Anda di halaman 1dari 19

BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Pajak Bumi Bangunan

Ada beberapa macam pengertian atau definisi mengenai pajak bumi bangunan yang
diungkapkan oleh beberapa ahli, tetapi pada intinya berbagai definisi tersebut mempunyai inti
dan maksud yang sama. Di antara para ahli mendefinisikan pajak bumi dan bangunan seperti
berikut : Pajak bumi dan bangunan adalah pajak yang dikenakan atas Bumi dan bangunan.
Subjek Pajak dalam pbb adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hal atas
bumi dan atau memperoleh manfaat atas bumi dan atau memiliki penguasaan dan atau
memperoleh manfaat atas bangunan. Wajib pajak pbb belum tentu pemilik bumi dan atau
bangunan, tetapi dapat pula orang atau badan yang memanfaatkan Bumi dan atau Bangunan
tersebut. Pajak bumi dan bangunan adalah pajak yang bersifat kebendaan dan besarnya pajak
terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan/bangunan. Keadaan subjek (siapa
yang membayar) tidak ikut menentukan besar pajak.Dasar hukum Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB) adalah Undang – undang No. 12 tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang –
undang No. 12 tahun 1994. Ketentuan Umum Pajak Bumi dan Bangunan Pasal 1 (UU No 12
Tahun 1985) adalah : Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya.
Permukaan bumi meliputi tanah dan peraoran pedalaman (termasuk rawa – rawa, tambak, dan
perairan) serta laut wilayah Republik Indonesia. Bangunan adalah konstruksi teknik yang
ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan atau perairan. . Termasuk dalam pengertian
bangunan adalah :

a. Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan

b. Jalan tol;

c. Kolam renang;

d. Pagar mewah;
e. Tempat olah raga;

f. Galangan kapal, dermaga;

g. Taman mewah;

h. Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak;

i. Fasilitas lain yang memberikan manfaat.

 Asas Asas Pajak Bumi dan Bangunan


a.Memberikan kemudahan dan kesederhanaan;
b.Mudah dimengerti dan adil;
c.Adanya kepastian dalam hukum;
d.Menghindari pajak berganda

Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah harga rata rata yang diperoleh dari transaksi jual-
beli yang terjadi secara wajar dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, Nilai Jual Objek
Pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek pajak lain yang sejenis atau nilai
perolehan baru, atau Nilai Jual Objek Pajak Pengganti.

 Objek Pajak

Berdasarkan Pasal 2 (UU No 12 Tahun 1985) Objek Pajak Bumi dan Bangunan adalah :

a. Yang dimaksud objek pajak adalah bumi dan atau bangunan.


b. Yang dimaksud dengan klasifikasi bumi dan bangunan adalah pengelompokkan bumi
dan bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman, serta untuk
memudahkan penghitungan pajak yang terutang.
c. Pengecualian Objek Pajak. Berdasarkan Pasal 3 (UU No 12 Tahun 1994) objek pajak
yang tidak dikenakan PBB adalah : Objek pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan
Bangunan adalah objek pajak yang:

1). Digunakan semata- mata untuk melayani kepentingan umum yang tidak dimaksudkan untuk
mencari keuntungan;

2). Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala dan atau yang sejenis dengan itu;
3). Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah
penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;

4). Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
dan atau

5). Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh
Menteri Keuangan.

d. Objek pajak yang digunakan oleh Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan,


penetuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
e. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) ditetapkan untuk masing
– masing Kabupaten/Kota dengan besar setinggi- tingginya Rp 12.000.000,00 (dua belas
juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak. Apabila seorang Wajib Pajak mempunyai
beberapa Objek Pajak yang diberikan NJOPTKP hanya salah satu Objek Pajak yang
nilainya terbesar. Objek Pajak lainnya tetap dikenakan secara penuh tanpa dikurangi
NJOPTKP. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri
Keuangan menetapkan besarnya NJOPTKP dengan mempertimbangkan pendapat
Gubernur/Bupati/Walikota (Pemerintah Daerah) setempat.

