Anda di halaman 1dari 12

JARH WA TA’DIL: PENGERTIAN DAN KAIDAH

Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas matakuliah

ULUMUL HADITS

Dosen Pengampu :

Dr. Muhid, M.Ag

Disusun oleh :

Humam Nuh Abdillah (E93217062)

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UIN SUNAN AMPEL

SURABAYA

2018
BAB I

PENDAHULUAN

Hadis memiliki posisi penting dalam penentuan suatu hukum. Namun


demikian, tidak semua hadis dapat diterima. Ada hadis yang harus dibuang, karena
setelah diselidiki ternyata terbukti itu bukan berasal dari Nabi Saw. Perihal kualitas
hadis, kita biasa mengenal hadis Shahih, Hasan, dan dhaif, ada pula hadis palsu.
Hanya hadis berkualitas shahih (atau minimal hasan/baik) yang dapat diterima.
Untuk mengetahui kualitas hadits maka harus dengan meneliti sanad dan
matan hadis tersebut. Penelitian sanad adalah gerbang awal yang harus dilalui
seseorang sebelum lebih jauh membahas matan sebuah hadis. Sanad adalah
rangkaian nama-nama orang yang terlibat periwayatan sebuah hadis, mulai generasi
shahabat (murid Nabi Saw) hingga generasi ulama penulis kitab hadis, yang disebut
ulama mukharrij, seperti al-Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan lain sebagainya.
Orang-orang yang terlibat dalam periwayatan ini harus diteliti satu persatu
biografi dan identitasnya, apakah termasuk orang yang bisa dipercaya (tsiqqah) atau
tidak, apakah daya hafalnya kuat (dhabit) atau tidak, krebilitasnya baik atau tidak,
dan lain sebagainya. Jika setelah diteliti ternyata mereka telah memenuhi syarat,
maka hadisnya bisa untuk diterima. Tertapi jika tidak memenuhi syarat, maka
hadisnya masuk kotak dan diberi label: hadis dhaif, atau hadis maudhu’ (palsu).
Untuk mengetahui identitas dan kredibilitas periwayat, maka harus
dilakukan penelitian kesejarahan. Karena penelitian kesejarahan, maka sumber
datanya adalah buku-buku dan kitab-kitab yang mencamtumkan identitas mereka.
Ilmu yang meneliti dan mengupas tuntas orang-orang yang namanya tercantum
dalam sanad hadis, disebut ilmu Rijal al-Hadis.
Muhammad ‘Ajjal al-Khathib, seorang tokoh hadis kontemporer, dalam
bukunya yang cukup terkenal, Ushul al-Hadits: ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu,
membagi Ilmu Rijalul Hadits menjadi dua bagian besar,1 Ilmu Tarikh al-Ruwah dan
Ilmu Jarh wa Ta’dil. Makalah ini akan membahas Ilmu Jarh wa Ta’dil.

1
Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits: ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu (t.k: Dar al-Fikr,
1989), hlm. 164
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Jarh wa Ta’dil

Dari segi bahasa, Jarh (‫ )الجرح‬terambil dari kata ‫جرح – يجرح‬, artinya
melukai. Jarh ialah melukai tubuh ataupun yang lain dengan menggunakan benda
tajam, pisau, pedang, dan sebagainya. Luka yang disebabkan oleh karena pisau dan
sebagainya dinamakan jurh. Jarh juga diartikan memaki dan menista. Sedangkan

ta’dil (‫ )التعديل‬ialah menyama ratakan (‫)التسوية‬, mengimbangi sesuatu dengan

yang lain dan menegakkan keadilan (‫ )التقويم‬atau berlaku adil.2

Jarh menurut pengertian ahli hadits, adalah mencela atau mengkritik perawi
hadits dengan ungkapan-ungkapan yang menghilangkan keadilan ataupun
kedhabitannya. Sebaliknya, ta’dil menurut para ulama hadits adalah memuji perawi
(tazkiyah al-rawi) dan menetapkannya sebagai seorang yang adil dan dhabit.3

jarh adalah menyatakan tertolaknya rawi atau saksi, serta menunjukkan


kelemahannya. Ta’dil adalah menerima rawi atau saksi sehingga dapat diterima
pula periwayatannya.

Objek material Jarh wa Ta’dil adalah orang-orang yang dulu terlibat dalam
periwayatan hadis pada abad ke-1 hingga abad ke-4 Hijriyah, jadi mereka sudah
wafat ratusan tahun yang lalu.

