Anda di halaman 1dari 107

Laporan Praktik Analisis Kromatografi

Disusun Oleh :
Kelas 2D
Program Studi Analisis Kimia

KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN INDUSTRI
POLITEKNIK AKA BOGOR
2017-2018
Percobaan 1
Penetapan Etanol dalam Sampel Alkohol Teknis Menggunakan Teknik
Standar Internal dan Eksternal
Kelompok 1

 Irsan Riswanto (1517342)


 Musyaffa Muhammad Irfanto (1517398)
 Dyah Ayuning Tyas (1617545)
 Ismi Nurul Aminy (1617595)
 M Odiet Adam (1617646)
 Rafli Yudhistira N (1617690)
 Tedisyah (1617735)

I. TUJUAN

Menetapkan etanol dalam alcohol teknis dengan teknik standar internal

II. PRINSIP

Alkohol merupakan senyawa hidrokarbon yang bersifat mudah menguap,

oleh karena itu dapat dianalisis dengan menggunakan kromatografi gas dengan

menggunakan detector flame ionization detector (FID) yang sensitive terhadap

hidrokarbon. Kandungan air yang dimungkinkan ada tidak akan terdeteksi oleh

detector FID. Penggunaan teknik standar internal diharapkan dapat

menghilangkan kesalahan dalam volume injeksi.

III. DASAR TEORI

Kromatografi Gas adalah metode kromatografi pertama yang dikembangkan

pada jaman instrument dan elektronika yang telah merevolusikan keilmuan

selama lebih dari 30 tahun. Sekarang GC dipakai secara rutin di sebagian besar

laboratorium industri dan perguruan tinggi. GC dapat dipakai untuk setiap

campuran yang komponennya atau akan lebih baik lagi jika semua komponennya

mempunyai tekanan uap yang berarti pada suhu yang dipakai untuk pemisahan.
Dalam kromatografi gas, fase bergeraknya adalah gas dan zat terlarut

terpisah sebagai uap. Pemisahan tercapai dengan partisi sampel antara fase gas

bergerak dan fase diam berupa cairan dengan titik didih tinggi (tidak mudah

menguap) yang terikat pada zat padat penunjangnya.

Ada beberapa kelebihan kromatografi gas, diantaranya kita dapat

menggunakan kolom lebih panjang untuk menghasilkan efisiensi pemisahan yang

tinggi. Gas dan uap mempunyai viskositas yang rendah, demikian juga

kesetimbangan partisi antara gas dan cairan berlangsung cepat, sehingga analisis

relatif cepat dan sensitifitasnya tinggi. Fase gas dibandingkan sebagian besar fase

cair tidak bersifat reaktif terhadap fase diam dan zat-zat terlarut. Kelemahannya

adalah teknik ini terbatas untuk zat yang mudah menguap.

Proses kromatografi dalam alat GC dimulai dengan menyuntikkan sample ke

dalam kolom. Mula-mula komponen-komponen di dalam kolom diuapkan,

kemudian dielusi oleh gas pembawa untuk melalui kolom. Perbedaan laju migrasi

masing-masing komponen dalam kolom disebabkan oleh perbedaan titik didih dan

interaksi masing-masing komponen dengan fasa stasioner. Pendeteksian saat

keluar dari kolom dilakukan berdasarkan perubahan sifat fisika aliran gas yang

disebabkan adanya komponen yang dikandungnya. Sifat fisika tersebut, misalnya

daya hantar panas, absorpsi radiasi elektromagnetik, indeks refraksi, derajat

terinduksi ion, dsb. Untuk analisa kualitatif, komponen-komponen yang terelusi

dikenali dari nilai waktu retensi, TR. TR analit dibandingkan dengan TR standar

pada kondisi operasi alat yang sama. Sedangkan untuk analisa kuantitatif,

penentuan kadar atau jumlah analit dilakukan dengan membandingkan luas

puncak analit dengan luas puncak standar. Efisiensi kolom ditentukan berdasarkan
jumlah pelat teori (N) dalam kolom, melalui persamaan : N = 16 x (TR / WB)2 ,

dengan TR = waktu retensi dan WB = lebar dasar puncak.

Komponen-Komponen Kromatografi Gas :

1. Gas Pembawa

Gas pembawa harus bersifat inert artinya gas ini tidak bereaksi dengan

cuplikan ataupun fasa diamnya. Gas ini disimpan dalam silinder baja bertekanan

tinggi sehingga gas ini akan mengalir cepat dengan sendirinya.Karena aliran gas

yang cepat inilah maka pemisahan dengan kromatografi gas berlangsung hanya

dalam beberapa menit saja. Gas pembawa yang biasa digunakan adalah gas Argon,

Helium, Hidrogen dan Nitrogen. Gas nitrogen memerlukan kecepatan alir yang

lambat (10 cm/detik) untuk mencapai efisiensi yang optimum dengan HETP (High

Eficiency Theoretical Plate) minimum. Sementara Hidrogen dan Helium dapat

dialirkan lebih cepat untuk mencapai efisiensi optimumnya, 35 cm/detik untuk gas

hidrogen dan 25 cm/detik untuk helium. Dengan kenaikan laju alir,

kinerjahidrogen berkurang sedikir demi sedikit sedangkan kinerja nitrogen

berkurangsecara drastis.

Semakin cepat solut berkesetimbangan di antara fasa diam dan fasagerak

maka semakin kecil pula faktor transfer massa. Difusi solut yang cepatmembantu

mempercepat kesetimbangan di antara dua fasa tersebut, sehinggaefisiensinya

meningkat (HETP nya menurun). Pada kecepatan alir tinggi, solut berdifusi lebih

cepat melalui hidrogen dan helium daripada melalui nitrogen.Hal inilah yang

menyebabkan hidrogen dan helium memberikan resolusi yanglebih baik daripada

nitrogen. Hidrogen memiliki efisiensi yang relatif stabildengan adanya perubahan

kecepatan alir. Namun, hidrogen mudah meledak jika terjadi kontrak dengan
udara. Biasanya, helium banyak digunakan sebagai penggantinya.Kotoran yang

terdapat dalam carrier gas dapat bereaksi dengan fasadiam. Oleh karena itu, gas

yang digunakan sebagai gas pembawa yang relatif kecil sehingga tidak akan

merusak kolom. Biasanya terdapat saringan (molecular saeive) untuk

menghilangkan kotoran yang berupa air danhidrokarbon dalam gas pembawa .

Pemilihan gas pembawa biasanyadisesuaikan dengan jenis detektor.

2. Sistem Injeksi Sampel

Sampel dapat berupa gas atau cairan dengan syarat sampel harusmudah

menguap saat diinjeksikan dan stabil pada suhu operasional (50°-300°C). Injektor

berada dalam oven yang temperaturnya dapat dikontrol. Suhuinjektor biasanya

50° C di atas titik didih cuplikan. Jumlah cuplikan yangdiinjeksikan sekitar 5 µL.

Tempat pemasukkan cuplikan cair pada kolom pak biasanya terbuat dari tabung

gelas di dalam blok logam panas. Injeksi sampelmenggunakan semprit kecil. Jarum

semprit menembus lempengan karet tebaldisebut septum yang mana akan

mengubah bentuknya kembali secara otomatisketika semprit ditarik keluar.Untuk

cuplikan berupa gas dapat dimasukkan dengan menggunakanalat suntik gas (gas-

tight syringe) atau kran gas (gas-sampling valve).Alat pemasukan cuplikan untuk

kolom terbuka dikelompokkan kedalam dua kategori yaitu injeksi split (split

injection) dan injeksi splitless (splitless injection). Injeksi split dimaksudkan untuk

mengurangi volume.

3. Oven, digunakan untuk memanaskan column pada temperature tertentu

sehingga mempermudah proses pemisahan komponen sample.

4. Column, berisi stationary phase dimana mobile phase akan lewat

didalamnya sambil membawa sample. Secara umum terdapat 2 jenis column,


yaitu:

a. Packed column, umumnya terbuat dari glass atau stainless steel coil dengan

panjang 1 – 5 m dan diameter kira-kira 5 mm.

b. Capillary column, umumnya terbuat dari purified silicate glass dengan panjang

10-100m dan diameter kira-kira 250 mm. Beberapa jenis stationary phase yang

sering digunakan:

a) Polysiloxanes untuk nonpolar analytes/sample.

b) Polyethylene glycol untuk polar analytes/sample.

c) Inorganic atau polymer packing untuk sample bersifat small gaseous

species.

5. Detector, berfungsi mendeteksi adanya komponen yang keluar dari

column. Ada beberapa jenis detector, yaitu:

a. Atomic-Emission Detector (AED)

cara kerjanya adalah: campuran sample-gas yang keluar dari column diberi

tambahan energy dengan menggunakan microwave sehingga atom-atomnya

bereksitasi; sinar eksitasi ini kemudian diuraikan oleh diffraction grating dan

diukur oleh photodiode array; kehadiran komponen dalam sample dapat

ditentukan dari adanya panjang gelombang eksitasi komponen tersebut yang

diukur oleh photodiode array.

b. Atomic-Emission Spectroscopy (AES) atau Optical Emission

Spectroscopy (OES); cara kerjanya: campuran sample-gas yang keluar dari column

diberi tambahan energy sehingga atom-atomnya bereksitasi; sumber energy

tambahan ini (excitation source) terdiri dari beberapa jenis yaitu direct-current-

plasma (DCP), flame, inductively-coupled plasma (ICP) dan laser-induced


breakdown (LIBS); sinar eksitasi dari berbagai atom ini kemudian diukur secara

simultan oleh polychromator dan multiple detector; polychromator disini

berfungsi sebagai wavelength selector.

c.Chemiluminescense Spectroscopy

cara kerjanya sama seperti pada AES yaitu mengukur sinar eksitasi dari sample

yang diberi tambahan energy; perbedaan dari AES adalah eksitasi molekul sample

bukan atom sample; selain itu, energy tambahan yang diberikan bukan berasal

dari sumber energy luar seperti lampu atau laser tetapi dihasilkan dari reaksi kimia

antara sample dan reagent; sinar eksitasi molekul sample ini kemudian diukur

dengan photomultiplier detector (PTM).

d.Electron Capture Detector (ECD)

menggunakan radioactive beta emitter (electron) untuk mengionisasi sebagian gas

(carrier gas) dan menghasilkan arus antara biased pair of electron; ketika molekul

organik yang mengandung electronegative functional groups seperti halogen,

phosphorous dan nitro groups dilewati detector, mereka akan menangkap

sebagian electron sehingga mengurangi arus yang diukur antara electrode.

e. Flame Ionization Detector (FID)

terdiri dari hydrogen/air flame dan collector plate; sample yang keluar dari column

dilewatkan ke flame yang akan menguraikan molekul organik dan menghasilkan

ion-ion; ion-ion tersebut dihimpun pada biased electrode (collector plate) dan

menghasilkan sinyal elektrik.


f. Flame Photometric Detector (FPD)

digunakan untuk mendeteksi kandungan sulfur atau phosphorous pada sample.

Peralatan ini menggunakan reaksi chemiluminescent sample dalam hydrogen/air

flame; sinar eksitasi sebagai hasil reaksi ini kemudian diukur oleh PMT.

g. Mass Spectrometry (MS)

mengukur perbedaan mass-to-charge ratio (m/e) dari ionisasi atom atau molekul

untuk menentukan kuantitasi atom atau molekul tersebut.

h.Nitrogen Phosphorus Detector (NPD)

prinsip kerjanya hampir sama dengan FID, perbedaan utamanya adalah

hydrogen/air flame pada FID diganti oleh heated rubidium silicate bead pada NPD;

sample dari column dilewatkan ke hot bead; garam rubidium yang panas akan

memancarkan ion ketika sample yang mengandung nitrogen dan phosphorous

melewatinya; sama dengan pada FID, ion-ion tersebut dihimpun pada collector

dan menghasilkan arus listrik.

i. Photoionization Detector (PID)

digunakan untuk mendeteksi aromatic hydrocarbon atau organo-heteroatom

pada sample; sample yang keluar dari column diberi sinar ultraviolet yang cukup

sehingga terjadi eksitasi yang melepaskan electron (ionisasi); ion/electron ini

kemudian dikumpulkan pada electroda sehingga menghasilkan arus listrik.

j. Thermal Conductivity Detector (TCD)

TCD terdiri dari electrically-heated wire atau thermistor; temperature sensing

element bergantung pada thermal conductivity dari gas yang mengalir

disekitarnya; perubahan thermal conductivity seperti ketika adanya molekul

organik dalam sample yang dibawah carrier gas, menyebabkan kenaikan


temperature pada sensing element yang diukur sebagai perubahan resistansi. 11)

Photodiode Array Detector (PAD); merupakan linear array discrete photodiode

pada sebuah IC; pada spectroscopy, PAD ditempatkan pada image plane dari

spectroscopy sehingga memungkinkan deteksi panjang gelombang pada rentang

yang luas bisa dilakukan secara simultan.

Tipe Kolom dan Pengoperasian Kolom

Kolom dimana pemisahan terjadi, memiliki dua tipe dasar yaitu Kolom

kemasan konvensional dan Kolom kapiler atau Kolom tabung terbuka. Kolom dapat

dioperasikan dengan dua cara , yaitu : secara isotermal (temperatur konstan) dan

temperatur terprogram (variabel peningkatan temperatur dan waktu ditahan pada

temperatur konstan).

 Operasi Isotermal

Pada operasi isotermal, temperatur kolom dijaga konstan. Batas temperatur

maksimum dan minimum dipengaruhi stabilitas dan karakter fisik fase diam. Batas

bawah ditentukan oleh titik beku dan batas atas ditentukan oleh “bleed” dari fase

diam. Bleed adalah fase diam masuk ke detektor. Secara umum pada mode

operasional ini, injektor dioperasikan 30oC diatas temperatur komponen dengan

titik didih maksimum (kolom kemasan konvensional).

 Operasi temperatur terprogram (TPGC)

Pada kromatografi gas temperatur terprogram, temperatur oven

dikendalikan oleh sebuah program yang dapat mengubah tingkatan pemanasan

yang terjadi antara 0,25oC sampai 20oC. Sebuah oven massa rendah mengijinkan

pendinginan dan pemanasan cepat dari kolom yang dapat ditahan sampai 1oC dari

temperatur yang diperlukan. Pada operasi temperatur terprogram diperlukan


pengendali aliran untuk memastikan kesetabilan aliran gas. Kestabilan aliran

sangat diperlukan untuk mencapai stabilitas hasil detektor yang baik yang

ditunjukan pada garisbawah/baseline datar yang stabil. Fase diam harus stabil

secara termal melewati range temperatur yang lebar. Bleed dapat diganti dengan

menjalankan dua kolom yang identik secara tandem, satu untuk pemisahan

komponen dan yang lain untuk melawan “bleed”.

IV. CARA KERJA

1. Pembuatan Standar Eksternal (etanol 8% v/v)

Diteradengan
Dipipetetanolse Dipindahkankel
methanoldandi
banyak 2 mL abutakar 25 mL
homogenkan

2. Pembuatan Standar Internal (etanol 8% v/v)

Dipipetetanoldan Ditera dengan


Dipindahkankel
propanol masing- methanol dan
abutakar 25 mL
masingsebanyak 2 mL dihomogenkan

3. Preparasi Sampel untuk metode standar ekternal

Dipindahkan ke Ditera dengan


Dipipetsampels
labu takar 25 methanol dan
ebanyak 5 mL
mL dihomogenkan

4. Preparasi Sampel untuk metode standar internal

Ditambahkan 2
Dipipetsampels Dipindahkankel mL propanol
ebanyak 5 mL abutakar 25 mL (standar
internal)

Ditera dengan
methanoldan
dihomogenkan
V. DATA PENGAMATAN

Tabel Data Pengamatan Fisika Sampel dan Reagen


No. Nama Bahan atau Reagen Pengamatan Fisik
Warna Bau Wujud
1. Metanol Tidak berwarna Bau Khas Cairan
Alkohol
2. Etanol Tidak berwarna Bau Khas Cairan
Alkohol
3. Propanol Tidak berwarna Bau Khas Cairan
Alkohol

Data Pengukuran Sampel Menggunakan Alat Kromatografi Gas


 Type Detektor : FID ( Flame Inzation Detector).
 Kolom : Kolom Packing
 Tamperatur Kolom Awal : 55 ℃
 Tamperatur Kolom Akhir : 110 ℃
 Tamperatur Injektor : 165 ℃
 Tamperatur Detektor : 170 ℃
 Tekanan Sebelum Masuk Ke Alat : 48,5 Kpa
 Gas Pendukung : Udara
 Fase Gerak : Helium
 Fase Diam : OV-17
 Titik Didih Metanol : 64,7 ℃
 Titik Didih Etanol : 78,37 ℃
 Titik Didih Propanol : 97 ℃
Data Hasil Pengukuran Zat Murni Yang Digunakan
Waktu Retensi
No. Uraian Luas Area
(RT)
1. Metanol 0,551 6223586,4
2. Etanol 0,555 1704088,3
3. Propanol 0,936 3058322,0

Data Hasil Pengukuran Standar


Waktu Retensi
No. Uraian Senyawa Luas Area
(RT)
Standar Metanol 0,420 7395001,7
1.
Eksternal Etanol 0,825 6025626,8
Metanol 0,574 5535503,2
2. Standar Internal Etanol 0,473 5813988,2
Propanol 0,859 4707115,6
Data Hasil Pengukuran Sampel
Waktu Retensi
No. Uraian Senyawa Luas Area
(RT)
Sampel Metanol 0,502 8133837,9
1.
Eksternal Etanol 0,820 15395594,6
Metanol 0,477 5916738,0
2. Sampel Internal Etanol 0,533 9831084,5
Propanol 0,859 80352234,6

Data Pentuan Kadar Etanol


Luas Area Luas AreaC
Kadar
No Tipe (Standar) (Sampel)
Standar
Fp Analit
. Standar Etanol
Etanol Propanol Etanol Propanol (%)
(%)
1. Eksternal 7395001,7 - 15395594,6 - 8% 12,5 16,66
2. Internal 5813988,2 4707115,6 4707115,6 80352234,6 8% 12,5
Bias Kadar Analit Metode
Eksternal dan Internal

 Perhitungan Penetuan Konsentrasi Standar

𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝐸𝑡𝑎𝑛𝑜𝑙 (𝑚𝐿)


𝐶 𝑠𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟 (%) = 𝑋 100%
𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝐿𝑎𝑟𝑢𝑡𝑎𝑛 (𝑚𝐿)

4,00 𝑚𝐿
𝐶 𝑠𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟 (%) = 𝑋 100%
5,00 𝑚𝐿
𝐶 𝑠𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟 (%) = 8,00 % (b/b)

 Perhitungan Penentuan Konsentrasi Etanol dalam Sampel Menggunakan Standar


Eksternal

𝐿𝑢𝑎𝑠 𝐴𝑟𝑒𝑎 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙


𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐸𝑡𝑎𝑛𝑜𝑙 (%) = 𝑋 𝐶 𝑠𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟 (%)
𝐿𝑢𝑎𝑠 𝐴𝑟𝑒𝑎 𝑆𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟

15395594,6
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐸𝑡𝑎𝑛𝑜𝑙 (%) = 𝑋 8%
7395001,7
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐸𝑡𝑎𝑛𝑜𝑙 (%) = 16,66 %

 Perhitungan Penentuan Konsentrasi Etanol dalam Sampel Menggunakan Standar


Internal

𝐿𝑢𝑎𝑠 𝐴𝑟𝑒𝑎 𝐸𝑡𝑎𝑛𝑜𝑙 (𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙)


𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐸𝑡𝑎𝑛𝑜𝑙 (%) = 𝑋 𝐶 𝑠𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟 (%)
𝐿𝑢𝑎𝑠 𝐴𝑟𝑒𝑎 (𝑆𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟)

15395594,6
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐸𝑡𝑎𝑛𝑜𝑙 (%) = 𝑋 8,00 %
7395001,7
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐸𝑡𝑎𝑛𝑜𝑙 (%) = 16,66 %
 Perhitungan Penetuan Konsentrasi Etanol dalam Sampel Menggunakan Standar
Eksternal
Cara Diktat
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐸𝑡𝑎𝑛𝑜𝑙 (%)
𝐿. 𝐴. 𝐸𝑡𝑎𝑛𝑜𝑙 (𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙) 𝐿. 𝐴. 𝑃𝑟𝑜𝑝𝑎𝑛𝑜𝑙 (𝑆𝑡𝑑. )
= 𝑋 𝑋 𝐶 𝑆𝑡𝑑. (%)𝑋 𝐹𝑃
𝐿. 𝐴. 𝑃𝑟𝑜𝑝𝑎𝑛𝑜𝑙 (𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙) 𝐿. 𝐴. 𝐸𝑡𝑎𝑛𝑜𝑙 (𝑆𝑡𝑑. )

4707115,6 4707115,6
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐸𝑡𝑎𝑛𝑜𝑙 (%) = 𝑋 𝑋8,00 %𝑋12,5
80352234,6 5813988,2

𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐸𝑡𝑎𝑛𝑜𝑙 (%) = 9,90 %


Cara Modifikasi
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐸𝑡𝑎𝑛𝑜𝑙 (%)
𝐿. 𝐴. 𝐸𝑡𝑎𝑛𝑜𝑙 (𝑆𝑝𝑙. ) 𝐿. 𝐴. 𝑃𝑟𝑜𝑝𝑎𝑛𝑜𝑙 (𝑆𝑝𝑙. )
= 𝑋 𝑋 𝐶 𝑆𝑡𝑑. (%)𝑋 𝐹𝑃
𝐿. 𝐴. 𝐸𝑡𝑎𝑛𝑜𝑙 (𝑆𝑡𝑑. ) 𝐿. 𝐴. 𝑃𝑟𝑜𝑝𝑎𝑛𝑜𝑙 (𝑆𝑡𝑑. )

9831084,5 80352234,5
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐸𝑡𝑎𝑛𝑜𝑙 (%) = 𝑋 𝑋8,00 %𝑋 12,5
5813988,2 4707115,6

𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐸𝑡𝑎𝑛𝑜𝑙 (%) = 2886,491 %

VI. PEMBAHASAN

Pemisahan pada kromatografi gas didasarkan pada perbedaan kecepatan

migrasi komponen-komponen suatu cuplikan di dalam kolom. Perbedaan migrasi

ini terjadi karena perbedaan interaksi komponen-komponen tersebut dengan fasa

diam dan fasa gerak. Fasa diamnya berupa cairan yang melekat pada zat

pendukung (adsorben), sedangkan fasa geraknya berupa gas.Karena gas ini

berfungsi membawa komponen-komponen sepanjang kolomhingga mencapai

detektor, maka fasa gerak disebut juga sebagai gas pembawa (carrier gas).

