Mengatasi Perilaku Sembrono Di Perlintas

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 11

Mengatasi Perilaku Sembrono di Perlintasan Sebidang

oleh:
D.P. Budi Susetyo, MSi1
Abstract
Train has become an important part in the world of transportation in
Indonesia. Many people rely on trains to transportation everyday. However,
relationship among human with the train still founded reckless behavior, one
of which is still frequently happen accidents at railway crossing. People's
behavior at railway crossings associated with the traffic culture in general is
less orderly. Understanding these phenomena and in an effort to overcome
them, the study of social psychology can be approached in a
comprehensive manner with behavioristik perspective, social cognition and
social dilemmas, as well as the ecological and psychological approach to
environmental stress within the scope of environmental psychology.
Key words: Train, reckless, railway crossing, social psychology,

Pendahuluan
‘Tiap Bulan, 2 tewas di Pelintasan Bogor – Depok’. Demikian sebuah
berita di Koran Kompas 4 September 2012. Selama periode Januari – Agustus 2012,
16 orang tewas di jalur Bogor Depok. Belum lagi korban luka ringan ataupun berat.
Para korban adalah pengendara kendaraan yang melintas di perlintasan sebidang,
atau pejalan kaki yang melintasi rel kereta. Pihak PT. KAI mengaku sudah berkali-
kali menyosialisasikan kepada masyarakat yang tinggal di sekitar rel kereta, bahwa
lintasan kereta api harus steril, tetapi masih banyak warga yang tidak perduli.
Bahkan di beberapa titik di jalur Bogor – Depok ada warga yang menjebol pagar di
sisi rel agar bisa menyeberang rel untuk mendapatkan akses jalan lebih cepat.
Peristiwa kecelakaan perlintasan sebidang memang sering diberitakan di
media massa. Hal tersebut barangkali merupakan cerminan trend kecelakaan di
perlintasan sebidang yang ditengarai semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Mengacu pada data dari Dirjen Perkeretaapian pada tahun 2011 kecelakaan
menelan 61 korban, dengan 35 meninggal, 22 luka berat, empat luka ringan. Tahun
2012 yang belum genap sudah ada 45 kasus kecelakaan dengan 17 meninggal, 15
luka berat dan 13 luka ringan. Ketidakdisiplinan pengendara ditengarai sebagai
faktor utama yang memicu kecelakaan tersebut. Mereka kurang hati-hati, bahkan
sering menerobos pintu perlintasan walaupun sudah dalam kondisi tertutup. Padahal

1 Dosen Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata Semarang, bsetyo16@yahoo.co.id


1
di wilayah Jawa dan Sumatra ada 5-211 perlintasan sebidang, diantaranya ada
3.419 perlintasan yang tidak dijaga dan 618 tidak resmi/ liar. (dalam Pikiran Rakyat-
Online, 12 Juli 2012)
Ketika melihat situasi di lapangan, terlihat upaya PT. Kereta Api Indonesia
(PT. KAI) dan instansi terkait lainnya dalam melakukan pencegahan kecelakaan di
pelintasan sebidang sudah menyeluruh dan optimal, diantaranya dengan:
1. Meningkatkan sistem pengamanan di pelintasan sebidang (melengkapi dengan
pintu, rambu, pita penggaduh dan marka jalan)
2. Pemasangan pintu perlintasan elektrik di perlintasan sebidang yang dilengkapi
dengan pendeteksi kedatangan kereta api
3. Penutupan perlintasan sebidang dengan bangunan underpass ataupun flyover
4. Traffic management dan traffic engineering (menutup dan/atau menggabungkan
lebih dari satu perlintasan yang berdekatan.
5. Pembinaan SDM operasional terhadap penjaga pintu perlintasan agar disiplin
dalam menjalankan tugas sesuai peraturan
6. Sosialisasi untuk membina disiplin masyarakat dengan melalui media cetak,
elektronik atau langsung
7. Penegakan hukum (law enforcement) terhadap pelanggaran di perlintasan
(menyerobot, berhenti melewati marka jalan, menabrak pintu dll)
8. Secara bertahan mengurangi ketergantungan terhadap SDM melalui otomatisasi
pintu perlintasan.
9. Di perlintasan sebidang yang rawan kecelakaan, baik yang dijaga maupun yang
tidak dijaga, dipasang semboyan 35, agar masinis membunyikan peluit lokomotif
saat akan melewati daerah tersebut.
Walaupun sudah diupayakan seoptimal mungkin, tetapi mengapa kecelakaan
masih sering terjadi dan korban masih saja berjatuhan bahkan semakin meningkat
saja ? Mengapa perilaku disiplin masyarakat pengendara di perlintasan sebidang
masih jauh dari harapan? Hal tersebut tentunya menjadi pekerjaan rumah tersendiri
bagi PT. KAI dan pihak terkait karena berkaitan dengan kualitas pelayanan,
keselamatan kereta api beserta penumpangnya dan juga keselamatan pengendara
yang melintas di jalur perlintasan.
Membiasakan dan membentuk tata tertib masyarakat memang bukan
persoalan mudah, namun bukan hal yang mustahil untuk dilakukan. Menyimak apa