Ilmu Jarh wa Ta’dil mengupas seluk-beluk Sejarah hidup perawi secara


spesifik, yakni bagaimana kualitas intelektual maupun kualitas moral perawi
(dhabit atau tidak, jujur atau tidak), tsiqqah atau tidak). Singkatnya, Ilmu Jarh wa

2
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1954), hlm.
358.
3
Nuruddin Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits, (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1997), hlm. 92.
Ta’dil adalah ilmu yang membicarakan kebaikan maupun keburukan orang-orang
yang namanya tercantum dalam sanad sebuah hadis.

B. Hal-hal yang Disyaratkan dan Tidak Disyaratkan dalam Jarh wa Ta’dil

Dalam tradisi ilmu-ilmu hadits, seorang yang hendak melakukan Jarh


maupun ta’dil terlebih dahulu harus memenuhi bebarapa syarat sebagai berikut:4

1. Ia harus seorang yang alim, wara’, bertakwa, dan jujur. Ini adalah syarat
yang paling mendasar, sebab orang yang tidak memiliki sifat-sifat tersebut,
bagaimana mungkin ia dapat menetapkan kualitas seorang perawi.
2. Ia harus mengetahui sebab-sebab seseorang di-Jarh maupun di-ta’dil. Al-
Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Yang diterima adalah tazkiyah (rekomendasi)
dari seseorang yang mengetahui sebab-sebabnya, bukan dari orang yang
tidak tahu, agar rekomendasi itu tidak hanya berdasar pada apa yang
diketahui dari luar dan tidak melalui penyelidikan yang mendalam.”
3. Ia harus menguasai bahasa dan percakapan orang Arab dengan baik, tidak
meletakkan kalimat di luar maknanya, sehingga terhindar dari melakukan
Jarh dengan kalimat yang bukan kalimat Jarh.

Masih terkait dengan Jarh wa Ta’dil, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan bahwa hal-hal tersebut tidak disyaratkan dalam Jarh wa Ta’dil, yaitu:5

1. Tidak disyaratkan harus laki-laki ataupun wanita. Jarh wa Ta’dil adalah


area bebas gender.
2. Tidak disyaratkan harus merdeka. Dengan demikian, periwayatan budak
sama nilainya dengan periwayatan non budak, selagi memenuhi syarat-
syarat di atas.
3. Sebagian ulama menyatakan, Jarh maupun ta’dil hanya bisa diterima
dengan kesaksian dua orang atau lebih. Namun sebagian yanhg lain
menerima Jarh dan ta’dil dari satu orang saja, karena banyaknya jumlah

4
Nuruddin Itr, Manhaj… hlm. 93-94
5
Ibid,
tidaklah disyaratkan dalam diterima atau ditolaknya sebuah riwayat. Ini
berbeda dengan persaksian.

C. Kondisi periwayat, dan Klasifikasinya.

Telah dinyatakan oleh ahli hadis tentang jarh wa ta’dil rawi hadits, dan mereka
telah sepakat, untuk men-Jarh wa ta’dil para rawi hadits. (dan mengecualikan para
sahabat Nabi Saw. karena disepakati bahwa sahabat adalah adil secara
keseluruhan). Maka ditulislah banyak kitab-kitab yang membahas tentang jarh wa
ta’dil. Langkah ini dilaksanakan guna menjaga kemurnian syariat islam.6

Dalam Ilmu Jarh wa Ta’dil, rawi hadits dikelompokkan menjadi 6 kelompok,


sebagai berikut:7

1. Tsiqqah, hadis yang diriwayatkannya boleh ditulis, dan digunakan sebagai


hujjah
2. Lemah atau mengandung kelemahan (lemah yang ringan), boleh ditulis
jika dengan tujuan untuk mengambil pelajaran, atau menguatkan dalam
bab kesaksian dan bukti.
3. Sangat lemah, haditsnya hanya boleh ditulis untuk menjelaskan kelemahan
rawi, supaya bisa diambil hikmahnya.
4. Adil yang tidak diketahui ke dhabitannya, ditulis untuk mengabarkan ke
dhabitannya.
5. Yang masih terdapat perselisihan tentang Jarh dan ta’dil nya.
6. Majhul, rawi yang tidak perlu di-Jarh wa Ta’dil, karena tidak adanya
riwayat perihal kapasitas perawi.