Pada percobaan ini, gas pembawa yang digunakan adalah nitrogen.Gas

pembawa mengalir dengan cepat, oleh karena itu proses pemisahan hanya

membutuhkan waktu beberapa menit saja. Inilah keuntungan pemisahan dengan

menggunakan GC. Namun, tidak semua senyawa dapat dipisahkan dengan

menggunakan metode kromatografi gas. Senyawa-senyawayang dapat dipisahkan


dengan menggunakan metode ini adalah senyawa yang memenuhi dua

persyaratan berikut :

 Mudah menguap saat diinjeksikan

 Stabil pada suhu pengujian (50-300°C) yakni tidak mengalami

penguraian atau pembentukan menjadi senyawa lain.

Pada percobaan ini, kolom yang digunakan adalah kolom kapiler berdiameter

sebesar 0,25 mm dengan DB-1 yaitu polyxiloxan sebagai fasa diam. Kolom kapiler

ini diposisikan melingkar sehingga dapat masuk kedalam oven.Seperti yang telah

dikemukakan di atas, gas pembawa yang digunakan adalah nitrogen dengan

kemurnian sebesar 99,995 % , sedangkan hydrogen dan oksigen berperan sebagai

gas pembakar.

Komponen-komponen sampel akan dibawa fase gerak menuju detektor dan

hasilnya direkam oleh recorder. Detektor yang digunakan ialah detektor ionisasi

nyala (Flame Ionization detector). Detektor ini bekerja berdasarkan pembakaran

solut sehingga terjadi ionisasi. Ion akan ditangkap oleh pengumpul ion dan

meningkatkan daya hantar, dan karenanya akan meningkatkan arus listrik yang

mengalir di antara dua elektrode. Arus diperkuat oleh amplifier dan direkam oleh

rekorder. FID ini mengukur C+ sehingga hasil yang didapat cukup peka dan sensitif.

FID menggunakan bahan bakar gas hidrogen dan oksigen yang diatur

perbandingan dan kecepatannya untuk memperoleh tanggapan FID yang optimal.

Pada percobaan ini penentuan kadar sampel dan pemisahannya dengan

metode operasi isotermal. Adapun Suhu injektor diset pada suhu 150°C, detektor

pada suhu 150°C dan kolom suhu mencapai120°C. Hal ini bertujuan agar semua

komponen berubah menjadi gas dan keluar meninggalkan kolom. Sebelum


dilakukan pengukuran, instrumen GC harus dibiarkan selama ± 1 jam agar aliran

gas pembawa tetap sehingga kolom tidak akan cepat rusak.Selain berfungsi dalam

pemisahan, kromatografi gas juga dapat digunakan dalam analisa, baik analisa

sampelinternal maupuneksternal.

Analisa sampelinternal dan eksternal dilakukan dengan cara membandingkan

waktu retensi analit dengan waktu retensi standar. Untuk mendapatkan waktu

retensi standar dapat dilakukan dengan percobaan kromatografi gas untuk senyawa

yang telah diketahui. Adapun senyawa yang digunakan sebagai standar adalah

etanol dan dietil eter.

Pada percobaan ini Ketika sampel dianalisis, timbul dua buah puncak . Dari

analisis kualitatif diketahui masing - masing puncak timbul di sekitar waktu retensi

berada di sekitar waktu retensi etanol. Selanjutnya konsentrasi analit ditentukan

dengan membandingkan area suatu peak terhadap total area semua komponen.

Dengan metode ini didapatkan kadar setiap senyawa yang terdapat dalam cuplikan

yaitu kadar etanol dalam sampel eksternal sebesar 16,66% dan etanol dalam

sampel internal sebesar 9,90%.(metode diktat) dan kadar etanol dalam sampel

internal sebesar 288,49% (metode modifikasi)

VII. KESIMPULAN

Dari hasil percobaan didapat :

 Kadar Etanol dalam sampel eksternal sebesar 16,66 %

 Kadar Etanol dalam sampel internal sebesar 9,90 % (menggunakan cara di

diktat)

 Kadar Etanol dalam sampel internal sebesar 2886,49 % ( menggunakan cara

yang telah dimodifikasi)


TEST FORMATIF

1. Apa manfaat standar internal, bandingkan kelebihannya dengan standard

eksternal ?

Jawab: Metode standard berfungsi untuk mengeliminasi kesalahan dalam

proses injeksi dalam kromatografi gas. Injeksi memiliki kemungkinan kesalahan

besar, saat cuplikan mencapai detector, cuplikan sudah menguap terlebih dahulu

sehingga saat masuk kedalam kolom jumlahnya menjadi berkurang. Sedangkan

metode eksternal digunakan ketika yang sesuai standar internal yang dapat

dipisahkan dari komponen-kompenen dari campuran tidak dapat dipisah, dalam

hal ini standard eksternal digunakan sebagai kromatogram terpisah dibawah

kondisi yang persis sama. Sifat standard dari kromatogram terpisah ini kemudian

dibandingkan dengan sifat-sifat zatter larut dalam kromaotgram dari campuran.

2. Mengapa propanol yang dijadi kanstan dari internal ?

Jawab: Dalam percobaan ini digunakan propanol sebagai standar internal

karena kemiripan sifat dengan etanol, mempunyai waktu retensi yang hamper

sama dengan etanol, kemurniannya yang tinggi, dan mempunyai titik didih yang

tidak terlalu jauh dengan etanol.

3. Apakah toluene dapat dijadikan standard internal pada penetapan etanol ?

Jawab: Tidak bisa, karena mempunyai perbedaan sifat yang jauh, etanol

adalah golongan alcohol sedangkan toluene adalah senyawa aromatic.


Percobaan 2

PENETAPAN KADAR TOLUENE DALAM SAMPEL PENGENCER CAT


SECARA KROMATOGRAFI GAS
KELOMPOK 2 :

1. ABDUL MAULANA

2. EKA MIKHA MANIK

3. KRESNANDA BINTANG PANGESTU

4. M TAUFIK PUTRA

5. THERESIA OKTAVIANI

6. RANNY NOVIANTI

7. RIZKY INDERA PERMANA PUTRA

I. Tujuan

Menetapkan kadar toluene dalam sampel pengenceran cat secara

kromatografi gas.

II. Prinsip

Larutan pengenceran cat merupakan senyawa organik yang bersifat volatil,

oleh karena itu komponennya dapat dipisahkan secara kromatografi gas

dengan menggunakan detektor Flame Ionization Detector (FID) yang sensitive

terhadap hidrokarbon, dalam FID solute yang keluar dari kolom dicampur H 2

dan udara kemudian dibakar pada nyala bagian dalam detektor.

III. Dasar teori

Kromatografi secara bahasa berasal dari kata chroma dan graphein yang

berarti menulis warna. Kromatografi adalah metode pemisahan secara fisika.

Komponen yang dipisahkan, didistribusikan diantara dua fasa, yaitu fasa diam
dan fasa gerak yang akan terus menerus mengalir menurut arah tertentu.

(Ismail. 2013:1)

Kromatografi gas merupakan salah satu teknik kromatografi yang biasa

digunakan untuk memisahkan senyawa-senyawa organik. Senyawa tersebut

harus sudah menguap dan stabil pada temperatur pengujian. Senyawa yang

sukar menguap atau tidak stabil juga dapat diukur tetapi harus melalui proses

derivatisasi terlebih dahulu. (Tim Kimia Analitik Instrumen. 2016: 21)

Kromatografi dibagi menjadi dua jenis, yaitu:

a. Kromatografi Gas Padat (KGP)

Prinsip : Adsorpsi

b. Kromatografi Gas Cair (KGC)

Prinsip : Partisi

Pemisahan dengan kromatografi didasarkan pada perbedaan

kesetimbangan komponen-komponen campuran diantara fasa gerak dan fasa

diam.

Menurut Hendayana (1994: 246) pada kromatografi gas, dapat dilakukan

untuk analisis kualitatif dan kuantitatif . Untuk analisis kualitatif, maka

digunakan data waktu retensi. Namun, analisis kuantitatif dari metode ini dapat

didasarkan pada luas puncak atau tinggi puncak.

Peak yang diharapkan bentuknya adalah runcing dan simetri. Peak akan

efisien bila tidak tumpang tindih, akan tetapi peak yang muncul kadanf-kadang

melebar. Pelebaran pada kromatogram atau dikenal “Band Boardening”

disebabkan oleh hal-hal berikut:

a. Difusi Eddy
Difusi Eddy adalah proses mengalirnya molekul analit (sampel) yang tidak

seragam karena lintasan yang ditempuh dalam kolom berbeda-beda, sehingga

jarak yang ditempuh juga berbeda. Perbedaan lintasan ini disebabkan karena

sampel harus melewati celah-celah di sekitar partikel fasa diam yang berbelok-

belok dan bercabang-cabang.

b. Difusi Longitudinal

Difusi longitudinal yaitu penyebaran analit karena difusi molekul fasa gerak

berlawanan dengan arah aliran. Jenis difusi ini merupakan pergerakan alami

dari sampel dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah. Difusi longitudinal

berpengaruh terhadap pelebaran puncak kromatogram yang tergantung pada

koefisien difusi solut dalam fasa gerak dan lamanya solut berada dalam kolom.

c. Transfer Massa

Transfer massa disebabkan karena sebagian solut berada dalam fasa gerak

dan sebagian dalam fasa diam. Bila fasa gerak mengalir cepat sementara

sebgaian solut tidak dapat keluar dari fasa diam secara cepat, maka sebagian

solut terlambat meninggalkan kolom. Reaksi.

d. Harga Koefisien Distribusi yang tidak tetap

Bagan Alat Kromatografi Gas


Mekanisme kerja kromatografi gas adalah sebagai berikut:

1. Gas silinder baja bertekanan tinggi dialirkan melalui kolom yang berisi fasa

diam.

2. Cuplikan berupa campuran yang dipisahkan, biasanya berbentuk larutan,

disuntikan kedalam aliran gas tersebut.

3. Cuplikan dibawa oleh gas pembawa kedalam kolom, terjadi pemisahan di

dalam kolom.

4. Komponen campuran yang telah terpisahkan, satu persatu meninggalkan

kolom.

5. Suatu detektor diletakkan diujung kolom untuk mendeteksi jenis maupun

jumlah tiap komponen campuran.

6. Hasil pendeteksian direkan dengan rekorder dan dinamakan kromatogram yang

terdiri dari beberapa peak.(Hendayana. 2010:32)

Adapun komponen-komponen instrumentasi kromatografi gas adalah sebagai

berikut:
1. Gas Pembawa

Gas pembawa berfungsi sebagai fasa fasa gerak dan gas yang dapat digunakan

sebagai fasa gerak dalam kromatografi gas harus bersifat inert (tidak bereaksi)

dengan cuplikan maupun fasa diam. Gas-gas yang biasa digunakan adalah gas

helium, argon, nitrogen, dan hidrogen. Karena gas disimpan dalam silinder baja

bertekanan tinggi, maka gas tersebut akan mengalir dengan sendirinya secara

cepat sambil membawa komponen-komponen campuran yang akan atau yang

sudah dipisahkan. Pemilihan gas pembawa yang digunakan sering ditentukan oleh

alat detektor. Namun, dalam hal efisiensi, gas H2 merupakan pilihan gas pembawa

yang baik. Jika percobaan dilakukan pada tekanan tetap, kecepatan alir akan

berkurang ketika suhu dinaikkan. Keuntungan lain gas pembawa H2 adalah

memberikan efisiensi relatif stabil dengan perubahan kecepatan alir. Sayangnya,

gas H2 mudah meledak bila berkontak dengan udara. Oleh karena itu, gas He

banyak digunakan sebagai pengganti gas H2.

2. Pemasukan Cuplikan

Pada kromatografi gas, sampel yang dapat dianalisis adalah berupa zat cair

atau gas. Syaratnya cuplikan tersebut mudah menguap dan stabil pada suhu

operasional. Dalam tempat pemasukan cuplikan terdapat pemanas yang suhunya

dapat diatur untuk menguapkan cuplikan. Suhu tempat penyuntikkan cuplikan

biasanya sekitar 40°C diatas titik didih cuplikan. Bila cuplikan rusak pada suhu

tersebut, maka cuplikan tersebut tidak dapat di analisis dengan teknik

kromatografi gas. Jumlah cuplikan yang disuntikkan ke dalam aliran fasa gerak

sekitar 5 µm.
Tempat pemasukkan cuplikan cair ke dalam pak kolom biasanya terbuat dari

tabung gelas di dalam blok logam panas. Cuplikan disuntikkan dengan bantuan

alat suntik melalui karet septum kemudian diuapkan di dalam tabung gelas. Gas

pembawa meniup uap cuplikan melalui kolom kromatografi.

3. Pemrograman Suhu

Untuk memsikahkan senyawa dengan rentang titik didih yang besar atau

kepolarannya, dilakukan pengaturan kenaikan suhu selama pemisahan. Teknik

tersebut dinamakan pemrograman suhu. Suhu awal kolom diatur pada 40°C

diprogram dengan kenaikan 8°C/menit sampai 150°C ditahan 2 menit. Suhu

inejktor diatur pada 150°C dan suhu detektor diatur pada 250°C.

4. Kolom Kromatografi

Kolom merupakan bagian terpenting dalam proses pemisahan komponen

dalam kromatografi gas. Kolom merupakan tempat terjadinya proses

pemisahan. Sebuah kolom kromatografi menyediakan tempat untuk menahan

fasa diam secara fisik. Bentuk kolom juga mempengaruhi jumlah sampel yang

dapat ditangani, efisiensi dari pemisahan, jumlah analit yang dapat dipisahkan

dengan mudah, dan jumlah waktu yang di butuhkan untuk pemisahan.

Kolom yang digunakan pada praktikum berjenis kolom pak yang berisi fasa

diam DB-5 yang berisi fenilmetilpolisoksan yang bersifat polar.

5. Detektor

Detektor adalah alat ukur dalam sistem kromatografi, mendeteksi adanya

senyawa dalam gas yang mengalir meninggalkan kolom. Detektor ditempatkan

dalam daerah pemisahan kontrol panas dalam alat.


Detektor yang digunakan dalam analisis adalah detektor FID (Flame Ionization

Detector). Dalam flame ionisasi detektor, solute yang keluar dari kolom

dicampur H2 dan udara kemudian dibakar pada nyala bagian dalam detektor.

Atom karbon senyawa organik dapat menghasilkan radikal CH yang

selanjutnya menghasilkan ion CHO+ dalam nyala hidrogen-udara.

CH + O  CHO+ + e-

CHO+ yang dihasilkan dalam nyala bergerak ke katoda yang berada di atas

nyala. Arus yang mengalir diantara anoda dan katoda diukur dan

diterjemahkan sebagai sinyal pada rekorder. Detektor ini jauh lebih peka

daripada detektor daya hantar panas. Kepekaan detektor ionisasi nyala akan

lebih meningkat kalau N2 digunakan sebagai gas pembawa.

6. Amplfier

Amplifier adalah alat untuk memperkuat sinyal dari detektor dan

mengubah pancaran elektronik menjadi sistem data yang dapat diterjemahkan

oleh komputer. (Hendayana. 2010; Ismail. 2013; Hendayana. 1994; Gritter.

1991)

Kromatografi gas dapat digunakan untuk analisis kualitatif maupun kuantitatif.

Analisis kualitatif dilakukan dengan cara membandingkan waktu retensi, ko-

kromatografi, spiking, dan spektrometri. (Tim Kimia Anlaitik Instrumen.

2016:18)

Dengan menggunakan prinsip kromatografi gas, yaitu perbedaaan

kesetimbangan komponen-komponen campuran diantara fasa gerak dan fasa

diam maka komponen heksana, toluena, dan xilena.


Komponen heksana, toluena, dan xilena dapat terpisah saat diproses

dengan alat kromatografi gas karena perbedaan kepolaran diantara ketiga

komponen tersebut. Pada alat kromatografi gas, fasa diam dan fasa gerak

merupakan yang paling penting guna memisahkan komponen yang diinginkan.

Fasa diam yang digunakan adalah DB-5 yang komponen utamanya adalah

fenilmetilpolisoksan yang bersifat polar dan fasa gerak yang digunakan adalah

gas hidrogen yang bersifat nonpolar.

Selain kepolaran, titik didih dari komponen heksana, toluena, dan xilena

juga mempengaruhi waktu yang dibutuhkan sampel untuk keluar dari kolom.

Komponen dengan titik didih rendah akan lebih cepat menguap dan terbawa

oleh fasa gerak.

Tabel 1. Data berat molekul, indeks polaritas dan titik didih dari komponen

heksana, toluena, dan xilena.

Bahan Berat Molekul Titik Didih (°C) Indeks

(g/mol) Polaritas (D)

Heksana 86 68,95 0,1

Toluena 92,13 110 2,4

Xilena 106,16 138,35 (para) 2,5


IV. Cara kerja

1. Pembuatan Larutan Standar 4, 8, 12, 16, dan 20 % v/v Toluene

Larutan standar Toluene

4% 8% 12 % 16 % 20 %
1 mL 2 mL 3 mL 4 mL 8 mL
(std 2)

Dimasukkan ke
labu takar 25
mL

.Ditera dengan
methanol dan
dihomogenkan

2. Preparasi Sampel Pengenceran Cat

Diencerkan 5
Sampel Cat kali dengan
methanol

V. Data Pengamatan

Kondisi GC yang digunakan

Nama alat : Kromatografi Gas

Merk alat : Shimadzu

Tipe Alat : GC-2010

Suhu Injektor : 150°C

Suhu detector : 150°C

Suhu kolom akhir : 120°C


Laju kenaikan suhu : 5°C/menit

Detector : FID

Tipe kolom : Capilary coloumn

Fase diam : Dipenil5%-95% dimethyl siloxane

Panjang kolom : 30 meter

VI. Perhitungan

 Data pengamatan untuk analisis pengencer cat. Data Standart Toluena

No Standar (%) Rt (menit) Luas Area Tinggi peak

1 Toluena Murni 5,528 - -

2 4 5,166 11821814 3148677

3 8 5,198 27545227 6737923

4 12 5,190 42903485 3489651

5 16 5,142 55190539 9879134

6 20 5,090 58083700 9877354

Slope 3113450

Intersep 1456299

R 0,9870
Intersept Slope Yi Yc
Standar
No (Satuan (Satuan (Satuan (Satuan
(%)
Luas) luas/%) Luas) Luas)

1 0 0 1456299

2 4 11821814 13910097

3 8 27545227 26363895
1456299 3113450
4 12 42903485 38817693

5 16 55190539 51271491

6 20 58083700 63725289

Kurva Kalibrasi Deret Standar Toluena


70000000
60000000 y = 3E+06x + 1E+06
R² = 0.9742
50000000
Luas Are

40000000
30000000 Series1
20000000 Linear (Series1)
10000000
0
0 5 10 15 20 25
Konsentrasi (%)

 Data pengamatan Sampel

Nama Komponen Rt (menit) Luas Area Tinggi Peak

Sampel A 1 2,383 75687853 24765474

2 3,637 39048788 14642895

3 5,186 31566711 7116479


4 7,505 17466769 3293046

Sampel B 1 2,461 80263073 25917669

2 3,673 2021195 894102

3 5,139 3623530 1492399

4 7,446 226450 783379

Perhitungan Kadar Toluena dalam Sampel

Sampel A

31566711 (𝑆𝑎𝑡𝑢𝑎𝑛 𝐿𝑢𝑎𝑠)−1456299 (𝑆𝑎𝑡𝑢𝑎𝑛 𝐿𝑢𝑎𝑠)


C terukur (%) = = 9,67 % (𝑣⁄𝑣 )
3113450 (𝑆𝑎𝑡𝑢𝑎𝑛 𝐿𝑢𝑎𝑠⁄%)

9,67 𝑚𝑙 𝑔
C terukur (%) (𝑏⁄𝑣) = 100 𝑚𝑙 × 0,8669 ⁄𝑚𝐿 × 100% = 8,38 (𝑏⁄𝑣)

Kadar Toluena (%) = C terukur (%) x Fp

Kadar Toluena (%) = 8,38 % × 1 = 8,38 % (𝑏⁄𝑣)

Sampel b

3623530 (𝑆𝑎𝑡𝑢𝑎𝑛 𝐿𝑢𝑎𝑠)−1456299 (𝑆𝑎𝑡𝑢𝑎𝑛 𝐿𝑢𝑎𝑠)


C terukur (%) = = 0,70 % (𝑣⁄𝑣 )
3113450 (𝑆𝑎𝑡𝑢𝑎𝑛 𝐿𝑢𝑎𝑠⁄%)

0,70 𝑚𝑙 𝑔
C terukur (%) (𝑏⁄𝑣) = 100 𝑚𝑙 × 0,8669 ⁄𝑚𝐿 × 100% = 0,61 (𝑏⁄𝑣)

Kadar Toluena (%) = C terukur (%) x Fp

Kadar Toluena (%) = 0,61 % × 5 = 3,03 % (𝑏⁄𝑣)


