Anda di halaman 1dari 37

BAB I

TINJAUAN TEORI

I. Konsep Dasar Penyakit

A. Pengertian Katarak

Katarak adalah nama yang diberikan untuk kekeruhan lensa yang

dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan lensa), denaturasi protein

lensa atau dapat juga akibat dari kedua-duanya yang biasanya mengenai

kedua mata dan berjalan progesif (Mansjoer, 2000 : 62).

Katarak adalah setiap kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi

akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa atau

akibat kedua-duanya yang disebabkan oleh berbagai keadaan (Sidarta

Ilyas, dkk, 2008).

Katarak adalah opasitas lensa kristalina atau lensa yang berkabut

(opak) yang normalnya jernih. Biasanya terjadi akibat proses penuaan,

tapi dapat timbul pada saat kelahiran (katarak congenital (Brunner &

Suddarth, 2002).

Katarak merupakan kekeruhan yang terjadi pada lensa mata,

sehingga menyebabkan penurunan/gangguan penglihatan (Admin, 2009).

Katarak merupakan keadaan patologik lensa dimana lensa menjadi

keruh akibat hidrasi cairan lenda atau denaturasi protein lensa, sehingga

pandangan seperti tertutup air terjun atau kabut merupakan penurunan


profesif kejernihan lensa, sehingga ketajaman penglihatan berkurang

(Corwin, 2000).

Katarak adalah suatu keadaan patologik lensa dimana lensa

rnenjadi keruh akibat hidrasi cairan lensa, atau denaturasi protein lensa.

Kekeruhan ini terjadi akibat gangguan metabolism normal lensa yang

dapat timbul pada berbagai usia tertentu (Iwan,2009).

B. Etiologi Katarak

Berbagai macam hal yang dapat mencetuskan katarak antara lain

(Corwin, 2002) :

1. Usia lanjut dan proses penuaan

2. Congenital atau bisa diturunkan

3. Pembentukan katarak dipercepat oleh factor lingkungan, seperti

merokok atau bahan beracun lainnya.

4. Katarak bias disebabkan oleh cedera mata, penyakit metabolic

(misalnya diabetes) dan obat-obat tertentu (misalnya kortikosteroid).

Katarak juga dapat disebabkan oleh beberapa faktor risiko lain,

seperti:

1. Katarak traumatik yang disebabkan oleh riwayat trauma/cedera pada

mata.

2. Katarak sekunder yang disebabkan oleh penyakit lain, seperti:

penyakit/ gangguan metabolisme, proses peradangan pada mata, atau

diabetes melitus.
3. Katarak yang disebabkan oleh paparan sinar radiasi.

4. Katarak yang disebabkan oleh penggunaan obat-obatan jangka

panjang, seperti kortikosteroid dan obat penurun kolestrol.

5. Katarak kongenital yang dipengaruhi oleh faktor genetik.

C. Manifestasi Klinis

Gejala subjektif dari pasien dengan katarak antara lain:

1. Biasanya klien melaporan penurunan ketajaman penglihatan dan silau

serta gangguan fungsional yang diakibatkan oleh kehilangan

penghilatan tadi.

2. Menyilaukan dengan distorsi bayangan dan susah melihat di malam

hari.

Gejala objektif biasanya meliputi:

1. Pengembunan seperti mutiara keabuan pada pupil sehingga retina tak

akan tampak dengan oftalmoskop. Ketika lensa sudah menjadi opak,

cahaya akan dipendarkan dan bukannya ditransmisikan dengan tajam

menjadi bayangan terfokus pada retina. Hasilnya adalah pandangan

menjadi kabur atau redup.

2. Pupil yang normalnya hitam akan tampak abu-abu atau putih.

Penglihatan seakan-akan melihat asap dan pupil mata seakan akan

bertambah putih.

3. Pada akhirnya apabila katarak telah matang pupil akan tampak benar-

benar putih, sehingga refleks cahaya pada mata menjadi negatif.


Gejala umum gangguan katarak meliputi:

1. Penglihatan tidak jelas, seperti terdapat kabut menghalangi objek.

2. Gangguan penglihatan bisa berupa:

a. Peka terhadap sinar atau cahaya.

b. Dapat melihat dobel pada satu mata (diplobia).

c. Memerlukan pencahayaan yang terang untuk dapat membaca.

d. Lensa mata berubah menjadi buram seperti kaca susu.

3. Gejala lainya adalah :

a. Sering berganti kaca mata.

b. Penglihatan sering pada salah satu mata.

D. Klasifikasi Katarak

Berdasarkan garis besar katarak dapat diklasifikasikan dalam golo-

ngan berikut :

1. Katarak perkembangan ( developmental ) dan degenerative.

2. Katarak trauma : katarak yang terjadi akibat trauma pada lensa mata.

3. Katarak komplikata (sekunder) : penyakit infeksi tertentu dan

penyakit seperti DM dapat mengakibatkan timbulnya kekeruhan pada

lensa yang akan menimbulkan katarak komplikata.

4. Berdasarkan usia pasien, katarak dapat di bagi dalam :

a. Katarak kongeniatal, katarak yang di temukan pada bayi ketika

lahir (sudah terlihat pada usia di bawah 1 tahun)


b. Katarak juvenile, katarak yang terjadi sesudah usia 1 tahun dan di

bawah usia 40 tahun.

c. Katarak presenil, katarak sesudah usia 30 - 40 tahun.

d. Katarak senilis, katarak yang terjadi pada usia lebih dari 40 tahun.

Jenis katarak ini merupakan proses degenerative (kemunduran)

dan yang paling sering ditemukan.