2
yang sudah dilakukan PT. KAI di era kepemimpinan Direktur Utama Ignasius Jonan
(dalam Kompas, 31 Agustus 2012) membudayakan tata tertib masyarakat bukanlah
hal mustahil. Dengan kebijakan sistem boarding, tiket sesuai kartu identitas,
pelarangan pengantar masuk ke peron, bahkan larangan merokok di kereta api, PT.
KAI telah membangun budaya tertib penumpang kereta api. Menurut pengakuan
Ignatius Jonan, tidak mudah pada awalnya, banyak tantangan dan tanggapan
pesimis. Kebijakan tersebut dapat berjalan karena dijalankan dengan konsisten dan
tanpa toleransi. Dalam hal ini PT. KAI telah berpartisipasi nyata untuk merubah
budaya tertib masyarakat.
Memang masih banyak pekerjaan rumah dari PT. KAI. Selain tanggungjawab
pengembangan manajemen transportasi kereta api semakin maju dan modern
tentunya, PT. KAI masih terbebani dengan berbagai persoalan perilaku masyarakat
yang terkait ataupun bersinggungan dengan kereta api. Kereta api masih sering
menjadi sasaran vandalisme (coretan-coretan, pengrusakan ataupun pencurian
fasilitas), perilaku semaunya (anarkis) penumpang naik atap kereta (ATAPER)
khususnya di jalur Jabotabek mungkin masih sulit untuk ditertibkan. Kereta api telah
menjadi pentas, ajang, sasaran frustrasi masyarakat melalui tindakan anarki para
bonek, pelemparan kereta api di jalur-jalur tertentu. Sementara perilaku tidak tertib
pengendara di jalur perlintasan sebidang, nampaknya merupakan dampak negatif
dari budaya berlalulintas pada masyarakat yang masih kurang tertib dan kurang
disiplin.
Lalu harus mulai darimana untuk dapat menemukan akar permasalahan
sehingga dapat dicarikan solusi yang komprehensif ? Bagaimanapun juga perilaku
masyarakat dan kereta api memiliki keterkaitan integratif yang harus dipahami dalam
konteksnya. Pendekatan yang bersifat parsial, misalnya ketika hanya berorientasi
pada hal teknis (traffic engineering) tanpa menyiapkan dan melibatkan perubahan
pada perilaku masyarakat hanya menghasilkan solusi yang parsial pula.
Penyediaan sarana-prasarana yang menunjang pelayanan transportasi kereta api
terasa mubazir ketika harus berhadapan dengan ketidaktertiban, vandalisme,
anarkisme masyarakat yang merusak kereta api. Seolah-olah jika rambu-rambu
sudah dipasang maka perilaku masyarakat akan tertib dengan sendirinya. Upaya
edukasi, bahkan rekayasa sosial harusnya menjadi satu kesatuan dengan

