Anda di halaman 1dari 10

BAB I

FENOMENOLOGI

A. Pengertian Fenomenologi

Kata fenomenologi (Inggris : Phenomenology) berasal dari bahasa Yunani,


phenomenon, yaitu sesuatu yang tampak, yang terlihat karena berkecakupan. Dalam
bahasa Indonesia biasa dikenal dengan istilah gejala. Secara istilah, fenomenologi adalah
ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak. Dari pengertian tersebut dapat
dipahami bahwa fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan fenomena atau
segala sesuatu yang tampak atau yang menampakkan diri.

B. Munculnya Fenomenologi

Pada masa sebelum ada cara berpikir fenomenologis, cara berpikir manusia dibagi dua
yaitu idealisme dan realisme.

Kaum penganut idealisme menilai benda-benda maupun peristiwa yang terjadi


disekitarnya berdasarkan ide-ide yang dikembangkan dalam pikirannya. Sedangkan
kebalikannya, kaum penganut realisme melihat benda-benda maupun sesuatu peristiwa
yang ada sesuai dengan keadaan nyata benda tersebut yang secara nyata bisa diraba,
diukur atau mempunyai nilai tertentu.

Istilah fenomenologi pertama kali diperkenalkan oleh Johann Heinrich Lambert (1728
- 1777), seorang filsuf Jerman. Dalam bukunya Neues Organon (1764), ia menulis tentang
ilmu yang tak nyata. Sebagai studi filsafat, fenomenologi dikembangkan di universitas-
universitas Jerman sebelum Perang Dunia I.

Fenomenologi mengacu kepada analisis kehidupan sehari-hari dari sudut pandang


orang yang terlibat di dalamnya. Tradisi ini memberi penekanan yang besar pada persepsi
dan interpretasi orang mengenai pengalaman mereka sendiri. Fenomenologi melihat
komunikasi sebagai sebuah proses membagi pengalaman personal melalui dialog atau
percakapan. Seorang penganut fenomenologi cenderung menentang segala sesuatu yang
tidak dapat diamati. Fenomenologi juga cenderung menentang naturalisme (biasa juga
disebut objektivisme atau positivisme).

1
Fenomenologi menekankan perlunya filsafat melepaskan diri dari ikatan historis
apapun—apakah itu tradisi metafisika, epistimologi, atau sains. Program utama
fenomenologi adalah mengembalikan filsafat ke penghayatan sehari-hari subjek
pengetahuan. Kembali ke kekayaan pengalaman manusia yang konkret, lekat, dan penuh
penghayatan.

Dalam pendekatan sastra, fenomenologi memanfaatkan pengalaman intuitif atas


fenomena, sesuatu yang hadir dalam refleksi fenomenologis, sebagai titik awal dan usaha
untuk mendapatkan fitur-hakekat dari pengalaman dan hakekat dari apa yang kita alami.

Tokoh - tokoh penting dalam pengembangan pendekatan filsafat fenomenologi ini


adalah Edmund Husserl dan Max Scheler.

C. Tokoh - Tokoh Fenomenologi

1. Edmund Husserl

Edmund Husserl adalah seorang ahli ilmu pasti dan profesor filsafat dari
Universitas Freiburg di Breisgau (Jerman Selatan), lahir di Prestejov (dahulu
Prossnitz) di Czechoslovakia, 8 April 1859. Di universitas ia belajar ilmu alam, ilmu
falak, matematika, dan filsafat; mula-mula di Leipzig kemudian juga di Berlin dan
Wina. Di Wina ia tertarik pada filsafat dari Brentano. Dia mengajar di Universitas
Halle dari tahun 1886-1901, kemudian di Gottingen sampai tahun 1916 dan akhirnya
di Freiburg. Husserl terkenal dengan metode yang diciptakan olehnya yakni metode
“fenomenologi” yang oleh murid-muridnya diperkembangkan lebih lanjut. Husserl
meninggal tahun 1938 di Freiburg.

