Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PERKEMBANGAN MORALTEORI PIAGET & KOHLBERG

Oleh :

Effendi

UNIVERSITAS SELAMAT SRI KENDAL

TAHUN 2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,
nikmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makala
Perkembangan Moralteori Piaget & Kohlberg Shalawat dan salam semoga tetap
tercurahkan kepada junjungan kita nabi agung Muhammad saw, keluarga serta
sahabat-sahabatnya.

Penulis menyadari bahwa makalah yang kami susun tak luput dari
kekurangan, maka saran dan kritik yang membangun kami harapkan dalam
menyempurnakan yang terbatas ini., semoga tulisan ini berguna dan bermanfaat bagi
kita semua.

Kendal, 21 Maret 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI

Halaman Judul....................................................................................................... 1

Kata Pengantar ...................................................................................................... 2

Daftar Isi................................................................................................................ 3

BAB I Pendahuluan .............................................................................................. 4

A. Latar Belakang............................................................................................. 4

B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 4

C. Tujuan Penulisan ......................................................................................... 4

BAB II Isi Makalah ............................................................................................... 5

A. Definisi Moral ............................................................................................. 5

B. Moral dan Perilaku ...................................................................................... 6

C. Konsep-Konsep Moral ................................................................................. 6

D. Pola Perkembangan Moral .......................................................................... 7

E. Menurut Teori Psikoanalisa ......................................................................... 13

F. Menurut Teori Psikologi Belajar ................................................................. 14

G. Menurut Piaget Dan Kohlberg..................................................................... 14

H. Tentang Lawrence Kohlberg ....................................................................... 15

I. Tentang Lawrence Kohlberg ......................................................................... 15

J. Teori Kohlberg .............................................................................................. 15

BAB III Penutup ................................................................................................... 17

A. Kesimpulan .................................................................................................. 17

B. Saran ............................................................................................................ 17

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 18

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masyarakat tidak dapat berfungsi tanpa aturan yang memberitahukan


mengenai bagaimana berkomunikasi satu sama lain, bagaimana menghindari
untuk menyakiti orang-orang lain, dan bagaimana bergaul dalam kehidupan
pada umunya. Anak-anak dengan remaja memiliki pemahaman berbeda
mengenai peraturan.Begitu juga remaja memiliki pandangan yang berbeda
dengan orang tua dan sebaliknya.Hal ini menunjukkan bahwa adanya
perkembangan dalam penalaran dan moral dari setiap individu.

Dari berbagai individu yang menunjukkan semua perbedaan dari setiap


tingkah dan perilakunya akan dibahas melalui teori-teori tentang
perkembangan moral. Perkembangan moral ini merupakan salah satu topik
pembahasan tertua bagi mereka yang tertarik pada perkembangan manusia
atau setiap individu.

Pada zaman ini, kebanyakan orang memiliki pendapat yang kuat, tidak
hanya tentang perilaku moral dan immoral, akan tetapi seharusnya perilaku
moral ditanamkan pada anak-anak.

Untuk itu, kita akan mulai pembahasan mengenai perkembangan moral


mulai dari tahap-tahap perkembangan moral, karakteristik perkembangan
moral, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan moral, perbedaan
individual, ciri-ciri perkembangan moral, dan upaya pengembangan moral
pada remaja, menurut berbagai teori yang mengemukakan tentang
perkembangan moral.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, rumusan


masalah yang ingin dikaji dalam makalah ini adalah
1.Bagaimana tahap perkembangan moral dari usia anak-anak hingga
remaja?
2.Bagaimana karakteristik perkembangan moral?
3.Apa yang menjadi faktor perkembangan moral?
4.Bagaimana ciri-ciri perkembangan moral?

