Anda di halaman 1dari 6

Cerita Asli Cinderella

Sebetulnya pernah ga’ sih kita baca cerita Cinderella yang asli. Well, kalo pernah denger Band yang
“*****ing” itu pasti pernah denger liriknya, “Cinderella… bla… bla…”. Tapi bener begitu ga’ sih?
Aschenputtel atau yang lebih dikenal dengan Cinderella adalah salah satu cerita rakyat Jerman yang
berhasil dikumpulkan dan ditulis ulang kembali oleh Grimm bersaudara, Joseph dan Wilhelm
Grimm (bukan playboy aja yang bisa bersaudara…). Cerita-cerita rakyat Jerman ini dikumpulkan
oleh Grimm bersaudara pada kurun waktu sekitar tahun 1812-1857 dan Cinderela adalah salah satu
yang paling populer, apalagi isi ceritanya yang mengeksploitasi kekejaman ibu tiri dan embel-
embenya sehingga sampai sekarang ini masih saja tertanam dalam benak banyak orang – termasuk
gw, seburuk-buruknya dan sekejam-kejamnya menjadi orang tua adalah menjadi ibu tiri. Kenapa
selalu ibu tiri? Kenapa bukan bapak tiri? Lagunya aja ada, sampe liriknya bilang,” Ibu tiri hanya
cinta kepada ayahku saja… teret… teret… teret…”. Kenapa? Karena kebayakan orang menganggap
ibu tiri adalah representasi dari hancurnya sebuah keluarga, dan anggapan ini boleh jadi tidak
berlaku hanya bila seseorang yang pernah mengalami hal ini (punya ibu tiri) dalam situasi yang
berbeda (ibu tirinya, ternyata sohibnya dia-dia juga). Atau mungkin barangkali, Grimm bersaudara
waktu kecilnya pernah mengalami KDRT (sering digebukin sama nyokapnya) hanya saja karena
mereka malu bahwa oknumnya yang notabene adalah ibu mereka sendiri maka di-kambinghitam-
kanlah “ibu tiri”. Wallahu ‘alam.
Suatu ketika seorang istri saudagar yang kaya raya mendapati dirinya akan menemui ajal maka
dipanggillah anak gadisnya yang masih kecil, “Mari sini nak, duduk dekat Bunda… Ingatlah, selalu
jalani hidup dalam jalan yang benar, bukan jalan mereka-mereka yang sesat. Bunda akan selalu
sayang padamu, ingatlah! Siapapun yang mencintai dan menyayangi kita, mereka tak pernah benar-
benar meninggalkan kita, begitu juga bunda nak… bunda akan selalu bersamamu, menjagamu dari
surga di atas sana…”. Begitulah akhirnya, sang bundapun menemui Tuhannya sedangkan si gadis
kecil hanya bisa menangisi kepergian bunda yang dicintainya, bunda yang baik, cantik dan… mati.
Tahun demi tahun telah berlalu, sang saudagar kayapun sudah menikah kembali. Ia menikahi
seorang janda yang telah pula memiliki dua anak gadis, merekapun “cantik-cantik” seperti ibunya
(huekk.. huekk… Kenapa gw jadi mual-mual begini ya? Kenapa juga ibu tirinya harus janda?
Kenapa juga si Cinderella harus cewek? Kalo cowok kan rame tuh, kita bisa bikin cerita silat yang
seru! Halaah ngawur…). Namun begitu mereka sangat kejam dan tidak berperikemanusiaan (kejam
bangetlah pokoknya) terhadap Cinderella. Mereka sering memaksa si gadis -yang kini telah tumbuh
dewasa dan cantik tapi tetep ndeso dan katro’ itu- untuk membersihkan lantai dan perapian sehingga
wajahnya yang cantik, sering terlihat kotor, kusut, kumal dan legam karena sisa bara dari perapian
(reget-reget mung huayuuu rek…). Mereka memanggil si gadis dengan sebutan Aschenputtel atau
Cinderella.
