Anda di halaman 1dari 12

BAHAN BAKAR BATUBARA

Sifat-sifat batubara yang mempengaruhi operasi PLTU.


1.Nilai kalor.
Nilai kalor berbagai jenis batubara tidak selalu sama, variasinya relative sangat
besar bila dibandingkan dengan minyak. Untuk antrasit nilai kalornya dapat
mencapai 7.000 kcal/kg dan untuk lignit bisa mencapai 4.000 kcal/kg, sedang-
kan untuk BBM perbedaan nilai kalornya kira-kira 10 % atau kurang.
Dari segi operasi, penurunan nilai kalor dapat berakibat unit pembangkit tidak
mampu mengangkat beban penuh.
2.Moisture.
Ada dua jenis moisture untuk batubara, yaitu inherent moisture dan free mois-
ture .
Inherent moisture adalah air yang terdapat pada pori batubara, dan ini tergan-
tung dari jenis batubara ( coal rank ).
Free moisture adalah air yang terdapat pada permukaan batubara termasuk
dalam jenis moisture ini ialah air yang berasal antara lain dari tambang atau hu-
jan. Jumlah kedua jenis moisture tersebut dinamakan total moisture . Biasanya
pada pengeringan, free moisture diusahakan sekecil-kecilnya karena free mois-
ture ( surface ) moisture berpengaruh terhadap unjuk kerja ( performance ) pul-
verizer dan proses pembakaran. Moisture yang makin tinggi dapat mempenga-
ruhi beaya dan kapasitas berbagai peralatan seperti untuk coal handling storage
dan pulverizer. Moisture yang tinggi tersebut akan menyebabkan hopper mam-
pat atau kapasitas pulverizer menurun. Karena itu dalam menggiling batubara
dengan pulverizer free moisture harus dihilangkan. Sebaliknya free moisture
diperlukan untuk mengurangi debu pada coal handling, misalnya waktu mem-
bongkar gerbong.
Dengan adanya moisture maka kalor yang dapat dimanfaatkan akan berkurang
sebanding dengan moisture content. Hal ini disebabkan karena diperlukan kalor
untuk menaikan enthalpy air dari suhu disekitar ke suhu gas buang. Dengan
kata lain, maka efisiensi akan turun. Pada umumnya efisiensi boiler akan turun
0,5 % dengan kenaikan moisture content sebesar 5 %. Adapun factor beaya
akan naik sebanding dengan kenaikan moisture content.
3. Zat gabar ( volatile matter ).
Zat gabar akan mempengaruhi mudah tidaknya serbuk batubara terbakar. Batu
bara dengan zat gabar tinggi akan lebih mudah terbakar dari pada batubara
dengan zat gabar rendah. Dengan demikian batubara dengan zat gabar rendah
akan memerlukan waktu yang lebih lama, dan karena itu memerlukan volume
furnace dan residence time yang lebih besar selain itu flame stability akan
berkurang, dan ini akan mempengaruhi burner down ratio.
Oleh karena itu batubara dengan zat gabar rendah memerlukan serbuk yang
lebih lembut, dan ini akan mempengaruhi kapasitas pulverizer.
4. Ketergilingan ( grindability ).
Ketergilingan batubara adalah factor utama yang mempengaruhi beaya dan
kapasitas pulverizer. Ketergilingan tersebut dinyatakan dengan index ketergi-
lingan ( grindability index ), selanjutnya index tersebut dinyatakan dengan Ball
Mill Index atau Hardgrove Index ( HGI ). Perbandingan antara kedua index ter-
sebut adalah sebagai berikut :

