongan dari ahli kalam berkata, ‘Ia adalah hakikat pada
hamba dan majaz pada Rabb.’ Ini adalah pendapat ghulaat al-Jahmiyyah, yang merupakan
perkataan yang paling keji dan paling rusak.

92. Yang kedua, lawannya, bahwasanya sifat itu hakikat pada Rabb dan majaz pada makhluk.
Ini adalah pendapat Abul ‘Abbas an-Naasyi.

93. Yang ketiga, semua adalah hakikat pada keduanya. Ini adalah pendapat Ahlus Sunnah, dan
inilah yang benar. Perbedaan hakikat keduanya tidak mengeluarkannya sebagai hakikat pada
keduanya. Bagi Rabb, yang pantas dengan kebesaran-Nya dari sifat tersebut dan bagi hamba, yang
pantas baginya dari sifat tersebut pula.

94. Sumber: DR. Sa’id Ali bin Wahf al-Qahthani. Syarah Asmaul Husna. Terj. Abu Fatimah
Muhammad Iqbal Ahmad Ghazali. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2005.

Pembahasan Kedua Belas: Beberapa Perkara Yang


Harus Diketahui
Oleh: DR. Sa’id Ali bin Wahf al-Qahthani / Publikasi: Rabu, 27 Januari 2016 15:25

Perkata Pertama:
Bahwasanya sesuatu yang masuk pada bab berita tentang Allah lebih luas daripada yang termasuk
dalam bab asma’ dan sifat-Nya, seperti sesuatu, yang ada, yang berdiri sendiri, Dia memberitakan
tentang diri-Nya dengan hal itu, dan itu semua tidak termasuk dalam asma’-Nya yang husna dan
sifat-Nya yang tinggi.
Perkara Kedua:
Sesungguhnya apabila memiliki makna kesempurnaan dan kekurangan, sifat ini tidak termasuk
dalam asma’-Nya secara mutlak, tetapi kesempurnaan dari sifat itu dipakaikan pada-Nya. Ini
seperti al-Muriid, al-Faa’il, dan as-Shaani’. Sesungguhnya lafazh-lafazh ini bukan termasuk
asma’-Nya. Oleh sebab itu, tidak benar orang yang menamakan-Nya ash-Shaani’secara mutlak,
tetapi Dialah yang berbuat apa yang dikehendaki-Nya karena al-Iradah, al-Fi’il, dan as-
Shaani’ itu bisa terbagi. Oleh karena itu, apabila dipakaikan atas diri-Nya sifat yang demikian,
niscaya Dia menisbatkan untuk Dzat-Nya dengan yang paling mulia, baik berupa perbuatan
maupun berita.
Perkara Ketiga:
Tidak harus menjadikan sebuah nama dari berita dengan fi’il (kata kerja) yang muqayyad(terikat
dengan kondisi tertentu) tentang-Nya, seperti kesalahan sebagian mutaakhiriin, mereka
menjadikan sebagian dari Asma’ul-Husna, seperti al-Mudhill (yang menyesatkan), al-
Faatin (yang membuat fitnah), al-Maakir (yang melakukan tipu daya). Maha Suci Allah dari
perkataan mereka. Sesungguhnya asma’ ini tidak bisa dipakaikan kepada-Nya, kecuali af’al yang
khusus dan tertentu. Tidak boleh nama-nama itu diberikan kepada Allah secara mutlak. Wallahu
a’lam.
Perkara Keempat:
Asma’-Nya yang husna adalah nama dan sifat. Bersifat dengan-nya (asma’) tidak
menafikan ‘alamiyyah (pemberian nama). Berbeda dengan sifat hamba, sifat mereka menafikan
pemberian nama kepada mereka karena sifat mereka beragam dan bermacam-macam (ada yang
positif dan ada yang negatif). Hal itu menafikan pemberian nama yang khusus, berbeda dengan
sifat Allah.
Perkara Kelima:
Sesungguhnya asma’-Nya yang husna memiliki dua sudut pandangan, dipandang dari sisi Dzat dan
dipandang dari sisi sifat. Sifat itu dipandang dari yang pertama merupakan kalimat sinonim,
sedangkan dari yang kedua merupakan diferensial.
Perkara Keenam:
Sesungguhnya perkara-perkara yang berkaitan dengan asma’ dan sifat Allah adalah tauqifiiyyah
(berdasarkan wahyu). Adapun yang dipakaikan atas-Nya berupa berita, tidak
mesti tauqif (berdasarkan wahyu), seperti al-Qadiim (yang dahulu), asy-Syay-u (sesuatu), al-
Maujuud (ada), dan al-Qaaim binafsih (yang berdiri sendiri). Ini adalah persoalan yang
membedakan pada masalah asma’-Nya, apakah harus tauqifiyyah (berdasarkan wahyu) atau
boleh dipakaikan sebagiannya selama tidak ada dalilnya?
Perkara Ketujuh:
Sesungguhnya nama apabila dipakaikan kepada-Nya, dari nama itu bisa diambil bentuk fi’il(kata
kerja) dan mashdar (morfologis). Maka dari itu, dikabarkan tentang-Nya dalam bentuk kata kerja
dan morfologis, seperti as-Samii’, al-Bashiir, dan al-Qadiir. Dari nama itu dipakaikan (dalam
bentuk mashdar): as-Sam’ (pendengaran), al-Bashar (penglihatan), dan al-
Qudrah (kekuasaan). Dari nama itu juga dipakaikan dalam bentuk kata kerja. Hal ini berlaku jika
kata kerjanya transitif. Jika kata kerjanya intransitif, maka tidak bisa dijadikan kabar dari nama itu
dengan kata kerja, seperti al-Hayy (Yang Maha Hidup), tetapi dipakaikan untuk nama dan
morfologis saja, bukan kata kerjanya. Tidak boleh dikatakan hayya (Dia hidup).
Perkara Kedelapan:
Semua perbuatan-Nya berasal dari asma’ dan sifat-Nya, dan seluruh nama makhluk berasal dari
perbuatan mereka. Maka ar-Rabb, semua perbuatan-Nya berasal dari kesempurnaan-Nya.
Adapun makhluk, kesempurnaannya berasal dari perbuatannya, maka diberikan nama kepadanya
setelah ia menyempurnakan perbuatannya. Ar-Rabb senantiasa sempurna, maka perbuatan-Nya
terjadi dari kesempurnaan-Nya karena Dia sempurna Dzat, sifat, dan perbuatan-Nya yang
bersumber dari kesempurnaan-Nya. Dia sempurna lalu berbuat, sedangkan makhluk berbuat lalu
menyempurnakan dengan kesempurnaan yang pantas dengannya.
Perkara Kesembilan:
Sesungguhnya sifat ada tiga bagian; sifat kesempurnaan, sifat kekurangan, dan sifat yang tidak
kekurangan juga tidak sempurna. Jika ada pembagian lain yang menuntut bagian yang keempat,
maka bagian itu adalah sifat kesempurnaan dan kekurangan dilihat dari dua sudut pandan yang
berbeda. Ar-Rabb Maha Suci dari tiga sifat tersebut dan Dia hanya bersifat dengan bagian yang
pertama. Semua sifat-Nya adalah sifat kesempurnaan yang mutlak. Dia disifati dengan semua sifat
yang paling sempurna dan milik-Nya kesempurnaan yang paling lengkap. Seperti inilah asma’-Nya
yang mengindikasikan kepada sifat-Nya, yang merupakan sebagus-bagus nama yang paling
sempurna. Tidak ada nama yang lebih bagus darinya, dan tidak ada nama lainya yang menempati
tempatnya, dan tidak pula menunaikan maknanya. Menjelaskan nama darinya (Asma’ul-Husna)
dengan yang lainnya bukanlah penjelasan dengan sinonim yang mutlak, tetapi sekedar
mendekatkan pengertian dan memberikan pemahaman.
Apabila Anda telah mengenal hal ini, maka milik-Nyalah semua sifat kesempurnaan, sebagus-bagus
nama, yang paling sempurna dan yang paling lengkap secara makna. Selain itu, sejauh-jauh, sesuci-
sucinya Dia dari adanya cela dan kekurangan. Milik-Nya sifat al-Idraakat al-‘Aliim al-Khaabir,
bukan al-‘aaqil al-faqih, as-Samii’ al-Bashir, bukan as-saami’ al-baashir dan an-naazhir.
Sesungguhnya milik-Nya sifat kebaikan, seperti al-Barru (Yang melimpahkan kebaikan), ar-
Rahiim (Yang Maha Penyayang), dan al-Waduud (Yang Maha Pengasih), bukan sifat asy-
syufuuq dan semisalnya. Seperti itu pula sifat al-‘Aliyy (Yang Maha Tinggi), al-‘Azhiim (Yang
Maha Agung) bukan ar-Rafii’ asy-Syariif. Demikian pula al-Kariim (Yang Maha Pemurah),
bukan as-Sakhiiy; al-Khaaliq (Yang Menciptakan), al-Baari’ (Yang mengadakan), al-
Mushawwir (Yang memberi bentuk dan rupa), bukan al-Faa’il as-Shaani’ al-musyakkil.
Dia al-Ghafuur (Yang memberi ampunan), al-‘Afuww (Yang memberi maaf), bukan ash-
Shafuuh as-Saatir. Demikian pula seluruh asma’-Nya berlaku atas diri-Nya dari asma’ itu yang
paling sempurna dan paling bagus dan tidak ada yang lain, yang bisa menempati tempat-Nya.
Semua asma’-Nya adalah yang terbaik, sebagaimana sifat-Nya adalah yang paling sempurna. Tidak
mungkin berpaling dari nama yang Dia berikan untuk diri-Nya kepada yang lain, sebagaimana
tidak melewati sifat yang disifati-Nya untuk diri-Nya dan disifati oleh Rasul-Nya, kepada sifat yang
diberikan oleh mubthiluun dan mu’aththiluun (yang meniadakan sifat).
Sumber: DR. Sa’id Ali bin Wahf al-Qahthani, Syarah Asma’ul Husna, Terj. Abu Fatimah
Muhammad Iqbal Ahmad Ghazali, Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2005.
Pembahasan Ketiga Belas & Keempat Belas
Oleh: DR. Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani / Publikasi: Rabu, 27 Januari 2016 15:27

Urutan Ihshaa’ (Menghafal, Memahami, dan Mengamalkan) Asma’ Allah yang Maha
Indah. Barang Siapa Mengamalkannya, Niscaya Masuk Surga
Ini adalah keterangan mengenai tingkatan-tingkatan ihshaa’ asma’-Nya. Barang siapa
mengamalkannya, niscaya masuk Surga. Ini adalah puncak keberuntungan, tempat keberuntungan,
dan keselamatan.
• Tingkatan pertama: menghafal lafazhnya dan bilangannya,
• Tingkatan kedua: memahami makna dan yang diindikasikannya.
• Tingkatan ketiga: berdoa dengannya, seperti firman-Nya, “Hanya milik Allah Asma’ul-
Husna, maka mohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asma’ul-Husna itu.” (Al-A’raaf:
180)
Dalam hal ini terdapat dua martabat. Pertama, memuji dan beribadah. Kedua, doa meminta dan
memohon. Dia tidak dipuji, kecuali dengan asma’-Nya yang husna dan sifat-Nya yang Maha Tinggi.
Demikian pula Dia tidak meminta, kecuali dengannya. Tidak boleh berdoa dengan kalimat, “Hai
yang ada (maujud); hai sesuatu, hai Dzat, ampuni dan kasihilah saya. Akan tetapi, Dia diminta
terhadap setiap yang diharapkan dengan menyebutkan nama yang sesuai dengan permintaan
sehingga orang berdoa sambil bertawassul kepada-Nya dengan nama itu. Siapa yang memikirkan
doa para Rasul, terlebih lagi penutup dan imam mereka (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam), ia akan mendapatkan doa-doa tersebut sesuai dengan penjelasan di atas. Ungkapan
ini lebih baik daripada ungkapan orang yang berkata, “Dia berakhlak dengan asma’ Allah.” Hal itu
bukan sebuah ungkapan yang benar, ungkapan seperti itu diambil dari perkataan filosof untuk
menyerupakan diri kepada Tuhan (Ilah) sebatas kemampuan. Yang lebih baik adalah ungkapan
Abul-Hakam bin Burhan, yaitu beribadah. Adapun ungkapan yang lebih baik lagi adalah yang
sesuai dengan al-Qur’an, yaitu doa yang mengandung ibadah dan permohonan.
Urutannya ada empat. Yang paling jauh dari kebenaran adalah ungkapan filosof yaitu menyerupai,
yang lebih baik lagi ungkapan berakhlak, dan yang lebih baik lagi adalah beribadah. Mengenai
pendapat yang terbaik dari semuanya, pendapat itu adalah doa dan ini adalah lafazh al-Qur’an.
Asmaul Husna Tidak Dibatasi dengan Bilangan
Asmaul Husna tidak terhitung dan tidak dibatasi dengan bilangan. Sesungguhnya Allah memiliki
asma’ dan sifat yang hanya Dia sendiri yang mengetahui dalam ilmu ghaib yang ada di sisi-Nya;
malaikat yang dekat dan nabi yang diutus tidak ada yang mengetahuinya, sebagaimana dalam
hadits yang shahih, “Aku memohon kepada-Mu dengan seluruh asma’-Mu, yang telah
Engkau namakan untuk diri-Mu, atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau Engkau
ajarkan kepada seseorang di antara makhluk-Mu, atau masih dalam rahasia ghaib
pada-Mu yang hanya Engkau sendiri yang mengetahuinya.”
Dia menjadikan asma’-Nya menjadi tiga bagian;
1. Nama yang dia berikan untuk diri-Nya dan Dia beritahukan kepada para malaikat-Nya atau yang
lainnya, namun nama-Nya tidak disebutkan dalam kitab-Nya.
2. Dia menurunkan nama itu dalam kitab-Nya dan memberitahukannya kepada hamba-hamba-
Nya.
3. Yang menjadi rahasia ghaib pada-Nya dan hanya Dia sendiri yang mengetahuinya, tidak ada
seorang pun di antara makhluk-Nya yang mengetahuinya. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Ista’tsarta bihi”, artinya hanya Engkau yang mengetahuinya.
Bukan yang dimaksud kesendirian-Nya dengan nama itu karena kesendirian ini tetap dalam asma’
yang diturunkan-Nya dalam kitab-Nya. Berdasarkan ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
“Maka dibuka kepdaku (untuk mengungkapkan) segala pujian kepada-Nya dengan
pujian yang tidak bisa saya ungkapkan dengan baik di sini (di dunia).”
Sebagian dari sabdanya, “Saya tidak bisa memperkirakan pujian kepada-Mu seperti
Kamu memuji terhadap diri-Mu.”
Adapun sabdanya, “Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama, barang siapa yang dapat
menghitungnya (Ahshaa haa), niscaya ia masuk ke dalam Surga.”
Hadits ini adalah satu kalimat yang utuh, dan sabdanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Barang siapa yang dapat menghitungnya, niscaya ia masuk ke dalam Surga.”
Ini adalah sifat, bukan kalimat yang menunjukkan masa yang akan datang. Maksudnya adalah Dia
memiliki asma’ yang terhitung, barang siapa yang dapat menghafalnya, niscaya dia akan masuk
Surga. Ini tidak menafikan jika Dia memiliki asma’ yang lainnya. Seperti jika dikatakan, “Si fulan
memiliki seratus orang budak yang dia persiapkan untuk berjihad.” Ini tidak menafikan jika orang
itu memiliki budak lainnya yang dia persiapkan untuk keperluan yang lain. Dalam hal ini tidak ada
perbedaan pendapat di antara para ulama.
Sumber: DR. Sa’id Ali bin Wahf al-Qahthani, Syarah Asma’ul Husna, Terj. Abu Fatimah
Muhammad Iqbal Ahmad Ghazali, Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2005.
Syarah Asmaul-Husna: Asy-Syaafi
Oleh: DR. Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani / Publikasi: Kamis, 4 Februari 2016 14:31

99. Asy-Syaafi (Yang Menyembuhkan)

Allah, Dia Yang Maha Menyembuhkan. Diriwayatkan dari Aisyah Radliyallahu ‘anhaabahwasanya
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta perlindungan untuk sebagian keluarganya sambil mengusap
dengan tangan kanannya dan berdoa,
“Ya Allah, Rabb manusia, hilangkanlah kesusahan dan sembuhkanlah. Engkau Yang Maha
Menyembuhkan, tiada kesembuhan, kecuali penyembuhan dari Engkau, yaitu kesembuhan
yang tidak meninggalkan penyakit yang lain.”
Allah, Dia Yang menyembuhkan dari segala macam penyakit dan keraguan. Kesembuhan ada dua macam;
Pertama, kesembuhan hati dan ruh. Allah ta’alaa berfirman,
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu dan penyembuh
bagi penyakit-penyakit yang berada dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang -orang
yang beriman.” (Yunus: 57)
Nasihat adalah apa-apa yang ada dalam al-Qur’an berupa ancaman dari perbuatan keji dan juga ancaman
dari perbuatan yang membawa kepada kemurkaan Allah, yang membawa kepada siksa-Nya. Nasihat adalah
perintah dan larangan dengan cara memberi motivasi. Di dalam al-Qur’an, terdapat kesembuhan penyakit
yang ada di dalam dada, seperti penyakikt syubhat, keraguan, syahwat, serta menghilangkan yang a da di
dalamnya seperti perbuatan keji dan kotoran yang menempel di hati. Menjadikan hamba memilki harapan
dan rasa takut. Apabila dalam hati ditemukan harapan untuk mendapatkan kebaikan dan takut dalam
melakukan kejahatan dan keduanya terus bertambah dan datang berulang-ulang kepadanya. Hal itu
mengharuskan didahulukannya kehendak Allah di atas kehendak hamba. Jadilah pekerjaan yang
menyebabkan ridha Allah lebih disukainya daripada keinginan dirinya. Seperti itu pula yang ada padanya
dari hujjah dan dalil-dalil yang disampaikan oleh Allah dan telah dijelaskan-Nya dengan sejelas-jelasnya,
yang dapat menghilangkan ketidakjelasan yang menodai kebenaran dan bisa membawa hati kepada
keyakinan yang tinggi. Jika hati sudah baik, niscaya semua anggota tubuh akan men gikutinya karena anggota
tubuh menjadi baik dengan baiknya hati dan menjadi rusak dengan rusaknya hati.
Al-Qur’an adalah petunjuk dan rahmat bagi orang yang beriman. Petunjuk dan rahmat ini hanya untuk orang
yang benar dan yakin, sebagaimana firman Allah ta’alaa,
“Dan Kami turunkan dari al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-
orang yang beriman dan al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zhalim
selain kerugian.” (Al-Israa’: 82)
Kedua, pengobatan untuk badan, sebagaimana diketahui bahwa al-Qur’an merupakan penawar ruh dan
hati, maka ia juga merupakan penawar bagi tubuh dari berbagai macam penyakit. Diriwayatkan dari Abu
Sa’id al-Khudri Radliyallahu ‘anhu bahwasanya segolongan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam datang ke sebuah perkampungn Arab Badui, namun mereka tidak memberikan jamuan kepada
mereka. Pada saat itu pimpinan mereka disengat binatang berbisa. Kemudian mereka datang kepada para
Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya, “Apakah ada di antara kalian yang
memiliki obat atau yang bisa mengobati penyakit?”
Mereka menjawab, “Kalian tidak memberikan jamuan kepada kami. Kami tidak akan melakukannya, kecuali
jika kalian memberikan kepada kami upah.”
Maka penduduk kampung itu menjanjikan kepada mereka untuk memberikan beberapa ekor kambing.
Seorang di antara sahabat nabi membaca al-Faatihah lalu ia mengumpulkan air liurnya dan meludah. Orang
itu sembuh dengan izin Allah. Mereka menerima kambing yang dijanjikan dan berkata, “Kami tidak akan
mengambilnya sebelum bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Maka mereka bertanya
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau pun tertawa lalu bersabda, “Dari mana kamu
tahu bahwa itu adalah ruqyah? Ambillah dan berilah aku satu bagian.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Benar, berobatlah wahai hamba Allah. Allah tidak meletakkan satu penyakit, kecuali
meletakkan baginya penawar atau obat. Melainkan satu penyakit.” Mereka bertanya, “Apakah
itu benar ya Rasulullah?” beliau bersabda, “Penuaan.”
Dari Ibnu Mas’ud Radliyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
“Allah tidak menurunkan satu penyakit kecuali menurunkan baginya obat, mengetahui orang
yang mengetahuinya dan tidak mengetahuinya orang yang tidak mengetahuinya.”
Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata, “Hadits-hadits ini mengandung ketetapan adanya sebab dan akibat
serta mematahkan pendapat orang yang mengingkarinya. Allah telah menjadikan obat untuk
menyembuhkannya, tetapi Dia meliputi ilmu tentang hal itu dari manusia dan tidak memberikan jalan
pengetahuan tentang hal itu kepada mereka karena semua makhluk tidak memiliki ilmu, kecuali yang
diajarkan oleh Allah.
Allah adalah Asy-Syaafi yang menyembuhkan siapa yang dikehendaki-Nya dan meliputi pengetahuan
tentang obat, suatu penyakit yang tidak Dia inginkan kesembuhan.
Semoga rahmat, kesejahteraan, dan keberkahan senantiasa tercurah kepada hamba dan Rasul -Nya serta
pilihan-Nya dari semua manusia. Orang yang diamanhi atas wahyu-Nya, Nabi dan Imam kita, Muhammad
bin Abdillah dan juga atas keluarga dan shahabatnya serta setiap orang yang mengikuti jejak langkahnya
sampai hari Akhir.
Sumber: DR. Sa’id Ali bin Wahf al-Qahthani. Syarah Asma’ul Husna”. Terj. Abu Fatimah Muhammad
Iqbal Ahmad Ghazali. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2005.
Syarah Asmaul-Husna: An-Nashiir
Oleh: DR. Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani / Publikasi: Kamis, 4 Februari 2016 14:25

98. An-Nashiir (Penolong)

An-Nashiir, Dia yang diandalkan dengan tidak membiarkan wali-Nya dan tidak menjadikannya terhina.
Allah Maha Penolong dan pertolongan-Nya tidak seperti pertolongan makhluk.

Allah ta’alaa berfirman,

“… Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.” (Asy-Syuura: 11)

Dia telah menamakan diri-Nya dengan nama an-Nashiir,

“Dan cukupah Rabbmu menjadi Pemberi petunjuk dan Penolong.” (Al-Furqaan: 31)

“Dan Allah lebih mengetahui (daripada kamu) tentang musuh-musuhmy. Dan cukuplah Allah menjadi
pelindung (bagimu). Dan cukuplah Allah menjadi Penolong (bagimu).” (An-Nisaa: 45)

“… Dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dia -lah sebaik-baik Pelindung
dan sebaik-baik Penolong.” (Al-Hajj: 78)

“… Maka ketahuilah bahwasanya Allah Pelindungmu. Dia adalah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik
Penolong.” (Al-Anfaal: 40)
Allah adalah Penolong dan Yang membantu hamba-Nya yang beriman, sebagaimana firman-Nya,

“Jika Allah menolong kamu, maka tidak ada orang yang dapat mengalahkan kamu; dan jika Allah
membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu
(selain) dari Allah sesudah itu. Karena itu, hendaknya kepada Allah saja orang -orang mukmin
bertawakkal.” (Ali ‘Imran: 160)

“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan
meneguhkan kedudukanmu.” (Muhammad: 7)

“Sesungguhnya Kami menolong Rasul-Rasul Kami dan orang-orang yang beriman pada kehidupan dunia
dan pada hari berdirinya saksi-saksi (Hari Kiamat).” (Al-Mu’min: 51)
“Dan di hari (kemenangan bangsa Romawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman karena
pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Dia-lah Yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang.” (Ar-Ruum: 4-5)

“… Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong agama-Nya. Sesungguhnya Allah benar-
benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (Al-Hajj: 40)

“Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman.” (Ar-Ruum: 47)
“Barang siapa yang menyangka bahwa Allah sekali-kali tiada menolongnya (Muhammad) di dunia dan
akhirat, maka hendaklah dia merentangkan tali ke langit, kemudian hendaklah dia melaluinya, kemudian
hendaklah dia pikirkan apakah tipu dayanya itu dapat melenyapkan apa yang menyakitkan hatinya .” (Al-
Hajj: 15)

Pertolongan Allah kepada hamba-Nya sangat jelas dalam ayat-ayat ini dan ayat yang lainnya. Dia menolong
orang yang menolong (agama)-Nya, membantu dan meluruskannya. Adapun yang dimaksud pertolongan
hamba terhadap Allah, yaitu menolong hamba-hamba-Nya yang beriman dengan melaksanakan hak-hak
Allah, memelihara janjinya dan memegang hukum-hukum-Nya, serta menjauhi yang diharamkan Allah
kepadanya. Inilah yang dimaksud pertolongan hamba kepada Rabb-nya, seperti firman Allah ta’alaa,
“… Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu…” (Muhammad:7)

“… Jadilah kamu penolong-penolong (agama) Allah…” (Ash-Shaff: 14)


Allah menjanjikan kepada orang yang menolong agama-Nya dengan memberikan pertolongan dan kekuatan.
Siapa yang menolong agama Allah dengan menjalankan agama-Nya, mengajak kepada-Nya, berjihad
melawan musuh-musuh-Nya, dengan niat ikhlas kepada Allah, niscaya Allah menolong, membantu, dan
memberinya kekuatan. Allah berjanji kepadanya, Dia Yang Maha pemurah dan Dia paling benar perkataan
dan paling bagus ucapan-Nya. Dia telah berjanji bahwa yang menolongnya dengan perkataan dan perbuatan,
niscaya Pelindungnya akan menolongnya dan memudahkan baginya jalan-jalan kemenangan berupa
ketetapan dan yang lainnya. Allah menjelaskan tanda orang yang menolong-Nya, maka siapa yang mengaku
menolong Allah dan tidak bersifat dengan sifat ini, dia adalah pembohong.

