Anda di halaman 1dari 20

1

BAB I

PENDAHULUAN

Mekanisme dari cedera syaraf, proteksi otak dan resusitasi otak telah
dipelajari selama lebih dari 20 tahun secara intensif, sehingga patofisiologi serta
proses biokimia yang terjadi semakin jelas diketahui. Proses patofisiologi yang terjadi
yang menyebabkan kematian sel dan kehilangan fungsi sel pada trauma, stroke
maupun cedera adalah sama. Brain protection merupakan suatu usaha preemptif
dengan melakukan intervensi terapiutik untuk meningkatkan hasil neurologik pada
pasien yang beresiko mengalami iskemik cerebral. Tujuan utama dari proteksi ini
adalah mencegah efek buruk dari iskemik (Albin, 1997; Bisri et al, 1997; Harukuni et
al, 2009). Brain protection erat kaitannya dengan neuroanestesi karena pada operasi
otak dapat terjadi resiko iskemik, baik karena jenis operasinya, kondisi penderita
maupun karena kualitas teknik anestesinya (Morales et al, 2007). Untuk memahami
efek dari anestesi dan pembedahan terhadap sistem syaraf pusat, kita harus
memahami dasar neurofisiologi dari otak (Bisri et al, 1997; Morgan et al, 2006).
Otak merupakan jaringan yang sangat tinggi kebutuhan energinya. Tingkat
pemakaian O2 untuk metabolisme otak (CMRO2) adalah 3,5 mlO2/100gr jaringan
otak/menit. Orang dewasa dengan berat otak rata-rata 1.400 gr maka kebutuhan O2
adalah 50 ml/menit, atau kurang lebih 20% dari total kebutuhan O2 tubuh. Karenanya
otak merupakan organ yang paling sensitif terhadap keadaan iskemik dibandingkan
dengan organ tubuh lainnya. Bila CBF turun sampai 20 ml/100 gr/menit, gejala
iskemik otak akan tampak (Bisri et al, 1997).
2

BAB II

ISKEMIK CEREBRI

Iskemik serebri merupakan suatu keadaan dimana terjadi insufisiensi perfusi


dari suplai oksigen dan nutrisi yang dibutuhkan untuk menjaga integritas metabolik
dari neuron (40%-45% dari total CMRO2) dan fungsi dari neuron (55%-60% dari
CMRO2) (Bisri et al, 1997; Safar, 1997). Dari hal ini didapatkan bahwa bila terjadi
iskemik maka fungsi akan terganggu lebih dahulu dibandingkan dengan integritas
dari sel neuron (Cotrell et al, 2007).

Integritas seluler

Otak membutuhkan glukosa sebagai substrat utama untuk menghasilkan energi.


Glukosa dimetabolisme melalui oksidasi fosforilasi menjadi Adenosine Triphosphate
(ATP) yang dibutuhkan untuk aktivitas seluler seperti homeostasis, sintesa protein,
mengeluarkan karbondioksida, aktivitas mitokondria dan mempertahankan gradien
ion dan stabilitas membran sel (Bisri et al, 1997).

Fungsi neuronal

Fungsi neuronal normal meliputi generasi dan transmisi dari impuls syaraf dan
dimanifestasikan kedalam aktifitas elektroencepalografi (EEG) yang normal (Cotrell
et al 2007).

Iskemik otak ada 2 bentuk yaitu (Cotrell et al 2007; Bisri et al, 1997) :

1. Iskemik global.
Pada iskemik global terjadi hipoperfusi seluruh organ. Iskemik global dapat
terjadi komplit maupun inkomplit. Iskemik global komplit terjadi pada
keadaan cardiac arrest sedangkan yang inkompilt bisa terjadi pada hipoksia
atau syok.
3

2. Iskemik fokal.
Iskemik fokal terjadi karena adanya sumbatan pada salah satu pembuluh darah
dan biasanya inkomplit. Pada keadaan ini dapat terjadi kompensasi aliran
darah melalui kolateral sehingga kerusakan sel otak dapat dibatasi (fokal).