Hardgrove index 20 40 60 80 100


Ball Mill Index 14 28 44 60 89

Makin tinggi indeks berarti batubara makin mudah dibuat serbuk,dengan demi-
kian beayanya akan lebih rendah.
Besarnya butir serbuk batubara yang dapat digunakan sebagai bahan bakar
tergantung dari jenis ( rank ) batubara .
Untuk antrasit adalah 85 % 240 BS sieve dan
Untuk bituminous adalah 70 % 240 BS sieve
Keduanya harus lolos 72 BS sieve.
5. Butiran batubara ( Coal size ).
Distribusi besarnya butiran ( size distribution ) batubara dan besarnya butiran
terbesar ( top size ) adalah penting ditinjau dari segi keausan dan penyebab
mampatnya peralatan untuk coal handling, dan juga penting bagi gejala pem-
bakaran spontan pada stock pile, masalah debu dan output pulverizer.
Pada umumnya top size sampai 75 mm tidak mempengaruhi kapasitas pulveri-
Rizer, dan biasanya top size yang masuk pulverizer adalah 19 – 75 mm.
6. Belerang.
Pengaruh belerang dalam batubara pada efisiensi boiler dan korosi, sema-
kin tinggi mempunyai pengaruh sebagai berikut :
(a) Menaikan titik embun gas buang.
(b) Mempercepat pembentukan kerak sulfat pada boiler, economizer dan air
heater.
(c) Mempertinggi laju korosi.
(d) Menurunkan efisiensi, hal ini karena suhu gas buang lebih tinggi dari pada
titik embun untuk mencegah korosi.
(e) Mempercepat pembentukan sludge dan sediment dalam penyimpanan.
Dalam pembakaran belerang akan bereaksi dengan oksigen menjadi belerang
dioksida ( SO2 ), yang selanjutnya dengan oksigen membentuk belerang
trioksida ( SO3 ), dan yang tersebut terakhir ini dengan air akan membentuk
asam sulfat ( H2SO4 ) yang sangat korosif.
Dengan adanya SO3 dalam gas buang maka titik embunnya akan makin tinggi
Gas buang dengan uap air 10 %, tanpa ada SO3mempunyai titik embun kurang
lebih 450 C. Bila dalam gas buang tersebut SO3 sebesar 3 % maka titik
embunnya akan naik menjadi kurang lebih 1480 C. Karena keharusan menaikan
gas buang agar tidak terjadi korosi, hal ini menyebabkan efisiensi berkurang.
Dalam batubara ada tiga macam senyawa belerang, yaitu :
(a) Dalam bentuk sulfide misalnya: pyrite, marcasite.
(b) Dalam bentuk organic-sulfat.
(c) Dalam bentuk unsur belerang.
Belerang tersebut dapat menyebabkan korosi misalnya pada bunker, selain itu
juga dapat mempercepat oksidasi dan pemanasan batubara dalam penimbun-
an sehingga dapat mempercepat terjadinya pembakaran spontan, dan kejadian
ini diperkirakan oleh karena adanya pirit.
7. Abu ( Ash ).
Hendaknya dipisahkan antara abu dan refuse. Refuse terdiri dari abu dan
karbon yang tidak terbakar , sedangkan abu adalah materi inert dalam batu
bara yang tidak dapat terbakar ( tidak termasuk gas inert ). Kandungan abu
yang tinggi dalam batubara akan mempengaruhi kapasitas peralatan untuk
fuel dan ash handling, terutama pada peralatan ash handling. Bila kandungan
abu naik dari 5% menjadi 10 %, maka batubara yang dibutuhkan akan naik
sebesar 5 %, sedangkan abu yang ditangani akan menjadi dua kali lipat.
Kandungan abu yang tinggi akan menaikan beaya pulverizer.
Dengan demikian beaya operasi akan dipengaruhi oleh kandungan abu.
Abu juga akan menyebabkan erosi pada peralatan yang terdapat antara
furnace dan cerobong. Untuk mengurangi erosi, maka kecepatan gas buang
harus dikurangi yaitu dengan memperbesar saluran, dan ini tentu akan lebih
mahal.
Kandungan abu yang lebih tinggi juga akan menyebabkan karbon yang tak ter-
bakar ( unburned carbon ) menjadi tinggi, dan ini antara lain menurunkan
efisiensi.
Pada pulverizer fuel efisiensi akan sebanding dengan karbon tak terbakar, yang
selanjutnya akan tergantung dari abu. Kandungan karbon tak terbakar dalam
fly ash biasanya 10 – 15 % ,tetapi dapat mencapai 30 %.
Yang lebih penting lagi adalah komponen abu, yaitu senyawa – senyawa yang
terdapat dalam abu serta titik lelehnya ( fution temperature ). Semuanya itu
merupakan factor penting bagi desain boiler. Titik leleh akan menentukan
furnace combustion rate dan pendinginan yang diperlukan bagi gas buang
sebelum masuk daerah konveksi ( convection zone ).
Senyawa-senyawa tersebut juga akan mempengaruhi terjadinya slagging,
fouling dan korosi dalam furnace dan peralatan yang dilalui gas buang, dengan
demikian akan menentukan kebutuhan sootblower. Natrium adalah satu unsur
yang menyebabkan fouling didaerah konveksi.
Selain itu senyawa-senyawa tersebut akan menentukan besarnya electrostatic
precipitator.
Senyawa dalam abu umumnya dikelompokan menjadi dua, yaitu senyawa
asam yang terdiri dari oksida silica ( Si O2), alumina ( Al2 O3 ), dan titanium
( Ti O2 ), dan yang kedua adalah senyawa basa yang terdiri dari oksida besi
( Fe2 O3 ), kalsium ( Ca O ), magnesium ( Mg O ), natrium ( Na O ) dan kalium
( K2 O ). Senyawa itu semua akan menentukan titik leleh abu yang selanjutnya
akan menentukan slagging potensial dan fouling potensial. Slagging adalah
penempelan abu pada daerah radiasi dan fouling adalah penempelan abu pada
daerah konveksi.
Biasanya slagging dikendalikan dengan sootblowers yang menggunakan
udara atau uap sebagai medium.
Gejala slagging dapat diperkirakan dengan menggunakan slagging indek, yaitu :