3
pengembangan teknologi transportasi kereta api agar relasi manusia dengan kereta
api menjadi seiring.
Merubah perilaku individu maupun masyarakat memerlukan pemahaman
ataupun analisa yang kompleks. Hal tersebut karena manusia merupakan insan
multidimensional. Selain sebagai insan individual yang banyak dipengaruhi oleh
atribut psikologisnya (seperti kecerdasan, kepribadian, motivasi), manusia
dipengaruhi oleh faktor sosiologis, kultural, religi, ideologi, politik, ekonomi dan
faktor lainnya yang berpengaruh pada perilaku secara keseluruhan. Pendekatan
psikologi sosial menawarkan pemahaman perilaku dalam bingkai konstekstual
karena turut memperhitungkan faktor lain yang terkait dengan atribut psikologisnya.
Psikologi sosial didefinisikan oleh Sherif dan Muzfer sebagai ilmu tentang
pengalaman dan perilaku individu dalam kaitannya dengan situasi stimulus sosial.
Mengacu pada pandangan Kurt Lewin seorang tokoh psikologi yang pemikirannya
dipengaruhi oleh aliran psikologi Gestalt bahwa perilaku dipahami sebagai
keseluruhan. Ia merumuskan prinsip B=f (P, E), bahwa perilaku (Behavior) adalah
fungsi dari keadaan diri pribadi (Personality) dan lingkungannya (Environment). Jadi,
faktor-faktor dari dalam diri individu dan luar diri individu terpetakan dalam
kesadaran dan berpengaruh pada perilaku sebagai keseluruhan. Juga mengutip
pendapat pakar psikologi ekologik Brofenbrenner, bahwa perilaku dipengaruhi oleh
faktor-faktor dari luar, yang tersusun dalam lingkaran berlapis-lapis. Lingkaran mikro
sistem yang berpengaruh paling kuat meliputi keluarga, sekolah, guru, teman
sebaya, tetangga dan seterusnya. Kemudian diikuti pengaruh lingkaran exo-sistem
meliputi keluarga besar, penegak hukum, puskesmas, media massa dan
sebagainya. Pengaruh terluar yang paling lemah adalah makro-sistem yang terdiri
dari ideologi negara, pemerintah, hukum, adat, tradisi, sistem budaya dan lainnya.
Dari uraian di maka dapat dipahami bahwa perilaku manusia perlu dipahami dalam
konteksnya karena pengaruh faktor di luar diri pribadinya, termasuk dalam
memahami perilaku pengendara pelintas perlintasan sebidang (dalam Sarwono,
1999)
Tulisan berikutnya merupakan diskusi reflektif dalam perspektif psikologi
sosial yang dapat melengkapi pemahaman perilaku masyarakat yang terkait dengan
kereta api, khususnya terkait dengan perilaku pelintas perlintasan sebidang secara

4
kontekstual sebagai masukan untuk melengkapi upaya menertibkan perilaku di
perlintasan sebidang.