Sumber: DR. Sa’id Ali bin Wahf al-Qahthani. Syarah Asma’ul Husna”. Terj. Abu Fatimah Muhammad Iqbal
Ahmad Ghazali. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2005.
Syarah Asmaul-Husna: Al-Maula
Oleh: DR. Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani / Publikasi: Kamis, 4 Februari 2016 14:22

97. Al-Maula (Tempat berlindung segala makhluk)

Nama Al-Maula diberikan kepada banyak orang, Dia adalah


Rabb, malik (pemilik), sayyid(tuan), yang memberi nikmat, yang memerdekakan budak, yang
menolong, yang dicintai, yang mengikuti, yang melindungi (al-jaar), anak paman (sepupu), teman
setua, menantu, hamba, yang diberi nikmat, dan kebanyakannya disebutkan dalam hadits, maka
maknanya sesuai dengan yang dimaksud dalam hadits tersebut. Setiap orang yang mengurus suatu
perkara atau melaksanakannya, dia adalah maula-nya dan walinya.
Allah, Dia adalah al-Maula,
“… Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha
Mendengar, lagi Maha Melihat.” (Asy-Syuura: 11)
Dia adalah al-Maula, ar-Rabb, al-Malik (Raja), dan as-Sayyid (tuan). Dia-lah yang diharapkan
bantuan dan pertolongan karena Dia-lah pemilik segala sesuatu. Dia yang memberikan nama
kepada diri-Nya dengan nama ini, Allah ta’alaa berfirman,
“… Maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan berpeganglah kamu pada tali
Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dia-lah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik
Penolong.” (Al-Hajj: 78)
“Dan jika mereka berpaling, maka ketahuilah bahwasanya Allah Pelindungmu. Dia
adalah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.” (Al-Anfaal: 40)
“Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah adalah pelindung orang-orang yang
beriman dank arena sesungguhnya orang-orang kafir itu tiada memiliki pelindung.”
(Muhammad: 11)
Allah adalah Pelindung orang-orang yang beriman. Dia-lah as-Sayyid dan Penolong dari musuh-
musuh mereka. Dia adalah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.
Allah, Dia-lah yang melindungi dan memudahkan jalan bagi hamba-Nya yang beriman,
memudahkan mereka mendapatkan segala manfaat agama dan dunia. (Dia sebaik-baik Penolong)
yang menolong dan menolak dari mereka tipu daya orang-orang yang fasik dan cengkraman orang-
orang jahat. Siapa yang menjadikan Allah sebagai Penolong maka tidak ada yang ditakutkannya.
Siapa yang melakukan hal yang sebaliknya, niscaya tiada kemuliaan baginya dan tiada
perlindungan baginya. Allah adalah Pelindung orang-orang beriman, yang mengatur mereka
dengan sebaik-baik pengaturan. Maka sebaik-baik perlindungan adalah orang yang meminta
perlindungan kepada-Nya karena ia akan mendapatkan apa yang dicarinya. Dia sebaik-baik
Penolong bagi orang yang minta pertolongan. Dia pun akan menjaganya dari segala hal yang
dibenci. Allah ta’alaa berfirman,
“Tetapi (ikutilah Allah), Allah-lah Pelindungmu, dan Dia-lah sebaik-baik Penolong.”
(Ali ‘Imran: 150)
Sebagian dari doa orang-orang beriman kepada Rabb mereka yang menceritakan Allah dalam al-
Qur’an,
“… Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum kafir.” (Al-Baqarah:
286)
Engkau adalah Penolong dan Pelindung kami, kepada-Mu kami bertawakkal, Engkau yang diminta
pertolongan, dan kepada-Mu kami bergantung. Tiada daya dan upaya bagi kami, kecuali dengan-
Mu.
Allah ta’alaa berfirman,
“… Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua
telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu
menyusahkan Nabi, maka seungguhnya Allah adalah Pelindungnya, dan (begitu pula)
Jibril dan orang-orang Mukmin yang baik.” (At-Tahrim: 4)
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kamu sekalian membebaskan diri dari
sumpahmu; dan Allah adalah Pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana.” (At-Tahrim: 2)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi petunjuk kepada para sahabat ketika Abu Sufyan
(sebelum masuk islam) berkata kepada mereka, “Kami memiliki tuhan ‘uzza dan tidak ada ‘uzz bagi
kalian.” Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Katakanlah Allah Pelindung kami dan tidak ada pelindung bagi kalian.”
Sumber: DR. Sa’id Ali bin Wahf al-Qahthani. Syarah Asma’ul Husna”. Terj. Abu Fatimah
Muhammad Iqbal Ahmad Ghazali. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2005.
Syarah Asmaul-Husna: Al-Waliy
Oleh: DR. Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani / Publikasi: Kamis, 4 Februari 2016 14:11

96. Al-Waliy (Yang Melindungi)

Nama al-Waliy diberikan kepada setiap orang yang memegang perkara atau melaksanakannya,
penolong, yang mencintai, kawan, teman setia, mertua, tetangga, pengikut, yang memerdekakan
dan yang mentaati. Dikatakan bahwa orang yang beriman adalah waliyyullah(maksudnya adalah
dekat dengan Allah); hujan disertai/diiringi oleh hujan berikutnya. Al-Waliy adalah lawan dari al-
‘Aduww (musuh), penolong dan yang mengurus seluruh makhluk. Pengasuh anak yatim juga
disebut dengan wali, demikian juga seorang penguasa.

Ar-Raghib al-Ashfahani berkata, “Al-Wala’ wat- tawaali dipakaikan pada yang dekat dari sisi
tempat, keturunan, agama, persahabaan, pertolongan, dan dari sisi keyakinan. Al-wilayahberarti
pertolongan, juga berarti memegang perkara. Al-waliy dan al-maula keduanya dipakaikan pada
hal yang demikian itu. Dikatakan juga bahwa Allah waliyyul mukminin (Allah pelindung orang-
orang yang beriman). Wilayah Allah bukan seperti yang lain-Nya,

“… Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syuura: 11)

Dia al-Waliy, yang mengurus semua urusan alam dan makhluk, Dia-ah Raja pengatur. Dia al-
Waliy yang memberikan kepada para hamba-Nya segala yang bermanfaat bagi agama, dunia, dan
akhirat. Dia telah memberikan nama ini bagi diri-Nya, nama ini bagian dari Asma’ul-Husna.

Allah ta’alaa berfirman,

“Atau patutkah mereka mengambil pelindung-pelindung selain Allah? Maka Alah,


Dia-lah Pelindung (yang sebenarnya) dan Dia menghidupkan orang-orang yang mati,
dan Dia adalah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Asy-Syuura: 9)

“Dan Dia-lah Yang menurunkan hujan sesudah mereka berputus asa dan
menyebarkan rahmat-Nya. Dan Dia-lah Yang Maha Pelindung lagi Maha Terpuji.”
(Asy-Syuura: 28)

Allah, Dia-lah al-Waliy yang diibadahi dan ditaati oleh para hamba-Nya, dengan mendekatkan
diri kepada-Nya dalam berbagai macam ibadah. Dia yang mengurus semua hamba-Nya dengan
mengatur mereka dan melaksanakan ketentuan (qadar) pada mereka dan menguasai hamba-
hamba-Nya dengan berbagai macam aturan.

Dia mengurus hamba-hamba-Nya yang beriman secara khusus dengan mengeluarkan mereka dari
kegelapan kepada cahaya dan mengurus pendidikan mereka dengan kelembutan. Membantu dan
menolong semua urusan mereka, Dia memantapkan mereka dengan taufik-Nya dan meluruskan
mereka.

Allah ta’aaa berfirman,

“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari


kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-
pelindungnya adalah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada
kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya.” (Al-Baqarah: 257)

“Dan sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu sebagian mereka menjadi penolong
bagi sebagian yang lain, dan Allah adalah pelindung orang-orang yang bertakwa.” (Al-
Jaatsiyah: 19)

Allah adalah pelindung dan penolong orang-orang yang beriman. Dia melindungi mereka dengan
pertolongan dan taufik-Nya. Dia mengeluarkan mereka dari gelapnya kekufuran kepada cahaya
iman. Sesungguhnya Dia menjadikan perumpamaan kekufuran itu sebagai kegelapan karena
kegelapan adalah tabir/hijab bagi pandangan mata untuk mendapatkan dan menetapkan sesuatu.
Demikian juga kekufuran merupakan tabir hati untuk mendapatkan kebenara/hakikat iman dan
kekufuran menjadi tabir bagi ilmu, kebenaran dan sebab-sebabnya. Allah mengabarkan kepada
hamba-Nya bahwa Dia-lah pelindung orang-orang yang beriman dan memperlihatkan kepada
mereka hakikat iman, jalan-jalannya, syari’at-syari’atnya, hujjah-hujjahnya, dan menunjukkan
kepada mereka dalil-dalil/bukti untuk menghilangkan keraguan dan menyelamatkan mereka dari
ajakan-ajakan kekufuran dan kegelapan tabir pandangan hati.

Bahwasanya Allah telah mengabarkan kepada orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-
Nya, membuktikan keimanan mereka dengan melaksanakan segala tuntutan iman, dan
meninggalkan segala yang membatalkannya, maka Dia-lah pelindung mereka. Dia melindungi
mereka dengan perlindungan khusus, Dia mengurus pendidikan mereka, dan mengeluarkan
mereka dari gelapnya kebodohan, kekufuran, kemaksiatan, kelalaian, dan berpaling kepada cahaya
ilmu, yakin, iman, dan taat. Juga pengabdian yang sempurna kepada Rabb mereka. Dia menerangi
hati mereka dengan memberikan padanya cahaya wahyu dan iman, memberikan kemudahan
kepada mereka dan menjauhkan mereka dari kesusahan, mendatangkan manfaat bagi mereka dan
menjauhkan kemudharatan. Dia-lah pula yang melindungi orang-orang yang shalih.

Allah ta’alaa berfirman,

“Sesungguhnya pelindungku adalah Allah yang telah menurunkan al-Kitab (al-


Qur’an) dan Dia melindungi orang-orang yang shalih.” (Al-A’raaf: 196)

Orang-orang yang baik niat dan perkataannya, tatkala menghadap kepada Rabb dengan iman dan
takwa, dan tidak berpaling kepada yang lain yang tidak memberi manfaat dan mudharat, niscaya
Allah akan melindungi mereka dan bersifat lembut kepada mereka. Dia akan menolong mereka
untuk mendapatkan segala kebaikan dan mashlahat bagi agama dan dunia mereka. Dia
membebaskan mereka dari segala yang dibenci dengan keimanan mereka.

Sebagaimana firman Allah ta’alaa,

“Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang telah beriman…” (Al-Hajj: 38)

Adapun orang-orang kafir, tatkala mereka berpaling kepada selain Allah, Dia memalingkan kepada
apa yang mereka anggap sebagai pelindung mereka. Dia menghinakan dan menyerahkan mereka
kepada perlindungan orang yang tidak dapat memberi manfaat dan mudharat, mereka (ilah yang
mereka sembah) menyesatkan, mencelakakan, dan menghalangi mereka untuk mendapatkan
petunjuk ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih, serta menghalangi mereka untuk
mendapatkan keberuntungan yang abadi. Oleh sebab itu, Neraka menjadi tempat mereka yang
abadi.
Allah mencintai para wali-Nya, menolong, dan meluruskan jalan mereka. Wali Allah, dia mengenal
Allah, senantiasa berbuat taat kepada-Nya, ikhlas dalam beribadah kepada-Nya, dan menjauhkan
diri dari perbuatan maksiat. Siapa yang berani memusuhi wali Allah yang seperti itu, Allah
menyatakan perang dengannya.

Pada sebuah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meriwayatkan dari Rabb-nya,

“Sesungguhnya Allah berfirman, ‘Siapa (yang berani) memusuhi wali-Ku, maka


sungguh ia menyatakan perang terhadap-Ku. Tiada satu ibadah yang seorang
mendekatkan diri kepada-Ku yang lebih aku sukai selain kewajiban yang aku
wajibkan kepada mereka. Seorang hamba senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku
engan amalan-amalan Sunnah sehingga Aku mencintainya. Maka apabila Aku
mencintainya Aku akan menjadi pendengarannya yang dengannya ia dapat
mendengar, penglihatannya yang dengannya ia melihat, tangannya yang dengannya
dia bergerak, dan kakinya yang dengannya dia berjalan. Jika dia meminta kepada-Ku,
niscaya Kuberi dan jika ia meminta perlindungan kepada-Ku, niscaya Kuberi
perlindungan. Aku tidak bimbang terhadap sesuatu sebagaimana Aku bimbang
terhadap jiwa seorang Mukmin, ia tidak suka mati, sedangkan Aku tak suka
menyakitinya.”

Maknanya adalah apabila ia seorang Wali Allah, niscaya Dia akan memelihara dan meluruskan
jalannya, serta memberi taufik kepadanya sehingga ia tidak mendengar, kecuali kepada sesuatu
yang membawa keridhaan Rabb-nya. Dia tidak melihat, kecuali kepada yang disukai Rabb-nya,
tidak menggerakkan tangannya kecuali terhadap yang diridhai Allah, kakinya tidak melangkah,
kecuali untuk berbuat taat kepada Allah. Dia mendapatkan taufik, petunjuk, ilham dari Pelindung,
dan Dia-lah Allah. Karena itulah, para ulama, seperti Ibnu Taimiyyah dan yang lainnya,
menafsirkan hadits ini seperti di atas tadi karena ada dalam sebuah hadits riwayat yang lain,
“Dengan-ku dia mendengar, dengan-Ku ia melihat, dengan-Ku ia menggerakkan tangan dan
dengan-Ku dia berjalan.”

Ini menunjukkan adanya pertolongan Allah terhadap hamba-Nya, bantuan-Nya, dan perlindungan-
Nya. Maka Allah memberi taufik terhadap amal (ibadah) yang disertai anggota tubuh dan Dia
memeliharanya dari perbuatan yang dimurkai Allah.

Sumber: DR. Sa’id Ali bin Wahf al-Qahthani. Syarah Asma’ul Husna”. Terj. Abu Fatimah
Muhammad Iqbal Ahmad Ghazali. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2005.
Syarah Asmaul-Husna: Al-Mannaan
Oleh: DR. Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani / Publikasi: Kamis, 4 Februari 2016 14:06

95. Al-Mannaan (Yang Maha Pemberi, Maha Pemurah).

Al-Mannaan sebagian dari asma’-Nya yang indah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa


sallamtelah menamakan-Nya dengan nama ini. Dari Anas bin Malik Radliyallahu ‘anhu, ia
berkat, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar seorang laki-laki berkata,

“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu, bahwasanya hanya bagi-Mu lah
segala pujian, tiada Ilah (yang berhak diibadahi) selain Engkau, Maha Esa tiada
sekutu bagi-Mu, Yang Maha Pemberi (al-Mannaan), pencipta langit dan bumi, Yang
memiliki kebesaran dan keagungan, wahai, Yang Hidup, Wahai Yang mengurus
perkara makhluk dengan sendiri. Sesungguhnya aku memohon kepada-Mu Surga dan
aku berlindung kepada-Mu dari siksa Neraka.”

Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sungguh dia telah memohon dengan nama-Nya Yang Maha Agung, yang apabila
diminta dengan-Nya, Dia akan memberi apabila dimohon dengannya, Dia akan
mengabulkan.”

Di dalam kitab an-Nihayah fii Ghariibil Hadiits, Ibnul Atsir berkata, “Al-Mannaan, Dia yang
memberi nikmat. Diambil dari kata al-mann, pemberian, bukan berasal dari lafazh (al-minnah).
Banyak lafazh al-mann dipakaikan dalam perkara mereka (orang Arab) dengan arti (ihsan)
berbuat baik kepada orang yang tidak mengharap balasan dan tidak meminta balasan atasnya.
Lafazh al-Mannaan berasal dari kalimat yang memberikan makna yang sangat/lebih seperti
lafazh al-Wahhaab (Yang Maha Pemberi). Dari Anas Radliyallahu ‘anhu juga hadits yang
diriwayatkan oleh al-Bukhari dan yang lainnya, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,

“Sesungguhnya tidak ada seorang pun yang lebih memberi nikmat terhadapku pada
dirinya dan hartanya selain dari Abu Bakar bin Abi Quhafah Radliyallahu ‘anhu. Jika
aku menjadikan seseorang khaliil (orang yang dikasihi) dari kalangan manusia, aku
akan menjadikan Abu Bakar sebagai khaliil, tetapi persaudaraan dalam Islam lebih
utama.”

Al-Mannaan, Dia-lah yang besar pemberian-Nya, sesungguhnya Dia memberikan kehidupan,


akal, dan ucapan. Dia membuat rupa dan membaguskannya. Dia memberi nikmat lalu
memperbanyak. Dia memperbanyak pemberian dan bantuan.

Allah ta’alaa berfirman,

“… Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah kamu dapat


memperkirakannya. Sesungguhny manusia itu, sangat zhalim dan sangat
mengingkari (nikmat Allah).” (Ibrahim: 34)
Sebesar-besar nikmat, bahkan merupakan sumber segala nikmat yang diberikan Allah kepada
hamba-Nya adalah diutus-Nya para Rasul, yang melalui mereka Allah menyelamatkan dari
kesesatan dan memelihara mereka dari kebinasaan.

Allah ta’alaa berfirman,

“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika
Allah mengutus di antara meeka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang
membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan
mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum
(kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Ali-
‘Imran: 164)

Allah, Dia-lah yang memberikan nikmat (karunia) kepada hamba-Nya dengan menciptakan,
memberi rizki, memberi kesehatan badan, dan keamanan di dalam negeri, Dia melimpahkan
kepada mereka nikmat yang tampak dan yang tersembunyi. Sebagian dari pemberian nikmat yang
paling besar, yang paling sempurna, yang paling bermanfaat, bahkan merupakan asal dari segala
nikmat, adalah petunjuk islam dan anugerah iman. Ini yang paling utama dari segal hal.

Allah, Dia-lah al-Mannaan yang tiada bandingnya. Dia-lah Yang Maha Mendengar, Maha
Melihat, dan sangat besar pemberian-Nya. Dia memberikan hidup, akal, dan kemampuan
berbicara. Dia memberi rupa dan membaguskan. Dia memberi nikmat yang besar, dan banyak
pemberian-Nya. Dia menyelamatkan hamba-Nya yang beriman, memberi karunia kepada mereka
dengan mengutus para Rasu dan menurunkan Kitab-Kitab, serta mengeluarkan mereka dari
kegelapan kepada cahaya dengan nikmat dan karunia-Nya. Dia memberikan karunia kepada semua
hamba-Nya dengan menciptakan rizki, kesehatan, dan rasa aman bagi mereka yang beriman. Dia
melimpahkan nikmat kepada hamba-Nya, padahal mereka berbuat durhaka dan dosa.

Sumber: DR. Sa’id Ali bin Wahf al-Qahthani. Syarah Asma’ul Husna”. Terj. Abu Fatimah
Muhammad Iqbal Ahmad Ghazali. Jakarta: Pustaka Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2005.
Syarah Asmaul-Husna: Al-Mubiin
Oleh: DR. Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani / Publikasi: Kamis, 4 Februari 2016 14:01

94. Al-Mubiin (Yang menjelaskan segala sesuatu menurut hakikat yang sebenarnya)

Al-Mubiin memiliki arti menampakkan dan menjelaskan, baik perkataan maupun perbuatan. Al-
Bayyinah adalah petunjuk yang jelas, baik secara akal maupun perasaan. Adapun al-bayaan,
yaitu pengungkapan sesuatu. Kalaam dikatakan bayaan karena ia membuka tentang tujuan dan
menampakkannya, inilah penjelasan bagi manusia.

Allah, Dia-lah Yang menjelaskan bagi semua hamba-Nya jalan petunjuk dan menerangkan bagi
mereka perbuatan yang mendapatkan pahala bagi yang melakukannya dan perbuatan yang
mengakibatkan siksa bagi yang melaksanakannya. Dia menjelaskan kepada mereka apa yang
mereka lakukan dan apa yang mereka tinggalkan.

Allah menamakan diri-Nya dengan al-Mubiin,

“Di hari itu, Allah akan memberi mereka balasan yang setimpal menurut semestinya,
dan tahulah mereka bahwa Allah lah yang benar, lagi yang menjelaskan (segala
sesuatu menurut hakikat yang sebenarnya).”

Dia telah menjelaskan kepada hamba-hamba-Nya semua jalan petunjuk, memperingatkan,


menjelaskan kepada mereka jalan-jalan kesesatan, dan mengutus para Rasul dan menurunkan
Kitab-Kitab sebagai penjelasan bagi mereka.

Allah ta’alaa berfirman,

“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan


berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk setelah Kami
menerangkannya kepada manusia dalam al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan
dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati.” (Al-Baqarah: 159)

Ayat ini merupakan ancaman yang keras bagi orang yang menyembunyikan risalah para Rasul,
berupa petunjuk yang jelas terhadap segala tujuan yang benar dan petunjuk yang bermanfaat bagi
setiap jiwa setelah adanya penjelesan Allah dalam Kitab-Kitab yang diturunkan-Nya kepada para
Rasul.

Firman Allah ta’alaa,

“Dan orang-orang yang tidak mengetahui berkata, ‘Mengapa Allah tidak (langsung)
berbicara dengan kami atau datang tanda-tanda kekuasaan-Nya kepda kami.’
Demikian pula orang-orang yang sebelum merek telah mengatakan seperti ucapan
mereka itu; hati mereka serupa. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda
kekuasaan Kami kepada kaum yang yakin.” (Al-Baqarah: 118)

“Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu


memikirkannya.” (Al-Baqarah: 266)
“Allah hendak menerangkan (hukum syari’at-Nya) kepadakmu dan menunjukimu
kepada jalan-jalan orang yang sebelum kamu (para Nabi dan shalihin) dan (hendak)
menerima taubatmu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (An-Nisaa: 26)

Allah ta’alaa berfirman,

“Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan Kitab yang
menerangkan. Dengan Kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti
keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan Kitab itu pula) Allah
mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang
benderang dengan seizing-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (Al-
Maaidah: 15-16)

“Perhatikan bagaimana Kami menjelaskan kepada mereka (Ahli Kitab) tanda-tanda


kekuasaan (Kami), kemudian perhatikanlah bagaimana mereka berpaling (dari
memperhatikan ayat-ayat Kami itu).” (Al-Maaidah: 75)

“Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu. Dan Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana.” (An-Nuur: 18)

Allah menjelaskan hukum-hukum syar’i dan menerangkannya dan menjelaskan hukum-


hukum Qadari (takdir) Dia Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk hamba-Nya, Maha
Bijaksana dalam syara’ dan ketentuan-Nya. Dia memiliki hikmah dan hujjah yang tidak bisa
dibantah.

Allah ta’alaa berfirman,

“… Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat


petunjuk.” (Ali-‘Imran: 103)

“Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum sesudah Allah memberi
petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus
mereka jauhi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (At-Taubah: 115)

Allah mengabarkan tentang diri-Nya yang mulia dan hukum-Nya yang adil bahwa Dia tidak akan
menyesatkan suatu kaum, kecuali setelah menyampaikan risalah kepada mereka sehingga hujjah
telah disampaikan kepada mereka.

Sumber: DR. Sa’id Ali bin Wahf al-Qahthani. Syarah Asma’ul Husna”. Terj. Abu Fatimah
Muhammad Iqbal Ahmad Ghazali. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2005.
Syarah Asmaul-Husna: Al-Muqaddim & Al-
Muakhkhir
Oleh: DR. Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani / Publikasi: Kamis, 4 Februari 2016 13:57

92. Al-Muqaddim (Yang Mendahulukan)


93. Al-Muakhkhir (Yang mengakhirkan)

Sebagiamana yang dicontohkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam antara tasyahhud dan salam
adalah,

“Ya Allah, ampunilah aku, (dosa) yang aku dahulukan dan dosa yang aku akhirkan.
Dosa yang aku sembunyikan dan dosa yang aku nampakkan, dan dosa yang aku
melewati batas. Engkau lebih mengetahui dengan hal itu dariku. Engkau Yang
mendahulukan dan Engkau Yang Mengakhirkan, tidak ada Ilah selain Engkau.”

Al-Muqaddim dan al-Muakhkhir adalah dua nama seperti yang terdahulu, termasuk asma’
yang berpasangan lagi berlawanan. Yang tidak bisa disebutkan salah satunya, kecuali kesamaan
dengan yang satunya. Sesungguhnya kesempurnaan ada dalam penggabungan kedua nama
tersebut. Dia yang mendahulukan dan mengakhirkan yang dikehendaki-Nya dengan hikmah-Nya.

Mendahulukan ini bersifat hukum alam (kauniy), seperti mendahulukan dalam menciptakan
sebagian manusia terhadap yang lain dan mengakhirkan yang lain terhadap yang lain. Seperti juga
mendahulukan sebab terhadap akibat, dan mendahulukan syarat terhadap yang disyaratkan.
Berbagai macam mendahulukan dan mengakhirkan di dalam makhluk dan takdir adalah lautan
luas yang tidak bisa diarungi.

Dalam pada itu, ada yang bersifat syar’i, seperti Dia memberikan kelebihan kepada pada Nabi
dibandingkan manusia lainnya, memberikan kelebihan kepada sebagian yang lain terhadap yang
lainnya, dan melebihkan sebagian hamba-Nya terhadap yang lain. Dia mendahulukan mereka
dalam ilmu, iman, akhlak, dan semua sifat. Dia mengakhirkan orang yang dikehendaki-Nya dari
mereka, semua itu menurut hikmah-Nya.

Dua sifat ini dan yang menyerupainya termasuk sifat dzatiyyah, karena keduanya ada pada Allah.
Allah bersifat dengan keduanya dan termasuk sifat perbuatan karena mendahulukan dan
mengakhirkan berhubungan dengan makhluk, baik dzat, perbuatan, makna, maupun sifat. Sifat ini
berasal dari kehendak Allah dan kemampuan-Nya. Maka inilah pembagian yang besar bagi sifat
Allah. Sesungguhnya sifat dzat berhubungan dengan dzat dan sifat perbuatan-Nya merupakan sifat
dzat dan berhubungan dengan yang berasal darinya, baik berupa perkataan maupun perbuatan.

Allah ta’alaa berfirman,

“Jika Allah menimpakan seuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang
menghilangkannya selain Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan
kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu.” (Al-An’aam: 17)

“Katakanlah, ‘Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehendak


Allah jika Dia mengendaki kemudharatan bagimu atau jika ia menghendaki manfaat
bagimu. Sebenarnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Fath: 11)
Sifat mudharat (kerusakan) dan manfaat, seperti yang terdahulu, merupakan sifat yang
berpasangan berlawanan. Allah memberikan manfaat kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari
hamba-Nya dengan segala manfaat agama dan dunia. memberikan mudharat bagi orang yang
melakukan sebab-sebab yang mengakibatkan mudharat tersebut. Semua itu mengikuti hikmah dan
Sunnah-Nya dan bagi sebab-sebab yang membawa kepada akibat-akibatnya. Sesungguhnya Allah
menjadikan tujuan-tujuan dan perkara-perkara bagi makhluk yang dicintai-Nya dalam urusan
agama dan dunia. Dia menjadikan beberapa sebab dan jalan untuk mendapatkan hal itu. Dia
memerintahkan untuk menjalaninya dan memudahkan bagi hamba-Nya dengan segala
kemudahan. Siapa yang menjalaninya, niscaya akan menyampaikannya kepada tujuan yang
bermanfaat. Siapa yang meninggalkannya atau meninggalkan sebagiannya atau tidak
menyempurnakannya atau menjalani jalan yang kurang sempurna, sehingga ia tidak mendapatkan
kesempurnaan yang dicari, maka janganlah ia mencela, kecuali dirinya sendiri.
Tidak ada hujjah baginya terhadap Allah. Allah telah memberikan kepadanya penglihatan,
pendengaran, hati, kekuatan, dan kemampuan. Allah juga menunjukkan kepadanya dua jalan,
menjelaskan kepadanya segala sebab dan akibatnya, serta Dia tidak menahan jalan baginya untuk
mendapatkan kebaikan agama dan dunia. Maka jika dia menyalahinya dalam semua perkara ini,
sudah menjadi keniscayaan jika dialah yang dicela dan dicaci atas kelalaiannya.

Bahwasanya seluruh perbuatan berhubungan dan berasal dari tiga sifat ini, kudrah yang sempurna,
keinginan yang terlaksana, dan hikmah yang mencakup segala hal. Semuanya ada pada Dzat Allah
dan Dia memiliki sifat tersebut. Pengaruh dan konsekuensinya adalah semua yang berasal dari-Nya
di alam ini dalam bentuk mendahulukan dan mengakhirkan, manfaat dan mudharat, memberi dan
menahan, merendahkan dan meninggikan. Tiada perbedaan antara yang dirasa dan dipikirkan,
tiada perbedaan antara agama dan dunianya. Inilah makna sifat-sifat perbuatan, bukan seperti
yang disangka ahli kalam yang bathil.