𝐵.𝑆
RS =
𝐴
dimana:
RS = Slagging indeks
A = Si O2 + Al2 O3 + Ti O2 = senyawa asam, %
B = Fe2 O3 + Ca O + Mg O + Na2 O + K2 O = senyawa basa, %
S = Belerang, %

Untuk belerang sampai 2 % , RS akan bervariasi antara 0,2 - 2,0.


Bila RS lebih tinggi maka gejala abu untuk membentuk abu yang meleleh ( slag )
akan makin tinggi. Dalam keadaan normal, tetapi bila RS > 1,5 maka slagging
menjadi berat, dan untuk membatasi terjadinya penempelan slag diperlukan
sootblowings yang lebih intensif.
Kandungan alkali ( Na2O + K2O ) akan menentukan terjadinya fouling dan
kerasnya abu yang menempel pada daerah konveksi. Kandungan alkali yang
dinyatakan dengan ekuivalen Na2O, bila kurang dari 0,1 %, maka batubara
dianggap sebagai non fouling, dan antara 0,1 - 0,4 %, fouling dianggap normal
dalam arti bahwa penempelan abu dapat dikendalikan dengan sootblowing
yang normal,dan bila kandungan alkali tersebut lebih besar dari 0,5 % maka
abu yang menempel akan sulit dibersihkan.
Gejala fouling dapat dinilai dengan indeks yaitu :

𝐵 . ( 𝑁𝑎2 O )
Rf =
𝐴

dimana :
Rf = Fouling index
A & B = seperti diatas
Na2 O = Kandungan alkali dinyatakan dengan ekuivalen Na2O, %

Untuk Rf sampai 0,5 % masih dapat diterima, normal Na2O = 0,1% – 0,4 %.
Perbandingan antara Fe2 O3 / Ca O juga merupakan indikasi bagi titik leleh
yang rendah, yaitu bila Fe2 O3 / Ca O antara 0,3 - 3,0 maka akan terbentuk
senyawa entektium dengan masing-masing senyawa Fe2O dan CaO.
Keadaan atau perbandingan tersebut diatas akan terlihat pengaruh bila jumlah
Fe2O + CaO lebih besar dari 5 %.
Slagging dan fouling adalah penting dalam operasi, karena hal ini akan menen-
tukan availability. Bila slagging dan fouling pembangkit harus dihentikan guna
pembersihan. Oleh karena itu operator harus memperhatikan hal ini dengan
seksama.
Natrium , vanadium dan belerang berpengaruh :
- Memakan permukaan batu tahan api.
- Pembentukan kerak pada pipa boiler, economizer dan pemanas udara.
- Korosi pada superheater ( kerak natrium titik leleh rendah 6000 C – 9000 C.

Proses Analisa Batubara.