Adapun tahapan katarak senilis adalah :

1) Katarak insipien : pada stadium insipien (awal) kekeruhan

lensa mata masih sangat minimal, bahkan tidak terlihat tanpa

menggunakan alat periksa. Kekeruhan lensa berbentuk

bercak-bercak kekeruhan yang tidak teratur. Penderita pada

stadium ini tidak merasakan keluhan atau gangguan pada

penglihatannya sehingga cenderung diabaikan.

2) Katarak immataur : lensa masih memiliki bagian yang jernih

3) Katarak matur : Pada stadium ini proses kekeruhan lensa

terus berlangsung dan bertambah sampai menyeluruh pada

bagian lensa sehingga keluhan yang sering disampaikan oleh

penderita katarak pada saat ini adalah kesulitan saat

membaca, penglihatan menjadi kabur, dan kesulitan

melakukan aktifitas sehari-hari.

4) Katarak hipermatur : terdapat bagian permukaan lensa yang

sudah merembes melalui kapsul lensa dan bias menyebabkan

perdangan pada struktur mata yang lainya.


E. Patofisiologi

Lensa yang normal adalah struktur posterior iris yang jernih,

transparan, berbentuk seperti kancing baju, mempunyai kekuatan refraksi

yang besar. Lensa mengandung tiga komponen anatomis. Pada zona

sentral terdapat nukleus, di perifer ada korteks, dan yang mengelilingi

keduanya adalah kapsula anterior dan posterior. Dengan

bertambahnya usia, nucleus mengalami perubahan warna menjadi coklat

kekuningan.Di sekitar opasitas terdapat densitas seperti duri di anterior

dan posterior nukleus. Opasitas pada kapsul posterior merupakan bentuk

katarak yang paling bermakna seperti kristal salju.

Perubahan fisik dan kimia dalam lensa mengakibatkan hilangnya

transparansi. Perubahan dalam serabut halus multiple (zonula) yang

memanjang dari badan silier ke sekitar daerah di luar lensa. Perubahan

kimia dalam protein lensa dapat menyebabkan koagulasi, sehingga

mengabutkan pandangan dengan menghambat jalannya cahaya ke

retina. Salah satu teori menyebutkan terputusnya protein lensa normal

disertai influx air ke dalam lensa. Proses ini mematahkan serabut lensa

yang tegang dan mengganggu transmisi sinar. Teori lain mengatakan

bahwa suatu enzim mempunyai peran dalam melindungi lensa dari

degenerasi. Jumlah enzim akan menurun dengan bertambahnya usia dan

tidak ada pada kebanyakan pasien yang menderita katarak.

Katarak bisa terjaadi bilateral, dapat disebabkan oleh kejadian trauma

atau sistemis (diabetes) tetapi paling sering karena adanya proses penuaan
yang normal. Faktor yang paling sering berperan dalam terjadinya

katarak meliputi radiasi sinar UV, obat-obatan, alkohol, merokok, dan

asupan vitamin antioksidan yang kurang dalam jangka waktu yang lama.

F. Pathway Katarak

Trauma Degeneratif Perubahan Kuman

Perubahan serabut Kompresi sentral (serat) Jumlah protein

Keruh Densitas Membentuk massa

Keruh

Pembedahan Katarak

Pre Operasi Post Operasi Menghambat jalan cahaya

- Kecemasan - Gangguan rasa

meningkat nyaman (nyeri)


- Resiko tinggi Penglihatan /Buta
- Kurang
pengetahuan terjadinya infeksi
- Resiko tinggi - Gangguan sensori persepsi visual
terjadinya injuri : - Risiko tinggi cidera fisik
 Peningkatan
TIO.
 Perdarahan
intraokuler.
G. Pemeriksaan Diagnostik

1. Kartu mata snellen /mesin telebinokuler : mungkin terganggu dengan

kerusakan kornea, lensa, akueus/vitreus humor, kesalahan refraksi,

penyakit system saraf, penglihatan ke retina.

2. Lapang Penglihatan : penuruan mungkin karena massa tumor, karotis,

glaukoma.

3. Pengukuran Tonografi : TIO (12 – 25 mmHg)

4. Pengukuran Gonioskopi : membedakan sudut terbuka dari sudut

tertutup glukoma.

5. Tes Provokatif : menentukan adanya/ tipe glaukoma

6. Oftalmoskopi : mengkaji struktur internal okuler, atrofi lempeng

optik, papiledema, perdarahan.

7. Darah lengkap, LED : menunjukkan anemi sistemik / infeksi.

8. EKG, kolesterol serum, lipid

9. Tes toleransi glukosa : kotrol DM

10. Keratometri.

11. Pemeriksaan lampu slit.

12. A-scan ultrasound (echography).

13. Penghitungan sel endotel penting untuk fakoemulsifikasi &

implantasi.

14. USG mata sebagai persiapan untuk pembedahan katarak.


H. Penatalaksanaan

1. Pencegahan

Disarankan agar banyak mengkonsumsi buah-buahan yang banyak

mengandung vitamin C, vitamin B2, vitamin A dan vitamin E. Selain

itu, untuk mengurangi pajanan sinar matahari (sinar UV) secara

berlebih, lebih baik menggunakan kacamata hitam dan topi saat

keluar pada siang hari.