 Subjek Pajak

Berdasarkan Pasal 4 (UU No 12 Tahun 1985) Subjek Pajak adalah:

a). Yang menjadi subjek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai hak atas
bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan atau memiliki, menguasai dan atau
memperoleh manfaat atas bumi, dan atau memiliki, menguasai, dan atau memperoleh manfaat
atas bangunan. Dengan demikian tanda pembayaran/pelunasan pajak bukan merupakan bukti
pemilikan hak.

b). Subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam nomor (a) yang dikenakan kewajiban membayar
pajak menjadi Wajib Pajak.

c). Dalam hal atas suatu objek pajak belum jelas diketahui wajib pajaknya, Direktur Jenderal
Pajak dapat menetapkan subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam nomor (a) sebagai wajib
pajak. Hal ini berarti memberikan kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk
menentukan subjek pajak apabila suatu subjek pajak belum jelas wajib pajaknya.

d). Subjek pajak yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam nomor (c) dapat memberikan
keterangan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak bahwa ia bukan Wajib Pajak terhadap
objek pajak dimaksud.

e). Bila keterangan yang diajukan oleh Wajib Pajak dalam nomor (d) disetujui, maka Direktur
Jenderal Pajak membatalkan penetapan sebagai Wajib Pajak sebagaimana dalam nomor (c)
dalam jangka waktu satu bulan sejak diterimanya surat keterangan dimaksud.

f). Bila keterangan yang diajukan ini tidak disetujui, maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan
surat keputusan penolakan dengan disertai alasan- alasannya.

g). Apabila setelah jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya keterangan sebagaimana
dalam nomor (d) Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan, maka keterangan yang
diajukan itu dianggap disetujui. Apabila Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan
dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya keterangan dari Wajib Pajak, maka
ketetapan sebagai Wajib Pajak gugur dengan sendirinya dan berhak mendapatkan keputusan
pencabutan penetapan Wajib Pajak.

 Tarif Pajak

Berdasarkan Pasal 5 dan 6 (UU No 12 Tahun 1985) besarnya tarif dan dasar pengenaan
pajak PBB adalah. Besarnya tarif Pajak Bumi atau Bangunan adalah 0,5 % (lima persepuluh
persen). Adapun dasar pengenaan pajak adalah Nilai Jual Objek Pajak, yaitu harga rata- rata
yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak
(NJOP) ditetapkan setiap tiga bulan oleh Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama
Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan pendapat Gubernur/Bupati/Walikota (Pemerintah
Daerah) setempat.
2. Bea Materai

Bea materai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen yang bersifat perdata dan
dokumen untuk digunakan di pengadilan. Nilai bea meterai yang berlaku saat ini Rp. 3.000,00
dan Rp. 6.000,00 yang disesuaikan dengan nilai dokumen dan penggunaan dokumen.

Pengertian bea materai lainnya yaitu:

 Bea materai adalah pengenaan pajak terhadap dokumen berupa kertas yang menurut
Undang-Undang menjadi objek bea materai.
 Bea Materai adalah pajak tidak langsung yang dipungut secara insidental jika dibuat
dokumen yang disebut oleh Undang-Undang Bea Meterai 1985 atas suatu keadaan,
perbuatan, atau peristiwa dalam masyarakat.