PATOFISIOLOGI TERJADINYA ISKEMIK CEREBRI

Iskemik terjadi bila perfusi cerebral tidak adekuat sehingga terjadi perubahan
patofisiologi yang menyebabkan kerusakan neuron akibat adanya mediator mediator
kimia. Kurangnya pasokan oksigen dan glukosa dengan segera menyebabkan
menipisnya ATP yang diperlukan dalam segala aktivitas sel. Berkurangnya ATP ini
terjadi dalam waktu 2-4 menit setelah terjadinya iskemik komplit (Bisri et al, 1997).
Asam laktat akan meningkat akibat dari metabolisme anaerob dari glukosa. Asidosis
laktat ini akan memperburuk kerusakan akibat iskemik. Asam laktat mereduksi besi
ferric menjadi ferrus yang akan merangsang pembentukan radikal bebas yang diikuti
dengan terjadinya peroksidasi dari lipid dari membrane sel. Pada iskemik yang
inkomplit, sisa perfusi yang ada memfasilitasi peningkatan produksi laktat dimana
metabolism anaerob terus berjalan, hal ini menyebabkan kerusakan organ lebih besar.
Sedangkan pada iskemik komplit mengakibatkan terhentinya metabolisme secara
total. Sedangkan glukosa yang tinggi merupakan faktor resiko independen terjadinya
iskemik. Mekanisme utamanya adalah dapat meningkatkan terbentuknya laktat yang
menimbulkan asidosis intraseluler yang berperan dalam terjadinya nekrosis neuron.
Hiperglikemia juga mencegah peningkatan pembentukan adenosine otak pada saat
terjadinya iskemik. Adenosin merupakan suatu nukleotida purin, yang berperan
menghambat pelepasan Exitatory Amino Acid (EAA) dan merangsang terjadinya
vasodilatasi cerebral yang secara teoritis mengurangi kerusakan otak. Insulin
mempunyai efek neuroprotektif terlepas dari kemampuannya menurunkan kadar gula
darah. Sedangkan hipoglikemia juga bisa menimbulkan iskemik otak. Hipoglikemia
yang persisten menimbulkan penurunan aktivitas otak dan menimbulkan injury
neuron. Otak yang mengalami iskemik menimbulkan peningkatan pelepasan
4

neurotransmitter EAA glutamate dan aspartat. Ada tiga reseptor dari neurotransmitter
EAA yang dapat diidentifikasi yaitu (Cotrell et al, 2007; Kass et al, 2001) :

1. Reseptor N-methyl-Daspartate (NMDA)


Reseptor ini ditemukan pada permukaan 3, 5 dan 6 dari kortek cerebri,
thalamus, striatum dan serabut purkinje, pada permukaan sel granul dari
cerebellum, dan bagian CA1 dari hipokampus yang sangat mudah mengalami
iskemik. Reseptor NMDA memediasi masuknya ion natrium dan kalsium
melalui saluran membrane sel. Magnesium memblok reseptor NMDA secara
nonkompetitif.
2. Reseptor Quisqualate (alpha-amino-3-hydoxy-5methyl-4-isoxazole-propionic
acid (AMPA))
Reseptor ini ditemukan pada lapisan dalam dari kortikal, thalamus, striatum,
permukaan molekular dari cerebellum dan pada permukaan sel pyramid dan
stratum lusidum dari hipockmpus. Reseptor AMPA memediasi masuknya ion
natrium.
3. Reseptor Kainate
Reseptor ini berlokasi di striatum lusidum dari hipokampus, juga memediasi
masuknya ion natrium.

Glutamat menstimulasi ketiga reseptor tersebut sedangkan aspartat hanya merangsang


reseptor NMDA. Aktifasi reseptor NMDA oleh glutamate memerlukan adanya glisin.
Glutamat menyebabkan kematian sel neuron melalui dua mekanisme yaitu :

1. Immediate (segera)
Pada mekanisme ini, neurotoksisitas terjadi akibat aktivasi reseptor NMDA
oleh glutamate, mengakibatkan masuknya ion natrium, klorida dan air (H2O)
ke dalam sel sehingga terjadinya edema dari sel, lisis dari membrane dan
kematian sel.
2. Delayed (lambat)
Pada delayed neurotoxicity, (yang terjadi dalam 24-72 jam) aktivasi dari
reseptor NMDA merangsang iskemik dengan masuknya ion Ca, yang
5

menimbulkan aktivasi dari phospolipase, protease dan free fatty acids (FFAs),
terbentuknya asam arakidonat dan radikal bebas, peroksidasi lipid dan
kematian sel.

Peningkatan masuknya ion kalsium pada awal merupakan kejadian yang sangat
penting dari kaskade iskemik dan hal ini terjadi melalui beberapa mekanisme.
Mekanisme itu meliputi :

1. Menipisnya ATP mengakibatkan gagalnya pompa Na/K karena pompa ini


memerlukan ATP. Terjadi masuknya Na dan Cl serta keluarnya K. Masuknya
H2O mengakibatkan terjadinya edema. Akibat dari depolarisasi membran,
menyebabkan membran sensitif terhadap ion kalsium dan kalsium masuk ke
dalam sel.
2. Penurunan dari ATP menyebabkan lepasnya Ca dari retikulum endoplasmik.
3. Tingkat EAA meningkat selama periode iskemik, merangsang reseptor
glutamat dan menyebakan terbukanya saluran Ca yang dimediasi oleh NMDA.
4. Ca keluar dari sel melalui proses aktif dan berhenti ketika ATP yang
tersimpan habis.