6
Abu al-Fadl Ahmad bin Ali bin Hajr al-Atsqalani. Nuzhatun Nadzar fi Taudihi Nuhbat al-Fikr. hlm,
166.
7
Ibid,
Adil disini merupakan penggambaran atas kualitas moral, spiritual, dan
relegiusitas seorang perawi. Sedangkan istilah dhabit sendiri merupakan gambaran
atas kapasitas intelektual sang perawi yang benar-benar mantap.

D. Etika dalam Jarh wa Ta’dil

Dalam melakukan Jarh wa Ta’dil, ada beberapa etika yang harus


diperhatikan. Antara lain adalah sebagai berikut. Nududdin ‘Itr dalam bukunya
yang berjudul Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits menyebutkan empat etika dalam
Jarh wa Ta’dil. Namun pada dasarnya, poin penting yang ada di sana hanya tiga,
sedang yang satu hanya bersifat pengembangan. Tiga poin tersebut adalah sebagai
berikut:8

1. Dilakukan secara proporsianal, tidak terlalu tinggi dalam men-ta’dil seorang


perawi, tetapi juga tidak terlalu menjatuhkan dalam men-Jarh-nya.
2. Tidak boleh melakukan Jarh melebihi keperluan, karena disyari’atkannya
Jarh pada dasarnya adalah karena keadaan dharurat, sedang keadaan darurat
hanya membolehkan sesuatu secukupnya.
3. Tidak boleh hanya melakukan Jarh saja, tanpa melakukan ta’dil, jika
memang orang yang bersangkutan juga memiliki nilai-nilai positif.

E. Kaidah-kaidah Jarh wa Ta’dil

Berikut adalah sebagian kaidah-kaidah Jarh wa Ta’dil menurut Ibnu Hajar al-
Atsqalani, dalam kitabnya Nuhbat al-Fikr.9

1. Jarh wa Ta’dil, harus berasal dari ahlinya.


2. Jarh tidak diterima jika dikeluarkan secara tidak jujur.
3. Jarh mubham (samar) tidak dapat diterima kecuali berasal dari Imam yang
disepakati, dengan catatan tidak bertentangan dengan keadilan.

8
Nuruddin Itr, Manhaj… hlm 95
9
Ibid, 167
Ada beberapa teori yang dikemukakan oleh para ulama ahli al jarh dan al ta’dil
yang digunakan sebagai prosedur penetapan al jarh dan al ta’dil, yaitu:10

1. Jujur dan tuntas dalam memberikan penilaian. Mereka akan menyebutkan


sifat positif maupun negatif perawi. Sebagai contoh perkataan Muhammad
ibn Sirin: “Sungguh engkau berbuat zalim kepada saudaramu, bila engkau
hanya menyebutkan keburukan-keburukannya tanpa menyebutkan
kebaikan-kebaikannya”.
2. Kecermatan dalam meneliti dan menilai. Dengan mencermati pernyataan-
pernyataan Ulama tentang al jarh dan al ta’dil kita bisa menemukan
kecermatan mereka dalam meneliti dan kedalaman pengetahuan mereka
tentang seluk beluk perawi yang mereka kritik.
3. Mematuhi etika al jarh dan al ta’dil dalam menyatakan penilaian tidak akan
keluar dari etika penelitian ilmiah. Ungkapan paling keras yang kritikus
kemukakan adalah “Fulan Wadhdha” (Fulan tukang palsu), “Fulan
kadzdib” (Fulan tukang dusta), “Fulan Yaftari al-Kadziba Ala ash-Shahabat
ra.” (Fulan membuat kedustaan atas diri sahabat ra.) atau ungkapan-
ungkapan lain yang mereka berikan untuk orang yang memalsukan hadits.
4. Secara global menta’dil dan secara rinci dalam mentajrih. Dari ungkapan-
ungkapan Imam-Imam al jarh dan al ta’dil kita bisa melihat bahwa mereka
tidak menyebutkan sebab-sebab at-ta’dil mereka terhadap para perawi.
Karena sebab-sebab at ta’dil sangat banyak, sehingga sulit bagi seseorang
untuk menyebut seluruhnya.
Berbeda dengan al-jarh yang umumnya mereka menjelaskan
sebabnya, seperti sering lupa, menerima secara lisan saja, sering salah,
kacau hafalannya, tidak kuat hafalannya, dusta, fasik dan lain-lain. Karena
dianggap cukup menyebut satu sebab untuk mengkritik sifat adilnya atau
daya hafalannya. Mayoritas ulama menerapkan prinsip semacam ini.