Sumber: DR. Sa’id Ali bin Wahf al-Qahthani. Syarah Asma’ul Husna”. Terj. Abu Fatimah
Muhammad Iqbal Ahmad Ghazali. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2005.
Syarah Asmaul-Husna: Al-Ilaah, Al-Qaabidh, Al-
Baasith, Al-Mu’thi
Oleh: DR. Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani / Publikasi: Kamis, 4 Februari 2016 13:53

88. Al-Ilaah
Nama ini menghimpun segala sifat kesempurnaan dan kebesaran. Termasuk dalam nama ini
seluruh Asmaul Husna. Oleh karena itu, lafazh Allah berasal dari kata al-Ilaah dan bahwasanya
nama Allah, Dialah yang mencakup seluruh Asmaul Husna dan Shifatul-Ulaa.
Allah ta’alaa berfirman,
“Sesungguhnya Allah Ilah Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak, segala yang
di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah sebagai pemelihara.” (An-Nisaa:
171)
89. Al-Qaabidh (Yang menyempitkan rizki)
90. Al-Baasith (Yang melapangkan rizki)
91. Al-Mu’thi (Yang memberi)
Allah ta’alaa berfirman,
“… Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rizki) dan kepada-Nya lah kamu dikembalikan.”
(Al-Baqarah: 245)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Siapa yang dikehendaki Allah untuk mendapat kebaikan niscaya Allah akan memberi
kepadanya kepahaman dalam (masalah) agama. Allah yang memberi dan aku yang membagi…”
Dalam hadits lain beliau bersabda,
“Sesungguhnya Allah tidak tidur dan tidak sepantasnya Dia tidur; merendahkan keadilan dan
meninggikannya; diangkat kepada-Nya amal pada malam hari sebelum amal siang hari dan
amal siang hari sebelum amal malam hari.”
Allah ta’alaa berfirman,
“Katakanlah, ‘Wahai Rabb Yang memiliki kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang
yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau
muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di
tangan-Mu lah segala kebaikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah mengangkat beberapa golongan dengan al-Qur’an ini dan merendahkan
yang lain.”
Beliau juga bersabda setelah salam dari suatu shalat, ketika beliau berpaling menghadap kepada
jama’ah,
“Tidak ada Ilah selain Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya, milik-Nya kerajaan, milik-
Nya pujian, dan Dia Kuasa atas segala sesuatu. Ya Allah tiada yang bisa mencegah sesuatu yang
Engkau berikan dan tiada yang bisa memberi bagi sesuatu yang Engkau cegah, dan tidak ada
manfaat kekayaan seorang yag memiliki kekayaan dari (siksa)-Mu.”
Sifat-sifat mulia ini sebagian adalah asma’ yang saling berlawanan, yang tidak sepantasnya Allah
dipuji dengannya. Kecuali bersama yang lainnya karena kesempurnaan yang mutlak terdapat pada
pertemuan kedua sifat ini. Dia-lah yang menyempitkan rizki, ruh, dan jiwa. Yang melapangkan
rizki, rahmat, dan hati. Dia yeng mangangkat derajat golongan yang memiliki ilmu dan iman, yang
merendahkan musuh-musuh-Nya. Dia yang memuliakan orang yang taat dan inilah kemuliaan
yang hakiki. Sesungguhnya orang yang taat itu mulia sekalipun ia seorang fakir yang tidak memiliki
penolong selain Dia. Dia menghinakan orang-orang yang durhaka dan musuh-musuh-Nya, hina di
dunia dan di akhirat.
Orang yang durhaka, sekalipun tampaknya adalah orang yang mulia, namun hatinya penuh dengan
kehinaan sekalipun ia tidak merasakannya karena tenggelam dalam nafsu syahwat kesenangan
dunia. kemuliaan yang sesungguhnya adalah taat kepada Allah dan kehinaan yang sesungguhnya
adalah durhakan kepada Allah.
“Dan barang siapa yang dihinakan Allah, maka tidak seorang pun yang memuliakannya.” (Al-
Hajj: 18)
“Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah kemuliaan itu semuanya.”
(Faathir: 10)
“…Padahal, kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya, dan bagi orang-orang mukmin.”
(Al-Munaafiquun: 8)
Dia yang menahan dan memberi, maka tidak ada yang bisa memberikan sesuatu yang dicegah-Nya
dan tidak ada yang bisa mencegah sesuatu yang diberikan-Nya. Semua ini mengikuti keadilan,
hikmah, dan pujian-Nya. Sesungguhnya terdapat hikmah dalam perbuatan-perbuatan-Nya seperti
merendahkan orang yang direndahkan, dihinakan, dan dicegah-Nya (untuk mendapat kebaikan).
Tidak ada hujjah bagi seseorang terhadap Allah. Sebagaimana Dia memiliki karunia yang mutlak
terhadap orang yang diangkat (ditinggikan), diberi, dan diluaskan baginya segala kebaikan. Setiap
hamba harus meyakini hikmah Allah, sebagaimana ia harus meyakini karunia-Nya serta bersyukur
kepada-Nya dengan lidah, hati, dan anggota tubuh. Sebagaimana hanya Dia sendiri yang memiliki
semua perkara ini dan semuanya berlaku di bawah ketentuan-Nya. Sesungguhnya Allah
menjadikan beberapa sebab terangkatnya derajat dan kemulian seorang hamba dan memberikan
kemulian (kepada hamba-Nya yang terpilih).
Dia menjadikan pula sebab-sebab bagi hal yang sebaliknya. Orang yang melaksanakan
(mengerjakannya) akan merasakan akibatnya. Segala sesuatu dimudahkan kepada apa yang dia
ciptakan. Adapun orang-orang yang beruntung, mereka dimudahkan kepada beramal dengan
amalan orang-orang yang beruntung. Sebaliknya, orang-orang yang celaka, mereka dimudahkan
untuk berbuat seperti perbuatan orang-orang yang celaka. Karena itu, setiap hamba harus
mentauhidkan-Nya dan bersungguh-sungguh dalam melaksanakan hal-hal yang bermanfaat,
bahwasanya di sanalah tempatnya hikmah Allah.
Sumber: DR. Sa’id Ali bin Wahf al-Qahthani. Syarah Asma’ul Husna”. Terj. Abu Fatimah
Muhammad Iqbal Ahmad Ghazali. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2005.
Syarah Asmaul-Husna: Ar-Rafiiq, Al-Hayiy, As-Sittir
Oleh: DR. Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani / Publikasi: Kamis, 4 Februari 2016 13:47

85. Ar-Rafiiq (Yang Maha Lembut, Maha Halus, Yang Menyertai)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya Allah Maha Lembut, menyukai orang yang lembut, dan sesungguhnya
Allah memberikan kepada kelembutan apa yang tidak diberikannya kepada
kekerasan.”

Allah Maha Lembut dalam perbuatan-Nya. Dia menciptakan segala makhluk sedikit demi sedikit
secara berangsur-angsur sesuai dengan hikmah dan kelembutan-Nya, padahal Dia mampu
mencipakan-Nya sekaligus dalam waktu sekejap. Siapa yang berfikir tentang segala makhluk dan
merenungkan tentang syari’at bagaimana Allah mendatangkannya sedikit demi sedikit, niscaya ia
akan merasakan kekaguman sebagai hasil dari renungannya. Orang yang bersabar dalam
perbuatan, menyelesaikan segala urusan dengan lembut, tenang, dan sabar karena mengikuti
sunnatullah dan mengikuti Sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesungguhnya hal ini
merupakan petunjuk dan jalan-Nya, niscaya mudahlah baginya segala perkara. Lebih utama lagi
orang yang berseru dan menyuruh, melarang, dan memberi nasihat kepada orang banyak, dia
harus bersikap lembut dan halus; seperti itu pula orang yang disakiti dengan perkataan yang kasar
dan dia menjaga lidah dari mencela mereka serta membela dirinya dengan halus dan lembut,
niscaya dia terhindar dari segala kejahatan mereka. Dia tidak bisa terhindar jika membalas
kejahatan mereka dengan perbuatan yang sama dalam perkataan dan perbuatan, lebih dari itu, ia
telah mendapatkan ketenangan, ketentraman, kedamaian, dan sifat santun.

Allah menolong dan membantu hamba-Nya apabila mereka meminta pertolongan kepada-Nya.
Dari Anas Radliyallahu ‘anhu bahwasanya seorang laki-laki masuk ke dalam masjid pada hari
Jum’at dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berkhutbah kemudian, ia berkata,
“Ya Rasulullah, harta-harta kami telah sirna dan terputuslah jalan. Karena itu berdoalah kepada
Allah agar Dia menurunkan hujan untuk kami.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengangkat kedua tangannya kemudian berdoa,

“Ya Allah, turunkan hujan untuk kami.” (3X)

Allah menolong hamba-Nya dalam keadaan susah dan terdesar. Dia menolong semua hamba-Nya
ketika rumit segala perkara mereka dan berada dalam kesusahan dan duka cita. Dia memberi
makan orang yang lapar, memberi pakaian orang yang tidak memiliki pakaian, menghilangkan
duka cita mereka. Demikian juga, ia mengabulkan doa prang yang dalam keadaan duka cita, susah,
dan darurat. Siapa yang meminta tolong kepada-Nya niscaya Ia akan menolongnya. Banyak sekali
kisah al-Qur’an dan as-Sunnah tentang pertolongan-Nya dalam melapangkan sakit hati dan duka
cita, menghilangkan kesusahan, dan memudahkan yang susah.

86. Al-Hayiy (Yang Maha memiliki sifat malu)


87. As-Sittir (Yang Maha Menutupi)

Nama ini diambil dari hadits,


“Sesungguhnya Allah bersifat malu, merasa malu dari hamba-Nya apabila ia
menadahkan kedua tangannya lalu hamba-Nya mengembalikan keduanya dalam
keadaan kosong.”

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,


“Sesungguhnya Allah Maha Penyantun, malu, lagi menutupi (kesalahan hamba). Dia
menyukai sifat malu dan menutup aib. Apabila seseorang di antara kalian mandi,
hendaklah ia menutup diri (dari orang lain).”

Ini termasuk bagian dari rahmat, kemuliaan, kesempurnaan, dan santun-Nya. Sesungguhny hamba
menampakkan diri kepada-Nya dengan perbuatan maksiat, padahal ia sangat berhajat kepada-Nya,
hingga ia tidak mungkin berbuat maksiat, kecuali dengan mendapat kekuatan atasnya dengan
nikmat Rabb-Nya. Ar-Rabb, dengan kesempurnaan kekayaan-Nya dari semua makhluk, sebagian
dari kemuliaan-Nya adalah merasa malu untuk membuka (dosa hamba), merasa malu
menjadikannya (ketahuan orang), dan merasa malu memberikan siksa dengannya. Maka Dia
menutupi dosa tersebut dengan segala sebab yang menyebabkan dosa itu tertutup, memaafkan, dan
mengampuninya.

Dia melakukan hal yang menjadikan-Nya dicintai oleh hamba-Nya dengan segala nikmat (yang
diberikan-Nya), sedangkan mereka melakukan hal yang dibenci oleh Allah dengan bermaksiat
kepada-Nya. Kebaikan-Nya kepada mereka setiap saat, sedangkan kejahatan mereka kepada-Nya
meningkat. Malaikat yag mulia senantiasa naik kepada-Nya menyampaikan hasil perbuatan
makhluk dengan perbuatan maksiat dan setiap yang jahat. Allah merasa malu menyiksa orang yang
tumbuh di dalam Islam dan juga merasa malu dari orang yang menadahkan kedua tangannya
kembali dengan tangan kososng. Dia menyuruh hamba-Nya berdoa kepada-Nya dan berjanji akan
mengabulkannya.

Siapa yang menutupi aib seorang Muslim, niscaya Allah akan menutupi aibnya di dunia dan
akhirat. Karena sebab ini, ia membenci hamba-Nya yang melakukan maksiat dan menyebarkannya,
bahkan ia memberi taubat yang ada di antara seorang hamba dengan-Nya, dosa yang tidak
diketahui orang lain. Sesungguhnya orang yang paling dibenci-Nya adalah orang yang berbuat
maksiat pada malam hari (kemudian Allah menutupinya) lalu pada pagi harinya ia membuka tabir
(yang dengannya Allah tutupi dosa-dosanya pada malam itu) dengan menceritakannya kepada
orang lain. Allah ta’alaa berfirman,

“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar berita perbuatan yang amat keji itu
tersiar di kalangan orang-orang beriman bagi mereka adzab yang pedih di dunia dan
di akhirat…” (An-Nuur: 19)

Semua ini adalah sebagian dari nama-Nya al-Haliim (Yang Maha Penyantun), santun-Nya yang
meliputi orang kafir, orang fasik, dan ahli maksiat. Dia menahan siksa-Nya yang cepat kepada
orang yang zhalim. Dia memberikan tenggang waktu kepada mereka agar bertaubat, tetapi tidak
akan memberikan tenggang waktu jika mereka terus-menerus berada dalam kezhaliman dan tidak
mau kembali (tidak bertaubat).

Sumber: DR. Sa’id Ali bin Wahf al-Qahthani. Syarah Asma’ul Husna”. Terj. Abu Fatimah
Muhammad Iqbal Ahmad Ghazali. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2005.
Syarah Asmaul-Husna: Al-Haq & Al-Jamiil
Oleh: DR. Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani / Publikasi: Kamis, 4 Februari 2016 13:42

83. Al-Haq (Yang Maha Benar)


Allah adalah Yang Maha Benar pada Dzat dan sifat-Nya. Dia yang wajib (harus) ada, sempurna
segala sifat, sementara keberadaan-Nya adalah keharusan bagi Dzat-Nya.
Tiada sesuatu pun di dunia ini kecuali karena keberadaan-Nya. Dia Yang senantaisa disifati dengan
kebesaran dan kesempurnaan. Dia senantiasa dikenal dengan kebaikan-Nya.
Maka perkataan-Nya, perbuatan-Nya, bertemu dengan-Nya adalah kebenaran. Rasul-Rasul-Nya
adalah haq, semua Kitab-Nya dan agama-Nya adalah yang haq; penyembahan kepada-Nya Yang
Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya adalah haq dan segala sesuatu yang dinisbatkan kepada-Nya,
maka hanya Dia-lah Yang haq.
“(Kuasa Allah) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah, Dia-lah (Rabb) Yang Haq
dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah, itulah yang bathil, dan sesungguhnya
Allah, Dia-lah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Al-Hajj: 62)
“Dan katakanlah, ‘Kebenaran itu datannya dari Rabb-mu, maka barang siapa yang ingin
(beriman), hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir), biarlah ia kafir…’” (Al-
Kahfi: 29)
“Maka (Dzat yang demikian) itulah Allah Rabb-mu yang sebenarnya, maka tidak ada sebuah
kebenaran itu, melainkan kesesatan…” (Yunus: 32)
“Dan katakanlah, ‘Yang benar telah datang dan yang bathil telah lenyap.’ Sesungguhnya yang
bathil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap…” (Al-Israa’: 81)
“Di hari itu, Allah akan memberi mereka balasan yang setimpal menurut semestinya, dan
tahulah mereka bahwa Allah lah Yang benar, lagi Yang menjelaskan (segala sesuatu menurut
hakikat yang sebenarnya).” (An-Nuur: 25)
Sifat-sifat-Nya Yang Agung dan perbuatan-Nya adalah haq, ibadah kepada-Nya dan janji-Nya
adalah haq, ancaman dan hisab-Nya (perhitungan amal) adalah merupakan keadilan yang tiada
kezhaliman padanya.
84. Al-Jamiil (Yang Maha Indah)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesunggunya Allah Maha Indah, menyukai segala keindahan.”
Dia Yang Maha Indah baik Dzat, asma’, sifat, maupun segala perbuatan-Nya. Tidak ada seorang
pun di antara makhluk yang bisa mengungkapkan walau sebagian dari keindahan Dzat-Nya.
Sampai-sampai penduduk surga dan segala kenikmatan yang selalu tetap, kelezatan, kebahagiaan,
dan kesenangan yang tidak bisa dibayangkan, apabila mereka telah melihat Rabb mereka dan
menikmati keindahan-Nya, mereka lupa dengan segala kenikmatan yang mereka rasakan saat itu
dan mereka ingin agar keadaan seperti itu terus berlangsung dan keindahan nur-Nya akan
menambah keindahan mereka. Hati mereka terus menerus berada dalam kerinduan untuk melihat
Rabb mereka. Mereka bergembira dengan hari mazid (tambahan) dengan suatu kegembiraan yang
menjadikan mereka berbunga-bunga.
Demikian itulah, Dia Yang Maha Indah pada asma’-Nya karena semua nama-Nya adalah Indah,
bahkan merupakan nama yang terbaik dan terindah secara mutlak.
Allah ta’alaa berfirman,
“Hanya milik Allah Asmaa’ul Husna, maka memohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asmaa’ul
Husna itu…” (Al-A’raaf: 180)
“…Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah) ?”
(Maryam: 65)
“… Sesungguhnya Rabb-ku di atas jalan yang lurus.” (Huud: 56)
Maka kesempurnaan-Nya tidak ada seorang pun yang mampu menghitungnya, yang merupakan
kesempurnaan perbuatan-Nya. Hukum-Nya adalah yang terbaik, ciptaan-Nya juga adalah yang
terbaik, dan betapa kokohnya hasil ciptaan-Nya.
“… (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu.” (An-Naml: 88)
Alangkah indahnya hasil ciptaan Allah,
“Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya…” (As-Sajdah: 7)
“… Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang
yakin.” (Al-Maaidah: 50)
Seluruh alam meliputi berbagai macam keindahan, dan keindahannya berasal dari Allah. Dialah
yang memberi pakaian keindahan kepadanya dan memberikannya kecantikan. Allah lebih utama
daripadanya (alam dan seisinya). Sebab, yang memberikan keindahan lebih berhak terhadap
keindahan tersebut. Semua keindahan yang ada di dunia maupun di akhirat yang tampak maupun
yang tersembunyi, terlebih lagi keindahan yang tiada tara yang diberikan Allah kepada para
penghuni surga, baik laki-laki maupun perempuan, jikalau nampak di dunia satu telapak tangan
dari bidadari, niscaya reduplah cahaya matahari sebagaimana matahari meredupkan cahaya
bintang. Bukankah yang menghiasi mereka dengan keindahan tersebut dan memberikan nikmat
keindahan dan kesempurnaan lebih berhak daripada mereka? Ini merupakan dalil akal yang nyata,
logika yang diterima atas masalah yang besar ini. Allah ta’alaa berfirman,
“… Dan Allah mempunyai sifat Yang Maha Tinggi.” (An-Nahl: 60)
Segala kesempurnaan yang terdapat pada sekalian makhluk pasti ada kekurangannya.
Sesungguhnya yang memberikannya, yaitu Allah, lebih pantas daripada yang diberi. Tidak bisa
dibandingkan antara Dia dan mereka, sebagaimana tidak bisa dibandingkan bagi dzat mereka
kepada Dzat-Nya dan sifat mereka kepada sifat-Nya. Yang memberikan kepada mereka
pendengaran, penglihatan, kehidupan, ilmu, kemampuan, dan keindahan lebih pantas
mendapatkan semua itu daripada mereka. Bagaimana seseorang mampu mengungkapkan
keindahan-Nya, padahal orang yang paling mengetahui tentang Dzat-Nya, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Saya tidak bisa memperkirakan pujian kepada-Mu. Engkau sebagaimana Engkau memuji diri-
Mu.”
Dalam hadits lain beliau juga bersabda,
“Hijab-ya adalah cahaya. Jika Dia membukanya, niscaya cahaya dan kebesaran0Nya akan
membakar seluruh makhluk yang terjangkau oleh pandangan-Nya.”
Maha Suci Allah dari apa yang dikatakan orang-orang zhalim yang menolak kesempurnaan-Nya.
Cukuplah kerugian dan kemurkaan yang mereka dapatkan bahwasanya tidak mungkin mereka
mendapatkan ma’rifat kepada Allah dan berbahagian dengan mencintai-Nya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak ada seorang pun yang lebih sabar terhadap gangguan yang didengarnya daripada Allah.
Mereka (orang-orang kafir) menjadikan bagi-Nya anak, padahal Dia memberikan kepada
mereka kesehatan dan rizki.”
Beliau bersabda pula dalam hadits yang shahih bahwasanya Allah berfirman, “Manusia
mendustakan Aku dan tidak benar yang demikian itu. Manusia mencela Aku dan tidak benar
yang demikian itu. Mereka mendustakan-Ku dengan mengatakan, ‘Dia (Allah) tidak akan
mengembalikan saya sebagaimana Dia sebelumnya menciptakan saya.’ Padahal, menciptakan
makhluk pertama kali tidak lebih mudah bagi-Ku daripada mengembalikannya. Adapun
celaannya terhadap-Ku, yaitu dengan perkataannya bahwa Aku memiliki anak, padahal Aku
adalah Yang Maha Esa, Satu, Tunggal, Tempat bergantung (semua makhluk), Yang tidak
beranak dan tidak diperanakkan dan tidak ada yang setara dengan-Ku.”
Allah yang mencurahkan segala rizki kepada hamba-hamba-Nya yang berbuat taat dan maksiat.
Orang-orang yang durhaka selalu memusuhi dan mendustakan-Nya; mendustakan para Rasul dan
selalu berusaha memadamkan agama-Nya. Allah bersifat Haliim (Maha Penyantun) terhadap
segala perkataan dan perbuatan mereka. Mereka terus menerus berbuat maksiat dan Dia selalu
memberikan nikmat-Nya kepada mereka. Kesabaran-Nya merupakan kesabaran yang sempurna
karena bahwasanya hal itu termasuk kesempurnaan kehendak-Nya dan kesempurnaan kekayaan-
Nya dari segala makhluk, serta kesempurnaan rahmat dan kebaikan. Maha Suci Rabb Yang Maha
Penyayang, yang tiada sesuatu serupa dengan-Nya, Yang mencintai orang-orang yang sabar dan
menolong mereka dalam setiap urusan mereka.
Sumber: DR. Sa’id Ali bin Wahf al-Qahthani. Syarah Asma’ul Husna”. Terj. Abu Fatimah
Muhammad Iqbal Ahmad Ghazali. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2005.
Syarah Asmaul-Husna: Jaami’un Naasi liyaumin laa
raiba fiih, Badii’us Samaawaati wal Ardhi, Al-Kaafi, Al-
Waasi’
Oleh: DR. Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani / Publikasi: Kamis, 4 Februari 2016 11:47

79. Jaami’un Naasi liyaumin laa raiba fiih (Yang menghimpun manusia pada hari yang tidak
diragukan lagi)

Allah ta’alaa berfirman,

“Yaa Rabb kami, sesungguhnya Engkau mengumpulkan manusia untuk (menerima


pembalasan pada) hari yang tak ada keraguan padanya. Sesungguhnya Allah tidak
menyalahi janji.” (Ali Imran: 9)

Allah, Dia-lah Yang mengumpulkan manusia. Yang mengumpulkan amal dan rizki mereka. Dia
tidak meninggalkan yang kecil dan yang besar, kecuali Dia akan menghitungnya.

Dia yang mengumpulkan yang bercerai berai dan telah berubah, baik mayat-mayat orang yang
terdahulu maupun yang kemudian dengan kesempurnaan kekuasaan-Nya dan keluasan ilmu-Nya.

80. Badii’us Samaawaati wal Ardhi (Pencipta langit dan bumi)

Allah ta’alaa berfirman,

“Allah pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan)
sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya, ‘Jadilah.’ Maka jadilah
ia.” (Al-Baqarah: 117)

Artinya, Yang menjadikan dan menciptakan keduanya pada kesudahan yang baik dan penciptaan
yang indah pengaturan yang tepat lagi mengagumkan.

Allah ta’alaa berfirman,

“Dan Dia-lah yang menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian mengembalikan


(menghidupkan)nya kembali…” (Ar-Ruum: 27)

Memulai penciptaan mereka untuk menguji siapa yang terbaik amalnya, kemudian mengembalikan
mereka, agar membalas orang-orang yang berbuat baik dengan surga dan membalas orang-orang
yang berbuat kejahatan dengan kejahatan mereka. Memulai penciptaan semua makhluk tahap
demi tahap kemudian mengembalikannya kapan saja Dia kehendaki. Allah ta’alaa berfirman,

“… Sesungguhnya Rabb-mu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki.”


(Huud: 107)

“Yang mempunyai singgasana, lagi Maha Mulia, Maha Kuasa berbuat apa yang
dikehendaki-Nya.” (Al-Buruuj: 15-16)
Ini merupakan bagian dari kesempurnaan kekuatan-Nya, guna terlaksananya keinginan dan
kekuasaan-Nya. Bahwasanya tiap perkara yang diinginkan-Nya, Dia pasti melakukannya tanpa ada
yang dapat mencegah dan tidak ada pula yang dapat menentang (menghalangi). Tiada bagi-Nya
yang membantu dan yang menolong terhadap perkara apa pun juga. Dia Maha melakukan apa saja
yang dikehendaki-Nya. Kehendak-Nya selalu berlaku menurut hikmah-Nya. Dia Yang disifati
dengan kekuasaan yang sempurna dan terlaksananya keinginan; disifati dengan hikmah yang
mencakup segala sesuatu bagi setiap hal yang telah dilakukan dan yang akan dilakukan-Nya.

81. Al-Kaafi (Yang mencukupi hamba-hamba-Nya)

Allah ta’alaa berfirman,

“Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hamba-Nya…” (Az-Zumar: 36)

Dia-lah yang memberi kecukupan (melindungi) hamba-hamba-Nya segala keperluan dan


kebutuhan mereka. Yang memberi kecukupan yang khusus kepada orang yang beriman dan
bertawakkal kepada-Nya, yang meminta tambahan kepada-Nya segala keperluan agama dan
dunianya.

82. Al-Waasi’ (Yang Maha Luas karunia-Nya)

Allah ta’alaa berfirman,

“Sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah
Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah: 268)

Dia Yang Maha Luas segala sifat dan segala yang berkaitan dengan-Nya, taka da seorang pun yang
bisa menghabiskan pujian kepada-Nya, bahkan juga tak pernah bisa seperti Dia memuji terhadap
diri-Nya. Yang Maha Luas kebesaran, kekuasaan, dan kerajaan-Nya. Yang Maha Luas karunia dan
kebaikan, serta Maha Agung kemurahan dan kedermawanan-Nya.

Sumber: DR. Sa’id Ali bin Wahf al-Qahthani. Syarah Asma’ul Husna”. Terj. Abu Fatimah
Muhammad Iqbal Ahmad Ghazali. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2005.
Syarah Asmaul-Husna: Al-Muhaimin, Al-Muhith, Al-
Muqiit, Al-Wakiil, Dzul Jalaali wal Ikraam
Oleh: DR. Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani / Publikasi: Kamis, 4 Februari 2016 11:43

74. Al-Muhaimin (Yang Maha Memelihara)

Yang mengetahui segala perkara yang tersembunyi dan goresan yang ada di hati, Yang meliputi
segala sesuatu oleh pengetahuan-Nya.

Al-Baghawi berkata, “Yang menyaksikan perbuatan semua hamba-Nya.” Ini adalah perkataan Ibnu
‘Abbas, Mujahid, dan yang lainnya.

75. Al-Muhith (Yang meliputi terhadap segala sesuatu)

Allah ta’alaa berfirman,

“Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan adalah (pengetahuan) Allah
Maha meliputi segala sesuatu.” (An-Nisaa: 126)

“… Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikit pun tidak
mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang
mereka kerjakan.” (Ali ‘Imran: 120)

Dia-lah yang ilmu, kekuasaan, rahmat, dan keperkasaan-Nya meliputi segala sesuatu. Ilmu-Nya
meliputi segala yang diketahui, penglihatan-Nya meliputi segala yang dilihat, dan pendengaran-
Nya meliputi segala hal yang didengar. Kehendak dan kekuasaan-Nya terlaksana dengan segala
yang ada. Rahmat-Nya meliputi penduduk langit dan bumi. Dia menguasai semua makhluk dengan
keperkasaan-Nya dan segala sesuatu tunduk kepada-Nya.

76. Al-Muqiit (Yang berkuasa memberi rizki kepada setiap makhluk, Yang menjaga dan
melindungi)

Allah ta’alaa berfirman,

“… Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (An-Nisaa: 85)

Dia yang menyampaikan kepada setiap makhluknya makanannya. Menyampaikan segala rizkinya
dan memperlakukannya menurut yang dikehendaki oleh hikmah dan pujian-Nya.

