Anda di halaman 1dari 22

Bagian Obstetri dan Ginekologi REFERAT

“TOXOPLASMOSIS”

Disusun Oleh :
MUHAMMAD IQBAL
N 111 17 062

Pembimbing Klinik:
dr. Cinderella Antoinette Novalina Rieuwpassa, Sp.OG (K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN


KLINIK BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
JANUARI
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Evidence-based Medicine (EBM) adalah pengintegrasian antara (1) bukti


ilmiah berupa hasil penelitan yang terbaik dengan (2) kemampuan klinis dokter serta
(3) preferensi pasien dalam proses pengambilan keputusan pelayanan kedokteran ,
sedang Geddes (2000) menyatakan bahwa EBM adalah strategi yang dibuat
berdasarkan pengembangan teknologi informasi dan epidemiologi klinik dan
ditujukan untuk dapat menjaga dan mempertahankan ketrampilan pelayan- an medik

dokter dengan basis bukti medis yang terbaik1


Dengan demikian, EBM dapat diartikan sebagai pemanfaatan bukti ilmiah
secara seksama, ekplisit dan bijaksana dalam pengambilan keputusan untuk
tatalaksana pasien. Artinya mengintegrasikan kemampuan klinis individu dengan
bukti ilmiah yang terbaik yang diperoleh dengan penelusuran informasi secara
sistematis.
Bukti ilmiah itu tidak dapat menetapkan kesimpulan sendiri, melainkan
membantu menunjang penatalaksanaan pasien. Integrasi penuh dari ketiga komponen
ini dalam proses pengambilan keputusan akan meningkatkan probabilitas untuk
mendapatkan hasil pelayanan yang optimal dan kualitas hidup yang lebih baik.
Praktek EBM itu sendiri banyak juga dicetuskan oleh adanya pertanyaan2 pasien
tentang efek pengobatan, kegunaan pemeriksaan penunjang, prognosis penyakitnya,
atau penyebab kelainan yang dideritanya.

EBM membutuhkan ketrampilan khusus, termasuk didalamnya kemampuan untuk


melakukan penelusuran literatur secara efisien dan melakukan telaah kritis terhadap
literatur tersebut menurut aturan-aturan yang telah ditentukan.

Langkah dalam proses EBM adalah sebagai berikut:


1. Diawali dengan identifikasi masalah dari pasien atau yang timbul selama proses
tatalaksana penyakit pasien

2. Dilanjutkan dengan membuat formulasi pertanyaan dari masalah klinis tersebut

3. Pilihlah sumber yang tepat untuk mencari jawaban yang benar bagi pertanyaan
tersebut dari literatur ilmiah

4. Lakukan telaah kritis terhadap literatur yang didapatkan untuk menilai validitas
(mendekati kebenaran), pentingnya hasil penelitian itu serta kemungkinan
penerapannya pada pasien

5. Setelah mendapatkan hasil telaah kritis, integrasikan bukti tersebut dengan


kemampuan klinis anda dan preferensi pasien yang seharusnya mendapatkan
probabilitas pemecahan masalah pelayanan pasien yang lebih baik.

6. Evaluasi proses penatalaksanaan penyakit / masalah pasien anda .. Apakah berhasil


atau masih memerlukan tindakan lain?

Kemampuan menelaah secara kritis terhadap suatu artikel dengan tata cara tertentu
sudah dikenal sejak lama, namun EBM memperkenalkan tata cara telaah kritis
menggunakan lembar kerja yang spesifik untuk tiap jenis penelitian (diagnostik,
terapi, prognosis, metaanalisis, pedoman pelayanan medik dll). Tiga hal penting
merupakan patokan telaah kritis, yaitu (1) validitas penelitian, yang dapat dinilai dari
metodologi / bahan dan cara , (2) pentingnya hasil penelitian yang dapat dilihat dari
bagian hasil penelitian, serta (3) aplikabilitas hasil penelitian tersebut pada
lingkungan kita, yang dapat dinilai dari bagian diskusi artikel tersebut.