American Society for Testing Material (ASTM) mempunyai metoda klasifikasi


yang membagi batubara menjadi 4 kategori utama dengan sub-sub divisi
dalam setiap kelas. Berdasarkan system ini keempat kelas utama terse-
but ialah batubara antrasitik, batubara bitumen, batubara subbitumin,
batubara lignitik.
Analisis Batubara. Ada dua basis analisis batubara, yakni : analisis proksimasi
dan analisis ultimasi. Kedua system ini memberikan fraksi-fraksi massa atau
gravimetric dari komponen-komponen didalam batubara dan kedua analisis
dapat dilaporkan dengan berbagai cara yang berbeda.Pada setiap lapisan batu
bara, terdapat dua komponen yang dapat menunjukkan variasi penting dari ke
seluruhan lapisan tersebut. Komponen tersebut adalah kebasahan dan abu.
Fraksi abu bervariasi oleh karena abu pada dasarnya adalah bahan anorganik
yang mengendap bersama bahan organik pada waktu proses pemadatan.
Kadar kebasahan batu bara sangatlah bervariasi, tergantung padaa keterbuka-
an ke air tanah sebelum penambangan dan atas keterbukaan ke udara bebas
sewaktu pengangkutan dan penyimpanan sebelum dibakar. Oleh karena kadar
abu dan kebasahan suatu batubara tertentu sangat bervariasi, maka biasanya
laporan analisis batubara dibuat dengan basis bebas abu, bebas kebasahan
(kering), baik secara ultimasi maupun secara proksimasi. Namun untuk keguna-
an perhitungan pembakaran dan pengangkutan batubara, analisis ini harus di-
konversi ke dalam basis ketika dibakar atau ketika diterima, yang mengikut-
sertakan kedua fraksi abu dan kebasahan dalam batubara tersebut.
Analisis proksimasi batubara adalah analisis yang paling sederhana dan
menghasilkan fraksi massa dari carbon tetap (FC), bahan dapat menguap (FM),
kebasahan (M), dan abu (A) dalam batubara. Analisis ini dapat dilakukan
dengan menimbang, memanaskan dan membakar sebuah sampel kecil batu-
bara . Suatu sampel batubara yang dihaluskan (powdered coal) ditimbang
dengan hati-hati lalu dipanaskan hingga 1100 C ( 2300 F ) selama 20 menit.
Sampel ini kemudian ditimbang kembali dan kehilangan massa dibagi dengan
massa semula akan memberikan fraksi massa dari kebasahan sampel. Sampel
kemudian dipanaskan ke temperature 9540 C ( 17500 F ) dalam sebuah tabung
tertutup selama 7 menit dan sesudah itu kembali ditimbang. Massa yang
hilang karenanya, dibagi dengan massa semula menghasilkan fraksi massa
dari bahan yang dapat menguap didalam sampel. Sampel kemudian dipanas
kan ke temperature 7320 C (13500 F) dalam sebuah cawan peleburan hingga ia
terbakar sempurna. Sisanya kemudian ditimbang dan berat terakhir ini dibagi
dengan berat semula menghasilkan fraksi abu. Fraksi massa dari carbon tetap
diperoleh dengan cara mengurangkan fraksi kebasahan, bahan dapat mengu-
ap dan abu dari kesatuan. Sebagai tambahan terhadap FC, VM, M dan A,
kebanyakan analisis proksimasi juga memuat fraksi massa sulfur ( S ) dan nilai
pembakaran tinggi ( HHV ) batubara.
Analisis ultimasi batubara. adalah suatu analisis laboratorium yang memuat
fraksi massa carbon (C ),hydrogen ( H ), oksigen ( O2 ), sulfur ( S ) dan nitrogen
( N2 ) didalam batubara sekaligus dengan nilai pembakaran tinggi ( HHV ) batu-
bara. Kebanyakan analisis ultimasi memberikan kebasahan M dan abu A secara
terpisah, tetapi beberapa analisis memasukan kebasahan sebagai bagian dari
fraksi massa hydrogen dan oksigen. Analisis ultimasi diperlukan untuk menen-
tukan kebutuhan udara pembakaran suatu system tertentu.
Semua analisis ini dilaporkan dengan basis bebas kebasahan, bebas abu dan
sekali gus mengenai kadar kebasahan dan abu. Kadar abu dan kebasahan dapat
dihitung , fraksi massa yang lain serta nilai pembakaran tinggi batubara dapat
ditentukan dengan persamaan berikut :

Fraksi massa begitu terbakar = (fraksi massa bebas abu,kering) (1-M-A)

Nilai pembakaran tinggi begitu terbakar=(HHV bebas abu,kering)(1-M-A)