Ar-Raghib al-Ashfahani berkata, “Al-Quut adalah yag mempertahankan kehidupan. Jamaknya


Aqwaat.”
Dalam al-Qaamuus al-Muhiith disebutkan bahwa al-Muqiit berarti, Yang memelihara sesuatu dan
menyaksikannya, Yang Berkuasa, seperti orang yang memberikan tiap orang makanannya.”

Ibnu Abbas Radliyallahu ‘anhu berkata, “Yang berkuasa atau membalas.” Mujahid berkata, “Yang
Menyaksikan.” Qatadah berkata, “Yang memelihara.”

Ibnu Katsir berkata, Allah ta’alaa berfirman,


“… Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (An-Nisaa: 85)

Artinya, Yang memelihara, Mujahid berkata, “Yang Menyaksikan.” Dalam suatu riwayat, “Yang
memberi kecukupan dengan kadar yang tepat.” Dan ada pula yang mengatakan, “Yang memberi
kecukupan bagi setiap manusia dengan kadar amalnya.”

77. Al-Wakiil (Pemelihara, Pelindung)

Allah ta’alaa berfirman,

“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” (Az-Zumar: 62)

Dia-lah Yang mengurus pengaturan makhluk-Nya dengan ilmu-Nya, kesempurnaan kehendak-Nya,


dan hikmah-Nya yang menyeluruh, yang membimbing wali-wali-Nya. Dia memudahkan bagi
mereka yang mudah dan menjauhkan mereka dari yang susah, Yang mencukupi bagi mereka segala
perkara. Maka siapa yang menjadikan-Nya sebagai wakil, niscaya cukuplah baginya.

“Allah pelindung orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan
(kekafiran) kepada cahaya (iman)…” (Al-Baqarah: 257)

78. Dzul Jalaali wal Ikraam (Yang memiliki kebesaran dan karunia)

Yang memiliki kebesaran dan keagungan, memiliki rahmat, pemurah, dan kebaikan yang umum
dan khusus. Yang memuliakan wali-wali-Nya dan kekasih-kekasih-Nya. Mereka yang
membesarkan-Nya, mengagungkan-Nya, dan mencintai-Nya.
Allah ta’alaa berfirman,

“Maha Agung nama Rabb-mu Yang mempunyai kebesaran dan karunia.” (Ar-Rahmaan: 78)

Sumber: DR. Sa’id Ali bin Wahf al-Qahthani. Syarah Asma’ul Husna”. Terj. Abu Fatimah
Muhammad Iqbal Ahmad Ghazali. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2005.
Syarah Asmaul-Husna: Al-Waahid, Al-Ahad, Al-
Mutakabbir, Al-Khaaliq, Al-Baari, Al-Mushawwir, Al-
Khallaaq, Al-Mu-min
Oleh: DR. Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani / Publikasi: Kamis, 4 Februari 2016 11:39

66. Al-Waahid (Yang satu)


67. Al-Ahad (Yang Tunggal)

Allah ta’alaa berfirman,

“Katakanlah, ‘Dia-lah Allah Yang Maha Esa.” (Al-Ikhlash: 1)

“Katakanlah, ‘Allah adalah pencipta segala sesuatu dan Dia-lah Rabb Yang Maha Esa
lagi Maha Perkasa.” (Ar-Ra’d: 16)

Dia-lah yang diesakan dengan segala sifat kesempurnaan, tak ada yang menyamai-Nya dalam
kesempurnaan ini.
Seorang hamba harus mengesakan-Nya dengan keyakinan, perkataan, dan perbuatan dengan
meyakini kesempurnaan-Nya yang mutlak dan keesaan-Nya dengan sifat Wahdaniyyah serta
mengesakan-Nya dalam segala macam ibadah.

Al-Ahad, hanya Dia-lah yang memiliki segala sifat kesempurnaan, kemuliaan, dan kebesaran,
indah dan terpuji, hikmah dan rahmat, dan yang lainnya dari sifat-sifat kesempurnaan.

Maka tidak ada satu pun yang setara dan sebanding dengan-Nya, tiada pula yang sama walaupun
hanya dari satu sisi. Dia-lah Yang Maha Tunggal dalam hidup-Nya dan wahdaniyyah dalam
menguruh makhluk, ilmu, dan kekuasaan-Nya, kebesaran dan keagungan-Nya, keindahan dan
terpuji-Nya, hikmah dan rahmat-Nya, dan sifat-Nya yang lain, yang disifati dengan kesudahan sifat
yang sempurna dan puncaknya dari setiap sifat dari sifat-sifat ini.

Sebagian dari bukti keesaan dan kesendirian-Nya dengan-Nya (segala sifat kesempurnaan),
bahwasanya Dia bersifat ash-Shamad (tempat bergantung segala urusan). Maksudnya, Rabb
Yang Sempurna, Rabb Yang Maha Besar, yang tiada tersisa sifat kesempurnaan, kecuali Dia
memiliki sifat itu. Disifati dengan kesudahan dan kesempurnaan-Nya, yang semua makhluk tidak
bisa meliputi segala sifat itu dengan hati mereka, bahkan lisan mereka pun tidak bisa
mengungkapkan tentang hal itu.

68. Al-Mutakabbir (Yang mempunyai segala kebesaran dan keagungan)

Allah ta’alaa berfirman,

“Dia-lah Allah Yang tidak ada Ilah (yang berhak diibadahi) selain Dia, Raja, Yang
Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha
Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang memiliki segala
keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (Al-Hasyr: 23)

Dia Yang Maha Agung dari sifat jahat, kekurangan, dan aib bagi kebesaran dan keagungan-Nya.
69. Al-Khaaliq (Yang Menciptakan)
70. Al-Baari (Yang Mengadakan)
71. Al-Mushawwir (Yang membentuk rupa)
72. Al-Khallaaq (Yang Maha Pencipta)

Allah ta’alaa berfirman,

“Dia-lah Allah Yang menciptakan, Yang mengadakan, Yang Membentuk rupa, Yang
mempunyai nama-nama yang paling baik.” (Al-Hasyr: 24)

“Sesungguhnya Rabbmu, Dia-lah Yang Maha Pencipta lagi Maha Mengetahui.” (Al-Hijr:
86)

Yang menciptakan semua yang ada, mengadakannya, menyempurnakannya dengan hikmah-Nya,


serta memberikan rupa dengan pujian dan hikmah-Nya. Dia senantiasa memiliki sifat yang agung
ini.

73. Al-Mu-min (Yang Memberi keamanan)

Yang memuji diri-Nya dengan sifat kesempurnaan, keagungan, dan keindahan yang sempurna.
Yang mengutus para Rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya dengan bukti dan dalil.
Membenarkan semua Rasul dengan tanda dan bukti yang menunjukkan kejujuran dan kebenaran
segala ajaran yang mereka bawa.

Sumber: DR. Sa’id Ali bin Wahf al-Qahthani. Syarah Asma’ul Husna”. Terj. Abu Fatimah
Muhammad Iqbal Ahmad Ghazali. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2005.
Syarah Asmaul-Husna: Ar-Rabb, Allah, Al-Malik, Al-
Maliik , Maalikul Mulki
Oleh: DR. Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani / Publikasi: Kamis, 4 Februari 2016 11:36

60. Ar-Rabb
Allah ta’alaa berfirman,
“Katakanlah, ‘Apakah aku akan mencari rabb selain Allah, padahal Dia adalah Rabb
bagi segala sesuatu.’” (Al-An’aam: 164)
Dia Yang memelihara semua hamba-Nya dengan mengatur dan memberikan berbagai macam
nikmat. Yang lebih istimewa dari itu adalah pemeliharan (yang diberikan)-Nya kepada kekasih-
kekasih-Nya dengan memperbaiki hati, jiwa, dan akhlak mereka. Karena itulah banyak doa mereka
kepada-Nya dengan nama yang agung ini. Mereka memohon dari-Nya pemeliharaan yang istimewa
ini.
61. Allah
Dia-lah yang dipatuhi dan diibadahi, yang memiliki sifat ketuhanan dan sesembahan segala
makhluk-Nya, karena Dia memiliki segala sifat ketuhanan yang merupakan sifat kesempurnaan.
62. Al-Malik (Yang Maha Memiliki, Yang Menguasai)
63. Al-Maliik (Pemilik Kerajaan)
64. Maalikul mulki (Raja dari semua raja).
Allah ta’alaa berfirman,
“Maka Maha Tinggi Allah, Raja Yang sebenarnya; tidak ada Ilah (yang behak
diibadahi) selain Dia, Rabb (Yang mempunyai) ‘Arsy yang mulia.” (Al-Mu’minuun: 116)
“Di tempat yang disenangi di sisi (Rabb) Yang Maha Berkuasa.” (Al-Qamar: 55)
“Katakanlah, ‘Wahai Rabb Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan
kepada orang yang Engkau kehendaki dan engkau cabut kerjaan dari orang yang
Engaku kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau
hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebaijikan.
Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Ali ‘imran: 26)
Dia-lah yang disifati dengan sifat mulk, yaitu sifat kebesaran dan keagungan, menguasai dan
mengatur, Dia punya hal memperlakukan secara mutlak dalam menciptakan, memerintahkan, dan
membalas.
Milik-Nya seluruh alam, yang di langit dan yang di bumi, semuanya adalah hamba-Nya dan butuh
kepada-Nya. Dia-lah Rabb, Ilah Yang Haq. Dia menciptakan mereka (makhluk) dengan ketuhanan-
Nya, menguasai mereka dengan kerajaan-Nya, dan menjadikan mereka hamba dengan Uluhiyyah-
Nya. Maka renungkanlah kebesaran dan keagungan ini yang terkandung dalam tiga lafazh di atas
dengan sebaik-baiknya. Rabb manusia, Raja manusia, Ilah manusia. Adapun kandungan terhadap
Asma’ul-Husna, sesungguhnya ar-Rabb, adalah Yang berkuasa, menciptakan, mengadakan, Yang
memberi bentuk dan rupa Yang Maha Hidup, Yang menegakkan segala urusan makhluk-Nya, Yang
Maha Tahu, Yang Maha Mendengar, Yang Maha Melihat, Yang berbuat kebaikan, Yang memberi
nikmat, Yang Maha Pemurah, Yang Maha Memberi, Yang mendatangkan mudharat dan memberi
manfaat, Yang mendahulukan, Yang mengakhirkan, Yang menyesatkan dan memberi petunjuk
kepada orang yang dikehendaki-Nya, memberikan keberuntungan kepada orang yang dikehendaki-
Nya dan mencelakakan, memuliakan dan menjadikan hina orang yang dikehendaki-Nya dan
seterusnya dari makna Rububiyyah-Nya yang dari itulah Dia memiliki Asmaul-Husna.
Adapun sifat mulk, Dia-lah yang memerintah, melarang, memuliakan, menghinakan, yang
melaksanakan segala urusan hamba-Nya sebagaimana yang Dia kehendaki, dan membalikkan
(keadaan) mereka seperti yang dikehendaki-Nya, dan bagi-Nya dari makna mulk yang dimiliki-Nya
dari Asma’ul-Husna seperti;
Al-‘Aziiz (Yang Maha Perkasa), al-Jabbaar (Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa memaksakan
kehendak-Nya kepada semua makhluk), al-Mutakabbir (Yang mempunyai segala kebesaran dan
keagungan), al-Hakam (Yang menetapkan keputusan atas segala ciptaan-Nya), al-‘Adl (Yang
Maha Adil), al-Khaafidh (Yang Merendahkan), ar-Raafi’ (Yang mengangkat hamba-Nya), al-
Mu’izz (Yang memuliakan), al-Mudzill (Yang menghinakan), al-‘Azhiim (Yang Maha
Agung), al-Jaliil (Yang Maha Besar), al-Kabiir (Yang Maha Besar), al-Hasiib (Yang memberi
kecukupan dengan kadar yang tepat), al-Majiid (Yang Maha Mulia, Yang Maha Terpuji), al-
Waliy (Yang Melindungi), al-Muta’aali (Yang Maha Tinggi), Maalikul mulki (Raja dari segala
raja), al-Muqsith (Yang Maha Adil), al-Jaami’ (Yang mengumpulkan), dan seterusnya dari
nama-nama yang kembali kepada kekuasaan.
Adapun nama (Ilah) menghimpun seluruh sifat kesempurnaan dan sifat kebesaran, terkandung
dalam nama ini seluruh Asma’ul-Husna. Oleh karena itu, pendapat yang paling shahih bahwasanya
lafazh Allah berasal dari lafazh al-Ilaah sebagaimana yang dikatakan Sibawaihi dan mayoritas
pengikutnya, dan bahwasanya nama Allah menghimpun segala makna Asma’ul
Husna dan Shifaatul ‘Ulaa (sifat-sifat yang tinggi). Sesungguhnya tiga nama ini telah mencakup
seluruh nama-Nya Yang Indah. Maka orang yang berlindung dengan-Nya pasti dilindungi,
dipelihara, dan dicegah dari kejahatan bisikan setan yang bersembunyi, serta setan tidak akan
dapat menguasai.
Apabilah hanya Dia-lah Rabb, Raja, dan Ilah kita, maka tidak ada tempat mengadu bagi kita dalam
kesusahan, kecuali hanya kepada-Nya dan tidak ada tempat berlindung bagi kita dari padanya,
kecuali kepada-Nya, serta tiada bagi kita yang diibadhi selain Dia. Maka tidak sepantasnya yang
dipanggil, yang ditakuti, yang diharapkan, dan yang dicintai selain Dia. Tiada tempat untuk
menghinakan diri kepada selain-Nya, tiada yang menjadikan tunduk bagi selain Dia, dan tidak ada
yang dijadikan tempat bertawakkal kecuali kepada-Nya.
Sumber: DR. Sa’id Ali bin Wahf al-Qahthani. Syarah Asma’ul Husna”. Terj. Abu Fatimah
Muhammad Iqbal Ahmad Ghazali. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2005.
Syarah Asmaul-Husna: Al-Hayyu, Al-Qayyuum,
Nuurus Samaawaati wal Ardhi
Oleh: DR. Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani / Publikasi: Kamis, 4 Februari 2016 10:58

57. Al-Hayyu (Yang Maha Hidup)


58. Al-Qayyuum (Yang tegak dan menegakkan segala urusan makhluk-Nya)
Allah ta’alaa berfirman,
“Allah tidak ada Ilah (yang berhak diibadahi) melainkan Dia Yang hidup bekal lagi
terus menerus mengurus (makhluk-Nya)…” (Al-Baqarah: 255)
“Alif laam miim. Allah, tidak ada Ilah (yang berhak diibadahi), melainkan Dia. Yang
hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya).” (Ali ‘Imran: 1-2)
“Dan tunduklah semua muka (dengan berendah diri) kepada Yang Hidup Kekal lagi
senantiasa mengurus (makhluk-Nya). Dan sesungguhnya telah merugilah orang yang
melakukan kezhaliman.” (Thaahaa: 111)
Yang keduanya termasuk asma’ Allah. Adapun (al-Hayyu al-Qayyuum) mengumpulkan
keduanya sangatlah pantas, sebagaimana Allah telah mengumpulkan keduanya pada beberapa
tampat dalam kitab-Nya (al-Qur’an). Yang demikian itu karena keduanya mencakup semua sifat
kesempurnaan. Al-Hayyu adalah Yang Hidup sempurna, yang mengandung semua sifat dzatiyyah
bagi Allah, seperti ilmu, keperkasaan, kekuasaan, keinginan, kebesaran, keagungan, dan yang
lainnya dari sifat-sifat dzatiyyah yang suci. Al-Qayyuum, yaitu menegakkan urusan makhluk-Nya
dengan sempurna dan hal ini mempunyai dua makna;
1. Dia-lah yang berdiri sendiri, agung sifat-Nya, dan tidak memerlukan apa pun dari makhluk-Nya.
2. Menegakkan bumi, langit, dan segala makhluk yang ada di antara keduanya. Dia-lah yang
mengadakannya dan menolongnya serta menyiapkan bagi segala sesuatu yang membuatnya
(makhluk) tetap (ada di bumi), kebaikannya, dan tegaknya. Dia-lah Yang Maha Kaya dari semua
makhluk secara mutlak (tidak memerlukan makhluk) dan merekalah yang berhajat kepada-Nya
secara mutlak. Maka al-Hayyu dan al-Qayyuum ialah Yang memiliki sifat kesempurnaan dan
Dia-lah Yang memperbuat apa yang diinginkan-Nya.
59. Nuurus Samaawaati wal Ardhi (Cahaya langit dan bumi)
Allah ta’alaa berfiman,
“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya,
adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar.
Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti
mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu)
pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah
barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tida
disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada
cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki.” (An-Nuur: 35)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Yaa Allah, hanya milik-MU segala pujian, Engkaulah pemberi cahaya kepada langit
dan bumi dan siapa-siapa yang ada padanya…”
Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah tidak tidur dan tidak sepantasnya Dia tidur; menurunkan
timbangan (keadilan) dan menaikkannya; diangkat kepada-Nya amal (perbuatan)
malam hari sebelum amal siang hari dan diangkat amal siang hari sebelum amal
malam hari; hijab-Nya (tabir-Nya) adalah cahaya, andaikan Dia membukanya niscaya
cahaya dan kebesaran wajah-Nya akan membakar semua makhluk-Nya yang dilihat-
Nya.”
Syaikh Abdurrahman Nashi as-Sa’di Rahimahullah berkata, “Sebagian dari asma’ Allah dan sifat-
Nya adalah an-Nuur yang merupakan sifat-Nya yang agung. Sesungguhnya Dia memiliki kebesaran
dan keagungan, yang memiliki cahaya dan kebesaran yang jika dibuka hijab-Nya dari wajah-Nya
yang mulia, niscaya cahaya-cahaya dan kebesaran-Nya akan membakar segala sesuatu yang dilihat-
Nya dari makhluk-Nya. Dia-lah yang bercahaya dengan-Nya seluruh alam dan dengan cahaya
wajah-Nya teranglah kegelapan, dan dengan-Nya itulah ‘Arsy, Kursi, lapisan yang tujuh, dan
seluruh alam menjadi bercahaya.”
An-Nuur ada dua bagian:
1. Secara inderawi, seperti alam semesta ini yang tidak akan mempunyai cahaya, kecuali dari
cahaya-Nya.
2. Nuur maknawi, yang didapat dalam hati dan ruh yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam berupa Kitabullah (al-Qur’an) dan Sunnah Nabi-Nya. Maka mengetahui al-
Kitab dan as-Sunnah serta mengamalkan keduanya akan menerangi hati, pendengaraan, dan
penglihatan, dan ia menjadi cahaya bagi hamba di dunia maupun di akhirat.
“… Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki.” (An-Nuur: 35)
Karena Dia telah menyebutkan bahwasanya Dia-lah Yang Pemberi cahaya langit dan bumi dan Dia
memberikan nama kepada Kitab-Nya nuur dan Rasul-Nya nuur dan wahyu-Nya nuur.
Sumber: DR. Sa’id Ali bin Wahf al-Qahthani. Syarah Asma’ul Husna”. Terj. Abu Fatimah
Muhammad Iqbal Ahmad Ghazali. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2005.
Syarah Asmaul-Husna: Al-Fattaah, Ar-Razzaaq, Ar-
Raaziq
Oleh: DR. Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani / Publikasi: Kamis, 4 Februari 2016 10:38

54. Al-Fattaah (Yang Maha Pemberi keputusan)

Allah ta’alaa berfirman,

“Katakanlah, ‘Rabb kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan
antara kita dengan benar. Dan Dia-lah Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui.” (Saba’:
26)

Al-Faatih ialah keputusan Yang Maha Baik lagi Maha Pemurah, keputusan-Nya terbagi dua;
1. Keputusan-Nya dengan hukum-Nya dalam masalah agama dan keputusan-Nya dalam persoalan
pembalasan.
2. Yang Maha Pemberi keputusan dengan hukum-Nya yang bersifat qadar.
Keputusan-Nya dalam hukum agama-Nya adalah syari’at-Nya kepada apa yang diperlukan oleh
orang-orang yang diberi beban yang disampaikan lewat lisan para Rasul dan mereka tetap
konsisten di jalan yang lurus. Adapun keputusan-Nya dengan pembalasan-Nya, yaitu keputusan-
Nya di antara para Nabi dan penentang mereka, di antara kekasih dan musuh-musuh-Nya dengan
memuliakan para Nabi, pengikutnya dan menyelamatkan mereka. Allah menjadikan hina musuh-
musuh mereka serta menyiksa mereka.

Demikian pula keputusan-Nya pada hari Kiamat dan keputusan-Nya terhadap semua makhluk
ketika diberi balasan orang yang beramal sesuai dengan amalnya. Adapun keputusan-Nya yang
bersifat qadar, yaitu apa yang diputuskan-Nya terhadap hamba-Nya, yang baik dan buruk, manfaat
dan mudharat, pemberian dan pencegahan. Allah ta’alaa berfirman,

“Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorang pun
yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak ada seorang pun
yang sanggup untuk melepaskannya sesudah itu. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (Faathir: 2)

Rabb, Dia-lah Yang Maha Pemberi Keputusan, Yang Maha Tahu, Yang membuka perbendaharan
kemurahan-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang taat dan membuka kepada musuh-musuh-Nya
lawan yang demikian itu. Hal itu menunjukkan keutamaan dan keadilan-Nya.

55. Ar-Razzaaq (Yang Maha Pemberi Rizki).


56. Ar-Raaziq (Yang Memberi Rizki).

Allah ta’alaa berfirman,

“Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi Rizki.” (Adz-Dzariyaat: 58)

“… Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allahlah yang memberi
rizkinya.” (Huud: 6)

Rizki-Nya kepada hamba-hamba-Nya ada dua bagian, secara umum dan khusus;
1. Rizki umum, yaitu Dia menyampaikan kepada sekalian makhluk semua yang diperlukannya
dalam kehidupan dan menjalaninya. Dia memudahkan rizki baginya dan mengatur dalam
tubuhnya, menyalurkan kepada semua anggota tubuh yang kecil dan besar sesuatu yang diperlukan
sebagai gizi. Rizki ini berlaku umum bagi orang yang baik dan jahat, muslim dan kafir, bahkan bagi
semua anak Adam, jin, Malaikat, dan hewan seluruhnya. Rizki ini umum pula dari sisi yang lain
pada diri orang-orang yang mukallaf.

Sesungguhnya rizki itu terkadang berasal dari yang halal, yang tidak ada tanggung jawab terhadap
hamba di dalamnya. Sebaliknya, terkadang rizki itu berasal dari yang haram dan diberi nama rizki
dan nikmat dengan dilihat dari sudut pandang ini, dan dikatakan, “Allah memberi rizki
kepadanya.” Tidak ada perbedaan, apakah ia mendapatkan harta itu dari yang halal atau haram,
yang demikian itu semata-mata merupakan rizki.

2. Adapun rizki yang mutlak, ia merupakan bagian yang kedua yang itulah rizki yang khusus. Ia
adalah rizki yang memberi manfaat terus-menerus di dunia dan akhirat. Rizki inilah yang ada di
tangan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang terbagi dua;
a. Rizki hati dengan ilmu, iman dan segala hakikat yang demikian itu. Sesungguhnya hati sangat
mengharapkan agar mengetahui serta menginginkan kebenaran, juga menghamba kepada Allah
dan beribadah. Dengan demikian, kekayaan akan didapatnya dan hilanglah kefakirannya.
b. Rizki fisik dengan mendapatkan rizki yang halal yang tidak ada tanggung jawab padanya.
Sesungguhnya rizki yang dikhususkan kepada orang-orang yang beriman dan yang mereka
minta dari-Nya itu mengandung dua perkara. Maka sepatutnya bagi seorang hamba apabila ia
berdoa kepada Rabb-nya untuk mendapatkan rizki agar menghadirkan dengan hatinya dua
perkara ini. Dengan demikian, pengertian, “Ya Allah, berilah rizki kepadaku.” Artinya sesuatu
yang memperbaiki hatiku baik berupa ilmu, petunjuk, maupun ma’rifat; baik berupa keimanan
yang mencakup semua amal shalih maupun akhlak yang baik. Selain itu yang memperbaiki
tubuhku dengan mendapatkan rizki yang halal lagi mudah, yang tidak ada kesulitan dalam
mendapatkannya dan tiada keletihan merintangi-Nya.

Sumber: DR. Sa’id Ali bin Wahf al-Qahthani. Syarah Asma’ul Husna”. Terj. Abu Fatimah
Muhammad Iqbal Ahmad Ghazali. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2005.
Syarah Asmaul-Husna: Ar-Rahmaan, Ar-Rahiim, Al-
Kariim, Al-Akram, Ar-Ra-uuf
Oleh: DR. Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani / Publikasi: Kamis, 4 Februari 2016 10:33

49. Ar-Rahmaan (Yang Maha Pengasih).


50. Ar-Rahiim (Yang Maha Penyayang).
51. Al-Kariim (Yang Maha Pemurah).
52. Al-Akram (Yang Paling Pemurah).
53. Ar-Ra-uuf (Yang Maha Belas Kasihan).

