Anda di halaman 1dari 9

TUGAS MENGANALISIS JURNAL TENTANG PEMBELAJARAN ANAK

DENGAN HAMBATAN EMOSI DAN PERILAKU SOSIAL

Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pembelajaran Anak Dengan
Hambatan Emosi dan Perilaku Sosial

Dosen Pengampu : Abdul Rahim, S.Pd., M.Pd.

Disusun oleh :

1. Meida Suryanti (2016015356)


2. Uswatun Khasanah (2016015360)
3. Nur Uswatun (2016015474)
4. Risqi Dwi Rachmadaniati (2016015492)
5. Tria Dewi Handayani (2016015499)
6. Siti Fitriyah (2016015508)

Kelas : 6H

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SARJANAWIYATA TAMANSISWA
YOGYAKARTA
2019
B. PEMBAHASAN
Menurut Willy F. & Maramis, 2009 dalam Sanubari (2017:2) anak
merupakan individu yang tumbuh dan berkembang, baik dalam bidang
somatis, maupun dalam bidang psikologis. Anak bukan merupakan orang
dewasa dalam bentuk “mini”. Karena memang prosesnya yang berlainan.
Dengan demikian, maka tidak boleh dilupakan bahwa gangguan jiwa pada
anak bisa timbul sewaktu kepribadiannya sedang berkembang serta
gangguan jiwa itu mungkin merupakan refleksi penyimpangan dalam
perkembangan itu sendiri.
Dalam perkembangan seorang anak pola asuh merupakan bagian dari
proses sosialisasi yang penting dan paling mendasar. Fungsi utama
pengasuhan anak adalah untuk mempersiapkan seseorang untuk menjadi
warga masyarakat, karena keluarga merupakan tempat sosialisasi pertama
bagi seorang anak dan orangtua sebagai pemeran utama dalam pembentukan
kepribadian anak (Andayani & Koentjoro, 2012 dalam Sanubari, 2017:2-3).
Bagi anak hal ini merupakan sarana untuk belajar nilai, norma, sikap dan
cara berperilaku yang khas pada masyarakat dimana anak berada.
Pengasuhan itu sendiri muncul dengan cara yang berbeda-beda. Pada cara
pengasuhan yang berbeda maka akan menghasilkan tipe kepribadian dasar
yang berbeda pula (Ismail, 2015 dalam Sanubari 2017:3).
Menurut Santrock (2011) dalam Nur Istiqomah (2014) pola asuh otoriter
adalah gaya membatasi dan menghukum ketika orang tua memaksa anak-
anak untuk mengikuti arahan mereka dan menghormati pekerjaan serta
upaya mereka. Ia juga mengemukakan bahwa anak-anak dari orang tua
otoriter sering tidak bahagia, takut dan ingin membandingkan dirinya
dengan orang lain, gagal untuk memulai aktivitas dan memiliki komunikasi
yang lemah, serta berperilaku agresif. Hal tersebut menyebabkan anak
memiliki kecerdasan emosi yang rendah, anak takut mengambil inisiatif
sendiri (kurang mandiri) untuk memulai aktivitasnya karena jika melakukan
kesalahan mendapatkan hukuman, sehingga menjadi bergantung pada orang
lain terlebih pada orang tua.
Perkembangan sosio emosional merupakan hal yang penting yang harus
dimiliki oleh setiap anak guna menjalin hubungan yang baik dan harmonis
terhadap orang yang ada di sekitar mereka, karena dalam perkembangan
seorang anak dalam kehidupannya akan mengalami perubahan social
emosionalnya sesuai dengan tingkat kematangannya dalam hal
hubungannya dengan orang lain, teman sebaya, atau orang tuanya. Hal
tersebut penting bagi perkembangan kepribadian dari anak karena
diharapkan anak memiliki kemampuan dalam mengelola emosi positif
dalam bersosialisasi atau mampu dalam melakukan interaksi social dengan
orang lain, selain itu anak yang terbiasa dilatih perilaku social emosional
akan memiliki kemampuan dalam menghadapi dan memecahkan persoalan-
persoalan yang dihadapinya.
Menurut Gardner (dalam Miranda & Wahyuni, halaman 3) anak usia dini
mempunyai intelegensi atau kecerdasan yang perlu dikembangkan secara
optimal. Selanjutnya Mulyasa (2012:58) dalam Miranda & Wahyuni, hal. 3
menjelaskan bahwa kecerdasan anak yang perlu dikembangkan di antaranya
kecerdasan interpersonal adalah kecerdasan untuk memahami hal-hal yang
terjadi pada dirinya. Kecerdasan ini ditandai dengan kemampuan anak untuk
mengungkapkan perasaan atau isi hati, sedangkan kecerdasan intrapersonal
merupakan kecerdasan seseorang untuk menjalin hubungan dengan orang
lain. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan aktivitas anak dalam
kehidupan social emosionalnya sangat tergantung dari kecerdasan
