Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Otonomi daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sebagai respon atas tuntutan reformasi pemerintah dengan cukup cepat telah
melakukan pembahasan yang cukup mendasar atas berbagai Undang-Undang dalam bidang
politik dari yang berwatak sentralistis-otoritarian ke otonomi-demokratis. Setelah berhasil
menyusun tiga Undang-Undang bidang politik yang menjadi landasan pelaksanaan pemilu
Tahun 1999 pemerintah segera menyusulinya dengan Undang-Undang baru dalam bidang
politik khusus mengenai hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah yakni Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1999 tentang Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah.
Perubahan hukum tentang hubungan antara Pusat dan Daerah ini menyangkut
masalah yang sangat mendasar dalam hubungan kekuasaan (gezagverhouding) yang selama
era Orde Baru sangat timpang karena hampir seluruh kekuasaan bertumpu di tangan
pemerintah Pusat tepatnya di tangan Presiden.
Pembaharuan hukum tentang otonomi daerah ini paling tidak ada dua alasan.
Pertama, demokratisasi yang salah satu implementasinya adalah perluasan otonomi daerah
menjadi tuntutan era global karena demokratisasi menjadi salah satu dari lima hati nurani
global (global conciousnes). Kedua, pengalaman Indonesia dengan sistem otoriter yang
mengabaikan otonomi daerah terbukti telah menyimpan api yang kemudian menyulut
lahirnya kritis politik, bahkan yang terjadi belakangan ini krisis politik telah. memancing
fenomena disintegrasi.
Ketika para pendiri Negara Republik Indonesia bersepakat untuk mendirikan sebuah
negara berdasar prinsip demokrasi maka dengan sendirinya prinsip otonomi daerah juga
menyertainya. Hal ini menjadi niscaya karena salah satu tuntutan penting bagi sebuah
sistem demokrasi adalah adanya pemencaran kekuasaan baik secara horizontal (ke samping)
tinggi negara yang sejajar seperti DPR, Presiden, BPK, MA, dan DPA, sedangkan
pemencaran vertikal ditandai oleh adanya desentralisasi dan otonomi daerah. Bahwa adanya
desentralisasi dan otonomi daerah diyakini oleh para pendiri Negara Republik Indonesia
sebagai bagian dari pelaksanaan demokrasi dapat dipahami dari pernyataan Hatta bahwa:

1
“Menurut dasar kedaulatan rakyat itu, hak rakyat untuk menentukan nasibnya tidak hanya
ada pada pucuk pemerintahan negeri, melainkan juga pada tiap tempat, di kota, di desa,
dan di daerah...Dengan keadaan yang demikian, maka tiap-tiap bagian atau golongan
rakyat mendapat autonomi (membuat dan menjalankan peraturan-peraturan sendiri) dan
Zelfgbestuur (menjalankan peraturan peraturan yang dibuat oleh Dewan yang lebih tinggi)
... Keadaan yang seperti itu penting sekali, karena keperluan tiap-tiap tempat dalam satu
negeri tidak sama, melainkan berlain-lain”. (Hatta, 1976 : 103).
Dari apa yang dikemukakan Hatta menjadi jelas bahwa prinsip otonomi harus
menjadi salah satu salah satu sendi susunan pemerintahan yang demokratis agar ada jaminan
kebebasan bagi warganya untuk menyalurkan aspirasi politik. Ini sejalan dengan apa yang
dikutip Robert Rienow (1966 : 573) dari Tocqueville yang mengatakan juga bahwa suatu
negara merdeka yang tidak membangun institusi pemerintahan di tingkat daerah adalah
pemerintahan yang tidak membangun semangat kedaulatan rakyat sebab didalamnya tidak
ada kebebasan. Salah satu karakter menonjol dari demokrasi, kata Toqcueville, adalah
adanya kebebasan sehingga alasan pokok dibangunnya pemerintahan di tingkat daerah
minimal ada dua macam : pertama, membiasakan rakyat untuk merumuskan sendiri
persoalan-persoalan di daerahnya sekaligus mencari pemecahannya; kedua, memberi
kesempatan kepada masing-masing komunitas yang mempunyai tuntutan beragam untuk
membuat aturan dan programnya sendiri.
Bagir Manan (1994) dalam konteks ini mengatakan bahwa ada tiga faktor yang
menunjukkan kaitan erat antara demokrasi dan otonomi daerah : pertama, untuk
mewujudkan prinsip kebebasan (liberty), kedua, untuk membiasakan rakyat berupaya untuk
mampu memutuskan sendiri berbagai kepentingan yang berkaitan langsung dengan dirinya;
ketiga, untuk memberikan pelayanan yang maksimal terhadap masyarakat yang mempunyai
tuntutan dan kebutuhan beragam. Meskipun begitu memang tidak dapat dipungkiri begitu
saja kenyataan bahwa di negara yang menganut sistem sentralisasi pun mungkin dapat
tumbuh demokrasi, namun adanya otonomi daerah dan desentralisasi akan jauh lebih
menjamin tumbuhnya demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahannya. (Kelsen, 1973 :
312). Atas dasar pemikiran yang demikianlah dapat dipahami bahwa undang-undang yang
pertama kali lahir di Negara Republik Indonesia adalah Undang-Undang tentang otonomi
daerah yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945.
Otonomi daerah yang memberikan kewenangan lebih besar tentu saja akan memicu
laju pembangunan fisik di berbagai bidang, termasuk pariwisata. Dalam hal pembangunan
pariwisata inilah kehatian-hatian amat diperlukan karena setiap pengembangan pariwisata di

2
wilayah ini tidak semata-mata hanya dilakukan untuk mengejar kepentingan ekonomi,
namun juga kepentingan sosial budaya sehingga harus turut memperhitungkan masalah daya
dukung lingkungan, aspek peruntukkan lahan, aspek budaya dan agama, serta dampak dari
suatu pengembangan pariwisata terhadap daerah lainnya. Pertimbangan-pertimbangan yang
komprehensif integral ini Amat dibutuhkan, terlebih dengan melihat Pulau Bali sebagai
sebuah entitas yang utuh, tidak dapat dipisah-pisahkan antara satu kabupaten/kota dan
kabupaten/kota lainnya. Bagi Kabupaten Badung di Provinsi Bali, pariwisata merupakan
urusan pilihan yang turut menjadi kewenangannya sesuai dengan potensi yang dimiliki
daerah ini. Laju pembangunan Kabupaten Badung berjalan dengan amat pesat karena
perkembangan sektor pariwisata.. Dengan demikian Pariwisata Kabupaten Badung
merupakan bagian dari kepariwisataan Bali pada umumnya yang saling terkait dan
mempengaruhi.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut :
- bagaimana pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia,
- bagaimana pariwisata di Kabupaten Badung Provinsi Bali di era otonomi daerah.

1.3. Tujuan Penulisan


Tulisan ini dibuat dengan tujuan untuk melengkapi tugas mata kuliah Administrasi
Pemerintahan dan Otonomi Daerah, sehingga para pihak yang berkepentingan baik dosen
dan/atau mahasiswa maupun para pembaca lainnya mengetahui tentang permasalahan
tersebut.

1.4. Teori
1.4.1. Pengertian Otonomi Daerah
Apa itu otonomi daerah? Pengertian Otonomi Daerah adalah kewenangan yang
dimiliki oleh daerah tertentu untuk mengatur dan mengurus sendiri terkait pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan dan undang-undang.
Secara etimologi, istilah “otonomi daerah” berasal dari bahasa Yunani, yaitu
“autos” dan ‘namos”. Autos artinya sendiri, sedangkan namos artinya aturan. Sehingga
definisi otonomi daerah adalah kewenangan untuk mengatur sendiri pemerintahan dan
kepentingan masyarakatnya yang dilakukan oleh suatu daerah.

3
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, pengertian otonomi daerah
adalah hak, wewenang, serta kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri berbagai hal terkait pemerintahan dan kepentingan masyarakatnya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan menurut Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 yang merupakan Pengganti Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004, pengertian otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia

1.4.2. Otonomi Daerah Menurut Para Ahli


Agar lebih mengerti apa arti otonomi daerah, maka kita bisa merujuk kepada
pendapat beberapa ahli tentang otonomi daerah. Berikut ini adalah pengertian otonomi
daerah menurut para ahli:
1. Benyamin Hoesein
Menurut Benyamin Hoesein, pengertian otonomi daerah adalah pemerintahan oleh
rakyat dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional negara secara informal berada
diluar pemerintah pusat.
2. Ateng Syarifuddin
Menurut Ateng Syarifuddin, pengertian otonomi daerah adalah kebebasan atau
kemandirian yang terbatas dimana kemandirian itu terwujud sebagai suatu pemberian
kesempatan yang harus dapat dipertanggungjawabkan.
3. F. Sugeng Istianto
Menurut Sugeng Istianto, pengertian otonomi adalah suatu hak dan wewenang guna
untuk mengatur serta mengurus sebuah rumah tangga daerah.
4. Vincent Lemius
Menurut Vincent Lemius, definisi otonomi daerah adalah suatu kebebasan atau
kewenangan dalam membuat suatu keputusan politik maupun administasi yang sesuai
dengan yang ada didalam peraturan perundang-undangan.
5. Syarif Saleh
Menurut Syarif Saleh, pengertian otonomi daerah adalah suatu hak untuk mengatur
serta memerintah daerah sendiri dimana hak tersebut ialah hak yang diperoleh dari
suatu pemerintah pusat.

4
6. Sunarsip
Menurut Sunarsip, pengertian otonomi daerah adalah wewenang daerah untuk
mengurus dan mengatur semua kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri
yang berlandaskan pada aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
7. Philip Mahwood
Menurut Philip Mahwood, otonomi daerah adalah hak dari masyarakat sipil untuk
mendapatkan kesempatan serta perlakuan yang sama, baik dalam hal
mengekspresikan, berusaha mempertahankan kepentingan mereka masing-masing dan
ikut serta dalam mengendalikan penyelenggaraan kinerja pemerintahan daerah.

1.4.3. Tujuan Otonomi Daerah


Ditetapkannya otonomi daerah tentu ada tujuan yang ingin dicapai. Tujuan utama
dari pemberian kewenangan daerah adalah untuk menciptakan kesejahteraan bagi
masyarakat daerah otonom.
Berikut ini beberapa tujuan dari otonomi daerah :
1. Tujuan Politik
Pelaksanaan pemberian kewenangan daerah bertujuan untuk mewujudkan proses
demokrasi politik melalui parti politik dan DPRD. Dengan adanya otonomi daerah
diharapkan masyarakat setempat mendapatkan pelayanan yang baik, pemberdayaan
masyarakat, serta terciptanya sarana dan prasarana yang layak.
2. Tujuan Administratif
Ini berhubungan dengan pembagian administrasi pemerintahan pusat dan daerah,
termasuk dalam manajemen birokrasi, serta sumber keuangan. Pemberian
kewenangan daerah juga bertujuan untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya alam
yang lebih efektif dan memberikan peluang kepada warga setempat untuk turut serta
dalam menyelenggarakan pemerintahan.
3. Tujuan Ekonomi
Dari sisi ekonomi, otonomi daerah diharapkan dapat mewujudkan peningkatan indeks
pembangunan manusia sehingga kesejahteraan masyarakat setempat menjadi lebih
baik. Selain itu, penerapan otonomi ini bertujuan untuk meningkatkan daya saing dan
kualitas produksi daerah otonom tersebut sehingga berdampak nyata pada
kesejahteraan masyarakat setempat.