Allah ta’alaa berfirman,


“Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (Al-
Faatihah: 2-3)
“… Dan barang siapa yang bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan)
dirinya sendiri dan barang siapa yang ingkar, aka sesungguhnya Rabb-ku Maha Kaya lagi
Maha Mulia.” (An-Naml: 40)
“… Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan Allah sangat penyayang
kepada hamba-hamba-Nya.” (Ali-‘Imran: 30)
Berkata Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di Rahimahullah, “Ar-Rahmaan, ar-Rahiim, al-
Barru al-Kariim, al-Jawwaad, ar-Ra-uuf, dan al-Wahhaab, asma’ tersebut maknanya berdekatan
dan semuanya menunjukkan bahwasanya Rabb bersifat rahmat, kebaikan (yang melimpah),
pemurah, sangat permurah, dan menunjukkan atas rahmat-Nya yang luas dan pemberian-Nya yang
menyeluruh terhadap semua yang ada sesuai dengan hikmah-Nya. Dari semua itu, Dia memberikan
prioritas kepada orang-orang yang beriman dengan jatah yang lebih banyak dan bagian yang lebih
sempurna.” Allah ta’alaa berfirman,
“… Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-
orang yang bertakwa.” (Al-A’raaf: 156)
Segala nikmat dan kebaikan, seluruhnya berasal dari rahmat dan kemurahan-Nya. Segala kebaikan,
baik duniawi maupun ukhrawi, semuanya berasal dari rahmat-Nya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah berkata tentang tafsir firman Allah,
“Bacalah, dan Rabb-mu lah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan
perantaraan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Al-‘Alaaq:
3-5)
Dia memberi nama dan mensifati diri-Nya dengan kemurahan. Bahwasanya Dia-lah yang paling
pemurah sesudah memberikan kabar bahwa Dia-lah yang menciptakan, agar jelas bahwa hanya
Dia-lah yang memberi nikmat kepada semua makhluk dan menyampaikan mereka kepada tujuan
yang terpuji, sebagaimana firman-Nya,
“Yang menciptakan, dan menyempurnakan (penciptaan-Nya). Dan yang menentukan kadar
(masing-masing) dan memberi petunjuk.” (Al-A’laa: 2-3)
“(Yaitu, Rabb) Yang telah menciptakan aku, maka Dia-lah yang menunjuki aku.” (Asy-Syu’araa:
78)
Penciptaan mengandung makna permulaan dan kemurahan mengandung makna kesudahan.
Sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Fatihah “Rabbil ‘aalamiin” kemudian firman-Nya “ar-
Rahmaan-ar-Rahiim”. Kalimat “al-Karam” mencakup makna segala kebaikan dan pujian,
bukanlah yang dimaksud hanya pemberian semata, tetapi pemberian adalah sebagian dari
kesempurnaan makna-Nya. Maka sesunggunya kebaikan kepada yang lain merupakan
kesempurnaan, sedangkan kebaikan yang bertubi-tubi, dan kemurahan adalah kebaikan yang
banyak dan kemudahan-Nya.
Allah mengkhabarkan bahwa Dia-lah Yang paling pemurah (al-Akram) dengan shighat tafdhiil
(menunjukkan superlatif/yang paling) dan dengan alif dan lam ma’rifat. Maka hal itu menunjukkan
bahwasanya hanya Dia-lah Yang paling pemurah. Hal ini berbeda jika Dia berkata, “Wa Rabbuka
Akram” (tanpa alif-lam), maka hal itu tidak menunjukkan hashr (pembatasan bahwa Dia-lah yang
paling pemurah). Firman-Nya (al-Akram) menunjukkan hashr dan Dia tidak mengatakan (al-
Akram min hadza), tetapi Dia memakai isim yang mutlak supaya nyata bahwa hanya Dia-lah yang
paling pemurah tanpa ada yang mengikat-Nya. Hal itu menunjukkan bahwasanya Dia bersifat
dengan kemuliaan yang sempurna yang tidak ada sesuatu pun di atas-Nya dan tidak ada
kekurangan pada-Nya.
Sumber: DR. Sa’id Ali bin Wahf al-Qahthani. Syarah Asma’ul Husna”. Terj. Abu Fatimah
Muhammad Iqbal Ahmad Ghazali. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2005.
Syarah Asmaul-Husna: Al-Barru & Al-Wahhaabِ
Oleh: DR. Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani / Publikasi: Kamis, 4 Februari 2016 10:30

47. Al-Barru (Yang Melimpahkan kebaikan)


48. Al-Wahhaab (Yang Maha Pemberi)

Allah ta’alaa berfirman,

“Sesungguhnya kami dahulu menyembah-Nya. Sesungguhnya Dia-lah yang melimpahkan


kebaikan lagi Maha Penyayang.” (Ath-Thuur: 28)

“(Mereka berdoa), “Yaa Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada
kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat
dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi (karunia).’”(Ali-‘Imran: 8)

Sebagian dari asma Alah adalah (al-Barru al-Wahhab) yang pemberian-Nya meliputi seluruh alam
dengan limpahan kebaikan, karunia, dan kemurahan-Nya. Dia-lah pelindung yang elok, terus-
menerus berbuat kebaikan, serta luas pemberian-Nya. Sifat-Nya al-Barru dan pengaruh (dampak)
dari sifat ini adalah seluruh nikmat, baik yang Nampak maupun yang tersembunyi. Tiada satu pun
makhluk yang tidak mengharapkan kebaikan dan limpahan pemberian-Nya sekejap mata pun.

Kebaikan-Nya ada yang bersifa umum dan ada yang khusus;

1. Kebaikan-Nya yang bersifat umum disebutkan di dalam firman-Nya,

“Yaa Rabb kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu.” (Al-Mu’min:7)

“… Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu…” (Al-A’raaf: 156)

“Dan apa saja nikmat yang ada pada kami, maka dari Allah-lah (datangnya)…” (An-Nahl: 53)

Ayat ini meliputi orang yang shalih dan yang fasik, penghuni langit dan bumi, yang mukallaf dan
bukan.

2. Yang bersifat khusus adalah rahmat dan nikmat-Nya (yang diberikan) kepada orang-orang yang
bertakwa, seperti dalam firman-Nya,

“… Maka akan aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan
zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami. (Yaitu) orang-orang yang
mengikut Rasuul, Nabi yang ummi…” (Al-A’raaf: 157)

“Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Al-A’raaf: 56)

Begitu pula pada do’a Nabi Sulaiman,

“… Dan masukanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang


shahih.” (An-Naml: 19)
Rahmat yang khusus ini, yang dimintai para Nabi dan para pengikutnya, yang merupakan
permohonan untuk mendapatkan taufik kepada iman, ilmu, amal, seluruh keadaan yang baik,
keberuntungan yang abadi, keberhasilan dan kesuksesan, itulah yang menjadi tujuan utama
hamba-hamba yang terpilih.

Allah yang memiliki sifat pemurah, melimpahkan karunia, dan kebaikan yang banyak, kemurahan-
Nya juga terbagi dua:
1. Kemurahan yang mutlak, yang meliputi seluruh makhluk. Dia meliputinya dengan karunia,
kemurahan dan nikmat-Nya yang beraneka ragam.
2. Kemurahan yang khsusus untuk orang yang meminta dengan perkataan dan perbuatan dari
orang yang baik ataupun jahat, Muslim atau pun kafir. Siapa pun yang meminta kepada Allah,
niscaya Dia akan memberinya dan menganugerhkan kepadanya apa yang dimintanya, karena
sesungguhnya Dia al-Barru ar-Rahiim.

“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu
ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya lah kamu meminta pertolongan.” (An-
Nahl: 53)

Sebagian dari kemurahan-Nya yang luas adalah balasan yang disediakan-Nya untuk wali-wali-Nya
di Surga yang penuh kenikmatan, sesuatu yang tidak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar
telinga, dan tidak pernah terlintas di hati manusia.

Sumber: DR. Sa’id Ali bin Wahf al-Qahthani. Syarah Asma’ul Husna”. Terj. Abu Fatimah
Muhammad Iqbal Ahmad Ghazali. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2005.
Syarah Asmaul-Husna: Al-Qudduus & As-Salaam
Oleh: DR. Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani / Publikasi: Kamis, 4 Februari 2016 09:54

45. Al-Qudduus (Yang Maha Suci)


46. As-Salaam (Yang Memberi Keselamatan)
Allah ta’alaa berfirman,
“Dia-lah Allah Yang tiada Ilah yang berhak disembah selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang
Maha Sejahtera.” (Al-Hasyr: 23)
Al-Qudduus dan as-Salaam, kedua asma’ ini memiliki makna yang berdekatan. Al-Qudduus
diambil dari qaddasa dengan arti mensucikan dan menjauhkan-Nya dari kejahatan dan kekurangan
serta membesarkan dan mengagungkan. As-Salaam di ambil dari kata as-salamah. Dia yang
selamat (terhindar) dari kesamaan dengan makhluk-Nya, dari kekurangan, dan dari segala hal yang
menafikan kesempurnaan-Nya. Dia yang disucikan, diagungkan, serta dibersihkan dari setiap
kejahatan.
Sebagian cara mensucikan-Nya dari hal yang demikian itu menetapkan sifat kibriyaa’(kebesaran)
dan keagungan bagi-Nya. Maka sesungguhnya mensucikan yang dimaksud adalah memelihara
kesempurnaan-Nya dari prasangka negatif, seperti prasangka orang-orang jahiliyyah yang
menyangka-Nya dengan persangkaan yang keji, persangkaan yang tidak pantas terhadap Allah.
Ibnu Qayyim berkata, “Nama as-Salaam artinya, Allah lebih berhak dengan nama ini dari setiap
orang yang diberi nama yang sama karena Allah Maha Suci dari setiap aib dan kekurangan. Dia-
lah as-Salaam yang haq dengan segala anggapan. Dan makhlk bernama salam dengan sandaran.
Dia terhindar pada Dzat-Nya dari setiap aib dan kekurangan yang dibayangkan oleh persangkaan.
Selamat dari setiap aib dan kekurangan, selamat dalam perbuatan-Nya dari setiap aib, kekurangan,
kejahatan, kezhaliman, dan perbuatan yang terjadi, tanpa adanya hikmah. Dia as-Salaam yang haq
dari setiap sisi dengan segala anggapan. Maka diketahui diyakini kepemilikan-Nya terhadap nama
ini lebih sempurna dari kepemilikan setiap makhluk yang dipakaikan kepadanya.”
Inilah hakikat penyucian, Dia menyucikan diri-Nya sendiri begitu pula Rasul-Nya mensucikan-Nya.
Demikian juga berdiri sendiri-Nya dan kekuasaan-Nya selamat dari kesulitan dan kelelahan. Ilmu-
Nya selamat dari kesamaran atau adanya lupa. Kehendak-Nya selamat terhindar dari keluarnya
segala keputusan-Nya akan hikmah dan mashlahat. Kalimat-Nya selamat dari kebohongan dan
kezhaliman, bahkan kalimat-Nya sempurna dengan kebenaran dan keadilan. Kekayaan-Nya
selamat dari memerlukan kepada yang lain, sekecil apa pun juga, bahkan semua makhluk-Nya
memerlukan-Nya, Dia Yang Maha Kaya dari yang lain. Kerajaan-Nya selamat dari perebutan,
sekutu, penolong, atau yang memberi syafa’at di sisi-Nya tanpa mendapat izin dari-Nya.
Ketuhanan-Nya selamat/terhindar dari adanya sekutu bagi-Nya. Dia-lah Allah yang tiada Ilah
selain Dia.
Sifat Hilm, pemaaf, pengampunan, dan tidak membalas-Nya selamat dari adanya kepentingan
darinya atau kehinaan atau pura-pura seperti yang sering terjadi pada selain-Nya. Bahkan, hal itu
tidak lain semata-mata kemurahan, kebaikan, dan kemuliaan-Nya.seperti itu juga adzab dan siksa,
sangat keras dan cepat siksa-Nya, tidak mengandung unsur kezhaliman, kepuasan hati, kasar,
bahkan hal itu semata-mata hikmah, keadilan dan meletakkan-Nya sesuatu pada tempatnya. Dia-
lah yang berhak atas pujian dan sanjungan sebagaimana ia berhak atas kebaikan, pahalaa, dan
nikmat-Nya. Bahkan, jika Dia meletakkan pahala di tempat siksa, niscaya bertentangan dengan
hikmah dan kemuliaan-Nya. Dia meletakkan siksa pada tempatnya. Itulah bagian dari keadilan,
hikmah, dan kemuliaan-Nya. Maka Dia selamat dari sangkaan musuh-musuh-Nya yang jahil dari
adanya pertentangan hikmah-Nya.
Qadha dan Qadar-Nya terhindar dari kesia-siaan dan kezhaliman, serta dari persangkaan
terjadinya perbedaan di antaranya dengan hikmah yang sangat dalam. Syariat dan agama-Nya
terhindar dari pertentangan, perbedaan, kerancuan.
Seperti itu juga pemberian-Nya, selamat dari keadaan untuk mengharapkan imbalan dan adanya
maksud kepada yang diberi. Menahan pemberian-Nya selamat dari kebakhilan dan takut fakir,
bahkan pemberian-Nya itu semata-mata kebaikan, bukan sebagai balas jasa atau ada maksud.
Menahan pemberian-Nya semata-mata karena keadilan dan hikmah-Nya yang tidak dicampuri
kebakhilan dan kelemahan.
Bersamayam dan tinggi-Nya di atas ‘Arsy terhindar dari memerlukan kepada yang membawa-Nya
atau tempat bersemayam-Nya, bahkan ‘Arsy lah yang butuh kepada-Nya dan malaikat pemikul
yang butuh kepada Allah. Dia Maha Kaya dari ‘Arsy dan para malaikat pemikul dan dari apa pun
selain Dzat-Nya. Dia-lah yang Maha Tinggi yang tidak bercampur dengan bilangan dan tiada
keperluan kepada ‘Arsy dan yang lainnya. Tiada sesuatu pun yang meliputi Allah, bahkan Dia ada
sebelum ‘Arsy ada.
Allah tidak membutuhkannya dan Dia Yang Maha Kaya dan Maha Terpuji, bahkan bersemayam-
Nya di atas ‘Arsy dan berkuasa-Nya terhadap segala makhluk sebagian dari konsekuensi dan
keharusan dari kerajaan dan keperkasaan-Nya, tanpa memerlukan ‘Arsy dan yang lainnya sedikit
pun juga.
Turun-Nya setiap malam ke langit dunia terhindar dari pertentangan dengan sifat ketinggian-Nya
dan selamat dari hal yang berlawanan dengan sifat kekayaan-Nya. Sifat kesempunaan-Nya selamat
dari setiap sangkaan kaum Mu’aththilah (menolak sifat) dan kaum yang menyamakan sifat
(Musyabbihah), serta selamat dari (sangkaan) bahwa Dia ada di bawah sesuatu atau terbatas pada
sesuatu. Maha Suci Allah Rabb kita dari setiap sifat yang berlawanan dengan kesempurnaan-Nya.
Kekayaan, pendengaran, dan penglihatan-Nya selamat dari khayalan orang yang menyerupakan-
Nya (dengan sesuatu) atau perkataan orang yang menafikan sifat-Nya.
Perlindungan-Nya kepada wali-Nya selamat dari kehinaan sebagaimana perlindungan seorang
makhluk dengan makhluk yang lain. Itu adalah perlindungan karena rahmat (kasih sayang) dan
kebaikan, sebagaimana firman-Nya,
“Dan katakanlah, ‘Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai
sekutu dalam kerajaan-Nya dan tidak mempunyai penolong (untuk menjaga-Nya) dari
kehinaan…” (Al-Israa’: 111)
Dia tidak menafikan bahwa bagi-Nya ada wali (kekasih) secara mutlak, tetapi Dia menolak adanya
wali (kekasih) disebabkan karena (untuk menjaga-Nya dari) kehinaan.
Seperti itu juga cinta-Nya kepada orang-orang yang mencintai-Nya dan wali-wali-Nya, cinta-Nya
selamat dari sifat kecintaan makhluk kepada makhluk yang dilandasi adanya maksud yang lain
atau kecintaan (nafsu) baginya atau mengharapkan manfaat dengan mendekatinya. Dia selamat
dari sesuatu yang dikatakn orang-orang yang menolak sifat Allah.
Seperti itu pula apa yang disandarkan-Nya kepada diri-Nya seperti adanya tangan dan wajah,
sesungguhnya Dia selamat dari yang dikhayalkan oleh orang yang menyerupakan Allah (dengan
makhluk-Nya) atau yang dikatakan oleh orang yang menolak sifat-Nya. Namanya as-Salaam
mencakup setiap yang disucikan-Nya dari Dzat-Nya.
Sumber: DR. Sa’id Ali bin Wahf al-Qahthani. Syarah Asma’ul Husna”. Terj. Abu Fatimah
Muhammad Iqbal Ahmad Ghazali. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2005.
Syarah Asmaul-Husna: Al-Hakam
Oleh: DR. Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani / Publikasi: Kamis, 4 Februari 2016 09:49

44. Al-Hakam (Yang menetapkan keputusan atas segala ciptaan-Nya)


Allah ta’alaa berfirman,
“Maka bersabarlah, hingga Allah menetapkan hukumnya di antara kita; dan Dia adalah Hakim
yang sebaik-baiknya.” (Al-A’raaf: 87)
“Telah sempurnalah kalimat Rabb-mu (al-Qur’an), sebagai kalimat yang benar dan adil tidak
ada yang dapat merubah kalimat-kalimat-Nya…” (Al-An’aam: 115)
“Sesungguhnya Allah memerintahkan (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan…” (An-Nahl:
90)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Maha Bijaksana dan kepada-Nya-lah segala hukum.”
Allah ta’alaa berfirman,
“Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dia-lah yang telah
menurunkan kitab (Al-Qur’an) kepadamu dengan terperinci.” (Al-An’aam: 114)
Allah yang memutuskan di antara hamba-hamba-Nya di dunia dan akhirat dengan keadilan-nya,
tidak berbuat zhalim sedikit pun, tidak membebankan kepada seseorang dosa orang lain, tidak
membalas kepada seorang hamba (dengan balasan) yang lebih banyak dari dosanya, dan Dia
menunaikan segala sesuatu/hak kepada pemiliknya. Tidaklah ia meninggalkan pemilik hak, kecuali
Allah akan menyampaikan kepadanya apa yang menjadi haknya. Dia-lah yang adil dalam
pengaturan dan keputusan-Nya. Dia-lah yang disifati dengan keadilan dalam perbuatan-Nya, dan
semua perbuatan-Nya berlaku di atas keadilan, tidak sama sekali tercampur dengan kezhaliman.
Seluruhnya berada di antara karunia dan rahmat, antara keadilan dan hikmah. Allah menempatkan
ahli maksiat dan para pendusta dengan berbagai macam kebinasaan dan kehinaan di dunia dan
adzab yang sangat hina yang telah disediakan-Nya untuk mereka di akhirat. Dia melakukan hal itu
karena mereka berhak menerimanya. Sesungguhnya Allah tidak menyiksa seseorang kecuali
dengan sebab dosa dan Dia tidak akan menyiksa, kecuali setelah menyampaikan hujjah. Semua
firman-Nya adalah keadilan. Dia tidak akan memberikan perintah kepada mereka kecuali adanya
manfaat yang nyata atau lebih dominan. Dia tidak melarang mereka, kecuali dari segala hal yang
merugikan. Demikian juga keputusan-Nya di antara hamba-hamba-Nya pada hari Kiamat,
timbangan-Nya bagi amal perbuatan mereka sangat adil, tiada kezhaliman padanya, sebagaimana
firman Allah ta’alaa,
“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari Kiamat maka tidaklah dirugikan
seseorang barang sedikit pun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawi pun pasti Kami
mendatangkan pahalanya. Dan cukuplah Kami sebagai permbuat perhitungan.”
Dia, Allah, Hakiim yang adil pada sifat, perbuatan, perkataan, dan pada keputusan-Nya. Inilah
pengertian firman-Nya,
“…Sesungguhnya Rabb-ku di atas jalan yang lurus.” (Huud: 56)
Maka sesungguhnya segala perkataan-Nya benar, segala perbuatan-Nya bergantian di antara
keadilan dan karunia. Dia-lah yang semua perbuatan-Nya tepat dan hukum-Nya di antara hamba-
hamba-Nya dalam perkara yang mereka perselisihkan adalah keputusan-keputusan yang adil, tiada
kezhaliman padanya sedikit pun, demikian pula keputusan-keputusan, pembalasan, pahala, dan
siksa.
Sumber: DR. Sa’id Ali bin Wahf al-Qahthani. Syarah Asma’ul Husna”. Terj. Abu Fatimah
Muhammad Iqbal Ahmad Ghazali. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2005.
Syarah Asma’ul-Husna: Al-Haadi
Oleh: DR. Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani / Publikasi: Kamis, 4 Februari 2016 09:45

43. Al-Haadi (Yang Memberi Petunjuk)


Allah ta’alaa berfirman,
“… Dan cukuplah Rabb-mu menjadi Pemberi Petunjuk dan Penolong.” (Al-Furqaan: 31)
“… Dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada
jalan yang lurus.” (Al-Hajj: 54)
Al-Haadi, adalah yang memberi petunjuk dan pengarahan kepada hamba-Nya segala hal yang
bermanfaat, dan memberi petunjuk untuk menolak yang mudharat, mengajarkan kepada mereka
yang tidak mereka ketahui, menunjukkan kepada mereka petunjuk taufik dan kebenaran, memberi
ilham ketakwaan kepada mereka, serta menjadikan hati mereka mengharap kepada-Nya dan
tunduk kepada perintah-Nya.
Al-Hidayah, adalah bimbingan dengan lemah lembut. Sesungguhnya petunjuk Allah kepada
manusia ada empat perkara;
Pertama, Hidayah yang meliputi setiap mukallaf berupa akal, kecerdasan, dan pengetahuan yang
mudah, yang meliputi segala sesuatu dengan kadar menurut kemampuannya, sebagaimana firman
Allah,
“.. Rabb kami adalah (Rabb) yang telah memberikan kepada kami tiap-tiap sesuatu bentuk
kejadiannya. Kemudian memberinya petunjuk.” (Thaahaa: 50)
Kedua¸ hidayah yang dijadikan oleh Allah kepada manusia dengan mengajak mereka mealu
perantara lisan para Nabi, menurunkan al-Qur’an dan yang lainnya. Inilah yang dikehendaki
dengan firman Allah,
“.. Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi
petunjuk dengan perintah Kami.” (As-Sajdah: 24)
Ketiga, taufik yang diperuntukkan bagi orang yang mendapat petunjuk, dan ini yang dimaksud
dengan firman Allah,
“… Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka…”
(Muhammad: 17)
“… Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada
hatinya…” (At-Taghaabun: 11)
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal shalih, mereka diberi
petunjuk oleh Rabb mereka karena keimanannya…” (Yunus: 9)
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami
tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami…” (Al-‘Aankabut: 69)
Keempat, petunjuk untuk menuju ke Surga di akhirat nanti, ini yang dimaksud dengan firman
Allah,
“Allah akan memberi petunjuk kepada mereka dan memperbaiki mereka.” (Muhammad: 5)
“… Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (Surga ini).” (Al-A’raaf: 43)
Empat macam hidayah ini berurutan. Sesungguhnya orang yang tidak mendapatkan hidayah yang
pertama, niscaya ia tidak akan mendapat hidayah yang kedua. Orang yang tidak mendapatkan yang
kedua, niscaya ia tidak akan mendapatkan hidayah yang ketiga, begitu seterusnya.
Dia-lah yang firman-Nya merupakan petunjuk, begitu pula semua perbuatan-Nya. Dia-lah yang
memberi petunjuk kepada orang yang bingung lagi tersesat, maka Allah memberi petunjuk
kepadanya jalan yang lurus sebagai penjelasan, pengajaran, dan taufik. Segala firman-Nya yang
bersifat ketentuan, Dia menciptakan segala sesuatu dan mengatur segala sesuatu. Semuanya adalah
haq karena mengandung hikmah, kebaikan, dan kesempurnaan. Segala firman-Nya yang ada dalam
kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya, mengandung kebenaran yang sempurna dalam segala
berita-Nya serta keadilan yang sempurna dalam perintah dan larangan. Sesungguhnya tidak ada
yang lebih benar perkataannya selain Allah,
“Telah sempurnalah kalimat Rabb-mu (Al-Qur’an) sebagai kalimat yang benar dan adil.” (Al-
An’aam: 115)
Sempurna pada kalimat ini, mencakup masalah perintah dan larangan. Itulah yang paling besar
dan paling agung dalam memberi petunjuk kepada semua hamba, bahkan petunjuk tidak akan
diperoleh tanpa kalimat tersebut. Maka siapa yang mencari petunjuk selainnya, niscaya Allah akan
menyesatkannya. Siapa yang tidak mengambil petunjuk-Nya, dia bukan orang yang mendapat
petunjuk. Maka didapatlah dengannya petunjuk keilmua, menjelaskan hakikat, dasar-dasar,
cabang-cabang, kemashlahatan, dan kemudharatan yang dinisbatkan kepada agama dan dunia.
dengannya dapat diperoleh petunjuk ilmu karena ia membersihkan jiwa, mensucikan hati,
mengajak kepada amal yang terbaik, dan akhlak yang paling mulia. Selain itu, mendorong atas
segala kehidupan dan memberikan peringatan dari setiap yang tercela dan hina. Oleh sebab itu,
siapa yang mencari petunjuk dengannya, maka dialah yang mendapat petunjuk, dan siapa yang
tidak mencari petunjuk dengannya, dialah orang yang sesat. Dia tidak akan menjadikan hujjah
kepada seseorang setelah diutusnya para Rasul dan diturunkannya kitab-kitab yang mengandung
petunjuk yang mutlak. Sudah berapa banyak orang yang dulunya sesat lalu diberi petunjuk dan
memberi petunjuk kepada orang yang bingung, lebih khusus lagi orang yang bergantung dengan-
Nya dan memohon petunjuk dari-Nya dengan ketulusan hatinya, serta meyakini bahwasanya hanya
Dia-lah yang bisa memberi petunjuk.
Setiap hidayah yang disebutkan Allah, bahwa Dia tidak memberikan-Nya kepada orang-orang yang
zhalim dan kafir, maka itulah hidayah yang ketiga (hidayah taufik dan ilham) yang hanya
didapatkan oleh orang-orang yang mendapat petunjuk.
Hidayah yang keempat adalah pahala di akhirat dan masuk ke dalam surga, sebagaimana firman-
Nya,
“… Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang zhalim.” (At-Taubah: 19)
“Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan dunia lebih
dari akhirat, dan bahwasanya Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang kafir.” (An-
Nahl: 107)
Setiap hidayah yang dinafikan oleh Allah dari Nabi dan manusia maksudnya adalah hidayah selain
yang dikhususkan, yaitu hidayah dalam bentuk mengajak (berdakwah) dan memperkenalkan jalan-
jalan (kebenaran), seperti memberi akal, taufik, dan memasukkan ke dalam Surga,
“Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah yang
memberi petunjuk (memberi taufik) kepada siapa yang dikehendaki-Nya…” (Al-Baqarah: 272)
Sumber: DR. Sa’id Ali bin Wahf al-Qahthani. Syarah Asma’ul Husna”. Terj. Abu Fatimah
Muhammad Iqbal Ahmad Ghazali. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2005.
Syarah Asma’ul-Husna: Al-Jabbaar & Al-Hasiib
Oleh: DR. Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani / Publikasi: Kamis, 4 Februari 2016 09:37

41. Al-Jabbaar (Yang Maha Perkasa)


Allah ta’alaa berfirman,
“Dia-lah Allah Yang tiada Illah (yang berhak disembah) selain Dia, Raja, Yang Maha
Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang mengaruniakan keamanan, Yang Maha
Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa…” (Al-Hasyr: 23)
Bagi al-Jabbaar dari asma’-Nya Yang Maha Indah ada tiga makna yang semuanya termasuk
dalam nama-Nya;
1. Dia-lah yang mencukupkan yang lemah dan setiap hari yang tertunduk karena-Nya, menjadikan
kaya orang yang fakir, memudahkan orang yang mendapat musibah, kesusahan dengan taufik-Nya
untuk selalu bersabar dan tabah. Selain itu menggantikan musibahnya dengan pahala yang besar
apabila ia melaksanakan kewajibannya (bersabar), memperbaiki hati orang yang tunduk bagi
kebesaran dan keagungan-Nya dengan perbaikan yang khusus dan hati orang-orang yang cinta
dengan melimpahkan berbagai macam kemuliaan-Nya.
2. Bahwa Dia-lah Yang Maha perkasa, menguasai segala sesuatu.
3. Bahwa Dia Yang Maha Tinggi atas segala sesuatu. Maka jadilah al-Jabbaar, mengandung
makna ar-Ra-uuf, al-Qahhaar, dan al-‘Aliy.
4. Terkadang yang dimaksud adalah makna yang keempat ini, yaitu Dia-lah Yang memiliki segala
keagungan dari setiap kekurangan, dari persamaan dengan seseorang, dan dari adanya yang setara
atau sebanding atau sama atau sekutu pada keistimewaan dan segala hak-Nya.
42. Al-Hasiib (Yang memberi kecukupan dengan kadar yang tepat)
Allah ta’alaa berfirman,
“… Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).” (An-Nisaa’: 6)
“… Ketahuilah, bahwa segala hukum (pada hari itu) kepunyaan-Nya. Dan Dia-lah
Pembuat perhitungan yang paling cepat.” (Al-An’aam: 62)
Al-Hasiib:
1. Dia-lah yang memberi kecukupan bagi hamba-hamba-Nya segala hal yang sangat mereka
perlukan, baik perkara agama maupun dunia, baik mendapatkan manfaat maupun menolak
bahaya.
2. Al-Hasiib dengan makna yang lebih khusus adalah yang mencukupkan bagi hamba-Nya yang
bertakwa, bertawakkal kepada-Nya, yaitu kecukupan yang khusus, dengan hal itu dapat
memperbaiki agama dan (kehidupan) dunia mereka.
3. Al-Hasiib juga bermakna memelihara semua perbuatan hamba-Nya, baik dan buruk serta
menghitung amal perbuatan mereka. Jika (amal) perbuatannya baik, baik juga balasannya. Jika
perbuatannya buruk, buruk pula balasannya.
Allah ta’alaa berfirman,
“Wahai Nabi, cukuplah Allah (menjadi pelindung) bagimu dan bagi orang-orang
mukmin yang mengikutimu.” (Al-Anfaal: 64)
Maksudnya, Dia memberi kecukupan (melindungi) kamu dan pengikutmu. Perlindungan Allah
kepada hamba-Nya tergantung kadar mutaba’ahnya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam secara zhahir dan bathin, juga kadar ibadahnya kepada Allah.
Sumber: DR. Sa’id Ali bin Wahf al-Qahthani. Syarah Asma’ul Husna”. Terj. Abu Fatimah
Muhammad Iqbal Ahmad Ghazali. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2005.
Syarah Asma’ul-Husna: As-Sayyid, Ash-Shamad,
Al-Qaabir, Al-Qahhaar
Oleh: DR. Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani / Publikasi: Kamis, 4 Februari 2016 09:26