Sifat-sifat batubara. Ada beberapa sifat batubara yang harus diperhatikan


ketika memilih batubara untuk dipakai pada suatu kegunaan tertentu, yaitu:
kadar sulfur, karakteristik pembakaran, daya tahan terhadap cuaca,
temperature pelunakan abu, kemampuan untuk digerinda, serta kandungan
energy batubara tersebut.
Salah satu pertimbangan yang sangat penting dalam pemilihan batubara ada-
lah kadar sulfur. Sementara sulfur adalah salah satu elemen pembakaran da-
lam batubara dan menghasilkan energy,hasil pembakaran utama yakni sulfur
dioksida ( SO2 ), adalah bahan polutan utama bagi atmosfir. Adalah sama saja
sulit dan mahalnya untuk membuang sulfur sebelum batubara dibakar, atau
membuang sulfur dioksida dari hasil pembakaran. Konsekuensinya , penting
sekali diusahakan agar batubara mempunyai kadar sulfur yang rendah, paling
tidak satu persen atau kurang.
Pada waktu memilih batubara untuk suatu system pembakaran tertentu,harus
lah memperhatikan bagaimana batubara itu akan dibakar. Bila batubara akan
dibakar pada suatu tempat yang stationir dengan pergerakan kecil ( misalnya
pada sebuah dapur pembakaran chain grate stoker ), batubara haruslah yang
bersifat dapat terbakar bebas, bukan batubara gemuk. Batubara yang dapat
terbakar bebas ( free burning ) cenderung untuk pecah berserak pada saat ter-
bakar sehingga mengakibatkan batubara yang belum terbakar terbuka ke uda-
ra pembakaran. Hal ini dapat membantu untuk tercapainya pembakaran sem-
purna. Batubara gemuk menghasilkan massa batubara yang memfusi ketika
terbakar sehingga banyak karbon tetap yang tak terbakar. Jenis ini umumnya
dipergunakan untuk memproduksi kokas ( coke ) dan untuk membakarnya
secara efektif bed batubara haruslah digoncang secara mekanis agar batubara
dapat pecah. Nilai yang tinggi dari indeks bebas bengkak suatu batubara um-
umnya menunjukkan bahwa batubara tersebut dapat dibakar bebas.
Daya tahan terhadap cuaca ( weatherability ) dari suatu batubara adalah suatu
ukuran tentang kemampuan batubara tetap berada dalam keadaan terbuka
terhadap unsur-unsur lingkungan tanpa mengalami pecah-pecah yang berlebih-
an. Semua pusat pembangkit besar yang menggunakan bahan bakar batubara
biasanya menyimpan cadangan batubaranya dalam tumpukan besar didekat
pusat pembangkit tersebut. Begitu batubara diterima dari unit kereta api atau
tongkang, batubara lalu ditebarkan dalam lapisan-lapisan tipis dan dipadatkan
dengan bulldozer besar untuk mengeluarkan udara sebanyak mungkin dari
tumpukan tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengurangi resiko timbulnya api
akibat pembakaran spontan. Bila batubara pecah-pecah dengan berlebihan
pada waktu penyimpanan , partikel-partikel kecil akan terbuang bila terjadi
hujan badai, yang mengakibatkan kerugian uang dan energy serta polusi air.
Sifat penting lainnya yang harus diperhatikan ketika memilih batubara untuk
suatu pusat pembangkit adalah indeks dapat digerindanya. Hal ini khususnya
berlaku untuk sistem-sistem tenaga yang menggunakan serbuk batubar dima-
na batubara digerinda menjadi serbuk tepung yang lebih halus dari pada bedak
muka. Indeks dapat digerinda berbanding terbalik dengan daya yang diperlu-
kan untuk menggerinda batubara kedalam ukuran kehalusan tertentu. Jadi bila
batubara A mempunyai indeks dapat digerinda 100 sementara batubara B
mempunyai indeks 50, maka dari itu berarti bahwa batubara B memerlukan
daya penggerindaan dua kali lipat dibandingkan dengan daya yang diperlukan
oleh batubara A. Indeks 100 secara sembarang dipilih untuk batubara bitumin
penguapan rendah. Batubara antrasit karena kekerasannya dan batubara lig-
nitik, karena keplastisannya mempunyai indeks dapat digerinda yang rendah.
Temperatur pelunakan abu adalah suatu pertimbangan penting pula dalam pe-
milihan batubara untuk suatu sistem pembangkit tertentu. Temperatur pelu-
nakan abu adalah temperatur dimana abu menjadi sangat plastis, beberapa
derajat dibawah titik lebur abu. Temperatur ini ditentukan dengan cara mema-
naskan kerucut-kerucut abu (ash cones). Beberapa dapur pembakaran menge-
luarkan abu dari kotak api dalam bentuk terak cair dan batubara dengan tem-
peratur pelunakan abu yang rendah diperlukan untuk sistem-sistem ini. Batu-
bara dengan tempertur pelunakan abu yang tinggi diperlukan untuk sistem
yang menangani abu dalam bentuk padat. Bila batubara dengan temperatur
pelunakan abu yang rendah dipergunakan untuk dapur pembakaran stoker,
maka akan timbul gumpalan abu yang memfusi, yang dinamakan dengan
klinker ( clinkers ).
Kadar energy atau nilai pembakaran batubara adalah suatu sifat yang sangat
penting. Nilai pembakaran menunjukan jumlah energy kimia yang terdapat
dalam suatu massa atau volume bahan bakar. Nilai pembakaran dinyatakan
dengan satuan British thermal units per pound-massa ( Btu/lbm) atau kilojoule
per kilogram ( kJ/kg ). Nilai pembakaran tinggi atau bruto ( HHV ) dan Nilai
pembakaran rendah atau netto ( LHV ).
Perbedaan antara kedua nilai pembakaran ini pada dasarnya adalah sama
dengan panas laten penguapan dari uap air yang terdapat dalam hasil gas
buang ketika bahan bakar dibakar dengan udara kering.
Dalam suatu sistem pembakaran actual ,hal ini termasuk air yang terdapat di-
dalam bahan bakar yang telah dibakar ( kebasahan ) dan air yang dihasilkan
dari pembakaran hydrogen tetapi tidak termasuk kebasahan yang dihasilkan
oleh udara pembakaran. Oleh karena panas laten penguapan air pada 1 lb/in2
abs ( tekanan parsial kira-kira uap air di gas buang ) adalah sekitar 2400 kJ/kg,
perbedaan antara nilai pembakaran tinggi dan rendah dihitung dengan cara
pendekatan berdasarkan rumus berikut ini yang dapat terpakai untuk semua
bahan bakar dalam basis massa :