C. Manfaat Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah, tujuan dalam penelitian ini adalah untuk


mengkaji,
1.Megkaji tahapan perkembangan moral pada anak-anak dan remaja
2.Mengetahui karakteristik perkembangan moral
3.Mengetahui faktorisasi perkembangan moral
4.Mampu mmembedakan ciri-ciri perkembangan moral

4
BAB II

ISI MAKALAH

A. DEFINISI MORAL

Moral berasal dari kata Latin “mores” yang berarti: Tata cara, kebiasaan dan adat.
Perilaku moral berarti perilaku yg sesuai dengan kode moral kelompok social.
Perilaku moral dikendalikan konsep- konsep moral.

Moral merupakan pengetahuan yang menyangkut budi pekerti manusia yang beradab.
Moral juga berarti ajaran yang baik dan buruk perbuatan dan kelakuan
(akhlak). Moralisasi, berarti uraian (pandangan, ajaran) tentang perbuatan dan
kelakuan yang baik. Demoralisasi, berarti kerusakan moral.

Menurut asal katanya “moral” dari kata mores dari bahasa Latin, kemudian
diterjemahkan menjadi “aturan kesusilaan”. Dalam bahasa sehari-hari, yang
dimaksud dengan kesusilaan bukan mores, tetapi petunjuk-petunjuk untuk kehidupan
sopan santun dan tidak cabul. Jadi, moral adalah aturan kesusilaan, yang meliputi
semua norma kelakuan, perbuatan tingkah laku yang baik. Kata susila berasal dari
bahasa Sansekerta, su artinya “lebih baik”, sila berarti “dasar-dasar”, prinsip-prinsip
atau peraturan-peraturan hidup. Jadi susila berarti peraturan-peraturan hidup yang
lebih baik.

Pengertian moral dibedakan dengan pengertian kelaziman, meskipun dalam praktek


kehidupan sehari-hari kedua pengertian itu tidak jelas batas-
batasnya. Kelaziman adalah kebiasaan yang baik tanpa pikiran panjang dianggap
baik, layak, sopan santun, tata krama, dsb. Jadi, kelaziman itu merupakan norma-
norma yang diikuti tanpa berpikir panjang dianggap baik, yang berdasarkan kebiasaan
atau tradisi.

Moral juga dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

1. Moral murni, yaitu moral yang terdapat pada setiap manusia, sebagai suatu
pengejawantahan dari pancaran Ilahi. Moral murni disebut juga hati nurani.

2. Moral terapan, adalah moral yang didapat dari ajaran pelbagai ajaran
filosofis, agama, adat, yang menguasai pemutaran manusia.

5
B. MORAL DAN PERILAKU

Perilaku amoral atau non moral adalah perilaku yang tidak sesuai dengan harapan
social yang disebabkan oleh ketidakacuhan terhadap harapan social (pelanggaran
secara tidak sengaja terhadap standar kelompok). Perilaku tak bermoral yaitu
perilaku yang tidak sesuai dengan harapan social, karena tidak setuju dengan standar
social atau kurang memiliki rasa wajib menyesuaikan diri dengan harapan social.

Perilaku adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai
bentangan yang sangat luas antara lain : berjalan, berbicara, menangis, tertawa,
bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian ini dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku manusia adalah semua kegiatan atau
aktivitas manusia, baik yang diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh
pihak luar (Notoatmodjo, 2003).

Menurut Skinner, seperti yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), merumuskan bahwa
perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan
dari luar. Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap
organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons, maka teori Skinner ini
disebut teori “S-O-R” atau Stimulus – Organisme – Respon.

C. KONSEP-KONSEP MORAL

Peraturan perilaku yang telah menjadi kebiasaan anggota kelompok atau anggota
suatu budaya Peraturan perilaku yang menentukan pola perilaku yang diharapkan
dari seluruh anggota kelompok.

Konsep moral (moral knowing) mencakup kesadaran moral (moral awarness),


pengetahuan nilai moral (knowing moral value), pandangan ke depan (perspective
talking), penalaran moral (reasoning), pengambilan keputusan (decision making), dan
pengetahuan diri (self knowledge).