37. As-Sayyid (Yang Maha Mulia, Penguasa)


38. Ash-Shamad (Yang Maha Sempurna, Bergantung kepada-Nya segala sesuatu)
Allah ta’alaa berfirman,
“Katakanlah, ‘Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Ilah yang bergantung kepada-Nya
segala urusan.’” (Al-Ikhlas: 1-2)
Begitu pula sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “As-Sayyid adalah Allah.”
“As-Sayyid” digunakan untuk ar-Rabb, al-Maalik (yang memiliki), asy-Syariif (yang mulia), al-
Faadhil (yang mempunyai kelebihan), al-Kariim (yang mulia), al-Haliim (yang penyantun), ar-
raiis (kepala/pemimpin), az-zauj (suami), dan orang yang memikul gangguan kaumnya. Allah,
Dia-lah as-Sayyid yang memiliki dan mengendalikan makhluk dan memimpin mereka.
Kepemimpinan secara hakikat, semuanya milik Allah dan semua makhluk adalah hamba-Nya. Hal
ini tidak menafikan kepemimpinan yang disandarkan yang ditentukan bagi sebagian manusia.
Kepemimpinan Yang Maha Pencipta bukan seperti kepemimpinan makhluk yang lemah.
Ash-Shamad, maknanya, yang menyeluruh, yang termasuk di dalamnya setiap hal yang dijelaskan
oleh nama yang mulia ini adalah semua makhluk bergantung kepada-Nya dengan hina, butuh, dan
sangat memerlukan, seluruh alam meminta pertolongan kepada-Nya. Dia yang sempurna pada
ilmu, kebijaksanaan, santun, kekuasaan-Nya, kebesaran, dan rahmat-Nya, dan semua sifat-Nya.
Maka ash-Shamad adalah Dia yang memiliki sifat yang sempurna, Dia-lah yang dituju semua
makhluk dalam setiap keperluan.
Dia-lah as-Sayyid yang sempurna dalam kepemimpinan-Nya, al-‘Aliim yang sempurna dalam
ilmu-Nya, al-Haliim yang sempurna dalam santunan-Nya, al-Ghaniy yang sempurna dalam
kekayaan-nya, al-Jabbaar yang sempurna dalam keperkasaan-Nya, asy-Syariif yang sempurna
dalam kemuliaan-Nya, al-‘Azhiim yang sempurna dalam kebesaran-Nya, al-Hakiim Yang sempurna
dalam kebijaksanaan-Nya. Dia yang sempurna dalam berbagai macam kemuliaan dan
kepemimpinan, Dia-lah Allah. Ini adalah sifat yang tidak layak kecuali hanya untuk-Nya, tidak ada
bagi-Nya yang setara dan tidak ada sesuatu yang seperti-Nya. Maha Suci Allah Yang Maha Esa lagi
Maha Perkasa.
39. Al-Qaabir (Yang Mempunyai Kekuasaan tertinggi)
40. Al-Qahhaar (Yang Maha Mengalahkan)
Allah ta’alaa berfirman,
“… Katakanlah, ‘Allah adalah pencipta segala sesuatu dan Dia-lah Rabb Yang Maha Esa lagi
Maha Perkasa.’” (Ar-Ra’d: 16)
Allah ta’alaa berfirman,
“(Yaitu) hari (ketika) mereka keluar (dari kubur), tiada suatu pun dari keadaan mereka yang
tersembunyi bagi Allah. (Lalu Allah berfirman), ‘Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini?’
Kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi maha Mengalahkan.” (Al-Mu’min: 16)
“Dan Dia-lah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya dan Dia-lah Yang Maha
Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (Al-An’am: 18)
Dia-lah yang menguasai seluruh alam, tunduk kepada-Nya semua makhluk, tunduk, taat, hina bagi
kekuasaan dan kehendak-Nya semua bahan dan unsur yang ada di alam semesta. Tiada terjadi
sesuatu yang terjadi dan tidak diam sesuatu yang diam, kecuali dengan izin-Nya. Apa yang
dikehendaki-Nya, pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya, niscaya tidak akan terjadi.
Semua makhluk fakir dan lemah di hadapan Allah. Mereka tidak dapat memiliki untuk diri mereka
manfaat, mudharat, kebaikan, dan keburukan.
Sumber: DR. Sa’id Ali bin Wahf al-Qahthani. Syarah Asma’ul Husna”. Terj. Abu Fatimah
Muhammad Iqbal Ahmad Ghazali. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2005.
Syarah Asma’ul-Husna: Al-Waduud, Asy-Syaakir,
Asy-Syakuur
Oleh: DR. Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani / Publikasi: Kamis, 28 Januari 2016 13:43

34. Al-Waduud (Yang Maha Pengasih)


Allah berfirman,
“Dan mohonlah ampun kepada Rabb-mu kemudian bertaubatlah kepada-Nya.
Sesungguhnya Rabb-ku Maha Penyayang lagi Maha Pengasih.” (Huud: 90)
“Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih…” (Al-Buruuj: 14)
Al-Wadd berasal dari lafazh al-Wudd, dibaca dengan dhammah waw yang berarti cinta yag
murni. Maka al-Waduud adalah yang mencintai dan dicintai. Berarti (Yang Mengasihi) para Nabi,
Malaikat, hamba-Nya yang beriman. Dia-lah yang dicintai oleh mereka. Bahkan, tidak ada yang
lebih dicintai oleh mereka selain Dia. Cinta para kekasih-Nya kepada-Nya tidak bisa diimbangi
dengan kecintaan kepada apa pun juga, baik hakikatnya maupun kaifiyyat-nya, ataupun kaitan-
kaitannya. Cinta kepada Allah sepeti ini yang harus ada pada setiap hati hamba, mendahului dan
mengalahkan semua cinta, dan segala yang dicintai harus mengikuti kecintaan kepada-Nya.
Cinta kepada Allah adalah ruh ibadah. Semua penghambaan yang zhahir dan bathin berawal dari
kecintaan kepada Allah. Kecintaan hamba kepada Rabb-nya adalah karunia dan ihsan dari Allah,
bukan berasal dari daya dan kekuatan hamba. Dia yang memberikan kecintaan kepada hamba-Nya
dan menjadikan kecintaan tertanam dalam hatinya. Kemudian, tatkala hamba mencintai-Nya
dengan taufik-Nya, Allah membalasnya dengan cinta yang lain. Ini adalah ihsan(perbuatan baik)
yang sebenar-benarnya sebab berasal dari-Nya dan akibat juga dari-Nya. Bukanlah yang dimaksud
dengannya sebagai balas budi. Bahwasanya yang demikian itu kecintaan dari Allah kepada hamba-
Nya yang bersyukur dan karena syukur mereka. Semua mashlahat akhirnya berpulang kepada
hamba. Maha Suci Allah yang menjadikan dan menitipkan rasa cinta di hati hamba-Nya yang
beriman. Kemudian, Ia senantiasa menambahkannya (cinta) dan menguatkannya sehingga
sampailah cinta tersebut di hati mereka dalam kondisi ketika semua yang disukai menjadi kecil di
sisinya. Cinta itu menjadikan mereka membenci segala yang disukai, musibah terasa mudah,
kesusahan melaksanakan ketaatan terasa enak, dan semua itu membuahkan berbagai macam
kemuliaan (karamah) yang mereka kehendaki. Yang tertinggi adalah cinta Allah, keberuntungan
mendapat ridha-Nya, dan tentang berada di dekat-Nya.
Kecintaan seorang hamba kepada Rabb-nya diliputi dengan dua cinta dari Rabb-nya, cinta
sebelumnya sehingga jadilah ia mencintai Rabb-nya dengannya (cinta) dan cinta sesudahnya
sebagai syukur dari Allah atas cinta sehingga jadilah ia termasuk kekasih-kekasih-Nya yang ikhlas.
Usaha terbesar yang diupayakan seorang hamba untuk mendapat cinta Rabb-nya dan merupakan
tuntunan terbesar adalah memperbanyak dzikir dan memuji-Nya, banyak bertaubat kepada-Nya,
tawakkal yang kuat dan selalu mendekatkan diri kepada-Nya dengan ibadah wajib dan Sunnah,
serta mewujudkan keikhlasan kepada-Nya dalam setiap perkataan dan perbuatan, dan selalu
mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik secara zhahir dan bathin. Seperti firman
Allah,
“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihimu…” (Ali ‘Imran: 31)
35. Asy-Syaakir (Yang mensyukuri amal kebaikan hamba-Nya)
36. Asy-Syakuur (Yang Maha Mensyukuri)
Allah ta’alaa berfirman,
“… Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka
sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah:
158)
“Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah
melipatgandakan (pembalasannya) kepadamu dan mengampuni kamu. Dan Allah
Maha Pembalas jasa lagi Maha Penyantun.” (Ath-Thaghaabun: 17)
“… Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui.” (An-Nisaa’: 147)
Sebagian dari asma’-Nya adalah asy-Syaakir asy-Syakuur, yang tidak pernah sia-sia usaha
orang yang beramal karena mengharapkan wajah-Nya, bahkan Allah akan menggandakannya
beberapa kali lipat.
Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang yang melakukan perbuatan baik. Dia telah
menceritakan dalam kitab-Nya (al-Qur’an) dan Sunnah Nabi-Nya bahwa Dia akan
melipatgandakan satu kebaikan dengan sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat, sampai kepada
kelipatan yang banyak. Hal itu sebagai syukur-Nya bagi hamba-Nya. Maka dengan pengawasan-
Nya apa yang dipikul oleh orang yang memikul karena-Nya. Siapa yang melakukan (ibadah)
karena-Nya, niscaya Ia akan memberinya di atas yang sudah ditambah. Siapa yang meninggalkan
sesuatu (yang dilarang) karena-Nya, niscaya Ia akan menggantikannya dengan yang lebih baik. Dia
yang memberi taufik kepada hamba-Nya untuk mendapatkan keridhaan-Nya kemudian
mensyukuri dan memberi mereka sebagian dari kemulian-Nya (karamah-Nya), yang tidak pernah
dilihat mata, tidak pernah didengar telinga, dan tidak pernah terbayang dalam hati manusia.
Semua ini bukan hak yang wajib atas-Nya. Hanya saja, Ia mewajibkan hal itu kepada diri-Nya
sebagai kemurahan dari-Nya.
Tidak ada paksaan atas-Nya jika ada hamba yang mengharuskan kepada-Nya (untuk melakukan)
sesuatu. Allah berfirman,
“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan mereka lah yang akan
ditanyai.” (Al-Anbiyaa’: 23)
Memberi pahala kepada orang yang taat bukan sebuah keharusan bagi Allah. Demikian pula
menyiksa orang yang durhaka (bukan keharusan bai Allah), juga memberi pahala hanya semata-
mata karunia dan ihsan-Nya, dan menyiksa itu semata-mata keadilan dan hikmah-Nya
(kebijaksanaan-Nya). Allah mewajibkan kepada diri-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Maka hal itu
menjadi wajib kepada-Nya karena tuntutan janji-Nya yang pasti ditepati. Seperti firman Allah,
“… Rabb-mu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang, (yaitu) bahwasanya barang
siapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan kemudian ia
bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-An’aam: 54)
“… Dan kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman.” (Ar-Ruum: 47)
Bahwasanya madzhab Ahlus Sunnah meyakini bahwa seorang hamba tidak memiliki hak untuk
mewajibkan sesuatu terhadap Allah. Apabila ada sesuatu yang hak, maka Dia-lah yang
mewajibkannya (menjadikan hal itu wajib atas-Nya). Karena itu, tidak ada ibadah yang sia-sia di
sisi-Nya, yaitu ibadah yang terlaksana atas dasar ikhlas dan mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Sebab keduanya adalah syarat yang sangat mendasar untuk diterimanya semua
ibadah.
Apapun yang menimpa seorang hamba, baik nikmat (yang diperoleh) atau terhindar dari bahaya,
semua itu berasal dari Allah sebagai karunia dan kemurahan dari-Nya. Jika Ia memberikan nikmat,
hal itu dari karunia dan ihsan-Nya. Jika Ia menyiksa mereka maka itu dengan keadilan dan
kebijaksanaan-Nya. Dia-lah Yang dipuji atas semua itu.
Sumber: DR. Sa’id Ali bin Wahf al-Qahthani. Syarah Asma’ul Husna”. Terj. Abu Fatimah
Muhammad Iqbal Ahmad Ghazali. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2005.
Syarah Asma’ul-Husna: Al-Qariib & Al-Mujiib
Oleh: DR. Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani / Publikasi: Kamis, 28 Januari 2016 13:33

32. Al-Qariib (Yang Maha Dekat)

Allah ta’alaa berfirman,

“… Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan pemakmuranya. Karena itu,
mohonlah ampunan-Nya kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Rabbku amat dekat
(rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya).” (Huud: 61)

Di antara asma’-Nya adalah al-Qariib, dan dekat-Nya terbagi menjadi dua;

Pertama, dekat yang bersifat umum, yaitu ilmu-Nya yang meliputi segala sesuatu dan Dia lebih
dekat kepada manusia daripada urat leher, dan Dia dalam pengertian ma’iyyah(bersama) yang
umum.

Kedua, dekat yang bersifat khusus dengan mereka yang berdoa dan beribadah serta cinta, yaitu
dekat yang membawa kepada cinta, pertolongan, dan bantuan dalam semua gerak dan diam,
jawaban (dikabulkan permohonan) bagi orang yang berdoa, diterima dan diberi pahala kepada
mereka yang beribadah. Allah ta’alaa berfirman,

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),


bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia
memohon kepada-Ku..” (Al-Baqarah: 186)

Apabila makna dekat sudah dipahami seperti pengertian di atas, pada yang umum dan khusus,
niscaya tidak ada perbedaan sama sekali antara sifat ini dengan sifat yang sudah dimaklumi
tentang adanya Allah di atas ‘Arsy-Nya. Yang Maha Tinggi pada kedekatan-Nya, Maha Dekat pada
ketinggian-Nya.

33. Al-Mujiib (Yang Mengabulkan/Yang Memperkenankan)

Sebagian dari asma’-Nya adalah al-Mujiib bagi doa orang yang berdoa, permintaan orang yang
meminta, dan ibadah orang yang beribadah. Pengabulan-Nya terbagi dua;

Pertama, Pengabulan yang bersifat umum bagi setiap orang yang berdoa, baik doa yang berupa
ibadah maupun doa yang berupa permintaan (mas-alah). Allah berfirman,

“Dan Rabbmu berfirman, ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu..” (Al-
Mu’min: 60)

Doa permintaan adalah seperti seorang hamba berkata, “Yaa Allah, berilah saya seperti ini, atau,
Yaa Allah hindarkanlah saya dari yang seperti ini.” Doa/perkataan tadi dilakukan oleh orang baik
dan fasik. Allah mengabulkan hal itu bagi setiap orang yang berdoa menurut tuntunan keadaan dan
menurut kebijaksanaan-Nya. Ini menjadi dalil kemurahan Allah dan ihsan-Nya yang mencakup
orang yang shalih dan fasik. Hal ini semata-mata tidak menunjukkan baiknya keadaan orang yang
berdoa, yang diperkanankan doanya, selama tidak adanya indikasi yang menunjukkan baiknya
orang tersebut dan kebenaran yang menyertainya. Seperti permohonan dan doa para Nabi untuk
menyertainya. Seperti permohonan dan doa para Nabi untuk (kebaikan) kaumnya dan atas
(kebinasaan) kaumnya, lalu Allah mengabulkan doa mereka. Hal itu mengindikasikan kebenaran
mereka terhadap apa yang mereka bawa dan kemuliaan Rabb mereka. Karena inilah, seringkali
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa dan dikabulkan Allah, yang disaksikan oleh orang
banyak, kaum muslimin dan non muslim. Hal itu mengindikasikan kenabiannya dan tanda
kebenarannya. Seperti itu pula yang sering disebutkan tentang terkabulnya doa para wali Allah,
sesungguhnya semua itu menunjukkan karamah (kemuliaan) mereka terhadap Allah,

Kedua, Adapun pengabulan yang khusus ada beberapa sebab, di antaranya adalah doa orang yang
kesulitan, yang tertimpa kesusahan, dan terkena musibah yang besar/berat. Allah berfirman,

“Atau siapakah yang menjawab (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-
Nya…” (An-Naml: 62)

Sebab yang demikian adalah pengharapan yang sangat kepada Allah, dengan sangat merendah dan
terputusnya harapan dengan makhluk karena luasnya rahmat Allah yang meliputi semua makhluk
menurut kebutuhan mereka kepadanya (rahmat Allah). Bagaimana pula dengan orang yang
kesulitan dan berhajat kepada rahmat tersebut?

Sebagian dari sebab dikabulkannya doa adalah perjalanan yang jauh dan bertawassul kepada Allah
dengan wasilah (perantara) yang paling disukai-Nya, seperti asma’, sifat, dan segala nikmat-Nya.
Demikian pula doa orang yang sakit, yang dizhalimi, orang yang berpuasa, doa seorang ayah atas
(kebinasaan) anaknya atau untuk kebaikannya. Doa itu dipanjatkan pada waktu dan keadaan yang
mulia, seperti akhir shalat, waktu-waktu sahur, antara adzan dan iqamat, ketika adzan, turun
hujan, musibah yang berat dan seumpama yang demikian itu.

Sumber: DR. Sa’id Ali bin Wahf al-Qahthani. Syarah Asma’ul Husna”. Terj. Abu Fatimah
Muhammad Iqbal Ahmad Ghazali. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2005.
Syarah Asma’ul-Husna: Al-Hafiizh & Al-Lathiif
Oleh: DR. Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani / Publikasi: Kamis, 28 Januari 2016 13:25

30. Al-Hafiizh (Yang Maha Pemelihara)


Allah ta’alaa berfirman,
“… Sesungguhnya Rabbku Maha Pemelihara segala sesuatu.”
Al-Hafiizh memiliki dua makna;
Pertama, bahwa Dia memelihara hamba-Nya, apa saja yang mereka perbuat, yang baik dan yang
buruk, taat dan maksiat. Ilmu-Nya meliputi semua perbuatan mereka, yang zhahir dan bathin.
Allah telah menulisnya (menetapkan) di Lauhul Mahfuzh. Dia menjadikan malaikat kiraaman
kaatibiin sebagai pengawas (pemelihara) hamba, yaitu mereka mengetahui yang hamba lakukan.
Pemeliharaan yang dimaksud di sini menuntut suatu pengertian bahwa ilmu Allah meliputi semua
keadaan hamba, zhahir dan bathin (yang ada) di Lauhul Mahfuzh dan di lembaran-lembaran
yang ada di tangan malaikat. Pengetahuan tentang kadarnya, kesempurnaan, kekuarangan, dan
kadar balasannya, baik pahala maupun siksa, maka Dia memberikan balasan atas semua itu dengan
karunia dan adil-Nya.
Kedua, dari dua pengertian al-Hafiizh, diketahui bahwa Allah, Dia-lah yang menjaga hamba-Nya
dari segala apa yang mereka benci. Pemeliharaan Allah terhadap hamba-Nya terbagi dua, yaitu
secara umum dan khusus.
Secara umum, yaitu pemeliharaan kepada semua makhluk dengan memudahkan baginya segala hal
yang menjaga kelangsungan hidupnya, berjalan kepada petunjuk-Nya, dan kepada kebaikannya
dengan petunjuk dan arahan-Nya yang umum yang difirmankan-Nya,
“… Yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian
memberinya petunjuk.” (Thaahaa: 50)
Maksudnya, memberi petunjuk kepada setiap makhluk terhadap segala sesuatu yang telah
ditakdirkan dan ditentukan baginya untuk segala keperluannya, seperti petunjuk untuk makan,
minum, menikah, dan berusaha untuk mendapatkan hal itu. Hal itu seperti Dia menolak dari
mereka berbagai macam bahaya dan mudharat. Pemeliharaan seperti ini didapatkan oleh orang
yang shalih dan fasik, bahkan semua makhluk hidup. Dia yang memelihara langit dan bumi dari
kehancuran, dan segala makhluk dengan nikmat-Nya. Dia menjadikan beberapa malaikat sebagai
pengawas yang memeliharanya dari ketetapan-Nya. Maksudnya, mereka memelihara hamba dari
setiap yang mengganggunya. Andaikan tidak mendapatkan perlindungan dari Allah, mereka akan
mendapat bahaya.
Pemeliharaan-Nya yang khusus, yakni bagi wali-wali-Nya selain yang terdahulu. Dia memelihara
dari setiap yang membahayakan iman mereka atau menggoncangkan imannya, berupa syubhat,
fitnah, dan syahwat. Dia menjaga dan mengeluarkan mereka dari hal itu dengan selamat,
terpelihara, dan memelihara mereka dari semua musuh dari bangsa jin dan manusia. Menolong
dan melindungi mereka dari tipu daya musuh. Allah ta’alaa berfirman,
“… Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang telah beriman.” (Al-Hajj: 38)
Hal ini berlaku umum dalam menolak semua yang membahayakan agama dan dunia mereka.
Menurut kadar keimanan seorang hamba, sebesar itulah perlindungan/pemeliharaan Allah
kepadanya dengan kelembutan-Nya. Dalam sebuah hadits disebutkan,
“Peliharalah Allah, niscaya Allah akan memeliharamu.”
Maksudnya, peliharalah perintah Allah dengan melaksanakannya dan peliharalah larangan-Nya
dengan menjauhinya. Peliharalah batasan-batasan-Nya dengan tidak melewatinya, niscaya Ia akan
memeliharamu pada diri, agama, harta, anak, dan semua yang diberikan Allah kepadamu sebagai
karunia-Nya.
31. Al-Lathiif (Yang Maha Lembut terhadap hamba-Nya)
Allah ta’alaa berfirman,
“Allah Maha Lembut terhadap hamba-hamba-Nya; Dia memberi rizki kepada siapa
yang dikehendaki-Nya dan Dia lah Yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (Asy-Syuura:
19)
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala
penglihatan itu dan Dia-lah Yang Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.” (Al-An’aam:
103)
Al-Laathif termasuk nama-Nya yang husna (indah). Dia-lah yang bersifat lembut terhadap
hamba-Nya dalam semua perkara tersembunyi, yang berhubungan dengan dirinya, lembut
terhadap hamba-Nya dalam perkara yang tidak diketahuinya. Ini adalah pengaruh dari ilmu,
kemurahan, dan rahmat-nya. Karena inilah makna al-Lathiif terbagi dua bagian;
Pertama, bahwasanya Dia-lah Yang Maha Mengetahui dengan ilmu-Nya, yang meliputi segala
rahasia yang di dalam, tersimpan, samar, suara hati, perkara ghaib, dan yang terkecil dari segala
sesuatu.
Kedua, adalah lembut-Nya dengan hamba dan wali-Nya yang ingin mendapatkan kesempurnaan
ihsan¬-Nya, kemurahan-Nya yang menyeluruh, dan menaikkannya kepada derajat yang tinggi.
Maka Allah memudahkannya untuk mendapatkan yang mudah, menjauhkannya dari kesusahan,
dan memberikan kepadanya berbagai macam cobaan yang dibenci dan menyusahkannya, padahal
semua itu adalah untuk kebaikannya dan jalan untuk mendapatkan keberuntungannya.
Sebagaimana Ia memberikan cobaan kepada para Nabi dengan berbagai gangguan dari kaumnya
dan berjihad di jalan-Nya. Sebagaimana yang diceritakan Allah tentang Nabi
Yusuf ‘Alaihissalaam, bagaimana derajatnya terangkat dan Allah bersifat lembut kepadanya.
Allah telah menyediakan di balik semua peristiwa itu hasil yang baik di dunia dan akhirat, dengan
takdir yang telah ditentukan-Nya, seperti Ia menguji para wali-Nya dengan segala cobaan yang
tidak mereka sukai agar mendapatkan yang mereka inginkan nanti di kemudian hari.
Begitu banyak kelembutan dan kemurahan yang tidak bisa dipahami (oleh manusia) dan tidak
terbayangkan. Sering kita temukan seorang hamba yang sangat menginginkan sesuatu berupa
perkara dunia seperti kekuasaan, pangkat, dan sebab-sebab yang disukai, lalu Allah
memalingkannya dari dunia, dan memalingkan dunia darinya karena sayang kepadanya, agar
dunia itu tidak membahayakan agamanya. Kemudian hamba tersebut berduka cita karena
kebodohannya dan tidak mengenal Rabb-nya. Jika ia mengetahui yang disimpan untuknya, dari
perkara yang ghaib dan kebaikan yang diinginkan untuknya, niscaya ia akan memuji Allah dan
bersyukur kepada-Nya terhadap semua itu. Maka sesungguhnya Allah Maha Belaskasih, Maha
Penyayang, dan Maha Lembut dengan para wali-Nya. Dalam sebuah haditsnya yang ma’tsur,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Yaa Allah, rizki apa pun yang Engkau berikan kepadaku dari apa yang aku sukai,
jadikanlah hal itu kekuatan bagiku kepada apa yang Engkau sukai. Apa pun yang
Engkau jauhkan dariku dari apa yang aku sukai, jadikanlah hal itu kekosongan
bagiku pada apa yang Engkau sukai.”
Sumber: DR. Sa’id Ali bin Wahf al-Qahthani. Syarah Asma’ul Husna”. Terj. Abu Fatimah
Muhammad Iqbal Ahmad Ghazali. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2005.
Syarah Asma’ul-Husna: At-Tawwaab, Ar-Raaqib,
Asy-Syahiid
Oleh: DR. Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani / Publikasi: Kamis, 28 Januari 2016 13:15

