Kaidah Jarh Ta'dil (Humam Nuh Abdillah)
Kaidah Jarh Ta'dil (Humam Nuh Abdillah)
ULUMUL HADITS
Dosen Pengampu :
Disusun oleh :
SURABAYA
2018
BAB I
PENDAHULUAN
1
Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits: ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu (t.k: Dar al-Fikr,
1989), hlm. 164
BAB II
PEMBAHASAN
Dari segi bahasa, Jarh ( )الجرحterambil dari kata جرح – يجرح, artinya
melukai. Jarh ialah melukai tubuh ataupun yang lain dengan menggunakan benda
tajam, pisau, pedang, dan sebagainya. Luka yang disebabkan oleh karena pisau dan
sebagainya dinamakan jurh. Jarh juga diartikan memaki dan menista. Sedangkan
Jarh menurut pengertian ahli hadits, adalah mencela atau mengkritik perawi
hadits dengan ungkapan-ungkapan yang menghilangkan keadilan ataupun
kedhabitannya. Sebaliknya, ta’dil menurut para ulama hadits adalah memuji perawi
(tazkiyah al-rawi) dan menetapkannya sebagai seorang yang adil dan dhabit.3
Objek material Jarh wa Ta’dil adalah orang-orang yang dulu terlibat dalam
periwayatan hadis pada abad ke-1 hingga abad ke-4 Hijriyah, jadi mereka sudah
wafat ratusan tahun yang lalu.
2
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1954), hlm.
358.
3
Nuruddin Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits, (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1997), hlm. 92.
Ta’dil adalah ilmu yang membicarakan kebaikan maupun keburukan orang-orang
yang namanya tercantum dalam sanad sebuah hadis.
1. Ia harus seorang yang alim, wara’, bertakwa, dan jujur. Ini adalah syarat
yang paling mendasar, sebab orang yang tidak memiliki sifat-sifat tersebut,
bagaimana mungkin ia dapat menetapkan kualitas seorang perawi.
2. Ia harus mengetahui sebab-sebab seseorang di-Jarh maupun di-ta’dil. Al-
Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Yang diterima adalah tazkiyah (rekomendasi)
dari seseorang yang mengetahui sebab-sebabnya, bukan dari orang yang
tidak tahu, agar rekomendasi itu tidak hanya berdasar pada apa yang
diketahui dari luar dan tidak melalui penyelidikan yang mendalam.”
3. Ia harus menguasai bahasa dan percakapan orang Arab dengan baik, tidak
meletakkan kalimat di luar maknanya, sehingga terhindar dari melakukan
Jarh dengan kalimat yang bukan kalimat Jarh.
Masih terkait dengan Jarh wa Ta’dil, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan bahwa hal-hal tersebut tidak disyaratkan dalam Jarh wa Ta’dil, yaitu:5
4
Nuruddin Itr, Manhaj… hlm. 93-94
5
Ibid,
tidaklah disyaratkan dalam diterima atau ditolaknya sebuah riwayat. Ini
berbeda dengan persaksian.
Telah dinyatakan oleh ahli hadis tentang jarh wa ta’dil rawi hadits, dan mereka
telah sepakat, untuk men-Jarh wa ta’dil para rawi hadits. (dan mengecualikan para
sahabat Nabi Saw. karena disepakati bahwa sahabat adalah adil secara
keseluruhan). Maka ditulislah banyak kitab-kitab yang membahas tentang jarh wa
ta’dil. Langkah ini dilaksanakan guna menjaga kemurnian syariat islam.6
6
Abu al-Fadl Ahmad bin Ali bin Hajr al-Atsqalani. Nuzhatun Nadzar fi Taudihi Nuhbat al-Fikr. hlm,
166.
7
Ibid,
Adil disini merupakan penggambaran atas kualitas moral, spiritual, dan
relegiusitas seorang perawi. Sedangkan istilah dhabit sendiri merupakan gambaran
atas kapasitas intelektual sang perawi yang benar-benar mantap.