HHV – LHV = 2400 ( M + 9 H2 ) kJ/kg.

LHV = HHV – 2.400 ( M + 9 H2 ) kJ/kg.


dimana:
M dan H2 adalah kebasahan dan fraksi massa hydrogen bahan bakar.

Kebanyakan tabel pembakaran akan selalu memuat nilai pembakaran tinggi


batubara karena kadar kebasahan bervariasi sekali dan hal ini akan mengaki-
batkan berubahnya nilai pembakaran rendah bila kadar kebasahan berubah.
Apabila nilai eksperimental dari nilai pembakaran tinggi tidak ada maka untuk
batubara dengan grade yang lebih baik, nilai pembakaran tingginya dapat
dihitung dengan menggunakan analisis ultimasi dan memakai rumus Dulong :
𝑂2
HHV = 33.950 C + 144.200 ( H2 – ) + 9.400 S kJ/kg atau
8

𝑂
HHV = 14.544 C + 62.028 ( H – ) + 4.050 S Btu/lb
8

GCVv= 33.820 C + 143.050 (H – 0/8) + 9.304 S kJ/kg ( dari BEI )

Semua harga pada persamaan diatas adalah fraksi massa dan nilai pembakaran
tinggi yang dihasilkan adalah untuk basis yang sama ( kering, bebas abu, begitu
terbakar,dan lain-lain ) dengan basis yang digunakan analisis ultimasi yang dipa
kai pada persamaan tersebut.

Contoh : Hitunglah analisis ultimasi dan proksimasi dengan basis begitu diteri-
ma, perkiraan nilai pembakaran rendah dari nilai pembakaran tinggi
yang tercantum didaftar, nilai pembakaran tinggi yang dihitung
dengan rumus Dulong, dan tentukan klasifikasi ASTM (kelas dan
kelompok) dari batubara Stark County,North Dakota, dengan A = 9
dan M = 39.