Peningkatan kalsium intraseluler mengaktivasi phospholipase A1, A2 dan C yang


mengakibatkan hidrolisis dari membran phospolipid dan pelepasan FFAs. Hilangnya
membran phospholipid juga mengakibatkan kerusakan mitokondria dan membran sel.
Sebagian besar FFAs, asam arakidonat dimetabolisme menjadi prostaglandin,
leukotrin dan radikal bebas. Prostaglandin (melalui cycooxygenase pathway) dan
leukotrin (melalui lipoxygenase) menyebabkan terjadinya edema cerebral.
Tromboxan A2, prostaglandin yang berasal dari asam arakidonat dengan kemampuan
vasokontriksi yang poten dan agregasi platelet, meningkatkan iskemik dan
berpengaruh terhadap terjadinya reperfusi injury.

Superoksidase, peroxide, dan radikal hidroxyl menyebabkan peroxidasi lipid pada


membran sel neuron. Hal ini memperngaruhi fungsi membran dan lepasnya produk
toxin (aldehid, gas hidrokarbon). Produk ini menyebabkan edema, rusaknya blood-
brain barrier dan inflamasi.
6

KLINIS DARI ISKEMIK

Dari semua jaringan tubuh, otak merupakan organ yang paling rentan
mengalami iskemik. Hilangnya kesadaran terjadi dalam waktu 15 detik setelah
terjadinya henti jantung. Simpanan glukosa dan ATP habis dalam waktu 4-5 menit.
CBF kritis adalah sebesar 18-20 ml/100 gr otak/menit. Penumbra merupakan daerah
hipoperfusi yang mungkin masih viabel tergantung dari reperfusi. Gambaran EEG
menjadi isoelektrik bila CBF 15 ml/100 gr/menit. Kegagalan metabolisme terjadi bila
CBF sebesar 10 ml/100 gr/menit. Kritikal CPP adalah sebesar 50 mmHg pada
individu normal dan PaO2 adalah 30-35 mmHg pada pasien sehat yang sadar.

Reperfusion injury adalah kerusakan yang terjadi setelah kembalinya perfusi cerebral.
Hipoperfusi mengakibatkan vasokonstriksi yang diinduksi oleh tromboxan dan
agregasi platelet, terganggunya deformabilitas sel darah merah, edema jaringan dan
abnormalitas kadar Ca yang persisten. Asidosis intraseluler, pelepasan
neurotransmiter EAA yang berlanjut dan katekolamin dan pembentukan radikal bebas
menyebabkan kerusakan neuron.
7

BAB III

BRAIN PROTECTION

Target dari cerebral protection adalah dengan memaksimalkan ketersediaan


oksigen dengan meningkatkan pasokan oksigen (delivery) dan mengurangi kebutuhan
oksigen. Mempertahankan CBF dan mencegah terjadinya hipoksia dan hipoksemia
adalah sangat penting. Sasaran dari cerebral protection adalah (Bisri et al, 1997;
Harukuni et al, 2009) :

1. Pasien dengan SOL seperti tumor, abses, hematom, hidrocephalus, dan cairan
kistik kronik dengan atau tanpa adanya kenaikan tekanan intrakranial yang
direncanakan dilakukan tindakan pembedahan.
2. Pasien yang direncanakan untuk prosedur vaskuler intrakranial seperti
clipping aneurisma cerebral dan eksisi dari arteriovenous malformation
(AVM) dan angioma covernosum dan prosedur vaskuler ekstrakranial
termasuk di dalamnya caroted endarterectomy (CEA) dan bypass arteri
superficial temporal ke arteri cerebral media yang memerlukan oklusi
pembuluh darah temporal yang mungkin menimbulkan iskemik fokal.
3. Pasien yang direncanakan dilakukan clipping dari aneurisma arteri basiler
komplek atau besar yang memerlukan fasilitas henti sirkulasi dengan
hipotermia dalam/deep hypothermic circulatory arrest (DHCA)
4. Bypass jantung yang beresiko mengalami iskemik global akibat keadaan
aliran rendah atau iskemik fokal akibat emboli kecil yang multiple.
5. Pasien yang mengalami henti jantung dimana sirkulasi berhasil dikembalikan
dalam 2 jam.

Tindakan yang bisa dilakukan untuk brain protection adalah (Cotrell et al, 2007):

A. Tindakan nonfarmakologi
1. Hipotermia
8

Hipotermia menurunkan aktivitas metabolik dan fungsional dari otak.


