Proposal Dede
Proposal Dede
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu penyakit infeksi yang sering
ditemukan pada praktik umum. ISK adalah istilah dimana ditemukannya mikroorganisme
dalam urine. Berdasarkan anatomi saluran kemih dan letak terjadinya, penyakit ini dapat
dikelompokkan menjadi ISK bawah dan ISK atas, dengan tempat pertemuan pada
vesicoureter junction. ISK atas dapat berupa pielonefritis, sedangkan ISK bawah dapat
berupa sistitis pada perempuan, dan pada laki-laki berupa sistitis, prostatitis, epididimitis,
Pada laki-laki, infeksi yang paling sering muncul adalah prostatitis. Hal ini mungkin
dimana beberapa laki-laki yang mengalami gejala BPH, juga ditemukan menderita prostatitis
(piovesan et al, 2009). Berdasarkan hasil penelitian pada saat dilakukannya otopsi, bukti
histologis BPH ditemukan di 8% pria berusia antara 31 dan 40 tahun, serta proporsi
kejadiannya meningkat lebih dari 70% pada pria yang sudah memasuki dekade ketujuh
Benign prostatic hyperplasia (BPH) dapat dikatakan sebagai kondisi umum yang
sering dialami pria yang semakin tua, ditandai dengan adanya penambahan jumlah sel atau
hiperplasi pada kelenjar prostat (Chung et al, 2012 & Purnomo, 2011). Keadaan ini dialami
oleh 50% pria yang berusia 60 tahun dan kurang lebih 80% pria yang berusia 80 tahun.
Kelenjar prostat merupakan salah satu organ genitalia pria berbentuk sebesar buah kenari,
yang terletak di sebelah inferior buli-buli dan melingkari uretra posterior, yang jika
mengalami pembesaran akan menyebabkan terhambatnya aliran urine yang keluar dari buli-
buli menuju uretra, dan akan menimbulkan gejala pada saluran kemih bawah (Lower Urinary
Tract Simptoms/ LUTS) (Purnomo, 2011). Pada usia 60 tahunan, lebih dari 50% pria akan
memiliki bukti mikroskopis dari penyakit ini, dan lebih dari 40% pria di atas usia ini akan
menunjukkan gejala gangguan atau gejala saluran kemih bawah (LUTS) (Chung et al, 2012).
Prostatitis kronis adalah salah satu penyebab yang jelas dari BPH dan penyebab
gejala yang saling tumpang tindih dalam banyak kasus pasien BPH. Dengan demikian, sulit
untuk membedakan prostatitis dari BPH (Chung et al, 2012). Penyakit ini ditandai dengan
adanya reaksi inflamasi pada kelenjar prostat, yang penyebabnya bisa oleh karena bakteri
ataupun non bakteri (Purnomo, 2011). Bukti histologis prostatitis asimptomatik pada pria
tampaknya sangat umum. Penelitian yang dilakukan oleh Nikel et al menyatakan bahwa
peradangan dilaporkan terjadi pada semua 80 spesimen ditinjau dari bahan yang diperoleh
setelah pasien menjalani TURP. Dalam sebuah penelitian serupa, Khoen et al. menemukan
kejadian prostatitis sebesar 98% dari 168 pasien, di mana diagnosis dibuat setelah biopsi
untuk menilai peningkatan pada nilai prostat specific antigen (PSA), pemeriksaan colok
dubur yang abnormal, atau pemeriksaan spesimen bedah dari operasi transurethral atau
terbuka untuk benign prostatic hyperplasia. Dari hasil penelitian ini ada kecenderungan
untuk mengkorelasikan prostatitis karena inflamasi dengan peningkatan nilai PSA. Terlepas
dari kontroversi yang terjadi pada penelitiannya, ketika prostatitis ditemukan dalam sampel
biopsi dari pasien dengan PSA tinggi, kenaikan PSA biasanya dikaitkan dengan kehadiran
diarahkan untuk BPH atau prostatitis. Namun, sulit untuk memisahkan kebanyakan pasien
dengan prostatitis dan BPH karena gejalanya mirip. Peningkatan PSA bisa menjadi petunjuk
untuk prostatitis kronis dan dapat juga menjadi petunjuk bagi BPH. Begitu pula dengan
pemeriksaan colok dubur (rectal toucher) yang menunjukkan hasil yang hampir sama karena
salah satu penyebab awal BPH adalah prostatitis. Berdasarkan penelitian Nadler et al,
didapatkan bahwa 99% pasien dengan PSA lebih dari 4 ng/ml tanpa kanker prostat
1.2.Rumusan Masalah
Dari latar belakang dapat dirumuskan beberapa hal yang menjadi acuan dalam pembahasan
penelitian , yakni :
(rectal toucher) jika dibandingkan dengan tes PSA (prostat specific antigen) dalam
mendiagnosis prostatitis pada pasien BPH (benign prostat hyperplasia) di Rumah Sakit
Biomedika Mataram ?
1.3. Hipotesis
Berdasarkan analisis awal, hipotesis sementara peneliti adalah : “diagnosis berdasarkan hasil
pemeriksaan colok dubur (rectal toucher) lebih akurat dan efektif dibandingkan dengan
diagnosis berdasarkan hasil tes PSA (Prostat Spesific Antigen) dalam mendiagnosis
pemeriksaan colok dubur (rectal toucher) dengan tes PSA (prostat specific antigen)
dalam mendiagnosis prostatitis pada pasien BPH di Rumah Sakit Biomedika Mataram
Penelitian ini merupakan penelitian analitik korelatif dengan pendekatan cross sectional.
Metode penelitian cross sectional dipilih karena sampel diambil dalam satu waktu yang
kemudian dilakukan analisis untuk mencari hubungan antara variabel bebas dengan variabel
tergantung. Data diambil dari pasien yang menjalani pemeriksaan colok dubur (rectal
toucher) dan tes PSA (Prostat Spesific Antigen) yang datang ke Rumah Sakit Biomedika
Mataram karena gejala obstruktif dan iritatif yang dicurigai BPH (benign prostat
hyperplasia).
Daftar Pustaka
Chung, J.H., Yu, J.H., Sung, L.H., Noh, C.H., and chung, J.Y. 2012. Effect of Prostatitis
Jurnal Of Urology
website<http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3285705/>[Access
ed 18 September 2013].
Piovesan, A.C., de Campos, F.G.,Torricelli, F.C.M., Cordeiro, P., Yamada, R., Srougi,
website<http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2780520/>[Access
ed 18 September 2013].
Purnomo, B.B., 2011. Dasar-dasar urologi. 3rd ed. Jakarta : CV Sagung Seto.
Sudoyo, A. W., Setiyohadi, B., Alwi, I.,Simadibrata, M. dan Siti, S., 2010. Buku ajar