5
1.4.4. Dasar Hukum Otonomi Daerah
Dalam pelaksanaannya, otonomi daerah dilakukan berdasarkan dasar hukum yang kuat.
Berikut ini adalah beberapa dasar hukum pelaksanaan otonomi daerah :
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 18 Ayat 1-
7, Pasal 18A ayat 1 dan 2 , Pasal 18B ayat 1 dan 2.
- Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi
Daerah, Pengaturan, pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang
berkeadilan, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam
Penyelenggaraan Otonomi Daerah.
- Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pada
prinsipnya mengatur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang lebih
mengutamakan pelaksanaan asas desentralisasi. Hal-hal yang mendasar yang
terkandung didalamnya adalah mendorong untuk pemberdayaan masyarakat,
menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran masyarakat,
mengembangkan peran dan fungsi DPRD.
- Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. (Revisi
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999).
- Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Revisi
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004).

1.4.5. Prinsip Otonomi Daerah


Mengacu pada penjelasan di atas, berikut ini adalah beberapa prinsip dalam
pelaksanaan otonomi daerah:
1. Prinsip Otonomi Seluas-Luasnya
Ini merupakan prinsip otonomi dimana daerah yang mendapat kewenangan dalam
mengatur dalam hal pemerintahan dan mengatur kepentingan masyarakatnya. Namun,
otonomi tersebut tidak memiliki kewenangan dalam hal politik luar negeri, agama,
moneter, keamanan, peradilan, serta fiskan nasional.

6
2. Prinsip Otonomi Nyata
Ini adalah prinsip otonomi dimana daerah otonom memiliki kewenangan dalam
menjalankan pemerintahan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang secara
nyata telah ada. Tugas, wewenang, dan kewajiban tersebut berpotensi untuk
berkembang sesuai dengan ciri khas daerah dan segala potensinya.
3. Prinsip Otonomi Bertanggung jawab
Ini adalah prinsip otonom dimana sistem penyelenggaraan harus sesuai dengan
maksud dan tujuan dari pemberian otonomi. Pada dasarnya otonomi bertujuan agar
daerah tersebut dapat berkembang dan masyarakatnya lebih sejahtera.

1.4.6. Asas Otonomi Daerah


Penyelenggaraan otonomi daerah dilakukan berdasarkan tiga asas, yaitu:
1. Asas Desentralisasi
Ini merupakan pemberian wewenang untuk menjalankan pemerintahan kepada daerah
otonom berdasarkan struktur NKRI dan dasar hukum yang berlaku.
2. Asas Dekosentrasi
Ini merupakan pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada gubernur yang
bertugas sebagai wakil pemerintah dan atau perangkat pusat daerah.
3. Asas Tugas Pembantuan
Ini merupakan pemberian tugas dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
untuk melaksanakan tugas tertentu dengan biaya, sarana dan prasarana, serta sumber
daya manusia. Tugas tersebut harus dipertanggungjawabkan dan dilaporkan kepada
yang berwenang.
Sedangkan asas umum penyelenggaraan negara adalah:
1. Asas Kepastian Hukum, yaitu asas yang mengacu pada peraturan perundang-
undangan serta keadilan dalam penyelenggaraan kegiatan negara
2. Asas Tertib Penyelenggara, yaitu asas yang menjadi pedoman keteraturan, keserasian,
dan keseimbangan dalam mengendalikan penyelenggaraan negara
3. Asas Kepentingan Umum, yaitu asas yang berfokus pada kesejahteraan umum dengan
cara aspiratif, akomodatif, dan selektif
4. Asas Keterbukaan, yaitu asas yang terbuka atas hak masyarakat untuk mendapatkan
informasi yang benar, jujur, serta tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara
dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan
rahasia negara.

7
5. Asas Proporsionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan
kewajiban.
6. Asas Profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keadilan yang berlandaskan kode
etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7. Asas Akuntabilitas, yaitu asas yang memasikan setiap kegiatan dan hasil akhir dari
kegiatan penyelenggara negara bisa dipertanggungjawabkan kepada rakyat atau
masyarakat
8. Asas Efisiensi dan Efektifitas, yaitu asas yang menjamin terselenggaranya
penggunaan sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggung jawab untuk
kesejahteraan masyarkat

1.5. Metode Penulisan


Tulisan ini dibuat dengan menggunakan metode pengumpulan data dari berbagai
artikel di internet yang dicari menggunakan mesin pencari Google dengan keyword
“otonomi daerah, pemerintahan daerah, pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Badung,
pariwisata Badung di era otonomi”;

8
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia


Pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh faktor- faktor yang meliputi
kemampuan si pelaksana, kemampuan dalam keuangan, ketersediaan alat dan bahan, dan
kemampuan dalam berorganisasi.
Otonomi daerah tidak mencakup bidang-bidang tertentu, seperti politik luar negeri,
pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama. Bidang-bidang tersebut tetap
menjadi urusan pemerintah pusat. Pelaksanaan otonomi daerah berdasar pada prinsip
demokrasi, keadilan, pemerataan, dan keanekaragaman.
Apa hubungan antara otonomi daerah dan kesejahteraan? Mengapa dalam era
otonomi daerah sekarang justru kemiskinan sangat merajalela? Sebagaimana dinyatakan
Bank Dunia, angka kemiskinan di Indonesia mencakup lebih dari 70 juta jiwa. Lantas
apakah berarti otonomi daerah justru berkorelasi negatif terhadap kesejahteraan?
Sebelum kita meneliti semua itu, setidaknya bisa kita temukan fakta bahwa lahirnya
otonomi daerah di Indonesia lebih karena perubahan kondisi politik daripada alasan
paradikmatik-empirik. Tahun 1998, masyarakat Indonesia merasakan kemuakan atas
pemerintahan yang sangat sentralistis dan ingin menuju pola masyarakat yang lebih
menjanjikan kebebasan. Realitasnya, setelah masyarakat Indonesia berada dalam era
otonomi daerah, berbagai problem bermunculan dan implemenasi atas konsep otonomi itu
memunculkan banyak konflik baik vertikal maupun horizontal.
Sejak diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
banyak aspek positif yang diharapkan dalam pemberlakuan Undang-Undang tersebut.
Otonomi Daerah memang dapat membawa perubahan positif di daerah dalam hal
kewenangan daerah untuk mengatur diri sendiri. Kewenangan ini menjadi sebuah impian
karena sistem pemerintahan yang sentralistik cenderung menempatkan daerah sebagai
pelaku pembangunan yang tidak begitu penting atau sebagai pelaku pinggiran. Tujuan
pemberian otonomi kepada daerah sangat baik, yaitu untuk memberdayakan daerah,
termasuk masyarakatnya, mendorong prakarsa dan peran serta masyarakat dalam proses
pemerintahan dan pembangunan.
Pada masa lalu, pengerukan potensi daerah ke pusat terus dilakukan dengan dalih
pemerataan pembangunan. Alih-alih mendapatkan manfaat dari pembangunan, daerah justru
mengalami proses pemiskinan yang luar biasa. Dengan kewenangan yang didapat daerah

9
dari pelaksanaan Otonomi Daerah, banyak daerah yang optimis bakal bisa mengubah
keadaan yang tidak menguntungkan tersebut.
Selain membawa dampak positif bagi suatu daerah otonom, ternyata pelaksanaan
Otonomi Daerah juga dapat membawa dampak negatif. Pada tahap awal pelaksanaan
Otonomi Daerah, telah banyak mengundang suara pro dan kontra. Suara pro umumnya
datang dari daerah yang kaya akan sumber daya, daerah-daerah tersebut tidak sabar ingin
agar Otonomi Daerah tersebut segera diberlakukan. Sebaliknya, bagi daerah-daerah yang
tidak kaya akan sumber daya, mereka pesimis menghadapi era otonomi daerah tersebut.
Masalahnya, otonomi daerah menuntut kesiapan daerah di segala bidang termasuk peraturan
perundang-undangan dan sumber keuangan daerah. Oleh karena itu, bagi daerah-daerah
yang tidak kaya akan sumber daya pada umumnya belum siap ketika Otonomi Daerah
pertama kali diberlakukan.
Selain karena kurangnya kesiapan daerah-daerah yang tidak kaya akan sumber daya
dengan berlakunya otonomi daerah, dampak negatif dari otonomi daerah juga dapat timbul
karena adanya berbagai penyelewengan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah tersebut.
Berbagai penyelewengan dalam pelaksanan otonomi daerah:
1. Adanya kecenderungan pemerintah daerah untuk mengeksploitasi rakyat melalui
pengumpulan pendapatan daerah.
Keterbatasan sumberdaya dihadapkan dengan tuntutan kebutuhan dana
(pembangunan dan rutin operasional pemerintahan) yang besar. Hal tersebut memaksa
Pemerintah Daerah menempuh pilihan yang membebani rakyat, misalnya memperluas
dan atau meningkatkan objek pajak dan retribusi. Padahal banyaknya pungutan hanya
akan menambah biaya ekonomi yang akan merugikan perkembangan ekonomi daerah.
Pemerintah daerah yang terlalu intensif memungut pajak dan retribusi dari rakyatnya
hanya akam menambah beratnya beban yang harus ditanggung warga masyarakat.
2. Penggunaan dana anggaran yang tidak terkontrol
Hal ini dapat dilihat dari pemberian fasilitas yang berlebihan kepada pejabat
daerah. Pemberian fasilitas yang berlebihan ini merupakan bukti ketidakarifan
pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah.
3. Rusaknya Sumber Daya Alam
Rusaknya sumber daya alam ini disebabkan karena adanya keinginan dari
Pemerintah Daerah untuk menghimpun pendapatan asli daerah (PAD), di mana
Pemerintah Daerah menguras sumber daya alam potensial yang ada, tanpa
mempertimbangkan dampak negatif/kerusakan lingkungan dan prinsip pembangunan

10
berkelanjutan (sustainable development). Selain itu, adanya kegiatan dari beberapa orang
Bupati yang menetapkan peningkatan ekstraksi besar-besaran sumber daya alam di
daerah mereka, di mana ekstraksi ini merupakan suatu proses yang semakin
mempercepat perusakan dan punahnya hutan serta sengketa terhadap tanah. Akibatnya
terjadi percepatan kerusakan hutan dan lingkungan yang berdampak pada percepatan
sumber daya air hampir di seluruh wilayah tanah air. Eksploitasi hutan dan lahan yang
tak terkendali juga telah menyebabkan hancurnya habitat dan ekosistem satwa liar yang
berdampak terhadap punahnya sebagian varietas vegetasi dan satwa langka serta mikro
organisme yang sangat bermanfaat untuk menjaga kelestarian alam.
4. Bergesernya praktik korupsi dari pusat ke daerah
Praktik korupsi di daerah tersebut terjadi pada proses pengadaan barang-barang
dan jasa daerah (procurement). Seringkali terjadi harga sebuah barang dianggarkan jauh
lebih besar dari harga barang tersebut sebenarnya di pasar.
5. Pemerintahan kabupaten juga tergoda untuk menjadikan sumbangan yang diperoleh dari
hutan milik negara dan perusahaan perkebunan bagi budget mereka.