Setiap kali Cinderella selesai membersihkan perapian, maka setiap kali itu pula kedua saudari
tirinya melempar hingga berserakan kacang polong dan miju-miju (ga’ tahu kan’ lo apa artinya
miju-miju, tanya sono sama Hasan Shadily) di atas lantai sehingga ia harus kembali
membersihkannya, begitulah hal itu berulang kembali setiap hari (koq ya… bodho banget tho yo…
si Cinderella ini persis kayak cewek-cewek di sinetron-sinetron TV).
Suatu hari si saudagar kaya kembali ke rumahnya setelah sekian lama berdagang di kota. Ketiga
anak beranak, si ibu tiri dan kedua anaknya yang pandai mengambil hati si saudagar sibuk
menghampirinya sambil tak lupa memuji, menyanjung dan berbasa-basi dengannya. Memang sudah
demikian perangai ketiga anak beranak itu setiap kali si saudagar kembali dari kota. Namun tidak
demikian dengan Cinderella, dia tetap saja sibuk dengan urusan rumah dan dapur, baju yang lusuh
dan compang-camping berbanding terbalik dengan baju yang dikenakan ibu dan kedua saudara
tirinya (masa’ bapaknya diem aja liat anaknya jadi keliatan dekil n’ the kumel sih? Bohong banget
nih cerita), serba indah dan mahal. Mereka juga selalu mengenakan perhiasan yang gemerlap,
bandingkan dengan Cinderella yang hanya memiliki rambut yang hitam, lembut, indah dan
menawan (iklan samphoo kaleee…e). Si saudagar bertanya kepada dua anak tirinya, “apa yang
kalian minta dari ayah bila aku nanti kembali lagi dari kota?”. “Aku minta dibelikan kalung emas
yang bertahtakan mutiara ayah”, jawab si sulung. “Kalo aku minta dibelikan gaun pesta dari sutra
yang paling mahal ayah”, jawab si adik sekenanya. Kemudian si saudagar menghmpiri putrinya
Cinderella dan bertanya, “dan kau putriku Cinderella,apa yang kau pinta?”. “Aku..? yang ku pinta
hanya sebatang ranting pohon pir ayah…”, jawabnya. Ayahnya bingung mendengar pinta putrinya,
lalu ia bertanya lagi untuk meyakinkan dirinya bahwa ia tak salah dengar,”sebatang ranting pohon
pir?”. “Ya… sebatang ranting pohon pir yang jatuh tepat di atas topi ayah…”, jawab Cinderella
cepat. Ayahnya pun langsung mengabulkan permintaannya.
Cinderella menanam ranting pohon pir itu dalam tanah yang basah oleh air matanya, di atas pusara
bunda tercinta. Ranting pohon pir itu tumbuh dengan cepatnya dan dalam waktu yang tak begitu
lama, ranting itu tumbuh menjadi pohon pir yang besar, rindang dan meneduhkan. Cinderella selalu
datang dan duduk dibawah pohon pir itu tiga kali dalam sehari (kayak minum obat aja…). Ia selalu
menangis di bawah pohon pir itu seraya berkata, “Oh bunda, hidupku selalu saja merana… sejak
kau meninggalkanku”. Anehnya, setiap kali ia datang ke tempat itu, seekor merpati putih juga
muncul dan terbang mengelilingi dan menghampirinya.
Sampai suatu hari, datanglah undangan pesta dansa dari kerajaan untuk kedua putri tiri si saudagar
kaya. Raja mengundang mereka karena anaknya, sang pangeran akan memilih pengantinnya di
dalam pesta tersebut (milih cewek koq kayak milih sapi, pelecehan nih). Si Sulung berkata,”Kita di
undang oleh raja? Pangeran mencari seorang istri? Cinderella..! Cinderella, dimana kau anak jelek?!
Cepat kemari sisirkan dan tata rambutku!” (percaya ga’? Cinderella kan’ tiap hari tangannya kotor
belepotan areng, koq malah disuruh nyisirin? Lagian juga rambut dua saudara tirinya bule semua!).