Menurut Husserl, fenomena adalah realitas sendiri yang tampak, tidak ada
selubung atau tirai yang memisahkan subyek dengan realitas, karena realitas itu
sendiri yang tampak bagi subyek. Dengan pandangan seperti ini, Husserl mencoba
mengadakan semacam revolusi dalam filsafat Barat. Hal demikian dikarenakan sejak
Descartes, kesadaran selalu dipahami sebagai kesadaran tertutup (cogito tertutup),
artinya kesadaran mengenal diri sendiri dan hanya melalui jalan itu dapat mengenal
realitas. Sebaliknya Husserl berpendapat bahwa kesadaran terarah pada realitas,
dimana kesadaran bersifat “intensional”, yakni realitas yang menampakkan diri.

2
Sebagai seorang ahli fenomenologi, Husserl mencoba menunjukkan bahwa
melalui metode fenomenologi mengenai pengarungan pengalaman biasa menuju
pengalaman murni, kita bisa mengetahui kepastian absolute dengan susunan penting
aksi-aksi sadar kita, seperti berpikir dan mengingat, dan pada sisi lain, susunan
penting obyek-obyek merupakan tujuan aksi-aksi tersebut. Dengan demikian, filsafat
akan menjadi sebuah “ilmu setepat-tepatnya” dan pada akhirnya kepastian akan
diraih.

Lebih jauh lagi Husserl berpendapat bahwa ada kebenaran untuk semua orang
dan manusia dapat mencapainya. Dan untuk menemukan kebenaran ini, seseorang
harus kembali kepada “realitas” sendiri. Dalam bentuk slogan, Husserl
menyatakan “Zuruck zu den sachen selbst” - kembali kepada benda-benda itu sendiri,
merupakan inti dari pendekatan yang dipakai untuk mendeskripsikan realitas menurut
apa adanya. Setiap obyek memiliki hakekat, dan hakekat itu berbicara kepada kita jika
kita membuka diri kepada gejala-gejala yang kita terima. Kalau kita ”mengambil
jarak” dari obyek itu, melepaskan obyek itu dari pengaruh pandangan-pandangan lain,
dan gejala-gejala itu kita cermati, maka obyek itu ”berbicara” sendiri mengenai
hakekatnya, dan kita memahaminya berkat intuisi dalam diri kita.
Namun demikian, yang perlu dipahami adalah bahwa benda, realitas, ataupun
obyek tidaklah secara langsung memperlihatkan hakekatnya sendiri. Apa yang kita
temui pada “benda-benda” itu dalam pemikiran biasa bukanlah hakekat. Hakekat
benda itu ada dibalik yang kelihatan itu. Karena pemikiran pertama (first look) tidak
membuka tabir yang menutupi hakekat, maka diperlukan pemikiran kedua (second
look). Alat yang digunakan untuk menemukan pada pemikiran kedua ini adalah intuisi
dalam menemukan hakekat, yang disebut dengan wesenchau, melihat (secara intuitif)
hakekat gejala-gejala.

Dalam melihat hakekat dengan intuisi ini, Husserl memperkenalkan


pendekatan reduksi, yakni penundaan segala pengetahuan yang ada tentang obyek
sebelum pengamatan itu dilakukan. Reduksi ini juga dapat diartikan sebagai
penyaringan atau pengecilan. Reduksi ini merupakan salah satu prinsip dasar sikap
fenomenologis, dimana untuk mengetahui sesuatu, seorang fenomenolog bersikap
netral dengan tidak menggunakan teori-teori atau pengertian-pengertian yang telah
ada sehingga obyek diberi kesempatan untuk “berbicara tentang dirinya sendiri”.

3
Husserl mengajukan metode epoche untuk mencapai esensi fenomenologi. Kata
epoche berasal dari bahasa Yunani, yang berarti: “menunda keputusan” atau
“mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”. Epoche bisa juga berarti tanda kurung
(bracketing) terhadap setiap keterangan yang diperoleh dari suatu fenomena yang
nampak, tanpa memberikan putusan benar salahnya terlebih dahulu. Fenomena yang
tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi
pengamat. Untuk itu, Husserl menekankan satu hal penting, yaitu penundaan
keputusan. Keputusan harus ditunda (epoche) atau dikurung dulu dalam kaitan dengan
status atau referensi ontologis atau eksistensial objek kesadaran.