Praktek EBM adalah suatu proses yang panjang dan berkelanjutan, melakukan
pembelajaran/analisis berdasarkan masalah yang timbul dari pasien dan karenanya
bisa menemukan informasi yang penting dalam aspek diagnosis, terapi, prognosis
atau aspek lainnya dari pelayanan kesehatan, antara lain pedoman pengobatan dan
sebagainya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Toksoplasmosis, suatu penyakit yang disebabkan oleh
Toxoplasma gondii, merupakan penyakit parasit pada hewan yang
dapat ditularkan ke manusia. Parasit ini merupakan golongan Protozoa
yang bersifat parasit obligat intraseseluler. Menurut Wiknjosastro
(2007), toksoplasmosis menjadi sangat penting karena infeksi yang
terjadi pada saat kehamilan dapat menyebabkan abortus spontan atau
kelahiran anak yang dalam kondisi abnormal atau disebut sebagai
kelainan kongenital seperti hidrosefalus, mikrosefalus, iridosiklisis dan
retardasi mental.4

2.2 Morfologi
Toxoplasma gondii merupakan protozoa obligat intraseluler,
terdapat dalam tiga bentuk yaitu takizoit (bentuk proliferatif), kista
(berisi bradizoit) dan ookista (berisi sporozoit). Bentuk takizoit
menyerupai bulan sabit dengan ujung yang runcing dan ujung lain
agak membulat. Ukuran panjang 4-8 mikron, lebar 2-4 mikron dan
mempunyai selaput sel, satu inti yang terletak di tengah bulan sabit
dan beberapa organel lain seperti mitokondria dan badan golgi. Bentuk
ini terdapat di dalam tubuh hospes perantara seperti burung dan
mamalia termasuk manusia dan kucing sebagai hospes definitif.
Takizoit ditemukan pada infeksi akut dalam berbagai jaringan tubuh.
Takizoit juga dapat memasuki tiap sel yang berinti.3,4
Kista dibentuk di dalam sel hospes bila takizoit yang membelah
telah membentuk dinding. Ukuran kista berbeda-beda, ada yang
berukuran kecil hanya berisi beberapa bradizoit dan ada yang
berukuran 200 mikron berisi kira-kira 3000 bradizoit. Kista dalam
tubuh hospes dapat ditemukan seumur hidup terutama di otak, otot
jantung, dan otot bergaris. Di otak bentuk kista lonjong atau bulat,
tetapi di dalam otot bentuk kista mengikuti bentuk sel otot.4
Ookista berbentuk lonjong, berukuran 11-14 x 9-11 mikron.
Ookista mempunyai dinding, berisi satu sporoblas yang membelah
menjadi dua sporoblas. Pada perkembangan selanjutnya ke dua
sporoblas membentuk dinding dan menjadi sporokista. Masing-masing
sporokista tersebut berisi 4 sporozoit yang berukuran 8 x 2 mikron dan
sebuah benda residu. Toxoplasma gondii dalam klasifikasi termasuk
kelas Sporozoasida, berkembang biak secara seksual dan aseksual
yang terjadi secara bergantian.4

2.3. Siklus hidup


Daur hidup T. gondii melalui dua siklus yaitu siklus enteroepitel
dan siklus ekstraintestinal. Siklus enteroepitelial di dalam tubuh hospes
definitif seperti kucing. Siklus ekstraintestinal pula di dalam tubuh
hospes perantara seperti manusia, kambing dan domba. Pada siklus
ekstraintestinal, ookista yang keluar bersama tinja kucing belum
bersifat infektif. Setelah mengalami sporulasi, ookista akan berisi
sporozoit dan menjadi bentuk yang infektif. Manusia dan hospes
perantara lainnya akan terinfeksi jika tertelan bentuk ookista tersebut.5
Di dalam ileum, dinding ookista akan hancur sehingga sporozoit
bebas. Sporozoit-sporozoit ini menembus mukosa ileum dan mengikuti
aliran darah dan limfa menuju berbagai organ tubuh seperti otak, mata,
hati dan jantung. Sporozoit bebas akan membentuk pseudokista setelah
berada dalam sel organ-organ tersebut. Pseudokista tersebut berisi
endozoit atau yang lebih dikenal sebagai takizoit. Takizoit akan
membelah, kecepatan membelah takizoit ini berkurang secara
berangsur kemudian terbentuk kista yang mengandung bradizoit.
Bradizoit dalam kista biasanya ditemukan pada infeksi menahun
(infeksi laten).5