2. Penatalaksanaan medis

Ada dua macam teknik yang tersedia untuk pengangkatan katarak :

a. Ekstraksi katarak ekstrakapsuler

Merupakan tehnik yang lebih disukai dan mencapai sampai

98% pembedahan katarak. Mikroskop digunakan untuk melihat

struktur mata selama pembedahan. Prosedur ini meliputi

pengambilan kapsul anterior, menekan keluar nucleus lentis, dan

mengisap sisa fragmen kortikal lunak menggunakan irigasi dan

alat hisap dengan meninggalkan kapsula posterior dan zonula

lentis tetap utuh. Selain itu ada penemuan terbaru pada ekstrasi

ekstrakapsuler, yaitu fakoemulsifikasi. Cara ini memungkinkan

pengambilan lensa melalui insisi yang lebih kecil dengan

menggunakan alat ultrason frekwensi tinggi untuk memecah

nucleus dan korteks lensa menjadi partikel yang kecil yang

kemudian di aspires melalui alat yang sama yang juga

memberikan irigasi kontinus.


b. Ekstraksi katarak intrakapsuler

Pengangkatan seluruh lensa sebagai satu kesatuan. Setelah

zonula dipisahkan, lensa diangkat dengan cryoprobe yang

diletakkan secara langsung pada kapsula lentis. Ketika cryoprobe

diletakkan secara langsung pada kapsula lentis, kapsul akan

melekat pada probe. Lensa kemudian diangkat secara lembut.

Namun, saat ini pembedahan intrakapsuler sudah jarang

dilakukan.

Pengangkatan lensa memerlukan koreksi optikal karena

lensa kristalina bertanggung jawab terhadap sepertiga kekuatan

focus mata.

Koreksi optikal yang dapat dilakukan diantaranya:

1) Kaca Mata Apikal

Kaca mata ini mampu memberikan pandangan sentral yang

baik, namun pembesaran 25% - 30% menyebabkan

penurunan dan distorsi pandangan perifer yang

menyebabkan kesulitan dalam memahami relasi spasial,

membuat benda-benda Nampak jauh lebih dekat dan

mengubah garis lurus menjadi lengkung. Memerlukan

waktu penyesuaian yang lama ampai pasien dapat

mengkoordinasikan gerakan, memperkirakan jarak, dan

berfungsi aman dengan medan pandang yang terbatas.


2) Lensa Kontak

Lensa kontak jauh lebih nyaman dari pada kaca mata

apakia. Lensa ini memberikan rehabilitasi visual yang

hamper sempurna bagi mereka yang mampu menguasai

cara memasang, melepaskan, dan merawat lensa kontak.

Namun bagi lansia, perawatan lensa kontak menjadi sulit,

karena kebanyakan lansia mengalami kemunduran

ketrampilan, sehingga pasien memerlukan kunjungan

berkala untuk pelepasan dan pembersihan lensa.

3) Implan Lensa Intraokuler ( IOL )

IOL adalah lensa permanen plastic yang secara bedah

diimplantasi ke dalam mata. Mampu menghasilkan

bayangan dengan bentuk dan ukuran normal, karena IOL

mampu menghilangkan efek optikal lensa apakia. Sekitar

95% IOL di pasang di kamera posterior, sisanya di kamera

anterior. Lensa kamera anterior di pasang pada pasien yang

menjalani ekstrasi intrakapsuler atau yang kapsul

posteriornya rupture tanpa sengaja

selama prosedur ekstrakapsuler.

I. Komplikasi

1. Glaucoma

2. Uveitis

3. Kerusakan endotel kornea


4. Sumbatan pupil

5. Edema macula sistosoid

6. Endoftalmitis

7. Fistula luka operasi

8. Pelepasan koroid

9. Bleeding

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian Keperawatan

1. Identitas / Data demografi

Berisi nama, usia, jenis kelamin, pekerjaan yang sering terpapar sinar

matahari secara langsung, tempat tinggal sebagai gambaran kondisi

lingkungan dan keluarga, dan keterangan lain mengenai identitas

pasien.

2. Riwayat penyakit sekarang

Keluhan utama pasien katarak biasanya antara lain:

a. Penurunan ketajaman penglihatan secara progresif (gejala utama

katarak) .

b. Mata tidak merasa sakit, gatal atau merah

c. Berkabut, berasap, penglihatan tertutup film

d. Perubahan daya lihat warna

e. Gangguan mengendarai kendaraan malam hari, lampu besar

sangat menyilaukan mata


f. Lampu dan matahari sangat mengganggu

g. Sering meminta ganti resep kaca mata

h. Lihat ganda

i. Baik melihat dekat pada pasien rabun dekat ( hipermetropia)

j. Gejala lain juga dapat terjadi pada kelainan mata lain

3. Riwayat penyakit dahulu

Adanya riwayat penyakit sistemik yang dimiliki oleh pasien seperti :

a. DM

b. Hipertensi

c. pembedahan mata sebelumnya, dan penyakit metabolic lainnya

memicu resiko katarak.

d. Kaji gangguan vasomotor seperti peningkatan tekanan vena,

e. ketidakseimbangan endokrin dan diabetes, serta riwayat terpajan

pada radiasi, steroid / toksisitas fenotiazin.

f. Kaji riwayat alergi

4. Riwayat Kesehatan Keluarga

Apakah ada riwayat diabetes atau gangguan sistem vaskuler, kaji

riwayat stress.

5. Pemeriksaan Fisik

a. Inspeksi

Dalam inspeksi, bagian-bagian mata yang perlu di amati adalah

dengan melihat lensa mata melalui senter tangan (penlight), kaca

pembesar, slit lamp, dan oftalmoskop sebaiknya dengan pupil


berdilatasi. Dengan penyinaran miring ( 45 derajat dari poros

mata) dapat dinilai kekeruhan lensa dengan mengamati lebar

pinggir iris pada lensa yang keruh ( iris shadow ). Bila letak

bayangan jauh dan besar berarti kataraknya imatur, sedang

bayangan kecil dan dekat dengan pupil terjadi pada katarak

matur.