Penyelesaian :
Ditentukan : Batubara Stark County dengan M = 39 % dan A = 8 %
Dari lampiran C, Analisis batubara proksimasi bebas abu, kering :

VM = 54,0 % S = 2,8 %
FC = 46,0 %
----------------
100,0 % HHV = 28.922 kJ/kg = 12.435 Btu/lbm

Analisis ultimasi bebas abu, kering :

C = 72,4 % , H2 = 4,7 % , O2 = 18,6 % , N2 = 1,5 % , S = 2,8 %

Untuk mengkonvensi ke suatu basis batubara begitu diterima, factor


koreksi atau pelipatan adalah ( 1- M – A ) = (1,00 – 0,39 – 0,08)=0,53.
Analisis proksimasi begitu diterima menjadi :

VM = 0,53 x 54,0 = 28,62 % S = 0,53 x 2,8 = 1,48 %


FC = 0,53 x 46,0 = 24,38 %
M = 39,00 % HHV = 0,53 x 28.922 = 15.329 kJ/kg
A = 8,00 % = 0,53 x 12.435 = 6.591 kJ/kg
----------------------------------------
100,00 %

Analisis ultimasi begitu diterima menjadi :

C = 0,53 x 72,4 = 38,37 %


H2 = 0,53 x 4,7 = 2,49 %
O2 = 0,53 x 18,6= 9,86 %
N2 = 0,53 x 1,5= 0,80 %
S = 0,53 x 2,8= 1,48 % HHV = 15.329 kJ/kg
M = 39,00 % = 6.591 Btu/lbm
A = 8,00 %
--------------------------------------------
100,00 %

Nilai pembakaran rendah :


LHV = HHV – 2.400(M + 9 H2) = 15.329 – 2.400[0,39+( 9x0,0249)]
= 13.855 kJ/kg = 5.957 Btu/lbm.

Harga perkiraan dari nilai pembakaran tinggi yang dicari berdasarkan


Rumus Dulong :
𝑂2
HHV = 33.950 C + 144.200 ( H2 - ) + 9.400 S
8
= (33.950 x 0,3837 ) + 144.200 ( 0,0249 – 0,0986/8 ) +
(9.400 x 0,0148 ) = 14.979 kJ/kg = 6.440 Btu/lbm
HHV ( rumus Dulong ) = 14.979 kJ/kg = 6.440 Btu/lbm.

LHV = HHV – 2.400(M + 9 H2)


= 14.979 – 2.400 [ 0,39 + (9 x 0,0249) ]
= 13.505 kJ/kg = 5.806 Btu/lbm

GCVv ( rumus Dulong dr. Buku BEI ), adalah :

GCVv = 33.820 C + 143.050 ( H – O/8 ) + 9.304 S kJ/kg


= (33.820 x 0,3837 ) + 143.050 ( 0,0249 – 0,0986/8 ) +
(9.304 x 0,0148) = 14.913 kJ/kg = 6.412 Btu/lbm
HHV = 14.913 kJ/kg = 6.412 Btu/lbm
LHV = HHV – 2.400 (M + 9 H2)
= 14.913 – 2.400 [ 0,39 + (9 x 0,0249)]
= 13.439 kJ/kg = 5778 Btu/lbm

Untuk mendapatkan nilai kalor ( heating value ) batubara ada dua macam:
dengan menggunakan alat static bomb calorimeter langsung menunjukan
angka dengan satuan kJ atau Btu dan dengan perhitungan menggunakan
rumus “ Dulong “ , contoh : bahan bakar batubara heating value 22.046 kJ/
kg pengukuran dengan static bomb calorimeter dan analisa kimia sbb :
hydrogen = 3,55 %, carbon = 54,29 %, sulphur = 1,23 % dan oxygen = 6,99%
Dengan rumus Dulong :
GCVv = 33.820 C + 143.050 ( H – O/8) +9.304 S kJ/kg
= (33.820 x 0,5429) +143.050[ (0,0355- 0,0699/8)] + ( 9.304
X 0,0123)
= 18.361 + 3828 + 114 = 22.303 kJ/kg
Selisih = 22.303 kJ/kg – 22.046 kJ/kg = 257 kJ/kg atau
( 257 / 22.046 ) x 100 % = 1,2 %
Dengan demikian hasil perhitungan lebih besar 1,2 %

Anda mungkin juga menyukai