Menurut Husserl, epoche mempunyai empat macam, yaitu:

1. Method of historical bracketing; metode yang mengesampingkan aneka macam


teori dan pandangan yang pernah kita terima dalam kehidupan sehari-hari, baik
dari adab, agama maupun ilmu pengetahuan.
2. Method of existensional bracketing; meninggalkan atau abstain terhadap semua
sikap keputusan atau sikap diam dan menunda.
3. Method of transcendental reduction; mengolah data yang kita sadari menjadi
gejala yang transcendental dalam kesadaran murni.
4. Method of eidetic reduction; mencari esensi fakta, semacam menjadikan fakta-
fakta tentang realitas menjadi esensi atau intisari realitas itu.

2. Max Scheler
Max Ferdinand Scheler adalah seorang filsuf Jerman yang berpengaruh dalam
bidang fenomenologi, filsafat sosial, dan sosiologi pengetahuan. Ia berjasa dalam
menyebarkan fenomenologi Husserl. Scheler dilahirkan pada tahun 1874 di
Muenchen. Ia menempuh studi di Muenchen, Berlin, Heidelberg, dan Jena. Setelah
itu, ia menjadi dosen di Jena dan Muenchen, di mana ia berkenalan dengan
fenomenologi Husserl. Pada tahun 1919, Scheler menjabat guru besar di Koln.
Kemudian ia meninggal dunia di Frankfurt pada tahun 1928.

Bagi Scheler, fenomenologi merupakan “jalan keluar” ketidakpuasannya


terhadap logisisme-transendentalis Immanuel Kant dan psikologisme empiris. Dan
pemikiran yang paling utama Scheler adalah tentang fenomenologi etika.

4
Dalam pandangan Scheler tentang fenomenologi etika, benda dianggap sebagai
“sesuatu” yang bernilai. Oleh karena itu, adalah keliru menginginkan inti nilai dari
benda-benda, atau memandang keduanya dengan tempat berpijak yang sama. Benda-
benda terdiri atas segala sesuatu, maka dapat dihancurkan oleh kekuatan alam dan
sejarah. Dan jika nilai moral kehendak kita tergantung pada benda-benda, maka
kehancuran tersebut akan mempengaruhinya. Sebaliknya, benda itu memiliki nilai
empiris, induktif, dan prinsip yang bersifat relatif.

Jika etika benda-benda diterima, prinsip-prinsip moral akan tertinggal di


belakang evolusi sejarah, dan Scheler berpendapat bahwa tidak mungkin untuk
mengkritik dunia benda-benda yang ada pada satu jaman tertentu, karena etika pasti
didasarkan pada benda-benda tersebut.

Juga salah, bahwa setiap prinsip etika yang berusaha untuk menetapkan tujuan
yang berkaitan dengan nilai moral dari hasrat yang terukur. Sebab tujuan,
sebagaimana adanya, tidak pernah baik ataupun buruk, sebab benda-benda itu bebas
dari nilai yang harus direalisasikan. Dengan model pemikiran seperti ini, maka
menurut Scheler, perilaku yang baik dan yang buruk tidak dapat diukur jika
menghubungkannya dengan tujuan karena konsep tentang baik dan buruk tidak dapat
disarikan dari isi empiris tujuan. Jelasnya, Scheler ingin mengatakan bahwa nilai itu
berasal dari benda-benda, namun tidak tergantung pada mereka. Dan dari
ketidaktergantungan tersebut memungkinkan benda itu untuk “menyusun” sebuah
etika aksiologis yang sekaligus material dan a priori.

Lebih jelasnya lagi, Scheler mengilustrasikannya dengan membandingkan


“nilai” dengan “warna” untuk menunjukkan bahwa di dalam kasus keduanya terdapat
persoalan tentang kualitas yang keberadaannya tidak tergantung pada benda. Scheler
mengatakan bahwa “merah” sebagai kualitas murni dalam spektrum, tanpa mengalami
perlunya untuk mengkonsepsikannya sebagai yang meliputi permukaan yang
berbadan.

Dengan cara yang sama, “nilai” yang terkandung di dalam benda serta
pembentukan atas suatu “kebaikan” tidak tergantung pada benda tersebut. Menurut
Scheler, kita tidak memahami, misalnya nilai kenikmatan atau estetik melalui induksi
yang umum. Dalam kasus tertentu, satu obyek atau perbuatan tunggal cukup memadai
bagi kita untuk menangkap nilai yang terkandung di dalamnya. Sebaliknya, kehadiran
nilai yang menyertai obyek yang bernilai memiliki hakekat “baik”. Dengan cara ini,

5
kita tidak memeras keindahan dari benda yang indah; karena keindahan mendahului
bendanya. Dan bila dikaitkan dengan perbuatan manusia, maka menurut Scheler,
manusia bukanlah pencipta nilai tingkah laku karena nilai-nilai itu berada di luar diri
manusia. Lebih lanjut Scheler mengatakan bahwa tugas manusia adalah mengakui
nilai-nilai itu serta mengikutinya dalam hidup.