6. Pemeriksaan Diagnostik

a. Kartu mata Snellen / mesin telebinokular ( tes ketajaman

penglihatan dan sentral penglihatan) : mungkin terganggu dengan

kerusakan lensa, system saraf atau penglihatan ke retina ayau

jalan optic.

b. Pemeriksaan oftalmoskopi : mengkaji struktur internal okuler,

mencatat atrofi lempeng optic, papiledema, perdarahan retina,

dan mikroaneurisme.

c. Darah lengkap, laju sedimentasi (LED) : menunjukkan anemi

sistemik / infeksi

d. EKG, kolesterol serum, dan pemeriksaan lipid : dilakukan untuk

memastikan aterosklerosis.

e. Tes toleransi glukosa / FBS : menentukan adanya/ control

diabetes.
B. Diagnosa Keperawatan

1. Pre operasi

a. Gangguan persepsi sensori-perseptual penglihatan berhubungan

dengan gangguan penerimaan sensori/status organ indera.

b. Resiko tinggi cedera berhubungan dengan kerusakan fungsi

sensori penglihatan, kehilangan vitreus, pandangan kabur,

perdarahan intraokuler.

c. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis, pengobatan

berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi, kurang

terpajan/mengingat, keterbatasan kognitif.

d. Ansietas berhubungan prosedur penatalaksanaan / tindakan pemb

edahan.

e. Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan gangguan pengli

hatan.

2. Post operasi

a. Nyeri berhubungan dengan trauma insisi.

b. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur tindakan

invasive insisi jaringan tubuh.

c. Gangguan persepsi sensori-perseptual penglihatan berhubungan

dengan gangguan penerimaan sensori/status organ indera.

d. Resiko tinggi cedera berhubungan dengan kerusakan fungsi

sensori penglihatan, kehilangan vitreus, pandangan kabur,

perdarahan intraokuler.
C. Intervensi Keperawatan

1. Gangguan persepsi sensori-perseptual penglihatan berhubungan

dengan gangguan penerimaan sensori/status organ indera.

a. Tujuan :

Meningkatkan ketajaman penglihatan dalam batas situasi

individu, mengenal gangguan sensori dan berkompensasi

terhadap perubahan. individu, mengenal mengenal gangguan

sensori dan berkompensasi terhadap perubahan.

b. Kriteria Hasil :

 Mengenal gangguan sensori dan berkompensasi terhadap per

ubahan.

 Mengidentifikasi/memperbaiki potensial bahaya dalam lingk

ungan.

c. Intervensi

 Tentukan ketajaman penglihatan, kemudian catat apakah satu

atau dua mata terlibat.

R/ : Penemuan dan penanganan awal komplikasi dapat

mengurangi resiko kerusakan lebih lanjut.

 Observasi tanda-tanda disorientasi, Orientasikan klien

tehadap lingkungan.

R/ : Meningkatkan keamanan mobilitas dalam lingkungan.

 Pendekatan dari sisi yang tak dioperasi, bicara dengan menye

ntuh.
R/ : Komunikasi yang disampaikan dapat lebih mudah

diterima dengan jelas.

 Perhatikan tentang suram atau penglihatan kabur dan iritasi

mata, dimana dapat terjadi bila menggunakan tetes mata.

R/ : Cahaya yang kuat menyebabkan rasa tak nyaman setelah

penggunaan tetes mata dilator.

 Ingatkan klien menggunakan kacamata katarak yang

tujuannya memperbesar kurang lebih 25 persen, penglihatan

perifer hilang dan buta titik mungkin ada.

R/ : membantu penglihatan pasien

 Letakkan barang yang dibutuhkan/posisi bel pemanggil dala

m jangkauan/posisi yang tidak dioperasi.

R/ : memudahkan klien untuk berkomunikasi

2. Resiko tinggi cedera berhubungan dengan kerusakan fungsi sensori

penglihatan,

kehilangan vitreus, pandangan kabur, perdarahan intraokuler.

a. Tujuan:

Menyatakan pemahaman terhadap factor yang terlibat dalam

kemungkinan cedera.

b. Kriteria hasil :
 Menunjukkan perubahan perilaku, pola hidup untuk

menurunkan faktor resiko dan untuk melindungi diri dari

cedera.

 Mengubah lingkungan sesuai dengan indikasi untuk

meningkatkan keamanan.

c. Intervensi

 Diskusikan apa yang terjadi tentang kondisi paska operasi,

nyeri, pembatasan aktifitas, penampilan, balutan mata.

R/ : kondisi mata post operasi mempengaruhi visus pasien

 Beri klien posisi bersandar, kepala tinggi, atau miring ke sisi

yang tak sakit sesuai keinginan.

R/ : posisi menentukan tingkat kenyamanan pasien

 Batasi aktifitas seperti menggerakan kepala tiba-tiba,

menggaruk mata, membongkok.

R/ : aktivitas berlebih mampu meningkatkan tekanan

intraokuler mata

 Ambulasi dengan bantuan : berikan kamar mandi khusus bila

sembuh dari anestesi.

R/ : visus mulai berkurang, resiko cedera semakin tinggi

 Minta klien membedakan antara ketidaknyamanan dan nyeri

tajam tiba-tiba, selidiki kegelisahan, disorientasi, gangguan

balutan.

R/ : pengumpulan informasi dalam pencegahan komplikasi


 Observasi hifema dengan senter sesuai indikasi.

3. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis, pengobatan

berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi, kurang

terpajan/mengingat, keterbatasan kognitif.

a. Tujuan : Klien menunjukkan pemahaman tentang kondisi, proses

penyakit dan pengobatan.

b. Kriteria Hasil : Melakukan dengan prosedur benar dan

menjelaskan alasan tindakan.

c. Intervensi

 Pantau informasi tentang kondisi individu, prognosis, tipe

prosedur, lensa.