UU No. 13 Tahun 1985, disebut juga dengan undang-undang bea materai, karena undang-undang
tersebut menjelaskan mengenai dasar hukum pengenaan bea materai. Dokumen yang dikenai bea
materai yaitu dokumen dalam bentuk surat yang memuat jumlah uang, seperti kwitansi maupun
dokumen yang bersifat perdata. Menurut Pasal 1 ayat 1 UU No. 13 tentang Bea Materai, fungsi bea
materai adalah pajak dokumen yang dibebankan oleh negara untuk dokumen tertentu. Jadi dapat
disimpulkan, fungsi materai tidak menentukan sah atau tidaknya suatu perjanjian. Namun, jika surat
pernyataan atau perjanjian dimaksudkan sebagai alat bukti di pengadilan maka harus dilunasi materau
yang terutang.

o Objek Bea Materai

Pada dasarnya, objek bea materai yaitu berupa dokumen yang menyatakan nominal hingga
jumlah tertentu, dokumen yang bersifat perdata dan dokumen yang digunakan di pengadilan.
Adapun objek bea materai, diantaranya:

a. Surat perjanjian dan surat-surat lain yang dibuat dengan tujuan sebagai pembuktian mengenai
perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata
b. Akta notaris beserta salinannya
c. Akta pejabat pembuat akta tanah beserta rangkapnya
d. Surat berharga
e. Efek
f. Dokumen yang digunakan untuk pembuktian di pengadilan

o Objek Yang Tidak Dikenakan Bea Materai

Objek yang tidak dikenai bea materai adalah dokumen yang berhubungan dengan transaksi
internal perusahaan, berkaitan dengan pembayaran pajak dan juga dokumen negara. Berikut
dokumen yang tidak termasuk objek bea materai, diantaranya yaitu:

a. Dokumen yang berupa:

 surat penyimpanan barang


 konosemen
 surat angkutan penumpang dan barang
 keterangan pemindahan yang dituliskan di atas dokumen surat penyimpanan barang,
konosemen, dan surat angkutan penumpang dan barang
 bukti untuk pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim
 surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim
 surat lainnya yang bisa disamakan dengan surat di atas

b. Segala bentuk ijazah


c. Tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan dan pembayaran lainnya yang ada
kaitannya dengan hubungan kerja serta surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran
itu.
d. Tanda bukti penerimaan uang negara dan kas negara, kas pemerintah daerah dan bank.
e. Kwitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat disamakan
dengan itu ke kas negara, kas pemerintah daerah dan bank.
f. Tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi.
g. Dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada penabung oleh
bank, koperasi dan badan lainnya yang bergerak di bidang tersebut.
h. Surat gadai yang diberikan Perum Pegadaian.
i. Tanda pembagian keuntungan atau bunga dan Efek, dengan nama dan bentuk apapun
Tarif Bea Materai

Berikut beberapa tarif bea materai:

1. Tarif bea materai Rp. 6.000,00 yaitu untuk dokumen berupa:

a). Surat Perjanjian dan surat lainnya yang dibuat dengan tujuan sebagai alat pembuktian
mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata;

b). Akta Notaris termasuk salinannya;

c). Surat berharga seperti wesel, promes, aksep dan cek yang harga nominalnya lebih dari Rp
1.000.000,00 (satu juta rupiah);

d). Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian dimuka Pengadilan, yakni:

 surat biasa dan surat kerumahtanggaan.


 surat yang tadinya tidak dikenakan bea meterai berdasarkan tujuannya, jika digunakan
untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain selain dan maksud semula.

2. Untuk dokumen yang menyatakan nominal uang dengan batasan, seperti:

 Nominal hingga Rp250.000,- tidak dikenakan bea materai


 Nominal antara Rp250.000,- hingga Rp1.000.000,- dikenakan bea mterai Rp3.000,-
 Nominal diatas Rp 1.000.000,- dikenakan bea materai Rp 6.000,-

3. Cek dan Bilyet Giro dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 3.000,- tanpa batas
pengenaan besarnya harga nominal.
4. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang memiliki harga nominal hingga
Rp1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp 3.000,- sedangkan yang memiliki harga
nominal lebih dari Rp 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp6.000,-.
5. Sekumpulan efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang tercantum dalam surat
kolektif yang memiliki jumlah harga nominal hingga dengan Rp1.000.000,- dikenakan
Bea Meterai Rp 3.000,-, sedangkan yang memiliki harga nominal lebih dan Rp
1.000.000,- dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp6.000,-.
3. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pungutan atas perolehan
hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan
atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas dan atau bangunan oleh orang
pribadi atau badan. Hak atas tanah adalah hak atas tanah termasuk hak pengelolaan, berserta
bangunan di atasnya sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 16 tentang Rumah Susun dan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang lainnya.