interpersonal dan intrapersonal anak yang dapat digunakan untuk mengelola
interaksi dengan orang lain. Jadi, indicator keberhasilan seorang anak dalam
kehidupannya tidak dilihat dari nilainya di sekolah tetapi kemampuannya
menggunakan kecerdasan interpersonal dan intrapersonal dalam beradaptasi
dengan lingkungan hidupnya, menikmati masa kecil dan berinteraksi dengan
teman sebaya secara nyaman, serta menjadi orang dewasa yang bertanggung
jawab.
C. KESIMPULAN
1. Meida Suryanti (2016015356)
Peran asuh orang tua dalam mendidik anak sangat penting untuk
perkembangan karakteristik anak, terutama pada segi kepribadian anak.
Hal ini dikarenakan orang tua menjadi penentu/kunci dalam pembentukan
kepribadian seorang anak. Oleh karena itu penting sekali bagi orang tua
dalam memberikan asuhan yang baik bagi anaknya yang mana dapat
mengembangkan dan membentuk anak untuk memiliki kepribadian yang
baik. Pada permasalahan di jurnal tersebut dapat saya simpulkan bahwa
pola asuh orang tua secara otoriter itu tidak baik untuk diterapkan, seperti
halnya yang dijabarkan bahwa memang benar orang tua memiliki peran
dan posisi utama dalam mendidik anak, namun bukan berarti orang tua
sepenuhnya mengekang dengan membuat aturan yang harus dipatuhi dan
membatasi setiap aktivitas anak (menggunakan pola asuh otoriter), karena
anak diusia balita itu merupakan masa perkembangan emas pada anak,
anak memerlukan asupan pengetahuan yang memadai baik secara
intelektual maupun secara social. Anak yang diasuh secara otoriter
cenderung mengalami gangguan emosi maupun dalam hal perilaku
sosialnya, mulai dari suka membangkang, tertekan/stress, bahkan tidak
percaya diri, hal tersebut dapat memicu rendahnya kecerdasan emosi dan
kemandirian pada anak. Padahal kecerdasan emosi itu sangat dibutuhkan
pada anak dalam berinteraksi dengan orang lain, menyelesaikan
permasalahan social yang sedang ia hadapi sesuai dengan kemampuan
mereka, dan lain sebagainya hal tersebut akan memancing kemandirian
dan kepercayaan diri mereka. Di sini peran orang tua lebih dalam hal
mengarahkan dan mengontrol anak dalam bertindak agar anak juga tidak
terlalu lepas kendali/lepas dari awasan orangtua.
2. Uswatun Khasanah (2016015360)
Menurut pendapat saya terkait hubungan pola asuh otoriter orang
tua sangat berpengaruh terhadap kemandirian anak. Pola asuh otoriter
adalah pola pengasuhan anak yang bersifat keras dimana orangtua akan
membuat berbagai aturan yang harus dipatuhi oleh anak tanpa mau tahu
perasaan anak. Anak pada usia 3-5 tahun sangat membutuhkan peran
seorang ibu dalam mengenal lingkungannya. Apabila pola asuh yang
diberikan ibu negative maka akan berdampak pada sifat dan karakter anak
itu sendiri dan sebaliknya. Pola asuh yang otoriter menjadikan anak
mengalami gangguan emosi dan perilaku social, anak akan mempunyai
sifat keras, pembangkang atau berani kepada orang tuanya, anak akan
ketakutan dan tertekan karena apabila melakukan kesalahan anak akan
diberikan hukuman, sering berbohong, tidak berani mengeluarkan
pendapat, bahkan tidak percaya diri sehingga memicu rendahnya
kemandirian anak. Jadi pola asuh otoriter tidak pantas diterapkan pada
anak.
3. Nur Uswatun (2016015474)
Pola asuh otoriter adalah cara dalam mendidik dan mengasuh anak
yang dilakukan oleh orangtua. Anak dikontrol ketat dengan peraturan dan
Batasan dalam melakukan aktivitas dan jika anak bersalah maka diberikan
hukuman. Sedangkan kemandirian adalah kemampuan anak untuk
mencapai sesuatu yang diinginkan, tidak tergantung pada orang lain,
mampu mengambil keputusan dan bertanggung jawab.
Dari penjelasan di atas dapat saya simpulkan ada hubungan negative
antara pola asuh otoriter dengan kemandirian anak. Pola asuh otoriter anak
cenderung tidak bahagia, takut dan seringkali membandingkan diri dengan
orang lain serta gagal memulai aktivitas. Hal tersebut mengarah pada
rendahnya kecerdasan emosi dan kemandirian anak. Mengakibatkan anak
takut mengambil keputusan/inisiatif untuk memulai aktivitas, dikarenakan
anak berfikir ketika melakukan kesalahan mendapatkan hukuman.
4. Risqi Dwi Rachmadaniati (2016015492)

