Brain Protection
Brain Protection
BAB I
PENDAHULUAN
Mekanisme dari cedera syaraf, proteksi otak dan resusitasi otak telah
dipelajari selama lebih dari 20 tahun secara intensif, sehingga patofisiologi serta
proses biokimia yang terjadi semakin jelas diketahui. Proses patofisiologi yang terjadi
yang menyebabkan kematian sel dan kehilangan fungsi sel pada trauma, stroke
maupun cedera adalah sama. Brain protection merupakan suatu usaha preemptif
dengan melakukan intervensi terapiutik untuk meningkatkan hasil neurologik pada
pasien yang beresiko mengalami iskemik cerebral. Tujuan utama dari proteksi ini
adalah mencegah efek buruk dari iskemik (Albin, 1997; Bisri et al, 1997; Harukuni et
al, 2009). Brain protection erat kaitannya dengan neuroanestesi karena pada operasi
otak dapat terjadi resiko iskemik, baik karena jenis operasinya, kondisi penderita
maupun karena kualitas teknik anestesinya (Morales et al, 2007). Untuk memahami
efek dari anestesi dan pembedahan terhadap sistem syaraf pusat, kita harus
memahami dasar neurofisiologi dari otak (Bisri et al, 1997; Morgan et al, 2006).
Otak merupakan jaringan yang sangat tinggi kebutuhan energinya. Tingkat
pemakaian O2 untuk metabolisme otak (CMRO2) adalah 3,5 mlO2/100gr jaringan
otak/menit. Orang dewasa dengan berat otak rata-rata 1.400 gr maka kebutuhan O2
adalah 50 ml/menit, atau kurang lebih 20% dari total kebutuhan O2 tubuh. Karenanya
otak merupakan organ yang paling sensitif terhadap keadaan iskemik dibandingkan
dengan organ tubuh lainnya. Bila CBF turun sampai 20 ml/100 gr/menit, gejala
iskemik otak akan tampak (Bisri et al, 1997).
2
BAB II
ISKEMIK CEREBRI
Integritas seluler
Fungsi neuronal
Fungsi neuronal normal meliputi generasi dan transmisi dari impuls syaraf dan
dimanifestasikan kedalam aktifitas elektroencepalografi (EEG) yang normal (Cotrell
et al 2007).
Iskemik otak ada 2 bentuk yaitu (Cotrell et al 2007; Bisri et al, 1997) :
1. Iskemik global.
Pada iskemik global terjadi hipoperfusi seluruh organ. Iskemik global dapat
terjadi komplit maupun inkomplit. Iskemik global komplit terjadi pada
keadaan cardiac arrest sedangkan yang inkompilt bisa terjadi pada hipoksia
atau syok.
3
2. Iskemik fokal.
Iskemik fokal terjadi karena adanya sumbatan pada salah satu pembuluh darah
dan biasanya inkomplit. Pada keadaan ini dapat terjadi kompensasi aliran
darah melalui kolateral sehingga kerusakan sel otak dapat dibatasi (fokal).
Iskemik terjadi bila perfusi cerebral tidak adekuat sehingga terjadi perubahan
patofisiologi yang menyebabkan kerusakan neuron akibat adanya mediator mediator
kimia. Kurangnya pasokan oksigen dan glukosa dengan segera menyebabkan
menipisnya ATP yang diperlukan dalam segala aktivitas sel. Berkurangnya ATP ini
terjadi dalam waktu 2-4 menit setelah terjadinya iskemik komplit (Bisri et al, 1997).
Asam laktat akan meningkat akibat dari metabolisme anaerob dari glukosa. Asidosis
laktat ini akan memperburuk kerusakan akibat iskemik. Asam laktat mereduksi besi
ferric menjadi ferrus yang akan merangsang pembentukan radikal bebas yang diikuti
dengan terjadinya peroksidasi dari lipid dari membrane sel. Pada iskemik yang
inkomplit, sisa perfusi yang ada memfasilitasi peningkatan produksi laktat dimana
metabolism anaerob terus berjalan, hal ini menyebabkan kerusakan organ lebih besar.
