Anda di halaman 1dari 8

BAB 1

PENDAHULUAN
A.Latar belakang masalah
Pembicaraan mengenai gender akhir-akhir ini semakin hangat dalam perbincangan
mengenai kemajuan perkembangan kaum perempuan maupun posisi dan status perempuan
dalam kesetaraan dengan kaum pria. Pada satu sisi hubungan gender menjadi suat persoalan
tersendiri, padahal secara fakta persoalan emansipasi kaum perempuan masih belum
mendapat tempat yang sepenuhnya bias diterima.
Secara konsep emansipasi telah diterima akan tetapi konsekuensi dari pelaksanaan
emansipasi itu sendiri masih belumlah seideal yang diharapkan. Kaum perempuan diberi
kebebasan untuk memperoleh pendidikan dan kesempatan untuk bekerja tetapi mereka tetap
saja diikat dengan norma norma patriarkhi yangrelatif menghambat dan memberikan kondisi
yang dilematis terhadap posisi mereka.
Kaum perempuan dibolehkan bekerja dengan catatan hanya sebagai penambah
pencari nafkah keluarga sehingga mereka bekerja dianggap hanya sebagai “working for
lipstic” belum lagi kewajiban utama mengasuh anak dibebankan sepenuhnya kepada
perempuan. Secara kenyataan saja emansipasi masih menemukan persoalan tersendiri,
apalagi gender yang merupakan konsepsi yang sangat mengharapkan kesetaraan hubungan
yang serasi dan harmonis antara kaum perempuan dengan kaum pria.
Dalam hal ini tentu saja sebelum gender itu diterima sebagai suatu konsep yang
memasyarakat terlebih dahulu haruslah dipahami permasalahan emansipasi dan kesetaraan
hak perempuan untuk memperoleh kesempatan dalam memperoleh pendidikan maupun
dalam lingkungan dunia kerja.

B.Rumusan masalah
1. Apa Konsep gender dan ketidakadilan gender?
2. bagaimana strategi mengurangi ketidakadilan gender?
3. Upaya promotif dan preventif?
C. Tujuan masalah
1. Mengetahui Konsep gender dan ketidakadilan gender
2. Mengetahui strategi mengurangi ketidakadilan
3. Mengetahui Upaya promotif dan preventif

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. KONSEP GENDER DAN KETIDAKADILAN GENDER


a. konsep gender
Secara historis, konsep gender pertama sekali dibedakan oleh sosiolog asal Inggris
yaitu Ann Oakley yaitu ia membedakan antara gender dan seks. Perbedaan seks berarti
perbedaan atas dasar ciri-ciri biologis yaitu yang menyangkut prokreasi (menstruasi, hamil,
melahirkan, dan menyusui). Perbedaan gender adalah perbedaan simbolis atau sosial yang
berpangkal pada perbedaan seks tetapi tidak selalu identik dengannya. Jadi kelihatan di sini
gender lebih mengarah kepada simbol-simbol sosial yang diberikan pada suatu masyarakat
tertentu.
Sebagai contoh kalau untuk bayi perempuan yang baru lahir diberikan perlengkapan
dengan nuansa merah jambu sedangkan bayi laki-laki yang lahir diberikan perlengkapan
dengan nuansa warna biru muda. Perbedaan itu juga pada pola pengasuhan dan pola
permainan. Anak perempuan diberikan mainan boneka dan permainan yang berisiko rendah,
sedangkan anak laki-laki diberikan permainan mobil-mobilan, tembak-tembakan dengan
risiko yang tinggi.
Hal ini terus berlanjut sampai kepada pertumbuhan mereka sampai dewasa. Pada
norma yang berlaku sangat tegas sekali perbedaan peran antara perempuan dan laki-laki.
Pada satu sisi perbedaan itu memberikan kondisi yang merugikan pada diri kaum perempuan
akan tetapi hal itu juga merugikan kepada kaum laki-laki walaupun relatif sangat kecil. Jadi
sebenarnya apakah konsepsi gender itu?
Gender adalah pembedaan peran, perilaku, perangai laki-laki dan perempuan oleh
budaya/masyarakat melalui interpretasi terhadap perbedaan biologis laki-laki dan perempuan.
Jadi gender, tidak diperoleh sejak lahir tapi dikenal melalui proses belajar (sosialisasi) dari
masa anak-anak hingga dewasa. Oleh karena itu, gender dapat disesuaikan dan diubah.