10
Hasby Ash-Shidieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits (Jilid II). (Jakarta: Bulan Bintang, 1976)
hlm 217-218
Karena jarh hanya diperbolehkan demi kepentingan membedakan antara
yang tsiqah dan yang dha’if (lemah).

Perdebatan dalam Kaidah-kaidah Jarh wa Ta’dil

Metode yang dipakai ulama atau kritikus hadis dalam melakukan jarh dan
ta’dil sangat beragam. Adakalanya para ulama atau kritikus hadis sependapat dalam
menilai pribadi periwayat hadis tertentu dan adakalanya berbeda pendapat. Selain
itu, adakalanya seorang kritikus juga mempunyai penilaian yang berbeda terhadap
diri seseorang, misalnya pada suatu saat dia menilai dengan ungkapan laisa bihi
ba’s, tapi di lain kesempatan dia menilai da’if terhadap periwayat yang sama.
Padahal kedua ungkapan itu memiliki pengertian dan peringkat yang berbeda.
Sehingga dengan adanya metode yang telah ditetapkan para ulama, diharapkan
dapat dihasilkan penilaian yang lebih obyektif.

Berikut ini beberapa kaidah atau sebagai metode penyelesaian yang


ditetapkan para ulama, jika terjadi perbedaan penilaian atas diri seorang periwayat.
Kaidah-kaidah ini juga perlu dijadikan bahan oleh peneliti hadis ketika melakukan
kegiatan penelitian, khususnya berkenaan dengan penelitian para periwayat hadis:11

1. ( ‫الجرح‬ ‫) التعديل مقدم على‬


Kritik yang berisi pujian terhadap periwayat harus didahulukan
(dimenangkan) terhadap kritik yang berisi celaan, dengan
pertimbangan bahwa sifat asal perawi adalah terpuji, adapun
kecacatan perawi adalah sesuatu yang datang kemudian. An-Nasa’iy
merupakan salah satu tokoh yang mengemukakan pendapat ini.

2. ( ‫التعديل‬ ‫) الجرح مقدم على‬


Kritik yang berisi celaan terhadap periwayat harus didahulukan
(dimenangkan) terhadap kritik yang berisi pujian. Dengan
berdasarkan dua alasan:

11
Syuhudi ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis, cet.1, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988) hlm, 182
a. Ulama yang mengemukakan celaan lebih mengetahui
keadaaan periwayat yang dikritiknya, ketimbang ulama yang
memuji periwayat tersebut.
b. Pendapat ini beranggapan bahwa yang dijadikan dasar para
ulama untuk memuji periwayat hadits adalah perasangka
baik semata. Pendapat ini didukung oleh mayoriyas ulama
hadis, fiqh, ushul fiqh.
3. Kritik yang berisi celaan terhadap periwayat didahulukan
(dimenangkan) terhadap kritik yang berisi pujian, dengan syarat
sebagai berikut:
a. Ulama yang men-jarh (melakukan kritik celaan) telah
dikenal sebagai ulama yang mengetahui pribadi periwayat
yang dikritiknya.
b. Celaan (jarh) yang dikemukakan haruslah didasarkan pada
argumen-argumen yang kuat, dengan penjelasan sebab-
sebab yang menjadikan kualitas perawi dicela.

Menurut Suhud Ismail, pendapat ketiga adalah pendapat yang lebih utama
untuk diterapkan, namun dengan catatan, syarat-syaratnya terpenuhi.

Bila ditemukan kritik yang mengandung celaan (Jarh) terhadap periwayat,


namun tidak disertai penjelasan perihal ketercelaan periwayat dimaksud, maka
perlu dilakukan kajian terhadap pengkritik. Karena sifat-sifat kritikus ada yang
ketat, ada yang longgar, ada juga yang memposisikan diantaranya (tengah-tengah).
Maka dari itu peneliti dituntut untuk tetap bersikap kritis.