Otonomi, Desentralisasi Kewenangan dan Integrasi Nasional


Pada prinsipnya, kebijakan otonomi daerah dilakukan dengan mendesentralisasikan
kewenangan-kewenangan yang selama ini tersentralisasi di tangan pemerintah pusat. Dalam
proses desentralisasi itu,kekuasaan pemerintah pusat dialihkan dari tingkat pusat ke
pemerintahan daerah sebagaimana mestinya, sehingga terwujud pergeseran kekuasaan dari
pusat ke daerah kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Jika dalam kondisi semula arus
kekuasaan pemerintahan bergerak dari daerah ke tingkat pusat, maka diidealkan bahwa
sejak diterapkannya kebijakan otonomi daerah itu, arus dinamika kekuasaan akan bergerak
sebaliknya, yaitu dari pusat ke daerah.
Kebijakan otonomi dan desentralisasi kewenangan ini dinilai sangat penting
terutama untuk menjamin agar proses integrasi nasional dapat dipelihara dengan sebaik-
baiknya. Karena dalam sistem yang berlaku sebelumnya, sangat dirasakan oleh daerah-
daerah besarnya jurang ketidakadilan struktural yang tercipta dalam hubungan antara pusat
dan daerah-daerah. Untuk menjamin agar perasaan diperlakukan tidak adil yang muncul di
berbagai daerah seluruh Indonesia tidak makin meluas dan terus meningkat yang pada
gilirannya akan sangat membahayakan integrasi nasional, maka kebijakan otonomi daerah
ini dinilai mutlak harus diterapkan dalam waktu yang secepat-cepatnya sesuai dengan
tingkat kesiapan daerah sendiri. Bahkan, TAP MPR Nomor IV/MPR/2000 tentang

11
Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah menegaskan bahwa
daerah-daerah tidak perlu menunggu petunjuk dan aturan-aturan dari pusat untuk
menyelenggarakan otonomi daerah itu sebagaimana mestinya. Sebelum dikeluarkannya
peraturan yang diperlukan dari pusat, pemerintahan daerah dapat menentukan sendiri
pengaturan mengenai soal-soal yang bersangkutan melalui penetapan Peraturan Daerah.
Setelah peraturan pusat yang dimaksud ditetapkan, barulah peraturan daerah tersebut
disesuaikan sebagaimana mestinya, sekedar untuk itu memang perlu diadakan penyesuaian.
Dengan demikian, kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi kewenangan tidak
hanya menyangkut pengalihan kewenangan dari atas ke bawah, tetapi pada pokoknya juga
perlu diwujudkan atas dasar keprakarsaan dari bawah untuk mendorong tumbuhnya
kemandirian pemerintahan daerah sendiri sebagai faktor yang menentukan keberhasilan
kebijakan otonomi daerah itu. Dalam kultur masyarakat kita yang paternalistik, kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah itu tidak akan berhasil apabila tidak dibarengi dengan
upaya sadar untuk membangun keprakarsaan dan kemandirian daerah sendiri.

Otonomi, Dekonsentrasi Kekuasaan dan Demokratisasi


Otonomi daerah kadang-kadang hanya dipahami sebagai kebijakan yang bersifat
institusional belaka yang hanya dikaitkan dengan fungsi-fungsi kekuasaan organ
pemerintahan. Oleh karena itu, yang menjadi perhatian hanyalah soal pengalihan
kewenangan pemerintahan dari tingkat pusat ke tingkat daerah. Namun, esensi kebijakan
otonomi daerah itu sebenarnya berkaitan pula dengan gelombang demokratisasi yang
berkembang luas dalam kehidupan nasional bangsa kita dewasa ini.
Pada tingkat suprastruktur kenegaraan maupun dalam rangka restrukturisasi
manajemen pemerintahan, kebijakan otonomi daerah itu dikembangkan seiring dengan
agenda dekonsentrasi kewenangan. Jika kebijakan desentralisasi merupakan konsep
pembagian kewenangan secara vertikal, maka kebijakan dekonsentrasi pada pokoknya
merupakan kebijakan pembagian kewenangan birokrasi pemerintahan secara horizontal.
Kedua-duanya bersifat membatasi kekuasaan dan berperan sangat penting dalam rangka
menciptakan iklim kekuasaan yang makin demokratis dan berdasar atas hukum.
Oleh karena itu, kebijakan otonomi daerah itu tidak hanya perlu dilihat kaitannya
dengan agenda pengalihan kewenangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, tetapi
juga menyangkut pengalihan kewenangan dari pemerintahan ke masyarakat. Justru inilah
yang harus dilihat sebagai esensi pokok dari kebijakan otonomi daerah itu dalam arti yang
sesungguhnya. Otonomi daerah berarti otonomi masyarakat di daerah-daerah yang

12
diharapkan dapat terus tumbuh dan berkembang keprakarsaan dan kemandiriannya dalam
iklim demokrasi dewasa ini. Jika kebijakan otonomi daerah tidak dibarengi dengan
peningkatan kemandirian dan keprakarsaan masyarakat di daerah-daerah sesuai tuntutan
alam demokrasi, maka praktek-praktek kekuasaan yang menindas seperti yang dialami
dalam sistem lama yang tersentralisasi, akan tetap muncul dalam hubungan antara
pemerintahan di daerah dengan masyarakatnya. Bahkan kehawatiran bahwa sistem otonomi
pemerintahan daerah itu justru dapat menimbulkan otoritarianisme pemerintahan lokal di
seluruh Indonesia. Para pejabat daerah yang sebelumnya tidak memiliki banyak
kewenangan dalam waktu singkat tiba-tiba mendapatkan kekuasaan dan kesempatan yang
sangat besar yang dalam waktu singkat belum tentu dapat dikendalikan sebagaimana
mestinya. Dalam keadaan demikian, maka sesuai dengan dalil Lord Acton bahwa ‘power
tendsto corrupt and absolute power corrupts absolutely’, timbul kehawatiran bahwa iklim
penindasan dan praktek-praktek kezaliman yang anti demokrasi serta praktek-praktek
pelanggaran hukum dan penyalahgunaan wewenang yang pernah terjadi di tingkat pusat
justru ikut beralih ke dalam praktek pemerintahan di daerah-daerah di seluruh Indonesia.
Oleh karena itu, otonomi daerah haruslah dipahami esensinya juga mencakup pengertian
otonomi masyarakat di daerah-daerah dalam berhadapan dengan pemerintahan di daerah.

Otonomi dan ‘Federal Arrangement’


Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,
terkandung semangat perubahan yang sangat mendasar berkenaan dengan konsep
pemerintahan Republik Indonesia yang bersifat federalistis. Meskipun ditegaskan bahwa
organisasi pemerintahan Republik Indonesia berbentuk Negara Kesatuan (unitary), tetapi
konsep dasar sistem pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah diatur menurut prinsip-
prinsip federalisme. Pada umumnya dipahami bahwa dalam sistem federal, konsep
kekuasaan asli atau kekuasaan sisa (residual power) berada di daerah atau bagian,
sedangkan dalam sistem negara kesatuan (unitary), kekuasaan asli atau kekuasaan sisa itu
berada di pusat. Dalam ketentuan Pasal 7 Undang-Undang tersebut, yang ditentukan
hanyalah kewenangan pusat yang mencakup urusan hubungan luar negeri, pertahanan
keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, dan urusan agama, sedangkan kewenangan
berkenaan dengan urusan sisanya (lainnya) justru ditentukan berada di kabupaten/kota.
Bahkan, dalam naskah Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Pasal
18 ayat (8) dinyatakan: “Pemerintah pusat memberikan otonomi yang luas kepada daerah-
daerah untuk melaksanakan pemerintahan masing-masing, kecuali kewenangan di bidang

13
politik luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta
kewenangan di bidang lain yang diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan
kekhususan dan keragaman yang dimiliki daerah”. Hanya saja perlu dicatat pertama bahwa
dalam naskah Perubahan Undang-Undang Dasar ini digunakan perkataan ‘memberikan’
otonomi yang luas kepada daerah-daerah”. Kedua, jika dalam Pasal 7 Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tertulis ‘Pertahanan Keamanan’ tanpa koma, maka dalam Pasal 18
ayat (8) Undang-Undang 1945 digunakan koma, yaitu “pertahanan, keamanan”. Masih
harus diteliti sejauh mana kedua hal ini dapat dinilai mencerminkan kekurangcermatan para
anggota Badan Pekerja MPR dalam perumusan redaksi, atau memang hal itu dirumuskan
dengan kesengajaan bahwa pada hakikatnya kewenangan daerah dalam rangka kebijakan
otonomi daerah itu adalah pemberian pemerintah pusat kepada daerah, dan bahwa
pengertian pertahanan dan keamanan yang berdasarkan Pasal 2 Ketetapan MPR Nomor.
VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan POLRI memang telah dipisahkan secara tegas,
merupakan urusan-urusan yang berbeda, yaitu antara peran tentara dan kepolisian.
Dalam Pasal 4 ayat (2) dinyatakan bahwa hubungan antara pusat dan daerah tidak
lagi bersifat hirarkis. Bupati bukan lagi bawahan Gubernur, dan hubungan antara daerah
propinsi dan daerah kabupaten/kota tidak lagi bersifat subordinatif, melainkan hanya
koordinatif. Elemen hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal ini dan ditetapkannya
prinsip kekuasaan asli atau sisa yang berada di daerah kabupaten/kota merupakan ciri-ciri
penting sistem federal. Karena itu, dapat dikatakan bahwa meskipun struktur organisasi
pemerintahan Republik Indonesia berbentuk Negara Kesatuan, kita juga mengadopsi
pengaturan-pengaturan yang dikenal sebagai ‘federal arrangement’.
Oleh karena itu, para penyelenggara negara, baik di pusat maupun di daerah-daerah
sudah seharusnya menyadari hal ini, sehingga pelaksanaan otonomi daerah perlu segera
diwujudkan tanpa keraguan. Pihak-pihak yang bersikap skeptis ataupun yang masih
berusaha mencari formula lain sehubungan dengan gelombang separatisme di berbagai
daerah, seyogyanya juga menyadari adanya pengaturan-pengaturan yang bersifat federalistis
tersebut. Hanya dengan keyakinan kolektif bangsa kita mengenai besarnya skala perubahan
struktural yang dimungkinkan dalam berbagai instrumen peraturan perundang-undangan
yang telah ditetapkan, kita akan dapat berkonsentrasi penuh menyukseskan agenda otonomi
daerah yang luas ini. Dan hanya dengan konsentrasi penuh itu pulalah kita akan dapat
menyukseskan agenda otonomi daerah ini,sehingga dapat terhindar dari malapetaka yang
jauh lebih buruk berupa disintegrasi kehidupan kita sebagai satu bangsa yang bersatu dalam
wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