Inti pemikiran filsafat Scheler adalah nilai. Berbeda dengan John Stuart
Mill yang mengatakan bahwa manusia bertindak berdasarkan kepuasan diri, Scheler
menyatakan bahwa nilai adalah hal yang dituju manusia. Jika ada orang yang
mengejar kenikmatan, maka hal itu bukan demi kepuasan perasaan, melainkan karena
kenikmatan yang dipandang sebagai suatu nilai. Nilai tidak bersifat relatif, melainkan
mutlak. Nilai bukan ide atau cita-cita, melainkan sesuatu yang konkret, yang hanya
dapat dialami dengan jiwa yang bergetar dan dengan emosi. Dalam pengertian sehari-
hari, nilai sering dikacaukan dengan hal yang bernilai. Namun Max Scheler telah
membedakan dengan jelas antara nilai dan hal yang bernilai. Nilai adalah kualitas
yang membuat suatu hal menjadi hal yang bernilai, sedangkan hal yang bernilai
merupakan suatu hal yang membawa kualitas nilai.

6
BAB II
EKSISTENSIALISME

A. Pengertian Eksistenisalisme
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang memandang segala-galanya dengan
berpangkalan pada eksistensi. Istilah eksistensialisme berasal dari kata eksistensi dari kata
dasar exist. Kata exist berasal dari bahasa Latin yang artinya ex; keluar dan sistare; berdiri.
Jadi eksistensi adalah berdiri dengan keluar dari diri sendiri.

Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang memandang berbagai gejala dengan


berdasar pada eksistensinya. Artinya bagaimana manusia berada (bereksistensi) dalam
dunia.

B. Munculnya Eksistensialisme

Filsafat eksistensialisme lahir dari berbagai krisis atau merupakan reaksi atas aliran
filsafat yang telah ada sebelumnya atau situasi dan kondisi dunia, yaitu:

a. Materialisme
Menurut pandangan materialisme, manusia itu pada akhirnya adalah benda seperti
halnya kayu dan batu. Memang penganut materialis tidak mengatakan bahwa manusia
sama dengan benda, akan tetapi mereka mengatakan bahwa pada akhirnya, jadi pada
prinsipnya, pada instansi yang terakhir manusia hanyalah sesuatu yang material;
dengan kata lain materi; betul-betul materi. Menurut bentuknya memang manusia lebih
unggul ketimbang sapi tapi pada eksistensinya manusia sama saja dengan sapi.
b. Idealisme
Aliran ini memandang manusia hanya sebagai subyek, hanya sebagai kesadaran;
menempatkan aspek berpikir dan kesadaran secara berlebihan sehingga menjadi
seluruh manusia, bahkan dilebih-lebihkan lagi sampai menjadi tidak ada barang lain
selain pikiran.
c. Situasi dan Kondisi Dunia
Munculnya eksistensialisme didorong juga oleh situasi dan kondisi di Eropa Barat
yang secara umum dapat dikatakan bahwa pada waktu itu keadaan dunia tidak
menentu. Tingkah laku manusia telah menimbulkan rasa muak atau mual. Penampilan
manusia penuh rahasia, penuh imitasi yang merupakan hasil persetujuan bersama yang
palsu yang disebut konvensi atau tradisi. Manusia berpura-pura, kebencian merajalela,
7
nilai sedang mengalami krisis, bahkan manusianya sendiri sedang mengalami krisis.
Sementara itu agama di sana dan di tempat lain dianggap tidak mampu memberikan
makna pada kehidupan.