“Lalu rapikan dan siapkan gaun kami supaya terlihat seperti putri-putri kerajaan dan OK!”, timpal
adiknya cepat (Hhh… OK? OK dari Hong Kong! Makin ga jelas nih cerita…). Cinderella pun
datang menghampiri dengan segera kedua saudara tirinya dan mengerjakan apa yang mereka
perintahkan. Ia pun telah mendengar kabar undangan pesta dansa itu karena sedari tadi dua saudari
tirinya begitu ributnya membicarakan hal itu. Setelah selesai dengan urusan dua saudari tirinya, ia
menghampiri ibu tirinya (Dededeenng…..!) dan berkata,” Ibu… selama ini aku tak pernah meminta
apapun darimu. Apapun yang kau perintahkan, aku selalu kerjakan ibu…”. “Lalu kau mau apa hei
anak jelek?!”, sergah ibu tirinya cepat. “Izinkan aku datang ke pesta dansa itu bu… please deh
sekali ini saja bu”, Cinderella merengek. “Dasar anak tak tahu diuntung, sudah bagus aku masih
mengizinkan kau tinggal disini bukan di kandang babi sana! Tidak bisa! Tidak akan pernah ada
pesta untuk kau anak jelek!”. Cinderella tak mau mengalah lagi kali ini, ia pun merengek terus pada
ibu tirinya. Tak tahan dengan rengekan yang begitu mengganggu kupingnya maka si ibu tiri dengan
terpaksa mengabulkan permintaan Cinderella dengan satu syarat,”bila kau bisa mengumpulkan dan
memisahkan seluruh miju-miju ini dari perapian dalam waktu dua jam (masa ada jam ya? Kalo
kayak Wiro sableng kan’ frametimenya masuk akal tuh kayak, sepeminum teh, 10 batang rokok…
lha ini jam!) maka kau boleh pergi ke pesta itu! Hi… hi… hi…” sambil kemudian ia melemparkan
seluruh miju-miju yang telah dikumpulkan oleh Cinderella sebelumnya ke dalam abu perapian.
Ia mengambil dan mengumpulkan kedalam tampah (gw bingung padanan benda apa yang lebih
cocok untuk menggambarkan tempat penampungnya) semua abu yang tercampur dengan miju-miju
dan berlari menuju pusara bundanya dan badannya jatuh bertumpu pada kedua lututnya sambil
memeluk pohon pir besar dihadapannya, hatinya pilu dan isak keputus-asaan menyebar di langit
sekelilingnya. “Oh burung merpatiku… dan semua burung dalam naungan pohon pir ini, tolonglah
aku mengumpulkan miju-miju dari dalam abu perapian ini… tolonglah aku…”. Ajaib! Semua
burung tanpa membuang waktu mulai mengumpulkan dan memisahkan miju-miju dari dalam abu.
Cinderella takjub dan gembira, dalam sekejab semua miju-miju telah terkumpul dalam tampah tadi.
Cinderella segera berlari menghampiri ibu tirinya, “lihat ibu, semua miju-miju telah aku kumpulkan
dalam tampah ini”. Ibu tirinya terheran-heran mengapa Cinderella dapat begitu cepat
mengumpulkan semua miju-miju itu, padahal ia telah memperhitungkan bahwa hal itu memerlukan
waktu lebih dari 2 jam bahkan mungkin seharian. Sebentar kemudian ibu tirinya tersenyum
menyeringai,”hi… hi… hi… tidak masalah kaudapat mengumpulkan semua miju-miju ini toh kau
tidak punya gaun untuk pesta dansa nanti malam, hi… hi… hi…”. Cinderella baru tersadar, ternyata
baju yang dia kenakan selama ini adalah baju satu-satunya yang dia miliki (koq ya bapaknya medhit
banget ya?).