R/ : Penemuan dan penanganan awal komplikasi dapat

mengurangi resiko kerusakan lebih lanjut.

 Tekankan pentingnya evaluasi perawatan rutin, beritahu

untuk melaporkan penglihatan berawan.

 Identifikasi tanda/gejala memerlukan upaya evaluasi medis,

missal : nyeri tiba-tiba.

 Informasikan klien untuk menghindari tetes mata yang dijual

bebas.

 Diskusikan kemungkinan efek/interaksi antar obat mata dan

masalah medis klien


 Anjurkan klien menghindari membaca, berkedip, mengangkat

berat, mengejan saat defekasi, mebongkok pada panggul, dll.

R/ : Aktivitas-aktivitas tersebut dapat meningkatkan tekanan

intra okuler.

 Anjurkan klien tidur terlentang.

R/:Tidur terlentang dapat membantu kondisi mata agar lebih

nyaman.

4. Ansietas berhubungan prosedur penatalaksanaan / tindakan pembedah

an.

a. Tujuan/kriteria evaluasi:

 Pasien mengungkapkan dan mendiskusikan rasa cemas/takutn

ya.

 Pasien tampak rileks tidak tegang dan melaporkan

kecemasannya berkurang sampai pada tingkat dapat diatasi.

 Pasien dapat mengungkapkan keakuratan pengetahuan

tentang pembedahan.

b. Intervensi

 Pantau tingkat kecemasan pasien dan catat adanya tanda-

tanda verbal dan nonverbal.

 Beri kesempatan pasien untuk mengungkapkan isi pikiran

dan perasaan takutnya.


R/ : Mengungkapkan rasa takut secara terbuka dimana rasa

takut dapat ditujukan.

 Observasi tanda vital dan peningkatan respon fisik pasien.

R/:Mengetahui respon fisiologis yang ditimbulkan akibat kec

emasan.

 Beri penjelasan pasien tentang prosedur tindakan operasi,

harapan dan akibatnya.

R/ : Meningkatkan pengetahuan pasien dalam rangka

mengurangi kecemasan dan kooperatif

 Beri penjelasan dan support pada pasien pada setiap

melakukan prosedur tindakan.

R/ : Mengurangi kecemasan dan meningkatkan pengetahuan

 Lakukan orientasi dan perkenalan pasien terhadap ruangan,

petugas, dan derajat kecemasan akan dipengaruhi peralatan

yang akan digunakan. Bagaimana informasi tentang prosedur

penatalaksanaan diterima oleh individu.

R/ : Mengurangi perasaan takut dan cemas.

5. Nyeri berhubungan dengan trauma insisi

a. Tujuan : pengurangan nyeri.

b. Intervensi :

 Berikan obat untuk mengontrol nyeri dan TIO sesuai dengan

resep.
R/ : Pemakaian sesuai dengan resep akan mengurangi nyeri

dan TIO dan meningkatkan rasa.

 Berikan kompres dingin sesuai dengan permintaan untuk trau

ma tumpul.

R/ : Mengurangi edema akan mengurangi nyeri.

 Kurangi tingkat pencahayaan.

R/ : Tingkat pencahayaan yang lebih rendah

akan setelah pembedahan.

 Dorong penggunaan kaca mata hitam pada cahaya yang kuat.

R/ : Cahaya yang kuat menyebabkan rasa tak nyaman setelah

penggunaan tetes mata dilator

6. Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan kerusakan penglihat

an.

a. Tujuan : mampu memenuhi kebutuhan perawatan diri

b. Intervensi :

 Beri instruksi kepada pasien atau orang terdekat mengenal

tanda atau gejala komplikasi yang harus dilaporkan segera

kepada dokter.

R/ : Penemuan dan penanganan awal komplikasi dapat

mengurangi resiko kerusakan lebih lanjut.

 Berikan instruksi lisan dan tertulis untuk pasien dan orang

yang berarti mengenal teknik yang benar memberikan obat.


R/ : Pemakaian teknik yang benar akan mengurangi resiko

infeksi dan cedera mata.

 Evaluasi perlunya bantuan setelah pemulangan.

R/ : Sumber daya harus tersedia untuk layanan kesehatan,

pendampingan dan teman di rumah

 Ajari pasien dan keluarga teknik panduan penglihatan.

R/ : Memungkinkan tindakan yang aman dalam lingkungan.

7. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur tindakan invasive

insisi jaringan tubuh.

Tujuan :

a. Tidak terjadi penyebaran infeksi selama tindakan prosedur

pembedahan ditandai dengan penggunaan teknik antiseptic dan

desinfeksi secara tepat dan benar.

b. Intervensi

 Ciptakan lingkungan ruangan yang bersih dan bebas dari

kontaminasi dunia luar.

R/ : Mengurangi kontaminasi dan paparan pasien terhadap

agen infektious

 Jaga area kesterilan luka operasi

R/ : Mencegah dan mengurangi transmisi kuman.

 Lakukan teknik aseptik dan desinfeksi secara tepat dalam mer

awat luka.
R/ : mencegah kontaminasi pathogen.

 Kolaborasi terapi medik pemberian antibiotika profilaksis

 .R/ : Mencegah pertumbuhan dan perkembangan kuman.