Sikap moral (moral feeling) mencakup kata hati (conscience), rasa percaya diri (self
esteem), empati (emphaty), cinta kebaikan (loving the good), pengendalian diri (self
control), dan kerendahan hati (and huminity).

Prilaku moral (moral behavior) mencakup kemampuan (compalance), kemauan (will)


dan kebiasaan (habbit).

Berdasarkan uraian di muka, dapat disimpulkan bahwa pengertian moral/ moralitas


adalah suatu tuntutan prilaku yang baik yang dimiliki individu sebagai moralitas,

6
yang tercermin dalam pemikiran/konsep, sikap, dan tingkah laku. Dalam
pembelajaran PKn, moral sangat penting untuk ditanamkan pada anak usia SD,
karena proses pembelajaran PKn SD memang bertujuan untuk membentuk moral
anak, yaitu moral yang sesuai dengan nilai falsafah hidupnya.

D. POLA PERKEMBANGAN MORAL

Bayi yang baru lahir tidak membawa aspek moral, sehingga dianggap AMORAL
ATAU NON-MORAL. Aspek moral merupakan sesuatu yang berkembang dan
dikembangkan (TEORI PSIKOANALISA DAN TEORI BELAJAR).

Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang
berdasarkan perkembangan penalaran moralnya seperti yang diungkapkan
oleh Lawrence Kohlberg. Tahapan tersebut dibuat saat ia
belajar psikologi di University of Chicago berdasarkan teori yang ia buat setelah
terinspirasi hasil kerja Jean Piaget dan kekagumannya akan reaksi anak-anak terhadap
dilema moral.[1] Ia menulis disertasi doktornya pada tahun 1958 [2] yang menjadi
awal dari apa yang sekarang disebut tahapan-tahapan perkembangan moral dari
Kohlberg.

Teori ini berpandangan bahwa penalaran moral, yang merupakan dasar dari
perilaku etis, mempunyai enam tahapan perkembangan yang dapat teridentifikasi. Ia
mengikuti perkembangan dari keputusan moral seiring penambahan usia yang semula
diteliti Piaget,[3] yang menyatakan bahwa logika dan moralitas berkembang melalui
tahapan-tahapan konstruktif.[4] Kohlberg memperluas pandangan dasar ini, dengan
menentukan bahwa proses perkembangan moral pada prinsipnya berhubungan
dengan keadilan dan perkembangannya berlanjut selama kehidupan,[2] walaupun ada
dialog yang mempertanyakan implikasi filosofis dari penelitiannya.[5][6]

Kohlberg menggunakan ceritera-ceritera tentang dilema moral dalam penelitiannya,


dan ia tertarik pada bagaimana orang-orang akan menjustifikasi tindakan-tindakan
mereka bila mereka berada dalam persoalan moral yang sama. Kohlberg kemudian
mengkategorisasi dan mengklasifikasi respon yang dimunculkan ke dalam enam
tahap yang berbeda. Keenam tahapan tersebut dibagi ke dalam tiga tingkatan: pra-
konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional.[7][8][9] Teorinya didasarkan
pada tahapan perkembangan konstruktif; setiap tahapan dan tingkatan memberi
tanggapan yang lebih adekuat terhadap dilema-dilema moral dibanding tahap/tingkat
sebelumnya

7
Tahapan-tahapan

Keenam tahapan perkembangan moral dari Kolhlberg dikelompokkan ke dalam tiga


tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional.[7][8][9] Mengikuti
persyaratan yang dikemukakan Piaget untuk suatu Teori perkembangan kognitif,
adalah sangat jarang terjadi kemunduran dalam tahapan-tahapan ini.[10][11] Walaupun
demikian, tidak ada suatu fungsi yang berada dalam tahapan tertinggi sepanjang
waktu. Juga tidak dimungkinkan untuk melompati suatu tahapan; setiap tahap
memiliki perspektif yang baru dan diperlukan, dan lebih komprehensif, beragam, dan
terintegrasi dibanding tahap sebelumnya.[10][11]

Tingkat 1 (Pra-Konvensional)

1. Orientasi kepatuhan dan hukuman

2. Orientasi minat pribadi

( Apa untungnya buat saya?)