Menurut saya, pola asuh merupakan suatu bentuk cara dalam upaya
merawat, mendidik, dan membimbing anak supaya dapat hidup mandiri.
Pola asuh ini merupakan salah satu bentuk interaksi antara anak dan orang
tua selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Pola asuh ini sangat
dibutuhkan bagi anak guna menunjang perkembangan fisik dan mental.
Pola asuh yang baik bagi anak, dapat menciptakan kemandirian. Namun,
tidak semua orang tua paham akan manfaat pola asuh yang baik.
Terkadang, beberapa orang tua masih menerapkan pola asuh yang otoriter
(terlalu ketat).

Pola asuh otoriter merupakan pola asuh dengan didikkan yang


sangat keras dalam mendisiplinkan anak. Pola asuh otoriter merupakan
pola asuh dengan perintah satu arah dan mengabaikan pendapat anak. Pada
pola asuh ini, terkadang orang tua tidak mampu menunjukkan kasih
sayang dan interaksi/komunikasi yang kurang pada anaknya. Orang tua
memiliki ekspektasi tinggi terhadap anaknya, dan apabila anak tidak
mampu mencapai ekspektasi orang tua tersebut, maka anak akan dikatakan
gagal. Hal ini akan berakibat pada anak yang merasa takut dan tidak
percaya diri dalam melakukan suatu hal.

Cara pengasuhan pola asuh otoriter dengan cara mendisiplinkan


anak. Cara mendisiplinkan anak akan melahirkan sikap anak penurut.
Sikap anak ini, merupakan salah satu cara agar ia terhindar dari hukuman
yang diberikan orang tua. Hal ini akan menyebabkan secara akademis anak
memiliki rasa tidak percaya diri, kurang berinisiatif dan keras kepala.
Selain itu, secara sosial anak akan menjadi manusia yang tertutup, pasif,
tidak mau berdiskusi dengan orang tua, dan lebih mendengarkan pendapat
dari teman-temannya. Pola asuh otoriter dengan cara mendisiplinkan anak
secara keras ini akan melahirkan anak yang frustasi dan pemberontak.

Jurnal tentang “Hubungan Pola Asuh Otoriter Dengan


Kemandirian Anak Usia Pra Sekolah” merupakan salah satu kepedulian
peneliti akan suatu masalah. Pola asuh otoriter akan menyebabkan anak
kurang mandiri, memiliki rasa tidak percaya diri dan takut akan
melakukan suatu hal. Ketakutan itu terjadi apabila, ekpektasi orang tua
tidak sesuai apa yang diharapkan. Pola asuh otoriter tidak sesuai dengan
pola asuh yang dapat menumbuhkembangkan anak secara fisik dan
mental. Dengan demikian, dibutuhkan pola asuh yang dapat menciptakan
anak bahagia, dapat berkembang, munculnya sikap kemandirian, serta
memiliki sikap percaya diri.