D. Implementasi Keperawatan

Pelaksanaan merupakan langkah keempat dalam tahap proses

keperawatan dengan melaksanakan berbagai strategi keperawatan

(tindakan keperawatan) yang telah direncanakan dalam rencana tindakan

keperawatan. Dalam pelaksanaan rencana tindakan keperawatan terdapat

dua jenis tindakan, yaitu tindakan jenis mandiri dan tindakan kolaborasi

(Hidayat, 2008)

E. Evaluasi Keperawatan

1. Tidak terjadi penurunan ketajaman penglihatan , ketajaman

penglihatan stabil

2. Cedera tidak terjadi

3. Kebutuhan pengetahuan terpenuhi

4. Kecemasan berkurang atau terkontrol

5. Peningkatan aktivitas perawatan diri

6. Infeksi tidak terjadi

7. Nyeri berkurang atau terkontrol


II. Konsep Lansia

A. Konsep lansia

1. Pengertian

Lanjut usia adalah kelompok manusia dengan usia 60 tahun ke atas

(Hardywinoto dan Setiabudhi, 1999). Pada lanjut usia akan terjadi proses

menghilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan

mempertahankan fungsi normalnya secara perlahan sehingga tidak dapat

bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang terjadi

(Constantinides, 1994) dalam Sunaryo dkk (2016, p:55)

2. Proses menua

Proses penuaan merupakan proses yang berhubungan dengan umur

seseorang. Manusia mengalami perubahan sesuai bertambahnya umur.

Fungsi-fungsi organ tubuh makin berkurang seiring umur bertambah.

Faktor pengaruh proses penuaan meliputi faktor genetik dan faktor

lingkungan. Kedua faktor tersebut akan mempengaruhi aktivitas

metabolisme sel, kemudian menyebabkan stress oksidasi sehinga terjadi

kerusakan pada sel dan terjadi proses penuaan. (Sunaryo dkk, 2016, p:36)

3. Batasan-batasan lansia

Menurut pendapat berbagai ahli dalam Efendi (2009), cakupan

batasan umur lansia ialah sebagai berikut:

a. Menurut UU No 13 Tahun 1998 dalam Bab 1 pasal 1 ayat 2, “Lanjut

usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas”.


b. Menurut WHO, ada empat golongan usia lanjut yaitu: usia pertengahan

(middle age) ialah 45-59 tahun, lanjut usia (elderly) ialah 60-74 tahun,

usia sangat tua (very old) ialah di atas 90 tahun.

(Sunaryo, 2016, p:56).

4. Perubahan lansia

Perubahan-perubahan pada lansia menurut Sunaryo dkk (2016,

p:254) di antaranya adalah sebagai berikut.

a. Perubahan pada semua sistem dan implikasi klinik

1) Sel : pada lansia jumlah sel lebih sedikit, ukurannya lebih besar,

jumlah cairan tubuh dan cairan intraseluler berkurang, proporsi

protein di beberapa bagian tubuh menurun, dan perbaikan sel

terganggu.

2) Sistem sensoris : lansia yang mengalami penurunan persepsi

sensori umumnya enggan bersosialisasi karena fungsi-fungsi

sensoris menurun. Indera yang dimiliki, seperti penglihatan,

pendengaran, pengecapan, penciuman, dan perabaan merupakan

kesatuan integrasi dari persepsi sensori.

3) Sistem integumen : epidermis menjadi tipis dan rata, sehingga

vena-vena tampak lebih menonjol. Keriput pada lansia disebabkan

karena sedikitnya kolagen yang terbentuk pada proses penuaan dan

penurunan jaringan elastik. Degenerasi menyeluruh jaringan

penyambung dan penurunan cairan tubuh total, menimbulkan

penurunan turgor kulit.


4) Sistem muskuloskeletal : otot mengalami atrofi karena

berkurangnya aktivitas dan gangguan metabolik.

5) Sistem neurologis : berat otak menurun, otak kehilangan 100.000

neuron/tahun sehingga otak juga mengalami penurunan fungsi.

Perubahan tersebut meliputi melambatnya konduksi saraf perifer,

peningkatan lipofusin menyebabkan vasokonstruksi dan

vasodilatasi tidak sempurna, serta ketidakefektifan termoregulasi

oleh hipotalamus.

6) Sistem kardiovaskuler : pertama, penebalan ventrikel kiri

menyebabkan ketidakmampuan jantung untuk distensi dan

penurunan kekuatan kontraktil. Kedua, penurunan jumlah sel-sel

peace maker sehingga dapat memicu disritmia. Ketiga, aorta dan

arteri perifer menjadi kaku dan tidak lurus sehingga respon

terhadap panas & dingin, dan baroreseptor menumpul. Keempat,

vena meregang dan dilatasi dan dapat menimbulkan edema

ekstremitas bawah dan penumpukan darah.

7) Sistem pulmonal : paru-paru mengecil, mengendur, pembesaran

alveoli, penurunan kapasitas vital, pengerasan bronkus, kekakuan

tulang iga pada kondisi pengembangan, hilangnya tonus otot

toraks, dan kelenjar mukus yang kurang produktif.

8) Sistem endokrin : kadar glukosa menjadi naik, ambang batas ginjal

untuk glukosa juga meningkat, residu urin di kandung kemih lebih

banyak, dan kelenjar tiroid mengecil.


9) Sistem renal dan urinaria : seiring bertambahnya usia, ginjal,

bladder dan sistem nervus mengalami perubahan sehingga

berdampak pada proses fisiologi terkait eliminasi urin. Hal ini akan

mengganggu kemampuan dalam mengontrol berkemih seperti

inkontinensia.

10) Sistem gastrointestinal : terjadi perubahan morfologik degeneratif

mulai dari gigi sampai anus, antara lain perubahan atrofi pada

rahang, mukosa, kelenjar, dan otot-otot pencernaan.

