Bahan Bakar Batubara
Bahan Bakar Batubara
Makin tinggi indeks berarti batubara makin mudah dibuat serbuk,dengan demi-
kian beayanya akan lebih rendah.
Besarnya butir serbuk batubara yang dapat digunakan sebagai bahan bakar
tergantung dari jenis ( rank ) batubara .
Untuk antrasit adalah 85 % 240 BS sieve dan
Untuk bituminous adalah 70 % 240 BS sieve
Keduanya harus lolos 72 BS sieve.
5. Butiran batubara ( Coal size ).
Distribusi besarnya butiran ( size distribution ) batubara dan besarnya butiran
terbesar ( top size ) adalah penting ditinjau dari segi keausan dan penyebab
mampatnya peralatan untuk coal handling, dan juga penting bagi gejala pem-
bakaran spontan pada stock pile, masalah debu dan output pulverizer.
Pada umumnya top size sampai 75 mm tidak mempengaruhi kapasitas pulveri-
Rizer, dan biasanya top size yang masuk pulverizer adalah 19 – 75 mm.
6. Belerang.
Pengaruh belerang dalam batubara pada efisiensi boiler dan korosi, sema-
kin tinggi mempunyai pengaruh sebagai berikut :
(a) Menaikan titik embun gas buang.
(b) Mempercepat pembentukan kerak sulfat pada boiler, economizer dan air
heater.
(c) Mempertinggi laju korosi.
(d) Menurunkan efisiensi, hal ini karena suhu gas buang lebih tinggi dari pada
titik embun untuk mencegah korosi.
(e) Mempercepat pembentukan sludge dan sediment dalam penyimpanan.
Dalam pembakaran belerang akan bereaksi dengan oksigen menjadi belerang
dioksida ( SO2 ), yang selanjutnya dengan oksigen membentuk belerang
trioksida ( SO3 ), dan yang tersebut terakhir ini dengan air akan membentuk
asam sulfat ( H2SO4 ) yang sangat korosif.
Dengan adanya SO3 dalam gas buang maka titik embunnya akan makin tinggi
Gas buang dengan uap air 10 %, tanpa ada SO3mempunyai titik embun kurang
lebih 450 C. Bila dalam gas buang tersebut SO3 sebesar 3 % maka titik
embunnya akan naik menjadi kurang lebih 1480 C. Karena keharusan menaikan
gas buang agar tidak terjadi korosi, hal ini menyebabkan efisiensi berkurang.
Dalam batubara ada tiga macam senyawa belerang, yaitu :
(a) Dalam bentuk sulfide misalnya: pyrite, marcasite.
(b) Dalam bentuk organic-sulfat.
(c) Dalam bentuk unsur belerang.
Belerang tersebut dapat menyebabkan korosi misalnya pada bunker, selain itu
juga dapat mempercepat oksidasi dan pemanasan batubara dalam penimbun-
an sehingga dapat mempercepat terjadinya pembakaran spontan, dan kejadian
ini diperkirakan oleh karena adanya pirit.
7. Abu ( Ash ).
Hendaknya dipisahkan antara abu dan refuse. Refuse terdiri dari abu dan
karbon yang tidak terbakar , sedangkan abu adalah materi inert dalam batu
bara yang tidak dapat terbakar ( tidak termasuk gas inert ). Kandungan abu
yang tinggi dalam batubara akan mempengaruhi kapasitas peralatan untuk
fuel dan ash handling, terutama pada peralatan ash handling. Bila kandungan
abu naik dari 5% menjadi 10 %, maka batubara yang dibutuhkan akan naik
sebesar 5 %, sedangkan abu yang ditangani akan menjadi dua kali lipat.
Kandungan abu yang tinggi akan menaikan beaya pulverizer.
Dengan demikian beaya operasi akan dipengaruhi oleh kandungan abu.
Abu juga akan menyebabkan erosi pada peralatan yang terdapat antara
furnace dan cerobong. Untuk mengurangi erosi, maka kecepatan gas buang
harus dikurangi yaitu dengan memperbesar saluran, dan ini tentu akan lebih
mahal.
Kandungan abu yang lebih tinggi juga akan menyebabkan karbon yang tak ter-
bakar ( unburned carbon ) menjadi tinggi, dan ini antara lain menurunkan
efisiensi.
Pada pulverizer fuel efisiensi akan sebanding dengan karbon tak terbakar, yang
selanjutnya akan tergantung dari abu. Kandungan karbon tak terbakar dalam
fly ash biasanya 10 – 15 % ,tetapi dapat mencapai 30 %.
Yang lebih penting lagi adalah komponen abu, yaitu senyawa – senyawa yang
terdapat dalam abu serta titik lelehnya ( fution temperature ). Semuanya itu
merupakan factor penting bagi desain boiler. Titik leleh akan menentukan
furnace combustion rate dan pendinginan yang diperlukan bagi gas buang
sebelum masuk daerah konveksi ( convection zone ).