14
Otonomi dan Daya Jangkau Kekuasaan
Dalam kebijakan otonomi daerah itu tercakup pula konsepsi pembatasan terhadap
pengertian kita tentang ‘negara’ yang secara tradisional dianggap berwenang untuk
mengatur kepentingan-kepentingan umum. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tersebut, yang dapat dianggap sebagai wilayah dayaj angkau kekuasaan negara (state) hanya
sampai di tingkat kecamatan. Secara akademis, organ yang berada di bawah struktur
organisasi kecamatan dapat dianggap sebagai organ masyarakat, dan masyarakat desa dapat
disebut sebagai ‘self governing communities’ yang otonom sifatnya. Oleh karena itu, pada
pokoknya, susunan organisasi desa dapat diatur sendiri berdasarkan norma-norma hukum
adat yang hidup dan berkembang dalam kesadaran hukum dan kesadaran politik masyarakat
desa itu sendiri.
Secara ideal, wilayah kekuasaan pemerintahan negara tidak dapat menjangkau atau
turut campur dalam urusan pemerintahan desa. Biarkanlah masyarakat desa mengatur
sendiri tata pemerintahan desa mereka serta mengatur perikehidupan bersama mereka di
desa sesuai dengan kebutuhan setempat. Tidak perlu diadakan penyeragaman pengaturan
untuk seluruh wilayah nusantara seperti yang dipraktekkan selama ini. Prinsip ‘self
governing community’ ini sejalan pula dengan perkembangan pemikiran modern dalam
hubungan antara ‘state and civil society’ yang telah kita kembangkan dalam gagasan
masyarakat madani.
Dalam pengembangan masyarakat madani, tidak saja masyarakat desa
dikembangkan sebagai ‘self governing communities’, tetapi keterlibatan fungsi-fungsi
organisasi pemerintahan secara umum dalam dinamika kegiatan masyarakat pada umumnya
juga perlu dikurangi secara bertahap. Hanya fungsi-fungsi yang sudah seharusnya ditangani
oleh pemerintah sajalah yang tetap harus dipertahankan wilayah yang berada dalam daya
jangkau kekuasaan negara. Sedangkan hal-hal yang memang dapat dilepaskan dan dapat
tumbuh berkembang sendiri dalam dinamika masyarakat, cukup diarahkan untuk menjadi
bagian dari urusan bebas masyarakat sendiri.
Sudah tentu pelepasan urusan tersebut menjadi urusan masyarakat perlu dilakukan
dengan cermat dan hati-hati. Pelepasan urusan dimaksudkan untuk mendorong kemandirian
dan keprakarsaan masyarakat sendiri, bukan dimaksudkan untuk melepas beban dan
tanggung jawab pemerintah. Karena didasarkan atas sikap yang tidak bertanggung jawab
ataupun karena disebabkan ketidakmampuan pemerintah menjalankan tugas dan kewajiban
yang dibebankan kepadanya. Pelepasan urusan juga tidak boleh dilakukan tiba-tiba tanpa
perencanaan yang cermat dan persiapan sosial yang memadai yang pada gilirannya justru

15
dapat menyebabkan kegagalan total dalam agenda penguatan sector masyarakat secara
keseluruhan.

Pokok-Pokok Pikiran Otonomi Daerah


Isi dan jiwa yang terkandung dalam pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 beserta
penjelasannya menjadi pedoman dalam penyusunan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 dengan pokok-pokok pikiran sebagai berikut :
1. Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip-prinsip pembagian
kewenangan berdasarkan asas konsentrasi dan desentralisasi dalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah
daerah propinsi, sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas
desentralisasi adalah daerah Kabupaten/Kota. Daerah yang dibentuk dengan
asas desentralisasi berwenang untuk menentukan dan melaksanakan kebijakan
atas prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
3. Pembagian daerah di luar propinsi dibagi habis ke dalam daerah otonom.
Dengan demikian, wilayah administrasi yang berada dalam daerah
Kabupaten/Kota dapat dijadikan Daerah Otonom atau dihapus.
4. Kecamatan yang menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 sebagai
wilayah administrasi dalam rangka dekonsentrasi, menurut Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 kedudukanya diubah menjadi perangkat daerah
Kabupaten atau daerah Kota.

Prinsip-Prinsip Pelaksanaan Otonomi Daerah


Berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 prinsip-prinsip
pelaksanaan Otonomi Daerah adalah sebagai berikut :
1. Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek-
aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman
daerah.
2. Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan
bertanggung jawab.
3. Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah
Kabupaten dan daerah Kota, sedang Otonomi Daerah Propinsi merupakan
Otonomi Terbatas.

16
4. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan Konstitusi negara sehingga
tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
5. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah
Otonom, dan karenanya dalam daerah Kabupaten dan daerah Kota tidak ada lagi
wilayah administrasi.
6. Kawasan khusus yang dibina oleh Pemerintah atau pihak lain seperti Badan
Otorita, Kawasan Pelabuhan, Kawasan Pertambangan, Kawasan Kehutanan,
Kawasan Perkotaan Baru, Kawasan Wisata dan semacamnya berlaku ketentuan
peraturan Daerah Otonom.
7. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi
badan legislatif daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawas maupun
fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
8. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah Propinsi dalam
kedudukannya sebagai Wilayah Administrasi untuk melaksanakan kewenangan
pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil
Pemerintah.
9. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari Pemerintah
Daerah kepada Desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana,
serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan
mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.

Permasalahan Otonomi Daerah


Pertama, pudarnya negara kesatuan. Dalam negara kesatuan, pemimpin negara
adalah atasan para pemimpin di bawahnya. Namun di Indonesia, apakah faktanya memang
demikian? Kenyataannya sangat jauh dari itu. Bagaimanapun para gubernur, bupati, dan
walikota untuk terpilih butuh dukungan partai-partai. Realitas ini membuat mereka lebih
taat pada pimpinan partai yang mendukung mereka. Undangan pertemuan pemerintah di
atasnya sering diabaikan, sementara undangan pimpinan partai ditanggapi segera, bahkan
cepat-cepat berangkat dengan memakai uang negara. Ini membuat Indonesia seperti
mempunyai banyak presiden. Walaupun para pimpinan partai tidak memerintah, tapi
mereka mengendalikan para gubernur dan kepala daerah yang didukung partai mereka.
Kedua, lemahnya jalur komando. Dalam konsep otonomi daerah, para gubernur
bukan atasan bupati/walikota. Sementara pemerintah pusat membawahi daerah yang
jumlahnya lebih dari empat ratus buah. Di sisi lain, gubernur juga merupakan jabatan politis

17
yang untuk meraihnya membutuhkan dukungan politik partai. Seringkali yang terjadi
presiden, gubernur, dan bupati/walikota berasal dari partai yang berbeda. Kiranya, adalah
wajar kalau dengan semua itu jalur komando dari pusat ke daerah menjadi terputus.
Kemampuan pusat hanyalah mengkoordinasikan seluruh pemerintahan di bawahnya, itupun
dalam tingkat koordinasi yang sangat lemah.
Ini mengakibatkan program-program pemerintah pusat tidak berjalan, padahal
banyak program yang sangat penting demi keselamatan rakyat. Alasan Menkes Siti Fadilah
Supari terkait kegagalan penanganan flu burung, dimana instruksi dan dana dari
Departemen Kesehatan tidak mengalir ke sasaran karena para kepala daerah tidak
mempedulikan (sehingga banyak korban berjatuhan), kiranya cukup relevan sebagai contoh.
Realitasnya NKRI sekarang telah tiada. Yang ada hanyalah persekutuan ratusan kabupaten
dan kota di Indonesia.
Ketiga, semakin kuatnya konglomeratokrasi. Putusnya jalur komando dalam
pemerintahan di Indonesia terasa sangat ironis jika melihat kekuatan komando di partai dan
perusahaan. Partai dan perusahaan umumnya bersifat sentralistis. Pimpinan pusat
bagaimanapun juga adalah atasan pimpinan di tingkat provinsi. Dan pimpinan tingkat
provinsi adalah atasan pimpinan tingkat daerah. Ini membuat partai dan perusahaan di
Indonesia jauh lebih solid daripada pemerintah. Partai dan perusahaan lebih terasa sebagai
suatu “pihak”. Ini lain dengan pemerintah yang lebih terasa sebagai “kumpulan” atau
bahkan sekedar “tempat persaingan”. Dengan melihat bahwa pemerintahan di Indonesia
terpecah-pecah, pemimpin pemerintahan butuh dukungan partai, dan partai butuh dana yang
umumnya mengandalkan dukungan para konglomerat, maka bisa disimpulkan bahwa
konglomerat merupakan subjek atas partai dan partai merupakan subjek atas pemerintah. Ini
berarti yang berkuasa di Indonesia adalah para konglomerat.
Realitas ini semakin terasa parahnya jika mengingat bahwa Indonesia sangat
tergantung modal asing dan bahwa kekuatan korporasi di dunia saat ini di atas negara
(sebagaimana dinyatakan Prof. Hertz, dari 100 pemegang kekayaan terbesar di dunia
sekarang 49-nya adalah negara, sementara 51-nya perusahaan; kekayaan Warren Buffet,
orang terkaya di dunia, di atas APBN Indonesia). Bisa dibayangkan jika di jaman dulu
puluhan kerajaan dengan kondisi politiknya yang “mungkin terpecah” bisa dikuasai oleh
VOC (sebuah perusahaan dunia), bagaimana sekarang ratusan daerah yang umumnya secara
politis “sudah terpecah” menghadapi puluhan VOC baru yang kekuatannya di atas negara?
Dari fakta ini saja sangat bisa dipahami mengapa Indonesia berada dalam cengkeraman
korporatokrasi/konglomeratokrasi.

18
Keempat, terabaikannya urusan rakyat. Asumsi yang diberlakukan dalam konsep
otonomi daerah adalah rakyat bisa mengurus dirinya sendiri. Pelaksanaan asumsi ini adalah
bahwa para gubernur, bupati, dan walikota, walaupun tidak dalam komando pemerintah
pusat, tetapi dalam kontrol DPRD setempat. Sayangnya, bagaimanapun juga DPRD
mempunyai realitas yang sama dengan para pimpinan pemerintahan dalam hubungannya
dengan partai dan korporasi/konglomerat. Ini berarti kekuasaan korporasi justru semakin
mengakar.
Realitas ini bisa dilihat dari fakta bahwa berbagai parameter keberhasilan adalah
ukuran korporasi, bukan ukuran kesejahteraan rakyat. Padahal, seringkali hitungan
korporasi tidak sesuai dengan hitungan kesejahteraan. Dengan ukuran pendapatan per kapita
(angka yang dibutuhkan korporasi), banyak kabupaten di Indonesia mempunyai pendapatan
per kapita di atas Rp.18 juta per tahun (Rp. 1,5 juta/bulan atau Rp. 6 juta / keluarga). Itu
berarti banyak keluarga di Indonesia yang mempunyai penghasilan di atas keluarga doktor.
Kenyataannya, lebih 70 juta lebih rakyat miskin (angka kemiskinan merupakan hitungan
kesejahteraan). Indonesia memang negeri yang sangat aneh. Berbagai bentuk iklan semakin
megah dan meriah. Tapi jalan-jalan semakin berlubang.
Kiranya, empat problem di atas sudah bisa menggambarkan bagaimana hubungan
antara otonomi daerah dengan munculnya berbagai problem di Indonesia. Dengan otonomi,
harapannya adalah suasana yang lebih bebas dan desentrlistis. Kenyataannya, sentralisasi
lama dipreteli kekuasaannya untuk masuk sentralisasi baru, yaitu kekuasaan
korporasi/konglomerasi internasional.

Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia


Meskipun Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi acuan konstitusi telah
menetapkan konsep dasar tentang kebijakan otonomi kepada daerah-daerah, tetapi dalam
perkembangan sejarahnya ide otonomi daerah itu mengalami berbagai perubahan bentuk
kebijakan yang disebabkan oleh kuatnya tarik-menarik kalangan elit politik pada masanya.
Apabila perkembangan otonomi daerah dianalisis sejak Tahun 1945, akan terlihat bahwa
perubahan-perubahan konsepsi otonomi banyak ditentukan oleh para elit politik yang
berkuasa pada saat itu. Hal itu terlihat jelas dalam aturan-aturan mengenai pemerintahan
daerah sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang berikut ini :
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945
Kebijakan Otonomi daerah pada masa ini lebih menitikberatkan pada
dekonsentrasi. Kepala daerah hanyalah kepanjangan tangan pemerintahan pusat.

19
2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948
Mulai tahun ini kebijakan otonomi daerah lebih menitikberatkan pada
desentralisasi. Tetapi masih ada dualisme peran di kepala daerah, di satu sisi ia
punya peran besar untuk daerah, tapi juga masih menjadi alat pemerintah pusat.
3. Undang-Undang Nomor 1 tahUn 1957
Kebijakan otonomi daerah pada masa ini masih bersifat dualisme, di mana
kepala daerah bertanggung jawab penuh pada DPRD, tetapi juga masih alat
pemerintah pusat.
4. Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959
Pada masa ini kebijakan otonomi daerah lebih menekankan dekonsentrasi.
Melalui penpres ini kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat terutama dari
kalangan pamong praja.
5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965
Pada masa ini kebijakan otonomi daerah menitikberatkan pada desentralisasi
dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya bagi daerah, sedangkan
dekonsentrasi diterapkan hanya sebagai pelengkap saja.
6. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974
Setelah terjadinya G.30.S PKI pada dasarnya telah terjadi kevakuman dalam
pengaturan penyelenggaraan pemerintahan di daerah sampai dengan
dikeluarkanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 yaitu desentralisasi,
dekonsentrasi dan tugas perbantuan. Sejalan dengan kebijakan ekonomi pada
awal Orde Baru, maka pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1974 pembangunan menjadi isu sentral dibanding dengan politik. Pada
penerapanya, terasa seolah-olah telah terjadi proses depolitisasi peran
pemerintah daerah dan menggantikannya dengan peran pembangunan yang
menjadi isu nasional.

7. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999


Pada masa ini terjadi lagi perubahan yang menjadikan pemerintah daerah
sebagai titik sentral dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan
dengan mengedepankan otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.

20
Pembagian Kewenangan Pusat dan Daerah
1. Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang
pemerintahan kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan
keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.
2. Kewenangan bidang lain tersebut meliputi kebijakan tentang perencanaan
nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana
perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian
negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan
sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan
standardisasi nasional.
3. Kewenangan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah dalam rangka
desentralisasi harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan,
sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia sesuai dengan kewenangan
yang diserahkan tersebut.
4. Kewenangan Pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur dalam rangka
dekonsentrasi harus disertai dengan pembiayaan sesuai dengan kewenangan
yang dilimpahkan tersebut.
5. Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom mencakup kewenangan dalam
bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, serta
kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya.
6. Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom termasuk juga kewenangan yang
tidak atau belum dapat dilaksanakan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
7. Kewenangan Propinsi sebagai Wilayah Administrasi mencakup kewenangan
dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur selaku wakil
Pemerintah.
8. Daerah berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya
dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Kewenangan Daerah di wilayah laut meliputi:
- Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas
wilayah laut tersebut;
- Pengaturan kepentingan administratif;
- Pengaturan tata ruang;
- Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau
yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah; dan

21
- Bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara
9. Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota di wilayah laut adalah sejauh
sepertiga dari batas laut Daerah Propinsi. Pengaturan lebih lanjut mengenai
batas laut diatur dengan Peraturan Pemerintah.
10.Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota mencakup semua kewenangan
pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan seperti kewenangan dalam
bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal,
agama, serta kewenangan bidang lain yang mencakup kebijakan tentang
perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro,
dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga
perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia,
pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis,
konservasi, dan standarisasi nasional.
11.Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak mencakup kewenangan
pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah Propinsi. Bidang pemerintahan
yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota meliputi
pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian,
perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup,
pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja.
12. Pemerintah dapat menugaskan kepada Daerah tugas-tugas tertentu dalam rangka
tugas pembantuan disertai pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya
manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan
mempertanggungjawabkannya kepada Pemerintah. Setiap penugasan ditetapkan
dengan peraturan perundang-undangan.

Proses Otonomi Daerah di Indonesia


Otonomi Daerah di Indonesia dimulai dengan bergulirnya Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2005
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang secara praktis
efektif dilaksanakan sejak 1 Januari 2001. Otonomi Daerah menurut Undang-Undang ini
adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan
peraturan perundangundangan.

22
Tahap ini merupakan fase pertama dari pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia.
Fase kedua Otonomi Daerah ditandai dengan adanya reformasi dalam kebijakan keuangan
negara melalui penetapan tiga peraturan di bidang keuangan negara. Ketiga peraturan
tersebut adalah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara.
Telah lebih dari lima tahun reformasi sistem pemerintahan tersebut berjalan dengan
berbagai kendala yang mengiringinya serta pro dan kontra. Berbagai usaha pun dilakukan
untuk memperbaiki dan menyempurnakan sistem tersebut. Salah satu upaya tersebut
adalah dengan melakukan amandemen Undang-Undang Otonomi Daerah.
Proses ini merupakan awal dari fase ketiga dalam proses Otonomi Daerah di
Indonesia. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun
1999 masing-masing digantikan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Otonomi Daerah menurut
Undang-Undang ini adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Filosofi Otonomi Daerah dijabarkan sebagai berikut (Suwandi, 2005):
1. Eksistensi Pemerintah Daerah adalah untuk menciptakan kesejahteraan secara
demokratis
2. Setiap kewenangan yang diserahkan ke daerah harus mampu menciptakan
kesejahteraan dan demokrasi
3. Kesejahteraan dicapai melalui pelayanan publik
4. Pelayanan publik ada yang bersifat pelayanan dasar (basic services) dan ada
yang bersifat pengembangan sektor unggulan (core competence)
5. Core competence merupakan sintesis dari Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB), tenaga kerja dan pemanfaatan lahan

Konsep Kebijakan Fiskal Daerah


Desentralisasi tidak hanya terkait dengan model pemerintahan, namun juga
menyangkut paradigma ekonomi yang disebut desentralisasi ekonomi. Desentralisasi
ekonomi mencakup aktivitas dan tanggung jawab ekonomi yang diimplementasikan pada

23
level daerah. Upaya desentralisasi ekonomi antara lain liberalisasi, privatisasi, dan
deregulasi.
Berkaitan dengan hal tersebut, desentralisasi fiskal menjadi komponen utama proses
desentralisasi di Indonesia. Menurut Pakpahan (2006), desentralisasi fiskal meliputi:
a. Pembiayaan mandiri (self financing) dan cost recovery dalam bidang
pelayanan publik
b. Peningkatan PAD
c. Bagi hasil pajak dan bukan pajak secara lebih tepat
d. Transfer dana ke daerah, utamanya melalui Dana Alokasi Umum (DAU)
dan Dana Alokasi Khusus (DAK) dengan lebih adil
e. Kewenangan daerah untuk melakukan pinjaman berdasarkan kebutuhan
daerah
Sebagai bagian yang terintegrasi dan tidak dapat dipisahkan dengan kebijakan fiscal
nasional, kebijakan fiskal daerah juga harus mempertimbangkan prinsip-prinsip
penganggaran. Terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan dalam penyiapan anggaran,
yaitu hard budget constraint dan soft budget constraint.
Berdasarkan pendekatan hard budget constraint, daerah terlebih dahulu
mengidentifikasi pendapatan (revenues) baru kemudian menentukan pengeluaran.
Sebaliknya, berdasarkan soft budget constraint, pengeluaran diestimasi lebih dahulu
kemudian daerah mengusahakan pendapatan untuk mendanai pengeluaran tersebut. Dalam
pendekatan yang pertama, potensi merupakan pertimbangan utama, sementara pada
pendekatan kedua, kebutuhanlah yang menjadi faktor dominan (Kadjatmiko, 2006). Untuk
menciptakan kesinambungan fiskal daerah, maka Kadjatmiko (2006) berpendapat bahwa
pendekatan hard budget constraint lebih tepat untuk digunakan.
Pada dasarnya, Otonomi Daerah memiliki tujuh elemen dasar (Suwandi, 2005).
Elemen tersebut adalah kewenangan, kelembagaan, personel, keuangan daerah,
perwakilan, pelayanan publik, dan pengawasan. Sarana untuk mewujudkan otonomi
daerah adalah melalui good governance, penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan
(SAP), reformasi sistem pengelolaan keuangan daerah dan penerapan Standar Pelayanan
Minimal (SPM).

Otonomi Daerah dan Good Governance


Ketiga fase yang dijelaskan tersebut di atas bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan kuantitas dan kualitas pelayanan,

24
pemberdayaan dan partisipasi masyarakat dalam meningkatkan daya saing daerah. Proses
ini membutuhkan penerapan prinsip-prinsip good governance yang menyeluruh dan
terpadu. Adapun prinsip-prinsip good governance adalah:
1. Partisipasi; mendorong setiap warga untuk mempergunakan hak dalam
menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan, yang
menyangkut kepentingan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Partisipasi bermaksud untuk menjamin agar setiap kebijakan yang
diambil mencerminkan aspirasi masyarakat. Dalam rangka mengantisipasi
berbagai isu yang ada, Pemerintah Daerah menyediakan saluran komunikasi
agar masyarakat dapat mengutarakan pendapatnya. Jalur komunikasi ini
meliputi pertemuan umum, temu wicara, konsultasi dan penyampaian pendapat
secara tertulis. Bentuk lain untuk merangsang keterlibatan masyarakat adalah
melalui perencanaan partisipatif untuk menyiapkan agenda pembangunan,
pemantauan, evaluasi dan pengawasan secara partisipatif dan mekanisme
konsultasi untuk menyelesaikan isu sektoral.
2. Penegakan hukum; mewujudkan adanya penegakan hukum yang adil bagi
semua pihak tanpa pengecualian, menjunjung tinggi HAM dan memperhatikan
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Berdasarkan kewenangannya,
Pemerintah Daerah harus mendukung tegaknya supremasi hukum dengan
melakukan berbagai penyuluhan peraturan perundangundangan dan
menghidupkan kembali nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di
masyarakat. Di samping itu Pemerintah Daerah perlu mengupayakan adanya
peraturan daerah yang bijaksana dan efektif, serta didukung penegakan hukum
yang adil dan tepat. Pemerintah Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) maupun masyarakat perlu menghilangkan kebiasaan yang dapat
menimbulkan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
3. Transparansi; menciptakan kepercayaan timbal-balik antara pemerintah dan
masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan dalam
memperoleh informasi yang akurat dan memadai. Informasi adalah suatu
kebutuhan penting masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan daerah.
Berkaitan dengan hal tersebut, Pemerintah Daerah perlu proaktif memberikan
informasi lengkap tentang kebijakan dan layanan yang disediakannya kepada
masyarakat. Pemerintah Daerah perlu mendayagunakan berbagai jalur
komunikasi seperti melalui brosur, leaflet, pengumuman melalui koran, radio