Sedangkan pada iskemik komplit mengakibatkan terhentinya metabolisme secara
total. Sedangkan glukosa yang tinggi merupakan faktor resiko independen terjadinya
iskemik. Mekanisme utamanya adalah dapat meningkatkan terbentuknya laktat yang
menimbulkan asidosis intraseluler yang berperan dalam terjadinya nekrosis neuron.
Hiperglikemia juga mencegah peningkatan pembentukan adenosine otak pada saat
terjadinya iskemik. Adenosin merupakan suatu nukleotida purin, yang berperan
menghambat pelepasan Exitatory Amino Acid (EAA) dan merangsang terjadinya
vasodilatasi cerebral yang secara teoritis mengurangi kerusakan otak. Insulin
mempunyai efek neuroprotektif terlepas dari kemampuannya menurunkan kadar gula
darah. Sedangkan hipoglikemia juga bisa menimbulkan iskemik otak. Hipoglikemia
yang persisten menimbulkan penurunan aktivitas otak dan menimbulkan injury
neuron. Otak yang mengalami iskemik menimbulkan peningkatan pelepasan
4
neurotransmitter EAA glutamate dan aspartat. Ada tiga reseptor dari neurotransmitter
EAA yang dapat diidentifikasi yaitu (Cotrell et al, 2007; Kass et al, 2001) :
1. Immediate (segera)
Pada mekanisme ini, neurotoksisitas terjadi akibat aktivasi reseptor NMDA
oleh glutamate, mengakibatkan masuknya ion natrium, klorida dan air (H2O)
ke dalam sel sehingga terjadinya edema dari sel, lisis dari membrane dan
kematian sel.
2. Delayed (lambat)
Pada delayed neurotoxicity, (yang terjadi dalam 24-72 jam) aktivasi dari
reseptor NMDA merangsang iskemik dengan masuknya ion Ca, yang
5
menimbulkan aktivasi dari phospolipase, protease dan free fatty acids (FFAs),
terbentuknya asam arakidonat dan radikal bebas, peroksidasi lipid dan
kematian sel.
Peningkatan masuknya ion kalsium pada awal merupakan kejadian yang sangat
penting dari kaskade iskemik dan hal ini terjadi melalui beberapa mekanisme.
Mekanisme itu meliputi :
Dari semua jaringan tubuh, otak merupakan organ yang paling rentan
mengalami iskemik. Hilangnya kesadaran terjadi dalam waktu 15 detik setelah
terjadinya henti jantung. Simpanan glukosa dan ATP habis dalam waktu 4-5 menit.
CBF kritis adalah sebesar 18-20 ml/100 gr otak/menit. Penumbra merupakan daerah
hipoperfusi yang mungkin masih viabel tergantung dari reperfusi. Gambaran EEG
menjadi isoelektrik bila CBF 15 ml/100 gr/menit. Kegagalan metabolisme terjadi bila
CBF sebesar 10 ml/100 gr/menit. Kritikal CPP adalah sebesar 50 mmHg pada
individu normal dan PaO2 adalah 30-35 mmHg pada pasien sehat yang sadar.
Reperfusion injury adalah kerusakan yang terjadi setelah kembalinya perfusi cerebral.
Hipoperfusi mengakibatkan vasokonstriksi yang diinduksi oleh tromboxan dan
agregasi platelet, terganggunya deformabilitas sel darah merah, edema jaringan dan
abnormalitas kadar Ca yang persisten. Asidosis intraseluler, pelepasan
neurotransmiter EAA yang berlanjut dan katekolamin dan pembentukan radikal bebas
menyebabkan kerusakan neuron.
7
BAB III
BRAIN PROTECTION
1. Pasien dengan SOL seperti tumor, abses, hematom, hidrocephalus, dan cairan
kistik kronik dengan atau tanpa adanya kenaikan tekanan intrakranial yang
direncanakan dilakukan tindakan pembedahan.