Tingkat 2 (Konvensional)

3. Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas

( Sikap anak baik)

4. Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial

( Moralitas hukum dan aturan)

Tingkat 3 (Pasca-Konvensional)

5. Orientasi kontrak sosial

6. Prinsip etika universal

( Principled conscience)

Pra-Konvensional

Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada


pada anak-anak, walaupun orang dewasa juga dapat menunjukkan
penalaran dalam tahap ini. Seseorang yang berada dalam tingkat
pra-konvensional menilai moralitas dari suatu tindakan
berdasarkan konsekuensinya langsung. Tingkat pra-konvensional
terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan moral, dan
murni melihat diri dalam bentuk egosentris.

8
Dalam tahap pertama, individu-individu memfokuskan diri pada
konsekuensi langsung dari tindakan mereka yang dirasakan
sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap salah secara
moral bila orang yang melakukannya dihukum. Semakin keras
hukuman diberikan dianggap semakin salah tindakan
itu.[12] Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang
orang lain berbeda dari sudut pandang dirinya. Tahapan ini bisa
dilihat sebagai sejenis otoriterisme.

Tahap dua menempati posisi apa untungnya buat saya, perilaku


yang benar didefinisikan dengan apa yang paling diminatinya.
Penalaran tahap dua kurang menunjukkan perhatian pada
kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga
berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri, seperti “kamu garuk
punggungku, dan akan kugaruk juga punggungmu.”[4] Dalam
tahap dua perhatian kepada oranglain tidak didasari oleh loyalitas
atau faktor yang berifat intrinsik. Kekurangan perspektif tentang
masyarakat dalam tingkat pra-konvensional, berbeda dengan
kontrak sosial (tahap lima), sebab semua tindakan dilakukan
untuk melayani kebutuhan diri sendiri saja. Bagi mereka dari
tahap dua, perpektif dunia dilihat sebagai sesuatu yang bersifat
relatif secara moral.

Konvensional

Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau


orang dewasa. Orang di tahapan ini menilai moralitas dari suatu
tindakan dengan membandingkannya dengan pandangan dan
harapan masyarakat. Tingkat konvensional terdiri dari tahap
ketiga dan keempat dalam perkembangan moral.

Dalam tahap tiga, seseorang memasuki masyarakat dan memiliki


peran sosial. Individu mau menerima persetujuan atau
ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut
merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang
dimilikinya. Mereka mencoba menjadi seorang anak baik untuk
memenuhi harapan tersebut,[4] karena telah mengetahui ada
gunanya melakukan hal tersebut. Penalaran tahap tiga menilai

9
moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi
konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang
mulai menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih,
dan golden rule. Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas
ada hanya untuk membantu peran sosial yang stereotip ini.
Maksud dari suatu tindakan memainkan peran yang lebih
signifikan dalam penalaran di tahap ini; 'mereka bermaksud
baik…'.[4]

Dalam tahap empat, adalah penting untuk


mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi sosial karena berguna
dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral
dalam tahap empat lebih dari sekadar kebutuhan akan penerimaan
individual seperti dalam tahap tiga; kebutuhan masyarakat harus
melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan
apa yang benar dan apa yang salah, seperti dalam
kasus fundamentalisme. Bila seseorang bisa melanggar hukum,
mungkin orang lain juga akan begitu - sehingga ada kewajiban
atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila seseorang
melanggar hukum, maka ia salah secara moral, sehingga celaan
menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini karena
memisahkan yang buruk dari yang baik.