Betapa remuk hatinya, kepanikan melanda jiwanya, putus asa! (dapet dari lagu mana ini ya?). Ia
berlari lagi menuju pusara bundanya, perasaannya kali ini lebih hancur lagi karena kepada siapa lagi
ia dapat meminta pertolongan, “Oh bunda… yang kuinginkan malam ini, datang ke pesta dansa itu
dan bertemu dengan sang pangeran. Apakah… apakah itu terlalu buruk bagiku bunda? Seandainya
saja aku punya gaun pesta yang indah dan sepasang sepatu dari perak dan emas, ah… alangkah
indahnya… tapi apakah semua itu mungkin?” (Nah, pertanyaan ini kalo dikeluarkan jaman
sekarang, pasti jawabannya GAK MUNGKIIIN! Ngaca dulu sono! Muke lo jauh!), suara isaknya
timbul tenggelam. Tak berapa lama kemudian beberapa ekor merpati datang dengan membawa
sebuah gaun yang begitu indah berwarna perak keemasan dan beberapa ekor lagi membawakan
sepasang sepatu perak dan emas (kayak sepatu kickers gitu, sebelah beda-beda warnanya), seekor
merpati yang nampaknya pemimpin mereka berkata, “sudah, sudah… jangan menangis lagi
Cinderella. Lihatlah harapanmu telah dikabulkan, kami membawa sebuah gaun paling indah yang
belum pernah seorang putri pun mengenakannya dan sepasang sepatu yang terbuat dari perak dan
emas”. Bukan main gembiranya hati Cinderella, seperti ikan yang masuk lagi kedalam air setelah
jatuh ke atas tanah. Laksana tanah yang kering dihapus oleh hujan. Lega.
Dalam cerita aslinya tidak digambarkan bagaimana Cinderella datang ke pesta dansa malam itu,
tidak ada labu yang berubah menjadi kereta kuda, tikus yang menjadi penjaga dan saisnya, tak ada
merpati yang beralih rupa menjadi kudanya, tak pernah ada kereta berkuda, Cinderella datang
diterbangkan oleh merpati-merpati sahabatnya. Ia datang dalam pesta itu dan segera menjadi pusat
perhatian sang pangeran karena wajahnya yang cantik, rambutnya yang hitam, lembut, indah, tertata
rapi dan menawan (ke salon mana dia dateng, bayar cash atau credit, disini juga ga’ dibilangin).
Gaunnya paling indah daripada para undangan yang datang ke pesta malam itu. Bahkan ibu dan
kedua saudari tirinya tidak dapat mengenali dirinya karena ia memang begitu cantik bak putri
seorang raja. Sang pangeran pun langsung terpikat hatinya dan berkata, “Sungguh cantiknya gadis
ini, aku tak akan pernah lagi berdansa dengan gadis lain, cukuplah dia seorang tempat hatiku
tertambat”. Malam itu, sang pangeran berdansa sepanjang malam dengan Cinderella diiringi musik
yang indah. Sampai akhirnya waktu berpisah sang pangeran berkata, ”biarkan aku mengantar kau
pulang. Aku ingin tahu dimana rumah tinggalmu. Aku ingin mengenalmu lebih jauh lagi…”. “Oh
pangeran, beribu maaf hamba haturkan, bukan hamba hendak menolak tapi hamba telah terbiasa
pulang sendiri ke rumah… sekali lagi maafkan hamba pangeran”, tolak Cinderella halus. “Tapi ini
sudah larut malam, tak baik seorang putri pulang sendiri, lagipula aku tak melihat ada kereta
berkuda di luar sana menantimu…”. Akhirnya Cinderella pun tak punya lagi alasan untuk menolak.
Maka malam itu sang pangeran mengantarnya sampai ke dalam halaman rumah. Anehnya,
Cinderella tidak masuk kedalam rumah tetapi ia menuju ke arah pohon pir besar di belakang
rumahnya dan ia pun terbang ke atas dan segera menghilang. Disaat yang bersamaan sang pangeran
terperangah dan takjub dari apa yang tengah dilihatnya, dalam keheranannya ia berteriak, ”hei
cantik! kau bahkan belum sebutkan siapa namamu?”. Ia menggumam,”aku bahkan belum tahu
namamu…” (kalau gw jadi pangerannya pasti udah ngacir duluan, ini putri beneran? Apa putri
kuntilanak? Hiihhh…).