5. Tria Dewi Handayani (2016015499)


Pola asuh otoriter merupakan pola asuh yang bersifat keras dimana
orang tua membuat beberapa aturan yang harus dipatuhi oleh anak-
anaknya tanpa orang tua tahu bagaimana perasaan sang anak. Menurut
pendapat saya pola asuh ini kurang tepat digunakan pada anak usia Pra
Sekolah, karena pada masa ini masa emas seorang anak, dimana pada usia
ini otak anak dapat menerima dan menyerap berbagai macam informasi,
tidak melihat baik dan buruk. Itulah masa-masa yang dimana
perkembangan fisik, mental maupun spiritual anak akan mulai terbentuk.
Dampaknya jika orang tua menggunakan pola asuh yang otoriter
anak akan merasa tertekan, ketakutan, sering berbohong, pesimis, mudah
dipengaruhi, dan sangat bergantung pada orang lain. Jika pola asuh
otoriter berlangsung maka juga akan sangat berdampak pada kemandirian
yang sangat rendah pada anak. Meningkatkan kemandirian anak tidak
lepas dari faktor lingkungan, faktor karakteristik sosial, dan faktor
keluarga. Oleh karena itu ada baiknya orang tua memilih pola asuh yang
baik bagi anak, mungkin lebih demokratis yang memberikan kesempatan
bagi anak dan membimbing seta mengarahkan anak tanpa adanya
pemaksaan kehendak terhadap anak.
6. Siti Fitriyah (2016015508)
Menurut pendapat saya, pola asuh otoriter merupakan perlakuan
orangtua yang diterapkan pada anak dengan cara memaksa (keras).
Dimana anak tidak di beri kebebasan dalam melakukan suatu hal yang
diinginkan. Padahal di usia balita ini peran orangtua dalam mengasuh anak
sangatlah penting. Apabila pola asuh yang diterapkan oleh orangtua pada
anak itu keras, justru akan berdampak pada perkembangan emosi dan
perilaku si anak. Dimana anak akan cenderung merasa tertekan dan sering
berbohong kepada orangtua karena dia tidak berani mengungkapkan apa
yang dia rasakan dan dia inginkan. Terkadang apabila tidak ada orangtua
yang memantau, anak akan cenderung mencoba melakukan hal-hal yang
dilarang oleh orangtua. Apabila hal itu terjadi secara terus menerus dapat
membuat anak stress, dan dengan mudah membangkang kepada orangtua.
Selain itu pola asuh yang otoriter juga dapat menentukan kemandirian
anak, dimana hal ini dipengaruhi oleh factor intelegensi. Anak yang
mmemiliki kecerdasan atau intelegensi yang tinggi, daya tangkapnya kan
kebih cepat daripada anak yang tingkat kecerdasannya kurang. Sehingga
anak yang memiliki kecerdasan tinggi dia akan lebih cepat bertindak akan
suatu hal. Tentu hal ini akan berhubungan dengan kemandirian anak.
Semakin tinggi kecerdasan anak maka kemandirian anak juga semakin
bagus. Dan dengan adanya kemandirian akan membentuk hal positif bagi
perkembangan anak.
Sehingga orangtua perlu mengajarkan kemandirian pada anak sejak
usia dini, tapi dengan menyesuaikan kemampuan anak. Orangtua tidak
perlu memaksakan apabila anak belum mampu, orangtua harus
mengajarinya secara perlahan. Jadi, pola asuh otoriter kurang baik apabila
di terapkan dalam hal mendidik anak. Sebagai orangtua sebaiknya
mengarahkan perilaku anak yang kurang baik menjadi lebih baik, namun
tidak dengan selalu memaksakan kehendak kita kepada anak. Sebaiknya
orangtua juga mendengarkan apa yang diinginkan oleh anak. Jalin
komunikasi yang baik antara orangtua dan anak, agar mereka tidak
canggung apabila menyampaikan sesuatu kepada orangtua. Sehingga
perkembangan emosi dan perilaku anak juga positif.
DAFTAR PUSTAKA

Madantia & Asnida. 2014. Hubungan Pola Asuh Orang Tua Otoriter dengan
Kemandirian Anak Usia Pra Sekolah. Jurnal Ners dan Kebidanan. 1(1):1-7.
Hidayati, Nur Istiqomah. 2014. Pola Asuh Otoriter Orang Tua, Kecerdasan
Emosi, dan Kemandirian Anak SD. Jurnal Psikologi Indonesia. 3(1): 1-8
Miranda & Wahyuni. Tidak ada tahun. Peningkatan Perkembangan Social
Emosional melalui Pemberian Tugas Kelompok pada Anak Usia 5-6 Tahun.
Skripsi. Pontianak: Universitas Tanjungpura.
Sanubari, Wiku Bagas. 2017. Hubungan Pola Asuh dengan Masalah Emosi dan
Perilaku pada Anak di SDN Pajang 1 Surakarta. Skripsi. Universitas
Muhammadiyah Surakarta.

Anda mungkin juga menyukai