VII. Pembahasan
Pada praktikum kali ini dilakukan penentuan kadar toluena dalam sampel
dengan menggunakan teknik kromatografi gas yang bertujuan untuk mengenal
pengoperasian alat kromatografi gas, dan dapat memahami cara kerja instrument
GC untuk analisis kualitatif dan kuantitatif.
Prinsip dasar kromatografi gas adalah suatu metode pemisahan dan
pengukuran yang didasarkan pada perbedaan distribusi komponen-komponen
dalam sampel diantara dua fasa yaitu fasa gerak dan fasa diamnya. Kriteria senyawa
yang dapat ditentukan dengan kromatografi gas adalah senyawa yang mudah
menguap dan stabil pada temperature pengujian. Toluena dan premium
merupakan senyawa yang mudah menguap serta stabil pada suhu pengoperasian
sehingga dapat ditentukan dengan kromatografi gas. Baik sebagai analisis kualitatif
ataupun kuantitatif.
Alat/instrument yang digunakan pada praktikum kali ini adalah GC-MS, yaitu
suatu alat kromatografi gas yang dihubungkan dengan detector MS (Mass
Spectroscopy). Tahapan dari pengoperasian alat ini adalah menyalakan power
supply, IG, MS dan GC secara berurutan, pilih Class-5000 kemudian set suhu injector
sebesar 150oC dan suhu detector sebesar 150°C. Suhu kolom mula-mula pada suhu
50oC selama 5 menit, kemudian terjadi kenaikan suhu sebesar 5oC/menit hingga
suhu kolom akhir 120oC. Parameter lain yang harus diatur pada instrument GC-MS
ini antara lain aliran fasa geraknya yaitu sebagai gas pembawa yang digunakan
adalah Helium Ultra High Pure bersifat inert dan tidak bereaksi dengan fasa diam
atau cuplikan. Gas helium memberkian resolusi yang lebih baik pada kecepatan alir
yang tinggi karena solut berdifusi lebih cepat melalui helium dibandingkan gas
nitrogen. Setelah semua parameter dikondisikan, aktifkan tuning, klik auto tune,
load method yang akan digunakan, klik start tunggu beberapa start samapai
hasilnya, setelah selesai klik close tuning. Aktifkan method development, set GC
parameter, set MS parameter, save method yang akan dideskripsikan, klik exit.
Aktifkan real time analysis, pilih single sample parameter, isi deskripsi yang
diinginkan. Lakukan send parameter. Tunggu hingga GC dan MS ready, kemudian
sampel siap diinjeksi. Selanjutnya aktifkan Post run analysis, pilih browser untuk
analisis sampel secara kualitatif menggunakan MS. Load file yang akan dianalisa,
lakukan pengaturan peak top comment (peak label) dan lakukan reintegrasi. Pilih
display spektrum search pada peak tertentu. Lakukan report pada yang bagian yang
diinginkan. Untuk mengakhiri, dinginkan temperatur injector, kolom dan detektor
pada GC-MS monitor sampai temperatur ruangan (30oC). Bila sudah terkontrol, klik
vacum control, lakukan auto shut down. Perangkat alat dimatikan secara berurutan
dari computer, GC, MS IG kemudian gas Helium.
Suhu tempat penyuntikan cuplikan atau suhu injector biasanya sekitar 50°C
di atas titik didih cuplikan. Suhu injector diset pada 150°C, hal ini sesuai dengan titik
didih heksana (69°C), toluene (111°C), dan xilena (144°C) yang semuanya berada di
bawah suhu injector. Sehingga ketika diinjeksikan senyawa-senyawa tersebut
berubah menjadi fasa gasnya. Mode operasional pada percobaan kali ini yaitu
dilakukan dengan mode suhu terprogram (suhu kolom dinaikan secara teratur
selama pengukuran). Mode pemrograman suhu memberikan hasil jauh lebih baik
dari pada mode isotermal. Biasanya mode isothermal menghasilkan peak yang
tumpang tindih pada kromatogram sehingga sulit dilakukan identifikasi. Sedangkan
pada mode terprogram komponen keluar dari kolom dengan jarak satu peak ke
peak lain tidak terlalu jauh dan juga tidak terlalu berdekatan. Pada mode
terprogram ini, cuplikan yang masuk ke dalam kolom ketika belum mencapai titik
didihnya akan berkondensasi menjadi cairan dan menjadi gas kemudian dibawa
oleh fasa gerak menuju detector ketika mencapai titik didihnya. Solut yang bertitik
didih rendah dan interaksinya lemah terhadap fasa diam akan keluar lebih dulu dari
kolom dan menuju detector. Sebaliknya solut yang berinteraksi kuat dengan fasa
diam akan keluar lebih lama dari dalam kolom. Prinsip pengukurannya didasarkan
pada respon cuplikan terhadap detector. Read out akan keluar sebagai
kromatogram.
Pada praktikum kali ini, dibuat deret standar dari toluena dengan konsentrasi
4,8,12,16,20 %. Sampel yang akan ditentukan kadar toluenanya berupa sampel yang
tidak beridentitas . Untuk menganalisis hasil dari percobaan dengan kromatografi
gas ini dapat dilakukan analisis kualitatif dan analisis kuantitatif..
Kurva kalibrasi konsentrasi toluene terhadp perbandingan luas area peak
toluene memberikan persamaan regresi y = -205385+2061677(x). Setelah dilakukan
perhitungan diperoleh kadar toluena dalam sampel yang tidak beridentitas sebesar
11.75% dan 31.35%.
VIII. Kesimpulan

Dari Percobaan yang telah dilakukan diperoleh kadar toluene dalam sampel

A sebesar 7,10% (b/v) dan sampel B sebesar 3,03%(b/v)

IX. Daftar Pustaka

1. Gritter, Roy J. dan James Bobbit. 1991. Pengantar Kromatografi

(diterjemahkan pleh Kosasih P.). Bandung: ITB.

2. Hendayana, Sumar. 1994. Kimia Analitik Instrumen. Semarang: IKIP

Semarang.

3. Hendayana, Sumar. 2010. Kimia Pemisahan: Metode Kromatografi dan

Elektroforesis Modern. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

4. Ismail, Krisnandi. 2013. Kromatografi Gas. Bogor: KEMENPERIN SMAKBO.

5. Tim Dosen Kimia Analitik Instrumen. 2016. Penuntun Praktikum Kimia

Pemisahan dan Pengukuran. Bandung: FPMIPA UPI TN. 2015

Pertanyaan

1. Mengapa digunakan detector FID ?

Karena FID mempunyai sensitivitas yang tinggi untuk senyawa organic.

Sesuai dengan sampel yang di tetapkan dalam praktikum ini

2. Apakah viskositas gas makin encer dengan bertambahnya suhu ?

Viskositas akan semakin besar jika suhu dan tekanan tinggi, artinya

interaksi antar molekul juga semakin kuat


3. Apa kegunaan gas Helium, udara, dan hydrogen ?

Gas nitrogen sebagai fase gerak dalam kromatografi gas sedangkan gas

helium dan udara sebagai bahan bakar

4. Apa pengertian dari standar eksternal ?

Standar eksternal digunakan saat standar yang sesuai dengan standar

internal tidak dapat digunakan. Standar eksternal dijalankan sebagai

kromatogram terpisah yang dibandingkan sifatnya dengan zat terlarit

dalam kromatogram campuran.


Percobaan 3

PENETAPAN KADAR VITAMIN C DALAM MINUMAN


SECARA KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT)

I. TUJUAN
Menetapkan Kadar Vitamin C dalam sampel minuman secara Kromatografi
Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

II. PRINSIP
Vitamin C dapat dipisahkan melalui Kromatografi Cair Tingkat Tinggi.
Pemisahan terjadi karena adanya perbedaan distribusi senyawa analit diantara
fase diam dan fase gerak. Mekanisme pemisahan mirip dengan adsorpsi dan
partisi, tetapi pemisahan tidak sama dengan partisi biasa. Hal tersebut terjadi
karena interaksi molekuler lebih kuat dibandingkan sekedar pelarutan pada
mekanisme partisi. Kadar Vitamin C dapat diketahui dengan cara
membandingkan luas area sampel dengan luas area standar pada konsentrasi
tertentu.

III. DASAR TEORI


Kromatografi adalah teknik analisis pemisahan molekul berdasarkan

perbedaan struktur dan/atau komposisi. Umumnya, kromatografi melibatkan

pergerakan sampel dalam sistem melewati fasa diam (stationary phase).

Molekul- molekul dalam sampel akan memiliki perbedaan afinitas dan

interaksi dengan fase diam yang mengakibatkan pemisahan molekul-molekul

tersebut yang ada dalam sampel. Komponen/ molekul sampel yang

berinteraksi dengan fasa diam lebih kuat, akan bergerak lebih lambat didalam

kolom dibandingkan dengan komponen yang berinteraksi lebih lemah.

Pemisahan kromatografi dapat dilakukan dengan variasi fasa diam, termasuk


silika dalam plat gelas (Thin Layer Chromatography), gas volatil (Gas

Chromatography), kertas (Paper Chromatography), dan cairan (Liquid

Chromatography) (Kupiet, 2004)1 .

High Performance Liquid Chromatography (HPLC) adalah teknik

kromatografi cair yang dilakukan untuk memisahkan dan mengukur senyawa

yang telah dilarutkan dalam suatu larutan. HPLC digunakan untuk menentukan

jumlah dari suatu senyawa spesifik dalam suatu larutan. Berikut dibawah ini

merupakan skema alat dari HPLC:

Sistem yang digunakan pada kromatografi, seringnya dikatagorikan dalam

empat tipe berdasarkan proses mekanisme pemisahannya, yaitu adsorpsi,

partisi, ion-exchange, dan size exclusion (ukuran). Dalam skema proses

kromatografi, proses terpenting ada pada bagian kolom dimana terjadinya

proses pemisahan komponen dari sampel. Karena fase diam tersusun dari

partikel dengan pori mikro, maka tekanan yang tinggi dibutuhkan dari pompa

dibutuhkan untuk menggerakkan fase gerak melewati kolom. Setap komponen

yang terelusi dari kolom akan muncul sebagai peak (puncak) pada tampilan

data (Kupiet, 2004).

Kromatografi merupakan salah satu metode pemisahan komponen-

komponen campuran yang berdasarkan distribusi diferensial dari komponen-

komponen sampel diantara dua fasa, yaitu fasa gerak dan fasa diam. Salah

satu teknik kromatografi yang dimana fasa gerak dan fasa diamnya

menggunakan zat cair adalah HPLC (High Performance Liquid

Chromatography) atau didalam bahasa Indonesia disebut KCKT (Kromatografi

Cair Kinerja Tinggi). Teknik HPLC merupakan suatu metode kromatografi cair-
cair, yang dapat digunakan baik untuk keperluan pemisahan maupun analisis

kuantitatif. Analisis kualitatif dengan teknik HPLC didasarkan pada pengukuran

luas area standar. Pada prakteknya, metode pembandingan area standar dan

sampel kurang menghasilkan data yang akurat bila hanya melibatkan suatu

konsentrasi standar. Oleh karena itu, dilakukan dengan menggunakan teknik

kurva kalibrasi. (Wiji, dkk. 2010 : 17)2.

HPLC yang modern telah mucul akibat pertemuan dari kebutuhan,

keinginan manusia untuk meminimalis pekerjaan, kemampuan teknologi, dan

teori untuk memandu pengembangan pada jalur yang rasional. Jelas sebelum

era peralatan yang modern bahwa LC (Liquid Chromatography) memiliki

kekuatan pemisahan yang sangat ampuh, bahkan untuk komponen-komponen

yang berhubungan sangat erat. LC harus ditingkatkan kecepatannya,

diotomasasi, dan harus disesuaikan dengan sampel-sampel yang lebih kecil,

waktu elusi yang beberapa jam (Underwood, Day. 2002)3.

Asam askorbat (vitamin C) merupakan antioksidan yang dapat mencegah

oksidasi, dan merupakan nutrien serta vitamin yang larut dalam air dan

penting untuk menjaga kesehatan. Vitamin C merupakan satu-satunya vitamin

yang memiliki gugus enadiol dengan daya reduksi kuat dan juga pemberi sifat

asam (Moeljohardjo, 1998)4. Vitamin C juga berperan sebagai pemberi

proteksi bagi bagian yang mengandung air dari sel jaringan ataupun organ, dan

sebagai antioksidan untuk menangkal beberapa radikal bebas (Halliwell,

1989)5. Asam askorbat (AsA) diketahui mempunyai potensi sebagai antioksidan

atau sebagai agen sinergistik antioksidan pada beberapa model dan makanan

yang mengadung lipid. Asam askorbat dapat juga mengakibatkan terpacunya


oksidasi (pro-oksidan) pada minyak. Ion besi merupakan hal utama yang

mengakibatkan AsA sebagai pro-oksidan (Yin, et. al., 1993)6

Vitamin C merupakan senyawa yang sangat mudah larut dalam air,

mempunyai sifat asam dan sifat pereduksi yang kuat. Sifat-sifat tersebut

terutama disebabkan adanya struktu lenediol yang berkonyugasi dengan

gugus karbonil dalam cincin lakton. Bentuk vitamin C yang ada di alam

terutama adalah L-asama skorbat. D-asam askorbat jarang terdapat dialam

dan hanya memiliki 10% aktivitas vitamin C. Biasanya D-asam askorbat

ditambahkan kedalam pangan sebagai zat anti oksidan. Struktur keduanya

adalah sebagai berikut (Andarwulan,1989)7.

Gambar 1. Rumus struktur L-asam askorbat

Gugus hidroksil pada atom C3 sangat mudah terionisasi dan memberikan

nilai pH 2,5. Gugus hidroksil pada aton C2 lebih tahan terhadap ionisasi dan

mempunyai nilai pK 2 sebesar 11,4. Struktur enediol pada atom C ke 2 dan 3

dari L-asam askorbat dapat dioksidasi menjadi gugus diketo. Hasil oksidasinya

adalah l-dehidro asam askorbat. Oksidasi L-dahidroasam askorbat

menghasilkan 2,3-deketogulonat yang bersifat irreversibel dan tidak

mempunyai aktivitas vitamin C sama sekali. (Andarwulan,1989).


Bila dibandingkan terhadap kromatografi gas-cair/gas-liquid

chromatography (GLC), maka HPLC lebih bermanfaat unutk isolasi zat ynag

tidak mudah menguap, demikian juga zat yang secara termal tidak stabil.

Tetapi ditinjau dari kecepatan dan kesederhanaan, GC lebih baik. Kedua teknik

ini komplementer satu sama lainnya, keduanya efisien, sangat efisien, sangat

selektif hanya memrlukan sampel sedikit serta keduanya bisa digunakan untuk

analisis kuantitatif. (Khopkar, 2003)8

IV. CARA KERJA :


 Pembuatan Larutan
S Ditimbang 0,01
gram asam
askorbat Labu Ditera dengan
Takar aquabidest dan
100 mL dihomogenkan
tandar 100 mg/L

 Pembuatan Larutan Standar 20 mg/L

Dipipet 10 mL
Labu Ditera dengan
dari Larutan
Takar 50 aquabidest dan
standar 100
mL dihomogenkan
mg/L
 Pembuatan Sampel Minuman

Ditera dengan
Dipipet 10 mL aquabidest dan
Labu
dari Larutan dihomogenkan
Takar 50
standar 100
mL
mg/L
Ditera dengan Labu 5 mL , 10 mL
aquabidest dan Takar 50
dihomogenkan mL
V. DATA PENGAMATAN
Pengkondisian Alat
No Uraian Keterangan
1. Detektor UV/VIS
2. Kolom ODS (Octa Deca Silica) C18
3. Fase Gerak Aquabidest PH 3 : Metanol (70 : 30)
4. Volume injeksi standar 20 μL
5. Volume Injeksi sampel 20 μL
6. Laju Alir 1,5 mL / menit
7. Pompa Double pump
8. Lampu D2
9. Tekanan maksimum
10. Teknik Elusi Isokratik

Data Pengamatan Fisik Sampel dan Reagen


No Nama Bahan atau Pengamatan Fisik
Reagen Bau Warna Wujud
1. Sampel Minuman Khas Jeruk Jingga Cairan
2. Asam Askorbat Tidak berbau Putih Serbuk
3. Aquabidest Tidak berbau Tidak Cairan
berwarna
4. Metanol Bau Khas Tidak Cairan
metanol Berwarna
5. Asam Sulfat Tidak Berbau Tidak Cairan
Berwarna
Data pembuatan larutan Standar Asam Askorbat
Bobot Asam Volume Labu
Perhotungan Konsentrasi
Askorbat Takar Warna Larutan
Standar Asam Askorbat (mg/L)
(mg) (mL)
10,00 100 Tidak Berwarna C standar =
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑎𝑠𝑎𝑚 𝑎𝑠𝑘𝑜𝑟𝑏𝑎𝑡 (𝑚𝑔)
𝑉 𝐿𝑇 (𝐿)
𝑚𝑔
Cstd = 0,1 𝐿 =10 mg/0,1 L=

100 ppm

Data Preparasi Sampel dan Penentuan Kadar Vitamin C dalam Sampel


Luas Area Volume
C terukur Kadar Vitamin
analit Luas Area Labu
No dialat Fp C dalam
dalam standar Takar awal
(mg/L) sampel (mg/L)
sampel (L)
1. 347319 353990 19,62 10 0,05 7546,15
2. 171479 353990 9,69 5 0,05 7453,85
Rata – rata (mg/L) 7500,00
SD 65,26
%RSD 0,87

VI. PERHITUNGAN
 Pembuatan Larutan Standar 100 mg/L
Bobot asam askorbat untuk larutan standar 100 mg/L
Bobot asam askorbat = C standar (mg/L) x V LT (L)
= 100 mg/L x 0,1 L
= 10 mg = 0,01 gram
 Pembuatan standar 20 mg/L
V1 X C1 = V2 X C2
V1 X 100 mg/L = 50 mL x 20 mg/L
50 𝑚𝐿 𝑥 20 𝑚𝑔/𝐿
V1 = = 10 𝑚𝐿
100 𝑚𝑔/𝐿
 C terukur
Cterukur sampel = (Luas Area Sampel/Luas Area Standar)x Cstd
5x pengenceran = (347319/353990) x 20 mg/L
= 19,62 mg/L
Cterukur sampel = (Luas Area Sampel/Luas Area Standar)x Cstd
10x pengenceran = (171479/353990) x 20 mg/L
= 9,69 mg/L
 Kadar (mg/L)
Pengenceran 5x
Kadar (mg/L) = ( Cterukur (mg/L) x V LT awal (L) x Fp )/ V sampel (mL)
= ( 19,62 mg/L x 50 mL x 5 )/ 0,65 mL
= 7546,15 mg/L
Pengenceran 10 x
Kadar (mg/L) = ( Cterukur (mg/L) x V LT awal (mL) x Fp )/ V sampel (mL)
= ( 9,69 mg/L x 50 mL x 10 )/ 0,65 mL
= 7453,85 mg/L
VII. PEMBAHASAN
Dalam percobaan ini dilakukan kadar zat aditif (vitamin C) dalam
sampel you C 1000 mg dengan menggunakan instrumen HPLC. Prinsip dasar
dari HPLC adalah perbedaan distribusi komponen pada sampel diantara fasa
gerak cair dan fasa diam cair. Dalam percobaan ini, fasa gerak yang digunakan
adalah campuran antara metnol dan aquadbidest dengan perbandingan 30 :
10. Namun, dalam preparasi sampel, fasa gerak yang dibuat adalah campuran
antara metanol dan aquabidest dengan perbandingan 70 : 30.
Hal ini dilakukan karena berharap pemisahan yang dihasilkan optimal
(dapat terpisah ketiga komponennya). Sedangkan, fasa diam yang digunakan
adalah C18 yang bersifat nonpolar, sehingga pada percobaan ini digunakan
metode HPLC fasa terbalik, yaitu fasa geraknya polar dan fasa diamnya
nonpolar dengan sistem isokratik yaitu hanya menggunakan satu kondisi
perbandingan fasa gerak 3:5.
Dalam preparasi sampel, sampel yang digunakan adalah you C 1000
mg sebanyak 2 Ml yang kemudian di encerkan dengan fasa gerak sampai
volumenya 10 ml yang kemudian disaring dulu menggunakan membran PTFE
supaya pengotor tidak ikut terukur dan kemudian di degassing dengan
menggunakan ultrasonic vibrator supaya campuran menjadi homogen
sebelum dilakukan pengukuran dengan instrumen HPLC.Analisis yang
dilakukan dalam percobaan ini adalah analisis kualitatif dan analisis kuantitatif.
Analisis kualitatif dilakukan dengan membandingkan waktu retensi sampel
dengan waktu retensi standar.

Waktu retensi adalah waktu yang diperlukan sampel untuk keluar


kolom, dimana dari kromatogram deret standar, dapat dianalisis puncak yang
pertama keluar (waktu retensi kecil) adalah diduga vitamin C tingkat
kepolarannya adalah vitamin C. Karena fasa diamnya yang bersifat nonpolar,
sehingga yang memiliki kepolaran rendah akan lebih lama berada di dalam
kolom, sedangkan yang memiliki kepolaran tinggi akan cepat keluar dari kolom
(waktu retensi kecil).
Namun, pada saat pengukuran deret standar untuk konsentrasi rendah,
masih belum terpisah antara puncak satu dengan puncak dua. Hal ini
menunjukkan bahwa pemisahan yang dilakukan masih kurang optimal,
sehingga dari waktu retensi standar, dapat diketahui kandungan vitamin C
dalam sampel dilihat dari kedekatan waktu retensi standarnya.
Sedangkan, analisis kuantitatif dilakukan dengan menghitung konsentrasi
sampel berdasarkan luas area puncak kromatogram dengan menggunakan
metode kurva kalibrasi dari larutan deret standar. Larutan deret standar
dibuat dan diukur sebanyak dua kali, yaitu deret yang pertama dibuat dengan
menggunakan pipet seukuran untuk mengambil larutan induknya, sedangkan
deret kedua menggunakan pipet ukur untuk mengambil larutan induknya. Hal
ini dilakukan karena ada sedikit kesalahan dari praktikan.
Dari pembuatan deret standar sebanyak dua kali, dapat dibandingkan
konsentrasi dan kadar dari komponen pada sampel. Untuk luas area
komponen pada sampel yang berasa pada rentang luas area deret standar,
dilakukan perhitungan konsentrasi dengan menggunakan persamaan garis y =
mx + b, sedangkan jika tidak berada pada rentang luas area deret standar,
dilakukan perhitungan konsentrasi dengan menggunakan perbandingan
konsentrasi dan luas area sampel dan standar.

VIII. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengukuran dengan instrumen HPLC untuk sampel
minuman you C 1000 mg diperoleh pada sampel pengenceran 5x luas area
standar sebesar 347319 dan sampel sebesar 353990 juga pada pengenceran
sampel 10x diperoleh luas area standar sebesar 171479 sehingga dapat
dihitung kadar nya dari konsentrasi standarnya sebesar 20 mg/L. Dari hasil
perhitungan data didapatkan bahwa kadar probabiliti dalam sampel sebanyak
7546,15 mg/L dengan pengenceran 5x sedangkan kadar pada sampel yg
diencerkan 10x sebesar 7453,85 mg/L.
IX. DAFTAR PUSTAKA
1. Kapiet, T., 2004. Quality Control Analytical Method : High Performance
Liquid Chromatography, Inter. Jou. Pharm. Compound, Vol. 8, No. 3
2. Skoog, Douglas. A. (2004).Fundamentals of Analytical Chemistry Eighth
Edition. Brooks/Cole : CanadaTim Kimia Analitik Instrumen. (2011)
3. Day, R.A., A.L. Underwood. 2002. Analisis Kimia Kuantitatif. Jakarta:
Erlangga.
4. Hendayana, S, (2006). Kimia Pemisahan Metode Kromatografi dan
Elektroforesis Modern.Bandung : PT Remaja Rosdakarya
5. Hendayana, S, (1994). Kimia Analitik Instrumen. Semarang : IKIP Semarang
Press
6. Penuntun Praktikum Kimia Ananlitik Instrumen (KI 431). Bandung : Jurusan
Pendidikan Kimia FPMIPA UPI
7. Andarwulan, Nuri, Sutrisno Koswara. 1989. Kimia Vitamin. Jakarta: Rajawali
Pers
8. S.M Khopkar. 2003. Konsep Dasar Kimia Analitik . Jakarta: Universitas
Indonesia Press
X. TES FORMATIF
1. Dapatkah HPLC yang anda pakai untuk mendeteksi senyawaan berwarna?
Jawab: Iya dapat, Karena HPLC ini memiliki detektor UV-VIS
2. Mengapa untuk menganalisis kadar benzoat dan Vitamin C dipergunakan
HPLC?
Jawab: Karena benzoat dan Vitamin C merupakan zat larut yg tidak bersifat
volatil sehingga tidak bisa menggunakan metode pemisahan secara GC karena
akan merusak alat.
Percobaan 4

PENETAPAN KADAR PARACETAMOL DALAM SAMPEL OBAT SECARA


KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT)
Kelompok 4
1. Annisa Safitri (1617505)
2. Fadhila Rahmatul Umah (1617554)
3. Leisny Salsabila (1617604)
4. Muhamad Saeful Anwar (1617629)
5. Nadya Nursiti Panggabean (1617662)
6. Reza Faisal M (1617701)
7. Vira Hasdiyanti (1617750)

I. Tujuan
Menetapkan kadar paracetamol dalam sampel obat secara kromatografi
cair kinerja tinggi (KCKT)

II. Prinsip
Kandungan paracetamol dalam contoh dapat ditetapkan secara kualitatif
dan kuantitatif berdasarkan perbedaan distribusi analit dalam dua fasa.
Komponen penyusun analit dapat dipisahkan dengan melihat reaksi zat terlarut
oleh adsorbsi permukaan. Pemisahan tergantung kepada kesetimbangan yang
terbentuk pada bidang antar muka diantara fasa diam dan fasa gerak. Fasa diam
yang digunakan yaitu kolom ODS (oktadecasilica) dan fasa gerak yang digunakan
yaitu larutan aquabidest dan metanol. Kadar paracetamol diketahui dari data peak
yang terbaca pada kromatogram, yaitu dengan membandingkan luas area sampel
terhadap standar pada konsentrasi tertentu.