Berikut adalah sebagian kaidah-kaidah Jarh wa Ta’dil menurut Ibnu Hajar al-
Atsqalani, dalam kitabnya Nuhbat al-Fikr.9
8
Nuruddin Itr, Manhaj… hlm 95
9
Ibid, 167
Ada beberapa teori yang dikemukakan oleh para ulama ahli al jarh dan al ta’dil
yang digunakan sebagai prosedur penetapan al jarh dan al ta’dil, yaitu:10
10
Hasby Ash-Shidieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits (Jilid II). (Jakarta: Bulan Bintang, 1976)
hlm 217-218
Karena jarh hanya diperbolehkan demi kepentingan membedakan antara
yang tsiqah dan yang dha’if (lemah).
Metode yang dipakai ulama atau kritikus hadis dalam melakukan jarh dan
ta’dil sangat beragam. Adakalanya para ulama atau kritikus hadis sependapat dalam
menilai pribadi periwayat hadis tertentu dan adakalanya berbeda pendapat. Selain
itu, adakalanya seorang kritikus juga mempunyai penilaian yang berbeda terhadap
diri seseorang, misalnya pada suatu saat dia menilai dengan ungkapan laisa bihi
ba’s, tapi di lain kesempatan dia menilai da’if terhadap periwayat yang sama.
Padahal kedua ungkapan itu memiliki pengertian dan peringkat yang berbeda.
Sehingga dengan adanya metode yang telah ditetapkan para ulama, diharapkan
dapat dihasilkan penilaian yang lebih obyektif.
11
Syuhudi ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis, cet.1, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988) hlm, 182
a. Ulama yang mengemukakan celaan lebih mengetahui
keadaaan periwayat yang dikritiknya, ketimbang ulama yang
memuji periwayat tersebut.
b. Pendapat ini beranggapan bahwa yang dijadikan dasar para
ulama untuk memuji periwayat hadits adalah perasangka
baik semata. Pendapat ini didukung oleh mayoriyas ulama
hadis, fiqh, ushul fiqh.
3. Kritik yang berisi celaan terhadap periwayat didahulukan
(dimenangkan) terhadap kritik yang berisi pujian, dengan syarat
sebagai berikut:
a. Ulama yang men-jarh (melakukan kritik celaan) telah
dikenal sebagai ulama yang mengetahui pribadi periwayat
yang dikritiknya.
b. Celaan (jarh) yang dikemukakan haruslah didasarkan pada
argumen-argumen yang kuat, dengan penjelasan sebab-
sebab yang menjadikan kualitas perawi dicela.
Menurut Suhud Ismail, pendapat ketiga adalah pendapat yang lebih utama
untuk diterapkan, namun dengan catatan, syarat-syaratnya terpenuhi.
Telah diulas bahwa ilmu Jarh wa Ta’dil adalah cabang ilmu yang mengupas
kebaikan maupun keburukan orang-orang yang namanya tercantum dalam sanad
hadis. Penilaian positif disebut sebagai ta’dil, sedangkan penilaian negatif disebut
dengan istilah Jarh (mencela, atau melukai nama baiknya).
ِ ُ يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ِإ ْن َجا َء ُك ْم فَا ِس ٌق ِب َنبَإ ٍ فَت َ َبَّيَّنُوا أ َ ْن ُت
ْ ُ ِصَّيبُوا َقَ ْوما ِب َج َهالَ ٍٍة فَت
ِص ِب ُحوا
َعلَى َما فَ َع ْلت ُ ْم نَاد ِِمَّين
َ
12
Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits…hlm. 169.
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik
membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak
menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya
yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu” (al-Hujurat: 6).
Nabi sendiri juga memberikan kritik dan pujian terhadap para shahabatnya. 13
Nabi pernah men-Jarh seseorang, Nabi Saw. bersabda: العشيرة أخو بئس
yang mana artinya adalah, “Betapa buruk saudaranya al-‘Asyirah”.
BAB III
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
13
Ibid,
Al-Asqalani, Ibnu Hajar, Nuskhah al-Nazar Syarh al-Nukhbah al-Fikr, Semarang,
Maktabah al-Munawwar, tth
Ash-Shidieqy, T.M. Hasby. 1976, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits (Jilid II)
(Jakarta: Bulan Bintang)
__________, 1954, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang)
Ismail, Syuhudi, 1988, Kaedah Keshahihan Sanad Hadis, cet.1, (Jakarta: Bulan
Bintang)
Nuruddin Itr, Manhaj, 1997, al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits, (Beirut: Dar al-Fikr al-
Mu’ashir)