25
serta televisi lokal. Pemerintah Daerah perlu menyiapkan kebijakan yang jelas
tentang cara mendapatkan informasi. Kebijakan ini akan memperjelas bentuk
informasi yang dapat diakses masyarakat ataupun bentuk informasi yang
bersifat rahasia, bagaimana cara mendapatkan informasi, lama waktu
mendapatkan informasi serta prosedur pengaduan apabila informasi tidak
sampai kepada masyarakat.
4. Kesetaraan; memberi peluang yang sama bagi setiap anggota masyarakat untuk
meningkatkan kesejahteraannya. Tujuan dari prinsip ini adalah untuk menjamin
agar kepentingan pihak-pihak yang kurang beruntung, seperti mereka yang
miskin dan lemah, tetap terakomodasi dalam proses pengambilan keputusan.
Perhatian khusus perlu diberikan kepada kaum minoritas agar mereka tidak
tersingkir. Selanjutnya kebijakan khusus akan disusun untuk menjamin adanya
kesetaraan terhadap wanita dan kaum minoritas baik dalam lembaga eksekutif
dan legislatif.
5. Daya tanggap; meningkatkan kepekaan para penyelenggara pemerintahan
terhadap aspirasi masyarakat, tanpa kecuali. Pemerintah Daerah perlu
membangun jalur komunikasi untuk menampung aspirasi masyarakat dalam hal
penyusunan kebijakan. Ini dapat berupa forum masyarakat, talk show, layanan
hotline, prosedur komplain. Sebagai fungsi pelayan masyarakat, Pemerintah
Daerah akan mengoptimalkan pendekatan kemasyarakatan dan secara periodik
mengumpulkan pendapat masyarakat.
6. Wawasan ke depan; membangun daerah berdasarkan visi dan strategi yang jelas
dan mengikutsertakan warga dalam seluruh proses pembangunan, sehingga
warga merasa memiliki dan ikut bertanggungjawab terhadap kemajuan
daerahnya. Tujuan penyusunan visi dan strategi adalah untuk memberikan arah
pembangunan secara umun sehingga dapat membantu
dalam penggunaan sumberdaya secara lebih efektif. Untuk menjadi visi yang
dapat diterima secara luas, visi tersebut perlu disusun secara terbuka dan
transparan, dengan didukung dengan partisipasi masyarakat, kelompok-
kelompok masyarakat yang peduli, serta kalangan dunia usaha. Pemerintah
Daerah perlu proaktif mempromosikan pembentukan forum konsultasi
masyarakat, serta membuat berbagai produk yang dapat digunakan oleh
masyarakat.

26
7. Akuntabilitas; meningkatkan akuntabilitas para pengambil keputusan dalam
segala bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat luas. Seluruh pembuat
kebijakan pada semua tingkatan harus memahami bahwa mereka harus
mempertanggungjawabkan hasil kerja kepada masyarakat. Untuk mengukur
kinerja mereka secara obyektif perlu adanya indikator yang jelas. Sistem
pengawasan perlu diperkuat dan hasil audit harus dipublikasikan, dan apabila
terdapat kesalahan harus diberi sanksi.
8. Pengawasan; meningkatkan upaya pengawasan terhadap penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan dengan mengusahakan keterlibatan swasta dan
masyarakat luas. Pengawasan yang dilakukan oleh lembaga berwenang perlu
memberi peluang bagi masyarakat dan organisasi masyarakat untuk
berpartisipasi aktif dalam pemantauan, evaluasi, dan pengawasan kerja, sesuai
bidangnya. Walaupun demikian tetap diperlukan adanya auditor independen dari
luar dan hasil audit perlu dipublikasikan kepada masyarakat.
9. Efisiensi dan efektifitas; menjamin terselenggaranya pelayanan kepada
masyarakat dengan mengunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan
bertanggungjawab. Pelayanan masyarakat harus mengutamakan kepuasan
masyarakat, dan didukung mekanisme penganggaran serta pengawasan yang
rasional dan transparan. Lembagalembaga yang bergerak di bidang jasa
pelayanan umum harus menginformasikan tentang biaya dan jenis pelayananya.
Untuk menciptakan efisiensi harus digunakanteknik manajemen modern untuk
administrasi kecamatan dan perlu ada desentralisasi kewenangan layanan
masyarakat sampai tingkat keluruhan/desa.
10. Profesionalisme; meningkatkan kemampuan dan moral penyelenggara
pemerintahan agar mampu memberi pelayanan yang mudah, cepat, tepat dengan
biaya yang terjangkau. Tujuannya adalah menciptakan birokrasi profesional
yang dapat efektif memenuhi kebutuhan masyarakat. Ini perlu didukung dengan
mekanisme penerimaan staf yang efektif, sistem pengembangan karir dan
pengembangan staf yang efektif, penilaian, promosi, dan penggajian staf yang
wajar. Penerapan Otonomi Daerah dengan mengacu pada prinsip-prinsip good
governance tersebut difasilitasi oleh Pemerintah Pusat dengan meningkatkan
alokasi Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) yang disalurkan ke
daerah. Secara umum, sumber pendapatan daerah terutama berasal dari:

27
1. Dana perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi
Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH) pajak dan sumber daya alam
2. Pendapatan Asli Daerah (PAD), terutama yang berasal dari pajak dan
retribusi daerah.
Dana Perimbangan lainnya adalah Dana Alokasi Khusus (DAK). DAK merupakan dana
yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan
untuk membantu daerah dalam membiayai:
1. Kebutuhan khusus (Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 dan PP Nomor
104 Tahun 2000)
2. Kegiatan khusus (Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, PP Nomor 55
Tahun 2005, dan Nota Keuangan dan RAPBN 2006)

DAK berbentuk specific grant. Kebutuhan dan kegiatan khusus yang dapat dibiayai dari
dana tersebut adalah segala urusan daerah yang sesuai dengan prioritas nasional. Hal-
hal yang termasuk kebutuhan khusus yaitu:
1. kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan menggunakan formula alokasi umum
dan/atau kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional
2. kebutuhan untuk membiayai kegiatan reboisasi dan penghijauan oleh daerah
penghasil.

2.1 Pengaruh Otonomi Daerah di Kabupaten Badung di Bidang Pariwisata


Bagi Kabupaten Badung di Provinsi Bali, pariwisata merupakan urusan pilihan yang
turut menjadi kewenangannya sesuai dengan potensi yang dimiliki daerah ini. Laju
pembangunan Kabupaten Badung berjalan dengan amat pesat karena perkembangan sektor
pariwisata. Otonomi daerah yang memberikan kewenangan lebih besar tentu saja akan
memicu laju pembangunan fisik di berbagai bidang, termasuk pariwisata. Dalam hal
pembangunan pariwisata inilah kehatian-hatian amat diperlukan karena setiap
pengembangan pariwisata di wilayah ini tidak semata-mata hanya dilakukan untuk mengejar
kepentingan ekonomi, namun juga kepentingan sosial budaya sehingga harus turut
memperhitungkan masalah daya dukung lingkungan, aspek peruntukkan lahan, aspek
budaya dan agama, serta dampak dari suatu pengembangan pariwisata terhadap daerah
lainnya. Pertimbangan-pertimbangan yang komprehensif integral ini Amat dibutuhkan,
terlebih dengan melihat Pulau Bali sebagai sebuah entitas yang utuh, tidak dapat dipisah-
pisahkan antara satu kabupaten/kota dan kabupaten/kota lainnya. Dengan demikian

28
Pariwisata Kabupaten Badung merupakan bagian dari kepariwisataan Bali pada umumnya
yang saling terkait dan mempengaruhi.
Kabupaten Badung yang amat mengandalkan pariwisata sebagai tulang punggung
perekonomian amat berkepentingan agar pariwisata dapat berlangsung dalam waktu yang
lama. Berbagai upaya terus dilakukan agar pariwisata selalu mengalami peremajaan dari
waktu ke waktu, sehingga tidak memasuki tahap stagnasi. Kebijakan yang ditempuh yaitu
pengelolaan pariwisata yang diorientasikan pada pembangunan pariwisata berkelanjutan
(Sustainable Tourism Development) melalui pendekatan Island Management. Sebelum
memasuki pembahasan lebih lanjut, maka terlebih dahulu akan disampaikan tentang kondisi
umum wilayah dan kepariwisataan Kabupaten Badung.

Kondisi Umum Kabupaten Badung


Kabupaten Badung merupakan salah satu dari 8 kabupaten dan satu kota yang
terdapat di Provinsi Bali. Secara geografis, Kabupaten Badung terletak pada ujung selatan
pulau Bali dengan bentuk bentangan wilayah yang menyerupai sebilah keris. Di sisi barat,
Kabupaten Badung berbatasan dengan Kabupaten Tabanan, di sisi utara berbatasan dengan
Kabupaten Buleleng, di sisi timur berbatasan dengan Kota Denpasar, Kabupaten Gianyar
dan Kabupaten Bangli, sedangkan di sisi selatan berbatasan dengan Samudera India. Luas
wilayah Kabupaten Badung mencapai 418, 52 km² atau sekitar 7,43% dari luas Pulau Bali.
Jumlah penduduk Kabupaten Badung tercatat sebanyak 388.529 jiwa per 6 Mei 2008,
dengan tingkat kepadatan penduduk 930 jiwa/km². Secara administratif, Kabupaten Badung
terdiri atas 6 kecamatan, 16 kelurahan, 46 desa, 361 banjar dinas, 161 lingkungan, 8 banjar
dinas persiapan, serta 8 lingkungan persiapan. Sedangkan lembaga adat yang ada di
Kabupaten Badung meliputi 120 desa adat, 523 banjar adat, 523 sekaa teruna, 1 BPLA
tingkat kabupaten, 6 BPLA tingkat kecamatan, 1 majelis madya tingkat kabupaten, dan 6
majelis madya tingkat kecamatan.
Perekonomian Kabupaten Badung sebagian besar digerakkan oleh sektor pariwisata
selaku lokomotif perekonomian, yang diikuti oleh sektor industri kerajinan serta sektor
pertanian. Adapun sektor perdagangan, hotel, dan restoran memberikan kontribusi yang
dominan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan terus mengalami
peningkatan. Struktur ekonomi yang seperti itu membuat berbagai program pembangunan
yang dilaksanakan serta daya beli masyarakat memiliki keterkaitan yang amat erat dengan
kondisi kepariwisataan. Untuk mengimbangi dominasi dan tingkat dependensi yang tinggi
antara sektor pariwisata dan sektor-sektor ekonomi yang lain, maka sektor ekonomi yang

