Halo pembaca. Perkenalkan, namaku Mardiano Putra, biasa dipanggil Mano.
Aku lahir di Makassar, 23 Maret 1999. Aku adalah anak pertama dari tiga bersaudara, dan anak dari pasangan suami istri I Made Sadia dan Ni Wayan Distawati. Aku berdarah Bali, tetapi entah mengapa orang tuaku tidak menyisipkan marga orang Bali di namaku. Saat masih anak-anak, sekitar usia 4 tahun, aku sudah menunjukkan sikap-sikap yang kritis. Aku selalu bertanya dengan apa yang membuatku penasaran. Ketika aku melihat sesuatu yang baru dan aku tidak mengetahuinya, aku berkali-kali menanyakan hal-hal yang membuatku penasaran dengan orang tuaku, hingga orang tuaku gemas melihat tingkahku. Pendidikan formal pertamaku, aku pijakkan di TK Aisyah Bustanul Atfal. Sejak awal aku dimasukkan di sana, aku bertanya mengapa aku dimasukkan di sana? Padahal, di sana semuanya Muslim kecuali aku. Orang tuaku menjawab pertanyaan polosku yang membuatku puas mendengar jawabannya. Setiap hari, aku selalu mendengar lafalan surah-surah pendek Alquran, sampai-sampai surah-surah itu aku hafal hingga di luar kepala. Seminggu sekali, kami dievaluasi apakah banyak surah-surah pendek yang telah kami hafalkan, dan aku pun selalu lolos dari evaluasi itu. Aku ingat! Saat itu, kami dibagikan semacam buku diari, berwarna kuning, dari salah satu produk susu yang terkenal. Di buku itu tertulis, “Tuliskan apa yang menjadi cita-cita kalian saat dewasa!”. Aku pun bertanya kepada ibuku, apa itu cita-cita? Dijelaskanlah hingga aku mengangguk-angguk pertanda mengerti dengan maksud ibu. Seperti anak-anak pada umumnya, cita-citanya kalau bukan jadi polisi, ya dokter. Saat itu, aku menuliskan bahwa cita-citaku ingin menjadi dokter. Kutuliskan apa yang menjadi imajinasiku, dan memperlihatkan hasil tulisanku kepada ibu. Ibuku tertawa membacanya, karena isinya agak ngawur dan sangat polos. Aku melanjutkan sekolah di SDN Pongtiku 1 Makassar. Aku masuk di kelas B. Saat hari pertama masuk sekolah, guruku membacakan teks wacana. Saat itu, guruku bertanya siapa yang bisa melanjutkan teks bacaan tersebut. Aku pun dengan percaya diri mengangkat tangan setinggi-tingginya. Namun, hanya aku sendiri yang angkat tangan. Dan kubacalah bacaannya dengan lancar, dan guruku memujiku karena telah pandai membaca. Itu semua berkat bimbingan ibuku yang mengajariku dengan metodenya yang sangat manjur membuatku pintar membaca. Saat di bangku SD, aku selalu masuk dalam peringkat dua besar. Hal itu selalu menjadi motivasiku untuk selalu belajar dengan giat agar dapat mempertahankan itu dan pastinya juga mendapatkan banyak ilmu. Sejak kelas 5 SD, aku berminat dengan mata pelajaran IPA. Aku pernah mewakili sekolah dalam ajang Olimpiade Sains tingkat Kota, sayangnya aku tidak lolos ke tahap selanjutnya karena persiapan yang kurang matang. Selain mewakili sekolah, untuk pertama kalinya aku mewakili kota Makassar dalam ajang lomba cerdas cermat keagamaan Hindu tingkat provinsi Sulawesi Selatan tahun 2011. Ajang ini bernama Utsawa Dharma Gita, yang diadakan setiap 2 tahun sekali di tingkat provinsi, dan 3 tahun sekali di tingkat nasional. Lawanku dari beberapa kabupaten/kota di Sulawesi Selatan, di antaranya Luwu Timur, Luwu Utara, Palopo, Sidrap, dan Tana Toraja. Lawanku yang terberat dari Luwu Timur dan Luwu Utara. Memasuki babak