Walaupun hipotermia dapat menurunkan CMRO2 sebesar 7% setiap
penurunan 1ºC, namun mekanisme ini belum diketahui secara jelas.
Koefisien suhu (Q10) sering dipakai untuk menggambarkan hubungan
antara temperature dan CMRO2. Pada kebanyakan reaksi biologi, Q10
kurang lebih 2 (50% penurunan dari CMRO2 setiap penurunan temperature
sebesar 10ºC). Bila pada suhu otak yang normal (37ºC) dapat mentoleransi
keadaan iskemik yang komplit selama 5 menit, maka pada suhu 27ºC, otak
dapat mentolerasnsi keadaan iskemik komplit selama 10 menit. Nilai Q10
aktual adalah 2,2 sampai 2,4 antara suhu 27ºC-37ºC, mengakibatkan
penurunan CMRO2>50% pada suhu 27ºC. Antara 27ºC dan 17ºC, Q10
kurang lebih sebesar 5. Korelasi ini sesuai dengan penurunan fungsi
neuron, yang diperlihatkan dengan gambaran EEG yang isoelektrik (yang
terjadi pada suhu 18ºC dan 21ºC) dan kemampuan toleransi dari otak
terhadap iskemik lebih lama dan diprediksi sebagai model linier. Dibawah
17ºC nilai Q10 sebesar 2,2 sampai 2,4. Bagaimanapun, sedikit penurunan
suhu secara bermakna dapat mengurangi kerusakan otak. Mekanisme dari
hipotermia dalam mengurangi kerusakan otak adalah dengan mengurangi
influk ion Ca, mengurangi pelepasan EAA, terpeliharanya sawar darah
otak, dan tidak terjadinya peroksidasi dari lipid. Walaupun pada percobaan
binatang didapatkan hipotermia ringan (32°C-35°C) dapat bersifat sebagai
neuroprotektif namun secara klinis ini tidak bermanfaat pada bedah
aneurisma. Hubungan antara temperature esophagus dan otak tidak boleh
diragukan. Temperatur membrane timpani atau nasofaringeal dapat
digunakan lebih akurat untuk menilai suhu otak. Mencegah terjadinya
hipertermia sangat penting, karena temperature diatas nilai normal akan
mengakibatkan terjadinya peningkatan CMRO2 dan memperberat
kerusakan otak yang terjadi.
9

2. Mencegah hiperglikemia
Direkomendasikan untuk mempertahankan gula darah dibawah 150
mg/dL. Gula darah dimonitor secara serial dan hipoglikemia (gula darah
dibawah 60 mg/dL) harus dihindari.
3. Mencegah terjadinya hipotensi, hipoksia, dan hiperkapnia akibat dari
iskemik otak
Ahli bedah biasanya meminta tekanan darah dinaikkan sementara untuk
meningkatkan CPP pada saat dilakukan oklusi dari pembuluh darah utama
sebelum dilakukan ligasi definitive dari aneurisma. Hipotensi dapat
memperburuk kondisi pasien yang beresiko mengalami vasospasme.
4. Hemodilusi
Hematokrit sebesar 32% sampai 34% meningkatkan CBF dengan
mengurangi viskositas darah sehingga meningkatkan pengantaran dari
oksigen.
5. Menormalisasi peningkatan tekanan intra kranial
Menormalisasi dari peningkatan tekanan intra kranial dapat dilakukan
dengan hiperventilasi sedang (PaCO2 25-30 mmHg), elevasi dari kepala
setinggi 30°, pemberian manitol dan atau furosemide, drainase cairan
cerebrospinal melalui ventrikulostomy, pembatasan pemberian cairan, dan
pemberian barbiturat.
6. Koreksi terhadap asidosis dan ketidakseimbangan elektrolit termasuk
didalamnya Na dan K.
B. Secara Farmakologi
1. Obat intravena
a. Barbiturat
Merupakan obat yang sangat efektif secara farmakologi sebagai
brain protection terhadap kerusakan otak akibat iskemik.
1. Thiopental
Thiopental merupakan obat yang mempunyai efek cerebro
vasokonstriktor, menurunkan CMRO2, CBF, Cerebral Blood
10