29
tergolong padat karya seperti sektor pertanian dan industri kerajinan juga terus mendapatkan
stimulasi dan perhatian yang cukup besar sehingga peranannya dapat semakin ditingkatkan.
Guna mewujudkan pembangunan yang selaras dan seimbang baik antarsektor dan
antarwilayah, maka pemerintah Kabupaten Badung membuat pola penataan ruang wilayah
berdasarkan pendekatan geografis, fungsional, dan administratif. Berdasarkan pendekatan
tersebut, sistem perwilayahan Kabupaten Badung dibagi menjadi tiga wilayah
pengembangan yaitu:
1. Wilayah pengembangan Badung Utara meliputi seluruh Kecamatan Petang
dengan pusat pengembangan di Desa Petang. Fungsi utama wilayah pembangunan Badung
Utara adalah konservasi dan pertanian yang mendukung fungsi konservasi;
2. Wilayah pengembangan Badung Tengah meliputi Kecamatan Abiansemal,
sebagian Kecamatan Mengwi dan sebagian Kuta Utara, dengan pusat pengembangan di
kawasan perkotaan Mengwi. Fungsi utama wilayah pengembangan Badung Tengah adalah
kegiatan pertanian dan pusat pelayanan umum skala kabupaten.
3. Wilayah pengembangan Badung Selatan meliputi sebagian Kecamatan Mengwi,
sebagian Kecamatan Kuta Utara, Kecamatan Kuta dan Kuta Selatan. Pusat pengembangan
pada wilayah pembangunan Badung Selatan adalah kawasan perkotaan Kuta, dengan fungsi
utama adalah kegiatan pariwisata.
Pelaksanaan pembangunan di wilayah-wilayah pengembangan itu dilaksanakan
melalui kebijakan pembangunan berpola Island Management, yang dijiwai oleh falsafah Tri
Hita Karana. Island Management yang dimaksud di sini adalah suatu manajemen
pembangunan yang dilandasi oleh suatu kesadaran bahwa Bali merupakan satu kesatuan.
Persoalan yang terjadi di suatu wilayah akan berdampak terhadap wilayah lainnya serta Bali
secara keseluruhan. Untuk itulah pengembangan yang dilakukan di suatu wilayah harus
mempertimbangkan dampak yang akan terjadi di daerah lain. Sedangkan Tri Hita Karana
merupakan sebuah prinsip warisan kearifan lokal yang mengajarkan mengenai tiga cara
yang perlu ditempuh untuk mencapai keselarasan dalam kehidupan. Tri Hita Karana terdiri
atas:
– Hubungan yang harmonis antara manusia dan sang pencipta (parhyangan)
– Hubungan yang harmonis antara sesama manusia (pawongan)
– Hubungan yang harmonis antara manusia dan lingkungannya (palemahan)
Falsafah Tri Hita Karana tersebut diadopsi dan diterapkan ke dalam visi dan misi
Kabupaten Badung serta menjiwai kebijakan dan program pembangunan. Adapun Visi
Kabupaten Badung adalah: ” Memantapkan Arah Pembangunan Badung Berlandaskan Tri

30
Hita Karana Menuju Masyarakat Maju, Damai Dan Sejahtera”. Visi tersebut selanjutnya
dijabarkan ke dalam sembilan misi sebagai berikut:
1. Memperkokoh kerukunan hidup bermasyarakat dalam jalinan keragaman adat, budaya
dan agama.
2. Memantapkan kualitas pelayanan publik melalui penerapan teknologi informasi dan
komunikasi.
3. Memantapkan tata kelola pemerintah dengan menerapkan prinsip GOOD
GOVERNANCE dan CLEAN GOVERNANCE.
4. Meningkatkan kualitas pendidikan, kesehatan dan Keluarga Berencana (KB) dalam
pengelolaan kependudukan.
5. Memperkuat Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) sebagai pilar ekonomi
kerakyatan.
6. mewujudkan tatanan kehidupan bermasyarakat yang menjunjung tinggi penegakan
hukum dan HAM (Hak Asasi Manusia).
7. Meningkatkan perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam, lingkungan hidup dan
penanggulangan bencana.
8. Memperkuat daya saing daerah melalui peningkatan mutu sumber daya manusia dan
infrastruktur wilayah.
9. Memperkuat pembangunan bidang pertanian, perikanan dan kelautan yang bersinergi
dengan kepariwisataan berbasis budaya.

Kondisi Umum Pariwisata Kabupaten Badung


Kondisi geografis Kabupaten Badung yang strategis, yaitu menjadi pintu gerbang
pariwisata internasional untuk kawasan Indonesia Timur, dengan keberadaan Airport
Ngurah Rai di Tuban turut mendorong pesatnya perkembangan pariwisata. Selain itu
Kabupaten Badung juga merupakan pusat akomodasi pariwisata di Bali. Sebagian besar dari
fasilitas pariwisata bertaraf internasional di Bali seperti hotel, restoran, pusat perbelanjaan,
dan hiburan berada di wilayah Kabupaten Badung. Kedatangan wisatawan ke Kabupaten
Badung maupun daerah-daerah lainnya di Provinsi Bali tersebut bertujuan untuk menikmati
beragam aktivitas kepariwisataan yang tersedia, baik dengan tujuan bersenang-senang
(pleisure), di antaranya seperti wisata budaya (cultural tourism), wisata spiritual (spiritual
tourism), wisata alam (nature tourism), wisata pertanian (agrotourism), wisata bahari
(marine tourism), wisata kuliner (culinary tourism), wisata olah raga (sport tourism), hingga

31
yang dilakukan dalam rangka kepentingan business, dengan bentuk kegiatan seperti
meeting, incentive, convention, dan exhibition (MICE).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Bali tahun 2006, di Provinsi Bali
terdapat 146 hotel bintang, dan sebanyak 93 di antaranya berada di wilayah Kabupaten
Badung. Dari jumlah tersebut sebanyak 36 di antaranya merupakan hotel bintang lima, yang
sebanyak 26 berada di wilayah Kabupaten Badung. (Kondisi ini membuat Kabupaten
Badung berkali-kali mendapatkan mandat dari pemerintah Provinsi Bali dan pemerintah
pusat sebagai tuan rumah pelaksanaan event bertaraf nasional dan internasional. Salah
satunya yang besar adalah pelaksanaan Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim pada
bulan Desember 2007 yang diikuti 10.000 delegasi dari seluruh dunia. Sedangkan
berkenaan dengan pengelolaan objek-objek wisata di Kabupaten Badung, Pemerintah
Kabupaten Badung telah menerbitkan Peraturan Bupati Badung Nomor 7 Tahun 2005
tentang Objek dan Daya Tarik Wisata di Kabupaten Badung. Peraturan ini mengatur
keberadaan 33 Objek dan Daya Tarik Wisata yang tersebar dari wilayah Badung Utara
hingga Badung Selatan.
Dinamika masyarakat dan kepariwisataan Kabupaten Badung juga turut berperan
penting terhadap positioning Bali dalam industri pariwisata dunia. Dalam hal ini posisi
Kabupaten Badung sebagai pintu gerbang pariwisata internasional ke Bali yang sekaligus
menjadi etalase kepariwisataan Bali tentu berpengaruh besar. Para pembaca Travel and
Leisure Magazine, sebuah majalah pariwisata terkenal kembali memilih Bali sebagai Pulau
Terbaik di Dunia (The World’s Best Island) Tahun 2007..
Pembaca majalah pariwisata ternama dengan oplah mencapai 1 juta eksemplar di
seluruh dunia ini telah memilih Bali sebagai The World’s Best Island sebanyak enam kali.
Fakta ini sekaligus menunjukkan betapa besar dan beratnya tanggung jawab yang harus
dipikul Pemerintah Kabupaten Badung. Untuk memastikan posisi Bali ini dapat bertahan di
posisi puncak secara berkelanjutan, maka diperlukan adanya sinergi yang koordinasi yang
baik antara Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten Badung, serta pemerintah
kabupaten/kota lainnya di Pulau Bali. Otonomi daerah seharusnya menjadi landasan untuk
memperkuat koordinasi dan kerja sama ini.

Dukungan Pariwisata Terhadap Kesejahteraan Rakyat dan Pelestarian Budaya


Pemerintah Kabupaten Badung amat menyadari bahwa perkembangan investasi yang
amat pesat akan menimbulkan dampak yang serius terhadap masalah lingkungan, serta
kelestarian budaya. Untuk mengarahkan dan mengendalikan perkembangan pesat tersebut

32
ke arah yang positif, maka setiap kebijakan pembangunan yang ditempuh, termasuk yang
terkait dengan kebijakan pariwisata senantiasa dijiwai oleh filosofi Tri Hita Karana yang
diturunkan oleh para leluhur, dengan tujuan menciptakan dan mempertahankan
keseimbangan dalam kehidupan. Filosofi Tri Hita Karana ini terdiri atas hubungan yang
harmonis antara Manusia dan Sang Pencipta (parahyangan), hubungan yang harmonis
antara Manusia dan Manusia (pawongan), serta hubungan yang harmonis antara Manusia
dan Lingkungannya (palemahan). Prinsip ini pula yang menjadi filosofi pengembangan
pariwisata di Bali melalui Perda Provinsi Bali No 3 tahun 1991 tentang Pariwisata Budaya.
termasuk tentunya Kabupaten Badung.
Sebagai daerah yang mengandalkan pariwisata berbasis budaya, maka sudah
sewajarnya masyarakat yang menjadi simpul budaya mendapatkan dukungan pemerintah
agar selalu dinamis, dapat tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu setiap tahunnya,
sebanyak 10% pendapatan daerah dari pajak dan retribusi daerah diinvestasikan kembali ke
sektor-sektor masyarakat yang menjadi tulang punggung kebudayaan. Setiap tahunnya dana
tersebut diinvestasikan kepada kepada 46 Desa Dinas, 120 Desa Adat serta 190 Subak
(kelompok tani penggarap air). Setiap Desa Adat mendapatkan kontribusi Rp 100 juta,
masing-masing desa dinas mendapatkan dana Rp 75 juta, dan setiap subak mendapatkan
masing-masing Rp 10 juta. Kebijakan ini ditempuh karena institusi-institusi tersebut
merupakan simpul-simpul budaya lokal. Dana tersebut penggunaannya diarahkan untuk
mendukung sosio religius, dan sosio ekonomi masyarakat, di samping juga untuk menjaga
kelestarian lingkungan. Pada tataran filosofis, penggunaan bantuan untuk desa adat tersebut
merupakan manifestasi dari Tri Hita Karana. Sedangkan pada tataran praktis, penggunaan
bantuan tersebut 40% diarahkan untuk pelaksanaan kegiatan keagamaan (aspek
parhyangan), 40 % untuk diarahkan penataan kewilayahan/palemahan melalui
pembangunan fisik, serta 20% diarahkan untuk mendukung permodalan LPD yang
selanjutnya diharapkan dapat dimanfaatkan oleh warga masyarakat setempat untuk
mendukung usaha-usaha ekonomi kerakyatan. Hubungan timbal balik yang positif antara
pariwisata dan budaya, serta berbagai aspek kehidupan lainnya tersebut diharapkan dapat
benar-benar mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Dukungan Pariwisata Kabupaten Badung terhadap Daerah Lain