Rasa penasaran yang meliputi jiwa sang pangeran tak tertahan lagi, rasa keingintahuannya begitu
besar. Segera saja ia mengetuk pintu rumah si saudagar kaya. “Ah… Selamat malam pangeran.
Gerangan apa yang menghantar duli Tuanku ke gubuk hamba yang buruk ini. Silakan… silakan
masuk. Ini suatu kehormatan yang besar bagi hamba”, sambut sang saudagar dengan setengah
keheranan, mengapa sang pangeran datang hampir tengah malam dating ke rumahnya. “Selamat
malam tuan saudagar, sebelumnya aku meminta maaf karena mengganggu istirahatmu malam ini.
Aku baru saja mengantar seorang gadis cantik bergaun indah emas keperakan dan ia masuk ke
halaman belakang rumahmu. Apakah dia salah seorang nak gadismu?”, tanya sang pangeran tanpa
berbasa-basi. Kedua orang itu berjalan menuju ruang tempat perapian berada sambil si saudagar
berkata, “setahu hamba, dua putri tiriku telah pulang dari pesta dansa di istana sedari tadi… tapi
seorang putriku lagi masih membersihkan perapian… tapi pasti tak mungkin dia, karena dia…”, si
saudagar tidak melanjutkan kata-katanya Mereka melihat Cinderella dengan tekunnya
membersihkan lantai dan perapian yang sedikit kotor (bapaknya harus diilaporin ke KOMNAS
Anak nih masa’ tengah malam masih disuruh kerja…). Mukanya coreng-moreng kehitaman karena
sisa arang perapian, rambutnya yang hitam terurai berantakan, bajunya compang-camping, lusuh
dan kotor, banyak berlubang karena bara yang tertiup dari perapian. Mereka tak tahu Cinderella
baru saja mengembalikan gaun dan sepatunya yang indah pada merpati-merpati sahabatnya.
Mukanya sengaja ia lumurkan sisa arang di perapian yang kehitam-hitaman, ia telah mengenakan
lagi baju sehari-harinya. “Ini anakku pangeran, namanya Cinderella”, tukas si saudagar. Sang
pangeran merasa ia telah mengenal gadis yang duduk di hadapannya tapi entah dimana ia pernah
bertemu, ia tidak mengenali gadis yang baru saja diajaknya berdansa sepanjang malam itu, “Aneh,
rasanya aku pernah bertemu dengan gadis ini tapi entah dimana. Apakah ini gadis yang tadi? Ah…
tapi tak mungkin!”, gumam sang pangeran. Tak lama kemudian ia mohon diri meninggalkan rumah
si saudagar. Malam itu sang pangeran tak bisa tidur nyenyak, pikirannya melayang-layang tertuju
pada si jelita Cinderella. Dia ingat wajahnya yang cantik rupawan, suaranya yang merdu di telinga
ketika ia bicara, tawanya yang renyah dan sorot matanya yang indah namun memendam kesedihan
teramat dalam, mengundangnya untuk memberikan secercah kebahagiaan.
Pesta dansa di kerajaan berlanjut kembali malam berikutnya karena sang pangeran belum
menemukan calon pengantinnya. Malam itu Cinderella datang kembali ke ruang dansa kerajaan dan
lagi-lagi sang pangeran berdansa dengannya sepanjang malam, mungkin karena begitu takjubnya
akan kecantikan Cinderella sang pangeran sampai lupa untuk menanyakan namanya, alih-alih ia
malah bertanya, “malam ini kau tak akan terbang dan menghilang dari sisiku lagi, duhai tambatan
hatiku?”. “Hamba tak bisa berjanji pangeranku… kita lihat saja nanti… mari berdansa lagi sampai
waktu memisahkan kita kembali…”, sahut Cinderella. Merekapun terlena dalam alunan musik
Waltz dan berdansa sepanjang malam. Begitulah, sampai akhirnya sang pangeran mengantar
kembali Cinderella sampai di depan halaman rumah, kali ini Cinderella terbang tiba-tiba ke atas
pohon pir besar. “Hei tunggu! Ah jangan lagi begini… Mengapa aku sampai lupa menanyakan
namanya?”, lagi sang pangeran menggerutu pada dirinya sendiri.