b. konsep ketidakadilan gender


Setiap masyarakat mengembangkan identitas gender yang berbeda, tetapi kebanyakan
masyarakat membedakan laki-laki dan perempuan dengan maskulin dan feminim. Maskulin
identik dengan keperkasaan, bergelut di sektor publik, jantan dan agresif. Sedangkan feminim
identik dengan lemah lembut, berkutat di sektor domestic (rumah), pesolek, pasif, dan lain-

2
lain. Disebabkan oleh pembedaan yang tegas terhadap peran laki-laki dan perempuan yang
selama ini terjadi didukung oleh budaya patriarkhi yang sangat mendominasi menyebabkan
ketimpangan gender itu terjadi. Di dalam kehidupan sosial muncul stereotip tertentu terhadap
laki-laki dan perempuan.
Padahal gender ini sifatnya netral dan tidak memihak. Peran laki-laki dan perempuan
sangat ditentukan dari suku, tempat, umur,pendidikan serta perkembangan zaman. Selama ini
yang terjadi adalah bias gender yang berpihak kepada laki-laki. kesetaraan antara laki-laki
dan perempuan telah menjadi pembicaraan yang cukup menarik perhatian masyarakat.
Respons dan pendapat yang beragam bermunculan, mulai dari mendukung, menolak,
menerima sebagai wacana teoretis tapi tidak bisa dilaksanakan secara empiris.
Kondisi mendukung dan menolak ini bukan hanya dilakukan oleh laki-laki tetapi juga
perempuan. Walaupun isu gender sebagai isu ketidakadilan, yang banyak mendapat
ketidakadilan adalah pada perempuan, tetapi perempuan banyak menerima kondisi
ketidakadilan itu sebagai suatu su gender sebagai suatu wacana dan gerakan untuk mencapai
kondisi yang sudah seharusnya diterima (taken for granted).
Gender sebagai suatu keyakinan dan konstruksi sosial yang berkembang di dalam
masyarakat diinternalisasi melalui proses sosialisasi secara turun-temurun. Dalam
perkembangannya konstruksi gender ini menghasilkan ketidakadilan gender yang dialami
oleh perempuan. Relasi laki-laki dan perempuan yang dipayungi konstruksi sosial, nilai-nilai,
dan adat istiadat secara faktual menghasilkan ketidakadilan yang terlihat pada faktanya dan
kasusnya.

B. strategi mengurangi ketidakadilan gender

Ketidakadilan Gender Harus Dihentikan

Memperjuangkan keadilan gender merupakan tugas berat, karena masalah gender


adalah masalah yang sangat intens, dimana kita masing-masing terlibat secara emosional.
Banyak terjadi perlawanan manakala perjuangan ketidakadilan gender diaktifkan, karena
menggugat masalah gender sesungguhnya juga berarti menggugat privilege yang kita
dapatkan dari adanya ketidakadilan gender. Persoalannya, spektrum ketidakadilan gender
sangat luas, mulai yang ada di kepala dan di dalam keyakinan kita masing-masing, sampai
urusan negara.