III. Dasar Teori


KCKT adalah instrument untuk pemisahan sejumlah senyawa organik,
anorganik, maupun senyawa biologis, analisis ketidak murnian ( impurities) dan
analisis senyawa-senyawa yang tidak mudah menguap (nonvolatil). KCKT paling
sering digunakan untuk menetapkan kadar senyawa-senyawa tertentu seperti
asam-asam amino,asam-asam nukleat dan protein-protein dalam cairan fisiologis,
menentukan kadar senyawa-senyawa aktif obat dan lain-lain(Cresswell, 2005)
Beberapa senyawa organik yang mudah terurai (labil) pada pemanasan
dapat dianalisis dengan cara kromatografi cairan kinerja tinggi atau HPLC karena
HPLC dilakukan pada suhu kamar. Selain senyawa organic teknik HPLC juga dapat
menganalisis senyawa anorganik, cuplikan yang mempunyai berat molekul tinggi
atau titik didihnya tinggi seperti polimer. Kelebihan KCKT antara lain:
- Mampu memisahkan molekul-molekul dari suatu campuran.
- Resolusinya baik.
- Kecepatan analisis dan kepekaannya tinggi.
- Dapat dihindari terjadinya dekomposisi/kerusakan bahan yang dianalisis.
- Dapat digunakan bermacam-macam detector.
- Kolom dapat digunakan kembali.
- Instrumennya memungkinan untuk bekerja secara automatis dan kuantitatif .
- Waktu analisis umumnya singkat.
- Kromatografi cair preparatif memungkinkan dalam skala besar.
- Ideal untuk molekul besar dan ion.
- Dapat dilakukan pada suhu kamar
- Mudah dioperasikan secara otomatis.
(Hayun, 2006)

Keterbatasan metode KCKT adalah untuk identifikasi senyawa, kecuali jika


KCKT dihubungkan dengan spektrometer massa (MS). Keterbatasan lainnya
adalah jika sampelnya sangat kompleks, maka resolusi yang baik sulit diperoleh.
Berikut skema kerja alat yang digunakan dalam HPLC (Supardani 2011)
Larutan sampel yang akan dianalisis diinjeksi kemudian sampel akan turun
ke dalam kolom dan di elusi oleh eluen yang disediakan. Lalu detector akan
mendeteksi waktu retensi dalam bentuk kromatogram. Dari kromatogram itu kita
dapat meganalisis sampel(Ibnu Ghalib, 2012)
HPLC memiliki kekuatan pemisahan yang sangat ampuh bahkan untuk
komponen-komponen yang berhubungan sangat erat; pemisahan penukar ion
yang sukses dari logam tanah yang langka dan asam-asam amino telah
memperlihatkan ini. Komposisi fase gerak dalam HPLC memberikan suatu dimensi
untuk memanipulasi eksperimen yang tidak dijumpai dalam kromatografi gas.
Dalam kromatografi gas faktor pemisahan untuk sepasang komponen sampel
tergantung pada sifat dasar stationer, sedangkan dalam HPLC faktor itu juga
bergantung pada fase gerak. Seringkali pelarut campuran merupakan fase gerak
yang lebih baik daripada cairan murni untuk memisahkan campuran yang rumit
dan pengoptimasian komposisi pelarut dengan cara coba-coba dapat menjadi
lebih rumit (Khopkar, 1990)
Pemilihan detektor pada HPLC umumnya didasarkan pada persyaratan
sensitivitas, jenis senyawa yang ada di dalam sampel dan faktor lainnya seperti
biaya. Detector yang paling umum didasarkan pada indeks bias dan eluat kolom,
karena hampir semua zat terlarut akan menghasilkan larutan dengan indeks bias
yang berbeda dengan indeks bias pelarut murni (Day, 2002)
Pada dasarnya instrumen HPLC terdiri dari tandon (reservoir) cairan fase
gerak, pompa, injector, kolom, detektor dan rekorder.
1. Tandon (Reservoir)
Reservoir yang baik disertai degessing system yang berfungsi untuk mengusir gas-
gas terlarut dalam solvent. Degassing dilakukan dengan mengalirkan gas inert
dengan kelarutan yang sangat kecil, misalnya helium. Degassing dapat juga dibuat
sendiri dengan erlermeyer yang dilengkapi dengan pengaduk magnet, pemanas
dan pompa vacum.
2. Pompa
Fungsi pompa adalah untuk memompa fase gerak (solvent) ke dalam kolom
dengan aliran yang konstan dan reproducible. Pompa harus memenuhi
persyaratann seperti dapat memberi tekanan sampai 6000 psi (360 atm), tekanan
yang dihasilkan bebas pulsa, dapat mengalirkan fase gerak dengan kecepatan 0,1
sampai 10 ml/ menit, dapat mengalirkan fase gerak dengan reprodusibilitas yang
tinggi, tahan terhadap korosi (biasanya terbuat dari baja atau teflon). Ada
beberapa jenis pompa, antara lain :
a. Reciprocating pump
b. Displacement Pump
c. Pneumatic Pump
3. Katup Injector
Bagian ini merupakan tempat dimana sampel diinjeksikan untuk selanjutnya
dibawa oleh fase gerak ke dalam kolom.
4. Kolom (Column)
Kolom merupakan jantung dari HPLC, sebab kunci keberhasilan analisis sangat
tergantung pada efisiensi kolom sebagai alat untuk memisah-misahkan senyawa
dalam campuran yang kompleks. Kolom terbuat dari stainless steel yang dibor
halus atau dari gelas. Ada dua jenis packing kolom yang telah digunakan dalam
kromatografi cair. yaitu berupa partikel porous dan partikel pelliculer.
5. Detektor
Setelah sampel melewati kolom maka komponen-komponennya akan terpisah-
pisah dan keluar dari kolom dengan waktu yang berbeda-beda. Komponen yang
sudah terpisah ini secara berturut-turut akan melewati suatu detektor dan akan
dibaca kadarnya. Detektor yang digunakan harus sesuai dengan jenis zat yang
dianalisis.
a. Detektor UV
Prinsip kerja detektor ini adalah spektrophotometri abssorbsi. Sampel yang
dianalisis harus menyerap sinar UV. Panjang gelombang sinar UV yang biasa
digunakan adalah 254 nm.
b. Detektor Fluoresensi
Prinsip kerja detektor ini adalah spektrophotometri. Detektor ini lebih sensitif
daripada detektor UV. Pemakaian sumber sinar laser akan memberikan
sensitivitas yang sangat tinggi. Derivatisasi sering dilakukan terhadap asam amino.
c. Detektor Indeks Refraksi (Refraksi Index Detector = RID)
Detektor ini bekerja atas dasar perbedaan indeks refraksi sampel dengan solvent.
Semua larutan suatu zat mempunyai indeks bias yang spesifik, oleh karena itu
detektor ini dapat digunakan untuk hampir semua zat.
6. Recorder
Hasil pembacaan detektor kemudian diolah oleh suatu processor kemudian
dikirim ke recorder. Recorder akan membuat suatu tampilan. Dalam kromatografi
tampilan ini disebut chromathogram. Untuk HPLC dilengkapi seperangkat software
yang dapat menghitung luas kromatogram dan bahkan sekaligus menghitung
kadarnya.
HPLC sering digunakan antara lain untuk menetapkan kadar senyawa aktif
pada obat, produk hasil samping proses sintesis, atau produk- produk degradasi
dalam sediaan farmasi. Keterbatasan metode HPLC ini adalah untuk identifikasi
senyawa, kecuali jika HPLC dihubungkan dengan spektometer massa (MS).
Keterbatasan lainnya adalah sampel sangat kompleks maka resolusi yang baik sulit
diperoleh.
Parasetamol adalah senyawa yang memiliki sifat polar dan gugus kromofor
yang dimilikinya menyebabkan senyawa ini dapat menyerap sinar UV.
Karakteristik senyawa ini memungkinkan analisis dengan teknik HPLC
menggunakan kolom nonpolar seperti C-18 dan fasa gerak polar seperti methanol/
air. Parasetamol diabsorbsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna.
Konsentrasi tertinggi plasma dicapai dalam waktu ½ jam dan masa paruh plasma
antara 1-3 jam. Obat ini tersebar ke seluruh tubuh. Dalam plasma, 25%
parasetamol terikat protein plasma. Parasetamol digunakan sebagai analgesik dan
antipiretik (Sumar, 1994)

IV. Cara Kerja


1. Preparasi Fasa Gerak

Dimasukkan ke gelas piala


225 mL aquabides dan 75 Dihomogenkan
mL metanol ( 3:1)

2. Pembuatan Larutan Standar Paracetamol 100 mg/L

Ditimbang paracetamol Dimasukkan labu takar


standar sebanyak 10 mg 100 mL

Ditera dengan fasa


Dihomogenkan gerak
3. Preparasi Sampel Obat

Ditimbang 10 tablet
Diambil 1 tablet
sampel paracetamol dan
kemudian digerus
hitung bobot rata-rata

Dimasukkan labu takar Ditimbang sebanyak 5


100 mL mg

Ditera dengan fasa


gerak dan Disonikasi selama 10
dihomogenkan menit

Dimasukkan labu takar


25 mL (ditera dan
dihomogenkan)
Diencerkan 10x

Disonikasi kembali
selama 5 menit

V. Alat dan Bahan


Alat:
-Kromatografi Cair -Labu Takar 100 mL -Gelas Piala
-Kolom ODS C18 -Labu Takar 50 mL
-Syringe 100 µL -Pipet Volumetri

Bahan:
-Sampel paracetamol -Air Deionisasi -Kertas saring milipore
-Standar Paracetamol -Metanol
VI. Data Pengamatan
Nama Alat : Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
Merk/Tipe Alat : Shimadzu/ SPD 20A;LC 20AD
Fase gerak : Metanol : Air (1:3)
Fase Diam : ODS (Octa Deca Silica ) C18
Teknik Elusi : Fase Terbalik, Ascending
Laju Alir :1,0 ml/min
Lampu :D2
Vol injeksi std/spl :20ɰl
Sampel : Panadol

a. Data Pengamatan Fisik Sampel dan Reagen


Pengamatan Fisik
No Nama Bahan atau Reagen
Warna Bau Wujud
1. Standar Paracetamol Biru Tidak Berbau Padat
2. Sampel Obat Putih Tidak Berbau Padat
3. Metanol Tidak berwarna Tidak Berbau Cair
4. Aquabides Tidak berwarna Tidak Berbau Cair

b. Data Pembuatan Larutan Standar Paracetamol


Bobot Perhitungan Konsentrasi
Volume Labu Takar Warna
Paracetamol Standar Paracetamol
(mL) Larutan
(mg) (mg/L)
Tidak 10,1 𝑚𝑔
10,1 100 Cstd= 0,1 𝐿 = 101 mg/L
berwarna

c. Data Preparasi Sampel dan Penentuan Kadar Paracetamol dalam


Sampel

Luas Kadar Analit


Bobot rata- Volume
Area C terukur di alat dalam
No rata tablet Fp Labu
Analit di (mg/L) Sampel
(g) Takar (L)
Sampel (mg/tablet)
1 0,5994 28997 187533 10 0,1 1835,80
2 0,5994 19282 196246 10 0,1 1165,90
Σ 3001,7
Rata-rata 1500,85
Simpangan Baku (SBR) 473,70
%Simpangan Baku Relatif (%SBR) 0,31

Karena terdapat dua peak yang saling bergabung :


Luas Area dijumlahkan : Standar : 196246 +187533 = 383779 sat luas
Sampel : 28997 +19282 = 48279 sat luas
RT yang terbesar : Standar : 6,098 menit ; sampel : 6,095 menit
d. Perhitungan
d.1. C terukur (mg/L)
𝑚𝑔 𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑃𝑎𝑟𝑎𝑐𝑒𝑡𝑎𝑚𝑜𝑙 (𝑚𝑔)
𝐶𝑠𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟 ( 𝐿 ) = 𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑆𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟 (𝐿)
10,1 𝑚𝑔
= 0,1 𝐿
= 101 𝑚𝑔/𝐿
d.2. C terukur dialat (mg/L)
𝑚𝑔 𝐿𝑢𝑎𝑠 𝐴𝑟𝑒𝑎 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑚𝑔
𝐶𝑡𝑒𝑟𝑢𝑘𝑢𝑟 𝑑𝑖𝑎𝑙𝑎𝑡 (1) ( )= 𝑥 𝐶𝑠𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟 ( )
𝐿 𝐿𝑢𝑎𝑠 𝐴𝑟𝑒𝑎 𝑆𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟 𝐿
48279
= 383779 𝑥 101 𝑚𝑔/𝐿
= 12,71 𝑚𝑔/𝐿

d.3. Kadar analit dalam sampel (mg/tablet)


𝑚𝑔
𝑚𝑔 𝐶𝑡𝑒𝑟𝑢𝑘𝑢𝑟 ( ) 𝑥 𝐹𝑝 𝑥 𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝐿𝑇 𝑎𝑤𝑎𝑙 (𝐿) 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑟𝑎𝑡𝑎−𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑡𝑎𝑏𝑙𝑒𝑡 (𝑔)
𝐿
𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑃𝑐𝑡 (𝑡𝑎𝑏𝑙𝑒𝑡) = 𝑥
𝐵𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝑔) 𝑡𝑎𝑏𝑙𝑒𝑡
𝑚𝑔
12,71 𝑥 10 𝑥 0,1 𝐿 0,5994 𝑔
𝐿
Kadar paracetamol (1) = 𝑥
0,0051 𝑔 𝑡𝑎𝑏𝑙𝑒𝑡
𝑚𝑔
= 1493,79 𝑡𝑎𝑏𝑙𝑒𝑡
d.4. %SBR
𝑆𝐷
%𝑆𝐵𝑅 = 𝑋
473,70
= 1500,85
= 0,31%

VII. Pembahasan

Parasetamol adalah senyawa yang memiliki sifat polar dan gugus


kromofor yang menyebabkan senyawa ini dapat menyerap sinar uv. Pada
percobaan kali ini, dengan penetapan paracetamol dengan kromatografi cair
kinerja tinggi (KCKT) digunakan kolom nonpolar yaitu ODS (Octadecyl Sillica) C-18
dan fasa gerak yang bersifat polar yaitu metanol dan air dengan perbandingan 1:
3.
Pada percobaan ini, dilakukan penginjeksian manual yaitu dengan
cara memasukkan sampel dengan syringe ke injektor, titik kritis disini adalah pada
saat pengisian sampel ke dalam syringe jangan sampai ada gelembung didalamnya
hal ini bisa menyebabkan volume yang di injeksikan tidak tepat, dan dapat
mengganggu baseline pada kromatogram yang nantinya peak yang diinginkan
tidak sesuai.
Metode pemisahan pada percobaan ini menggunakan fase terbalik,
dimana mekanisme pemisahan tidak sama dengan partisi biasa karena interaksi
molekular lebih kuat dibandingkan sekedar mekanisme pelarutan pada
mekanisme partisi. Dalam HPLC, kolom merupakan jantungnya HPLC yang diisi
oleh senyawa nonpolar dalam hal ini senyawa organik, supaya senyawa polar
dalam campuran akan melekat lebih lama pada silica polar.
Pemisahan komponen dengan HPLC dapat digunakan untuk analisis
kualitatif dan kuantitatif. Pengukuran yang didasarkan kualitatif ditunjukkan oleh
waktu Retensi (RT) yaitu waktu interaksi zat yang akan dianalisis dengan fase diam
dalam kolom yang dibawa oleh fase gerak sampai selesai dan dideteksi oleh
detektor. Pengukuran endtime dilebihkan dari waktu retensi agar peak yang
dihasilkan sepenuhnya, jika endtime disamakan atau kurang dari RT, peak yang
terbentuk tidak sepenuhnya. Pada pengkuran HPLC, perlu dilakukan purging untuk
menghilangkan gelembung pada kolom yang akan mengganggu proses pemisahan
di kolom. Purge dilakukan ketika akan memindahkan filter dari suatu wadah ke
wadah lain atau ketika setelah mengisi wadah. Ketika proses purging, pump
terbuka da tanpa tekanan serta dialirkan ke pembuangan. Jika pump tertutup
gelembung yang ada akan mengalir ke kolom yang nantinya akan menggangu dan
merusak kolom. Larutan sampel dan standar harus disaring terlebih dahulu agar
tidak ada padatan atau mineral yang sangat kecil menyumbat pipa kapiler.
Selain kuantitatif, HPLC diliat dari luas peak area. Luas area
berbanding lurus dengan konsentrasi. Semakin besar konsentrasi makin besar luas
peak area.
Pada hasil percobaan, didapatkan dua peak yang salin berdempetan,
baik satandar maupun sampel sehingga tidak bisa dibedakan atau tidak dapat
disimpulkan yang mana parasetamol atau senyawa yang lain. Oleh karena itu, luas
peak yang diperoleh dari dua peak yang berdempetan terebut dijumlahkan
sedangkan untuk nilai RT diambil nilai terbesar dari masing-masing standar dan
sampel. Adapun hal yang memungkinkan hal ini terjadi yaitu adanya kontaminasi,
karena seharusnya pada standar itu murni tidak terdapat senyawa lain. Selain itu
bisa disebabkan oleh preparasi yang kurang baik atau ada kesalahan dalam alat
sonikasi tersebut yaitu sampel dan standar bercampur pada proses sonikasi yang
mengakibatkan standar dan sampel memiliki peak yang sangat mirip. Adapun
kadar yang diperoleh dalam mg/tablet sampel yaitu sebesar 1493,79 mg/tablet.

VIII. Kesimpulan
Dari percobaan yang dilakukan didapatkan kadar parasetamol dalam sampel
tablet sebesar 1493,79 mg/tablet.

IX. Daftar Pustaka


 Cresswell, Clifford.J. 2005. Analisis Spektrum Senyawa Organik. Bandung: ITB
 Hayun, Ibnu Ganjar Dan Abdul Rahman. 2006. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta:
Pustaka Belajar
 Ibnu Ghalib. 2012. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka Belajar
 Khopkar, S.M., 1990, Konsep Dasar Kimia Analitik, UI Press: Jakarta.
 R.A.Day, Dr Jan Dan Al - Underwood. 2002. Analitik Kimia Kuantitatif. Jakarta:
Erlangga
 Sumar, Hendayana. 1994. Parasetamol. Jakarta: UI Press Supardani. 20011. Ilmu
Kimia Analitik Dasar. PT Gramedia: Jakarta.
Percobaan 5

Estimasi Ketidakpastian Pengukuran Kafein dalam Sampel Tablet Obat


Menggunakan Kromatografi Lapis Tipis Kinerja Tinggi

I. Tujuan
Mengestimasi ketidakpastian pengukuran kafein dalam sampel obat secara
kromatografi lapis tipis kinerja tinggi.

II. Prinsip
Kafein merupakan senyawa organik yang banyak mengandung gugus fungsi
yang mampu menyerap sumber radiasi pada daerah sinar ultra violet. Oleh
karena itu dalam keadaan murni atau sudah terpisahkan dengan bahan
organik yang lain maka kafein dapat dianalisis menggunakan kromatografi
lapis tipis yang dilengkapi dengan detektor. Fasa diam yang digunakan adalah
lapis tipis berbahan dasar silica dan fasa gerak yang digunakan adalah
campuran kloroform, aseton, dan NH4OH dengan perbandingan 8 : 2 : 0,1.