Pasca-Konvensional

Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai tingkat


berprinsip, terdiri dari tahap lima dan enam dari perkembangan
moral. Kenyataan bahwa individu-individu adalah entitas yang
terpisah dari masyarakat kini menjadi semakin jelas. Perspektif
seseorang harus dilihat sebelum perspektif masyarakat. Akibat
‘hakikat diri mendahului orang lain’ ini membuat tingkatan
pasca-konvensional sering tertukar dengan perilaku pra-
konvensional.

Dalam tahap lima, individu-individu dipandang sebagai memiliki


pendapat-pendapat dan nilai-nilai yang berbeda, dan adalah
penting bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa memihak.
Permasalahan yang tidak dianggap sebagai relatif seperti

10
kehidupan dan pilihan jangan sampai ditahan atau dihambat.
Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar atau absolut -
'memang anda siapa membuat keputusan kalau yang lain tidak'?
Sejalan dengan itu, hukum dilihat sebagai kontrak sosial dan
bukannya keputusan kaku. Aturan-aturan yang tidak
mengakibatkan kesejahteraan sosial harus diubah bila perlu demi
terpenuhinya kebaikan terbanyak untuk sebanyak-banyaknya
orang.[8] Hal tersebut diperoleh melalui keputusan mayoritas,
dan kompromi. Dalam hal ini, pemerintahan
yang demokratis tampak berlandaskan pada penalaran tahap lima.

Dalam tahap enam, penalaran moral berdasar pada


penalaran abstrak menggunakan prinsip etika universal. Hukum
hanya valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen terhadap
keadilan juga menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi
hukum yang tidak adil. Hak tidak perlu sebagai kontrak sosial dan
tidak penting untuk tindakan moral deontis. Keputusan dihasilkan
secara kategoris dalam cara yang absolut dan bukannya secara
hipotetis secara kondisional (lihat imperatif
kategoris dari Immanuel Kant[13]). Hal ini bisa dilakukan dengan
membayangkan apa yang akan dilakukan seseorang saat menjadi
orang lain, yang juga memikirkan apa yang dilakukan bila
berpikiran sama (lihat veil of ignorance dari John Rawls[14]).
Tindakan yang diambil adalah hasil konsensus. Dengan cara ini,
tindakan tidak pernah menjadi cara tapi selalu menjadi hasil;
seseorang bertindak karena hal itu benar, dan bukan karena ada
maksud pribadi, sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui
sebelumnya. Walau Kohlberg yakin bahwa tahapan ini ada, ia
merasa kesulitan untuk menemukan seseorang yang
menggunakannya secara konsisten. Tampaknya orang sukar,
kalaupun ada, yang bisa mencapai tahap enam dari model
Kohlberg ini.[11]

Contoh dilema moral yang digunakan

Kohlberg menyusun Wawancara Keputusan Moral dalam


disertasi aslinya pada tahun 1958.[2] Selama kurang lebih 45
menit dalam wawancara semi-terstruktur yang direkam,

11
pewawancara menggunakan dilema-dilema moral untuk
menentukan penalaran moral tahapan mana yang digunakan
partisipan. Dilemanya berupa ceritera fiksi pendek yang
menggambarkan situasi yang mengharuskan seseorang membuat
keputusan moral. Partisipan tersebut diberi serangkaian
pertanyaan terbuka yang sistematis, seperti apa yang mereka pikir
tentang tindakan yang seharusnya dilakukan, juga justifikasi
seperti mengapa tindakan tertentu dianggap benar atau salah.
Pemberian skor dilakukan terhadap bentuk dan struktur dari
jawaban-jawaban tersebut dan bukan pada isinya; melalui
serangkaian dilema moral diperoleh skor secara keseluruhan.[2][9]

Dilema Heinz

Salah satu dilema yang digunakan Kohlberg dalam penelitian


awalnya adalah dilema apoteker: Heinz Mencuri Obat di Eropa.[5]

