Anda di halaman 1dari 2

Bayangan diatas bulan sabit

Semua mereda. Hanya ada deru nafas yang kelelahan. Tidak ada terjadi apapun di lantai
pijakan atau di atap tak terukur ini. Semuanya masih seperti sebelumnya tidak ada yang
berubah hanya ada satu tambahan tanggungjawab yang menjadi tanggungan seorang wanita
tua itu. Ia masih empat puluh lima tahun dan baru saja melahirkan seorang anak lelaki sehat
yang normal disaat suaminya tengah terbaring sakit-sakitan diseberangnya. Muntah darah.

Di sebuah tempat yang tak memiliki akses baik, lampu dari terang purnama dan makanan dari
tanaman yang tumbuh liar tumbuh seorang bocah lelaki yang akan ikut bergantung pada alam
yang mulai kehilangan kerindangannya. Ardi bocah yang akan bertahan hidup dan akan
tumbuh kekurangan gizi.

Kubangan lumpur dengan baju lusuh dan kolor yang basah akibat campuran air mata
kelelahan dan air ata kasihan dari tempatnya berpijat. Bocah empat tahun itu sudah harus
mulai memperjuangkan hidupnya. Bocah kurus dengan kulit gosong yang hidup bersama
segerombolan terbatas orang disebuah desa kumuh yang bahkan tak tau apa yang namanya
teknologi.

“ Ardi pergi bu, pak “ setelah menyalim kedua orang tuanya. Bocah lusuh itu mulai berjalan
mencari sebutir beras di pasar atau jalan raya yang padat akan benda beroda empat. Ia tidak
tau apa namanya setahunya ia meminta sebutir nasi saja untuk mengganjal perutnya terlebih
perut ibu bapaknya yang tengah menahan kelaparan itu dirumahnya.

“ bapakku sakit di gubuk, ibu ku sedang mengurus bapak. Tolong beri kami selembar
rezekimu kepadaku “

Bocah itu terus mengulang kalimat yang sama kepada setiap manusia tinggi yang
melewatinya begitu saja. Bahkan saat matahari terus beranjak ketempat paling tinggi di
atasnya ia belum mendapatkan apa yang diharapkannya. Perutnya sudah perih tak tertahan
sendari tadi. Apa yang bocah kecil empat tahun harapkan dari stamina tubuhnya yang asih
sangat lemah. Tapi mengingat orang tuanya di gubuk kardusnya yang mungkin sama
dengannya ia bangkit kembali berjuang meminta sedikit saja yang bisa di tukar dengan
makanan yang akan diserahkannya nanti ke orang tuanya.

Ia sudah hampir menangis saat tiba-tiba matanya bertubrukan dengan selembar kertas merah
didekat tempat duduknya berkibar didekat sebaskom ikan yang dikerumuni oleh lalat lalat
menjijikan itu.

“ ibu, uangmu terjatuh “ Ardi, bocah empat tahun itu sempat terpikir untuk mengambilnya
dan menukar dengan beberapa puluh butir beras dan sayur yang akan digunakannya
seminggu. Tetapi ia selalu diajarkan untuk tidak mengambil milik orang lain oleh ibunya. Ia
diajarka untuk mengembalikan apa yang bukan haknya kepada dia yang memang memiliki
hak tersebut.

“ oh terimakasih nak, siapa namamu? “ ucap ibu bergaun mewah itu.


“ Ardi bu nama saya Ardi “. Aku menatapnya kemudian mengulangi kalimat yang sendari
pagi aku ulang bagai mantra yang juga ikut menguatkanku.

Ibu itu terseyum kemudian berbicara kepada penjual ikan tersebut. Membeli dan meraih
tangan kotor bocah laki-laki itu. Menanyakan alamat dan menyuruh membawanya ikut
pulang kegubuk nyamanku.

“ aku belum mendapatkan apapun hari ini. Aku belum bisa pulang sekarang. Aku tidak ingin
mengecewakan ibu bapak karena tidak membawa sebutir beras untuk mengganjal perut kecil
mereka “ celoteh Ardi sembari melepas genggaman tangan putih itu.

Tujuh belas tahun kemudian ada seorang pemuda tampan yang tersenyum menatap kearah
kamera sambil berpelukan dengan dua wanita hebat disampingnya. Kedua wanita hebat yang
membawanya ke titik kesuksesan. Ia tersenyum melihat sekeliling raut dan aura bahagia
kelegaan bercampur di sepanjang aula tempatnya berdiri.

“ bapak apa kabar? Sekarang Ardi sudah lulus, besok udah mulai kerja diperusahaan papa.
Ayah tenang tenang disana. Ibu baik sekarang lagi sama mama di rumah” Ardi terduduk di
depan sebuah gundukan tanah. Didalamnya ada sesosok pria gagah yang sudah kembali
kepangkuan tuhan. Tujuh belas tahun merubah segalanya. Waktu berputar dan ia tidak bisa
menetap di satu poros saat poros lainnya menekan memaksa lewat.

Kejadian itu merubahnya. Hanya karena selembar kertas yang dikembalikannya merubah
seluruh kehidupannya. Setidaknya ia lega, sebelum kepergian bapaknya ia sudah memberi
tempat yang lebih nyaman dari gubuk tempatnya berteduh dalam cuaca setiap harinya.

“ doaian Ardi pak, liat kita disini ya pak. Doain Ardi karena Ardi selalu butuh dukungan
bapak. Ardi pulang dulu, bapak baik-baik disana”

setelah mengusap lembut nisan bapaknya. Ardi bangkit dengan mata masih berpaku pada
gundukan didepannya. Dalam hati ia berdoa semoga semuanya berjalan dengan baik dan
sesuai kehendaknya. Ia berterimakasi karena telah memberinya waktu dan menegurnya
sebelum ia ada dititik ini sehingga ia akan memantu mereka yang kesusahan agar tak
sepertinya.

Anda mungkin juga menyukai