Anda di halaman 1dari 8

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN YANG

MEMBELI APARTEMEN BELUM MEMILIKI IJIN MENDIRIKAN


BANGUNAN

Jessica Witri Oktavia

124218012

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
UNIVERSITAS SURABAYA
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar bagi setiap warga negara, untuk
itu banyak pengembang yang bergerak dalam bidang pembangunan rumah untuk
memenuhi kebutuhan konsumen, konsumen dalam pemenuhan kebutuhan rumah
tersebut tidak jarang dirugikan oleh pengembang, karena telah menjual padahal rumah
belum dibangun.
Tempat tinggal atau rumah yang dimaksud menurut pasal 1 angka angka 7
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
(selanjutnya disingkat UU No. 1 Tahun 2011) adalah “bangunan gedung yang berfungsi
sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat
dan martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya”.
Kebutuhan perumahan termasuk kebutuhan dasar dengan mengingat
keterbatasan bidang tanah untuk pendirian pembangunan rumah, diundangkan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun
(selanjutnya disingkat UU No. 20 Tahun 2011), yang mendefinisikan rumah susun
menurut pasal 1 angka 1 UU No. 20 Tahun 2011 adalah bangunan gedung bertingkat
yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang
distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan
merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara
terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama,
benda bersama, dan tanah bersama.
Rumah susun dibedakan antara rumah susun khusus adalah rumah susun yang
diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan khusus. Rumah susun negara adalah
rumah susun yang dimiliki negara dan berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian,
sarana pembinaan keluarga, serta penunjang pelaksanaan tugas pejabat dan/atau
1
pegawai negeri. Rumah susun komersial adalah rumah susun yang diselenggarakan
untuk mendapatkan keuntungan.
Rumah susun komersial dengan berbagai penyebutan di antaranya apartemen,
kondominium dan sebutan lainnya, yang dibangun oleh pengembang untuk mencari
keuntungan. Negara dalam upayanya untuk melindungi konsumen memberikan
batasan dalam menjual bangunan apartemen sebagaimana pasal 43 UU No. 20 Tahun
2011
(1) Proses jual beli sarusun sebelum pembangunan rumah susun selesai dapat
dilakukan melalui PPJB yang dibuat di hadapan notaris.
(2) PPJB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah memenuhi
persyaratan kepastian atas:
a. status kepemilikan tanah;
b. kepemilikan IMB;
c. ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum;
d. keterbangunan paling sedikit 20% (dua puluh persen); dan
e. hal yang diperjanjikan.

Apartemen yang belum dibangun, berarti belum diterbitkannya surat-surat bukti hak,
karena itu dalam pelaksanaannya penjualan dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli
(selanjutnya disingkat PPJB) yang dibuat di hadapan notaris.
Pengembang yang membangun rumah dan dipasarkan, yang berarti antara
pengembang dengan konsumen terikat dalam suatu hubungan hukum keperdataan,
yang masing-masing mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik, disebut
dengan prestasi. Mengenai bentuk prestasi, sebagaimana Pasal 1234 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat KUH Perdata), yang menentukan bahwa
“perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk
tidak berbuat sesuatu”. Hal ini berarti bahwa wujud prestasi berupa memberikan
sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu”. Apabila salah satu pihak tidak
berprestasi, maka sebagaimana pasal 1239 KUH Perdata, yang menentukan bahwa
“tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, wajib
diselesaikan dengan memberikan penggantian biaya, kerugian dan bunga, bila debitur
tidak memenuhi kewajibannya”. Ketentuan pasal 1239 KUH Perdata dapat juga disebut
wanprestasi menurut Abdulkadir Muhammad diartikan sebagai “tidak memenuhi
kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan”.1 Menurut Subekti, seseorang
dikatakan telah wanprestasi apabila:
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.2
Dijumpai banyak apartemen yang baru dibangun, tetapi pengembang telah
memasarkannya yang dikenal dengan pre-project selling, pemasaran produk properti
sebelum dibangun (sistem indent), dalam pemasaran produk properti sudah marak
dalam dua dekade terakhir ini, seiring dengan pertumbuhan industri properti di
Indonesia. Alasan pengembang melakukan praktik pre-project selling adalah test the
water. Mengetahui respon pasar atas produk properti yang akan dibangun. Dalam
kenyataannya, praktik pre-project selling berpotensi menempatkan konsumen dalam
situasi penuh resiko, ketika pengembang abal-abal hanya bermodalkan brosur dan
maket mengumpulkan dana masyarakat dengan janji akan membangun produk
properti.
Pemerintah Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta (selanjutnya
disingkat Pemda DKI), memberikan dispensasi kepada pengembang boleh
memasarkan produk properti ketika IMB dalam proses, tetapi kebijakan ini berbuah
malapetaka ketika IMB yang disetujui Pemda DKI berbeda dengan usulan
pengembang. Seperti kasus Kalibata City, pengembang mengajukan permohonan
membangun apartemen 25 lantai, oleh Pemda DKI, dengan alasan keselamatan
penerbangan, hanya disetujui 20 lantai. Padahal pada lantai 21 sampai dengan lantai
25 telah ada konsumen yang memesan lantai, sampai akhirnya Pemda DKI
menghentikan dispensasi kepada pengembang untuk menjual produk properti yang
IMB-nya masih dalam proses. Nomor keanggotaan pengembang dalam asosiasi