Volume (CBV), dan Intracranial Pressure (ICP). Reaktivitas


CO2 dipertahankan. Mekanisme proteksi utamanya adalah
dengan menurunkan CMRO2 sampai sebesar 55%-60% yang
mana akan memperlihatkan gambaran EEG yang isoelektris.
Thiopental juga menyebabkan timbulnya phenomena inverse
steal, dimana vasokonstriksi pada daerah yang normal, dan
meningkatkan perfusi kedaerah iskemik yang tidak mampu
untuk berkonstriksi. Thiopental mempunyai efek sebagai anti
kejang. Mekanisme lain dari obat ini adalah sebagai agonis
Gamma aminobutyric acid (GABA), sebagai pelindung dari
radikal bebas, mentabilisasi membrane sel, antagonis NMDA,
Ca channel blocker, dan mempertahankan sintesa protein.
Namun thiopental tidak meningkatkan hasil akhir kerusakan
otak akibat iskemik global atau komplit akibat henti jantung.
Dosis dari thiopental untuk iskemik fokal adalah 3-5 mg/kgBB
tiap 5 sampai 10 menit dengan total dosis maksimal 15-20
mg/kgBB
2. Pentobarbital
Efek terhadap otak dari pentobarbital adalah sama dengan
thiopental. Phentobarbital mempunyai lama kerja lebih panjang
dibandingkan dengan thiopental (t1/2=30 jam). Dosis awal dari
pentobarbital ini adalah sebesar 3-10 mg/kgBB dalam 0,5-3
jam dengan dosis pemeliharaan sebesar 0,5-3 mg/kgBB/jam
diberikan secara titrasi dengan melihat efeknya pada EEG.
Konsentrasi plasma yang diharapkan adalah 2,5-4 mg/dL
3. Methohexital
Merupakan barbiturat yang mempunyai masa kerja pendek,
dapat memicu penurunan kesadaran pada individu dengan
riwayat epilepsi. Obat ini bermanfaat untuk induksi pada
pasien yang dilakukan tindakan pembedahan singkat yang
11

memerlukan penurunan kesadaran (seperti terapi


elektrokonvulsif (ECT) dan operasi pasien dengan epilepsi.
b. Obat anestesi intravena lainnya
Obat-obat anestesi yang dapat mempertahankan ATP dengan
menurunkan metabolism otak dan secara simultan
mempertahankan CBF dan kestabilan kardiovaskuler secara teori
merupakan obat pelindung otak yang poten.
a. Etomidat
Merupakan obat yang bekerja cepat yang mengandung
imidazole, yang seperti barbiturate menyebabkan terjadinya
vasokonstriksi cerebral. Ledakan penekanan pada EEG
terjadi bila diberikan dosis tinggi. Kebanyakan penelitian
yang dilakukan memperlihatkan bahwa pemberian obat ini
setelah terjadinya iskemik manfaat yang ditimbulkan tidak
terlalu baik. Pemberian dosis induksi dari obat ini
menyebabkan terjadinya desaturasi dari serebri. Etomidat
menurunkan CMRO2 sebesar 50%, CBF, dan ICP ketika
kestabilan kardiovaskuler dipertahankan. Etomidat
menyebabkan penekanan adrenokortikal selama lebih dari
24 jam setelah pemberian dosis tunggal (dengan
menghambat 11 beta hidroksilase). Hal ini perlu
diperhatikan bila etomidat diberikan secara infus
khususnya pada pasien yang pada saat bersamaan
mendapatkan obat steroid. Pernah dilaporkan terjadinya
aktivitas myoklonik dengan pemberian etomidat dan
adanya kejadian penurunan kesadaran. Efek samping dari
etomidat adalah mual, muntah dan nyeri pada tempat
suntikan.
12

b. Propofol (2,6-diisoprophylphenol)
Obat ini merupakan obat induksi dengan kerja cepat dan
dapat juga dipakai untuk pemeliharaan anestesi,
mempunyai efek yang sama dengan barbiturat pada
cerebrovaskuler. Manfaat dari efek propofol setelah
terjadinya iskemik masih belum jelas. Propofol
menurunkan CMRO2, ICP dan CBF (dengan menyebabkan
vasokonstriksi). Depresi pada hemodinamik menyebabkan
penurunan CPP lebih besar dibandingkan dengan
barbiturat. Ledakan supresi pada EEG diperlihatkan bila
diberikan dosis tinggi. Propofol dapat mengurangi kejadian
mual muntah pasca tindakan.
c. Benzodiazepin
Obat ini merupakan obat sedative-hipnotik yang digunakan
sebagai obat adjuvan dalam tindakan anestesi, merangsang
neurotrasmiter inhibisi GABA dan menurunkan CMRO2 dan
CBF. ICP sedikit turun. Benzodiazepin merupakan obat
anti kejang yang poten. Obat ini juga menimbulkan efek
amnesia dan anxiolisis.
1. Diazepam
Obat ini biasanya digunakan sebagai premedikasi
oral dengan dosis 0,1-0,25 mg/kgBB. Waktu
paruh dari obat ini panjang yaitu 21-37 jam
sehingga pemakaian obat ini dibatasi untuk
pasien-pasien neurosurgery yang memerlukan
tindakan emergensi dan memerlukan penilaian
yang segera post operasi. Diazepam merupakan
obat yang sangat efektif untuk pengobatan status
epileptikus.
13