Seorang perempuan sudah hampir meninggal dunia akibat


semacam kanker. Ada suatu obat yang
menurut dokter dapat menyelamatkannya. Obat itu adalah
semacam radium yang baru saja ditemukan oleh
seorang apoteker di kota yang sama. Obat itu mahal
ongkos pembuatannya, tetapi si apoteker menjualnya
sepuluh kali lipat ongkos pembuatannya tersebut. Ia
membayar $200 untuk radium tersebut dan menjualnya
$2.000 untuk satu dosis kecil obat tersebut. Suami dari
perempuan yang sakit, Heinz, pergi ke setiap orang yang
dia kenal untuk meminjam uang, tapi ia cuma
memperoleh $1.000, setengah dari harga obat seharusnya.
Ia berceritera kepada apoteker bahwa isterinya sudah
sekarat dan memintanya untuk dapat menjual obat dengan
lebih murah atau memperbolehkan dia melunasinya di
kemudian hari. Tetapi si apoteker mengatakan: “Tidak,
saya yang menemukan obat itu dan saya akan mencari
uang dari obat itu.” Heinz menjadi putus asa dan
membongkar apotek tersebut untuk mencuri obat demi
istrinya.

12
Haruskah Heinz membongkar apotek itu untuk mencuri
obat bagi isterinya? Mengapa?[5]

Dari sudut pandang teoretis, apa yang menurut partisipan


perlu dilakukan oleh Heinz tidaklah penting. Teori Kohlberg
berpendapat bahwa justifikasi yang diberikan oleh partisipanlah
yang signifikan, bentuk dari repon mereka.[7]

E. MENURUT TEORI PSIKOANALISA

Perkembangan moral adalah proses internalisasi norma-norma masyarakat dan


kematangan organic-biologik.Seseorang telah mengembangkan aspek moral bila
telah menginternalisasikan aturan2 or kaidah2 kehidupan di dalam masyarakat, dan
dapat mengaktualisasikan dalam perilaku yang terus menerus, atau dengan kata lain
telah menetap.Menurut teori psikoanalisa perkembangan moral dipandang sebagai
proses internalisasi norma- norma masyarakat.dan sebagai kematangan dari sudut
organic-biologik.

Ruth berry (2001: 2) Psikoaanalisa adalah sistem menyeluruh dalam psikologi yang
dikembangkan oleh freud secara berlahan ketika ia menangani orang yang mengalami
neurosis dan masalah mental lainnya.

Teori Kepribadian Psikoanalisa merupakan salah satu aliran utama dalam sejarah
psikologi. Psikoanalisa adalah sebuah model perkembangan kepribadian, filsafat
tentang sifat manusia, dan metode psikoterapi. Secara historis Psikoanalisa adalah
aliran pertama dari tiga aliran utama psikologi. Yang kedua adalah behaviorisme,
sedangkan yang ketiga adalah psikologi eksistensial-humanistik.

Menurut Freud, lapisan kesadaran jiwa itu kecil, dan analisis terhadapnya tidak dapat
menerangkan masalah tingkah laku seluruhnya. Freud juga berpendapat bahwa energi
jiwa itu terdapat didalam ketidaksadaran, yang berupa insting-insting atau dorongan-
dorongan (Fudyartanta, 2005: 89).

Freud membandingkan jiwa dengan gunung es dimana bagian lebih kecil yang
muncul di permukaan air menggambarkan daerah kesadaran, sedangkan massa yang
jauh lebih besar di bawah permukaan air menggambarkan daerah ketidaksadaran
(Koswara, 1991: 60). Di dalam daerah ketidaksadaran itu ditemukan dorongan-
dorongan, nafsu-nafsu, ide-ide, dan perasaan-perasaan yang ditekan.

13
F. MENURUT TEORI PSIKOLOGI BELAJAR

Perkembangan moral dipandang sebagai hasil rangkaian stimulus- respons yang


dipelajari oleh anak, antara lain berupa hukuman (punishment) dan pujian (reward)
yang sering dialami oleh anak.