Relasi Manusia dan Kereta Api, perspektif psikologi sosial


Ketika anak-anak menyanyikan lagu naik kereta api dengan bersemangat,
maka makna kereta api begitu dekat dan melekat. Bagaimanapun juga keberadaan
kereta api telah menjadi bagian dari kehidupan Indonesia, khususnya di Jawa dan
Sumatra, sejak dibangun di jaman penjajahan Belanda. Berkeretaapi telah menjadi
kebutuhan dan tumpuan utama transportasi masal. Kebanyakan masyarakat telah
mampu berjalan seiring dengan sistem yang berlaku pada kereta api. Namun ketika
ada sebagian kecil masyarakat yang berperilaku buruk terhadap kereta api, seperti
vandalism (merusak fasilitas kereta api), anarkisme maka nampaknya ada sisi
paradoks dari relasi tersebut yang masih perlu dibenahi.
Relasi manusia dan kereta api secara psikologis dihubungkan oleh prinsip
Stimulus – Respon (S-R). Teori ini disebut sebagai pendekatan behavioristik, yang
memandang perilaku (Respon) tergantung pada stimulusnya. Sebagaimana terjadi
di sepanjang jalur rel kereta api, masinis akan berjalan ataupun berhenti
berdasarkan perintah dari sinyal. Di perlintasan sebidang perilaku pengendara
tergantung pada buka tutup pintu perlintasan, dan lain sebagainya. Asosiasi S-R
akan membentuk perilaku yang diharapkan ketika disertai dengan penguatan
(reinforcement), reward dan punishment, serta dilakukan sebagai kebiasaan
(conditioning) secara konsisten dan tanpa toleransi. Situasi demikian akan semakin
menguatkan perilaku yang diharapkan, bahkan pada tahap tertentu asosiasi stimulus
respon bersifat mekanistik, yang akan dilakukan begitu saja tanpa melibatkan
pikiran. Mungkin seperti kebiasaan orang mengendarai mobil dimana untuk
memutuskan menginjak pedal rem, gas ataupun kopling dilakukan secara otomatis
tanpa harus melibatkan pikiran. Proses yang demikian dapat berlangsung pada
pembentukan disiplin pada militer misalnya.
Terjadinya penyimpangan perilaku dapat terjadi ketika reinforcement, reward
dan punishment, pembiasaan tidak dijalankan secara konsisten dan banyak toleransi
ataupun terjadi pembiaran. Ketika peraturan yang harusnya diterapkan secara
konsisten, justru dapat diatur-atur sesuai kepentingan sesaat atas nama
kepentingan pribadi, permakluman ataupun pengistimewaan. Terkait dengan

5
ketidaktertiban pelintas, pembiaran terhadap pengendara yang menerobos pintu
pelintasan menunjukkan gambaran lemahnya penegakan aturan yang berlaku . Hal
ini menjadi salah satu titik pemicu ketidaktertiban masyarakat di perlintasan
sebidang.
Ada proses lain yang terkait dengan asosiasi stimulus – respon yaitu proses
kognisi dalam memaknai simbol-simbol yang berupa rambu lalu lintas. Pemaknaan
simbol pada umumnya diperoleh melalui edukasi, misalnya sejak kecil, di sekolah
taman kanak-kanak, anak dikenalkan tentang disiplin berlalu lintas, dikenalkan
rambu-rambu dan makna warna lampu pengatur lalu lintas. Pada kalangan awak
kereta seperti masinis, tentunya mereka sudah mengikuti pendidikan yang standar
tentang pengenalan rambu-rambu sehingga mampu mengemudikan kereta api
dengan aman. Namun demikian standar pemaknaan rambu-rambu di jalan raya
seringkali tidak dipahami dengan standar yang sama. Bias persepsi untuk
menafsirkan makna rambu dapat terjadi karena perbedaan budaya, pendidikan,
pengalaman maupun motivasi. Di kalangan remaja misalnya, mereka seringkali
memiliki ‘dunia sendiri’ karena mereka lebih mengandalkan ataupun mempercayai
peer group-nya atas berbagai nilai, keyakinan dan tindakan yang dilakukan.
Termasuk dalam pertimbangan mengendarai sepeda motor ataupun mobil mereka
menggunakan caranya sendiri sehingga mengendarai kendaraan secara sembrono
yang mengancam keselamatan sendiri dan orang lain. Sekarang ini anak-anak /
remaja mengalami masa transisi yang lebih panjang antara mulai mahir naik sepeda
motor sampai memenuhi syarat mendapatkan SIM. Banyak anak-anak usia SMP
bahkan SD yang berkeliaran di jalan dengan sepeda motornya. Tentunya mereka
masih jauh dari kematangan untuk menafsirkan makna rambu sebagaimana
mestinya, karena lebih mengedepankan pertimbangan ‘dunianya sendiri’.
Rambu-rambu menjadi bagian dari komunikasi visual di jalanan yang
memberi kontribusi ketertiban di jalan. Pada saat bersamaan, di jalan banyak sekali
informasi yang diserap oleh panca indera. Diantara rambu-rambu yang harus
diperhatikan untuk memandu pengendara, masih ada informasi lain misalnya papan
reklame yang sedemikian banyak sehingga menjadi informasi yang hiruk pikuk.
Dalam komunikasi visual dengan informasi yang sedemikian padat, maka sulit untuk
mengolah informasi tersebut secara jernih. Terjadi kelebihan beban (overload) akibat
stimulus lebih besar dari kapasitas pengolahan informasi, yang mengakibatkan