2. Pasien yang direncanakan untuk prosedur vaskuler intrakranial seperti
clipping aneurisma cerebral dan eksisi dari arteriovenous malformation
(AVM) dan angioma covernosum dan prosedur vaskuler ekstrakranial
termasuk di dalamnya caroted endarterectomy (CEA) dan bypass arteri
superficial temporal ke arteri cerebral media yang memerlukan oklusi
pembuluh darah temporal yang mungkin menimbulkan iskemik fokal.
3. Pasien yang direncanakan dilakukan clipping dari aneurisma arteri basiler
komplek atau besar yang memerlukan fasilitas henti sirkulasi dengan
hipotermia dalam/deep hypothermic circulatory arrest (DHCA)
4. Bypass jantung yang beresiko mengalami iskemik global akibat keadaan
aliran rendah atau iskemik fokal akibat emboli kecil yang multiple.
5. Pasien yang mengalami henti jantung dimana sirkulasi berhasil dikembalikan
dalam 2 jam.
Tindakan yang bisa dilakukan untuk brain protection adalah (Cotrell et al, 2007):
A. Tindakan nonfarmakologi
1. Hipotermia
8
2. Mencegah hiperglikemia
Direkomendasikan untuk mempertahankan gula darah dibawah 150
mg/dL. Gula darah dimonitor secara serial dan hipoglikemia (gula darah
dibawah 60 mg/dL) harus dihindari.
3. Mencegah terjadinya hipotensi, hipoksia, dan hiperkapnia akibat dari
iskemik otak
Ahli bedah biasanya meminta tekanan darah dinaikkan sementara untuk
meningkatkan CPP pada saat dilakukan oklusi dari pembuluh darah utama
sebelum dilakukan ligasi definitive dari aneurisma. Hipotensi dapat
memperburuk kondisi pasien yang beresiko mengalami vasospasme.
4. Hemodilusi
Hematokrit sebesar 32% sampai 34% meningkatkan CBF dengan
mengurangi viskositas darah sehingga meningkatkan pengantaran dari
oksigen.
5. Menormalisasi peningkatan tekanan intra kranial
Menormalisasi dari peningkatan tekanan intra kranial dapat dilakukan
dengan hiperventilasi sedang (PaCO2 25-30 mmHg), elevasi dari kepala
setinggi 30°, pemberian manitol dan atau furosemide, drainase cairan
cerebrospinal melalui ventrikulostomy, pembatasan pemberian cairan, dan
pemberian barbiturat.
6. Koreksi terhadap asidosis dan ketidakseimbangan elektrolit termasuk
didalamnya Na dan K.
B. Secara Farmakologi
1. Obat intravena
a. Barbiturat
Merupakan obat yang sangat efektif secara farmakologi sebagai
brain protection terhadap kerusakan otak akibat iskemik.
1. Thiopental
Thiopental merupakan obat yang mempunyai efek cerebro
vasokonstriktor, menurunkan CMRO2, CBF, Cerebral Blood
10
b. Propofol (2,6-diisoprophylphenol)
Obat ini merupakan obat induksi dengan kerja cepat dan
dapat juga dipakai untuk pemeliharaan anestesi,
mempunyai efek yang sama dengan barbiturat pada
cerebrovaskuler. Manfaat dari efek propofol setelah
terjadinya iskemik masih belum jelas. Propofol
menurunkan CMRO2, ICP dan CBF (dengan menyebabkan
vasokonstriksi). Depresi pada hemodinamik menyebabkan
penurunan CPP lebih besar dibandingkan dengan
barbiturat. Ledakan supresi pada EEG diperlihatkan bila
diberikan dosis tinggi. Propofol dapat mengurangi kejadian
mual muntah pasca tindakan.
c. Benzodiazepin
Obat ini merupakan obat sedative-hipnotik yang digunakan
sebagai obat adjuvan dalam tindakan anestesi, merangsang
neurotrasmiter inhibisi GABA dan menurunkan CMRO2 dan
CBF. ICP sedikit turun. Benzodiazepin merupakan obat
anti kejang yang poten. Obat ini juga menimbulkan efek
amnesia dan anxiolisis.