27. At-Tawwaab (Yang Maha Penerima Taubat)


Allah ta’alaa berfirman,
“Tidaklah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima taubat hamba-hamba-Nya dan
menerima zakat, dan bahwasanya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (At-
Taubat: 104)
At-Tawwaab, yang senantiasa menerima taubat orang-orang yang bertaubat dan mengampuni
dosa orang-orang yang memohon ampunan. Maka setiap orang yang bertaubat kepada Allah
dengan sebenar-benar taubat, niscaya Allah akan menerima taubatnya.
Bermula Dia memberi taufik kepada mereka untuk bertaubat dan menghadapkan hati mereka
kepada-Nya. Dia-lah yang menerima taubat terhadap mereka setelah bertaubat, dengan menerima
taubatnya dan mengampuni kesalahan mereka.
Atas dasar inilah penerimaan taubat-Nya terhadap hamba-hamba-Nya terbagi dua;
Pertama, memberikan di hati hamba-Nya keinginan untuk bertaubat dan kembali kepada-Nya.
Kemudian ia melaksanakan taubat dengan syarat-syaratnya, yaitu berhenti melakukan maksiat,
menyesali telah melakukannya, berniat/berjanji tidak akan melakukannya lagi, dan menggantinya
dengan amal shalih.
Kedua, taubat-Nya terhadap hamba-Nya dengan mengabulkan, menerima, dan menghapus dosa
dengannya (taubat). Sesungguhnya taubat yang sebenar-benarnya menghapus dosa sebelumnya.
28. Ar-Raaqib (Yang Maha Mengawasi)
Yang mengawasi segala yang disembunyikan hati, yang memperhatikan setiap jiwa terhadap apa
saja yang dilakukannya.
Allah ta’alaa berfirman,
“… Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (An-Nisaa: 1)
Ar-Raaqib, Dia yang memelihara semua makhluk dan mengaturnya sebaik-baik tatanan dan
sesempurna pengaturan.
29. Asy-Syahiid (Yang Maha Menyaksikan)
Yang menyaksikan semua makhluk. Mendengar semua suara, yang tersembunyi dan yang Nampak.
Melihat segala yang ada, yang samar dan yang jelas, yang kecil dan yang besar, ilmu-Nya meliputi
segala sesuatu. Yang menyaksikan untuk dan atas semua hamba-Nya dengan yang mereka ketahui.
Syaikh Abdurrahman Nashir as-Sa’di berkat, “Ar-Raqiib dan Asy-Syahiid adalah sinonim,
keduanya menunjukkan pendengaran Allah yang meliputi segala yang didengar dan penglihatan-
Nya meliputi segala yang dilihat, ilmu-Nya yang meliputi segala sesuatu, yang nampak dan yang
samar. Dia Yang Maha Menyaksikan apa yang bekerja dalam pikiran dan gerakan mata, apalagi
perbuatan yang tampak dengan anggota tubuh. Allah ta’alaa berfirman,
“… Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (An-Nisaa’: 1)
“… Dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.” (Al-Mujaadilah: 6)
Karena sebab inilah, al-Muqaarabah merupakan amal ibadah hati yang paling tinggi, yaitu
beribadah kepada Allah dengan nama-Nya ar-Raaqib, asy-Syahiid. Apabila hamba meyakini
bahwa geraknya yang tampak dan tersembunyi diketahui Allah sehingga menghadirkan keyakinan
ini dalam setiap keadaannya, niscaya hal itu menjadikannya pengawasan yang tersembunyi dari
setiap pikiran dan lintasan hati yang menyebabkan murka Allah. Dia memelihara zhahirnya
(anggota tubuhnya) dari setiap perkataan atau perbuatan yang menyebabkan murka Allah dan
beribadah dengan derajat ihsan, maka dia beribadah kepada Allah seolah-olah dia melihat-Nya.
Jika tidak sanggup seperti itu, hendaklah ia meyakini bahwa sesungguhnya Allah melihatnya.
Apabilah Allah Maha Mengawasi segala yang samar, menyaksikan segala rahasia, dan niat, tentu
Dia lebih menyaksikan yang nyata dan tampak, yaitu perbuatan yang dilakukan anggota tubuh.
Sumber: DR. Sa’id Ali bin Wahf al-Qahthani. Syarah Asma’ul Husna”. Terj. Abu Fatimah
Muhammad Iqbal Ahmad Ghazali. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2005.
Syarah Asma’ul-Husna: Al-Haliim, Al-‘Afuww, Al-
Ghafuur, Al-Ghaffaar
Oleh: DR. Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani / Publikasi: Kamis, 28 Januari 2016 13:07

23. Al-Haliim (Yang Maha Penyantun)

Allah ta’alaa berfirman,

“… Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah
kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (Al-Baqarah:
235)

Yang mencurahkan segala nikmat yang zhahir dan bathin, kepada para makhluk-Nya, padahal
mereka banyak berbuat maksiat dan kesalahan. Dia bermurah hati menghadapi orang-orang yang
durhaka dengan kedurhakaan mereka. Dia menegur mereka agar bertaubat dan menangguhkan
(adzab) kepada mereka agar mereka kembali. Dialah yang bagi-Nya sifat santun yang sempurna,
yang meliputi orang kafir, fasik, dan durhaka, Dia menangguhkan (adzab) bagi merek dan tidak
menyiksa mereka secara langsung (setelah mereka berbuat maksiat) agar mereka bertaubat. Jika
Dia menghendaki, Ia bisa menurunkan adzab dikarenakan dosa yang mereka lakukan dengan
segera. Sesungguhnya dosa mendatangkan berbagai macam siksa yang segera, namun sifat santun-
Nya menuntut penangguhan (adzab) kepada mereka. Seperti firman Allah ta’alaa,

“Dan jika sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak akan
meninggalkan di atas permukaan bumi suatu makhluk yang melata pun. Akan tetapi, Allah
menangguhkan (penyiksaan) mereka, sampai waktu yang tertentu; maka apabila datang ajal
mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya.”
(Faathir: 45)

“Jikalau Allah menghukum manusia karena kezhalimannya, niscaya tidak akan ditinggalkan-
Nya di muka bumi sesuatu pun dari makhluk yang melata, tetapi Allah menangguhkan mereka
sampai kepada waktu yang ditentukan. Maka apabila telah tiba waktu (yang ditentukan) bagi
mereka, tidaklah mereka dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak (pula)
mendahulukannya.” (An-Nahl: 61)

24. Al-‘Afuww (Yang Maha Pemaaf)


25. Al-Ghafuur (Yang Maha Pengampun)
26. Al-Ghaffaar (Yang Maha Pengampun)

Allah ta’alaa berfirman,

“… Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (Al-Hajj: 60)

Yang senantiasa dan selalu dikenal bersifat maaf, senantiasa bersifat pengampun dan pemaaf
kepada hamba-hamba-Nya.
Setiap orang butuh kepada maaf dan ampunan-Nya, seperti ia butuh kepada rahmat dan
kemurahan-Nya. Dia menjanjikan ampunan dan maaf-Nya bagi orang yang bertaubat dengan
melaksanan syarat-syaratnya. Allah ta’alaa berfirman,
“Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal shalih,
kemudian tetap di jalan yang benar.” (Thaahaa: 82)

Sifat maaf Allah adalah maaf yang lengkap, lebih luas dari dosa-dosa yang dilakukan hamba-Nya.
Apalagi jika mereka datang dengan istighfar, taubat, iman, dan amal-amal shalih yang
menyebabkan mendapatkan maaf dari dosa mereka. Dialah yang menerima taubat hamba-Nya dan
memaafkan kesalahan. Dia Yang Maha Pengampun dan menyukai ampunan. Dia menyukai hamba-
Nya yang berusaha mendapatkan maaf-Nya, baik berupa usaha untuk mendapatkan keridhaan-Nya
maupun berbuat baik kepada hamba-Nya.

Termasuk kesempurnaan maaf-Nya jika seorang hamba menzhalimi dirinya sendiri kemudian
bertaubat dan kembali kepada-Nya, niscaya Ia mengampuni semua dosanya, yang kecil dan yang
besar. Dia menjadikan islam menghapus dosa sebelumnya dan taubat menghapus dosa
sebelumnya. Allah ta’alaa berfirman,

“Katakanlah, ‘Wahai, hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri,
janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa
semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Az-Zumar:
53)

Dalam sebuah hadits Allah berfirman,

“Wahai manusia, jika kamu datang kepada-Ku dengan kesalahan sepenuh bumi kemudian kamu
menemui-Ku dalam keadaan tidak menyekutukan-Ku sedikit pun, niscaya Aku akan datang
dengan ampunan sepenuh bumi pula.”

Dalam ayat lain, Allah berfirman,

“… Sesungguhnya Rabbmu Maha Luas ampunan-Nya.” (An-Najm: 32)

Allah telah membuka segala sebab untuk mendapatkan ampunan dengan taubat, istighfar, iman,
amal shalih, berbuat baik kepada hamba Allah dan memaafkan mereka, keinginan yang kuat untuk
mendapatkan karunia Allah, baik sangka kepada Allah dan perkara-perkara lain yang dijadikan
Allah sebagai pendekat kepada ampunan-Nya.

Sumber: DR. Sa’id Ali bin Wahf al-Qahthani. Syarah Asma’ul Husna”. Terj. Abu Fatimah
Muhammad Iqbal Ahmad Ghazali. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2005.
Syarah Asma’ul-Husna: Al-Ghaniy & Al-Hakiim
Oleh: DR. Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani / Publikasi: Kamis, 28 Januari 2016 10:30

21. Al-Ghaniy (Yang Maha Kaya)


Allah ta’alaa berfirman,
“Dan bahwasanya Dia yang memberikan kekayaan dan memberikan kecukupan.” (An-Najm: 48)
“Hai manusia, kamulah yang butuh kepada Allah; dan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya (tidak
memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” (Faathir: 15)
Dia al-Ghaniy, bagi-Nya kekayaan yang sempurna, yang mutlak dari setiap sisi karena
kesempurnaan-Nya dan kesempurnaan sifat-Nya yang tidak memiliki kekurangan sedikit pun.
Merupakan suatu yang pasti bahwa Dia adalah Maha Kaya. Sesungguhnya kekayaan-Nya termasuk
konsekuensi logis Dzat-Nya. Sebagaimana Dia itu pasti muhsin (berbuat baik), pemurah,
melimpahkan kebaikan, penyayang, dan mulia. Semua makhluk selalu memerlukan-Nya di setiap
keadaan. Semua memerlukan-Nya (butuh kepada-Nya) dalam mengadakannya, tetapnya (di
dunia), dan dalam setiap keperluan dan kebutuhan kepadanya.
Di antara bukti luasnya kekayaan-Nya adalah, bahwasanya perbendaharaan langit, bumi, dan
rahmat ada di tangan-Nya, serta kemurahan-Nya terus berlanjut dalam setiap waku dan keadaan.
Sesungguhnya tangan-Nya terbuka siang dan malam, dan kebaikan-Nya terhadap makhluk
berlimpah-limpah.
Di antara kesempurnaan kekayaan dan kemurahan-Nya bahwa Dia memerintahkan hamba-Nya
berdoa dan berjanji mengabulkan doa mereka, membantu semua keinginan mereka. Dia
memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya apa yang mereka minta dan yang tidak
mereka minta.
Di antara kesempurnaan kekayaan-Nya bahwa jika berkumpul semua makhluk, yang pertama
sampai yang terakhir, di satu tempat lalu mereka memohon kepada-Nya, ia akan memberikan bagi
setiap orang apa yang dimintanya dan yang diangan-angankannya. Tidaklah yang demikian itu
mengurangi seberat biji sawi pun dari kerajaan-Nya.
Di antara kesempurnaan kekayaan dan keluasan pemberian-Nya adalah kenikmatan yang
diberikan-Nya kepada penduduk Surga dan kesenangan yang tiada henti, kebaikan yang terus
berlanjut, yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar telinga, dan tidak pernah
terbayang dalam hati.
Termasuk kesempurnaan kekayaan-Nya bahwa Dia tidak mempunyai isteri, anak, dan sekutu
dalam kerajaan-Nya. Dia bukan pula hina yang memerlukan penolong. Dia al-Ghaniy yang
sempurna dengan segala sifat-Nya, yang memberikan kekayaan kepada makhluk-Nya.
Kesimpulan, sesungguhnya Allah Yang Maha Kaya bagi-Nya kekayaan yang sempurna, yang mutlak
dari semua sisi. Dia yang memberikan kekayaan kepada semua makhluk-Nya sebagai kekayaan
yang umum. Dia memberikan kekayaan kepada hamba-Nya yang terpillih, yaitu pengenalan
tentang ketuhanan dan hakikat keimanan yang diberikan-Nya ke dalam hati mereka.
22. Al-Hakiim (Yang Maha Bijaksana)
Allah ta’alaa berfirman,
“Dan Dia-lah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya. Dan Dia-lah Yang Maha
Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (Al-An’aam: 18)
Dia al-Hakiim yang disifati dengan kebijaksanaan yang sempurna dan kesempurnaan hukum di
antara makhluk. Maka al-Hakiim yaitu yang memiliki ilmu yang luas dan mengetahui dasar
(permulaan) segala perkara dan akibatnya, pujian yang luas, kehendak yang sempurna, rahmat
yang melimpah. Dialah yang meletakkan segala sesuatu pada tempatnya, menempatkannya di
tempat yang pantas pada ciptaan dan perintah-Nya. Maka tiada ditujukan kepada-Nya pertanyaan
(sebagai protes) dan tiada cela dalam kebijaksanaan-Nya.
Kebijaksanaan-Nya ada dua;
Pertama, kebijaksanaan pada makhluk-Nya. Dia menciptakan makhluk dengan benar dan
mengandung kebenaran. Maksud dan tujuan-Nya adalah benar. Dia menciptakan semua makhluk
dengan sebaik-baik susunan, mengaturnya dengan aturan yang sempurna, memberikan setiap
makhluk ciptaan-Nya yang pantas dengannya. Bahkan, ia memberikan setiap bagian dari bagian
tubuh makhluk dan setiap anggota dari anggota tubuh makhluk hidup corak dan bentuknya.
Seseorang tidak akan melihat pada ciptaan-Nya cela/aib, kekurangan dan sia-sia.
Jika berkumpul semua akal makhluk dari yang pertama sampai yang terakhir untuk menciptakan
(yang belum pernah ada) seperti ciptaan Allah yang bersifat Rahmaan, atau yang mendekati
sesuatu yang Ia ciptakan di alam semesta berupa keindahan, keteraturan, dan kokoh, niscaya
mereka tidak akan mampu. Dari mana adanya kemampuan bagi mereka atas yang demikian itu?
Cukuplah orang-orang yang berakal dan bijaksana dari mereka mengenal kebijaksanaan-Nya yang
sangat banyak dan mengetahui sebagian keelokan dan kekokohan yang ada padanya. Ini diketahui
dengan pasti dengan diketahui kebesaran-Nya, sifat-Nya yang sempurna, dan kebijaksanaan-Nya
yang terus menerus dalam ciptaan dan perintah. Dia telah memberikan tantangan dan
memerintahkan mereka agar berpikir dan terus berpikir apakah mereka menemukan aib/cela atau
kekurangan dalam ciptaan-Nya. Sesungguhnya pemikiran akan tumpul dan lemah untuk memberi
kritik terhadap sesuatu dari ciptaan-Nya.
Kedua, kebijaksanaan pada syari’at dan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah menetapkan syari’at,
menurunkan Kitab, dan mengutus para Rasul agar semua hamba mengenal dan menyembah-Nya.
Adakah kebijaksanaan yang lebih besar dari ini? Adakah karunia dan kemuliaan yang lebih agung
dari ini? Sesungguhnya mengenal dan menyembah Allah, Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya,
beramal dan memuji-Nya dengan ikhlas, bersyukur dan memuji kepada-Nya merupakan
pemberian yang paling utama dari-Nya bagi para hamba secara mutlak, karunia yang paling besar
bagi orang yang diberi nikmat seperti itu dan keberuntungan serta kebahagiaan yang paling
sempurna untuk hati dan jiwa (ruh), sebagaimana hal itu merupakan satu-satunya sebab untuk
mencapai kebahagiaan yang abadi dan kesenangan yang kekal. Andaikan tidak ada dalam perintah
dan syari’at-Nya, kecuali hikmah yang besar ini, yang merupakan dasar segala kebaikan,
kenikmatan yang paling sempurna, dan karenanyalah diciptakan makhluk, pembalasan, dan
diciptakan Surga dan Neraka, niscaya hal itu sudah cukup dan memadai.
Syari’at dan agama-Nya meliputi segala kebaikan. Berita-Nya memberikan ilmu, keyakinan, iman,
dan aqidah yang shahih kepada hati. Hati terus konsisten dengannya sehingga hilang
penyimpangannya. Hal itu membuahkan setiap ciptaan yang indah, amal yang shalih, petunjuk,
dan nasehat. Semua perintah dan larangan-Nya meliputi puncak kebijaksanaan dan kebaikan serta
memperbaiki agama dan dunia. Dia tidak memerintah kecuali dengan sesuatu yang mutlak
mashlahatnya (kebaikannya) atau yang paling dominan. Dia tidak melarang sesuatu, kecuali hal
yang keburukannya/kerusakannya sangat mutlak atau yang paling dominan.
Sebagian dari hikmah syari’at islam bahwa ia adalah puncak untuk perbaikan hati, akhlak,
perbuatan, dan istiqomah (konsisten) di jalan yang lurus. Dia adalah puncak untuk perbaikan
dunia. tidak akan baik urusan dunia kecuali dengan kebaikan yang hakiki dan agama yang haq,
yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini disaksikan dan dirasakn
oleh setiap orang yang berakal. Maka ummat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika
melaksanakan ajaran agama ini, baik dasar maupun cabanya, serta semua petunjuk dan nasihat,
mereka berada di puncak keistiqamahan dan kebaikan. Tatkala mereka berpaling dari ajaran
agama ini, meninggalkan kebanyakan dari petunjuknya, maka berpalinglah dunia mereka
sebagaimana agama mereka telah menyimpang.
Demikian pula perhatikanlah ummat yang lain, yang telah sampai pada kekuatan, peradaban, dan
kemajuan yang sangat mengagumkan, akan tetapi, ketika semua itu kosong dari nilai agama,
rahmat, dan keadilannya, bahaya dari penemuan mereka lebih besar dari manfaatnya,
kejahatannya lebih banyak dari kebaikannya. Para pakar, pemerintah, dan pemimpin mereka tidak
mampu membendung bahaya yang diakibatkannya, dan mereka tidak akan pernah mampu
membendung hal itu selama keadaan mereka tidak berubah. Oleh karena itu, merupakan hikmah-
Nya bahwasanya yang dibawa oleh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa agama dan
al-Qur’an yang mulia merupakan bukti yang paling besar atas kejujurannya dan kebenaran yang
dibawanya karena keadaan-Nya sebagai pemberi keputusan yang sempurna yang tidak aka nada,
kecuali dengan-Nya.
Kesimpulan, al-Hakiim berhubungan dengan semua makhluk dan syara’. Semuanya berada pada
puncak kebijaksanaan. Dia al-Hakiim pada semua hukum yang bersifat keputusan, syara’, dan
pembalasan. Perbedaan antara hukum-hukum qadar dan syara’ yaitu, sesungguhnya qadar
berhubungan dengan yang diadakan, dibentuk, dan ditentukan, dan sesungguhnya apa yang
dikehendaki-Nya, niscaya pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya, niscaya tidak akan
terjadi. Sedangkan hukum-hukum syara’ berhubungan dengan syari’at-Nya. Hamba Allah tidak
lepas dari dua hal tersebut atau dari salah satunya. Siapa di antara mereka yang melakukan
perbuatan yang dicintai dan diridhai-Nya, sungguh telah terkumpul mereka yag melakukan
perbuatan yang dicintai dan diridhai-Nya sungguh telah terkumpul padanya dua kebijaksanaan,
dan siapa yang melakukan perbuatan yang berlawanan dari hal itu, sungguh didapatkan padanya
kebijaksanaan qadar saja. Sesungguhnya apa yang dilakukannya terjadi dengan qadha dan qadar-
Nya dan tidak ada dalam hukum syar’i, karena dia telah meninggalkan amal yang dicintai Allah dan
diridhai-Nya. Kebaikan dan kejahatan, taat dan maksiat, semuanya berhubungan dan mengikuti
hukum qadar. Amal yang dicintai Allah adalah yang mengikuti hukum syar’I dan berhubungan
dengannya. Wallahu a’lam.
Sumber: DR. Sa’id Ali bin Wahf al-Qahthani. Syarah Asma’ul Husna”. Terj. Abu Fatimah
Muhammad Iqbal Ahmad Ghazali. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2005.
Syarah Asma’ul-Husna: Al-Hamiid, Al-Matiin, Al-
‘Aziiz, Al-Qadiir, Al-Qaadir, Al-Muqadiir, Al-Qawiy,
Al-Matiin
Oleh: DR. Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani / Publikasi: Kamis, 28 Januari 2016 10:19

14. Al-Hamiid (Yang Maha Terpuji)

Allah ta’alaa berfirman,

“Wahai, manusia, kamulah yang berkehendak (membutuhkan) kepada Allah; dan Allah Dialah
Yang Maha Kaya (tidak membutuhkan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” (Faathir: 15)

Ibnul Qayyim menyebutkan bahwasanya Allah al-Hamiid (Maha Terpuji) dari dua sisi:

Pertama, bahwasanya semua makhluk mengucapkan pujian kepada-Nya. Setiap pujian datang
dari penduduk langit dan bumi, baik yang dahulu maupun yang belakangan; setiap pujian yang
terjadi dari mereka di dunia dan akhirat; setiap pujian yang belum terjadi, tetapi pasti terjadi
sesuai dengan pergantian zaman dan peredaran waktu, sebagai pujian yang memenuhi segala yang
ada di langit dan di bumi, dan memenuhi semua yang ada yang tidak terbilang jumlahnya.
Sesungguhnya Allah lebih berhak terhadap pujian-pujian tersebut dari berbagai sisi. Di antaranya,
bahwa Allah lah Yang menciptakan, memberi rizki, terus menerus memberikan nikmat kepada
mereka, baik yang tampak atau pun yang tersembunyi, dan yang berkaitan dengan agama maupun
dunia. Dia memalingkan dari mereka siksa dan dan yang tidak disenangi. Nikmat apa saja yang ada
pada hamba semuanya berasal dari Allah. Tidak ada yang bisa menolak kejahatan, kecuali Dia. Dia
memang pantas mendapat pujian dari mereka di setiap waktu, bahkan mereka harus memuji-Nya
dan bersyukur kepada-Nya di setiap saat.

Kedua, Dia dipuji karena memiliki asma’ Yang Maha Indah dan sifat kesempurnaan Yang Maha
Tinggi, pujian, sanjungan, dan sifat keagungan serta keelokan. Milik-Nya lah semua sifat
kesempurnaan. Bagi-Nya dari sifat itu yang paling sempurna dan paling agung. Maka setiap satu
sifat dari sifat-sifat-Nya pantas mendapatkan pujian dan sanjungan yang paling sempurna, apalagi
dengan semua sifat-Nya yang suci. Bagi-Nya pujian untuk Dzat, sifat, dan perbuatan-Nya karena
semuanya berputar antara karunia dan kebaikan, serta antara keadilan dan kebijaksanaan yang
menjadikan-Nya pantas mendapatkan kesempurnaan pujian. Bagi-Nya pujian atas ciptaan-Nya,
syari’at-Nya, hukum-hukum-Nya yang bersifat ketentuan-ketentuan, hukum-hukum-Nya yang
bersifat syar’i, dan hukum-hukum pembalasan di dunia dan akhirat. Adapun rincian pujian
kepada-Nya, dan pujian apa pun yang ditujukan kepada-Nya tidak akan pernah bisa diliputi oleh
pemikiran dan tidak bisa dicatat oleh pena.

15. Al-‘Aziiz (Yang Maha Mulia/ Yang Maha Perkasa).


16. Al-Qadiir ( Yang Maha Kuasa).
17. Al-Qaadir (Yang Maha Berkuasa).
18. Al-Muqradiir (Yang Maha Berkuasa).
19. Al-Qawiy (Yang Maha Kuat).
20. Al-Matiin (Yang Maha Kokoh).

Asma’ Yang Maha Agung ini maknanya berdekatan, Dia Yang sempurna kekuatan-Nya, besar
kekuatan-Nya, dan keperkasaan-Nya yang meliputi segala sesuatu.
Allah ta’alaa berfirman,

“… Sesungguhnya kekuasaan itu seluruhnya adalah kepunyaan Allah…” (Yunus: 65)

“… Sesungguhnya Rabbmu Dia-lah Yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (Huud: 66)

Makna keperkasaan ada tiga, semuanya merupakan kesempurnaan bagi Allah Yang Maha Agung;

Pertama, kekuatan yang perkasa yang ditunjukkan oleh asma’-Nya al-Qawiy al-Matiin, yaitu
sifat-Nya yang agung/besar yang tidak bisa dibandingkan dengan kekuatan makhluk, sekalipun
besar. Allah ta’alaa berfirman,

“Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi Rizki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat
Kokoh.” (Adz-Dzaariyaat: 58)

“… Dan Allah adalah Maha Kuasa. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-
Mumtahanah: 7)

“Katakanlah, ‘Dia-lah yang berkuasa untuk mengirimkan adzab kepadamu, dari atas kamu atau
dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling
bertentangan) dan merasakan kepada sebagian kamu kepada keganasan sebagian yang lain.’”
(Al-An’am: 65)

“… Dan adalah Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Al-Kahfi: 45)

“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu di dalam taman-taman dan sungai-sungai di


tempat yang disenangi di sisi (Rabb) Yang Maha Kuasa.” (Al-Qamar: 54-55)

Kedua, keperkasaan dalam mencegah. Sesungguhnya Dia Yang Maha Kaya pada Dzat-Nya tidak
memerlukan siapa pun. Semua hamba tidak ada yang bisa membahayakan-Nya atau memberi
manfaat kepada-Nya, tetapi Dialah Yang memberi mudharat dan manfaat, Yang memberi dan Yang
mencegah.

Ketiga, keperkasaan dalam menguasai dan menaklukkan seluruh alam. Seluruh alam dikuasai
Allah, patuh terhadap kebesaran-Nya dan tunduk kepada kehendak-Nya. Semua ubun-ubun
makhluk ada di tangan-Nya. Tidak ada yang bisa bergerak atau bertingkah laku kecuali dengan
daya, kekuatan, dan izin-Nya. Apa yang dikehendaki Allah, niscaya akan terjadi dan apa yang tidak
dikehendaki-Nya, pasti tidak akan terjadi. Tidak ada daya dan upaya, kecuali dengan-Nya. Di
antara kekuatan dan kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan langit, bumi, dan segala isinya dalam
waktu enam hari. Dia menghidupkan makhluk kemudian mematikan, lalu menghidupkan mereka
(pada hari kiamat), kemudian kepada-Nya mereka dikembalikan. Allah ta’alaa berfirman,

“Tidaklah Allah menciptakan dan membangkitkan kamu (dari dalam kubur) itu, melainkan
hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu jiwa saja…” (Luqman: 28)

“Dan Dialah yang menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian mengembalikan


(menghidupkan)nya kembali, dan menghidupkan kembali itu adalah lebih mudah bagi-Nya…”
(Ar-Ruum: 27)

Sebagian dari bukti kekuasaan-Nya bahwa kamu melihat bumi yang kering, apabila tersiram air
hujan di atasnya, hiduplah bumi itu, subur serta menumbuhkan berbagai macam tumbuhan yang
indah. Sebagian dari bukti kekuasaan-Nya adalah adzab yang Dia timpakan kepada ummat-ummat
yang mendustakan dan orang-orang kafir yang berbuat zhalim dengan berbagai macam siksaan dan
adzab (di dunia). Tipu daya, muslihat, harta, tentara, dan benteng mereka tidak bermanfaat dan
tidak bisa menolak siksa Allah bila telah tiba keputusan Allah. Sungguh, semua itu tidaklah
menambah kepada mereka, kecuali kebinasaan belaka. Apalagi pada saat sekarang, sesungguhnya
kekuatan yang besar dan penemuan-penemuan (baru) yang gemilang (mengagumkan) yang telah
sampai kepadanya kemampuan ummat ini, semuanya adalah kemampuan yang diberikan Allah dan
pendidikan-Nya terhadap mereka yang dulunya belum pernah mereka ketahui. Maka sebagian dari
tanda kekuasaan Allah bahwa kekuatan, kekuasaan, dan penemuan mereka tidak mampu sedikit
pun menahan musibah dan adzab yang membinasakan mereka, padahal mereka telah berusaha
mencari perlindungan. Namun, keputusan Allah yang menang, semua unsur di langit dan bumi
tunduk di bawah kekuasaan-Nya.