3
Dengan demikian bila kita memikirkan jalan keluar, pemecahan masalah gender perlu
dilakukan secara serempak. Pertama-pertama perlu upaya-upaya bersifat jangka pendek yang
dapat memecahkan masalah-masalah praktis ketidakadilan tersebut. Sedangkan langkah
berikutnya adalah usaha jangka panjang untuk memikirkan bagaimana menemukan cara
strategis dalam rangka memerangi ketidakadilan.
Dari segi pemecahan praktis jangka pendek, dapat dilakukan upaya-upaya program
aksi yang melibatkan perempuan agar mereka mampu membatasi masalahnya sendiri.
Misalnya dalam hal mengatasi masalah marginalisasi perempuan di pelbagai projek
peningkatan pendapatan kaum perempuan, perlu melibatkan kaum perempuan dalam program
pengembangan masyarakat, serta berbagai kegiatan yang memungkinkan kaum perempuan
terlibat dan menjalankan kekuasaan di sektor publik. Akan halnya yang menyangkut
subordinasi perempuan, perlu diupayakan pelaksanaan pendidikan dan mengaktifkan
berbagai organisasi atau kelompok perempuan untuk jangka pendek.
Untuk menghentikan masalah kekerasan, pelecehan dan pelbagai stereotype terhadap
kaum perempuan, suatu aksi jangka pendek juga perlu mulai digalakkan. Kaum perempuan
sendiri harus mulai memberikan pesan penolakan secara tegas kepada mereka yang
melakukan kekekerasan dan pelecehan agar tindakan kekerasan dan pelecehan tersebut
terhenti. Membiarkan dan menganggap biasa terhadap kekerasan dan pelecehan berarti
mengajarkan dan bahkan mendorong para pelaku untuk melanggengkannya. Pelaku
penyiksaaan, pemerkosaaan, dan pelecehan seringkali salah kaprah bahwa ketidaktegasan
penolakan dianggapnya karena diam-diam perempuan menyukainya.
Perlu kiranya dikembangkan kelompok perempuan yang memungkinkan mereka
saling membahas dan saling membagi rasa pengalaman untuk berperan menghadapi masalah
kekerasan dan pelecehan. Karena kekerasan, pemerkosaan, pelecehan, dan segala bentuk
yang merendahkan kaum perempuan bukan semata-mata salah kaum perempuan, maka usaha
untk menghentikan secara bersama perlu digalakkan.
Termasuk di dalam kegiatan praktis jangka pendek adalah mempelajari pelbagai
teknik oleh kaum perempuan sendiri guna menghentikan kekerasan, pemerkosaan, dan
pelecehan. Misalnya mulai membiasakan diri mencatat setiap kejadian dalam buku harian,
termasuk sikap penolakan dan response yang diterima, secara jelas kapan dan dimana.
Catatan ini kelak akan berguna jika peristiwa tersebut ingin diproses secara hukum. Usaha
tersebut menyuarakan unek-unek ke kolom “surat pembaca” perlu diintensifkan.
Usaha ini tidak saja memiliki dimensi praktis jangka pendek tetapi juga sebagai upaya
pendidikan dengan cara kampanye anti kekerasan dan anti pelecehan terhadap kaum

4
perempuan bagi masyarakat luas. Secara praktis dalam surat-surat itu harus tersirat semacam
ancaman, yakni jika pelecehan dan kekerasan tidak segera dihentikan, maka kejahatan
semacam itu bisa dan akan dilaporkan ke penguasa pada tingkatan lebih atas. Kesankah
bahwa anda tidak sendiri melainkan suatu kelompok perempuan yang tengah menyadari hal
itu. Suatu kelompok atau organisasi lebih sulit diintimidasi ketimbang individu.
Usaha perjuangan strategis jangka panjang perlu dilakukan untuk memperkokoh
usaha praktis tersebut. Mengingat usaha-usaha praktis diatas seringkali justru berhenti dan
tidak berdaya hasil karena hambatan ideologis, misalnya bias gender, sehingga sistem
masyarakat justru akan menyalahkan korbannya. Maka perjuangan strategis ini meliputi
pelbagai peperangan ideologis di masyarakat. Bentuk-bentuk peperangan terebut misalnya
dengan melancarkan kampanye kesadaran kritis dan pendidikan umum masyarakat untuk
menghentikan pelbagai bentuk ketidakadilan gender.
Upaya strategis itu perlu dilakukan dengan berbagai langkah pendukung, seperti
melakukan studi tentang pelbagai bentuk ketidakadilan gender dan manifestasinya baik di
masyarakat, negara maupun dalam rumah tangga. Bahkan kajian ini selanjutnya dapat dipakai
untuk melakukan advokasi guna mencapai perubahan kebijakan , hukum, dan aturan
pemerintah yang tidak adil tehadap kaum perempuan.