11) Sistem reproduksi dan kegiatan seksual : perubahan pada sistem

reproduksi lansia anatar lain selaput lendir vagina menurun/kering,

menciutnya ovarium & uterus, atropi payudara, testis masih dapat

memproduksi meski menurun secara berangsur, dan dorongan seks

menetap sampai usia di atas 70 tahun asal kondisi kesehatan baik.

Seksualitas pada lansia tergantung dari caranya, yaitu dengan cara

membuat pihak lain mengetahui bahwa ia sangat berarti bagi lansia

tersebut.

b. Perubahan mental

Pada umumnya lansia mengalami panurunan fungsi kognitif dan

psikomotor. Dari segi mental, pada lansia sering muncul perasaan

pesimis, timbulnya perasaan tidak aman dan cemas, ada kekacauan

mental akut, merasa terancam akan timbul suatu penyakit, takut

ditelantarkan karena merasa tidak berguna lagi, muncul perasaan

kurang mampu mandiri, dan cenderung entrover. Hal tersebut


dipengaruhi beberapa faktor seperti perubahan pada fisik, kesehatan

umum, lingkungan, juga perubahan IQ.

c. Perubahan psikososial

Lansia akan mengalami perubahan hidup seperti pensiun.

Perubahan psikososial terkait hal tersebut tegantung pada respon

lansia dalam menyesuaikan diri.

Pada masa tua, mereka akan mulai sadar akan kematian, ekonomi

akibat pensiun, penyakit kronis dan ketidakmampuan, gangguan

syaraf & pancaindra, serta perubahan terhadap gambaran diri dan

konsep diri. Sehingga, lansia akan mengalami perubahan minat dan

kadang merasa kesepian.

d. Perubahan spiritual

Kehidupan keagamaan lansia umumnya menjadi semakin matang.

Ini terlihat dari cara pikir dan tindakan sehari-hari, seiring perubahan-

perubahan yang menuntut dirinya untuk menyesuaikan diri.

5. Masalah dan penyakit pada lansia

Berbagai macam permasalahan yang biasa terjadi pada lansia

menurut Sunaryo dkk (2016, p:279) :

a. Penyakit fisik

1) Sistem paru : TBC (Tuberculosis).

2) Jantung dan pembuluh darah : meliputi jantung koroner, hipertensi.

3) Pencernaan makanan : gastritis.


4) Sistem urogenital : peradangan kandung kemih dan ginjal,

pembesaran kelenjar prostat.

5) Ganggauan endokrin/ metabolik : DM (Diabetes Melitus).

6) Persendian dan tulang : osteoporosis.

7) Penyakit karena keganasan/ kanker.

b. Penyakit mental

1) Kesepian

2) Depresi

3) Gangguan cemas

B. Konsep asuhan keperawatan pada lansia

1. Pengkajian

Pengkajian keperawatan pada lansia menurut Sunaryo dkk (2016,

p:94).

a. Anamnesis: beberapa hal yang perlu dikaji kepada lansia adalah

identitas klien, privasi, pendamping.

b. Pemeriksaan fisik: dilakukan secara sistematis, baik secara inspeksi,

palpasi, perkusi, dan auskultasi. Pemeriksaan ini dilakukan secara head

to toe (kepala ke kaki).

c. Pengkajian status fungsional: lingkup pengkajian ini meliputi

keadekuatan enam fungsi, yaitu mandi, berpakaian, toileting,

berpindah, kontinen dan makan, yang hasilnya untuk mengidentifikasi

tingkat kemandirian klien dalam beraktifitas.


d. Pengkajian status kognitif/afektif: merupakan pemeriksaan status

mental sehingga dapat memberi gambaran perilaku, kemampuan

mental, dan fungsi intelektual.

e. Pengkajian aspek spiritual: spiritualitas yaitu hubungan manusia

dengan Tuhannya dengan menggunakan instrumen berupa ibadah.

f. Pengkajian fungsi sosial: mengenai hubungan lansia dengan keluarga

sebagai peran sentralnya dan informasi tentang jaringan pendukung.

2. Perumusan diagnosa keperawatan

Berikut merupakan diagnosa keperawatan yang sering muncul pada

lansia berdasarkan Sunaryo dkk (2016, p:122).

a. Ditinjau dari aspek fisik atau biologis

1) Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh,

berhubungan dengan tidak mampu memasukkan, mencerna,

mengabsorbsi makanan karena faktor biologi.

2) Gangguan pola tidur berhubungan dengan insomnia dalam waktu

lama, terbangun lebih awal atau terlambat bangun, dan penurunan

kemampuan fungsi, ditandai dengan penuaan perubahan pola tidur

dan cemas.

3) Inkontinensia urin fungsional berhubungan dengan keterbatasan

beuromaskular, ditandai dengan waktu yang diperlukan ke toilet

melebihi waktu untuk menahan pengosongan bladder dan tidak

mampu mengontrol pengosongan.


4) Gangguan proses berpikir berhubungan dengan kemunduran atau

kerusakan memori sekunder.

5) Disfungsi seksual berhubungan dengan perubahan struktur tubuh

atau fungsi, ditandai dengan perubahan dalam mencapai kepuasan

seksual.

6) Kelemahan mobilitas fisik berhubugan dengan kerusakan

muskuloskeletal dan neuromuskular, ditandai dengan perubahan

gaya berjalan, gerak lambat, gerak menyebabkan tremor, dan usaha

kuat untuk perubahan gerak.

7) Kelelahan berhubungan dengan konsisi fisik kurang, ditandai

dengan peningkatan kebutuhan istirahat, lelah, dan penampilan

menurun.