Di samping memberikan manfaat bagi masyarakat Kabupaten Badung, dana Pajak
Hotel dan Restoran (PHR) di Kabupaten Badung juga turut dirasakan manfaatnya oleh
masyarakat Bali di kabupaten lainnya. Sesuai Keputusan Gubernur Bali Nomor 16 tahun

33
2003, sebesar 22% dari pajak hotel dan restoran yang diperoleh Pemerintah Kabupaten
Badung didistribusikan kepada 6 daerah kabupaten lainnya di Bali, yaitu Tabanan,
Buleleng, Bangli, Karangasem, Klungkung, dan Jembrana (kecuali Kota Denpasar dan
Kabupaten Gianyar), yang disetorkan secara langsung kepada kabupaten masing-masing.
Pada ketentuan tersebut khususnya pasal 4 ayat 1, disebutkan bahwa penggunaan dana
bantuan pajak hotel dan pajak restoran diprioritaskan untuk pembangunan di bidang
pariwisata, membiayai kegiatan pelestarian budaya dan pemeliharaan lingkungan. Distribusi
PHR ini juga dilakukan karena Pemerintah Kabupaten Badung memegang teguh prinsip
Island Management, serta pembangunan pariwisata budaya yang berkelanjutan serta
berbasis pada masyarakat.
Distribusi PHR Kabupaten Badung kepada enam kabupaten lainnya ini pada
dasarnya dilakukan untuk melakukan pemerataan pembangunan, sekaligus untuk
menunjang gerak laju pembangunan di daerah lainnya. Atas dasar itu pula kabupaten-
kabupaten penerima wajib memiliki kemampuan untuk menyalurkan dan mengelola dana
tersebut untuk kemajuan daerahnya sekaligus mendukung kepariwisataan Bali secara
umum. Namun sayangnya sejauh ini Pemerintah Kabupaten Badung sendiri tidak pernah
mengetahu sejauh dana bantuan PHR kabupaten Badung kepada 6 kabupaten lainnya telah
dipergunakan untuk mendukung pengembangan pariwisata dan di wilayah masing-masing?
Sudahkah pengelolaan dana bantuan PHR tersebut digunakan juga dengan semangat yang
sama, yaitu Island Management. Bagi Kabupaten Badung sendiri selaku pusat akomodasi
pariwisata di Bali yang menjadi sumber bantuan PHR pengelolaan dana secara tepat sasaran
amat diperlukan. Penggunaan dana ini pada dasarnya juga menjadi salah satu sarana untuk
mewujudkan pariwisata berkelanjutan.
Isu ini penting mendapatkan arahan dan pembahasan yang jelas, mengingat hingga
saat ini PHR masih menjadi kontributor terbesar bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Kabupaten Badung. Peristiwa peledakan bom pada 12 Oktober 2002 di Jalan Legian Kuta
dan 1 Mei 2005 di Kuta Square dan Pantai Muaya Jimbaran telah memberikan dampak yang
amat besar secara ekonomi, sosial, dan psikologis. Peristiwa tersebut telah berpengaruh
besar terhadap tingkat kunjungan wisatawan ke Kabupaten Badung, yang artinya juga
mempengaruhi PAD Kabupaten Badung. Perkembangan jumlah kunjungan wisatawan di
Kabupaten Badung dapat dilihat pada tabel 6.
Di sisi lain dana dukungan pembangunan dari pemerintah pusat berupa Dana
Alokasi Umum (DAU) yang diterima Kabupaten Badung cenderung terus menurun bila
dibandingkan kabupaten lainnya di Bali. Dengan demikian beban dan tanggung jawab

34
Kabupaten Badung tentu cukup berat, karena PHR yang menjadi sumber utama PAD harus
didistribusikan kepada kabupaten lain sedangkan jumlah DAU yang diterima cenderung
menurun. Oleh karena itulah Kabupaten Badung amat membutuhkan dukungan balik dari
kabupaten-kabupaten penerima bantuan PHR dengan menggunakan dana tersebut pada
berbagai sektor yang benar-benar dapat menunjang kepariwisataan.
Persoalan lain yang juga perlu mendapatkan penanganan dan perhatian dalam
pengembangan pariwisata lebih lanjut di era otonomi daerah adalah harmonisasi hukum.
Pengembangan pariwisata yang berkelanjutan amat terkait dengan peraturan tentang
penataan ruang. Harmonisasi ini diperlukan untuk mengatur agar adanya kesesuaian antara
adanya permintaan terhadap suatu kegiatan pembangunan sarana pariwisata terhadap aspek
perencanaan ruang di tingkat kabupaten dan tingkat provinsi. Harmonisasi ini diperlukan
untuk mencegah semua daerah berlomba-lomba membuka peluang pembangunan sarana
kepariwisataan di wilayahnya tanpa mengindahkan aspek penataan ruang serta potensi yang
ada. Bila ini terjadi tentu dampaknya akan sangat merugikan pariwisata di masa depan,
karena jumlah sarana yang berlebihan akan menimbulkan kondisi oversupply. Hukum
ekonomi menyebutkan bahwa penawaran yang lebih besar dari permintaan akan
menyebabkan turunnya harga. Dalam konteks pariwisata, hal ini berarti turunnya harga
produk-produk pariwisata yang tentu akan merembet juga pada turunnya kualitas produk-
produk pariwisata tersebut. Hal ini belum termasuk kerugian dari sisi kerusakan lingkungan
akibat pembangunan fisik yang berlebihan.

35
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Otonomi daerah di satu sisi memang membawa manfaat besar. Pemerintah
Kabupaten Badung telah berupaya untuk menggunakan kewenangan yang dimiliki untuk
memajukan daerah dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakatnya, dalam hal ini
melalui kontribusi sektor pariwisata. Di sisi lain, otonomi daerah juga turut menimbulkan
persoalan yaitu dalam hal koordinasi pembangunan antar pemerintah provinsi dan
kabupaten/kota. Dalam hal penggunaan dana bantuan PHR Kabupaten Badung oleh daerah
penerima bantuan misalnya, otonomi daerah telah diterjemahkan sebagai sebuah
kewenangan yang sifatnya individual, padahal aspek akuntabilitas tetap tidak dapat
ditinggalkan.
Demikian pula halnya dengan harmonisasi hukum. Otonomi daerah sedikit banyak
turut memunculkan masalah-masalah harmonisasi hukum mulai dari tingkat UU, peraturan
daerah provinsi hingga peraturan daerah kabupaten, dan seterusnya. Untuk pengembangan
pariwisata ke depan agar selalu berada dalam koridor yang benar, termasuk prinsip Island
Management, harmonisasi hukum amatlah diperlukan.
Pariwisata di Kabupaten Badung merupakan bagian integral dari kepariwisataan Bali
secara umum, sehingga Pemerintah Kabupaten Badung menerapkan kebijakan Island
Management. Komitmen terhadap Island Management ini diwujudkan salah satu melalui
dana bantuan PHR kepada daerah lainnya.
Sebagai wujud komitmen bersama untuk melaksanakan pembangunan pariwisata
dengan pola Island Management, sudah sewajarnya bantuan PHR yang didistribusikan
kepada enam daerah lainnnya juga digunakan untuk sektor-sektor yang mendukung
pariwisata. Hingga saat ini tidak pernah diketahui ke sektor-sektor mana saja dana bantuan
PHR tersebut digunakan oleh pemerintah kabupaten penerima.

3.2. Saran
Agar pembangunan dan komitmen terhadap pola Island Management dapat
terwujud, seyogyanya alokasi penggunaan dana tersebut diatur atau diarahkan oleh
Pemerintah Provinsi untuk diinvestasikan kepada kepada sektor-sektor yang mendukung
pengembangan pariwisata.
Setiap tahun penggunaan dana bantuan tersebut perlu dilaporkan kepada Pemerintah
Provinsi untuk selanjutnya dievaluasi guna mengetahui telah tepat sasaran atau tidak.

36
Untuk pengembangan pariwisata lebih lanjut dan agar pengembangan pariwisata
dapat berjalan secara harmonis antar kabupaten/kota maka perlu dilakukan koordinasi dan
harmonisasi hukum secara berkelanjutan. Harmonisasi hukum ini antara masalah
kewenangan antara pemerintah provinsi dan kabupaten dalam pengelolaan pariwisata,
masalah penataan ruang.

37
DAFTAR PUSTAKA

Peraturan perundang-undangan
Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah,
Pengaturan, pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan, serta
perimbangan keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam
Penyelenggaraan Otonomi Daerah.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. (Revisi Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999).
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Revisi Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004).

Artikel/Media Daring
https://www.maxmanroe.com/vid/umum/pengertian-otonomi-daerah.html
http://www.yuksinau.id/pengertian-tujuan-manfaat-otonomi-daerah/#!
http://www.sarjanaku.com/2012/12/pengertian-otonomi-daerah-makalah.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Otonomi_daerah
https://thegorbalsla.com/otonomi-daerah/
https://salamadian.com/pengertian-otonomi-daerah-di-indonesia/
http://bali.tribunnews.com/2018/04/25/hari-otonomi-daerah-ke-xxii-di-badung-wabup-suiasa-
kepala-opd-jangan-takut-berinovasi
https://www.liputan6.com/news/read/5503/kabupaten-badung-siap-menjadi-daerah-otonom
https://www.academia.edu/30640050/Analisa_Kebijakan_Otonomi_Daerah_Bali
https://media.neliti.com/media/publications/249569-analisis-pendapatan-asli-daerah-pad-dala-
ba81df5c.pdf
http://kotajabung.blogspot.com/2012/09/conto-makalah-otonomi-daerah.html
https://media.neliti.com/media/publications/61384-ID-pembangunan-pertanian-pada-era-
otonomi-d.pdf

38
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat
rahmat-Nya tulisan ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna dan perlu pendalaman
lebih lanjut. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat
konstruktif demi kesempurnaan tulisan ini. Penulis berharap semoga gagasan pada tulisan ini
dapat bermanfaat bagi dosen dan/atau mahasiswa pada khususnya dan pembaca pada umumnya.

Denpasar, Januari 2019

Penulis

39
i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………i


DAFTAR ISI ………………………………………………………………………ii
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………………1
1.1 Latar Belakang ………………………………………………………………1
1.2 Rumusan Masalah …………………………………………………………..3
1.3 Tujuan Penulisan …………………………………………………………….3
1.4 Teori ……………………………………………………………………………3
1.5 Metode Penulisan …………………………………………………………..8
BAB II PEMBAHASAN ………………………………………………………………9
2.1 Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia ….......……………………………9
2.2 Pengaruh Otonomi Daerah di Kabupaten Badung di Bidang Pariwisata ..........28
BAB III PENUTUP …………………………………………………………………36
3.1 Kesimpulan ……………………………………..…………………………36
3.2 Saran ……………………………………………………………………….36
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………….38

ii
40
TUGAS MATA KULIAH
ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DAN OTONOMI DAERAH

PENGARUH OTONOMI DAERAH DI KABUPATEN BADUNG


DI BIDANG PARIWISATA

Oleh:
PUTU MARINI, S.STP
NIM. 2017 101 0820

Dosen :
Dr. Drs. A. A. Gde Raka, M.Si

Program Pasca Sarjana Univeritas Ngurah Rai


Tahun 2019

41

Anda mungkin juga menyukai