Sebagai suatu konstruksi sosial yang telah terbangun sejak dahulu, konsep gender
yang bias dan banyak merugikan perempuan, tidaklah kecil pengaruhnya. Berurat berakarnya
pemahaman bias gender yang banyak menguntungkan dan memberi hak-hak istimewa laki-
laki, telah menjadi suatu kondisi normatif yang diyakini. Hal ini juga didukung budaya
patriarkhi yang sangat bias gender laki-laki. Kartini yang telah memulai gerakan
emansipasinya, diwarnai gerakan serupa dengan masuknya pemikiran-pemikiran feminis ke
Indonesia.
Aliran feminis sendiri, intinya diawali oleh persepsi tentang ketimpangan posisi
perempuan di banding laki-laki di masyarakat. Akibat asumsi ini timbul berbagai upaya
untuk mengkritisi penyebab ketimpangan tersebut. Hal ini adalah dalam rangka penyetaraan
antara laki-laki dan perempuan di berbagai bidang sesuai dengan potensi mereka sebagai
manusia. Mungkin diantara kita masih alergi dengan kata feminis dengan anggapan adalah
perempuan yang pemberontak, anti laki-laki dan mengingkari kodrat. Padahal kondisi
tersebut hanya terjadi pada feminis yang cenderung radikal. Ada berbagai aliran teori feminis
yang semuanya bermuara pada peduli dari masalah perempuan dan sangat fokus pada

5
perjuangan untuk menghapuskan ketidakadilan gender yang telah menjadi ulasan pada tahun
80-an.
Dari berbagai potret perempuan tersebut satu hal yang kelihatan perlu menjadi catatan,
bahwa ketika kita berbicara pada tataran gender pada kondisi dewasa ini, tidaklah seharusnya
menjadi pandangan yang negatif dengan mengarisbawahi bahwa persamaan keadilan gender
harus sama dengan laki-laki. Keadilan gender tidaklah diartikan secara sempit bahwa adanya
persamaan antara laki-laki dan perempuan pada berbagai bidang. Perbedaan secara biologis
memang sangat kentara dan menimbulkan perbedaan peran tertentu yang secara sosial telah
dibakukan.
Persamaan perolehan pendidikan dari spirit emansipasi telah menjadikan kondisi sosial
yang mau tidak mau mengalami perubahan. Pendidikan dan kesempatan yang diberikan
kepada kaum perempuan setidaknya membawa pencerahan-pencerahan pada pemikiran
individu (perempuan). Kalau selama ini norma sosial sangat baku terhadap nilai patriarkhi di
mana banyak kondisi-kondisi peran sosial perempuan di dalam rumah dan di dalam
masyarakat sebagai “harga mati”, maka penyimpangan dari kacamata normatif dahulu mulai
mewarnai atmosfer sosial peran, fungsi dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan.
Ada usaha dekonstruksi dengan diskusi yang menghadirkan wacana terhadap kondisi
apa benar memang perempuan bisa memperoleh keluasan untuk mengekspresikan keinginan,
minat atau kariernya secara maksimal tanpa mendapat sanksi sosial berupa kecaman dan
ejekan.
Bahwa kondisi diri mereka di rumah (domestik) tidak melaksanakan peran maksimal
sebagai ibu rumah tangga akan mendapat penghargaan sosial yang sebanding dengan laki-
laki atau suami yang sibuk berkarier sama dengan perempuan yang berkarier. Secara faktual
perempuan masih memang harus “perkasa” kalau mau bekerja dalam arti membantu ekonomi
rumah tangga ataupun aktualisasi diri, hal ini disebabkan ketika satu sisi kesepakatan sosial
dibuka misalnya persamaan pendidikan tetapi tidak diikuti dengan terbukanya kesepakatan
sosial bahwa perempuan sebagai makhluk tidak sempurna yang bisa saja ia menjadi
kewalahan karena tugas, fungsi, dan tanggung jawabnya yang cukup banyak dan besar harus
bisa dimaklumi.
Sangat sulit sekali ketika kita melihat isu gender sebagai isu keadilan yaitu memberikan
kebebasan pada perempuan untuk mengekspresikan dirinya pada dunia feminim ataupun
maskulin asal ia bertanggung jawab dengan pilihannya. Masih sangat sulitnya menembus
gelas-gelas kaca (ceiling glass) pada perempuan eksekutif untuk sampai pada posisi top