1
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, h. 20.
2
Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2004, h. 45.
perusahaan properti (REI). Dalam hal ada sengketa dengan pengembang, konsumen
dapat meminta bantuan organisasi pengembang untuk melakukan mediasi.
Kasus lain konsumen properti Majestic Land, telah membayar lunas pesanan
unit apartemen yang masih berupa gambar, tindakan konsumen membayar lunas
produk properti yang masih berupa gambar/maket adalah sangat beresiko.
Menurut pasal 19 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disingkat UU No. 8 Tahun
1999), menentukan:
(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan
atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian
uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara
nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari
setelah tanggal transaksi.
(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan
pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.

Konsumen berhak untuk mendapatkan ganti kerugian berupa pengembalian uang atau
penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, dan tenggang
waktu yang diberikan hanya 7 (tujuh) hari sejak transaksi dan harus dapat membuktikan
kesalahan pengembang.
Berdasarkan uraian sebagtaimana tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa
pengembang apartemen menjual apartemen padahal belum memenuhi ketentuan
adanya IMB dan keterbangunan 20%, ketika tanggal realisasi pengembang tidak
memenuhi kewajibannya.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian sebagaimana di atas, maka yang dipermasalahkan adalah:
1. Apa pengertian dari Rumah Susun/Apartemen?
2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap konsumen yang membeli Apartemen
belum memiliki ijin mendirikan bangunan ?

1.3. Kerangka Teori dan Konseptual

1.3.1. Kerangka Teori


1.3.1.1. Teori Penegakan Hukum
Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum adalah suatu proses untuk
mewujudkan keinginan-keinginan hukum, yaitu pikiran-pikiran badan pembuat
undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hokum agar
menjadi kenyataan. Dalam hal ini, berdasarkan yang telah di jelaskan diatas
bahwa jelas adanya peraturan perundang-undangan yang dibuat untuk dapat
dipatuhi oleh masyarakat, terutama untuk kelompok masyarakat aatu yang
disebut dengan pengembang yang membuat dan memasarkan rumah susun
atau apartemen yangb dibuatnya kepada masyarakat. Peraturan perundang-
undangan yang mengatur tersbut bersifat memaksa, sehiungga wajib untuk
dipatuhi dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
1.3.1.2. Teori Keadilan
Keadilan menurut Aristoteles adalah kelayakan dalam tindakan manusia.
Kelayakan diartikan sebagai titik tengah diantara ke dua ujung ekstern yang
terlalu banyak dan terlalu sedikit. Kedua ujung eksterm itu menyangkut 2
orang atau benda. Bila 2 orang tersebut punya kesamaan dalam ukuran yang
telah ditetapkan, maka masing-masing orang harus memperoleh benda atau
hasil yang sama. Kalau tidak sama, maka akan terjadi pelanggaran terhadap
proporsi tersebut berarti ketidakadilan. Aristoteles membagi keadilan menjadi
beberapa macam, salah satunya yaitu, Keadilan komutatif adalah keadilan
yang memberikan kepada masing-masing orang apa yang menjadi
bagiannya, di mana yang diutamakan adalah objek tertentu yang merupakan
hak dari seseorang. Keadilan komutatif berkenaan dengan hubungan
antarorang/antarindividu. Di sini ditekankan agar prestasi sama nilainya
dengan kontra prestasi. Dalam hal ini, yang patut dibahas adalah keadilan
yang seharusnya didapatkan oleh Konsumen yang membeli Apartemen,
namun pada kenyataannya Apartemen yang di beli tersebut belum memiliki
Ijin Mendirikan Bangunan, sehingga hal itu jelas akan merugikan konsumen
yang telah membeli unit dari Apartemen tersebut.
1.3.1.3. Teori Perlindungan Hukum

1.3.1.4. Teori Kemanfaatan


1.3.2. Kerangka Konseptual

Anda mungkin juga menyukai