OLEH :
2017
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur patut saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas bimbingan dan
berkatnya, sehingga kliping ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Agama merupakan suatu ilmu yang menyenangkan bila kita mempelajarinya. Dalam proses
pelajaran Agama terdapat 2 bagian yaitu teori dan praktikum.
Agama juga merupakan suatu pelajaran yang menuntut seseorang untuk menganalisa dan
menyelesaikan berbagai masalah yang berhubungan dengan kepribadian dan moral. Salah satunya adalah
psikologi. Dalam kliping ini akan disajikan berbagai jenis masalah-masalah dalam kekerasan psikologi,
lebih kompleksnya adalah kekerasan seksual.
1. Bapak Johanes Jonas Teta, S. Pd SELAKU Kepala SMA Negeri 1 Maumere yang telah bersedia
menerima kami menimbah ilmu di lembaga ini.
2. Ibu Mia, Guru Pembimbing sekaligus Guru Mata Pelajaran Agama.
3. Orang Tua yang Telah Membantu dan Mendorong Saya.
4. Dan teman-teman XI IPA2
5. Semua orang yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang dengan caranya sendiri telah
membantu saya menyelesaikan kliping ini.
Akhir kata tiada gading yang tak retak, demikian pula dengan kliping ini. Oleh karena itu saran
dan kritik yang membangun akan saya terima demi kesempurnaannya.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Manfaat
1. Dapat mengetahui pengertian dari pelecehan seksual
2. Dapat mengetahui pelecehan seksual yang terjadi pada anak-anak maupun pada perempuan
3. Dapat mengetahui dampak dari pelecehan seksual
4. Dapat mengetetahui solusinya untuk mencegah terjadinya pelecehan seksual
A. KEKERASAN
a. Definisi
Kekerasan adalah setiap tindakan yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan secara fisik.
Seksual atau psikologis termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan
secara sewenang-wenang baik yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari maupun dimasyarakat.
Didalam pasal 289 KUHP disebutkan bahwa: “ barang siapa dengan kekerasan atau dengan ancaman
akan memakai kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan untuk memebiarkan dilakukannya
tindakan-tindakan yang sifatnya melanggar kesusilaan, karena bersalah secara nyata merusak
kesusilaan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 9 tahun “
b. Bentuk-bentuk kekerasan
Bentuk-bentuk kekerasan dapat terjadi sendiri-sendiri atau bersama-sama.
Bentuk-bentuk kekerasan dapat meliputi:
1. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik ialah kontak fisik yang diberikan pada seseorang yang menyakiti dan
bersifat kepada pengerusakan fisik. Misalnya dipukul, mencekik, menendang, menggigit, meracuni,
membakar, menganiaya. Kekerasan fisik disamping terjadi didalam keluarga juga dialami
dilingkungan luar yang pelakunya adalah teman sepermainan orang yang dikenal maupun orang
yang tidak dikenal. Akibat dari kekerasan fisik dapat menyebabkan luka yang ringan atau serius
dapat menyebabkan resiko seperti kecemasan, depresi, penyalah gunaan obat dan masalah
disekolah atau ditempat kerja.
2. Kekerasan seksual
Kekerasan seksual yaitu bila anak mendapat perlakuan seksual oleh orang dewasa,
termasuk didalamnya merayu anak untuk menyentuh dan disentuh genetalianya, hubungan kelamin
dalam semua bentuk baik genital, oral, atau sodomi. Beberapa anak yang dianiaya secara seksual
dikemudian hari dapat terjebak dalam kegiatan prostitusi maupun masalah serius lainnya ketika
mencapai dewasa.
3. Kekerasan emosional
Kekerasa emosional yaitu ditandai dengan kecaman kata-kata yang merendahkan. Kekerasan
emosional sulit dideteksi karena sering kali merupakan kasus yang tidak dilaporkan. Manifestasinya
akan terlihat setelah timbul problem perilaku yang menimbulkan masalah baik diri remaja, keluarga
ataupun lingkungannya.
c. Faktor resiko terjadinya kekerasan
1. Faktor perilaku menyimpang
Yang disebut perilaku menyimpang adalah semua tingkah laku yang menyimpang
dari ketentuan yang berlaku dalam masyarakat (norma agama, etika, peraturan sekolah dan
keluarga dan lain-lain). Jika penyimpangan ini terjadi terhadap norma-norma hukum pidana
maka disebut kenakalan.
Jenis kenakalan remaja menurut jensen 1985 (dikutip dari 21):
Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain seperti perkelahian,
perkosaan, perampokan, pembunuhan, dan lain-lain.
Kenakalan yang menimbulkan korban materi seperti perusakan, pencurian,
pencopetan, pemerasan dan lain-lain.