Sebagian dari kesempurnaan, keperkasaan, dan kekuasaan-Nya, sebagaimana Dia menciptakan


semua hamba, Dia juga menciptakan perbuatan mereka, ketaatan, dan kemaksiatan. Semua itu
juga perbuatan mereka. Perbuatan itu disandarkan kepada Allah sebagai ciptaan dan takdir,
sedangkan disandarkan kepada mereka sebagai perbuatan dan terlibat secara langsung. Tidak ada
pertentangan antara dua perkara ini. Sesungguhnya Allah menciptakan kemampuan dan keinginan
mereka, juga menciptakan sebab yang sempurna. Dialah yang menciptakan sebab dan akibat. Allah
ta’alaa berfirman,

“Padahal, Allah lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (Ash-Shaaffat: 96)

Sebagian dari bukti kekuasaan-Nya adalah pertolongan yang diberikan-Nya kepada wali-wali-Nya
yang disebutkan dalam kitab-Nya (al-Qur’an). Padahal, jumlah dan bekal mereka sangat sedikit
dibandingkan musuh yang berada di hadapan mereka, baik dari segi jumlah maupun
persiapan/bekal. Allah ta’alaa berfirman,

“… Berapa banyak terjadi, golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak
dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orag yang sabar.” (Al-Baqarah: 249)

Sebagian dari bukti kekuasaan dan rahmat-Nya, adalah berbagai macam siksa dan nikmat yang
kekal, banyak, serta terus menerus, yang tidak terputus dan tidak berhenti, yang disediakan-Nya
bagi penduduk Neraka dan Surga.

Dengan kekuasaan-Nya, Dia mengadakan segala yang ada, mengaturnya, menyempurnakan


(ciptaan-Nya) dan memantapkannya, menghidupkan dan mematikan, membangkitkan semua
hamba untuk mendapatkan balasan, serta membalas yang berbuat baik sesuai kebaikannya dan
orang yang berbuat jahat sesuai kejahatannya. Dia membolak-balikkan hati dan mengubahnya
sesuai kehendak-Nya. Apabila menghendaki sesuatu, Dia berfirman,

“Jadilah! Maka terjadilah ia.”

“… Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari
Kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Al-Baqarah: 148)

Sumber: DR. Sa’id Ali bin Wahf al-Qahthani. Syarah Asma’ul Husna”. Terj. Abu Fatimah
Muhammad Iqbal Ahmad Ghazali. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2005.
Syarah Asma’ul-Husna: Al-Bashiir, Al-‘Aliim, Al-
Khaabir
Oleh: DR. Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani / Publikasi: Kamis, 28 Januari 2016 10:04

12. Al-Bashiir (Yang Maha Melihat)

Penglihatan-Nya meliputi segala yang dilihat di penjuru bumi dan langit, hingga sesuatu yang
paling tersembunyi yang ada di sana. Dia melihat gerakan semut hitam di atas batu yang hitam di
malam yang gelap gulita, seluruh anggota tubuhnya yang tersembunyi dan yang tampak serta
perjalanan makanan dalam anggota tubuhnya yang terkecil. Dia juga melihat perjalanan air di
dahan-dahan pohon dan akarnya serta seluruh tumbuhan yang berbeda jenis, kecil, dan halusnya.
Dia melihat tubuh semut yang bergantungan, lebah, lalat, dan yang lebih kecil dari itu. Maha Suci
Dia yang membuat takjub semua orang pada kebesaran-Nya, luasnya hubungan sifat-Nya,
kebesaran-Nya yang sempurna, kelembutan-Nya, pengetahuan-Nya terhadap hal gaib dan nyata.
Dia melihat curian mata (mata yang khianat), gerakan kelopak mata, dan gerakan hati.

Allah ta’alaa berfirman,

“Yang melihat kamu berdiri (untuk shalat), dan (melihat pula) perubahan gerak
badanmu di antara orang-orang yang sujud. Sesungguhnya Dia adalah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Asy-Syu’araa: 218-220)

“Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh
hati.” (Al-Mu’min: 19)

“… Dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.” (Al-Buruuj: 9)

Ilmu, penglihatan, dan pendengaran-Nya memperhatikan dan meliputi segala sesuatu.

13. Al-‘Aliim (Yang Maha Mengetahui)


14. Al-Khaabir (Yang Maha Mengenal/Yang Maha Mengetahui)

Allah ta’alaa berfirman,

“Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya. Dan Dialah yang Maha
bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (Al-An’aam: 18)

“… Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Anfaal: 75)

Dialah al-‘Aalim (Yang Maha Mengetahui) yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, segala yang
wajib, yang mustahil, dan yang mungkin. Dia mengetahui diri-Nya Yang Maha Mulia, sifat-sifat-
Nya Yang Maha Suci, dan Yang Maha Agung. Inilah yang wajib, yang tidak mungkin, kecuali
adanya. Dia mengetahui segala yang mustahil ketika tercegahnya dengan mengetahui yang
akibatnya jika diadakan. Allah ta’alaa berfirman,

“Sekiranya ada di langit dan di bumi ilah-ilah selain Allah tentulah keduanya itu
sudah rusak binasa…” (Al-Anbiyaa’: 22)
“Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada Ilah (yang lain)
beserta-Nya. Jika ada ilah beserta-Nya, masih-masing Ilah itu akan membawa
makhluk yang diciptakannya dan sebagian Ilah-ilah itu akan mengalahkan sebagian
yang lain.” (Al-Mu’minuun: 91)

Dalam ayat ini dan yang menyerupainya merupakan penyebutan ilmu-Nya (pengetahuan-Nya)
mengenai hal-hal yang mustahil terjadi. Pemberitahuan-Nya dengan sesuatu yang akan terjadi, jika
hal (yang mustahil) itu terjadi, sebagai sebuah asumsi dan perumpamaan. Dia juga mengetahui
segala yang mungkin, yaitu yang boleh ada dan tiada, juga hal-hal yang sudah ada atau belum
diciptakan karena hal tersebut tidak layak ada pada waktu belum diciptakan karena hal tersebut
tidak itu. Dia al-‘Aliim yang ilmu-Nya langit dan bumi, meliputi tempat maupun waktu (zaman).
Dia mengetahui yang ghaib dan yang Nampak, yang zhahir dan yang bathin. Allah ta’alaa
berfirman,

“… Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Anfaal: 75)

Nash-nash dalam menyebutkan ilmu Allah dan pengetahuan-Nya yang meliputi segala sesuatu
secara mendetail sangat banyak, tidak mungkin menyebutkannya satu persatu. Sesungguhnya tidak
ada yang tersembunyi dari-Nya walau hanya sekecil dzarrah, di bumi dan di langit, tiada pula yang
lebih kecil dan lebih besar. Dia tidak pernah lalai dan lupa. Sesungguhnya semua ilmu makhluk,
bagaimana pun uas dan banyaknya, jika dibandinkan dengan ilmu Allah, niscaya akan sirna dan
pudar, sebagaimana kemampuan mereka dibandingkan dengan kemampuan Allah, niscaya tidak
ada apa-apanya. Dia yang mengajarkan kepada mereka apa yang tidak mereka ketahui.
Memberikan kemampuan terhadap apa yang sebelumnya tidak mampu mereka lakukan.
Sebagaimana ilmu-Nya meliputi seluruh alam, baik yang di langit atau di bumi, juga seluruh
makhluk yang ada padanya, baik dzat, sifat, perbuatan, dan seluruh perkara mereka. Dia
mengetahui yang telah terjadi dan yang akan terjadi pada masa yang akan datang, yang tidak ada
akhirnya. Demikian pula sesuatu yang belum pernah ada, jika ada, bagaimana nanti wujudnya. Dia
mengetahui keadaan orang-orang yang mukallaf (baligh dan berakal) sejak menumbuhkan sampai
mematikan mereka dan juga sesudah menghidupkan mereka kembali (hari Kiamat). Ilmu-Nya
meliputi semua perbuatan mereka, yang baik dan yang buruk, balasan bagi semua perbuatan dan
perinciaannya pada hari yang tetap (hari Kiamat).

Kesimpulan, bahwasanya ilmu Allah meliputi segala yang tampak dan tersembunyi, rahasia dan
terang-terangan. Mengetahui segala yang wajib, mustahil, dan yang mungkin. Mengetahui segala
yang di langit dan di bumi, masa lalu, sekarang, dan yang akan datang, tiada sesuatu yang samar
dari pengetahuan Allah.

Sumber: DR. Sa’id Ali bin Wahf al-Qahthani. Syarah Asma’ul Husna”. Terj. Abu Fatimah
Muhammad Iqbal Ahmad Ghazali. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2005.
Syarah Asma’ul Husna: Al-Majiid, Al-Kabiir, As-
Samii’
Oleh: DR. Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani / Publikasi: Kamis, 28 Januari 2016 09:54

9. Al-Majiid (Yang Maha Mulia/Yang Maha Terpuji)


Al-Majiid, artinya, bagi-Nya pujian yang agung, al-Majd adalah kebesaran sifat dan kekuasaannya.
Seluruh sifat Allah sangat agung kedudukannya, Dia-lah Yang Maha Mengetahui, yang sempurna
ilmu-Nya, Yang Maha Penyayang, dan yang rahmat-Nya meliputi segala sesuatu. Al-Qadiir (Yang
Maha Kuasa), yang tidak ada sesuatu pun dapat melemahkan-Nya, al-Haliim (Yang Maha
Penyantun) yang sempurna dalam penyantunan-Nya. Al-Hakiim(Yang Maha Bijaksana) yang
sempurna dalam kebijaksanaan-Nya. Demikian juga untuk semua asma’ dan sifat-Nya yang lain.
Yang sampai pada puncak kemuliaan, tidak ada sedikit pun kekurangan dari sifat itu.
“…Rahmat Allah dan keberkatan-Nya dicurahkan atas kamu, wahai ahlulbait. Sesungguhnya
Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah.” (Huud: 73)
10. Al-Kabiir (Yang Maha Besar)
Dia memiliki sifat kemuliaan, kebesaran, keagungan, dan kebesaran. Yang paling besar, yang paling
agung, dan yang paling tinggi dari segala sesuatu.
Hanya milik-Nya kebesaran dan keagungan dihati wali-wali-Nya dan kekasih-kekasih-Nya.
Hati mereka sepenuhnya mengagungkan, membesarkan, tunduk dan merendahkan diri kepada
kebesaran-Nya. Allah ta’alaa berfirman,
“Yang demikian itu adalah karena kamu kafir apabila Allah saja disembah. Dan kamu peraya
apabila Allah dipersekutukan. Maka putusan (sekarang ini) adalah pada Allah Yang Maha
Tinggi lagi Maha Kuasa.” (Al-Mu’min: 12)
11. As-Samii’ (Yang Maha Mendengar)
Allah ta’alaa berfirman,
“Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (An-Nisaa: 134)
Seringkali Allah menyertakan antara sifat sam’ dan bashar, keduanya meliputi segala sesuatu, yang
tampak dan yang tersembunyi. As-Samii’ adalah yang pendengaran-Nya meliputi segala sesuatu
yang didengar. Segala suara yang ada di alam atas (langit) dan yang di bumi, Dia mendengar yang
tersembunyi dan yang tidak. Di sisi-Nya semuanya seperti satu suara. Suara itu tidak ada yang
tercampur atas-Nya. Semua bahasa tidak ada yang samar bagi-Nya. Suara yang jauh dan dekat,
yang rahasia dan nyata, di sisi-Nya semua adalah sama. Allah ta’alaa berfirman,
“Sama saja (bagi Rabb), siapa di antara kamu yang merahasiakan ucapannya, dan siapa yang
berterus terang dengan ucapan itu, dan siapa yang bersembunyi di malam hari dan berjalan
(menampakkan diri) di siang hari.” (Ar-Ra’d: 10)
“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan yang mengajukan gugatan kepada kamu ten-
tang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab anta-
ra kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Al-Mujaadilah: 1)
Aisyah Radliyallahu ‘anhaa berkata, “Maha Suci Allah yang pendengaran-Nya meliputi segala
suara. Sungguh telah datang seorang wanita yang mengajukan gugatan dan mengadu kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara saya berada di samping kamar, dan sungguh
tidak jelas bagi saya sebagian dari perkataannya. Maka Allah menurunkan ayat:
“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan yang mengajukan gugatan kepada kamu
tentang suaminya…” (Al-Mujaadilah: 1)
Pendengaran Allah meliputi dua bagian:
Pertama, pendengaran-Nya bagi segala suara, yang nyata dan tersembunyi, yang samar dan jelas.
Dia meliputinya dengan sempurna.
Kedua, pendengaran yang berarti pengabulan bagi orang yang meminta, berdoa dan beribadah
kepada-Nya. Dia mengabulkan dan memberi pahala kepada mereka. Sebagaimana firman Allah,
“…Sesungguhnya Rabbku, benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) doa.” (Ibrahim:
39)
Adapun perkataan orang yang shalat “Sami’ Allahu liman hamidah” Maksudnya adalah Allah
mengabulkan bagi orang yang memuji-Nya.
Sumber: DR. Sa’id Ali bin Wahf al-Qahthani. Syarah Asma’ul Husna”. Terj. Abu Fatimah
Muhammad Iqbal Ahmad Ghazali. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2005.
Pembahasan Kelima Belas, Syarah Asma’ul-Husna:
Al-Awwal, Al-Aakhir, Az-Zhaahir, Al-Baatin, Al-‘Aliy,
Al-A’laa, Al-Muta’aali, Al-‘Azhiim
Oleh: DR. Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani / Publikasi: Kamis, 28 Januari 2016 09:36

1. Al-Awwal (Yang telah ada sebelum segala sesuatu)


2. Al-Aakhir (Yang tetap ada setelah segala sesuatu)
3. Az-Zhaahir (Yang tidak ada sesuatu pun di atas-Nya)
4. Al-Baathin (Yang tidak ada sesuatu pun yang menghalangi-Nya)
Firman Allah ta’alaa,
“Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui
segala sesuatu.” (Al-Hadiid: 3)
Empat nama yang penuh berkah ini telah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallamsebagai penjelasan yang menghimpun (mencakup) dan nyata, ia berkata kepada Rabbnya,
“Ya Allah, Engkau al-Awwal yang tiada sesuatu sebelum Engkau, Engkau al-Aakhir yang tiada
sesuatu sesudah Engkau, Engkau az-Zhaahir yang tiada sesuatu di atas-Mu, Engkau al-Baathin
yang tiada sesuatu di bawah-Ny (tiada sesuatu yang menghalangi-Mu)…”
Beliau menafsirkan setiap nama dengan maknanya yang agung dan menafikan dari-Nya sesuatu
yang merupakan lawannya. Makna yang agung ini, menunjukkan atas sendirinya Rabb Yang Maha
Agung dengan kesempurnaan yang mutlak (absolut), meliputi kemutlakan (absolut) terhadap
masa, sebagaimana dalam firman-Nya,
“Al-Awwal” menunjukkan bahwasanya setiap makhluk selain Dia adalah hadits (baru), ada setelah
tiada. Hamba harus memperhatikan karunia Rabb-nya dalam setiap nikmat agama dan dunia
karena sebab dan yang memberikan sebab berasal dari Allah. “Al-Aakhir” menunjukkan bahwa
Dialah kesudahan dan tempat bergantung semua makhluk dengan menyembah, berhadap, takut,
dan memohon kepada-Nya. “Az-Zaahir” menunjukkan keagungan sifat-Nya dan kefanaan segala
sesuatu di sisi keagungan-Nya, baik berupa dzat maupun sifat atas ‘uluww-Nya.
“Al-Baathin” menunjukkan pengetahuan-Nya (melihat-Nya) atas segala rahasia yang tersimpan,
tersembunyi, samar, dan yang terperinci dari segala sesuatu, sebagaimana menunjukkan atas
kesempurnaan kedekatan Allah. Tidakkah bertentangan antara azh-Zhaahirdan al-Baathin karena
Allah tiada sesuatu pun yang menyamai-Nya dalam segala sifat.
5. Al-‘Aliy (Yang Maha Tinggi)
6. Al-A’laa (Yang Paling Tinggi)
7. Al-Muta’aali (Yang Maha Tinggi)
Allah ta’alaa berfirman,
“… Dan Allah tidak merasa berat memlihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
(Al-Baqarah: 225)
“Sucikanlah nama Rabbmu Yang Maha Tinggi.” (Al-A’laa: 1)
“Yang Mengetahui semua yang ghaib dan yang tampak; Yang Maha Besar lagi Maha Tinggi.”
(Ar-Ra’d: 9)
Yang demikian itu menunjukkan bahwa semua makna ‘uluww hanya tetap bagi Allah dari semua
sisi. Milik-Nya ketinggian Dzat, sesungguhnya Dia di atas segala makhluk. Di atas ‘Arsy Dia
bersemayam, maksudnya Dia tinggi dan ditinggikan. Milik-Nya ketinggian kadar, Dialah yang
tinggi dan agung sifat-Nya. Maka sifat makhluk tidak bisa menyamai-Nya. Bahkan, semua makhluk
tidak ada yang bisa meliputi sebagian makna walaupun hanya satu sifat-Nya saja. Allah ta’alaa
berfirman,
“… Sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya.” (Thaahaa: 110)
Dengan demikian, diketahui bahwasanya tidak ada sesuatu pun yang menyamai-Nya pada setiap
sifat-Nya. Milik-Nya keperkasaan yang tinggi, sesungguhnya Dialah satu-satunya Yang Maha
Perkasa, yang menguasai semua makhluk dengan keperkasaan dan ketinggian-Nya. Ubun-ubun
mereka ada di tangan-Nya; apa yang dikehendaki-Nya pasti terjadi dan tidak ada sesuatu pun yang
bisa menghalangi-Nya. Apa yang tidak dikehendaki-Nya pasti tidak akan terjadi. Kalaulah semua
makhluk berkumpul untuk mengadakan yang tidak dikehendaki Allah, mereka tidak akan mampu
melaksanakannya. Jika mereka berkumpul untuk mencegah apa yang sudah dikehendaki-Nya,
niscaya mereka tak akan mampu menghalanginya. Demikian itu karena kekuasaan-Nya yang
sempurna, kehendak-Nya yang pasti terlaksana, dan semua makhluk sangat memerlukan-Nya dari
semua sisi.
8. Al-‘Azhiim (Yang Maha Agung)
Allah ta’alaa berfirman,
“… Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha
Agung.” (Al-Baqarah: 255)
Allah Yang Maha Agung milik-Nya semua sifat dan makna yang mengharuskan keagungan-Nya.
Tidak ada makhluk yang bisa memuji-Nya sebagaimana mestinya dan tidak ada yang mampu
menghabiskan pujian kepada-Nya. Bahkan, Dia memuji diri-Nya dan melebihi segala pujian yang
diberikan hamba-Nya.
Ketahuilah bahwa segala makna kebesaran yang hanya tetap bagi Allah ada dua bagian;
Bagian pertama, bahwa Dia bersifat dengan segala sifat kesempurnaan. Milik-Nya
kesempurnaan yang paling sempurna, yang paling besar, dan yang paling luas. Bagi-Nya ilmu yang
meliputi (segala sesuatu), kekuasaan yang terlaksana, serta keagugan dan kebesaran. Sebagian dari
tanda kebesaran-Nya adalah bahwa langit dan bumi di telapak tangan ar-Rahmaan lebih kecil
daripada biji sawi, seperti yang dikatakan Ibnu ‘Abbas dan yang lainnya.
Allah ta’alaa berfirman,
“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya, padahal bumi
seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari Kiamat dan langit digulung dengan tangan
kanan-Nya…” (Az-Zumar: 67)
“Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi supaya jangan lenyap; dan sungguh jika
keduanya akan lenyap, tidak ada seorang pun yang dapat menahan keduanya selain Allah…”
(Faathir: 41)
“Hampir saja langit itu pecah dari sebelah atasnya (karena kebesaran Rabb)…” (Asy-Syuura: 5)
Dalam hadits yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Sesungguhnya Allah berfirman, ‘Kesombongan adalah selendang-Ku dan keagungan adalah
sarung-Ku, maka siapa pun yang mengambil salah satunya dari-Ku, niscaya Aku akan
mengadzabnya.’” Allah memiliki sifat kebesaran dan keagungan. Dua sifat yang tidak ada seorang
pun yang bisa mengukurnya dan tidak ada yang bisa sampai kepada hakikatnya.
Bagian kedua, sebagian dari makna kebesaran-Nya, bahwasanya tidak ada seorang mahluk pun
yang berhak diagungkan sebagaimana Allah diagungkan. Sudah menjadi hak Allah agar semua
hamba memagungkan-Nya dengan hati, lidah, dan anggota tubuh mereka. Yaitu, dengan
bersungguh-sungguh dalam mengenal-Nya, mencintai-Nya, menghinakan diri kepada-Nya, takut
kepada-Nya, menggunakan lisan untuk memuji-Nya, dan menggunakan anggota tubuh untuk
bersyukur dan beribadah kepada-Nya. Termasuk membesarkan-Nya adalah Dia ditakuti (dengan
sikap takwa) daengan sebenar-benarnya takwa kepada-Nya. Dia ditaati dan tidak didurhakai,
diingat dan tidak dilupakan, serta disyukuri dan tidak dikufuri. Di antara bentuk memagungkan-
Nya adalah memagungkan segala yang diharamkan-Nya (dengan meninggalkannya), yang
disyari’atkan-Nya (dengan mengamalkannya) pada setiap waktu, tempat, dan setiap aktivitas.
Allah ta’alaa berfirman,
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka
sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (Al-Hajj: 32)
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi
Allah, maka itu adaalh lebih baik baginya di sisi Rabbnya…” (Al-Hajj: 30)
Termasuk memagungkan-Nya adalah bahwa Dia tidak dibantah (dikritik) atas sesuatu yang
diciptakan dan disyari’atkan-Nya.
Sumber: DR. Sa’id Ali bin Wahf al-Qahthani. Syarah Asma’ul Husna”. Terj. Abu Fatimah
Muhammad Iqbal Ahmad Ghazali. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi’i. 2005.
Berlebihan Dalam Berdo’a
Oleh: Syaikh Ismail bin Marsyud bin Ibrahim Ar-Rumaih / Publikasi: Sabtu, 26 Mei 2018 16:56

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.


“Artinya : Berdo’alah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” [QS. Al-A’raaf : 55]
Syaikh As-Sa’di berkata bahwa maksud firman Allah : Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-
orang yang melampaui batas” adalah melampaui batas dalam segala hal. Dan termasuk melampaui
batas adalah meminta sesuatu yang tidak pantas, berhenti berdo’a atau mengeraskan suara dalam
berdo’a. [Tafsir As-Sa’di 3/40]
Dari Abu Nu’amah bahwasanya Abdullah bin Mughaffal Radhiyallahu ‘anhu mendengar anaknya
membaca doa : “Ya Allah berilah kami istana putih di sisi kanan Surga”. Maka dia berkata kepada
anaknya : “Wahai anakku mintalah kepada Allah Surga dan berlindunglah kepadaNya dari api
Neraka, sebab saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Akan muncul dari umatku sekelompok kaum yang berlebihan dalam berdoa dan
bersuci” [Musnad Ahmad 4/87. Sunan Abu Daud, kitab Thaharah bab Israf Fil Ma’ 1/24. Ibnu
Majah, kitab Do’a 3/349, Hakim, Al-Mustadrak 1/162. Al-Albani menshahihkannya dalam Shahih
Sunan Ibnu Majah 2/331]
Imam Manawi berkata bahwa yang dimaksud berlebihan dalam berdoa adalah melampaui batas
dalam mengajukan permohonan yaitu dengan cara meminta sesuatu yang tidak boleh atau
mengeraskan suara pada waktu berdoa atau memaksakan lafazh bersajak dalam berdoa. Imam
Turbusyti berkata bahwa yang dimaksud berlebihan dalam berdoa bisa memiliki banyak pengertian
yang intinya tidak sungguh-sungguh dalam berdoa atau berlebihan dalam meminta baik untuk
kebutuhan pribadinya atau kebutuhan orang lain.
Abdullah bin Mughaffal Radhiyallahu ‘anhu melarang anaknya berdoa seperti itu karena
permintaan tersebut tidak sesuai dan tidak mungkin bisa diraih oleh amal perbuatannya, sebab
permohonan tersebut hanya pantas untuk derajat para nabi dan wali. Sehingga permintaan seperti
itu termasuk berlebihan dalam berdoa, serta tidak pantas karena menganggap sempurna terhadap
diri sendiri. [Faidhul Qadir 4/130]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata bahwa berdoa memohon sesuatu yang menjadi
keistimewaan para nabi padahal dia bukan seorang nabi atau memohon sesuatu yang menjadi
keistimewaan Allah termasuk berlebihan dalam berdo’a, seperti memohon agar dia menjadi
perantara untuk permohonan hamba kepada Allah atau memohon agar dia diberi kemampuan
untuk bisa mengetahui segala sesuatu atau berkuasa atas segala sesuatu atau memohon agar
diperlihatkan ilmu ghaib atau berdoa dengan berkeyakinan bahwa Allah membutuhkan doanya
atau semua hamba Allah akan mendapat marabahaya bila dia tidak berdoa atau semisalnya. Semua
itu akibat dari kebodohan terhadap hak Allah dan berlebihan dalam berdoa.[Majmu Fatawa
10/713-714]
Termasuk berlebihan dalam berdoa seperti yang dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh
Abdullah bin Amr Radhiyallahu ‘anhu bahwa ada seseorang datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan berkata : “Ya Allah ampunilah aku dan Muhammad dan janganlah Engkau memberi
rahmatMu kepad selain kami, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya : Siapa yang
mengucapkan doa tersebut ? Orang tersebut berkata : “Saya!”. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda :
“Artinya : Kamu telah menghalangi kebaikan untuk orang banyak” [Musnad Imam Ahmad 2/170-
171. Majma Az-Zawaid 10/150]
Imam Al-Albani berkata bahwa makna hadits tersebut adalah menghalangi rahmat Allah untuk
para makhlukNya dan demikian itu tidak mungkin karena Allah berfirman :
“Artinya : Dan rahmatKu meliputi segala sesuatu” [Al-A’raaf : 156]
Do’a di atas diucapkan oleh seseorang baduwi karena kejahilan dan baru mengenal Islam.
Seharusnya seseorang berdoa untuk dirinya dan teman-temannya agar pahalanya
bertambah. [Fathur Rabbani 14/272]
Sumber: Jahalatun Nas Fid Du’a edisi Indonesia Kesalahan Dalam Berdo’a Darul Haq

Empat Kunci Keselamatan Dan Keberhasilan


Oleh: Harin Maulana / Publikasi: Ahad, 25 Maret 2018 16:24

Ada empat kunci keselamatan dan keberhasilan kita di dunia dan di akhirat. Siapa saja yang
berpegang dengan keempat kunci ini, insya Allah ia akan selamat dan berhasil di dunia dan di
akhirat. Apa saja keempat kunci tersebut?

Keempat kunci ini disebutkan oleh Al-Imam Ibnul Qoyyim rahimahullahu :


.
PERTAMA : ILMU, yaitu mengenal Allah, mengenal Rasulullah dan agama Islam berserta dengan
dalilnya. Tidak ada kesuksesan dan kemuliaan melainkan dengan ilmu, dan siapa saja yang
menyia-nyiakan ilmu, maka ia akan memperoleh kesengsaraan baik di dunia maupun di akhirat.
.
KEDUA : MENGAMALKAN ILMU tersebut. Karena Ilmu tanpa amal itu tidaklah bermanfaat, dan
amalan tanpa ilmu itu dapat mengantarkan kepada kesesatan. Agama kita mengajarkan untuk
berilmu terlebih dahulu sebelum berkata dan beramal.

KETIGA : MENDAKWAHKAN atau MENGAJARKAN ILMU tersebut. Orang yang tidak mau
mengajarkan ilmunya diancam seperti orang yang menyembunyikan kebenaran dan tiadalah
berguna ilmunya.
.
KEEMPAT : BERSABAR atau segala gangguan, rintangan dan halangan. Yaitu bersabar di dalam
belajar (mencari ilmu), sabar di dalam beramal dan sabar di dalam mengajar (berdakwah).

Sumber: Al-Fawaaid oleh Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah

Anda mungkin juga menyukai