1. Diazepam
Obat ini biasanya digunakan sebagai premedikasi
oral dengan dosis 0,1-0,25 mg/kgBB. Waktu
paruh dari obat ini panjang yaitu 21-37 jam
sehingga pemakaian obat ini dibatasi untuk
pasien-pasien neurosurgery yang memerlukan
tindakan emergensi dan memerlukan penilaian
yang segera post operasi. Diazepam merupakan
obat yang sangat efektif untuk pengobatan status
epileptikus.
13
2. Midazolam
Obat ini mempunyai waktu paruh 1 sampai 4 jam.
Dosis premedikasi dari obat ini yang diberikan
secara intravena adalah sebesar 0,25 sampai 0,5
mg, lebih dari 0,1 mg/kgBB. Sedasi yang dalam
yang bisa menimbulkan hipoventilasi yang
menginduksi hiperkapnia harus dihindari pada
pasien yang beresiko yang dapat menimbulkan
peningkatan tekanan intrakranial. Midazolam
dosis tinggi bermanfaat pada pasien yang telah
mengalami iskemik cerebri.
3. Lorazepam
Obat ini bermanfaat untuk premedikasi dengan
dosis 0,5-4 mg peroral atau 2-4 mg intravena atau
intramuskuler. Seperti halnya diazepam,
pemakaian obat ini dibatasi pada operasi bedah
syaraf karena mempunyai waktu paruh yang
panjang yaitu 10-20 jam.
d. Opioid
Opioid menimbulkan sedasi dan analgesia dan
menyebabkan berkurangnya pelepasan neurotransmitter
dan mempertahankan autoregulasi, reaktivitas CO2, dan
kestabilan kardiovaskuler. CBF, CMRO2 dan ICP tidak
berubah atau sedikit menurun. Gelombang delta terlihat
pada EEG, ledakan supresi tidak terjadi.
1. Morphin
Morphin merupakan analgesia yang kuat dengan
penetrasi ke system syaraf pusat yang relatif
buruk. Umumnya dipakai untuk analgesia post
operasi pada pasien bedah syaraf, morfin
14
DAFTAR PUSTAKA
Morgan, G.E., Mikhail, M.S., Murray, M.J. 2006. Neurophysiology & Anesthesia. In :
Morgan, G.E., Mikhail, M.S., Murray, M.J., editors. Clinical Anesthesiology.
4th. Ed. Lange Medical/McGraw-Hill. P. 614-632.
Norbert, T., Hemmings, H.C. 2003. Brain Tumor and Craniotomy. In : Yao, F.S.,
editor. Anesthesiology Problem Oriented Patient Management. 5th. Ed. USA :
Lippincott Williams & Wilkins. P. 513-29.
Quah, C., Gelb, A.W., Talke, P. 2007. Central Nervous System Disease. In :
Stoelting, R.K., Miller, R.D., editors. Basic of Anesthesia. 5th. Ed.San
Fransisco, California : Churchill Livingstone. P. 453-462
Roth, S.W., 2006. Intracranial and Cerebrovasculer Disease. In : Duke, J., editor.
Anesthesia Secrets. 3th. Ed. Mosby Elsevier. P. 250-256.
Safar, P., 1997. Resuscitation of The Ischemic Brain. In : Albin, M.S., Editor.
Neuroanesthesia with Neurosurgical and Neuroscience Perspectives. 3th. Ed.
The McGraw-Hill Companies, P. 557-609.
Stoelting, R.K., Miller, R.D. 2006. Central Nervous System. In : Stoelting, R.K.,
Miller, R.D., editors.Pharmacology & Physiology in Anesthetic Practice. 4th.
Ed. USA : Lippincott Williams & Wilkins. P. 663-668.