Konsep Teori Psikoanalisa dan Teori Belajar

 Konsep ke dua teori (psikoanalisa dan psikologi belajar), tentang proses


perkembangan moral adalah bahwa seseorang telah mengalami
perkembangan moral apabila ia memperlihatkan adanya perilaku yang sesuai
dengan aturan-aturan yang ada di dalam masyarakatnya. Dengan kata lain
perkembangan moral berkorelasi dengan kemampuan penyesuaian diri
individu.

G. MENURUT PIAGET DAN KOHLBERG

 Menurut Piaget dan Kohlberg perkembangan moral berkorelasi dengan


perkembangan kecerdasan individu, sehingga seharusnya bila perkembangan
kecerdasan telah mencapai kematangan, maka perkembangan moral juga
harus mencapai tingkat kematangan.

TEORI PIAGET tentang PERKEMBANGAN MORAL

 Perkembangan moral berlangsung dalam 2 (dua) tahap, yaitu:

 Tahap Realisme Moral à Moralitas oleh pembatasan

(<12thn):

- Usia 0 – 5 tahun: pada tahap ini perilaku anak ditentukan oleh


ketaatan otomatis terhadap peraturan tanpa penalaran / penilaian.
Anak menilai tindakan berdasar konsekuensinya.

 Usia 7/8 – 12 tahun: pada tahap ini anak menilai perilaku atas
dasar tujuan. Konsep tentang benar/salah mulai dimodifikasi
(lebih luwes / fleksibel). Konsep tentang keadilan mulai
berubah.

Tahap Operasional Formal à

 Moralitas dengan analisis (> 12th):

 Anak mampu mempertimbangkan segala cara untuk memecahkan


masalah.

14
 Anak bernalar atas dasar hipotesis dan dalil à melihat masalah dari
berbagai sudut pandang.

H. TENTANG LAWRENCE KOHLBERG

 Lahir th 1927, dan dibesarkan di Brouxmille, New York.

 Menamatkan Sekolah Menengah di Andover

Academy di Massachusetts

 Th 1948 Masuk Universitas Chicago, setahun kemudian Bachelor diraih, ia


mengambil bidang Psikologi, dan tertarik dengan Teori Piaget.

 Tahun 1958 lulus S3 dg Disertasi: The Development of Modes of Thinking


and Choice in the year 10 to 16 (merupakan landasan teori perkembangan
moralnya)

I. TENTANG LAWRENCE KOHLBERG

 Th 1962 – 1968 mengajar di Universitas Chicago (almamaternya).

 Sejak th 1968 mengajar di Harvard.

 Menurut Kholberg Ketika dilahirkan, anak belum dan tidak membawa aspek
moral.

 Kohlberg juga berpendapat, bahwa aspek moral merupakan sesuatu yang


berkembang dan dikembangkan

J. TEORI KOHLBERG

 Kohlberg mengemukakan teori perkembangan moral berdasar teori Piaget,


yaitu dengan pendekatan organismik (melalui tahap-tahap perkem-bangan
yang memiliki urutan pasti dan berlaku secara universal). Selain itu
Kohlberg juga menyelidiki struktur proses berpikir yang mendasari perilaku
moral (moral behavior).

Tahap-tahap perkembangan moral menurut Kohlberg

 Tahap-tahap perkembangan moral terdiri dari 3 tingkat, yang masing-masing


tingkat terdapat 2 tahap, yaitu:

I. Tingkat Pra Konvensional (Moralitas Pra-Konvensional)

à perilaku anak tunduk pada kendali eksternal:

15
Tahap 1: Orientasi pada kepatuhan dan hukuman à anak melakukan sesuatu agar
memperoleh hadiah (reward) dan tidak mendapat hukuman (punishment)

Tahap 2: Relativistik Hedonism à anak tidak lagi secara mutlak tergantung


aturan yang ada. Mereka mulai menyadari bahwa setiap kejadian bersifat relative,
dan anak lebih berorientasi pada prinsip

kesenangan. Menurut Mussen, dkk. Orientasi moral anak masih bersifat


individualistis, egosentris dan konkrit.