6
sejumlah stimulus harus diabaikan agar individu dapat memusatkan perhatiannya
pada stimulus tertentu saja. Rambu-rambu seringkali kalah fokus dan tergelam
diantara rimbun informasi yang lain. Mengacu pada prinsip psikologi Gestalt tentang
perlunya kejelasan fokus dan latarbelakangnya akan menentukan efektivitas
komunikasi. Hal ini juga perlu dikonfirmasi lagi lagi bagaimana fokus rambu-rambu
ini khususnya di jalur perlintasan sebidang diantara maraknya papan-papan reklame
dan informasi lain yang bertebaran di jalanan.
Pandangan psikologi ekologik dari Barker (dalam Bell dkk, 1999) merupakan
salah satu pendekatan yang relevan untuk memahami hubungan timbal balik antara
perilaku dan lingkungan fisik. Dalam setiap lingkungan fisik melekat unsur behavioral
setting (seting tingkah laku) yang merupakan pola tingkah laku kelompok yang
terjadi sebagai akibat kondisi lingkungan fisik tertentu. Setiap lingkungan fisik akan
menciptakan pola perilaku yang khas misalnya perilaku khas di rumah sakit,
sekolah, pasar dan lain sebagainya. Demikian pula kereta api berserta dengan
sarana prasarana penunjangnya mengarahkan masyarakat yang datang pada
perilaku khas, baik ketika itu terjadi di stasiun, di dalam kereta. Setting fisik stasiun
kereta api, juga kereta apinya sendiri terkadang identik dengan kekumuhan dan
kesemrawutan. Hal tersebut memiliki kaitan dengan perilaku masyarakat yang
kurang tertib, seenaknya lalu lalang di stasiun, berjualan di dalam gerbong.
Demikian juga setting yang semrawut di pintu pelintasan menjadi perangsang untuk
tindakan kurang tertib. Namun hal ini juga dapat terjadi pada lokasi-lokasi terpencil
pada perlintasan tak berpintu mendorong terjadinya deindividuasi karena merasa
tidak ada yang mengawasi, yang memicu orang berperilaku semaunya sendiri,
vandalisme.
Faktor-Faktor Psikologis Perilaku Mengemudi
Dalam riset-riset yang dilakukan terbukti bahwa karakteristik psikologis
pengendara menyumbang proporsi terbesar dalam berbagai kecelakaan di jalan.
Mengacu pada analisis dari Lewin (1982), faktor manusia berkontribusi terhadap
kecelakaan lalulintas sampai 90 %. Juneman (2010) mengatakan bahwa tidak
semua kecelakaan disebabkan oleh kekhilafan ataupun human error. Seringkali
pengendara sengaja menyimpang dari perilaku berkendara yang aman.
Penyimpangan ini mungkin disebabkan oleh sejumlah faktor seperti kebutuhan,