III. Dasar Teori


Kafein (1,3,7-trimetil xantin) merupakan salah satu drivat xantin
yangmempunyai daya kerja sebagai stimulant sistem saraf pusat, stimulant
obat jantung, relaksasi otot polos, dan meningkatkan dieresis, dengan tingkata
n yang berbeda. Efek kofein dapat meningkat apabila berinteraksi
dengan beberapa jenisobat, antara lain obat asma (epinefrin/teofilin), pil KB,
antidepresan, antipsikotika,simetidin. Akibatnya mungkin terjadi kofeinisme
disertai gejala gelisah danmudah terangsang, sakit kepala, tremor, pernapasan
cepat, dan insomnia. Orangyang minum minuman mengandung kofein dapat
menghilangkan rasa letih, lapar,mengantuk (Hartono, 2009).[1]
Kafein adalah substansi alamiah yang terkandung dalam berbagai bagian
tanaman seperti pada daun teh, daun mate, biji kopi, biji coklat, biji koladan
biji guarana. Pada tanaman kopi, bagian yang banyak menghasilkan
kofeinadalah bijinya. Biji kopi yang disangrai mengandung kofein sekitar 0.7 –
1.7 %.Dilihat dari sifat fisikanya, kofein apabila dipanaskan akan dapat
menyublim yaitu pada suhu 178 – 180 ˚C dan pada tekanan 1 atm (Dira,
2012).[2]
Kromatografi adalah pemisahan campuran komponen-komponen
didasarkan pada perbedaan tingkat interaksi terhadap dua fasa material
pemisah.Campuran yang akan dipisahkan dibawa fasa gerak, yang kemudian
dipaksa bergerak atau
disaring melalui fasa diam karena pengaruh gaya berat atau gaya-gaya yang
lain. Komponen-komponen dari campuran ditarik dan diperlambat oleh fasa
diam pada tingkat yang berbeda-beda sehingga mereka bergerak bersama-
sama dengan fasa gerak dalam waktu retensi (retention time) yang berbeda-
beda dan dengan demikian mereka terpisah (Widada, 2000).[3]
Kromatografi lapis tipis (KLT) adalah salah satu metode pemisahan
komponen menggunakan fasa diam berupa plat dengan lapisan bahan
adsorben inert. KLT merupakan salah satu jenis kromatografi analitik. KLT
sering digunakan untuk identifikasi awal, karena banyak keuntungan
menggunakan KLT, di antaranya adalah sederhana dan murah. KLT termasuk
dalam kategori kromatografi planar, selain kromatografi kertas. Kromatografi
juga merupakan analisis cepat yang memerlukan bahan sangat sedikit, baik
penyerap maupun cuplikannya. KLT dapat digunakan untuk memisahkan
senyawa – senyawa yang sifatnya hidrofobik seperti lipida – lipida dan
hidrokarbon yang sukar dikerjakan dengan kromatografi kertas. KLT juga dapat
berguna untuk mencari eluen untuk kromatografi kolom, analisis fraksi yang
diperoleh dari kromatografi kolom, identifikasi senyawa secara kromatografi,
dan isolasi senyawa murni skala kecil (Fessenden,2003).[4]
KLT merupakan contoh dari kromatografi adsorpsi. Fase diam berupa
padatan dan fase geraknya dapat berupa cairan dan gas. Zat terlarut yang
diadsorpsi oleh permukaan partikel padat..( Soebagio,2002)[5]
Prinsip KLT adalah adsorbsi dan partisi dimana adsorbsi adalah penyerapan
pada pemukaan, sedangkan partisi adalah penyebaran atau kemampuan suatu
zat yang ada dalam larutan untuk berpisah kedalam pelarut yang digunakan.
Kecepatan gerak senyawa-senyawa ke atas pada lempengan tergantung pada
(Soebagio,2002)[5]
Bagaimana kelarutan senyawa dalam pelarut, hal ini bergantung pada
bagaimana besar atraksi antara molekul-molekul senyawa dengan pelarut.
Bagaimana senyawa melekat pada fase diam, misalnya gel silika. Hal ini
tergantung pada bagaimana besar atraksi antara senyawa dengan gel silika.
Kromatografi lapis tipis menggunakan plat tipis yang dilapisi dengan adsorben
seperti silika gel, aluminium oksida (alumina) maupun selulosa. Adsorben
tersebut berperan sebagai fasa diam Fasa gerak yang digunakan dalam KLT
sering disebut dengan eluen. Pemilihan eluen didasarkan pada polaritas
senyawa dan biasanya merupakan campuran beberapa cairan yang berbeda
polaritas, sehingga didapatkan perbandingan tertentu. Eluen KLT dipilih
dengan cara trial and error. Kepolaran eluen sangat berpengaruh terhadap Rf
(faktor retensi) yang diperoleh (Gandjar,2007).[6]
Nilai Rf sangat karakterisitik untuk senyawa tertentu pada eluen tertentu.
Hal tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya perbedaan
senyawa dalam sampel. Senyawa yang mempunyai Rf lebih besar berarti
mempunyai kepolaran yang rendah, begitu juga sebaliknya. Hal tersebut
dikarenakan fasa diam bersifat polar. Senyawa yang lebih polar akan tertahan
kuat pada fasa diam, sehingga menghasilkan nilai Rf yang rendah. Rf KLT yang
bagus berkisar antara 0,2 - 0,8. Jika Rf terlalu tinggi, yang harus dilakukan
adalah mengurangi kepolaran eluen, dan sebaliknya (Gandjar,2007).[6]
Untuk melihat kemurnian hasil isolasi kofein dapat dilakukan
dengankromatografi lapis tipis pada plat silika gel PF 254 dengan fase gerak
kloroform :etanol ( 19 : 1 ), kemudian dibandingkan dengan kofein standar
yang hasilnyamemberikan harga Rf yang sama yaitu 0.26. Kromatogram ini
dilihat di bawahsinar ultraviolet 254 nm (Dira, 2012).[2]
Jarak titik sampel dengan tepi bawah 1 cm dan dijaga agar fasa geraktidak
berinteraksi langsung dengan sampel. Apabila jarak tepi bawah terlalu
kecilatau jumlah fasa gerak cukup banyak maka sampel akan bersentuhan
dengan fasagerak dan ada sebagian molekul sampel akan terlarut dalam fasa
gerak. Hal inimenyebabkan hasil elusi pada kromatografi lapis tipis tidak valid
(Fauziyah,2012)[7].

IV. Cara Kerja

 Pembuatan Larutan Induk Kafein 10000 mg/L

Timbang standar kafein 1000 mg Masukkan ke labu takar 100


mL

Tambahkan kloroform sampai


tanda tera dan homogenkan.

 Pembuatan Larutan Deret Standar 500 mg/L; 1000 mg/L; 1500 mg/L, 2000
mg/L

10000 mg/L

1,25 mL 2,50 3,75 mL 5,00


mL mL

Masing-masing masukkan ke labu takar 25 mL

Tambahkan Kloroform sampai tanda tera dan homogenkan

 Preparasi sampel

Timbang 5 tablet Panadol dan


Gerus tablet
catat bobotnya masing-masing
Larutkan ke dalam labu takar 25 mL Timbang 250 mg

Saring Tampung di dalam tabung ulir

Lakukan pengulangan sebanyak 3 kali


dari penimbangan.

 Pembuatan Fasa Gerak

Kloroform : Aseton : NH4OH


8 mL : 2 mL : 0,1 mL Masukkan ke dalam chamber
dan jenuhkan selama 15 menit

Tunggu hingga fasa gerak


mencapai batas yang telah ditetapkan. Masukkan silica gel
yang telah ditotolkan
sampel dan standar.

Keringkan di suhu ruang Tentukan letak spot


standar dan sampel
dengan bantuan sinar
UV dan tentukan
sumbu x dan y nya.

Hitung kadar dah


ketidakpastian
penetapan kadar
kafein dalam sampel
obat tersebut.
No Nama Pengamatan Fisik
Bahan/Reagen Warna Bau Wujud
1. Std Kafein Tidak berwarna Tidak berbau Larutan
2. Sampel Obat Putih Bau khas obat Padatan
3. Kloroform Tidak Berwarna Bau khas Cairan
kloroform
4. Aseton Tidak Berwarna Bau khas aseton Cairan
5. NH4OH Tidak Berwarna Bau khas Cairan
ammonia

VI. Data Pengamatan


a. Tabel Data Pengamatan Fisik Sampel dan Reagen

b. Data Pengamatan Hasil Analisis


No Ulangan Konsentrasi Rf Area
1. Standar 1 500 mg/L 0,31 7052,45
2. Standar 2 1000 mg/L 0,31 7648,52
3. Standar 3 1500 mg/L 0,31 8544,13
4. Sampel 1 0,31 7158,81
5. Sampel 2 0,31 7624,15
6. Samepl 3 0,31 6953,83

Persamaan Regresi :
y = 6255,0249 + 1,4917x
r= 0,9929

VII. Perhitungan
Estimasi Ketidakpastian
Tabel data Pembuatan Larutan Standar Induk Kafein

Warna
Bobot Volume Labu Larutan Perhitungan Konsentrasi Standar
Thiamin Takar (mL) Induk Thiamin (mg/L)

Tak
C standar induk (mg/L) = Bobot std
Berwarna
Kafein (mg)/ Vol std (L)
1000 100
C standar induk (mg/L) = 10000 mg / 0,1 L
C standar induk (mg/L) = 10000 mg/L
C. Data Pembuatan Deret Larutan Standar
V
Konsent Konsentr
rasi Std asi Deret
Induk std Luas
No. (mL) V LT (mL) (mg/L) Area
1 1.25 50 500 7052.45
2 2.50 50 1000 7648.52
3 3.75 50 1500 8544.13
Slope 1.4917
6256.68
Intersept 67
7748.36
Yr 7

e. Fish bone Sumber Ketidakpastian Pengukuran Kafein

µ PM µ Labu µ
Takar Kalibrasi
µ Temperatur

µ
Kalibrasi
µ massa µ Neraca µ Regresi

D. Data Preparasi Sampel dan Penentuan Kadar Kafein


C C sampel
Bobot/Tablet Bobot V Sampel Luas C sampel
terukur (mg/table
(mg) Sampel (L) Area (mg/Kg)
(mg/L) t)
604.770
687.2 0.025
249.7 0 7158.81 60549.66 41.6097
916.727
250.5 0 7624.15 91489.72 62.8717
467.354
250.4 5 6953.83 46660.79 32.0653
7245.59
Yo 7 Rata-rata 45.5156

F. Data Ketidakpastian Asal Kurva Kalibrasi


Xi
Deret Std (mg/L) Yi Yc (yi-yc)² (xi-xr)²
7002.52 2492.33
1 500 7052.45 667 9 250000
7748.36 9969.35
2 1000 7648.52 667 7 0
8494.20 2492.33
3 1500 8544.13 667 9 250000
14954.0
Xr 1000 Σ 4 500000
n-2 1
122.286
RSD 693
81.9791
RSD/b 731
1.33333
1+1/n 333
2.22510
b² 922
252777.
(yo-yr)² 673
1112554
b²Σ(Xi-Xr)² .61
1.24921
√ 498
102.409
µ reg 611

G. Data Ketidakpastian Asal Faktor Presisi Metode


C Kafein terukur Kadar Kafein dalam
Ulangan Absorbansi
larutan uji (mg/L) sampel (mg/tablet)
1 7158.81 604.7700 41.61
2 7624.15 916.7270 62.87
3 6953.83 467.3545 32.07
Rata-
Rata- rata(Csx 662.950 Rata-
rata(Yo) 7245.597 o) 5 rata(Csx) 45.52
15.77025
µPM atau SD 7
0.346480
RSD 4
34.64803
%RSD 6
H. Data Ketidakpastian Massa

Sumber Ketidakpastian µ k µ/k (µ/k)²

Neraca 0.0004 2 0.0002 0.00000004


µ Massa 0.000282843

I. Data Ketidakpastian Labu Takar


µ k µ/k (µ/k)² µ LT
0.000533
Kalibrasi 0.04 1.73205 0.0231 3
Koef
Ketidakpastian Asal Vol. LT Variasi
muai air K 0.031361
(mL) Suhu( ْ C)
(C^-1)
Efek
0.0002 25 7.0 1.7321
Temperatur
µ efek teperatur 0.02122

J. Kuantifikasi Ketidakpastian Gabungan Penetapan Kafein dalam Tablet

Sumber
(μXi
Ketidakpastia Nilai (Xi) Satuan μ Xi μ Xi
/Nilai(Xi))²
n

Kurva 662.950 102.409 0.15447


mg/L 0.0239
Kalibrasi 5 611 6
Presisi 0.34648
45.52 mg/Kg 15.77 0.1200
Metode 0
250.200 0.00028 0.00000 0.000000000
Massa g
0 3 1 001
0.03136 0.00125
Labu Takar 25 ml 0.0000016
1 4
Ʃ= 0.1439
Nilai Ketidakpastian Gabungan μCSx = 17.2667
Nilai Ketidakpastian Gabungan diperluas (U) μCSx = 34.5335
45.52± 34.53
CSx ± U
mg/tablet
VIII. Pembahasan
Kafein (1,3,7-trimetil xantin) adalah senyawa organic yang memiliki gugus fungsi
yang dapat menyerap sumber radiasi dari sinar ultra violet. Sebelumnya, dilakukan
pemisahan komponen dengan menggunakan kromatografi lapis tipis. Pemisahan
menggunakan KLT berdasar pada pembagian campuran dua senyawa dalam dua fasa
dimana fasa gerak bergerak terhadap fasa diam. Fasa diam yang digunakan dalam
Kromatografi Lapis Tipis adalah bahan penyerap (“adsorbent”). Fasa diam berupa suatu
bidang datar, dalam praktikum ini digunakan silica. Silica bersifat asam, zat pengikatnya
untuk memberikan kekuatan pada lapisan dan menambah adisi pada gelas penyokong,
biasanya dalah Kalsium sulfat (CaSO4 ) = Plaster of Paris = Gypsum.
Fasa diam ini kemudian di celupkan ke dalam fasa gerak dalam chamber. Fasa
gerak terdiri atas kloroform,aseton dan NH4OH dengan perbandingan 8 : 2 : 0,1 . Fasa
gerak yang berupa campuran, maka perbandingan yang dipakai harus diperhatikan dan
ditepati. Hal ini dilakukan agar elusi yang terjadi optimal. Sebelum KLT dicelupkan,
bejana kromatografi atau chamber harus dijenuhkan terlebih dahulu. Hal ini karena,jika
tidak dalam keadaan jenuh, elusi yang terjadi pada standar maupun sampel akan
memiliki start yang berbeda. Ketidakseimbangan di dalam bejana akan terlihat dari
permukaan fasa gerak yang berbentuk cekung atau fasa gerak lebih cepat pada bagian
tepi dibanding bagian tengah. Pelarut yang digunakan untuk membuat fasa gerak, deret
standar maupun sampel harus khusus untuk kromatografi atau minimal pro analisis. Jika
diperlukan pelarut campur, maka harus diperbaharui pada waktu-waktu tertentu,karena
menguapnya pelarut yang mudah menguap akan mengubah susunan pelarut.

IX. Kesimpulan
Dari praktikum ini didapatkan %RSD Presisi Sampel adalah 34.65% dan Rata-rata
kadar Kafein dalam tablet obat adalah sebesar 45,52± 34.53 mg/tablet.

X. Daftar Pustaka
[1]Hartono, Elina. 2009. Penetapan Kadar Kofein dalam Biji Kopi Secara Kromatografi Cair

Kinerja Tinggi. Surakarta : Biomedika.


[2]Dira. 2012. Isolasi Kofein dari Daun Kopi (Coffea Arabica L.). Padang : Scienticia.
[3]Widada, B. 2000. Pengenalan Alat Kromatografi Gas. Urania,No.23-24. ISSN0852-4777.
[4]Fessenden R.J dan J.S Fessenden. 2003. Dasar-dasar Kimia Organik. Jakarta: Erlangga.
[5]Soebagio. 2002. Kimia Analitik. Makassar : Universitas Negeri Makassar Fakultas MIPA.
[6]Gandjar, Ibnu Gholib dan Abdul Rohman.. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta :

Pustaka Pelajar.
[7]Fauziyah, Begum. 2012. Analisis Kualitatif Fenilalanin Secara Kromatografi Kertas dan

Kromatografi Lapis Tipis. Malang. Saintis Vol.1 (2).


Percobaan 6

PEMISAHAN SENYAWA PIGMEN KAROTEN PADA WORTEL MENGGUNAKAN

TEKNIK KROMATOGRAFI KOLOM

Kelompok 6

Andi Firda Islamiah 1717784

Arias Sani Putra 1617511

Gemilang Miftah Faizillah 1617573

Rinaldi Ardhi Nugraha 1617708

Mohammad Ilham Khadaphi 1617622

Nida Zulfah 1617667

I. Tujuan

 Memisahkan senyawa karoten dalam wortel

 Menghitung nilai Rf maing-masing warna hasil pemisahan

II. Prinsip

Pemisahan komponen zat warna akibat perbedaan laju migrasi masing-masing

zat warna dalam fase diam dan fase gerak. Pemilihan fase gerak yang tepat dapat

memisahkan komponen zat warna dengan sempurna

III. Cara Kerja

 Preparasi Fase Gerak

Dipipet aseton Dipipet heksana


sebanyak 10 mL sebanyak 90 mL
ke gelas ukur yang Kemudian
ke gelas ukur
100 mL sama dengan dihomogenkan
aseton.
 Preparasi Sampel

Ditimbang Dimasukkan
Sampel ke
wortel diiris sampel
sebanyak erlenmeyer
tipis

Saring dengsn Dishaker Ditambahkan


kain dan filtrat selama 45 aseton dan
disimpan di
menit heksana (1:9)
pinggan penguap

Dievaporasi
dengan hair
dryer

 Preparasi Kolom

Dimasukkan Diukur 10 cm
sebagai batas Dimasukkan
kapas ke memasukkan alumina (fasa
dalam kolom. fasa diam. diam).

Dilakukan proses
Pastikan fase Ditutup bagian
elusi. Dimasukkan
diam padat dan atas fase diam
sampel terlebih
rapat untuk dengan kertas
dahulu setelah itu
menghindari saring.
fase gerak.
difusi eddy.
IV. Dasar Teori

A. Kromatografi Kolom

Dalam kromatografi partisi cair-cair, suatu pemisahan dipengaruhi oleh distribusi

sampel antara fase cair diam dan fase cair bergerak dengan membatasi kemampuan

pencampuran. Jika suatu zat terlarut dikocok dalam sistem dua pelarut yang tidak

bercampur atau saling melarutkan maka zat terlarut akan terdistribusi di antara kedua

fase (Khopkar, 2008, hal: 155).

Kromatografi kolom adalah kromatografi yang menggunakan kolom sebagai alat

untuk memisahkan komponen-komponen dalam campuran. Alat tersebut berupa pipa

gelas yang dilengkapi suatu kran dibagian bawah kolom untuk mengendalikan aliran zat

cair, ukuran kolom tergantung dari banyaknya zat yang akan dipindahkan. Secara umum

perbandingan panjang dan diameter kolom sekitar 8:1 sedangkan daya penyerapnya

adalah 25-30 kali berat bahan yang akan dipisahkan. Teknik banyak digunakan dalam

pemisahan senyawa-senyawa organic dan konstituen-konstituen yang sukar menguap

sedangkan untuk pemisahan jenis logan-logam atau senyawa anorganik jarang dipakai

(Yazid, 2005, hal: 98).

Dalam proses kromatografi selalu terdapat salah satu kecenderungan molekul-

molekul komponen untuk melarut dalam cairan, melekat pada permukaan padatan halus,

bereaksi secara kimia dan terekslusi pada pori-pori fasa diam. Komponen yang dipisahkan

harus larut dalam fasa gerak dan harus mempunyai kemampuan untuk berinteraksi

dengan fasa diam dengan cara melarut di dalamnya, teradsorpsi atau bereaksi secara

kimia. Pemisahan terjadi berdasarkan perbedaan migrasi zat-zat yang menyusun suatu

sampel. Hasil pemisahan dapat digunakan untuk keperluan analisis kualitatif, analisis
kuantitatif dan pemurnian suatu senyawa. Dalam beberapa hal metode pemisahan

kromatografi mempunyai kemiripan dengan metode pemisahan ekstraksi. Kedua metode

ini sama-sama menggunakan dua fasa, dimana fasa satu bergerak terhadap fasa lainnya,

kesetimbangan solut selalu terjadi di antara kedua fasa ( Alimin dkk, 2007, hal: 74-75).

Pemisahan kromatografi kolom adsorpsi didasarkan pada adsorpsi komponen-

komponen campuran dengan afinitas berbeda-beda terhadap permukaan fase diam.

Kromatografi kolom terabsorpsi termasuk pada cara pemisahan cair padat, substrat padat

bertindak sebagai fasa diam yang sifafnya tidak larut dalam fasa cair, fasa bergeraknya

adalah cairan atau pelarut yang mengalir membawa komponen campuran sepanjang

kolom. Pemisahan bergantung pada kesetimbangan yang terbentuk pada bidang antar

muka diantara butiran-butiran adsorben dan fase bergerak serta kelarutan relatif

komponen pada fasa bergeraknya. Antara molekul-molekul komponen dan pelarut terjadi

kompetisi untuk teradsorpsi pada permukaan adsorben sehingga menimbulkan proses

dinamis. Keduanya secara bergantian tertahan beberapa saat di permukaan adsorben dan

masuk kembali pada fasa bergerak (Yazid, 2005, hal: 100).

Pada saat teradsorpsi komponen dipaksa untuk berpindah oleh aliran fasa

bergerak yang ditambahkan secara kontinu, akibatnya hanya komponen yang mempunyai

afinitas lebih besar terhadap adsorben akan secara selektif tertahan. Komponen afinitas

paling kecil akan bergerak lebih cepat mengikuti aliran pelarut. Pada kromatografi

adsorpsi, besarnya koefisien distribusi sama dengan konsentrasi zat terlarut pada fasa

teradsorpsi dibagi konsentrasinya pada fasa larutan. Ketergantungan jumlah zat terlarut

yang teradsorpsi terhadap konsentrasi zat terlarut dalam larutan dinyatakan dengan

isoterm adsorpsi Langmuir (Yazid, 2005, hal: 100).


Metode pemisahan kromatografi kolom ini memerlukan bahan kimia yang cukup

banyak sebagai fasa diam dan fasa bergerak bergantung pada ukuran kolom gelas.

Untuk melakukan pemisahan campuran dengan metode kromatografi kolom

diperlukan waktu yangcukup lama, bias berjam-jam hanya untuk memisahkan satu

campuran. Selain itu, hasil pemisahan kurang jelas artinya kadang-kadang sukar

mendapatkan pemisahan secara sempurna karena pita komponen yang satu

bertumpang tindih dengan komponen lainnya.

B. Penyiapan Kolom

Dalam penyiapan kolom, pertama-tama dimasukkan kapas pada kolom yang

telah terpasang pada klem dan statif. Fungsi kapas adalah untuk menahan silika

gel atau adsorban agar tidak keluar dari kolom. Selanjutnya ditambahkan sedikit

akuades hingga kapas basah seluruhnya. Tujuannya adalah untuk memadatkan

kapas sehingga tidak ada lagi udara yang terkandung di dalamnya, karena jika

terdapat rongga udara maka akan menghambat pengelusian. Selanjutnya ditutup

permukaan kapas dengan kertas saring. Tujuannya adalah untuk menahan silika

gel agar tidak pecah, dan tidak langsung masuk ke dalam kapas dn mencegah

terbentuknya rongga udara pada silika gel. Lalu dimasukkan bubur silika yang telah

dibuat ke dalam kolom. Fungsi silika gel ini adalah sebagai adsorban atau fasa

diam. Silika gel digunakan karena memiliki tekstur dan struktur yang tampak dan

teratur. Silika gel dapat memadat dengan ikatan yang kuat dan rapat sehingga

dapat mengoptimalkan proses pemisahan cuplikan. Kemudian permukaan silika

gel tersebut ditutup dengan kertas saring. Tujuannya adalah untuk memisahkan

kotoran yang terkandung dalam cuplikan karena kertas saring bersifat selektif

ssehingga hanya zat dengan ukuran molekul kecil yang dapat menembus kertas
saring. selanjutnya ditambahkan sedikit akuades ke dalam kolom, dengan tujuan

untuk menghilangkan rongga udara yang ada di dalam kolom sehingga komponen

benar-benar padat dan pengelusian dapat berjalan lancar.

C. Wortel

Wortel merupakan salah satu jenis tanaman sayuran yang dapat digunakan

untuk membuat bermacam-macam masakan. Umbi wortel juga dapat memiliki

kegunaan sebagai bahan obat-obatan untuk mengobati beberapa jenis penyakit.

Senyawa β-karoten pada tanaman wortel dapat menimbulkan kekebalan tubuh

terhadap penyakit tumor, menghambat penyebaran sel kanker, dan mengaktifkan

enzim pelawan kanker. Selain itu, senyawa karoten (pro-vitamin A) dapat

mencegah penyakit rabun senja. Umbi wortel juga mengandung alakloida

akonitina atau asetbencilakonin, benzoilakonina, akonina, dan neupelina

(Cahyono, 2002).