Ia bergegas menuju rumah si saudagar kaya. Karena tak sampai hati membuat sang pangeran
berharap cemas, iapun membantu sang pangeran mencari si gadis yang dimaksud sang pangeran.
Mereka melihat-lihat mengelilingi pohon pir besar itu meyakinkan diri apakah si gadis ada diatas
sana. Setelah tak juga berhasil menemukan si gadis maka si saudagar kaya mengambil kampak
dalam rumahnya dan mulai menebang pohon pir besar itu hingga tumbang. Dalam waktu bersamaan
sang pangeran hanya melihat dari kejauhan sambil bergumam, “aku yakin dia pasti ada diatas sana.”
(Dasar pangeran blo’on! Emang si Cinderella turunan burung blekok sampe harus nangkring diatas
pohon?).
Tentu saja Cinderella tak ada diatas sana. Seperti kemarin, ia telah mengganti gaun dan sepatunya.
Cinderella seperti biasa tampak sibuk membersihkan lantai dan tempat perapian . Si saudagar
bertanya untuk meyakinkan kembali sang pangeran, “duli tuanku pangeran yang mulia, apakah
bukan dia yang kau maksud dengan gadis yang kau hantarkan tadi?”. “Hmmm… aku… aku tak
tahu, mungkinkah? Aku tak yakin…”, jawab sang pangeran ragu. Akhirnya sang pangeran harus
kembali ke istana dengan tangan hampa karena ia tak dapat menemukan calon pengantinnya. Esok
malam, pesta dansa hari ketiga pasti akan diadakan lagi.
Hari ketiga pesta dansa Cinderella datang lagi ke istana. Ia berdansa sepanjang malam dengan
pangeran. Kali ini sang pangeran tak ingin lagi kehilangan pengantinnya maka ketika ia berdansa
dengan Cinderella, dalam waktu yang bersamaan, disuruhnya para pengawal untuk melumuri anak
tangga yang biasa dilewati Cinderella ketika masuk istana dengan getah pohon pinus. Kali ini
Cinderella pulang ke rumah agak cepat bahkan terlalu amat cepat dari biasanya. Ia bahkan terbang,
pulang kembali ke rumahnya sebelum ia sempat menapakkan kakinya ke dalam kereta berkuda sang
pangeran. Karena anak tangga istana sudah dilumuri dengan getah pohon pinus dan Cinderella
terburu-buru pulang maka sepatu sebelah kirinya yang terbuat dari emas tertinggal (apa ga’ sakit ya
pake sepatu dari logam? Terus juga bukan dari kaca tuh kayak di cerita-cerita selama ini, kalo
pecahkan bisa berdarah-darah).
Sang pangeran tersenyum gembira, kini ia akan tahu siapa sebenarnya pemilik sepatu terbuat dari
emas itu, “sekarang aku akan segera mengetahui, siapa yang paling pas mengenakan sepatu ini,
dialah pengantinku”, gumamnya dalam hati. Sang pangeranpun segera bergegas menuju rumah si
saudagar kaya, kereta berkuda dipacunya dengan kecepatan tinggi sampai tak terasa ia sudah
sampai di depan halaman si saudagar kaya. Si saudagar telah mengetahui maksud kedatangan sang
pangeran, dalam hatinya ia berkata,”dia pasti akan menanyaiku lagi tentang gadis misterius itu,
tetapi siapa sebenarnya gadis itu?”. Si saudagar mempersilakan masuk sang pangeran.