7
karakteristik kepribadian (misalnya kepribadian yang suka mencari sensasi),
motivasi dan bias-bias kognitif.
Kepribadian menjadi salah satu faktor psikologi yang berpengaruh pada
perilaku mengemudi secara sembrono. Hal tersebut seperti diperlihatkan perilaku
ugal-ugalan para sopir angkutan, baik itu angkutan dalam kota maupun angkutan
antar kota. Kajian tentang perilaku ugal-ugalan sopir angkutan seringkali dikaitkan
dengan beban kerjanya untuk mengejar setoran ataupun mengejar limit waktu.
Situasi jalan yang padat, bahkan macet membuatnya mereka nekat untuk mencari
jalan agar bisa lolos dari jebakan tersebut. Di Jakarta ditengarai sopir bus kota dan
mobil lain, bahkan sepeda motor sering nekat melewati jalur busway. Karakter
perilaku pengendara seperti ini bisa dikaitkan dengan reaksi frustrasi – agresi.
Jalanan merupakan sumber stress (stressor) yang memicu rasa frustrasi individu.
Dan ada keterkaitan kuat antara rasa frustrasi dan tindakan agresi, mulai
membunyikan klakson berlebihan, sampai menerobos perlintasan. Karakter agresi
bisa juga terkait dengan identitas sosial kelompok pengemudi, misalnya di kalangan
sopir angkutan antar kota di daerah tertentu terkenal suka ngebut, ataupun karakter
agresif pada gang motor misalnya.
Mengacu pada penelitian Gulliver dan Begg (2007) pada kalangan remaja,
kepribadian mencari sensasi, impulsif, agresi, anti sosial, perasaan terasing/
teralienasi turut memberi kontribusi meyakinkan bagi terjadinya kecelakaan karena
perilaku mengemudi secara sembrono. Pada remaja, karakter yang demikian ini
lebih sering dipicu oleh krisis identitas remaja dalam pencarian jati diri. Dan dapatlah
dimaklumi masa remaja memang memiliki kepribadian yang labil. Mungkin jika
dikaitkan dengan data statistik pada korban kecelakaan dapat dicari kaitannya.
Apakah mereka kebanyakan dari kalangan sopir angkutan, remaja, atau kalangan
yang lain ? Sekiranya kecenderungan ini dapat ditemukan maka pendekatan untuk
menegakkan disiplin dan tertib berlalu lintas berdasarkan pendekatan kepribadian
menjadi lebih fokus pada target kelompok yang memiliki prevalensi tinggi.
Pendekatan dan sosialisasi dapat disesuaikan dengan karakter kelompoknya.
Perilaku mengemudi di jalan seringkali juga menciptakan dilema sosial bagi
para pengemudi, yaitu antara pilihan mengemudi mengikuti aturan yang menunjang
ketertiban ataupun melanggar aturan demi keuntungan sendiri namun dengan
konsekuensi merusak ketertiban. Menurut Hardin (dalam Gifford, 1997), individu

8
selalu ada pilihan sulit untuk memilih apakah bertindak berdasarkan self interest
yang lebih mengendepankan ego pribadinya atau public interest yang
mengutamakan pada kesepakatan ataupun aturan bersama. Hal tersebut dapat
terjadi di berbagai situasi sosial, termasuk di jalan raya. Peraturan lalu lintas menjadi
pegangan bersama untuk berperilaku secara tertib, sehingga semua harus bersabar
untuk antri, memberi kesempatan yang lain untuk lewat terlebih dahulu agar dapat
mengurai kemacetan. Namun, ketika ada yang memulai untuk melanggar
kesepakatan dengan maka saat itulah terjadi awal kesemrawutan tersebut. Bentuk
dilema sosial dengan pilihan self interest di jalan dapat kita jumpai dalam bentuk: 1)
mencari jalan pintas, 2) tidak mau berkorban untuk melalui jalan rute normal atau
yang agak lebih panjang, 3) melanggar lampu lalu lintas saat tidak ada polisi, 4)
memanfaatkan ruang pejalan kaki (trotoar) untuk parker ataupun lewat, 4) memiliki
kendaraan pribadi walaupun tersedia transportasi masal 5) ngetem pada sopir
angkot, 6) menerobos pintu perlintasan sebidang. Dan masih banyak lainnya.
Tindakan mementingkan kepentingan sendiri seringkali tidak terjadi pada satu dua
orang pengemudi, tetapi akan diikuti oleh pengemudi yang lain, karena tidak mau
kalah sendiri, ataupun juga karena reaksi ikut-ikutan (konformitas). Semuanya ini
bermuara pada kemacetan dan kekacauan arus lalu lintas.