II. Tingkat Konvensional (Moralitas Konvensional)

 Tingkat Konvensional (Moralitas Konvensional)

à fokusnya terletak pada kebutuhan social (konformitas).

Tahap 3: Orientasi mengenai anak yang baik à anak memperlihatkan perbuatan yang
dapat dinilai oleh orang lain.

Tahap 4: Mempertahankan norma2 sosial dan otoritas

à menyadari kewajiban untuk melaksanakan norma-

norma yang ada dan mempertahankan pentingnya

keberadaan norma, artinya untuk dapat hidup secara harmonis, kelompok sosial
harus menerima peraturan yang telah disepakati bersama dan melaksanakannya.

III. Tingkat Post- Konvensional (Moralitas Post-konvensional)

 Tingkat Post-Konvensional (Moralitas Post-konvensional) à individu


mendasarkan penilaian moral pada prinsip yang benar secara inheren.

Tahap 5: Orientasi pada perjanjian antara individu dengan lingkungan sosialnya à


pada tahap ini ada hubungan timbal balik antara individu dengan lingk sosialnya,
artinya bila seseorang melaksanakan kewajiban yang sesuai dengan tuntutan norma
social, maka ia berharap akan mendapatkan perlindungan dari masyarakat.

Tahap 6: Prinsip Universal à pada tahap ini ada norma etik dan

norma pribadi yang bersifat subjektif. Artinya: dalam hubungan antara seseorang
dengan masyarakat ada unsur2 subjektif yang menilai apakah suatu
perbuatan/perilaku itu baik/tidak baik; bermoral/tidak bermoral. Disini dibutuhkan
unsur etik/norma etik yang sifatnya universal sbg sumber utk menentukan suatu
perilaku yang berhubungan dengan moralitas.

16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan
aturan dan konvensi mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia
dalam interaksinya dengan orang lain. Moral merupakan gambaran dari
tidakan yang dilakukan oleh seorang individu, dimana tindakan tersebut
dinilai baik atau buruk yang bertujuan mengendalikan tingkah laku seseorang.
Dalam perkembangan moral terdapat tiga teori, yaitu Teori Kohlberg,
Teori Piaget, dan Teori of Mind :
1. Teori Kohlberg, teori ini lebih mementingkan orientasinya untuk
mengungkapkan moral yang hanya ada dalam pikiran dan yang dibedakan
dengan tingkah laku moral dalam arti perbuatan nyata.
2. Teori Piaget, teori ini lebih melibatkan prinsip-prinsip dan proses-proses
yang sama dengan pertumbuhan kognitif yang ditemui dalam teori
perkembangan intelektual. Seperti yang digambarkan melalui permainan.
3. Teori of Mind, pemahaman bahwa orang lain memiliki kondisi mental
yang berbeda-beda dengan orang lain, seperti tentang hasrat, perasaan, dan
lain-lain.

B. Saran
Berdasarkan beberapa pemaparan yang telah disampaikan di atas,
diharapkan pembaca dapat lebih memahami tentang perkembangan
moralterutama mengenai berbagai teori yang telah disampaikan oleh pakar
psikologi.Sehingga, pembaca dapat mengambil hal-hal positif darinya.

17
DAFTAR PUSTAKA

Desmita. 1993. Psikologi Perkembangan Peserta Didik.Jakarta:Rosda Karya.

Santrock, John.W. 2007 Perkembangan Anak. Jakarta: Penerbit


Erlangga.

Upton, Penney. 2012. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Penerbit


Erlangga

https://www.academia.edu/

Materi Power Point “Perkembangan Moral Kuliah”

18

Anda mungkin juga menyukai