2.4 Diagnosa Klinik


Diagnosis infeksi protozoa ini dilakukan dengan mendapatkan
antibodi IgM dan IgG anti T. gondii dalam tes serologi (Hiswani,
2005). Untuk memastikan diagnosis toksoplasmosis kongenital pada
neonatus perlu ditemukan zat anti IgM. Tetapi zat anti IgM tidak selalu
dapat ditemukan. Zat anti IgM cepat menghilang dari darah, walaupun
kadang-kadang dapat ditemukan selama beberapa bulan.5
Bila tidak dapat ditemukan zat anti IgM, maka bayi yang
tersangka menderita toksoplasmosis kongenital harus di follow up. Zat
anti IgG pada neonatus yang secara pasif didapatkan dari ibunya
melalui plasenta, berangsur-angsur berkurang dan menghilang pada
bayi yang tidak terinfeksi T. gondii. Pada bayi yang terinfeksi T.
gondii, zat anti IgG mulai dibentuk sendiri pada umur 4-6 bulan, dan
pada waktu ini titer zat anti IgG naik.6
Untuk memastikan diagnosis toksoplasmosis akuista, tidak
cukup bila hanya sekali menemukan titer zat anti IgG T. gondii yang
tinggi, karena titer zat anti T. gondii yang ditemukan dengan tes-tes
tersebut diatas dapat ditemukan bertahun-tahun dalam tubuh
seseorang. Diagnosis toksoplasmosis akut dapat dibuat, bila titer
meninggi pada pemeriksaan kedua kali dengan jangka waktu 3 minggu
atau lebih atau bila ada konversi dari negatif ke positif. Diagnosis juga
dapat dipastikan bila ditemukan zat anti IgM, disamping adanya titer
tes warna atau tes IFA yang tinggi.5,6

2.5 Cara penularan


Manusia dapat terinfeksi oleh T. gondii dengan berbagai cara.
Pada toksoplasmosis kongenital, transmisi toksoplasma kepada janin
terjadi melalui plasenta bila ibunya mendapat infeksi primer waktu
hamil. Pada toksoplasmosis akuista, infeksi dapat terjadi bila makan
daging mentah atau kurang matang ketika daging tersebut mengandung
kista atau trofozoit T. gondii. Tercemarnya alat-alat untuk masak dan
tangan oleh bentuk infektif parasit ini pada waktu pengolahan
makanan merupakan sumber lain untuk penyebaran T. gondii.6
Pada orang yang tidak makan daging pun dapat terjadi infeksi
bila ookista yang dikeluarkan dengan tinja kucing tertelan. Kontak
yang sering terjadi dengan hewan terkontaminasi atau dagingnya,
dapat dihubungkan dengan adanya prevalensi yang lebih tinggi di
antara dokter hewan, mahasiswa kedokteran hewan, pekerja di rumah
potong hewan dan orang yang menangani daging mentah seperti juru
masak. Juga mungkin terinfeksi melalui transplantasi organ tubuh dari
donor penderita toksoplasmosis laten kepada resipien yang belum
pernah terinfeksi T. gondii. Infeksi juga dapat terjadi di laroratorium
pada orang yang bekerja dengan binatang percobaan yang diinfeksi
dengan T. gondii yang hidup. Infeksi dengan T. gondii juga dapat
terjadi waktu mengerjakan autopsi.1
Cara Penularan Toksoplasmosis Sumber American Family Physician5

2.6 Patogenesis
Setelah terjadi infeksi T. gondii ke dalam tubuh akan terjadi
proses yang terdiri dari tiga tahap yaitu parasitemia, di mana parasit
menyerang organ dan jaringan serta memperbanyak diri dan
menghancurkan sel-sel inang. Perbanyakan diri ini paling nyata terjadi
pada jaringan retikuloendotelial dan otak, di mana parasit mempunyai
afinitas paling besar. Pembentukan antibodi merupakan tahap kedua
setelah terjadinya infeksi. Tahap ketiga rnerupakan fase kronik,
terbentuk kista-kista yang menyebar di jaringan otot dan saraf, yang
sifatnya menetap tanpa menimbulkan peradangan lokal.1,2
Infeksi primer pada janin diawali dengan masuknya darah ibu
yang mengandung parasit tersebut ke dalam plasenta, sehingga terjadi
keadaan plasentitis yang terbukti dengan adanya gambaran plasenta
dengan reaksi inflamasi menahun pada desidua kapsularis dan fokal
reaksi pada vili. Inflamasi pada tali pusat jarang dijumpai.Kemudian
parasit ini akan menimbulkan keadaan patologik yang manifestsinya
sangat tergantung pada usia kehamilan.2