Jenis senyawa karoten yang paling berlimpah di alam adalah β-karoten

yang merupakan senyawa provitamin A, memiliki aktivitas antioksidan sangat

kuat. Senyawa antioksidan akan berinteraksi dalam tubuh manusia secara sinergis

dengan senyawa antioksidan lain untuk melindungi kerusakan yang diakibatkan

oleh reaksi oksidasi. Sebagai contoh, vitamin E dapat memproteksi molekul β-

karoten dari peristiwa oksidasi (sparing effects) (Michel P.J. and Liñan-Cabello, M.

2000).

Pemisahan komponen secara kromatografi kolom dilakukan dalam suatu

kolom yang diisi dengan fase stasioner dan cairan (pereaksi) sebagai fase mobil

untuk mengetahui banyaknya komponen contoh yang keluar melalui kolom

(Adnan 1997). Pengisian kolom dilakukan dengan memasukkan adsorben dalam


bentuk larutan (slurry), dan partikelnya dibiarkan mengendap. Pemisahan

komponen rimpang temu kunci secara kromatografi kolom bertujuan untuk

mengetahui (Hayani, 2007).

Dalam kromatografi adsorbsi, digunakan zat padat sebagai adsorben yang

bertindak sebagai fasa stasioner dan menggunakan zat cair sebagai fasa mobil.

Permukaan partikel padat biasanya lebih aktif dari pada bagian dalamnya yang

umum dikatakan mempunyai aktifitas permukaan. Bila partikel tersebut

dimasukkan kedalam suatu larutan, permukaan partikel tadi mempunyai daya

tarik baik pada zat-zat yang terlarut maupun pada zat pelarutnya. Silika gel

mempunyai luas permukaan yang lebih besar, tetapi mempunyai aktifitas kimia

yang lebih kecil dan lebih disukai untuk pemisahan senyawa-senyawa organik yang

peka terhadap perubahan-perubahan karena aktifitas permukaan yang

mempunyai sifat katalik (Adnan, 1997).

V. Data Pengamatan

Pengamatan
No Sampel
Warna Jarak pita (cm)
Kuning
1. Wortel Orange 5,5

VI. Perhitungan
𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑃𝑖𝑡𝑎 (𝑐𝑚)
𝑅𝑓 =
𝑃𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝐾𝑜𝑙𝑜𝑚 (𝑐𝑚)
5,5 (𝑐𝑚)
𝑅𝑓 =
10(𝑐𝑚)
= 0,55

VII. Pembahasan :
Pemisahan karoten dari wortel secara kromatografi kolom ini memberikan

tujuan menjelaskan teori dan prinsip dasar kromatografi kolom, melakukan


pemisahan dengan berbagai teknik kromatografi kolom, serta melaksanakan

analisis kualitatif maupun kuantitatif dari pemisahan menggunakan kromatografi

kolom.

Kromatografi kolom termasuk dalam LC (liquid chromatography) karena

fase diamnya padatan, fase geraknya cairan, dan sampel berupa cairan. Fase diam

yang digunakan yaitu silika. Fase diam yaitu suatu zat/senyawa/lapisan pada

medium pendukung yang berinteraksi dengan analit. Jadi, fase diam itu bisa

bergerak karena dialirkan, bila tidak dialirkan maka tertahan. Fase diam dapat

berupa padatan maupun cairan. Sedangkan fase gerak yaitu pelarut ( solvent )

yang mengalir/ bergerak sepanjang media pendukung, biasanya berupa cairan

maupun gas.

Pengisian alumina kedalam kolom bisa dilakukan dengan 2 metode, yaitu

metode basah maupun kering. Tetapi dalam praktikum ini kita menggunakan

metode kering. Metode kering adalah dengan memasukkan alumina dalam kolom

kemudian dialiri dengan fase gerak. Sedangkan cara basah adalah dengan

melarutkan alumina dengan pelarut tidak langsung pada kolom, jadi alumina itu

dibuat larutan dulu kemudian dimasukkan ke dalam kolom. Keuntungan dari cara

basah yaitu alumina dapat terlarut dan tercampur merata, sehingga bubur

alumina menjadi homogen. Pembuatan fase diam dengan cara kering ini harus

hati-hati, karena bisa saja kolomnya pecah atau crack karena solventnya tidak

dijaga. Fungsi glass wol / kapas pada praktikum ini adalah menyumbat kolom

bagian bawah supaya silica tidak mengalir keluar kolom..

Pada kromatografi kolom, fase gerak yang digunakan adalah n-heksan: kloroform

yang punya sifat nonpolar. Setelah fase diam telah jadi, dimasukkan sampel
kemudian ditetesi fase gerak. Dijaga agar fasa gerak pada kolom tidak sampai

kering, supaya tidak mengeras dan pecah kolomnya. Kromatografi kolom ini

prinsipnya gravitasi karena cairan mengalir dari atas ke bawah.

Dalam penyiapan kolom, pertama-tama dimasukkan kapas pada kolom

yang telah terpasang pada klem dan statif. Fungsi kapas adalah untuk menahan

silika gel atau adsorban agar tidak keluar dari kolom. Selanjutnya ditambahkan

sedikit akuades hingga kapas basah seluruhnya. Tujuannya adalah untuk

memadatkan kapas sehingga tidak ada lagi udara yang terkandung di dalamnya,

karena jika terdapat rongga udara maka akan menghambat pengelusian.

Selanjutnya ditutup permukaan kapas dengan kertas saring. Tujuannya adalah

untuk menahan silika gel agar tidak pecah, dan tidak langsung masuk ke dalam

kapas dn mencegah terbentuknya rongga udara pada silika gel. Lalu dimasukkan

bubur silika yang telah dibuat ke dalam kolom. Fungsi silika gel ini adalah sebagai

adsorban atau fasa diam. Silika gel digunakan karena memiliki tekstur dan struktur

yang tampak dan teratur. Silika gel dapat memadat dengan ikatan yang kuat dan

rapat sehingga dapat mengoptimalkan proses pemisahan cuplikan. Kemudian

permukaan silika gel tersebut ditutup dengan kertas saring. Tujuannya adalah

untuk memisahkan kotoran yang terkandung dalam cuplikan karena kertas saring

bersifat selektif ssehingga hanya zat dengan ukuran molekul kecil yang dapat

menembus kertas saring. selanjutnya ditambahkan sedikit akuades ke dalam

kolom, dengan tujuan untuk menghilangkan rongga udara yang ada di dalam

kolom sehingga komponen benar-benar padat dan pengelusian dapat berjalan

lancar.
Pada percobaan ini, kita akan memisahkan β-karoten dari ekstrak wortel

dengan meggunakan metode kromatografi kolom. Terlebih dahulu kita

mengisolasi senyawa β-karoten tersebut dengan cara merefluks sampel wortel.

Pada percobaan ini menggunakan sampel wortel. Sampel wortel yang telah di

haluskan, di timbang sebanyak 20 gram hal ini bertujuan agar karoten yang

dihasilkan lebih banyak.

β-karoten merupakan pigmen berwarna kuning. Kromofor dalam β-karoten

merupakan sistem 11 ikatan rangkap terkonjugasi geometris trans. Sifat kromofor

dari struktur senyawa ini mudah dikenali di bawah lampu UV sehingga

memudahkan identifikasi dalam kromatografi lapis tipis. Pada metode isolasi

senyawa β-karoten dengan cara refluks yaitu tejadi penarikan komponen kimia

yang dilakukan dengan cara sampel dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer

bersama-sama dengan fasa gerak. Setelah 15 menit, filtrat yang diperoleh

dipekatkan dengan cara evaporasi. Evaporasi yaitu proses pemisahan ekstrak dari

cairan penyarinya dengan pemanasan.

Setelah ekstrak dievaporasi kemudian dilanjutkan proses pemisahan

dengan menggunakan metode kromatografi kolom. Kromotografi kolom adalah

suatu metode pemisahan yang di dasarkan pada pemisahan daya adsorbsi suatu

adsorben tentang terhadap suatu senyawa, baik pengotornya maupun hasil

isolasinya.

Hal lain yang dapat dilakukan agar tidak terjadi pemecahan kolom adalah

dengan menambahkan eluen secara kontinu agar udara tidak masuk kedalam

kolom. Kolom yang padat diindikasikan dengan warna slurry yang semakin

memutih dan kecepatan alir eluen yang semakin lambat. Jika kolom sudah
memadat, larutan sampel kemudian diisikan kedalam kolom . Mekanisme yang

terjadi pada kromatografi kolom ialah sample akan terelusi oleh eluen (n-heksan)

melalui fase diam alumina. Senyawa organik terelusi oleh eluen proses elusi

terjadi karena keseimbangan distribusi zat analit pada fase gerak n-heksan dan

fase diam alumina. Elusi terus berlangsung hingga tidak ada lagi yang tinggal

dalam kolom. Proses elusi ini menghasilkan eluat yang diharapkan mengandung

banyak betakaroten.

Dari hasil percobaan, didapatkan hasil bahwa pemisahan tidak terjadi

secara sempurna hal ini disebabkan oleh terjadinya Difusi Eddy. Difusi Eddy terjadi

karena tidak seragamnya kolom yang dapat menyebabkan komponen-komponen

tidak melalui jalur yang sama sehingga terjadinya pelebaran pita. Tidak

seragamnya kolom disebabkan oleh pada saat packing kolom yang tidak padat.

Rate of flow (Rf) adalah harga perbandingan jarak yang ditempuh zat terlarut

dengan jarak yang ditempuh pelarut adalah dasar untuk mengidentifikasi

komponen yang terdapat yang terdapat dalam ekstrak berupa noda-noda, yang

timbul pada pelat. Selain memberi informasi nilai Rf, bentuk noda yang nampak

pada plat juga dapat memberi keterangan tentang keterangan tentang keadaan

pengerjaan.

VII. Kesimpulan
Dari hasil percobaan pemisahan pigmen karoten dengan Teknik

Kromatografi kolom menggunakan Fase diam Alumina dan Fase Gerak Aseton :

Heksana (1 : 9) didapatkan pemisahan pita warna orange dengan Rf : 5,5 cm.


IX. Daftar Pustaka
Adnan, J.M., 1997, Kimia Makanan, ITB, Bandung.

Cahyono, B., 2002. Wortel (Teknik Budidaya Dan Analisis Usaha Tani). Kanisus.

Yogyakarta.

Hayani, E., 2007. “Pemisahan Komponen Rimpang Temu Kunci Secara

Kromatografi Kolom”. Buletin Teknik Pertanian Vol. 12 No. 1.

Michel P.J. and Liñan-Cabello, M. 2000. “Carotenoids and Retinoids Metabolites as

Precursors of Receptors-Specific Bioactive Compounds. Advances in hrimp.Avances

en Nutrición acuícola V. Memorias del V Simposium Internacional de Nutrición

Acuícola. 19-22 Noviembre, 2000. Mérida, Yucatán, Mexico.

Sudjadi, 1986, Metode Pemisahan, UGM-Press, Yogyakarta.

Alimin, dkk. Kimia Analitik. Makassar: Alauddin Press, 2007

Hendayana, Sumar. Kimia Pemisahan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006

Khopkar, S.M. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: Erlangga, 2008

Yazid, Estien. Kimia Fisika Paramedis. Yogyakarta: Andi, 2005

Gandjar, Rohman.,2007,Kimia Farmasi Analisis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,

Abdul,2009,Kromatografi Untuk Analisis obat, Elphra Ilmu : Yogyakarta

Sastrohamidjojo, hardjono,2005,Kromatografi, Liberty : Yogyakarta


Percobaan 7

Pemisahan Senyawa Pigmen Berwarna ( Klorofil ) pada Daun Suji


Menggunakan Teknik Kromatografi Kolom

Kelompok 07
Arsyana Kurniasari (1617513)
Bahtiar Rifai (1717808)
Hellaudo Zohn (1617578)
Muhammad Adrian Putra (1617630)
Ninda Nur Rokhimawati (1617670)
Rizki Ramadhan (1617711)

I. TUJUAN
a. Memisahkan senyawa pigmen dalam sampel daun suji.
b. Menghitung nilai Rf (Retention Factor) masing- masing warna hasil
pemisahan.

II. PRINSIP
Pemisahan komponen zat warna akibat perbedaan laju migrasi
masing- masing zat warna dalam fasa diam dan fasa gerak. Fase gerak yang
digunakan harus memiliki sifat yang sama dengan analit. Fase gerak akan
berinteraksi dengan analit sehingga membawa analit melewati fase diam
dalam media penyangga kolom. Pemilihan fase gerak yang tepat dapat
memisahkan komponen zat warna dengan sempurna.

III. DASAR TEORI


Kromatografi kolom adalah metode yang digunakan untuk
memurnikan bahan kimia tunggal dari campurannya. Metode ini sering
digunakan untuk aplikasi preparasi pada skala mikrogram hingga kilogram.
Keuntungan utama kromatografi kolom adalah biaya yang rendah dan
kemudahan membuang fasa diam yang telah digunakan. Kemudahan
pembuangan fasa diam ini mencegah kontaminasi silang dan degradasi fasa
diam akibat pemakaian ulang atau daur ulang.

Kromatografi kolom preparatif klasik berupa tabung kaca dengan


diameter antara 5 mm hingga 50 mm dengan panjang 5 cm hingga 1 m dengan
keran dan pengisi (dengan sumbat kaca atau serat kaca – untuk mencegah
hilangnya fasa diam) pada bagian bawah. Dua metode yang umum digunakan
untuk preparasi kolom adalah: metode kering dan metode basah.

Pada metode kering, kolom pertama kali diisi dengan serbuk kering
fasa diam, kemudian kolom dialiri fasa gerak hingga seluruh kolom terbasahi.
Mulai titik ini, fasa diam tidak diperkenankan mengering.

Pada metode basah, fasa diam dibasahi dengan fasa gerak hingga
menjadi bubur di luar kolom, dan kemudian dituangkan perlahan-lahan ke
dalam kolom. Pencampuran dan penuangan harus ekstra hati-hati untuk
mencegah munculnya gelembung udara. Larutan bahan organik diletakkan di
bagian atas fasa diam menggunakan pipet. Lapisan ini biasanya ditutup dengan
lapisan kecil pasir atau katun atau wol kaca untuk melindungi bentuk lapisan
organik dari tuangan eluen. Eluen kemudian dialirkan perlahan melalui kolom
sambil membawa sampel bahan organik. Sering kali, wadah eluen sferis atau
corong pisah bersumbat yang sudah diisi eluen diletakkan di bagian atas
kolom.

Komponen-komponen tunggal tertahan oleh fasa diam secara


berbeda satu sama lain pada saat mereka bergerak bersama eluen dengan laju
yang berbeda melalui kolom. Di akhir kolom, mereka terelusi satu per satu.
Selama keseluruhan proses kromatografi, eluen dikumpulkan sesuai fraksi-
fraksinya. Fraksi-fraksi dapat dikumpulkan secara otomatis oleh pengumpul
fraksi. Produktivitas kromatografi dapat ditingkatkan dengan menjalankan
beberapa kolom sekaligus. Di sini, diperlukan pengumpul multi aliran.
Komposisi aliran eluen dapat dimonitor dan masing-masing fraksi dianalisa
senyawa terlarutnya, misalnya dengan kromatografi, absorpsi sinar UV atau
fluoresensi. Senyawa berwarna (atau senyawa berfluoresensi di bawah lampu
UV) dapat terlihat di dalam kolom sebagai pita-pita bergerak.

Fasa diam atau adsorben (penjerap) dalam kromatografi kolom


adalah zat padat. Fasa diam yang paling umum untuk kromatografi kolom
adalah silika gel, diikuti dengan alumina. Serbuk selulosa pernah banyak
digunakan. Kromatografi kolom memungkinkan melakukan teknik
kromatografi pertukaran ion, kromatografi fasa terbalik, kromatografi afinitas,
atau penjerapan bed ekspansi (bahasa Inggris: expanded bed adsorption, EBA).
Fasa diam biasanya serbuk halus atau gel dan/atau mikropori untuk
peningkatan permukaan, meskipun dalam EBA digunakan bed berfulida. Ada
rasio penting antara berat fasa diam dan berat kering campuran analit yang
dapat diaplikasikan ke dalam kolom. Untuk kolom silika, rasio berada antara
20:1 hingga 100:1, bergantung pada kedekatan jarak elusi antar komponen
analit.

Fasa gerak atau eluen dapat berupa pelarut murni atau campuran
pelarut. Pemilihan dilakukan sedemikian rupa sehingga nilai faktor retensi
senyawa yang diinginkan berada pada kisaran 0,2 - 0,3 untuk meminimalkan
waktu dan jumlah eluen yang diperlukan selama kromatografi. Eluen dapat
pula dipilih berdasarkan daya pisahnya sehingga senyawa yang berbeda dapat
dipisahkan secara efektif. Optimasi eluen dilakukan melalui uji pendahuluan
berskala kecil, biasanya menggunakan kromatografi lapisan tipis (KLT) dengan
fasa gerak yang sama.

Ada laju aliran optimum untuk masing-masing pemisahan. Semakin


cepat laju aliran eluen akan meminimalkan waktu yang dibutuhkan untuk
melalui kolom sehingga meminimalkan difusi, menghasilkan pemisahan yang
lebih baik. Namun, laju aliran maksimum perlu dibatasi karena analit
memerlukan waktu tertentu untuk berada pada kesetimbangan antara fasa
diam-fasa gerak, lihat persamaan Van Deemter. Kolom laboratorium
sederhana bekerja dengan prinsip aliran gravitasi. Laju aliran kolom semacam
ini dapat dinaikkan dengan menambah eluen baru di bagian atas fasa diam,
atau diturunkan dengan mengatur keran di bagian bawah. Laju aliran yang
lebih cepat dapat diperoleh dengan menggunakan pompa atau gas bertekanan
(misalnya: udara, nitrogen, atau argon) untuk menekan pelarut melalui kolom
(kromatografi kolom kilat).

Ukuran partikel fasa diam pada kromatografi kolom kilat biasanya


lebih halus daripada kromatografi kolom gravitasi. Misalnya, silika gel untuk
kromatografi kilat berukuran antara 230 – 400 mesh (40 – 63 µm), sementara
untuk kromatografi gravitasi antara 70 – 230 mesh (63 – 200 µm).

Telah dikembangkan lembar lajur (spreadsheet) yang mendukung


suksesnya pengembangan kolom kilat. Lembar lajur memperkirakan volume
retensi dan pita volume analit, jumlah fraksi yang diperkirakan untuk masing-
masing kandungan analit, dan resolusi antara dua puncak yang berdekatan.
Informasi ini memungkinkan pengguna memilih parameter optimal untuk
pemisahan berskala preparatif sebelum dicobakan pada kolom kilat.

Ada juga kromatografi kolom yang dilengkapi dengan pompa


peristaltik, mengalirkan dapar dan larutan sampel melalui bagian atas kolom.
Larutan dan dapar mengalir melalui kolom hingga mencapai pengumpul fraksi
di bagian akhir kolom untuk mengumpulkan sampel yang terelusi. Sebelum
mencapai pengumpul sampel, sampel yang dielusi dari kolom melewati suatu
detektor seperti spektrofotometer atau spektrometer massa sehingga
konsentrasi sampel yang sudah dipisahkan dalam campuran dapat ditentukan.

Sebagai contoh, jika kita ingin memisahkan dua protein yang berbeda
dengan kapasitas ikatan terhadap kolom yang berbeda dari suatu larutan, jenis
detektor yang baik adalah spektrofotometer dengan panjang gelombang 280
nm. Semakin tinggi konsentrasi protein yang melalui kolom, semakin besar
absorbansinya pada panjang gelombang tersebut.
Oleh karena kromatografi kolom mempunyai aliran tetap untuk
semua eluat yang melalui detektor dengan berbagai macam konsentrasi, harus
dibuat plot dari detektor antara konsentrasi sampel terelusi melawan waktu.
Plot konsentrasi sampel versus waktu ini disebut dengan kromatogram.

Tujuan utama kromatografi adalah untuk memisahkan komponen


yang berbeda dari suatu campuran larutan. Resolusi menyatakan daya
pemisahan antar komponen dalam campuran. Semakin tinggi resolusi
kromatogram, semakin baik pemisahan sampel yang dihasilkan oleh kolom.
Data ini adalah cara terbaik menentukan sifat pemisahan kolom untuk sampel
tertentu. Resolusi dapat dihitung dari kromatogram.

Kurva terpisah dalam diagram mewakili profil konsentrasi elusi


sampel yang berbeda selama proses, berdasarkan afinitasnya terhadap resin
kolom. Untuk menghitung resolusi, diperlukan waktu retensi dan lebar kurva.

 Waktu retensi: waktu dari awal sinyal terdeteksi oleh detektor hingga
titik puncak profil konsentrasi elusi masing-masing sampel yang
berbeda.

 Lebar kurva: lebar kurva profil konsentrasi sampel yang berbeda dalam
kromatogram dalam satuan waktu.