Menurut Graham, 1983 (dikutip dari 21) berbagai faktor dapat menyebabkan remaja
berperilaku menyimpang, yaitu faktor lingkungan dan faktor pribadi.
a. Faktor lingkungan : mal nutrisi, kemiskinan, migrasi karena urbanisasi, pengungsian,
masalah disekolah, problem keluarga, kematian orang tua, orang tua sakit berat atau
cacat, hubungan antar anggota keluarga tidak harmonis.
b. Faktor pribadi seperti faktor bakat yang mempengaruhi temperamen (menjadi
pemarah, hiperaktif, cacat tubuh, ketidak mampuan menyesuaikan diri).
Carolyn Holderred Heggen dengan sangat jelas mengemukakan bahwa sejarah gereja kita penuh
dengan penyangkalan atas pengalaman pelecehan seksual. Kemudian ketika gereja mengakuinya, gereja
justru mempermalukan korban yang berani mengungkapkan pelecehan itu.
Pelecehan seksual adalah salah satu tanda paling nyata atas tindakan menguasai dan mengendalikan
orang lain. Penyalahgunaan kuasa untuk mengendalikan dan mendominasi orang lain dalam pelecehan
semacam itu terkait erat dengan meningkatnya rangsangan erotis bagi si pelaku. Hal ini menciptakan
jaringan kekuasaan dan erotisme yang kompleks dan sukar diuraikan. Mengubah perilaku para pelaku
pelecehan seksual memang sangat sukar, bahkan kadang-kadang tidak mungkin.
Gereja, dulu dan sekarang, menerima dan mengembangkan agenda patriarkal. Dalam pengajaran,
praktik, penafsiran, dan khotbahnya, gereja telah mengabaikan ideologi mengenai laki-laki, perempuan
dan anak-anak, pada umumnya – khususnya tentang seksualitas dan pelecehan seksual – yang
mengokohkan dasar penyebarluasan masalah kekerasan seksual.
Gereja telah mencurahkan waktu, uang, dan sumber daya manusia yang besar selama satu generasi
dalam selubung penjatuhan hukuman bagi “dosa homoseksualitas”. Jika sebagai gantinya gereja telah
mengidentifikasi dosa pelecehan seksual dan berkomitmen untuk mengubah norma sosial yang
mendukungnya, maka kita telah cukup maju dalam upaya untuk memusnahkan pelecehan dan kekerasan
seksual. Namun, homophobia yang bercampur dengan penyangkalan terus-menerus atas pelecehan yang
terjadi dan ketidaksediaan untuk membantah hak istimewa laki-laki ini, mengakibatkan gereja tidak dapat
memberikan respons yang memadai.
Di dalam dirinya, gereja memiliki sumber-sumber untuk mengemukakan dan melawan pelecehan
seksual. Alkitab memberi mandat kepada gereja untuk mendampingi mereka yang menjadi objek
kejahatan dan eksploitasi, untuk melindungi “orang-orang kecil”, untuk menawarkan keterbukaan bagi
orang-orang yang rapuh, dan membebaskan mereka yang terpenjara oleh belenggu-belenggu peraturan
sosial. Pelayanan Yesus terhadap perempuan dan anak-anak merupakan contoh jelas penegakkan keadilan
sebagai respons wajar atas ketidakadilan yang menghimpit kaum tertindas.
Buku ini lahir dari perjalanan pemulihan Heggen, dengan tujuan memberikan pengetahuan sekaligus
sarana bagi jemaat, pejabat gereja, dan orang awam sehinggap dapat menjadi saluran pemulihan dan
anugerah yang efektif bagi para korban, pelaku, atau keluarga dan jemaat yang terluka akibat pelecehan
seksual. Saya berharap bahwa ini akan memperlengkapi gereja untuk berusaha mencegah terjadinya
pelecehan lebih lanjut dan membangun kehidupan seksual yang sehat.
Para korban pelecehan seksual bukan hanya kaum perempuan. Demikian pula pelaku pelecehan juga
bukan hanya kaum laki-laki. Perempuan dan laki-laki sama-sama dapat menjadi korban, sekaligus pelaku.
Meskipun demikian, ada kesepakatan umum di antara para peneliti dan ahli kesehatan jiwa bahwa
sebagian besar pelaku adalah laki-laki dan korbannya lebih dominan perempuan.
Ini lebih fokus kepada laki-laki sebagai pelaku pelecehan seksual dan perempuan sebagai korbannya,
banyak juga kaum laki-laki yang menjadi korban pelecehan dan juga menghadapi dampak buruk yang
menyakitkan. Namun, sebagai seorang perempuan yang memusatkan perhatian pada perawatan dan
penelitian terhadap korban perempuan, Heggen mengambil sikap tidak akan menceritakan pengalaman
kaum laki-laki yang menjadi korban. Kisah semacam itu memang perlu dituturkan, tetapi sebaiknya oleh
kaum laki-laki sendiri.