Dasar pengenaan atas bea perolehan hak atas tanah dan bangunan dari nilai perolehan
objek pajak dengan besaran tarif sebesar 5% dari nilai perolehan objek pajak. Pada awalnya,
BPHTB dipungut oleh pemerintah pusat, tetapi sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 28
tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), kemudian BPHTB dialihkan
menjadi pajak daerah yang dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota. BPHTB 0% diberikan jika
pembeli tanah atau bangunan merupakan wajib pajak orang pribadi yang berdomisili di DKI
Jakarta paling tidak 2 tahun berturut-turut, belum mempunyai rumah sebelumnya dan Nilai
Perolehan Objek Pajak sampai dengan Rp 2.000.000.000 (Dua Milyar Rupiah).

Objek dari bea perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah setiap upaya pemindahan
hak atau pemberian hak atas tanah dan bangunan. Objek bea perolehan hak atas tanah dan
bangunan dapat dijabarkan sebagai berikut:

Pemindahan hak:

1. Jual beli
2. Tukar menukar
3. Hibah
4. Hibah wasiat
5. Waris
6. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain
7. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan
8. Penunjukan pembeli pada lelang
9. Pelaksanaan putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap
10. Penggabungan usaha
11. Peleburan usaha
12. Pemekaran usaha
13. Hadiah.

Pemberian hak baru karena:

1. kelanjutan pelepasan hak;


2. di luar pelepasan hak

Perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan ini berlaku bagi kepemilikan dengan status
Sertifikat Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Milik atas Satuan
Rumah Susun, dan Hak Pengelolaan.

Subjek BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan
atau bangunan. Subjek BPHTB yang dikenakan kewajiban membayar BPHTB menurut
perundang-undangan perpajakan yang menjadi Wajib Pajak. Objek BPHTB adalah perolehan
hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan
(disengaja) atau peristiwa hukum (otomatis / tidak disengaja) yang mengakibatkan diperolehnya
hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Contoh peristiwa hukum adalah
warisan karena pemilik meninggal dunia.

Perolehan hak pada dasarnya ada dua : yaitu pemindahan hak dan perolehan hak baru.
Pemindahan hak berarti sebelum memperoleh hak, hak atas tanah dan atau bangunan tersebut
sebelumnya sudah ada di “orang” lain. Karena perbuatan atau peristiwa tertentu, haknya
berpindah kepada subjek hukum A ke subjek hukum ke B. Sedangkan perolehan hak baru
biasanya berasal dari tanah negara kemudian diperoleh subjek pajak. Atau konversi hak,
contohnya, dari hak adat menjadi hak milik.
Hak atas tanah yang menjadi objek BPHTB adalah :

 hak milik, yaitu hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang
pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah
 hak guna usaha (HGU), yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung
oleh Negara dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan oleh perundang-undangan
yang berlaku
 hak guna bangunan (HGB), yaitu hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-
bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu yang ditetapkan
dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria.
 hak pakai, yaitu hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang
dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan
kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang
memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian
sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu sepanjang tidak
bertentangan dengan jiwa dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 hak milik atas satuan rumah susun, yaitu hak milik atas satuan yang bersifat perseorangan
dan terpisah. Hak milik atas satuan rumah susun meliputi juga hak atas bagian bersama,
benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan.
 hak pengelolaan, yaitu hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya
sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain, berupa perencanaan
peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan
tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau
bekerja sama dengan pihak ketiga.

o Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP)