8) Kerusakan memori berhubungan dengan gangguan neurologis,

ditandai dengan tidak mampu mengingat informasi faktual, tidak

mampu mengingat kejadian yang baru saja terjadi atau masa

lampau, lupa dalam melaporkan atau menunjukkan pengalaman

dan tidak mampu belajar atau menyimpan ketrampilan atau

informasi baru.

b. Ditinjau dari aspek psikososial

1) Koping tidak efektif berhubungan dengan percaya diri tidak

adekuat dalam kemampuan koping, dukungan sosial tidak adekuat

yang dibentuk dari karakteristik atau hubungan.


2) Isolasi sosia berhubungan dengan perubahan penampilan fisik,

perubahan keadaan sejahtera, perubahan status mental.

3) Gangguan harga diri berhubungan dengan ketergantungan,

perubahan peran, perubahan citra tubuh dan fungsi seksual.

4) Cemas berhubungan dengan perubahan pada status peran, status

kesehatan, pola interaksi, fungsi peran, lingkungan, status

ekonomi, ditandai dengan ekspresi mendalam dalam perubahan

hidup, mudah tersinggung, dan gangguan tidur.

5) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan dan

ketergantungan fisik (ketidakseimbangan mobilitas) serta

psikologis yang disebabkan penyakit atau terapi.

6) Distress spiritual berhubungan dengan perubahan hidup, kematian,

cemas, mengasingkan diri, kesendirian atau pengasingan sosial,

kurang sosiokultural.

3. Perencanaan tindakan keperawatan

Beberapa rencana intervensi untuk diagnosis keperawatan pada

lansia, baik dari aspek fisik atau biologis maupun aspek psikososial

menurut Herdman T.H., 2012 dan Wilkson J.M., 2007 (dalam Sunaryo,

2016, p:137).

a. Manajemen ketidakaturan makan (eating disorder management)

1) Kolaborasi dengan tim kesehatan untuk mengembangkan rencana

perawatan dengan melibatkan klien dan orang-orang terdekatnya

dengan tepat,
2) Rundingkan dengan tim dan klien untuk mengatur target

pencapaian berat badan jika berat badan klien tidak sesuai dengan

usia dan bentuk tubuh.

3) Ajarkan dan dukung konsep nutrisi yang baik dengan klien.

4) Kembangkan hubungan suportif dengan klien.

5) Dorong klien untuk memonitor diri sendiri terhadap asupan

makanan dan kenaikan atau pemeliharaan berat badan.

6) Berikan pujian atas peningkatan berat badan dan tingkah laku yang

mendukung peningkatan berat badan.

b. Penigkatan tidur

1) Tetapkan pola kegiatan dan tidur pasien.

2) Monitor pola tidur dan jumlah jam tidurnya.

3) Bantu pasien untuk menghilangkan situasi stres sebelum jam tidur.

4) Pertahankan kodisi kondusif untuk tidur, mencakup perhatian pada

faktor-faktor lingkungan dan kegiatan ritual menjelang tidur.

5) Bantu klien untuk rileks pada saat menjelang tidur dengan

memberikan usapan punggung, massage kaki.

6) Berikan posisi yang tepat, hilangkan nyeri, dan berikan kehangatan

dengan sekimut konvensional atau selimut listrik.

7) Jangan biarkan pasien minum minuman yang mengandung kafein.

c. Perawatan inkotinensia urin

1) Monitor eliminasi urin.


2) Modifikasi baju dan lingkungan untuk memudahkan klien untuk ke

toilet.

3) Instruksikan klien utnuk mengkonsumsi minum sebanyak 1.500

cc/hari.

d. Latihan dengan terapi gerakan

1) Monitoring vital sign sebelum/sesudah latihan dan lihat respon

pasien saat latihan.

2) Konsultasikan kepada pemberi terapi fisik mengenai rencana

gerakan yang sesuai dengan kebutuhan.

3) Dorong untuk bergeraksecara bebas namun masih dalam batas

aman.

4) Gunakan alat bantu bergerak secara bebas namun masih dalam

batas aman.

5) Kaji kemampuan klien dalam mobilisasi.

e. Latihan daya ingat

1) Kembangkan lingkungan yang mendukung dan hubungan perawat-

klien yang terapeutik.

2) Tatap wajah ketika berbicara dengan klien.

3) Diskusikan dengan keluarga mengenai beberapa masalah ingatan.

4) Rangsang ingatan dengan mengulang pemikiran pasien kemarin.

5) Mengenangkan tentang pengalaman di masa lalu dengan pasien.


f. Dukungan keluarga

1) Bantu perkembangan harapan yang realistik.

2) Identifikasi alami dukungan spiritual bagi keluarga.

3) Berikan kepercayaan dalam hubungan dengan keluarga.

4) Dengarkan untuk hubungan keluarga, perasaan dan pertanyaan.


DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. (2013).


Nursing Interventions Classification (NIC). Oxford: Elseiver Global
Rights.
Corwin, Elizabeth J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

Doengoes, Marilyn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta:


EGC.

Herdman, H., & Kamitsuru, S. (2018). Nanda International Inc. Nursing


Diagnoses: Definition & Classification 2018-2020. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3 Jilid 1. Jakarta:
Media Aesculapis FKUI.

Morhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2013). Nursing Outcome
Classification (NOC). Oxford: Elseiver Global Rights.
Nurarif, Amin Huda & Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Edisi Revisi Jilid 2.
Yogyakarta: Mediaction Publishing.

Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan
Suddarthi. Edisi 8. Alih Bahasa Oleh Agung Waluyo. Jakarta: EGC.

Vaughan, Dale. 2000. Oftalmologi Umum. Alih Bahasa Jan Tambajong. Jakarta:
Widya Medika.

Anda mungkin juga menyukai