Konsep eksistensialisme dikembangkan oleh ahli filsafat asal Jerman, Martin


Heidegger, merupakan bagian filsafat dan akar metodologinya berasal dari metodologi
fenomenologi yang dikembangkan oleh Husserl. Kemunculan eksistensialisme berawal
dari ahli filsafat Soren Kierkegaard dan Nietzche. Soren Kierkegaard ingin menjawab
pertanyaan “Bagaimanakah aku menjadi seorang diri?”, dasar pertanyaan tersebut
mengemukakan bahwa kebenaran itu tidak berada pada suatu sistem yang umum tetapi
berada dalam eksistensi individu yang konkret.

C. Ciri - Ciri Eksistensialisme


Eksistensialisme merupakan gerakan yang sangat erat dan menunjukkan
pemberontakan tambahan metode-metode dan pandangan-pandangan filsafat Barat. Istilah
eksistensialisme tidak menunujukkan suatu sistem filsafat secara khusus. Meskipun
terdapat perbedaan-perbedan yang besar antara para pengikut aliran ini, namun terdapat
tema-tema yang sama sebagai ciri khas aliran ini yang tampak pada penganutnya.
Mengidentifikasi ciri aliran eksistensialisme sebagai berikut :
a. Eksistensialisme adalah pemberontakan dan protes terhadap rasionalisme dan
masyarakat modern, khususnya terhadap idealisme Hegel.
b. Eksistensialisme adalah suatu proses atas nama individualis terhadap konsep-konsep,
filsafat akademis yang jauh dari kehidupan konkrit.
c. Eksistensialisme juga merupakan pemberontakan terhadap alam yang impersonal
(tanpa kepribadian) dari zaman industri modern dan teknologi, serta gerakan massa.
d. Eksistensialisme merupakan protes terhadap gerakan-gerakan totaliter, baik gerakan
fasis, komunis, yang cenderung menghancurkan atau menenggelamkan perorangan di
dalam kolektif atau massa.
e. Eksistensialisme menekankan situasi manusia dan prospek (harapan) manusia di
dunia.
f. Eksistensialisme menekankan keunikan dan kedudukan pertama eksistensi,
pengalaman kesadaran yang dalam dan langsung

8
D. Tokoh - Tokoh Eksistensialisme

1. Søren Aabye Kierkegaard


Søren Aabye Kierkegaard lahir di Kopenhagen, Denmark, 5 Mei 1813 dan
meninggal di Kopenhagen, Denmark, 11 November 1855 pada umur 42 tahun
merupakan seorang filsuf dan teolog abad ke-19 yang berasal dari Denmark.
Kierkegaard sendiri melihat dirinya sebagai seseorang yang religius dan seorang
anti-filsuf, tetapi ia dianggap sebagai bapaknya filsafat eksistensialisme.
Inti pemikiran dari tokoh ini adalah eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang
statis tetapi senantiasa menjadi, manusia selalu bergerak dari kemungkinan menuju
suatu kenyataan, dari cita-cita menuju kenyataan hidup saat ini. Jadi ditekankan harus
ada keberanian dari manusia untuk mewujudkan apa yang ia cita-citakan atau apa yang
ia anggap kemungkinan.

2. Friedrich Nietzsche

Menurutnya manusia yang bereksistensi adalah manusia yang mempunyai


keinginan untuk berkuasa (will to power), dan untuk berkuasa manusia harus menjadi
manusia super (uebermensh) yang mempunyai mental majikan bukan mental budak.
Dan kemampuan ini hanya dapat dicapai dengan penderitaan karena dengan menderita
orang akan berfikir lebih aktif dan akan menemukan dirinya sendiri.

3. Martin Heidegger

Martin Heidegger lahir di Mebkirch, Jerman, 26 September 1889 dan meninggal 26


Mei 1976, adalah seorang filsuf asal Jerman. Ia belajar di Universitas Freiburg di
bawah Edmund Husserl, penggagas fenomenologi, dan kemudian menjadi profesor
pada tahun 1928. Karya terpenting Heidegger adalah “Being and Time” (German Sein
und Zeit, 1927).

Inti pemikirannya adalah keberadaan manusia di antara keberadaan yang lain,


segala sesuatu yang berada diluar manusia selalu dikaitkan dengan manusia itu sendiri,
dan benda-benda yang ada diluar manusia, baru mempunyai makna apabila dikaitkan

9
dengan manusia karena benda-benda yang berada di luar itu selalu digunakan manusia
pada setiap tindakan dan tujuan mereka.

10

Anda mungkin juga menyukai