Metode yang sudah disederhanakan dalam menghitung resolusi


kromatogram adalah menggunakan model pelat.[6] Model pelat berasumsi
bahwa kolom dapat dibagi menjadi sejumlah seksi tertentu, atau pelat, dan
kesetimbangan massa dapat dihitung untuk masing-masing pelat tunggal.
Pendekatan ini memperkirakan kurva kromatogram sebagai kurva distribusi
Gaussian. Dengan melakukan ini, lebar kurva diperkirakan 4 kali standar
deviasi kurva, 4σ. Waktu retensi adalah waktu dari awal deteksi sinyal hingga
waktu di titik puncak kurva Gaussian.
IV. BAGAN KERJA
a. Pembuatan Fase Gerak

Petroleum Wada
ether h
b. Preparasi Sampel Daun Suji

Menimbang
Mengiris-iris
Daun Suji 10 Erlenmeyer
Daun Suji
gram

+
Petroleu
m eter

Menguapkan Shaker 45
pelarut di ruang menit dengan
asam hingga kecepatan
sampel lebih 150-200 rpm
pekat

c. Persiapan Kolom

Kertas
Saring

Alumina 10
cm

Kapas
d. Proses Elusi

+ Petroleum
ether (eluen)
sampai menetes
satu tetes

Sampe
l

V. DATA PENGAMATAN
a. Sampel

Pengamatan
Sampel
Warna Waktu Retensi
Hijau 0.03
Daun Suji
Jingga 0.05

b. Fase Gerak dan Fase Diam


Pengamatan
Bahan
Wujud Warna Bau
Fase Diam (Alumina) Padat Putih Tidak berbau
Fase Gerak (Petroleum ether) Cair Tidak Berwarna Khas Hidrokarbon

VI. PERHITUNGAN
𝑱𝒂𝒓𝒂𝒌 𝑲𝒐𝒎𝒑𝒐𝒏𝒆𝒏
𝑹𝒇 =
𝑱𝒂𝒓𝒂𝒌 𝑬𝒍𝒖𝒆𝒏
a. Pigmen Hijau

𝟎. 𝟑 𝒄𝒎
𝑹𝒇 = = 𝟎. 𝟎𝟑
𝟏𝟎 𝒄𝒎
b. Pigmen Orange
𝟎. 𝟓 𝒄𝒎
𝑹𝒇 = = 𝟎. 𝟎𝟓
𝟏𝟎

VII. PEMBAHASAN
Metode kromatografi merupakan salah satu cara yang baik untuk
memisahkan kmponen kimia yang bercampur dalam sampel. Banyak proses
ekstraksi yang berhasil dilakukan masih memerlukan metode pemisahan lebih
lanjut karena ekstrak yang didapat masih mengandung beberapa senyawa
sejenis yang tidak dapat dipisahkan. Pemisahan dengan cara ekstraksi untuk
senyawa-senyawa yang sangat mirip juga tidak sederhana. Dalam tumbuhan
banyak sekali pemisahan secara alami untuk pigmen-pigmennya dan juga
terjadi perubahan secara kimiawi sehingga menampakan perubahan warna.
Metode yang digunakan dalam praktik ini adalah kromatografi kolom
yang termasuk kedalam metode kromatografi klasik. Hal ini didasarkan pada
pemisahan yang diakibatkan karena adanya perbedaan afinitas suatu
komponen terhadap fase diam dan fase gerak. Fase diam yang digunakan yaitu
alumina (Al2O3) dan fase gerak yang digunakan yaitu petroleum benzen, serta
sampel yang dipakai yaitu daun suji.
Kolom kromatograf yang sudah kering dan bersih disiapkan. Bagian
paling bawah kolom diberi kapas sebagai penahan agar fase diam tidak
terbuang. Kemudian ditambahkan fase diam alumina (Al2O3) hingga kurang
lebih 10 cm. Pastikan isi kolom tidak berongga dengan cara mengetuk-ngetuk
kolom, karena jika berongga akan menyebabkan difusi eddy
(ketidakseragaman geraknya analit) yang berdampak pada pelebaran pita
warna yang terbentuk. Fase diam yang digunakan bersifat polar agar tidak
bereaksi dengan eluen dan analit. Lalu diberi kertas saring sesuai diameter
kolom sebagai penyaring agar residu dan zat klorofil tidak ikut terbawa.
Sampel daun suji yang digunakan dirajang atau dipotong kecil-kecil
dan ditimbang serta dilarutkan dengan senyawa non polar petroleum benzen
untu melarutkan klorofil dalam sampel. Kemudian sampel dimasersi selama
kurang lebih 45 menit dengan tujuan untuk mendapatkan zat aktif dalam
daun suji menggunakan pelarut nonpolar. Sampel lalu disaring untuk diambil
filtratnya an kemudian diuapkan dalam ruang asam menggunakan hairdryer.
Dari hasil praktikum didapatkan yaitu karoten lebih non polar
dibandingkan dengan klorofil, hal ini dapat dilihat dari nilai Rf karoten yang
lebib besar dari pada nilai Rf klorofil . peristiwa ini dikarenakan karoten lebih
mengikuti eluen atau fase gerak yang bersifat non polar dan klorofil ikut
terbawa setelah karoten. Pemisahan yang dihasilkan kurang optimum
sehingga pita warna yang dihasilkan tipis karena kolom yang kurang panjang.
Semain panjang kolom maka pemisahan yang terjadi semakin baik pemisahan.
Sampelnya pun harus semakin banyak. Fase gerak yang digunakan pun
semakin banyak. Waktunya juga semakin lama. Seharusnya praktik ini
dilakukan secara berkelanjutan dengan mengganti-ganti fase geraknya. Pada
praktik ini tidak digunakan CaCO3 dan sukrosa karena sulit untuk menghitung
nilai Rf nya (retention Faktor).

VIII. KESIMPULAN
Dari hasil praktikum yang dilakukan, senyawa pigmen dalam sampel
daun suji dapat dipisahkan dan didapatkan nilai Rf pada pigmen warna hijau
sebesar 0,03 dan nilai Rf pada pigmen warna orange sebesar 0,05.

IX. DAFTAR PUSTAKA


1. Still, W. C.; Kahn, M.; Mitra, A. J. Org. Chem. 1978. 43(14)
2. Laurence M. Harwood, Christopher J. Moody (13 Jun 1989). Experimental
organic chemistry: Principles and Practice (Illustrated ed.). pp. 180–185.
ISBN 978-0-632-02017-1. Normal phase column chromatography, Material
Harvest.
3. Fair, J. D.; Kormos, C. M. J. 2008. Chromatography. 1211(1-2), 49-54.
4. Harrison et al. 2003. Bioseparations Science and Engineering. New York :
Oxford University Press.
Percobaan 8

PEMISAHAN ZAT WARNA CAMPURAN (DYE MIXTURE) SECARA KROMATOGRAFI LAPIS

TIPIS ASCENDING DENGAN MENGGUNAKAN DUA TIPE ELUEN

I. Tujuan
 Memisahkan zat warna dalam zat warna campuran
 Menghitung nilai Rf masing – masing warna hasil pemisahan
II. Prinsip
Pemisahan komponen zat warna akibat perbedaan laju migrasi masing-masing zat
warna dalam fase diam dan fase gerak. Pemilihan fase gerak yang tepat dapat
memisahkan komponen zat warna dengan sempurna.
III. Alat dan Bahan
 Alat:
1. Pipa kapiler
2. Hair dryer
3. Pipet mohr
4. Chamber ascending yang memiliki 2 wadah eluen kiri dan kanan
 Bahan:
1. Contoh dye mixture
2. Toluene
3. N-heksana
4. Plat KLT
IV. Cara Kerja
1. Pembuatan larutan fase gerak

n-heksana dan Dimasukkan ke


toluena masing- tabung ulir
masing dipipet 4 mL berpenutup dan
dan 6 mL dihomogenkan
2. Persiapan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dan penjenuhan Chamber

Chamber pada sisi kiri diisi


dengan toluena sedangkan
Diberi garis 5 mm pada chamber sebelah kanan diisi
Lempeng KLT dipotong masing-masing daerah dengan campuran heksana
seukuran 5x10 cm atas dan bawah dengan dan toluena dengan
menggunakan pensil perbandingan 4:6 (Pengisian
eluen menggunakan pipet
tetes) lalu tutup chamber

2. Penotolan standar dan sampel

Sampel dye mixture ditotolkan


(spotting) menggunakan pipa
kapiler pada plat KLT yang Penotolan dilakukan pada
sudah ditandai dengan pensil kedua sisi plat
dengan jarak masing-masing
penotolan ±1 cm

3. Pengujian

Plat KLT yang


sudah dispotting Proses elusi Proses elusi
dimasukkan ke dibiarkan hingga dihentikan
chamber dan eluen sebelah kiri sebelum kedua Hitung nilai Rf-
diletakkan dan kanan eluen bercampur nya masing-
mendatar hingga masing-masing dengan cara plat masing
sisinya bergerak ke tersebut diangkat
bersentuhan tengah dan dikeringkan
dengan eluen

4. Perhitungan Nilai Retention Factor (RF)

Bandingkan nilai Rf yang


Rf = jarak spot/jarak
terdapat pada sampel
eluen
berdasarkan warnanya
V. Data Pengamatan
No Sampel Pengamatan
Warna Rf
1 Dye Mixture & Eluen n-heksana Biru : 5 mm 0,11
Toluena 4 : 6 Merah : 15 mm 0,34
Kuning : 20 mm 0,45
2 Dye Mixture & Eluen Toluena Biru : 12 mm 0,27
Merah : 24 mm 0,54
Kuning : 31,7 mm 0,72
33. Dye Mixture & Eluen n-heksana Campuran warna -
biru, orange dan
kuning

Fasa Diam: Silica Gel

5 mm 44mm 44 mm 5mm
(Toluena) (Toluena:n-heksana (6:4))

n-heksana
Perhitungan
 Dye Mixture & Eluen n-heksana Toluena 4 : 6
𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑆𝑝𝑜𝑡
Rf = 𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝐸𝑙𝑢𝑒𝑛
5 𝑚𝑚
Rf = 44 𝑚𝑚 = 0,11
15 𝑚𝑚
Rf = 44 𝑚𝑚 = 0,34
20 𝑚𝑚
Rf = 44 𝑚𝑚 = 0,45
 Dye Mixture & Eluen Toluena
𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑆𝑝𝑜𝑡
Rf = 𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝐸𝑙𝑢𝑒𝑛
12 𝑚𝑚
Rf = 44 𝑚𝑚 = 0,27
24 𝑚𝑚
Rf = = 0,54
44 𝑚𝑚
31,7 𝑚𝑚
Rf = = 0,72
44 𝑚𝑚

VI. Pembahasan
Kromatografi merupakan pemisahan berdasarkan kecepatan migrasi melalui fase
diam (stationer phase) yang dibawa oleh fase gerak (mobile phase). Kromatografi
digunakan untuk memisahkan campuran dari substansinya menjadi komponen-
komponennya.Kromatografi mempunyai dua fase yaitu fase diam dan fase gerak Apabila
fase diamnya zat padat disebut kromatografi serapan,dan jika fase diamnya zat cair
disebut kromatografi partisi.
Percobaan ini bertujuan untuk memisahkan dan mengidentifikasi pigmen dari zat
warna campuran(dye mixture).percobaan ini menggunakan metode kromatografi serapan
(absorbsi),di mana silika gel bertindak sebagai fase diam dan eluen yang digunakan adalah
toluena serta toluena:heksana(4:6).Prinsip kerjanya didasarkan pada absorbsi komponen-
komponen campuran dengan afinitas berbeda terhadap permukaan fase diam.Absorben
bertindak sebagai fase diam dan fase geraknya adalah cairan yang mengalir membawa
komponen campuran sepanjang absorben.Sampel yang mempunyai afinitas besar
terhadap absorben akan secara selektif tertahan dan afinitasnya paling kecil akan
mengikuti aliran pelarut (Sulistiani, 2013).Afinitas merupakan kecenderungan suatu unsur
atau senyawa untuk membentuk ikatan kimia dengan unsur atau senyawa lain.
Langkah awal yang dilakukan pada percobaan ini yaitu membuat lempeng KLT
seukuran 5 x 10 cm.lalu masing-masing diberi garis ±1 cm pada daerah batas bawah dan
atas menggunakan pensil.pada sisi kiri diisi dengan toluena sedangkan dikanan diisi
dengan eluen campuran toluena:heksana(4:6).Kemudian sampel dye mixture
ditotolkan(spotting) menggunakan pipa kapiler pada lempeng KLT yang sudah ditandai
dengan pensil dengan jarak masing-masing penotolon 1 cm.penotolan dilakukan pada
kedua sisi plat atau lempeng.lempeng plat KLT yang sudah dispoting dimasukan ke
chamber dan diletakkan mendatar hingga kedua sisinya bersentuhan dengan
eluen.Setelah itu didiamkan hingga eluen sebelah kiri dan kanan masing-masing bergerak
kearah tengah.Pada saat melakukan pendiaman,chamber ditutup,dengan tujuan untuk
menjenuhkan atmosfer dalam chamber oleh uap pelarut/eluen.Penjenuhan udara dalam
chamber menghentikan penguapan pelarut, dikarenakan eluen yang digunakan
merupakan campuran senyawa organik yang mudah menguap (Kasman, 2010).Proses
dihentikan sebelum kedua eluen bercampur dengan cara lempeng diangkat dan
dikeringkan kemudian bisa dihitung nilai Rf masing-masing.
Pada metode kromatografi, terdapat 2 buah gaya merambat, yaiut gaya gravitasi
dan gaya kapiler. Perlakuan ini melibatkan gaya merambat kapiler, yaitu gaya merambat
ke atas yang terjadi pada eluen dengan membawa molekul analit. Sealanjutnya jarak
analit dihitung Rf-nya dengan rumus:
𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑠𝑝𝑜𝑡
𝑅𝑓 =
𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝐸𝑙𝑢𝑒𝑛
Nilai Rf digunakan sebagai nilai perbandingan relatif antar sampel. Nilai Rf juga
menyatakan derajat retensi suatu komponen dalam fase diam sehingga nilai Rf sering
juga disebut faktor retensi.
Dari hasil peraktikum didapatkan hasil-hasil berbeda,dari hasil perhitungan dengan
fase gerak toluena:heksana(4:6) maka diperoleh nilai Rf untuk warna biru: 0,11,warna
merah 0,34,warna kuning 0,45 sedangkan fase gerak toluena saja diperoleh nilai Rf warna
biru 0,27,warna merah 0,54,warna kuning 0,72.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa pemisahan dengan eluen toluena pemisahan
terjadi dengan cepat dan warna terpisah dengan jarak yang berbeda sehingga warna
dapat diamati dengan baik serta faktor retensi juga besar,sedangkan mengunakan
toluena:heksana pemisahan terjadi agak lambat,dan menggunakan toluena heksana tidak
terjadi pemisahan,hal ini disebabkan perbedaan sifat kepolaran toluena lebih bersifat
polar dari pada toluena:heksana dan heksana sedangkan sampl bersifat non-
polar,sehingga sampel akan tertahan di fase gerak yang bersifat non polar(heksana).
Panjang ukuran noda (analit) berbanding lurus dengan nilai Rf.dengan kata
lain,semakin panjang ukuran noda analit maka semakin besar pula nilai Rf yang
diperoleh.Nilai Rf yang sama menunjukkan karakteristik yang sama antara kedua analit.
Menurut Day, R.A (1999), faktor yang mempengaruhi daya serap absorben yaitu sifat
komponen,sifat absorben dan temperatur.jika semua faktor lainnya sama, semakin polar
suatu komponen/senyawa maka semakin kuat senyawa tersebut akan diabsorbsi; jika
faktor-faktor lain sama,berat molekul yang besar menyebabkan absorbsi; emakin polar
zat pelarut, semakin besar kecenderungannya untuk menguji tempat-tempat pada
permukaan yang diperebutkan dengan zat terlarut, dan oleh sebab itu zat terlarut akan
kurang diabsorbsi.Absorben-absorben yang paling lazim adalah zat padat yang secara
kasar dapat dikarakterisasi sebagai polar.Absorben-absorben seperti itu memperlihatkan
afinitas yang tinggi terhadap zat terlarut polar, terutama jika polaritas dari zat terlarut
tersebut rendah. Selain itu juga dapat dipengaruhi afinitas analit, di mana analit dengan
afinitas besar akan lebih banyak tertahan sehingga nilai Rf kecil.Untuk temperatur,daya
serap meningkat seiring dengan menurunnya temperatur.
VII. Simpulan
Dari hasil percobaan, komponen zat warna dalam Dye Mixture adalah warna biru,
merah dan kuning. Dengan perbandingan nilai Rf pada eluen campuran Toluena:Heksana
(6 : 4)dan nilai Rf pada eluen Toluena sebesar :
1. Biru = 0,11 ; 0,27
2. Merah = 0,34 ; 0,54
3. Kuning = 0,45 ; 0,72
Eluen yang tepat pada pemisahan ini adalah campuran Toluena :Heksana (6 : 4) dan
diketahui bahwa warna yang bersifat paling non-polar adalah kuning.

VIII. DAFTAR PUSTAKA


1. Khopkar, S,M. 2009. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: Universitas Indonesia
2. Rudi, L. 2010. Penuntun Dasar-Dasar Pemisahan Analitik. Kendari: Universitas
Haluoleo
3. Basset, J., dkk. 1994. Buku Ajar Vogel Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC
4. Day, R.A. dan Underwood, A.L. 1999. Analisis Kimia Kuantitatif. Jakarta: Erlangga
Percobaan 9

PENGUJIAN ASAM AMINO DALAM SAMPEL CAMPURAN ASAM AMINO SECARA


KROMATOGRAFI KERTAS
Kelompok 9
1. I Putu Ananda W. D.
2. M. Alief Rafly. P.
3. Nurfazriah H.
4. M. Rivaldi S.
5. Salsabila H.
I. Tujuan
Menguji kandungan asam-asam amino dalam sampel campuran asam
amino secara kromatografi kertas.

II. Prinsip
Asam-asam amino dipisahkan berdasarkan perbedaan kekuatan interaksi
antara fase diam dan fase gerak. Asam amino akan terbawa oleh fase gerak
dengan gaya dorong gaya kapilaritas. Asam amino yang berinteraksi kuat
dengan fase diam akan memiliki mobilitas yang rendah dibandingkan dengan
yang berinteraksi lemah dengan fase diam.

III. Dasar Teori


Asam amino adalah unit molekuler dasar yang membentuk polimer protein
panjang. Ada 20 jenis asam amino dalam protein yang menjadi dasar struktur
dan fungsi tubuh manusia. Setiap asam amino mengandung sedikitnya satu
gugus asam karboksil (-COOH) dan sedikitnya satu gugus amino (-NH3). Kedua
gugus tersebut terikat pada atom karbon yang sama. Setiap asam amino
mempunyai anak rantai yang disebut sebagai satu gugus R. Asam-asam amino
memiliki perbedaan dalam gugus R-nya yang memberi ciri khas dan
mempengaruhi sifat protein tempat asam amino tersebut bergabung. Gugus R
nonpolar menyebabkan asam amino relatif tidak larut dalam air. Gugus R yang
polar atau bermuatan listrik menyebabkan asam amino larut dalam air (Sloane,
2004).
penggolongan asam amino berdasarkan polaritas kandungan gugus R
(pada pH 7) diantaranya :
a) Gugus R nonpolar
- Alanin, Leusin, Metionin, Fenilalanin, Isoleusin, Prolin, Triptofan, Valin.
b) Gugus R polar, tidak bermuatan
- Asparagin, Glutamin, Glisin, Serin, Treonin, Sistein, Tirosin.
c) Gugur R bermuatan negative
- Asam aspartat dan Asam glutamate.

d) Gugus R bermuatan positif


- Arginin, Histidin, Lisin. (Suhara, 2008).
asam amino pembangun atau penyusun protein adalah alfa asam amino,
yaitu asam amino yang gugus aminonnya terikat pada atom karbon alfa. Jika
gugus aminonnya terikat pada atom karbon beta maka disebut asam beta
amino. Hanya alfa asam amino yang ditemukan bebas di alam. (Sumardjo,
2009).
Ninhidrin bereaksi dengan asam amino bebas dan protein menghasilkan
warna ungu. Reaksi ini termasuk yang paling umum dilakukan untuk analisis
kualitatif protein dan produk hasil hidrolisisnya. Apabila ninhidrin
(triketohidrin) dipanaskan bersama asam amino maka akan terbentuk
kompleks berwarna ungu. Kompleks berwarna ungu dihasilkan dari reaksi
ninhidrin dengan hasil reduksinya, yaitu hidrindantin dan amonia. Prolin dan
hidroksi prolin menghasilkan kompleks yang berbeda warnanya dengan asam
amino lainnya, yaitu berwarna kuning. (Fitria, 2013).
Asam amino aromatik adalah asam amino yang mempunyai gugus
benzena, suatu senyawa dikatakan aromatik apabila memenuhi aturan
Huckel. Aturan Huckel yang dibuat oleh ahli kimia Jerman Erich Huckel ini
menentukan molekul cincin planar yang memiliki sifat aromatik. Asam amino
aromatik terdiri dari fenilalanin, tirosin dan triptofan. (Marliya, 2012).
Uji Xanthoprotein adalah uji untuk menentukan apakah suatu protein
mengandung gugus benzena (cincin fenil). 20 jenis asam amino esensial dalam
organisme kehidupan yang mengandung gugus benzena ada tiga yaitu
fenilalanin, triptofan dan tirosin. Maka uji xanthoprotein ini hanya positif jika
asam amino tirosin, triptofan dan fenil alanin ditambahkan asam nitrat pekat
terbentuk endapan putih dan berubah menjadi kuning sewaktu dipanaskan.
Senyawa nitro yang terbentuk dalam suasana basa akan terionisasi dan
warnanya berubah menjadi jingga. (Lafita, 2013).
Pengujian asam amino selain Uji Ninhidrin dan Uji Xanthoprotein adalah
Uji Millon. Pereaksi Millon adalah larutan merkuro dan merkuri nitrat dalam
asam nitrat. Apabila pereaksi ini ditambahkan pada larutan protein, akan
menghasilkan endapan putih yang dapat berubah menjadi merah oleh
pemanasan. Pada dasarnya reaksi ini positif untuk fenol-fenol, karena
terbentuknya senyawa merkuri dengan gugus hidroksifenil yang
berwarna. (Jalip, 2008).
Kromatografi ditemukan oleh Michael Tswett, seorang ahli botani
di Universiti Warsaw (Polandia), pada tahun 1906. Kata kromatografi
berasal dari pada perkataan Yunani "warna" dan "tulis". Kromatografi adalah
metode yang digunakan untuk memisahkan komponen dalam sampel, dimana
komponen tersebut didistribusikan diantara dua fasa yaitu fasa diam dan fasa
gerak. Fasa diam berupa padatan atau cair yang dilapiskan pada padatan atau
gel. Pada pemisahan ini senyawa-senyawa yang akan dipisahkan ditempatkan
dalam sistem yang bergerak mengalir melalui suatu sistem yang diam, dan
selama pengaliran fasa gerak akan terjadi pelarutan, adsorpsi dan penguapan.
Pada prinsipnya semua cara pemisahan kromatografi mengalami proses
yang sama yaitu adanya distribusi komponen-komponen dalam fasa diam dan
fasa gerak dengan memanfaatkan perbedaan-perbedaan sifat-sifat fisik
komponen yang akan dipisahkan. (Mulja, 1995).
Teknik kromatografi kertas diperkenalkan oleh Consden, Gordon dan
Martin (1994), yang menggunakan kertas saring sebagai penunjang fase diam.
Kertas merupakan selulosa murni yang memiliki afinitas terhadap air atau
pelarut polar lainnya. Bila air diadsorbsikan pada kertas, maka akan
membentuk lapisan tipis yang dapat dianggap analog dengan kolom.
Lembaran kertas berperan sebagai penyangga dan air bertindak sebagai fase
diam yang terserap di antara struktur pori kertas. Cairan fase bergerak yang
biasanya berupa campuran dari pelarut organik dan air, akan mengalir
membawa noda cuplikan yang didepositkan pada kertas dengan kecepatan
yang berbeda. Pemisahan terjadi berdasarkan partisi masing-masing
komponen di antara fase diam dan fase bergeraknya. Kromatografi kertas
digunakan baik untuk analisis kualitatif maupun kuntitatif. Senyawa - senyawa
yang dipisahkan kebanyakan bersifat sangat polar, misalnya asam amino, gula
- gula, dan pigmen - pigmen alam. (Yazid, 2005).
Dalam teknik kromatografi kertas, proses pengeluaran asam mineral dari
kertas disebut desalting. Larutan ditempatkan pada kertas dengan
menggunakan mikropipet pada jarak 2-3 cm dari salah satu ujung kertas
dalam bentuk coretan garis horizontal. Setelah kertas dikeringkan, diletakkan
di ruang yang sudah dijenuhkan dengan air atau dengan pelarut yang sesuai.
Penjenuhan dapat dilakukan 24 jam sebelum analisis. Descending adalah salah
satu teknik di mana cairan dibiarkan bergerak menuruni kertas akibat
gravitasi. Pada teknik ascending, pelarut bergerak ke atas dengan gaya kapiler.
Nilai Rf harus sama baik pada descending maupun ascending. Sedangkan yang
ketiga dikenal sebagai cara radial atau kromatografi kertas sirkuler. Kondisi -
kondisi berikut harus diperhatikan untuk memperoleh nilai Rf yang
reprodusibel. Temperatur harus dikendalikan dalam variasi tidak boleh lebih
dari 0,5oC. Kertas harus didiamkan dahulu paling tidak 24 jam dengan
atmosfer pelarutnya, agar mencapai kesetimbangan sebelum pengaliran
pelarutnya pada kertas. Dilakukan beberapa pengerjaan yang parallel, Rfnya
tidak boleh berbeda lebih dari 0,02. (Khopkar, 2008).
Prinsip kromatografi kertas adalah adsorbsi dan kepolaran, di mana
adsorbsi didasarkan pada panjang komponen dalam campuran yang
diadsorbsi pada permukaan fase diam. dan kepolaran komponen berpengaruh
karena komponen akan larut dan terbawa oleh pelarut jika memiliki
kepolaran yang sama serta kecepatan migrasi pada fase diam dan fase gerak.
(Yazid, 2005).
Suatu atomiser umumnya digunakan sebagai reagent penyemprot bila
batas permukaan pelarut dan zat terlarut dalam kertas ingin dibuat dapat
dilihat. Atomiser yang halus lebih disukai. Gas - gas juga dapat digunakan
sebagai penanda bercak, untuk karbohidrat notasi Rg digunakan untuk
menggantikan Rf. Setelah penandaan bercak batas permukaan, selanjutnya
dapat dilakukan analisis kalorimetri atau spektroskopi reflektansi bila sampel
berupa logam. Materi yang terdapat di dalam kertas dapat ditentukan secara
langsung dengan pelarutan. Kromatografi kertas selain untuk pemisahan dan
analisis kuantitatif, juga sangat bermanfaat untuk identifikasi. Hal ini dapat
dilakukan misalkan dengan membuat grafik antara Rm α terhadap jumlah
kation dalam suatu deret homolog. (Khopkar, 2008).
Susunan serat kertas membentuk medium berpori yang bertindak sebagai
tempat untuk mengalirnya fase gerak. Berbagai macam kertas yang secara
komersial tersedia adalah whatman 1, 2, 31 dan 3 MM, kertas asam asetil,
kertas kieselgurh, kertas silikon dan kertas penukar ion juga digunakan.
Tersedia juga kertas selulosa murni, kertas selulosa yang dimodifikasi dan
kertas serat kaca. Zat - zat hidrofobik dapat dipisahkan pada kedua jenis
kertas terakhir ini. Kertas asam asetil atau kertas silikon dapat digunakan
untuk zat - zat hidrofobik, sedangkan untuk reagent yang korosif, kertas serat
kaca dapat digunakan. Untuk memilih kertas, yang menjadi pertimbangan
adalah tingkat dan kesempurnaan pemisahan, difusivitas pembentukan spot,
efek tailing dan pembentukan komet serta laju pergerakan pelarut terutama
untuk teknik descending. (Khopkar, 2008).
IV. Skema Kerja