Senyawa-senyawa tersebut juga akan mempengaruhi terjadinya slagging,
fouling dan korosi dalam furnace dan peralatan yang dilalui gas buang, dengan
demikian akan menentukan kebutuhan sootblower. Natrium adalah satu unsur
yang menyebabkan fouling didaerah konveksi.
Selain itu senyawa-senyawa tersebut akan menentukan besarnya electrostatic
precipitator.
Senyawa dalam abu umumnya dikelompokan menjadi dua, yaitu senyawa
asam yang terdiri dari oksida silica ( Si O2), alumina ( Al2 O3 ), dan titanium
( Ti O2 ), dan yang kedua adalah senyawa basa yang terdiri dari oksida besi
( Fe2 O3 ), kalsium ( Ca O ), magnesium ( Mg O ), natrium ( Na O ) dan kalium
( K2 O ). Senyawa itu semua akan menentukan titik leleh abu yang selanjutnya
akan menentukan slagging potensial dan fouling potensial. Slagging adalah
penempelan abu pada daerah radiasi dan fouling adalah penempelan abu pada
daerah konveksi.
Biasanya slagging dikendalikan dengan sootblowers yang menggunakan
udara atau uap sebagai medium.
Gejala slagging dapat diperkirakan dengan menggunakan slagging indek, yaitu :
𝐵.𝑆
RS =
𝐴
dimana:
RS = Slagging indeks
A = Si O2 + Al2 O3 + Ti O2 = senyawa asam, %
B = Fe2 O3 + Ca O + Mg O + Na2 O + K2 O = senyawa basa, %
S = Belerang, %
𝐵 . ( 𝑁𝑎2 O )
Rf =
𝐴
dimana :
Rf = Fouling index
A & B = seperti diatas
Na2 O = Kandungan alkali dinyatakan dengan ekuivalen Na2O, %
Untuk Rf sampai 0,5 % masih dapat diterima, normal Na2O = 0,1% – 0,4 %.
Perbandingan antara Fe2 O3 / Ca O juga merupakan indikasi bagi titik leleh
yang rendah, yaitu bila Fe2 O3 / Ca O antara 0,3 - 3,0 maka akan terbentuk
senyawa entektium dengan masing-masing senyawa Fe2O dan CaO.
Keadaan atau perbandingan tersebut diatas akan terlihat pengaruh bila jumlah
Fe2O + CaO lebih besar dari 5 %.
Slagging dan fouling adalah penting dalam operasi, karena hal ini akan menen-
tukan availability. Bila slagging dan fouling pembangkit harus dihentikan guna
pembersihan. Oleh karena itu operator harus memperhatikan hal ini dengan
seksama.
Natrium , vanadium dan belerang berpengaruh :
- Memakan permukaan batu tahan api.
- Pembentukan kerak pada pipa boiler, economizer dan pemanas udara.
- Korosi pada superheater ( kerak natrium titik leleh rendah 6000 C – 9000 C.
𝑂
HHV = 14.544 C + 62.028 ( H – ) + 4.050 S Btu/lb
8
Semua harga pada persamaan diatas adalah fraksi massa dan nilai pembakaran
tinggi yang dihasilkan adalah untuk basis yang sama ( kering, bebas abu, begitu
terbakar,dan lain-lain ) dengan basis yang digunakan analisis ultimasi yang dipa
kai pada persamaan tersebut.
Contoh : Hitunglah analisis ultimasi dan proksimasi dengan basis begitu diteri-
ma, perkiraan nilai pembakaran rendah dari nilai pembakaran tinggi
yang tercantum didaftar, nilai pembakaran tinggi yang dihitung
dengan rumus Dulong, dan tentukan klasifikasi ASTM (kelas dan
kelompok) dari batubara Stark County,North Dakota, dengan A = 9
dan M = 39.
Penyelesaian :
Ditentukan : Batubara Stark County dengan M = 39 % dan A = 8 %
Dari lampiran C, Analisis batubara proksimasi bebas abu, kering :
VM = 54,0 % S = 2,8 %
FC = 46,0 %
----------------
100,0 % HHV = 28.922 kJ/kg = 12.435 Btu/lbm
Untuk mendapatkan nilai kalor ( heating value ) batubara ada dua macam:
dengan menggunakan alat static bomb calorimeter langsung menunjukan
angka dengan satuan kJ atau Btu dan dengan perhitungan menggunakan
rumus “ Dulong “ , contoh : bahan bakar batubara heating value 22.046 kJ/
kg pengukuran dengan static bomb calorimeter dan analisa kimia sbb :
hydrogen = 3,55 %, carbon = 54,29 %, sulphur = 1,23 % dan oxygen = 6,99%
Dengan rumus Dulong :
GCVv = 33.820 C + 143.050 ( H – O/8) +9.304 S kJ/kg
= (33.820 x 0,5429) +143.050[ (0,0355- 0,0699/8)] + ( 9.304
X 0,0123)
= 18.361 + 3828 + 114 = 22.303 kJ/kg
Selisih = 22.303 kJ/kg – 22.046 kJ/kg = 257 kJ/kg atau
( 257 / 22.046 ) x 100 % = 1,2 %
Dengan demikian hasil perhitungan lebih besar 1,2 %