final, tim dari kota Makassar, Luwu Timur, dan Luwu Utara akan bertanding memperebutkan predikat juara. Aku deg-degan menghadapi itu, dan mentalku sempat ciut, karena menghadapi Luwu Timur. Namun, aku menepis perasaan pesimis itu dan tetap percaya diri tampil dengan maksimal. Di akhir babak final, score dari kota Makassar menduduki posisi yang pertama, disusul oleh Luwu Timur dan Luwu Utara. Betapa senangnya aku. Aku dan rekan tim dapat mengharumkan nama kota Makassar dan mewakili Sulawesi Selatan di tingkat nasional yang diadakan di Denpasar, Bali. Memasuki jenjang SMP, aku cukup grogi menghadapi dunia yang lebih luas dibanding SD. Aku masuk di SMP Negeri 4 Makassar. Saat itu masih menggunakan metode tes tertulis. Ekspektasiku, berharap bisa masuk di kelas terbaik di sana, di kelas VII.1. Sayangnya aku masuk di kelas VII.7. Tapi aku merasa lega, setelah bidang kemahasiswaan mengumumkan bahwa ada tes untuk masuk di kelas unggulan. Tes diadakan seminggu setelah MOS berlangsung. Dan pengumumannya 2 minggu setelah tes. Saat itu, aku berkunjung ke perpustakaan untuk meminjam buku paket. Aku membawanya kepada penjaga perpustakaan untuk dimasukkan ke daftar peminjam. Aku katakan kalau aku di kelas VII.7. Tapi namaku tidak ada di sana. Di VII.1 pun tidak ada. Dicari-cari, kenapa namaku ada di VII.10. Aku panik, karena kupikir VII.10 adalah kelas yang paling bawah. Aku pasrah. Aku kembali ke kelas dengan wajah yang murung. Tapi, salah satu teman kelasku heboh, memberitahuku bahwa aku masuk ke kelas unggulan. Aku tidak percaya, tapi beberapa temanku yang lain mengiyakan. Betapa senangnya hatiku, akhirnya aku bisa masuk ke kelas unggulan. Besoknya, aku mulai belajar di kelas unggulan, yaitu VII.10. Suasana belajar di kelas itu benar-benar berbeda dengan kelasku sebelumnya. Persaingan sangat ketat, karena di dalamnya merupakan orang-orang yang terseleksi. Belajarnya juga sangat intens, jadi aku harus belajar dengan sekuat tenaga agar tidak ketinggalan dengan yang lain. Seperti saat SD, aku juga selalu masuk peringkat 2 besar. Masa SMP-ku dihabiskan dengan belajar, belajar, dan belajar. Semua ini kulakukan agar dapat meraih cita-cita dan dapat membanggakan kedua orang tua. Selain dengan belajar yang tekun, usaha, integritas, dan kedisiplinan harus ditanamkan agar dapat menyeimbangkan antara keperluan yang satu dengan yang lainnya agar dapat terlaksana sesuai ekspektasi. Orang tuaku selalu mengajarkan kepadaku untuk selalu berusaha semaksimal mungkin, agar dapat mencapai apa yang menjadi keinginanku. Tentunya dibarengi dengan doa dan restu dari kedua orang tua. Kata orang-orang, masa SMA merupakan masa-masa paling indah, penuh dengan momen-momen yang manis dengan teman-teman. Tapi tidak denganku. Menurutku, justru di masa-masa itulah kita jangan menyia-nyiakan kesempatan dalam menggali ilmu sebanyak-banyaknya. Apakah dengan santai tanpa beban, kita dapat meraih kesuksesan? Mungkin mereka yang bersenang-senang dan berleha- leha seperti itu mendapatkan fasilitas dari orang tua mereka yang memiliki rejeki yang berlebih, tapi mereka tidak menyadari bahwa semua itu melemahkan mereka. Mereka tidak merasakan bagaimana rasanya berjuang di luar zona nyaman, mereka tidak berpikir sampai jauh ke depan, hanya memikirkan sekarang saja. Saat SMA, aku