2. Midazolam
Obat ini mempunyai waktu paruh 1 sampai 4 jam.
Dosis premedikasi dari obat ini yang diberikan
secara intravena adalah sebesar 0,25 sampai 0,5
mg, lebih dari 0,1 mg/kgBB. Sedasi yang dalam
yang bisa menimbulkan hipoventilasi yang
menginduksi hiperkapnia harus dihindari pada
pasien yang beresiko yang dapat menimbulkan
peningkatan tekanan intrakranial. Midazolam
dosis tinggi bermanfaat pada pasien yang telah
mengalami iskemik cerebri.
3. Lorazepam
Obat ini bermanfaat untuk premedikasi dengan
dosis 0,5-4 mg peroral atau 2-4 mg intravena atau
intramuskuler. Seperti halnya diazepam,
pemakaian obat ini dibatasi pada operasi bedah
syaraf karena mempunyai waktu paruh yang
panjang yaitu 10-20 jam.
d. Opioid
Opioid menimbulkan sedasi dan analgesia dan
menyebabkan berkurangnya pelepasan neurotransmitter
dan mempertahankan autoregulasi, reaktivitas CO2, dan
kestabilan kardiovaskuler. CBF, CMRO2 dan ICP tidak
berubah atau sedikit menurun. Gelombang delta terlihat
pada EEG, ledakan supresi tidak terjadi.
1. Morphin
Morphin merupakan analgesia yang kuat dengan
penetrasi ke system syaraf pusat yang relatif
buruk. Umumnya dipakai untuk analgesia post
operasi pada pasien bedah syaraf, morfin
14

menyebabkan hipotensi akibat sekunder dari


pelepasan histamine.
2. Meperidin
Meperidin meningkatkan denyut jantung karena
mempunyai struktur dan efek seperti sulfas
atropin. Normoperidine merupakan hasil
metabolit dari meperidine yang dapat
menimbulkan eksitasi dan penurunan kesadaran.
3. Fentanyl
Fentanyl 100 kali lebih poten dibandingkan
dengan morphin. Fentanyl tidak menimbulkan
pelepasan histamin, mempunyai masa kerja yang
lebih pendek dari morphin dan dapat sedikit
menurunkan ICP dan CBV dan mempertahankan
CPP.
4. Sufentanyl
Sufentanyl lebih poten dibandingkan dengan
fentanyl dan dapat meningkatkan ICP (akibat
vasodilatasi) pada pasien dengan cedera kepala
berat.
5. Remifentanyl
Remifentanyl merupakan obat mempunyai masa
kerja yang sangat penek (t1/2 = 3 sampai 10 menit)
dan sebanding dengan fentanyl dalam
menurunkan ICP dan CBV dan mempertahankan
CPP.
e. Ketamin
Ketamin merupakan derivat phenylclidine, yang
menimbulkan anestesi disosiasi. Ketamin dapat
meningkatkan ICP dan CBF (60%) dengan terjadinya
15

vasodilatasi. CMRO2 tidak berubah atau sedikit meningkat.


Autoregulasi tidak ada. Dapat terjadi penurunan kesadaran
dengan pemberian ketamin. Walaupun ketamin merupakan
antagonis NMDA yang nonkompetitif, namun ketamin
tidak direkomendasikan pada pasien dengan permasalahan
patologi intrakranial.
f. Obat anestesi lokal
Obat anestesi lokal biasanya digunakan sebagai adjuvan
pada neuroanestesi. Efek dari lidokain secara klinis
tergantung dari dosis yang diberikan. Lidokain dapat
menurunkan CMRO2 sebesar 15% sampai 20%. Secara
klinis dosis yang direkomendasikan adalah sebesar 1,5
mg/kgBB. Lidokain dapat mengurangi kerusakan akibat
iskemik. Lidokain juga dapat menghanbat respon
hemodinamik akibat intubasi dengan meningkatkan
kedalaman anestesi. Pada dosis rendah lidokain
mempunyai efek antikejang dan dapat digunakan sebagai
terapi penyokong pada pasien status epileptikus. Pada dosis
toksis, lidokain dapat menyebabkan penurunan kesadaran.
c. Obat Calsium channel blocker
Obat-obat ini secara teori bisa sebagai brain protection dengan
menimbulkan vasodilatasi dan dengan mengurangi influk dari ion
kalsium.
1. Nimodipin
Obat ini mengurangi vasospasme setelah
aneurisma perdarahan subarachnoid (SAH).
Nimodipin dapat meningkatkan CBF ke daerah
yang mengalami difusi yang kurang dengan
redistribusi, yang disebut dengan efek inverse
steal. Dosis dari nimodipin yang tersedia peroral
16