1. jual beli adalah harga transaksi


2. tukar-menukar adalah nilai pasar
3. hibah adalah nilai pasar
4. hibah wasiat adalah nilai pasar
5. waris adalah nilai pasar
6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar
7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar
8. peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap
adalah nilai pasar
9. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar
10. pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar
11. penggabungan usaha adalah nilai pasar
12. peleburan usaha adalah nilai pasar
13. pemekaran usaha adalah nilai pasar
14. hadiah adalah nilai pasar;

Besarnya Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

 Tarif BPHTB adalah sebesar 5% dari Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak.
 Nilai perolehan objek pajak atau NPOP tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp.
60.000.000 (tiga puluh juta rupiah) yang sewaktu-waktu besarnya dapat dirubah oleh
peraturan pemerintah. Sedangkan khusus untuk perolehan karena hak waris dalam satu
dahar, sedarah atau keturunan garis lurus satu derajat ke atas atau ke bawah dengan
pemberian hibah termasuk istri atau suami NJOPTKP atau Nilai Jual Objek Pajak Tidak
Kena Pajak adalah sebesar Rp. 300.000.000.
 Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) adalah nilai perolehan objek pajak
(NPOP) dikurangi dengan nilai perolehan onjek pajak tidak kena pajak.
 Besar pajak terutang BPHTB adalah didapat dengan cara mengalikan tarif pajak dengan
nilai perolehan onjek pajak kena pajak (NPOPKP).

o Cara menghitung BPHTB

Besarnya pajak yang terutang : 5 % X Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak contoh :
Pada tanggal 2 Juli 2016, Wajib Pajak "A" membeli tanah dengan Nilai Perolehan Objek Pajak
Rp 22.000.000,00 Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Rp 30.000.000,00. Karena
Nilai Perolehan Objek Pajak berada di bawah Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak,
Maka perolehan hak atas tanah tersebut tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan. Pada tanggal 1 Agustus 2016 membeli tanah dengan : Nilai Perolehan Objek Pajak
Rp 50.000.000,00 Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Rp 30.000.000,00 Nilai
Perolehan Objek Pajak Kena Pajak Rp 20.000.000,00 Pajak yang terutang : 5 % x Rp
20.000.000,00 = Rp 1.000.000,00

o Tata Cara Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan / BPHTB

 Wajib pajak membayar pajak BPHTB yang terutang tidak didasarkan pada surat
ketetapan pajak atau SKP, melainkan dengan cara menghitung dan membayar sendiri
pajak terutang dengan mengisi Surat Setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan atau
Bangunan atau disingkat SSB.
 Pajak yang terutang dapat dibayar di Bank pemerintah, Bank DKI dan juga Kantor Pos di
wilayah Kotamadya yang meliputi letak tanah dan atau bangunan dengan SSB. Tempat
terutang pajak adalah di wilayah kabupaten, kota atau propinsi yang meliputi letak tanah
dan bangunan.
 SSB dapat diperoleh di Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan / KP PBB / KPBB
yang adal di wilayah DKI Jakarta, PPAT, Notaris, Kantor Lelang dan Kantor Pertanahan
serta Kantor Bank Pemerintah, Bank DKI dan Kantor Pos. Pembayaran BPHTB dapat
dilakukan tanpa menunggu diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak / SKP.
 SKP atau Surat Ketetapan Pajak adalah dokumen yang menjelaskan jumlah pajak yang
kurang atau lebih bayar yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak setelah adanya
pemeriksaan. SKP BPHTB disingkat menjadi SKB (Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangunan). SKB dapat dikeluarkan dalam jangka lima tahun semenjak
saat terutang BPHTB. SKB dapat berupa SKBKB untuk yang kurang bayar, SKBLB
untuk yang lebih bayar dan SKBN untuk yang nihil atau nol bayar.

o Sanksi Tidak Membayar Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan / BPHTB