SARAN SOLUSI
Saran solusi sebagai penutup makalah ini lebih menggarisbawahi ataupun
penegasan pada prinsip ataupun substansi psikologi yang harus diperhatikan
mengacu pada prosedur ataupun upaya pencegahan yang sudah dilakukan. Dengan
demikian untuk merubah budaya tertib berlalu lintas di perlintasan sebidang dapat
dilakukan dengan beberapa pendekatan sebagai berikut:
1) Mengingat bahwa persoalan ketidaktertiban perilaku pengendara di perlintasan
sebidang merupakan merupakan imbas dari budaya berlalulintas pada
umumnya, maka pendekatan yang berorientasi penegakan peraturan
berlalulintas secara konsiten dan tanpa toleransi menjadi payung besar dari
persoalan ini. Penegakan aturan melibatkan unsur PT. KAI, Kepolisian dan
pihak-pihak terkait.
2) Pendekatan psikologis ekologis dengan mengatur setting lingkungan fisik kereta
api yang lebih tertib, lebih teratur, jauh dari kesan kumuh dan semrawut dari hulu
sampai hilir, termasuk menata kembali setting fisik perlintasan sebidang.

9
Idealnya perlintasan sebidang diatasi dengan flyover dan underpass sehingga
pertemuan lalulintas kereta api dan jalan raya dapat dihindari.
3) Regulasi di perlintasan untuk mengurangi tinggat tekanan (stressor) ketika
pelintas menunggu pintu ditutup, misalnya terkait lama waktu penutupan pintu
yang masih dapat ditolelir.
4) Sosialisasi pada kelompok masyarakat dengan skala priotis ada kelompok
sasaran yang memiliki prevalensi paling besar menjadi korban kecelakaan.
5) Komunikasi visual rambu-rambu yang efektif melalui pembenahan tampilan fisik
lebih teratur dan lebih fokus, sosialisasi makna rambu.
6) Pendekatan kultural dengan PT. KAI Way merubah budaya masyarakat lewat
kereta api.

Daftar Pustaka:
Bell, P.A. et.al. 1996. Environmental Psychology. Tokyo : Harcouth Brace College
Publisher.
Gifford, R.1987. Environmental Psychology. Massachusetts: Allyn and
Bacon, Inc.

Gulliver, P & Begg, D, 2007.Personality factor as predictor of persistent


risky driving behavior and crash involvement among young adult.
Injury Prevention. 13,376-381

Juneman.2010. Masalah Transportasi Kota dan Pendekatan Psikologi Sosial.


Psikobuana. Vol. 1, No. 3, 173-189.
Lewin, I. 1982. Driver Training: A perceptual motor skill approach. Ergonomic,
25,917-924
Sarwono, SW, 1999. Psikologi Sosial: Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan.
Jakarta: Balai Pustaka
------------------. 1999. Psikologi Sosial: Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial.
Jakarta: Balai Pustaka

Sumber media:
Koran Kompas, 31 Agustus 2012. Ignasius Jonan. Mengubah Indonesia Lewat
Kereta Api
Pikiran Rakyat Online, 12 Juli 2012. Perlintasan Sebidang KA Telan Puluhan Nyawa
per Tahun

10
11

Anda mungkin juga menyukai