adalah 60 mg setiap 4 jam selama 21 hari setelah


SAH. Dapat terjadi hipotensi dengan pemberian
nimodipine.
2. Nicardipin
Nicardipin tersedia untuk pemberian secara
intravena, dapat menurunkan kejadian kerusakan
otak pada percobaan binatang, namun secara
klinis tidak dapat meningkatkan hasil akhir
perbaikan syaraf pada otak yang telah mengalami
iskemik.
d. Obat anti kejang
Obat anti kejang diindikasikan untuk pasien dengan resiko
mengalami kejang termasuk pasien yang menderita epilepsi,
trauma kepala, atau post operasi kraniotomi. Kejang akan
memperberat iskemik dari otak karena kemungkinan terjadinya
metabolism anaerob. CBF, CMRO2 dan Ca intraseluler akan
meningkat selama terjadinya kejang dan neurotransmitter EAA
termasuk didalamnya glutamate akan dilepaskan. Bila terjadi
kejang maka jalan nafas pasien harus dijaga dengan baik dan
ventilasi harus adekuat. Mencegah terjadinya hipotensi adalah
sangat esensial. Obat anti kejang harus segera diberikan yaitu :
a. Thiopental, 25 sampai 100 mg iv
b. Diazepam, 2 sampai 20 mg iv
c. Midazolam, 1 sampai 5 mg iv
Fosphenytoin, 15 sampai 20 mg phenytoin ekuivalen (PE)/kgBB
atau phenytoin 15 mg/kgBB harus diberikan untuk mencegah
terjadinya kejang kembali setelah kejang yang pertama dapat
diatasi. Fosphenytoin, 75 mg ekuivalen dengan phenytoin 50 mg,
pemberiannya dapat dengan cepat (lebih dari 150 mgPE/menit).
Sedangkan pemberian phenytoin kecepatan maksimal 50 mg/menit
17

karena pemberian yang cepat dapat menyebabkan terjadinya


hipotensi. Loading dose dari fosphenytoin dapat diberikan dalam 5
sampai 7 menit, yang ekuivalen dengan pemberian phenytoin
dalam waktu 15 sampai 20 menit.
2. Obat anetesia inhalasi
A. Volatil anestesi
Semua obat anestesi inhalasi merupakan cerebro vasodilator yang
poten yang menimbulkan peningkatan CBF dan ICP dengan
derajat yang berbeda-beda. Efek ini dapat dikurangi dengan
melakukan hiperventilasi. Obat-obat volatile anestesi juga
menurunkan CMRO2. Autoregulasi terganggu namun respon
terhadap CO2 dipertahankan.
a. Isofluran
Isofluran merupakan obat volatile yang paling besar dapat
menurunkan CMRO2 (40-50%) dan efek vasodilatornya paling
lemah. EEG memperlihatkan gambaran isoelektrik pada MAC
2% atau 2,4%. Isofluran tidak mempunyai efek terhadap
produksi liquor dan tidak meningkatkan reabsorpsi dari liquor.
Isofluran juga dapat melindungi otak yang telah mengalami
iskemik. Pada penelitian binatang mengenai pengaruh isofluran
terhadap iskemik dan hipoksia didapatkan bahwa efek proteksi
ini terbatas.
b. Sevofluran
Efek sevofluran terhadap otak sama dengan efek yang
diberikan oleh isofluran, keduanya sedikit meningkatan CBF
dan ICP dan mengurangi CMRO2. Pada pemberian sevofluran
yang lama dapat menimbulkan nefrotoksik inorganik akibat
fluoride. Induksi dan sadar kembali cepat pada pemberian
sevofluran. Sevofluran dapat memberikan perlindungan pada
otak setelah mengalami iskemik melalui preconditioning.
18

Preconditioning dengan sevofluran memperlihatkan adanya


cerebral protection diperlihatkan selama terjadinya iskemik
inkomplit pada percobaan in vivo.
c. Desfluran
Desfluran mempunyai profil cerebrovaskuler yang sama
dengan isofluran, namun ICP meningkat walaupun pasien
dalam kondisi normokapni. Induksi dan sadar kembali dengan
pemberian desfluran adalah sangat cepat. Desfluran juga
memberikan perlindungan pada otak setelah mengalami
iskemik. Penelitian terhadap desfluran setelah otak mengalami
hipoksia dan iskemik inkomplit memperlihatkan efek proteksi.
B. N2O
N2O merupakan cerebrovasodilator, meningkatkan CBF, CMRO2
dan ICP. Peningkatan dapat dikurangi oleh adanya pemberian
barbiturat, opioid dan hipokapnia. Kelarutan N2O dalam darah 32
kali lebih kuat dibandingkan dengan nitrogen dan mampu berdifusi
ke rongga tubuh dengan sangat cepat. Pemakaian N2O harus
dihindari pada pasien dengan pneumocepalus dan pasien dengan
riwayat operasi kraniotomi kurang dari 2 minggu. Pemberian N2O
harus dihentikan sesegera mungkin bila dicurigai terjadinya emboli
udara yang dapat memperberat defisit neurologi setelah terjadinya
trauma kepala.
19