Apabila WP diketahui kurang bayar BPHTB maka Dirjen Pajak dapat menerbitkan Surat
Ketetapan BPHTB (SKBKB) beserta denda sebesar 2% perbulan untuk jangka waktu maksimal
24 bulan dihitung mulai saat terhutang pajak sampai diterbitkan SKBKB. Dirjen Pajak dapat
menerbitkan Surat Ketetapan BPHTB kurang Bayar (SKBKBT) jika ditemukan data baru atau
data yang sebelumnya tidak terungkap yang mengakibatkan menambahnya jumlah pajak terutang
setelah SKBKB terbit, maka dapat dikenakan denda sanksi administrasi sebesar 100% dari
kekurangan pajak tersebut kecuali WP melaporkan sendiri sebelum adanya tindakan
pemeriksaan.
BAB I

PENDAHULUAN

Pajak bumi dan bangunan adalah pajak Negara yang sebagian besar penerimaanya
merupakan pendapatan yang antara lain dipergunakan untuk penyediaan fasilitas yang juga
dinikmati oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah .Oleh sebab itu wajar Pemerintah pusat
juga ikut membiyayai penyediaan fasilitas tersebut melalui pembayaran paajak bumi dan
bangunan.

Pajak menurut Pasal 1 angka 1 UU No 6 Tahun 1983 sebagaimana telah disempurnakan


terakhir dengan UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan adalah
"kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan
digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Mengisyaratkan
bahwa diperlukan adanya pembaruan sistem perpajakan guna meningkatkan kemampuan negara
dan masyarakat untuk membiayai pembangunan yang berasal dari sumber-sumber dalam negeri,
karena semakin meningkatnya penerimaan yang bersumber dari dalam negeri akan semakin
meningkat pula kemandirian dalam pembiayaan pelaksanaan pembangunan.

Pajak bumi dan bangunan (PBB) adalah pajak yang dipungut atas tanah dan bangunan
karena adanya keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau
badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat dari padanya. Dasar
pengenaan pajak dalam PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). NJOP ditentukan
berdasarkan harga pasar per wilayah dan ditetapkan setiap tahun oleh menteri keuangan.

Bea Materai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen (kertas yang berisikan
tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan, atau kenyataan bagi
seseorang dan atau pihak yang berkepentingan) yang menurut Undang-Undang Bea Materai (UU
No 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai), menjadi obyek Bea Materai. Atas setiap dokumen yang
menjadi objek Bea Materai harus sudah dibubuhi benda meterai atau pelunasan Bea Materai
dengan menggunakan cara lain sebelum dokumen itu digunakan.

Bea Materai yang dimaksud diatas adalah Materai tempel dan kertas Materai yang
dikeluarkan oleh Pemerintah. Sedangkan tanda tangan yang dimaksud yaitu tanda tangan
sebagaimana lazimnya dipergunakan, termasuk pula paraf, teraan atau cap tanda tangan atau cap
paraf, teraan cap nama atau tanda lainnya sebagai pengganti tanda tangan. Dokumen yang harus
dikenakan Bea Materai adalah dokumen yang menyatakan nilai nominal sampai jumlah tertentu
(Materai Rp 6.000,- digunakan untuk dokumen yang memuat jumlah uang lebih dari Rp
1.000.000,- dan Materai Rp 3.000,- digunakan untuk dokumen yang memuat jumlah uang Rp
250.000 – Rp 1.000.000,-), dokumen yang bersifat perdata dan dokumen yang digunakan dimuka
pengadilan. Secara Umum dokumen yang tidak dikenakan Bea Materai adalah dokumen yang
berhubungan dengan transaksi intern perusahaan, berkaitan dengan pembayaran pajak dan
dokumen Negara.

Ketentuan mengenai Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) diatur
dalam UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
sebagaimana terakhir diubah dengan UU no. 20 tahun 2000. Undang-undang no. 7 tahun 1983
tentang pajak penghasilan sebagaimana telah beberapa kali perubahan, Pertama : UU No. 7 tahun
1991, ke dua : UU No. 10 tahun 1994, Ke tiga : UU No. 17 tahun 2000 dan diubah terakhir
dengan UU Pajak Pengahasilan No. 32 tahun 2008.