kurang bergaul dengan teman karena fokus mengejar jalur SNMPTN untuk masuk di jurusan yang sangat aku impikan sejak kecil, yaitu pendidikan dokter. Sejak kelas 10, aku mempersiapkannya dengan belajar bersungguh-sungguh, menyempurnakan nilai-nilai yang akan aku gunakan dalam kelengkapan berkas SNMPTN. Aku sekolah di SMA Negeri 15 Makassar. Sekolah ini memakai Kurikulum 2013 dalam sistem pendidikannya. Aku masuk di kelas X MIA 5, yang kata guru-guru merupakan kelas unggulan. Entahlah, aku tidak merasa demikian. Namun lama kelamaan, persaingan di dalam kelas cukup ketat, sehingga membuatku semakin berpacu untuk belajar. Di dalam kelasku, aku punya beberapa teman yang berprestasi. Kebanyakan di bidang debat. Aku juga suka dengan debat, dalam konteks debat yang positif dan berfaedah. Aku pernah mewakili sekolah membawa nama kota Makassar dalam lomba debat empat pilar MPR Festival Pelajar Sulsel tahun 2016. Aku lupa ada berapa daerah di Sulawesi Selatan yang mengikuti lomba itu. Awalnya aku pesimis ketika mengikuti lomba itu, karena persiapan kami yang kurang matang dan saat itu juga lagi ujian tengah semester matematika peminatan. Namun, teman partnerku meyakinkan kami dan optimis kami pasti bisa melakukannya. Seleksi dilakukan selama 3 hari. Syukurlah, saat pengumuman hasil seleksi pertama, tim kota Makassar berada di urutan pertama. Aku tidak menyangka dengan hasil yang kami peroleh. Dan lebih tidak menyangka lagi, kami bisa masuk di babak final dan meraih juara satu. Sungguh pengalaman yang sangat berharga dan produktif. Hidup memang sulit ditebak. Ada orang yang biasa-biasa saja, tapi siapa yang sangka, diberikan hadiah oleh Tuhan lebih dari ekspektasinya. Ada orang yang sudah berusaha mati-matian, tapi belum diberikan apa yang diinginkan oleh Tuhan. Seperti itulah aku, yang harus menelan pil pahit saat aku dinyatakan tidak lulus seleksi SNMPTN 2017. Aku sudah memaksimalkan nilai raporku, tidak ada yang kurang. Namun, Tuhan memiliki rencana lain. Awalnya aku drop, tapi tidak berlama-lama karena jika tidak akan sia-sia dan tidak dapat membaikkan keadaan. Aku kerahkan semua kemampuanku untuk SBMPTN yang tinggal 20 hari lagi. Aku selalu memegang teguh prinsip bahwa dengan integritas, maka akan menghasilkan sesuatu yang berkualitas dan akan berkah. Aku berdoa dan menyerahkan semuanya kepada Tuhan agar memberikan yang terbaik. Jalur ini merupakan alternatif terakhir untukku masuk ke perguruan tinggi, karena jika aku tidak lulus, aku takut akan lebih memberatkan orang tuaku untuk membiayai pendidikanku, mengingat penghasilan orang tuaku tidak seberapa dibanding mereka yang bisa mengambil jalur JNS jika dinyatakan tidak lulus seleksi SBMPTN. Saat pengumuman SBMPTN, sujud syukur kepada Tuhan, aku dinyatakan lulus di program studi Geofisika Universitas Hasanuddin. Aku berharap, aku bisa membanggakan dan membahagiakan keluargaku, meraih kesuksesan di tempat ini. Selain itu, aku berharap ilmu dan keberhasilan yang kelak akan aku dapatkan tidak hanya memberikan manfaat kepadaku, tapi juga dapat memberikan kontribusi kepada masyarakat. Karena jika Tuhan memberikan sesuatu terhadap kita, kita tidak sepenuhnya dapat menikmati sesuatu itu sendiri, karena di dalamnya ada hak orang lain yang harus dibagikan melalui apa yang kita dapatkan.