6
management. Masih dikecilkannya arti peran ibu rumah tangga pada perempuan yang
memilih profesi total di rumah.
Hal ini tergambar pada kesewenangan suami yang kadangkala terwujud dalam kajian
kekerasan di dalam rumah tangga. Dominasi patriarkhi secara kental masih sangat menyita
pada berbagai kehidupan. Sebagai penutup dalam tulisan ini sejalan dengan peringatan Hari
Kartini mudah mudahan semangat Kartini dapat terwujud dalam kemajuan perempuan
Indonesia yang benar-benar memperoleh tempat.
Apakah menegakkan harapan keadilan gender adalah sebagai suatu yang sangat mustahil,
seperti sama beratnya dengan memerangi ketidakadilan sosial sepanjang sejarah manusia.
Berangkat dari perspektif optimis dan sadarnya perjuangan kesetaraan masih sangat panjang
maka ada beberapa alternatif pemecahan dan cara menegakkan keadilan gender.yaitu:

a. Melakukan sosialisasi di dalam keluarga yang seimbang, dalam kajian feminis dikenal
sosialisasi androgini kepada anak laki-laki dan perempuan. Semua hal tersebut
diarahkan untuk kemandirian sebagai manusia.
b. Melakukan dekonstruksi bias gender di bidang pendidikan, dalam buku teks dan
persamaan kesempatan pendidikan tanpa memanda ng stereotipe.
c. Melakukan dekonstruksi pada nilai-nilai patriarkhi dalam konteks negara.
d. Melakukan reinterpretasi terhadap kitab suci.
e. Mendukung visi Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan yaitu
terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender.
f. Mendukung misi Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan yaitu:
 Peningkatan kualitas hidup perempuan
 Penggalakan sosialisasi kesetaraan gender
 Penghapusan segala bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan
 Penegakan hak asasi manusia (HAM) bagi perempuan
 Peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak; serta
 Pemampuan dan peningkatan kemandirian lembaga dan organisasi perempuan
dan peduli anak.

7
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa gender merupakan konsepsi yang
mengharapkan kesetaraan status dan peranan antara lakilaki dan perempuan. Konsep gender
melihat dan menggarisbawahi bahwa semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat laki-
laki dan perempuan yang bisa berubah dari waktu ke waktu berbeda dari suatu tempat ke
tempat lain. Jadi Perlunya keterbukaan kita semua untuk membuka mata bahwa masih
banyak sekali kondisi ketidakadilan gender yang terjadi baik secara interaksi sosial sehari-
hari maupun secara struktur budaya. Patriarkhi secara garis keturunan tidaklah salah tetapi
perwujudan nilai patriarkhi yang menghasilkan kondisi ketidakadilan secara sosial dan
berdampak pada gender perempuan yang banyak dirugikan, inilah yang menjadi perenungan
kita bersama di dalam merespons kembali cita-cita Kartini terhadap dinamika perempuan
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai