Biokimia Diabetes Melitus Tipe Ii: Januari 2015

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 13

BIOKIMIA

DIABETES MELITUS TIPE II

OLEH

Fittrotus Ardya Yusidha 13.059

AKADEMI FARMASI “PUTRA INDONESIA MALANG”

Januari 2015
1. Penyakit Degeneratif
Penyakit degeneratif merupakan istilah yang secara medis digunakan untuk
menerangkan adanya suatu proses kemunduran fungsi sel saraf tanpa sebab yang
diketahui, yaitu dari keadaan normal sebelumnya ke keadaan yang lebih buruk. Penyebab
penyakit sering tidak diketahui, termasuk diantaranya kelompok penyakit yang
dipengaruhi oleh faktor genetik atau paling sering terjadi pada salah satu anggota
keluarga (faktor familial) sehingga sering disebut penyakit heredodegeneratif. Proses
penuaan dan penyakit degeneratif dari sel memiliki proses dasar yang sama. Salah satu
contoh penyakit degeneratif adalah diabetes mellitus tipe 2.

2. Diabetes Melitus tipe 2

Diabetes melitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang
karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat kelainan sekresi insulin, kerja
insulin maupun kedua-duanya. Diabetes melitus terbagi menjadi dua tipe yaitu diabetes
melitus tipe 1 dan diabetes melitus tipe 2.

Diabetes melitus tipe 2 merupakan salah satu contoh penyakit degeneratif,


diabetes tipe 2 disebabkan kegagalan relatif sel β dan resistensi insulin. Resistensi insulin
adalah peristiwa dimana pemasukan insulin ke dalam sel menurun pada penderita
diabetes tipe 2. Penyebabnya adalah berkurangnya jumlah reseptor yang harus mengikat
insulin atau tidak bekerja (lagi) semestinya. Atau karena adanya gangguan padas sistem
transpor insulin di dalam sel ke tempat pembakaran. Hipofungsi sel-sel β dan resistensi
insulin yang meningkat mengakibatkan gula darah meningkat. Mungkin juga disebankan
akibat virus pada masa muda. Diperkirakan bahwa pada penderita tanpa overweight
resistesni insulin tidak berperan.

Resistensi insulin dapat terjadi akibat berbagai hal, antara lain:


 Obesitas, orang gemuk membutuhkan lebih banyak insulin daripada orang “biasa”
 Gangguan jantung (infark, dekompensasi)
 Obat-obat, misalnya kortikosteorida, diuretika tiazida (diatas 25 mg/hari) dan
betablockers
 Stimulasi aktivitas sistem simpatikus secara akut.

a. Etiologi DM tipe 2
 Faktor genetik : memegang peranan dalam proses terjadinya
resistensi Insulin.
 Faktor usia : resistensi insulin cenderung menigkat pada usia di atas 65
tahun.
 Obesitas : berkaitan dengan resistensi insulin, maka kemungkinan
besar terjadi gangguan toleransi glukosa

b. Patofisiologi
Pada diabetes tipe 2 terdapat beberapa masalah utama yaitu
o Resistensi insulin
Resistensi insulin terjadi akibat penurunan kemampuan hormon insulin untuk
bekerja secara efektif pada jaringan-jaringan target perifer (terutama pada otot
dan hati). Resistensi terhadap insulin merupakan hal yang relatif. Untuk
mencapai kadar glukosa darah yang normal dibutuhkan kadar insulin plasma
yang tinggi. Pada orang dengan diabetes melitus tipe 2, terjadi penurunan pada
penggunaan maksimum insulin, yaitu lebih rendah 30 - 60 % daripada orang
normal. Resistensi terhadap kerja insulin menyebabkan terjadinya gangguan
penggunaan insulin oleh jaringan-jaringan yang sensitif dan
meningkatkan pengeluaran glukosa hati. Kedua efek ini memberikan
kontribusi terjadinya hiperglikemi pada diabetes. Peningkatan pengeluaran
glukosa hati digambarkan dengan peningkatan FPG (Fasting Plasma Glukose)
atau kadar gula puasa (BSN). Pada otot terjadi gangguan pada penggunaan
glukosa secara non oksidatif (pembentukan glikogen) daripada metabolisme
glukosa secara oksidatif melalui glikolisis.

Teori lain mengenai terjadinya resistesi insulin pada penderita diabetes


melitus tipe 2 mengatakan bahwa obesitas dapat mengakibatkan terjadinya
resistensi insulin melalui beberapa cara, yaitu; peningkatan asam lemak bebas
yg mengganggu penggunaan glukosa pada jaringan otot, merangsang
produksi dan gangguan fungsi sel β pankreas.

o Defek sekresi insulin


Defek sekresi insulin berperan penting bagi munculnya diabetes melitus
tipe 2. Pada hewan percobaan, jika sel-sel beta pankreas normal, resistensi
insulin tidak akan menimbulkan hiperglikemik karena sel ini mempunyai
kemampuan meningkatkan sekresi insulin sampai 10 kali lipat. Hiperglikemi
akan terjadi sesuai dengan derajat kerusakan sel beta yang menyebabkan
turunnya sekresi insulin. Pelepasan insulin dari sel beta pankreas sangat
tergantung pada transpor glukosa melewati membran sel dan interaksinya
dengan sensor glukosa yang akan menghambat peningkatan glukokinase.
Induksi glukokinase akan menjadi langkah pertama serangkaian proses
metabolik untuk melepaskan granul-granul berisi insulin. Kemampuan transpor
glukosa pada diabetes melitus tipe 2 sangat menurun, sehingga kontrol sekresi
insulin bergeser dari glukokinase ke sistem transpor glukosa. Defek ini dapat
diperbaiki oleh sulfonilurea.

Kelainan yang khas pada diabetes melitus tipe 2 adalah ketidakmampuan


sel beta meningkatkan sekresi insulin dalam waktu 10 menit setelah pemberian
glukosa oral dan lambatnya pelepasan insulin fase akut. Hal ini akan
dikompensasi pada fase lambat, dimana sekresi insulin pada diabetes melitus
tipe 2 terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan orang normal. Meskipun telah
terjadi kompensasi, tetapi kadar insulin tetap tidak mampu mengatasi
hiperglikemi yang ada atau terjadi defisiensi relatif yang menyebabkan keadaan
hiperglikemi sepanjang hari. Hilangnya fase akut juga berimplikasi pada
terganggunya supresi glukosa endogen setelah makan dan meningkatnya
glukoneogenesis melalui stimulasi glukagon. Selain itu, defek yang juga terjadi
pada diabetes melitus tipe 2 adalah gangguan sekresi insulin basal. Normalnya
sejumlah insulin basal disekresikan secara kontinyu dengan kecepatan 0,5
U/jam, pola berdenyut dengan periodisitas 12-15 menit (pulsasi) dan 120 menit
(osilasi). Insulin basal ini dibutuhkan untuk meregulasi kadar glukosa darah
puasa dan menekan produksi hati. Puncak-puncak sekresi yang berpola ini
tidak ditemukan pada penderita DM tipe 2 yang menunjukan hilangnya sifat
sekresi insulin yang berdenyut.

o Produksi glukosa hati

Hati merupakan salah satu jaringan yang sensitif terhadap insulin. Pada
keadaan normal, insulin dan gukosa akan menghambat pemecahan glikogen
dan menurunkan glukosa produk hati. Pada penderita diabetes melitus tipe 2
terjadi peningkatan glukosa produk hati yang tampak pada tingginya kadar
glukosa darah puasa (BSN). Mekanisme gangguan produksi glukosa hati belum
sepenuhnya jelas.

Pada penelitian yang dilakukan pada orang sehat, terjadi peningkatan


kadar insulin portal sebesar 5 μU/ml di atas nilai dasar akan menyebabkan
lebih dari 50% penekanan produksi glukosa hati. Untuk mencapai hasil yang
demikian, penderita diabetes melitus tipe 2 ini membutuhkan kadar insulin
portal yang lebih tinggi. Hal tersebut menunjukkan terjadinya resistensi insulin
pada hati. Peningkatan produksi glukosa hati juga berkaitan dengan
meningkatnya glukoneogenesis (lihat gambar) akibat peningkatan asam lemak
bebas dan hormon anti insulin seperti glukagon.
c. Faktor Risiko Diabetes Melitus tipe 2
Faktor-faktor risiko tertentu yang berhubungan dengan proses terjadinya diabetes
melitus tipe 2 dibagi menjadi dua, yaitu :

1. Faktor risiko yang tidak dapat diubah


 Riwayat keluarga diabetes
Seorang anak dapat diwarisi gen penyebab diabetes melitus orang tua.
Biasanya, seseorang yang menderita diabetes melitus mempunyai anggota
keluarga yang juga menderita penyakit tersebut.

 RAS atau latar belakang etnis


Risiko diabetes melitus tipe 2 lebih besar pada hispanik, kulit hitam, penduduk
asli Amerika, dan Asia

 Riwayat diabetes pada kehamilan


Mendapatkan diabetes selama kehamilan atau melahirkan bayi lebih dari 4,5 kg
dapat meningkatkan risiko diabetes melitus tipe 2.

2. Faktor risiko yang dapat diubah


 Usia
Resistensi insulin cenderung meningkat pada usia diatas 65 tahun.
 Pola makan
Makan secara berlebihan dapat emicu diabetes tipe 2, hal ini dapat terjadi
karena pankreas memiliki kadar insuin oleh sel maksimum untuk dsekresikan.
Mengonsumsi makanan secara berlebihan dan tidak diimbangi oleh sekrei
insulin dalam jumlah memadai dapat meneybabkan kadar gula dalam darah
meningkat dan menyebabkan diabetes melitus.
 Gaya hidup
Konsumsi makanan cepat saji dan olahraga tak teratur merupakan salah sau
polaa hidup yang memicu terjadinya diabetes melitus tipe 2.

 Obesitas
Obesitas terjadi jika indeks massa tubuh (BMI) lebih besar dari 25, HDL di
bawah 35 mg/dl dan atau tingkat trigliserida lebih dari 250 mg/dL dapat
meningkatkan risiko diabetes melitus tipe 2
 Hipertensi
Faktor pemicu diabetes melitus tipe 2 adalah tekanan darah .140/90 mmHg
 Dislipidimia
Ditandai dengan kenaikan kadar lemak darah (trigliserida . 250 mg/dl).
Terdapat hubungan anara kenaikan plasma insulin dengan rendahnya HDL
( <35 mg/dl) sering ditemukan pada pasien diabetes.

d. Manifestasi klinik
Manifestasi klinik yang sering dijumpai pada pasien diabetes melitus misalnya,
 Poliuria (peningkatan pengeluaran urin)
 Polidipsia (peningkatan rasa haus) akibat volume urin yang sangat besar dan
keluarnya air menyebabkan dehidrasi ekstrasel.
 Rasa lemah dan kelemahan otot akibat gangguan aliran darah pada pasien
diabetes lama, katabolise protein di otot dan ketidakmampuan sebagian besar
sel untuk menggunakan glukosa sebagai energi.
 Polifagia (peningkatan rasa lapar)
 Peningkatan angka infeksi akibat penurunan protein sebagai bahan
pembentukan antibodi, peningkatan konsentrasi glukosa disekresi mukus,
gangguan fungsi imun, dan penurunan aliran darah pada penderita diabetes
kronik.
 Kelainan kulit seperti gatal-gatal dan bisul
 Kelainan ginekologis
 Keputihan dengan penyebab tersering yaitu jamur terutama candida
 Kesemutan rasa baal akibat terjadinya neuropati, pada penderita diabetes
melitus regenerasi sel persarafan mengalami gangguan akibat kekurangan
bahan dasar utama yang berasal dari unsur protein. Akibatnya banyak sel
persarafan terutama perifer mengalami kerusakan.
 Kelemahan tubuh, terjadi akibat penurunan produksi energi metabolik yang
dilakukan oleh sel melalui proses glikolisis tidak dapat berlangsung secara
optimal.
 Mata kabur, disebabkan oleh katarak / gannguan refraksi akibat perubahan
pada lensa oleh hiperglikemia, mungkin juga disebabkan kelainan pada korpus
vitreum.

e. Komplikasi
1. Komplikasi akut, berupa hypoglycaemic coma yang biasanya disebabkan oleh
asupan makanan berkurang atau kelebihan insulin, obat-obatan hipoglikemia,
atau alkohol, dan hyperhlcemic (diabetic ketoacidotic) coma yang disebabkan
oleh defisiensi relatif atau absolut insulin, infeksi, atau infark miokard.
2. Komplikasi kronis, berupa mikroangiopati, dan neuropati yang melibatkan
mata, ginjal, sistem kardiovaskular, vaskular perifer dan serebral.
f. Pengobatan DM tipe 2
 Nonfarmakologis
Strategi terapi nonfarmakologis untuk diabetes melitus tipe 2 adalah dengan diet,
gerak badan, dan mengubah pola hidup (misalnya dengan berhenti merokok, bagi
penderita yang merokok). Diet dilakukan terlebih pada pasien yang kelebihan berat
badan. Makanan juga dipilih secara bijaksana, terutama pembatasan lemak total dan
lemak jenuh untuk mencapai normalitas kadar glukosa darah, dan juga hindari makan
makanan yang banyak mengandung gula berlebih. Gerak badan secara teratur dapat
dilakukan, yaitu seperti jalan kaki, bersepeda, atau olahraga. Berhenti untuk tidak
merokok, karena nikotin dapat mempengaruhi secara buruk penyerapan glukosa oleh
sel.
 Farmakologis
Pengobatan dengan perencanaan makanan (diet) atau terapi nutrisi medik masih
merupakan ”pengobatan utama”, tetapi bilamana hal ini bersama latihan
jasmani/kegiatan fisik gagal, maka diperlukan penambahan obat oral atau insulin.
Pengaruh hubungan jumlah reseptor insulin dengan DM tipe 2 gemuk masih terdapat
perbedaan pendapat. tetapi disetujui bahwa penurunan berat badan dan kegiatan
jasmani akan mempunyai dampak terapetik. Sayangnya banyak orang dengan
diabetes sukar untuk menurunkan berat badannya karena kurang motivasi atau
disiplin untuk mengikuti program yang ketat yang diberikan oleh dokter. sehingga
terlalu seringseorang dokter harus memberikan pengobatan farmakologik untuk
mengobati hiperglikemia pada keadaan seperti ini.

Karena penyebab resistensi pada DM tipe 2 dalam praktek sehari-hari sukar dinilai,
maka terpaksa dilakukan secara empiris. yaitu bila seseorang tidak dapat diobati
dengan satu suntikan perhari maka ditambahkan suntikan kedua pada sore hari dan
seterusnya. Pada pasien dengan alergi terhadap insulin dianjurkan untuk memakai
insulin yang lebih murni atau Human Insulin.

Berdasarkan cara kerjanya, obat hipoglikemik oral (OHO) dibagi menjadi 3


golongan:
I.Pemicu sekresi insulin (Insulin secretagogues),
II.Penambah sensitivitas Insulin (insulin sensitizer),
III.Penghambat alfa-glucosidase/ Acarbose (Regulator postpradial glucose)

I. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogues):

A. SULFONILUREA:
Cara kerja obat golongan ini masih merupakan ajang perbedaan pendapat, tetapi
pada umumnya dikatakan sebagai:
1. Cara kerja utama adalah meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta
pancreas.
2. Meningkatkan performance dan jumlah reseptor insulin pada otot dan sel
lemak.
3. Meningkatkan efisiensi sekresi insulin dan potensiasi stimuli insulin
transport karbohidrat ke sel otot dan jaringan lemak.
4. Penurunan produksi glukosa oleh hati.
5. Cara kerja pada umunya melalui suatu alur kalsium yang sensitif terhadap
ATP.

Obat golongan ini merupakan pilihan untuk pasien diabetes dewasa baru
dengan berat badan normal dan kurang , serta tidak pernah mengalami ketoasidosis
sebelumnya. Sulfonilurea sebaiknya tidak diberikan pada penyakit hati, ginjal dan
tiroid.

Termasuk obat golongan ini antara lain:


• Khlorpropamid.( Diabenese 100mg, 250 mg)
Seluruhnya diekskresi melalui GINJAL, sehingga tidak dipakai pada gangguan
faal ginjal dan oleh karena lama kerjanya lebih dari 24 jam, diberikan sebagai
DOSIS TUNGGAL, TIDAK dianjurkan untuk pasien geriartri.

 Glibenklamid .(Daonil 5 mg)


Mempunyai efek hipoglikemik yang POTEN, sehingga pasien perlu diingatkan
untuk melakukan jadwal makan yang ketat. Dikatakan mempunyai efek
terhadap agregasi trombosit. Dalam batas-batas tertentu masih dapat diberikan
pada beberapa kelainan fungsi hati dan ginjal.

• Glikasid (Diamicron).
Mempunyai efek hipoglikemik yang sedang sehingga tidak begitu sering
menyebabkan hipoglikemia. mempunyai efek anti agregasi trombosit yang
lebih poten. dapat diberikan pada gangguan fungsi hati dan ginjal ringan .

• Glikuidon (Glurenorm).
Mempunyai efek hipoglikemik yang SEDANG dan juga JARANG
menyebabkan hipoglikemia. Karena hampir seutuhnya di ekskresi melalui
empedu dan usus, dapat diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi hati
dan ginjal yang lebih berat.

• Glipisid (Glucotrol XL)


Mempunyai efek yang lebih lama dari glibenklamid tetapi lebih pendek dari
khlorpropamid dan mempunyai efek menekan produksi glukosa hati dan
meningkatkan jumlah reseptor.

• Glimepirid (Amaryl, Amadiab).


Mempunyai waktu mula yang pendek dan waktu kerja yang lama, dengan cara
pemberian dosis tunggal. Efek farmakologdinamiknya adalah mensekresi
sedikit insulin dan kemungkinan adanya aksi dari ekstra pancreas. Untuk
pasien yang ber-risiko tinggi yaitu :usia lanjut, gangguan ginjal atau yang
melakukan aktivitas berat DAPAT diberikan obat ini. Dibandingkan dengan
glibenklamid, glimepirid lebih jarang menimbulkan efek hipoglikemik pada
awal pengobatan.

B. GLINID :
Glinid merupakan obat generasi baru yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea
dengan meningkatkan sekresi insulin fase pertama.
Golongan ini terdiri dari 2 macam obat, yaitu:
• Repaglinid( Novonorm).
Merupakan derivat asam benzoat. Mempunyai efek hipoglikemik ringan
sampai sedang. Diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan
diekskresi secara cepat melalui hati. Efek samping yang dapat terjadi pada
penggunaan obat ini adalah keluhan gastrointestinal.

• Nateglinid (Starlix).
Cara kerja hampir sama dengan repaglinide, namun nateglinide merupakan
derivat dari fenilalanin. Diabsorpsi cepat setelah pemberian oral dan ekskresi
terutama melalui urine. Efek samping yang dapat terjadi pada penggunaan obat
ini adalah keluhan infeksi saluran pernafasan atas.

II. Penambah Sensitivitas terhadap Insulin.

A. BIGUANID.
Obat dari golongan ini biasanya menjadi pilihan untuk DM tipe 2 yang
obese atau kelebihan berat badan. Metformin merupakan contoh yang dapat
diperoleh di Indonesia. Obat golongan ini dapat berkhasiat di perifer dalam
memperbaiki sensitivfitas jaringan terhadap insulin, meskipun kerja utamanya
dihepar menghambat proses gluconeogenesis.. Nilai positif biguanide adalah tidak
menyebabkan kenaikan berat badan, serta jarang sekali menyebabkan
hipoglikemia. Golongan ini juga dikatakan bersifat kardioprotektif. Efek samping
pada saluran cerna seperti mual merupakan ciri khas golongan obat ini pada
sebagian orang . Contoh obat golongan ini adalah METFORMIN.

o Metformin menurunkan glukosa darah dengan memperbaiki transport glukosa


kedalam sel otot yang dirangsang oleh insulin. Obat ini dapat memperbaiki
ambilan glukosa sebesar 10-40%,
o Metformin menurunkan produksi glukosa hati dengan mengurangi
glikogenolisis danglukoneogenesis.
o metformin juga dapat menurunkan kadar trigliserida hingga 16%, LDL
kolesterol hingga 8% dan total kolesterol hingga 5%, dan juga dapat
menongkatkan HDL kolesterol hingga 2%.
o Metformin, berbeda dengan golongan sulfonilurea karena tidak meningkatkan
sekresi insulin, jadi tidak dapat menyebabkan hipoglikemik, tidak menaikkan
berat badan dan malah kadang-kadang dapat menurunkan berat badan.

Efek samping yang sering terjadi adalah nausea, muntah-muntah, kadang-


kadang diare, oleh karena itu lebih baik diberikan kepada pasien yang gemuk,
sebab tidak merangsang sekresi, yang seperti diketahui mempunyai efek anabolik.
Sebenarnya obat ini baik sekali bila diingat sifatnya yang hanya merupakan
euglycemic agent, jadi tidak terdapat bahaya terjadinya hipoglikemia. tetapi
sayang sekali obat golongan ini dapat menyebabkan asidosis laktat, terutama
dengan preparat fenformin dan Buformin, sehingga kedua preparat ini tidak
dipasarkan lagi. Metformin, masih banyak dipakai dibeberapa negara termasuk
Indonesia, karena frekwensi terjadinya asidosis laktat jauh lebih sedikit asal dosis
tidak melebihi 1700 mg/hari dan tidak ada kegagalan ginjal dan penyakit hati.

B. THIAZOLIDINDION / GLITAZON.

Rosiglitazone dan pioglitazone merupakan preparat yang telah beredar


dari kelompok ini ( Troglitazone pernah beredar tapi kemudian ditarik oleh
karena hepatotoksik ). Kelompok ini bekerja di perifer yakni meningkatkan
sensitifitas jaringan terhadap aksi insulin, dan tidak mempunyai efek stimulasi
terhadap produksi insulin. Dapat dipakai sebagai monoterapi untuk kasus ringan,
tapi biasanya digunakan dalam terapi kombinasi dengan obat diabetes golongan
lain. Pemakaian jangka panjang harus diikuti oleh tes fungsi hepar secara periodik.
Golongan obat ini tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia, tapi dapat
menyebabkan retensi cairan dan pertambahan berat badan. Contoh golongan ini
adalah :

• Pioglitazon.(Actos).
Mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah
pen-transportglukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Obat
ini di metabolisme di hepar. obat ini di-kontraindikasikan pada pasien-pasien
dengan gagal jantung karena dapat memperberat edema dan juga pada
gangguan faal hati. saat ini tidak digunakan sebagai obat tunggal .

• Rosiglitazon (Avandia).
Cara kerja hampir sama dengan pioglitazon, diekskresi melalui urin dan feces.
mempunyai efek hipoglikemik yang cukup baik jika dikombinasikan dengan
metformin. Pada saat ini belum beredar di Indonesia.

III. Penghambat Alfa Glukosidase / Acarbose:

Khasiat obat ini adalah dalam mencegah atau memperlambat absorbsi


glukosa di usus, secara kompetitif. Obat ini diberikan sesaat sebelum
mengkonsumsi makanan dengan tujuan untuk menurunkan kadar glukosa
postprandial. Pemakaian jangka panjang tidak menyebabkan kenaikan berat badan,
dan tidak menyebabkan efek samping hipoglikemia. Meskipun dapat digunakan
sebagai monoterapi mendampingi diet, tapi seringkali pemakaiannya berupa
kombinasi dengan obat golongan lain. Obat ini memberikan efek samping pada
pencernaan seperti flatulensi, mual dan diare. Contoh obat golongan ini adalah
Acarbose.
Acarbose merupakan suatu penghambat enzim alfa glukosidase yang
terletak pada dinding usus. Enszim alfa glukosidase adalah maltase. isomaltase,
glukomaltase dan sukrose, berfungsi untuk hidrolisis oligosakarida, trisakarida
dan disakarida pada dinding usus halus (brush borders
Acarbose juga menghambat alfa-amilase pancreas yang berfungsi
melakukan hidrolisa tepung-tepung kompleks didalam lumen usus halus.
Obat ini merupakan obat oral yang biasanya diberikan dengan dosis 150-
600 mg/hari. Obat ini efektif bagi pasien dengan diet tinggi karbohidrat dan kadar
plasma glukosa puasa kurang dari 180 mg/dl.
Efek samping obat ini adalah perut kurang enak, lebih banyak flatus dan
kadang-kadang diare, yang akan berkurang setelah pengobatan lebih lama. Obat
ini hanya mempengaruhi kadar glukosa darah pada waktu makan dan tidak
mempengaruhi kadar glukosa darah setelah itu. Bila diminum bersama-sama obat
golongan sulfonilurea (atau insulin) dapat terjadi hipoglikemia yang hanya dapat
diatasi dengan glukosa murni, jadi tidak dapat diatasi dengan pemberian gula
pasir. Obat ini diberikan dengan dosis awal 50 mg dan dinaikkan secara bertahap,
serta dianjurkan untuk memberikannya bersama suap pertama setiap kali makan ,
Jadi bukan sesudah makan.
Pengobatan dengan Insulin