DAFTAR PUSTAKA

Albin, M.S., 1997. Intracranial Aneurisma and AV malformations : Anesthetic


Management. In : Albin, M.S., Editor. Neuroanesthesia with Neurosurgical
and Neuroscience Perspectives. 3th. Ed. The McGraw-Hill Companies, P.
878-891.
Barash, P.G., Cullen, B.F., Stoelting, R.K., 2006. Anesthesia for Neurosurgery. In :
Barash, P.G., Cullen, B.F., Stoelting, R.K., editors. Handbook of Clinical
Anesthesia, 5th. Ed. Lippincott Williams & Wilkins. P. 438-463.
Bisri, T., Wargahadibrata, A.H., Surahman, E., 1997. Brain Protection. In : Bisri, T.,
Wargahadibrata, A.H., Surahman, E., editors. Neuroanestesi. 2nd. Ed. Fakultas
Kedokteran Universitas Padjajaran, Bandung. P. 59-74.
Doyle, P.W., Gupta, A.K., 2000. Mechanisms of Injury and Cerebral Protection. In :
Matta, B.F., Menon, D.K., Editors. Textbook of Neuroanesthesia and Critical
Care. 2nd. Ed. GMM. P. 37-48.
Engelhard, K., Foster, N., Gelb, A.W., 2009. Is There a Best Technique in The
Patient with Increased Intracranial Pressure? In : Fleisher, L.E., Editor.
Evidence Based Practice of Anesthesiology. 2nd. Ed. Saunders Elsevier. P.
433-436.
Harukuni, I., Robinson, T., 2009. What Works for Brain Protection? In : Fleisher,
L.E., Editor. Evidence Based Practice of Anesthesiology. 2nd. Ed. Saunders
Elsevier. P. 437-444.
Kass, I.S., Cotrell, J.E., 2001. Pathofisiology of Brain Injury. In : Cotrell, J.E., Smith,
D.S., Editors.Anesthesia and Neurosurgery. 4th. Ed. Mosby. P. 69-81.
Morales, M.I., Pittman, J., Cotrell, J.E., 2007. Cerebral Protection and Resuscitation.
In : Newfield, P., Cotrell, J.E., editors. Handbook of Neuroanesthesia. 4th. Ed.
Lippincott Williams & Wilkins. P. 55-72.
Morgan, G.E., Mikhail, M.S., Murray, M.J. 2006. Anesthesia for Neurosurgery. In :
Morgan, G.E., Mikhail, M.S., Murray, M.J., editors. Clinical Anesthesiology.
4th. Ed. Lange Medical/McGraw-Hill. P. 614-632.
20

Morgan, G.E., Mikhail, M.S., Murray, M.J. 2006. Neurophysiology & Anesthesia. In :
Morgan, G.E., Mikhail, M.S., Murray, M.J., editors. Clinical Anesthesiology.
4th. Ed. Lange Medical/McGraw-Hill. P. 614-632.
Norbert, T., Hemmings, H.C. 2003. Brain Tumor and Craniotomy. In : Yao, F.S.,
editor. Anesthesiology Problem Oriented Patient Management. 5th. Ed. USA :
Lippincott Williams & Wilkins. P. 513-29.
Quah, C., Gelb, A.W., Talke, P. 2007. Central Nervous System Disease. In :
Stoelting, R.K., Miller, R.D., editors. Basic of Anesthesia. 5th. Ed.San
Fransisco, California : Churchill Livingstone. P. 453-462
Roth, S.W., 2006. Intracranial and Cerebrovasculer Disease. In : Duke, J., editor.
Anesthesia Secrets. 3th. Ed. Mosby Elsevier. P. 250-256.
Safar, P., 1997. Resuscitation of The Ischemic Brain. In : Albin, M.S., Editor.
Neuroanesthesia with Neurosurgical and Neuroscience Perspectives. 3th. Ed.
The McGraw-Hill Companies, P. 557-609.
Stoelting, R.K., Miller, R.D. 2006. Central Nervous System. In : Stoelting, R.K.,
Miller, R.D., editors.Pharmacology & Physiology in Anesthetic Practice. 4th.
Ed. USA : Lippincott Williams & Wilkins. P. 663-668.

Anda mungkin juga menyukai