Ruang tamu si saudagar terasa amat sesak malam itu karena istri dan kedua anak tirinya sedang
berada di rumah, sedang Cinderella seperti biasa berada dekat di tempat perapian. “Selamat malam
semua. Maafkan aku, tanpa banyak berbasa-basi lagi aku akan mengumumkan sesuatu” kata
pangeran lantang. Semua yang hadir bertanya-tanya, mngira-ngira pengumuman apa yang akan
disampaikan oleh sang pangeran. “Barang siapa yang dapat mengenakan sepatu emas ini dengan
pas dan cocok dengannya maka dialah yang akan menjadi pengantinku, menjadi ratuku di kemudian
hari!”. Tentu saja pengumuman itu membuat seisi rumah menjadi terkejut, tidak terkecuali
Cinderella.
Keterkejutan itu secara spontan berubah menjadi rasa antusias bagi si ibu dan kedua saudari tiri
Cinderella maka berlomba-lombalah si sulung dan adiknya meyakinkan sang pangeran bahwa
merekalah pemilik sepatu emas itu. “Itu pasti milikku duli tuanku pangeran yang mulia… biarkan
aku mencobanya”, kata si sulung. Maka diberikanlah sepatu itu pada si sulung, iapun berlari ke
kamar bersama ibunya. Sepatu itu tidak muat oleh kakinya, kakinya terlalu besar seperti kaki gajah.
“Sudah kau potong saja ibu jari kakimu, kehilangan satu ibu jari apalah artinya bila kau bisa
menjadi putri di istana raja!, perintah ibunya cepat. Tanpa berpikir panjang segera saja si sulung
memotong ibu jari kakinya. Walau terasa sangat sakit hal itu seperti tak dirasakannya, asalkan ia
bisa menjadi pengantin sang pangeran. Denga bangganya ia berjalan menghampiri sang pangera
dan memperlihatkan di hadapannya bahwa memang dialah pemilik sepatu itu, disaat sang pangeran
hampir mempercayainya seekor burung merpati terbang rendah di atas kepalanya dan berkata, “dia
bohong, dia bukanlah pengantinmu, dia telah memotong ibu jarinya agar pas dengan sepatu itu…”.
Maka sang pangeran segera mencopot sepatu dan adik si sulung berkata, “ini pastilah sepatu
kepunyaanku, kakiku pasti akan serasi dengan sepatu ini” ucapnya sambil tersenyum menyeringai.
Si adik segera berlari ke dalam kamar ditemani oleh ibunya. Ternyata sepatu itu juga tidak muat
oleh kakinya, kakinya juga terlalu besar seperti kaki gajah. “Sudah kau potong saja tumitmu,
kehilangan tumit apalah artinya bila kau bisa menjadi pngantin sang pangeran!, perintah ibunya
cepat. Tanpa berpikir panjang segera saja si adik memotong tumitnya. Rasa sakit yang luar biasa
seperti tak dirasakannya, asalkan ia bisa menjadi seorang putri di kerajaan sang pangeran.
Sekali lagi sang pangeran dapat menyingkap kebohongan dari saudari-saudari tiri Cinderella. Iapun
berkata, “masih ada seorang anak gadis lagi di rumah ini, dia yang sering membersihkan lantai dan
perapian di rumah ini. Aku mau dia mencobanya juga”. Si ibu tiri segera sibuk menghalang-halangi
sang pangeran untuk menemui Cinderella, “Maafkan hamba duli tuanku pangeran yang mulia, ia
tak pantas bertemu denganmu, ia bau, kotor dan jelek!”, kata si ibu tiri mencegah. Sang pangeran
makin bulat tekadnya, ia tak peduli dengan semua yang dikatakan oleh si ibu tiri. Ia memaksa
bertemu dengan Cinderella.