Pilihan terhadap insulin biasanya dilakukan pada keadaan keadaan khusus


seperti misalnya hamil, ketoasidosis, dan dalam keadaan stres akut seperti operasi
atau tidak respons dengan terapi oral. Akhir akhir ini insulin menjadi pendamping
obat oral dalam terapi kombinasi yang semakin sering dimulai lebih dini. Insulin
yang diberikan secara eksogen mempunyai bermacam spesifisitas cara kerja, dari
kerja cepat, sedang maupun lambat. Masing masingnya mempunyai tempat
tersendiri ditinjau dari sudut efektifitas dan efek sampingnya. Pada umumnya
pemakaian insulin dengan khasiat kerja cepat lebih disukai pada awal pengobatan,
disaat masih mencari cari dosis yang cocok bagi penderita tersebut untuk
pengendalian DM. Namun untuk dosis ”maintenance”, insulin kerja sedang cukup
efektif dan lebih aman. Belakangan, beberapa jenis insulin analog mulai dari yang
mempunyai kerja sangat cepat dan lambat telah dapat diperoleh dipasaran.
Pemahaman terhadap cara kerja serta manfaat pemakaian masing masingnya perlu
dikuasai sebelum penggunaan.

g. Kombinasi Obat

Obat anti diabetes oral bisa dikombinasikan satu dengan kelompok yang lain, atau
kadang perlu dikombinasikan dengan insulin. Tujuan kombinasi ini adalah agar efek obat
lebih optimal dalam mengontrol glukosa darah.
Apabila dua obat kombinasi masih belum berhasil baik, dokter bahkan boleh meresepkan
tiga jenis obat sekaligus, karena cara kerjanya bisa bersama saling menguntungkan untuk
menurunkan glukosa. Contoh kombinasi obat :

 Sulfonylurea dan Metformin


Golongan sulfonylurea paling banyak atau paling sering dikombinasikan dengan
obat anti diabetes kelompok lain, karena efek kombinasi bisa memperbaiki dan
menambah

kerja insulin. Kombinasi sulfonylurea dan metformin lebih baik daripada bila
kedua obat dipakai secara terpisah sendiri. Metformin bahkan baik karena tidak
menaikkan berat badan bahkan kadang menurunkannya.

Efek samping kombinasi ini adalah gangguan perut seperti mual atau diare, kadang
bisa menimbulkan hipoglikemia.
Kini telah dipasarkan kombinasi dua kelompok obat ini, contohnya adalah tablet
Glucovance, yang tersedia dalam tiga kemasan, yaitu mengandung
metformin/glibenclamide 500 mg/5 mg, 500 mg/2.5 mg, dan 250 mg/1.25 mg.
Dalam waktu dekat akan beredar pula kombinasi glimepiride dan metformin dalam
satu tablet.

 Sulfonylurea dan Alpha-Glucosidase Inhibitor

Pada kasus dimana glukosa darah meningkat banyak pada 2 jam sesudah makan,
maka pemakaian sulfonylurea yang dikombinasikan dengan acarbose akan lebih
berhasil baik.

Efek samping yang bisa terjadi adalah kram perut, banyak gas atau diare. Kadang
juga bisa timbul hipoglikemia.

 Sulfonylurea dan Thiazolidinediones

Bila penggunaan sulfonylurea sudah maksimal dan masih belum berhasil baik,
mungkin penyebabnya adalah resistensi insulin karena kegemukan, bisa dicoba
kombinasi baru ini denganthiazolidinediones. Sulfonylurea akan merangsang
produksi insulin sedangkan thiazolidinediones memperbaiki kerja insulin.

 Metformin dan Alpha-Glucosidase Inhibitor

Penambahan acarbose atau miglitol pada metformin adalah lebih baik dalam
menurunkan glukosa darah daripada pemakaian metformin secara tunggal. Efek
samping adalah bisa menimbulkan keluhan pada perut.

 Metformin dan Thiazolidinediones

Telah diakui efek menguntungkan dari kombinsi pioglitazone atau rosiglitazone


dengan metformin. Sekarang sudah beredar di pasaran satu obat yang berisikan
kombinasi dua kelompok obat tersebut di atas, yaitu rosiglitazone (avandia)
dengan metformin dalam bentuk Avandamet, dan pioglitazone (actos) dengan
metformin dalam satu tablet Actos-met.

Anda mungkin juga menyukai