Dari sejumlah teori yang disertai dengan alasannya masing-masing itu,


maka yang harus dipilih adalah teori yang mampu menghasilkan penilaian yang
lebih objectif terhadap para periwayat hadis yang dinilai keadaan pribadinya.
Dinyatakan demikian karena tujuan penelitian yang sesungguhnya bukanlah untuk
mengikuti teori tertentu, melainkan bahwa penggunaan teori-teori itu adalah dalam
upaya memperoleh hasil penelitian yang lebih mendekati kebenaran, bila kebenaran
itu sendiri sulit dihasilkan.

F. Landasan Jarh wa Ta’dil

Telah diulas bahwa ilmu Jarh wa Ta’dil adalah cabang ilmu yang mengupas
kebaikan maupun keburukan orang-orang yang namanya tercantum dalam sanad
hadis. Penilaian positif disebut sebagai ta’dil, sedangkan penilaian negatif disebut
dengan istilah Jarh (mencela, atau melukai nama baiknya).

Pada dasarnya, ajaran Islam melarang seseorang membicarakan apalagi


menyebarkan aib orang lain, yang dalam bahasa agama disebut dengan istilah
ghibah. Namun demikian, sebagaimana dikatakan Hasbi Ash Shiddieqy ketika
mengutip al-Ghazali dan al-Nawawi, ada 6 macam ghibah yang diperbolehkan.

1. Karena teraniaya; orang yang teraniaya boleh membicarakan penganiayaan


yang dilakukan pelakunya.
2. Meminta pertolongan untuk membasni kemungkaran.
3. Untuk meminta fatwa.
4. Untuk menghindarkan manusia dari kejahatan.
5. Orang yang dicela merupakan orang yang terang-terangan melakukan
bid’ah dan kemunkaran.
6. Untuk memberikan informasi yang sebenarnya.

Bahkan menurut Ajjaj al-Khathib, memelihara tradisi Jarh wa Ta’dil bagi


kalangan Muslimin adalah wajib,12 demi menjaga orsinalitas teks agama. Allah
berfirman,

ِ ُ ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ِإ ْن َجا َء ُك ْم فَا ِس ٌق ِب َنبَإ ٍ فَت َ َبَّيَّنُوا أ َ ْن ُت‬
ْ ُ ‫ِصَّيبُوا َقَ ْوما ِب َج َهالَ ٍٍة فَت‬
‫ِص ِب ُحوا‬
َ‫علَى َما فَ َع ْلت ُ ْم نَاد ِِمَّين‬
َ

12
Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits…hlm. 169.
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik
membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak
menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya
yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu” (al-Hujurat: 6).

Nabi sendiri juga memberikan kritik dan pujian terhadap para shahabatnya. 13

Nabi pernah men-Jarh seseorang, Nabi Saw. bersabda: ‫العشيرة أخو بئس‬
yang mana artinya adalah, “Betapa buruk saudaranya al-‘Asyirah”.

Nabi Muhammad Saw. juga men-ta’dil sahabat, sebagaimana sabda beliau


“Hamba Allah yang paling baik adalah Khalid bin Walid, dialah salah satu dari
pedang-pedang Allah.”

BAB III

PENUTUP

Ilmu al- Jarh wa at-Ta’dil adalah ilmu yang menerangkan tentang


ckecacatan yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta’dilannya
(memandang lurus perangai para perawi). Dengan ilmu al- Jarh wa at-Ta’dil kita
dapat mengetahui kecacatan yang ada pada perawi, sehingga nantinya dapat
dibedakan hadits maqbul (diterima) dan hadits mardud (yang tertolak).
Pengetahuan kita seputar kualitas hadis akan menuntun kita dalam menentukan
penggunaan hadits khususnya yang berkenaan dengan syariat.

DAFTAR PUSTAKA

13
Ibid,
Al-Asqalani, Ibnu Hajar, Nuskhah al-Nazar Syarh al-Nukhbah al-Fikr, Semarang,
Maktabah al-Munawwar, tth

Al-Khathib, Muhammad ‘Ajjaj, 1989, Ushul al-Hadits: ‘Ulumuhu wa


Mushthalahuhu (Beirut: Dar al-Fikr)

Ash-Shidieqy, T.M. Hasby. 1976, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits (Jilid II)
(Jakarta: Bulan Bintang)

__________, 1954, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang)

Ismail, Syuhudi, 1988, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis, cet.1, (Jakarta: Bulan
Bintang)

Nuruddin Itr, Manhaj, 1997, al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits, (Beirut: Dar al-Fikr al-
Mu’ashir)

Anda mungkin juga menyukai