a. Pembuatan Fase Gerak

n-butanol 80 Dimasukan ke Ditutup bagian


mL+Asam gelas ukur 2L atas gelas ukur
Asetat 20 menggunakan
mL+Aquadest kaca arloji selama
20 mL 30’

b. Persiapan Kertas Kromatografi

Dipotong kertas Diberi garis 2-4 Dipotong


kromatografi cm pada diameter kertas
setinggi ukuran daerah batas kromatografi lebih
gelas ukur bawah kecil dari diameter
menggunakan gelas ukur
pensil
c. Penotolan Standar dan Sampel

Spotting Diberikan jarak


standard an masing-masing
sampel spotting 1-2 cm
menggunakan
pipa kapiler
pada daerah
batas bawah
V. Pengamatan :

Tabel Data Pengamamatan

Pengamatan Jarak Jarak


No Nama Bahan Spot Eluen Rf
Warna Bau Wujud
(cm) (cm)
Tidak Tidak
1 Standar L-Arigin Cairan 3.85 0.20
Berwarna berbau
Tidak Tidak
2 Standar L-Cysteine Cairan 1.35 0.07
Berwarna berbau
Standar L-Glutamic Tidak Tidak
3 Cairan 4.05 0.21
Acid Berwarna berbau
Standar L- Tidak Tidak
4 Cairan 12.00 0.64
Phenylalamin Berwarna berbau 18.85
Tidak Tidak
5 Sampel A Cairan 3.50 0.18
Berwarna berbau
Tidak Tidak
Cairan 12.00 0.64
Berwarna berbau
Tidak Tidak
6 Sampel B Cairan 1.40 0.07
Berwarna berbau
3.90 0.21

VI. Perhitungan

3.85 𝑐𝑚
1) Rf = 18.85 𝑐𝑚 = 0.20 Rf =
𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑆𝑝𝑜𝑡
𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑒𝑙𝑢𝑒𝑛
1.35 𝑐𝑚
2) Rf = 18.85 𝑐𝑚 = 0.07

4.05 𝑐𝑚
3) Rf = 18.85 𝑐𝑚 = 0.21

12.00 𝑐𝑚
4) Rf = 18.85 𝑐𝑚 = 0.64

3.50 𝑐𝑚
5) Rf = = 0.18
18.85 𝑐𝑚

12.00 𝑐𝑚
Rf = 18.85 𝑐𝑚 = 0.64

1.40 𝑐𝑚
6) Rf = 18.85 𝑐𝑚 = 0.07

3.90 𝑐𝑚
Rf = 18.85 𝑐𝑚 = 0.21

VII. Pembahasan
Asam amino adalah asam karboksilat yang mempunyai gugus amino yang terdapat

sebagai komponen protein yang mempunyai gugus –NH2 pada atom karbon alpha dari

posisi gugus –COOH. Dari rumus umum tersebut dapat dilihat bahwa atom karbon alpha

ialah atom karbon asimetrik, kecuali bila R adalah atom H. Oleh karena itu asam amino

juga memiliki sifat memutar bidang cahaya terpolarisasi atau aktifitas optic. Oleh karena

itu atom karbon itu asimetrik maka molekul asam amino mempunyai dua konfigurasi D

dan L. hal ini dapat dibandingkan dengan konfigurasi molekul monosakarida.

Pada penetepan ini standar asam amino yang digunakan adalah Standar L-Arigin,

Standar L-Cysteine, Standar L-Glutamic Acid, dan Standar L-Phenylalamin. Pada umumnya

asam amino larut dalam air dan tidak larut dalam pelarut organic non polar seperti eter,

aseton dan kloroform. Sifat asam amino ini berbeda dengan asam karboksilat maupun

dengan sifat amina. Asam karboksilat alifatik maupun aromatic yang terdiri atas beberapa

atom karbon umumnya kurang larut dalam air tetapi larut dalam pelarut organic.

Demikian pula amina pada umumnya tidak larut dalam air, tetapi larut dalam pelarut

organic.

Pada penetapan ini digunakan fase gerak ( butanol + asam asetat + air ) dengan

perbandingan ( 8 : 2 : 2 ) dalam 120 mL. kemudian di masukan ke dalam gelas ukur 2L lalu

di tutup untuk di jenuhkan. Proses penjunuhan di lakukan agar suasana dalam gelas ukur

bisa sama dengan fase gerak sehingga merata. Campuran atau sampel diteteskan sedikit

demi sedikit pada kertas kromatografi (kertas saring) pada titik tertentu dan ke-4 standar

juga diteteskan sedikit demi sedikit pada kertas saring yang sama tetapi pada titik

tertentu. Kemudian ujung kertas saring dicelupkan kedalam ke fase gerak harus merata

agar pada saat proses elusi tidak terjadi keluar jalur dan tetap lurus hingga spotnya
muncul. Pada proses elusi dilakukan selama 1x24 jam karena pada proses ini agak lama

sehingga di perlukan waktu yang panjang hingga mencapai jarak puncak fase gerak.

Pada percobaan kali ini sampel A diduga merupakan L-Arigin karena Rf antara

sampel A dan L-Arigin tidak berbeda jauh yaitu sampel A sebesar 0,18 sedangkan standar

L-Arigin sebesar 0,20 sehingga sampel merupakan L-Arigin. Pada sampel B diduga

merupakan L-cysteine karena Rf antara sampel B dan standar L-Cysteine sama sebesar

0,07 sehingga sampel B merupakan L-Cysteine.

VIII. Kesimpulan

Pada praktikum kali ini dapat disimpulkan bahwa :

- Sampel A merupakan L-Arigin

- Sampel B merupakan L-Cysteine

IX. Daftar pustaka


1. Fitria, Nursa’id. 2013. Reaksi Uji terhadap Asam Amino. [Online]. Tersedia :
http://www.slideshare.net/fitriasaid/laporan-tetap-biokim-1-reaksi-uji-terhadap-
asam-amino [Diakses pada 18 September 2014]
2. Jalip, I.S. 2008. Penuntun Praktikum Kimia Organik. Jakarta: Laboratorium Kimia,
Fakultas Biologi Universitas Nasional.
3. Lafita, Diani. 2013. Uji Xanthoproteat/Xanthoprotein pada Protein. [Online].
Tersedia :
http://chemistrydiani.blogspot.com/2013/05/uji-xanthoproteat-xanthoprotein-
pada.html [Diakses pada 18 September 2014]
4. Marliya, Rita. 2012. Asam Amino Aromatik. [Online]. Tersedia :
http://ritamarliya0228fkipunsyiah.blogspot.com/2012/11/asamamino-
aromatik.html [Diakses pada 18 September 2014]
5. Sloane, Ethel. 2004. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC
6. Suhara. 2008. Dasar-dasar Biokimia. Bandung : Prisma Press
7. Sumardjo, Damin. 2009. Pengantar Kimia. Jakarta : Penerbit Bku Kedokteran EGC
8. Khopkar, SM. 2008. Konsep Dasar Kimia Analitik. UI-Press. Jakarta.
Yazid, Estien. 2005. Kimia Fisik untuk Paramedis. ANDI. Yogyakarta.
Percobaan 10

Pemisahan Ion Logam Dalam Contoh Cairan Secara Kromatografi Kertas

Dimas Aditya (1617535)

Irin Laurina Savitri (1617593)

M Dziaul Haq Mahendra (1617636)

Nurul Tania Widy S (1617680)

Syifa K (1617732)

Widyastuti Arma B (1718018)

I. Tujuan

1. Memisahkan ion logam dalam contoh secara kromatografi kertas

2. Menentukan nilai Reterdasi Faktor (Rf) ion logam dala contoh

II. Prinsip

Ion logam dalam sampel cairan dapat diuji secara kualitatif dengan

menggunakan metode kromatografi kertas. Ion logam dengan driving force gaya

kapilaritas datapat terbawa oleh fase gerak sampai jarak tertentu. Ion logam yang

sudah terpisah dappat diidentifikasi dengan penambahan activating agent untuk

membentuk senyawa berwarna.

III. Dasar Teori

Pengertian kromatografi menyangkut metode pemisahan yang didasarkan

atas distribusi diferensial komponen sampel diantara dua fasa. Menurut

pengertian ini kromatografi selalu melibatkan dua fasa, yaitu fasa diam dan fase

gerak. Fasa diam dapat berupa cairan dapat berupa eluen atau pelarut atau gas
pembawa yang inert. Gerakan fasa gerak ini mengakibatkan terjadinya migrasi

diferensial komponen-komponen dalam sampel. (Soebagio,2003).

Kromatografi kertas merupakan bidang khusus kromatografi cair-cair. Fase

diam berupa lapisan tipis air yang terserap oleh kertas. Pengerjaannya sangat

sederhana, penempatan satu tetes larutan cuplikan pada kertas dan kemudian

mencelupkannya ke dalam pelarut (eluen ) sudah cukup untuk memisahkan

komponen-komponen cuplikan. (Soebagio,2003).

Kromatografi kertas atau KK pada hakekatnya ialah KLT pada lapisan tipis

selulosa atau kertas. Cara ini ditemukan jauh sebelum KLT dan telah dipakai secara

efektif selama bertahun-tahun untuk pemisahan molekul biologi yang polar

seperti asam amino, gula, dan nukleotida. Metode ini merupakan KK dengan fase

diam cair biasanya air, berada pada serabut kertas. KK paling baik jika

dibandingkan dengan KLT pada lapisan tipis serbuk selulosa. KK tidak memerlukan

plat pendukung, dan kertas dapat dengan mudah diperoleh dalam bentuk murni

sebagai kertas saring. Lapisan selulosa harus dicetak atau dibeli khusus. Panjang

serabut pada kertas lebih panjang daripada serabut pada lapisan selulosa yang

lazim, menyebabkan lebih banyak terjadi diffusi ke samping dan bercak lebih

besar. Akhirnya lapisan selulosa lebih rapat dan pelarut lebih cenderung mengalir

melaluinya lebih cepat dan menghasilkan pemisahan lebih tajam. (Gritter,1991)

Mekanisme pemisahan dengan kromatografi kertas prinsipnya sama

dengan mekanisme pada kromatografi kolom. Adsorben dalam kromatografi

kertas adalah kertas saring yakni selulosa. Sampel yang akan dianalisis ditotolkan

ke ujung kertas yang kemudian digantung dalam wadah. Kemudian dasar kertas

saring dicelupkan ke dalam pelarut yang mengisi dasar wadah. Fasa mobile phase
(pelarut) dapat saja beragam. Air, Etanol, asam asetat, atau campuran zat-zat ini

dapat digunakan (Wawan, 2009).

IV. Alat dan Bahan

A. Alat yang digunakan :

 Gelas Ukur ( Bejana ) ukuran 2L

 Pipa Kapiler

 Hair Dryer (pengering)

 Kaca Arloji

B. Bahan yang digunakan :

 Larutan Standar Cu, Ag, dan Pb

 Ketas Kromatografi

 Etanol

 HCl 5N

 Akuades

 KI 1%

V. Cara Kerja

A. Pembuatan Larutan Fase Gerak

1. Dicampurkan 90 mL etanol dan 10 mL HCl 5N kedalam piala gelas

2. Dimasukan larutan campuran etanol dan HCl ( 9 : 1 ) kedalam bejana 2L

3. Ditutup bejana menggunakan kaca arloji

4. Dilakukan proses penjenuhan

B. Pembuatan Larutan Standar 10 mg/L Cu, Pb, dan Hg

1. Dilakukan pengenceran dari larutan stok yang telah disediakan sesuai

konsentrasi yang diinginkan.


C. Preparasi Sampel Larutan

1. Disaring sampel yang akan diuji tidak boleh mengandung banyak matriks

dan keruh.

D. Persiapan Kertas Kromatografi

1. Diukur dan dipotong kertas kromatorafi sesuai tinggi ukuran bejana

2. Diukur diameter kertas, lebar diameter kertas harus lebih kecil dari

diameter bejana

3. Diberi garis 2-4 cm dengan pensil dan batas bawah

E. Penotolan Standar dan Sampel

1. Diukur jarak penotolan untuk standar dan sampel 1-2 cm

2. Ditandai daerah yang akan ditotolkan standar dan sampel

3. Ditotolkan standar dan sampel menggunakan pipa kapiler

F. Pengujian

1. Dimasukan kertas kromatografi yang telah dispoting standar dan sampel

kedalam bejana yang sudah dijenuhkan oleh fase gerak

2. Didiamkan kertas kromatografi di dalam bejana sampai proses elusi

sempurna

3. Dikeringkan kertas kromatografi menggunakan pengering hairdryer

4. Disemprotkan activating agent yaitu larutan KI 1% ke spot yang sudah

dikeringkan

5. Ditentukan nilai Rf dengan membandingkan standar dan sampel


VI. Data Pengamatan

Pengamatan
No Nama Bahan
Warna Bau Wujud Rf

1 Standar Ag Tidak Berwarna Tidak Berbau Cairan 0,70

2 Standar Pb Tidak Berwarna Tidak Berbau Cairan 0.68

3 Standar Cu Biru Tidak Berbau Cairan 0,79

4 Sampel A Biru Tidak Berbau Cairan 0.80

5 Sampel B Tidak Berwarna Tidak Berbau Cairan 0.66

Tabel D

VII. Perhitungan

1. Standar Ag

𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑡𝑒𝑚𝑝𝑢ℎ 𝑠𝑝𝑜𝑡


Rf = 𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝐸𝑙𝑢𝑒𝑛

28,35 𝑐𝑚
= 41 𝑐𝑚

= 0,70

2. Standar Cu

𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑡𝑒𝑚𝑝𝑢ℎ 𝑠𝑝𝑜𝑡


Rf = 𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝐸𝑙𝑢𝑒𝑛

32,25 𝑐𝑚
= 41 𝑐𝑚

= 0,79
3. Standar Pb

𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑡𝑒𝑚𝑝𝑢ℎ 𝑠𝑝𝑜𝑡


Rf = 𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝐸𝑙𝑢𝑒𝑛

27,9 𝑐𝑚
= 41 𝑐𝑚

= 0,68

4. Sampel A

𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑡𝑒𝑚𝑝𝑢ℎ 𝑠𝑝𝑜𝑡


Rf = 𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝐸𝑙𝑢𝑒𝑛

32,35 𝑐𝑚
= 41 𝑐𝑚

= 0,80

5. Sampel B

𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑡𝑒𝑚𝑝𝑢ℎ 𝑠𝑝𝑜𝑡


Rf = 𝐽𝑎𝑟𝑎𝑘 𝐸𝑙𝑢𝑒𝑛

26,95 𝑐𝑚
=
41 𝑐𝑚

= 0,66

VIII. Pembahasan

Kromatografi kertas merupakan bidang khusus kromatografi cair-cair. Fasa

diamnya berupa lapisan tipis air yang diserap oleh kertas. Selain air dapat juga

digunakan cairan lain (Soebagio Dkk, 2002). Tujuan percobaan kali ini yaitu

mahasiswa diharapkan mampu memisahkan ion logam dalam campuran dengan

cara kromatografi kertas. Pada proses pengidentifikasian ion logam Pb, Ag, dan Cu

dari campurannya dilakukan menggunakan prinsip kerja yakni penotolan,

pengembangan dan pengidentifikasian. Fase diam disini adalah larutan pengelusi

yang terikat pada kertas (selulosa) dan fase geraknya adalah larutan pengembang.

Kertas saring yang digunakan adalah kertas saring biasa dengan panjang 25 cm
dan lebar 12 cm. kertas saring biasa digunakan karena tipis dan mempunyai pori-

pori yang besar sehingga noda dapat merembes dengan cepat dan teratur. Garis

awal pada kertas dengan menggunakan pensil karena pensil terbuat dari bahan

grafit dimana ia tidak larut dalam eluen, berbeda dengan pulpen yang akan larut

dan mengganggu penampakan noda. Penotolan diusahakan tidak terlalu banyak

karena dapat mempengaruhi besar spot. Spot yang terlalu besar tidak baik untuk

penampakkan noda karena nodanya dapat melebar kesamping atau ke bawah

sehingga dapat menyusahkan pembacaan noda. Maka dari itu digunakan pipa

kapiler karena memiliki diameter yang kecil.

Pada tahap pengembangan, kertas yang berisi totolan dimasukkan ke dalam

larutan fase gerak. Totolan cuplikan diusahakan tidak terendam dalam eluen

karena larutan yang akan diidentifikasi bisa ikut larut dalam pelarut dan

rusak sehingga tidak dapat diidentifikasi lagi. Kertas pun tidak boleh menyentuh

dinding wadah karena akan menganggu pendistribusian warna yang akan muncul.

Selanjutnya wadah ditutup dengan tujuan agar eluen tidak menguap dan

menganggu kesetimbangan pelarut, karena jika eluennya menguap akan

mempengaruhi perambatan noda.

Komponen cuplikan akan terbawa oleh rembesan dan saat telah mencapai

batas akhir kertas dapat diangkat. Untuk memperjelas penampakkan noda, kertas

tersebut dikeringkan baru kemudian disemprot dengan larutan KI. Larutan kalium

iodida dapat memperjelas penampakkan noda

Setelah menyemprotkan dengan KI, diperoleh warna dari Ag yaitu kuning

dengan Rf 0.70 Pb warna kuning dengan Rf 0.68 dan Rf Cu 0.79 yaitu warna

kuning. Untuk komponen campuran, noda yang terbentuk yaitu warna putih
dengan Rf 0,97.. Hasil analisis data menunjukkan bahwa nilai Rf untuk setiap ion

logam berbeda disebabkan karena adanya perbedaan kelarutan komponen ion-ion

logam tersebut dalam eluen sehingga menyebabkan kecepatan bergerak

komponen juga berbeda. Larutan campuran memiliki nilai Rf yang paling besar

disebabkan karena larutan tersebut memiliki kelarutan yang besar. Hal ini

disebabkan karena larutan pengembang cenderung mempunyai sifat kepolaran

yang lebih besar sehingga komponen yang memiliki sifat yang sama dengan

larutan pengembang akan bergerak lebih cepat sehingga nilai Rfnya akan besar

pula.

IX. Simpulan

Dari Hasil Pemisahan didapatkan nilai Rf :

1. Standar Ag : 0.70

2. Standar Cu : 0.79

3. Standar Pb : 0.68

4. Sampel A : 0.80

5. Sampel B : 0.66

Dan dapat disimpulkan bahwa sampel A mengandung Cu sedangkan untuk sampel

B mengandung Pb dengan fasa gerak Etanol : HCl ( 9:1 )

X. Daftar pustaka

1. Gritter, Roy, J, dkk. 1991. Pengantar Kromatografi. Bandung: Penerbit ITB.

2. Soebagio, dkk.2003. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta : UI- Press.

3. Wawan, J.2009. Kromatografi Kertas. http://wawanjunaidi.blogspot.com.

Diakses pada 30 April 2010


PERTANYAAN

1. Apakah niali Rf Perlu dilakukan perbandingan dengan nilai literatur ? Jelaskan !

 Ya, Perlu dilakukan karena untuk memastikan pekerjaan yang dilakukan sudah baik

atau belum dengan hasil Rf yang didapatkan

2. Apakan HCl bisa diganti dengan HNO3 ? Jelaskan !

 Tidak bisa, Karena etanol dan HNO3 dicampurkan dapat membentuk camperan

yang mudah meledak

3. Apakah metode ini bisa di jadikan metode kuantitatif ?

 Bisa dengan mengukur area spot spot yang terpisah menggunakan alat ukur

seperti mister, tapi mungkin hasilnya tidak akurat

Anda mungkin juga menyukai