Pajak adalah iuran atau pungutan wajib yang dupungut oleh pemerintah dari masyarakat
untuk menutupi pengeluaran rutin negara dan biaya pembangunan tanpa balas jasa yang dapat
ditunjuk secara langsung. Namun secara logika pajak yang dibayar oleh masyarakat tersebut
mempunyai dampak secara langsung terhadap kesejahteraan masyarakat seperti pembangunan
jalan, jembatan, dan tempat-tempat umum lainnya.
BAB III

KESIMPULAN

Wajib pajak PBB belum tentu pemilik bumi dan atau bangunan, tetapi dapat pula orang
atau badan yang memanfaatkan Bumi dan atau Bangunan tersebut. Pajak bumi dan bangunan
adalah pajak yang bersifat kebendaan dan besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek
yaitu bumi/tanah dan/bangunan. Keadaan subjek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan
besar pajak. Jadi dapat disimpulkan bahwa pajak bumi bangunan adalah pajak yang dikenakan
atas bumi dan bangunan, besarnya pajak ditentukan oleh keadaan objek yaitu
bumi/tanah/bangunan.

Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah harga rata rata yang diperoleh dari transaksi
jual-beli yang terjadi secara wajar dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, Nilai Jual
Objek Pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek pajak lain yang sejenis atau
nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Objek Pajak Pengganti.

. Dokumen yang dikenai Bea Materai yaitu dokumen dalam bentuk surat yang memuat
jumlah uang, seperti kwitansi maupun dokumen yang bersifat perdata. Menurut Pasal 1 ayat 1
UU No. 13 tentang Bea Materai, fungsi bea materai adalah pajak dokumen yang dibebankan oleh
negara untuk dokumen tertentu. Jadi dapat disimpulkan, fungsi materai tidak menentukan sah
atau tidaknya suatu perjanjian.

Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang
mengakibatkan diperolehnya hak atas dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Hak atas
tanah adalah hak atas tanah termasuk hak pengelolaan, berserta bangunan di atasnya
sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, Undang-undang Nomor 16 tentang Rumah Susun dan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang lainnya. Dasar pengenaan atas bea perolehan hak atas tanah dan bangunan dari
nilai perolehan objek pajak dengan besaran tarif sebesar 5% dari nilai perolehan objek pajak.

DAFTAR PUSTAKA

Undang-undang No. 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan

Undang-undang No. 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2000 Tentang Perubahan Tarif Bea Meterai dan Besarnya
Batas Pengenaan Harga Nominal yang Dikenakan Bea Meterai

Undang-undang No.12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 12 Tahun
1994

Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2002 tentang Penetapan Besarnya Persentase Nilai Jual
Kena Pajak untuk Pajak Bumi dan Bangunan.

Keputusan Menteri Keuangan No.201/KMK.04/2002 tentang Penyesuaian Besar Nilai Jual


Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) sebagai Dasar Perhitungan Pajak Bumi dan
Bangunan

Keputusan menteri Keuangan No. 552/KMK.04/2002 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri
Keuangan No.82/KMK.04/2002 tentang Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Bumi dan
Bangunan antara Pemerintah Pusat dan Daerah

Prof Dr. Mardiasmo. MBA. Perpajakan. AK Andi. Yogyakarta

https://id.wikipedia.org/wiki/Bea_Perolehan_Hak_atas_Tanah_dan_Bangunan.
TUGAS PAJAK

PBB, BEA MATERAI dan BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN
BANGUNAN

KELOMPOK 7

MERLY MERLINDA SARI 124218020


ANGELA CLARESTA FOEK 124118009
JESSICA WITRI OKTAVIA 124218012
MERLY MERLINDA SARI 124218020
EGHA ERZALINA 124218029
KHAIRUN NISA 124218035
CYNTHIA J 124218031

Anda mungkin juga menyukai