Saat itu Cinderella sedang membersihkan lantai dari sisa abu perapian, kepalanya tertunduk karena
ia malu dan takut menatap mata sang pangeran. Ia tetap saja membersihkan lantai ketika sang
pangeran berjalan menghampirinya, peluh jatuh dimana-mana, pikirannya jauh melayang, menerka-
nerka apa kiranya yang akan dikatakan sang pangeran. Ketika sang pangeran berdiri tepat di
hadapannya baru ia menghentikan kerjanya. “Cinderella, aku mohon kepadamu… berdirilah, coba
kenakan sepatu ini…”, kata pangeran memohon sambil memelas karena hanya Cinderellalah satu-
satunya harapan yang ia miliki. “Ampun duli tuanku… hamba menghaturkan beribu-ribu maaf pada
duli tuanku… tapi hamba tak pantas mengenakannya… lihatlah baju yang hamba kenakan, tentu tak
mungkin hamba memiliki sepatu yang begitu indahnya”, jawabnya sambil menatap dalam ke mata
sang pangeran.
Tatapan itu! Sang pangeran mengingatkan kembali tatapan itu lagi, sorot mata yang indah namun
memendam kesedihan teramat dalam, mengundangnya untuk memberikan secercah kebahagiaan.
Tak salah lagi! “Tak ada yang tak pantas dikenakan olehmu Cinderella, ayolah kenakan sepatu ini.
Biar kubantu kau mengenakannya”, jawabnya mantap. Maka sang pangeran mengenakan sepatu
emas itu pada kaki Cinderella. Cantik! Pas dan serasi dengan kakinya yang indah. “Terima kasih
Tuhan! Kini aku telah menemukan pengantinku!”, seru sang pangeran. “Maafkan aku… kekasihku,
aku telah silap dan terbuai oleh gemerlapnya lampu pesta, indahnya gaun-gaun dansa dan sepatu
emas ini. Andai saja aku melihat lagi matamu dalam-dalam, tentu aku takkan tersesat terlalu lama
seperti ini… Maafkan aku”, suaranya lembut ke kuping Cinderella. “Tak mengapa raja hatiku… aku
telah menunggumu begitu lama, seperti sepanjang hidupku. Tak jadi mengapa bila kau tersesat juga,
takkan berbeda begitu jauh lagi karena aku yang akan dan telah menemukanmu… di hati ini”, sahut
Cinderella lembut. Tak terasa air mata meleleh dikelopak mata dua anak manusia yang saling
mencintai ini (hei… ini ga’ ada di cerita sebenarnya, jadi boleh dong gw tambah sedikit melancholy
things).
Cinderella dan sang pangeran akhirnya menikah dengan perayaan secara kerajaan lengkap. Di hari
yang berbahagia itu, ibu dan saudari tirinya yang kejam datang ke pesta pernikahan itu, sambil
mencoba memenangkan hati sang pangeran dan berharap sedikit kemuliaan dari kerajaan tapi alih-
alih mereka mendapat balasan yang setimpal, badan terluka dan gaun-gaun terkoyak karena
serangan sekelompok burung merpati, sahabat Cinderella, yang tak sudi melihat mereka
mengganggu jalannya pesta. Hidup mereka berakhir dalam kesengsaraan.
Bagaimana dengan Cinderella? Cinderella dan sang pangeran hidup bahagia untuk selama-lamanya
(kalo kata Cui, “ga’ mati-mati dong?”).
Versi Cerita Cinderella yang ada saat ini adalah versi yang lebih halus dari aslinya. Cerita-cerita asli
Grimm jauh lebih banyak bersifat teror karena mungkin mendidik anak jaman dahulu harus seperti
itu. Wibawa orang tua dibangun dari cerita yang bersifat teror pada anak. Sebenarnya tidak hanya
kumpulan cerita-cerita Grimm bersaudara yang bersifat terror dan kengerian tetapi di Indonesiapun
juga banyak terdapat kisah cerita yang mirip atau mungkin memang mengambil intisari dari cerita
Grimm. Jadi kalo anak Anda bandel, susah diatur dan Anda tidak mau repot-repot mendidiknya,
bacakan saja cerita-cerita dari Grimm bersaudara!

Anda mungkin juga menyukai