2.7 Manifestasi Klinis


Pada garis besarnya sesuai dengan cara penularan dan gejala
klinisnya, toksoplasmosis dapat dikelompokkan atas: toksoplasmosis
akuisita (dapatan) dan toksoplasmosis kongenital. Baik toksoplasmosis
dapatan maupun kongenital, sebagian besar asimtomatis atau tanpa
gejala. Keduanya dapat bersifat akut dan kemudian menjadi kronik
atau laten. Gejalanya nampak sering tidak spesifik dan sulit dibedakan
dengan penyakit lain. Toksoplasmosis dapatan biasanya tidak diketahui
karena jarang menimbulkan gejala. Tetapi bila seorang ibu yang
sedang hamil mendapat infeksi primer, ada kemungkinan bahwa 50%
akan melahirkan anak dengan toksoplasmosis kongenital. Gejala yang
dijumpai pada orang dewasa maupun anak-anak umumnya ringan.
Gejala klinis yang paling sering dijumpai pada toksoplasmosis dapatan
adalah limfadenopati dan rasa lelah, disertai demam dan sakit kepala.7
Pada infeksi akut, limfadenopati sering dijumpai pada kelenjar
getah bening daerah leher bagian belakang. Gejala tersebut di atas
dapat disertai demam, mialgia dan malaise. Bentuk kelainan pada kulit
akibat toksoplasmosis berupa ruam makulopapuler yang mirip
kelainan kulit pada demam titus, sedangkan pada jaringan paru dapat
terjadi pneumonia interstisial.8
Gambaran klinis toksoplasmosis kongenital dapat bermacam-
macam. Ada yang tampak normal pada waktu lahir dan gejala
klinisnya baru timbul setelah beberapa minggu sampai beberapa tahun.
Ada gambaran eritroblastosis, hidrops fetalis dan triad klasik yang
terdiri dari hidrosefalus, korioretinitis dan perkapuran intrakranial atau
tetrad sabin yang disertai kelainan psikomotorik. Toksoplasmosis
kongenital dapat menunjukkan gejala yang sangat berat dan
menimbulkan kematian penderitanya karena parasit telah tersebar luas
di berbagai organ penting dan juga pada sistem saraf penderita.7
Gejala susunan syaraf pusat sering meninggalkan gejala sisa,
misalnya retardasi mental dan motorik. Kadang-kadang hanya
ditemukan sikatriks pada retina yang dapat kambuh pada masa anak-
anak, remaja atau dewasa. Korioretinitis karena toksoplasmosis pada
remaja dan dewasa biasanya akibat infeksi kongenital. Akibat
kerusakan pada berbagai organ, maka kelainan yang sering terjadi
bermacam-macam jenisnya.6
Kelainan pada bayi dan anak-anak akibat infeksi pada ibu
selama kehamilan trimester pertama, dapat berupa kerusakan yang
sangat berat sehingga terjadi abortus atau lahir mati, atau bayi
dilahirkan dengan kelainan seperti ensefalomielitis, hidrosefalus,
kalsifikasi serebral dan korioretinitis. Pada anak yang lahir prematur,
gejala klinis lebih berat dari anak yang lahir cukup bulan, dapat
disertai hepatosplenomegali, ikterus, limfadenopati, kelainan susunan
syaraf pusat dan lesi mata.6

2.8 Kategori10
Untuk tujuan klinis, toksoplasmosis dibagi menjadi lima
kategori, yaitu (1) toksoplasmosis pada pasien imunokompeten, (2)
toksoplasmosis pada kehamilan, (3) toksoplasmosis kongenital, (4)
toksoplasmosis pada pasien immunocompromised, (5) toksoplasmosis
okular.
1) Toksoplasmosis imunokompeten
Hanya 10-20% dari toxoplasmosis pada anak-anak dan orang
dewasa yang memiliki gejala. Pada pasien imunokompeten dengan
toxoplasmosis sering tanpa gejala atau hanya gejala ringan dan
menyediakan non-spesifik demam, pembesaran kelenjar getah
bening, mialgia, leher kaku, nyeri menelan atau sakit perut.
Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan IgM dan IgG
dilakukan untuk evaluasi awal atas dugaan toksoplasmosis.
Pemeriksaan paralel dilakukan 3-4 minggu setelah pemeriksaan
pertama. Hasil IgM dan IgG negatif tidak termasuk diagnosis
toksoplasmosis. Akut. Infeksi terjadi bila ada peningkatan titer
lebih dari 4 ganda dibandingkan dengan titer pada pemeriksaan
awal. Pemeriksaan panel seperti Profil Toxoplasma serologi (TSP)
atau aviditas IgG untuk membedakan apakah infeksi terjadi akut
atau kronis.

2) Toksoplasmosis immunocompromised
Di host immunocompromised seperti pasien dengan AIDS,
keganasan hematologi, penerima transplantasi sumsum tulang,
transplantasi organ padat (termasuk jantung, hati, hati, ginjal),
toksoplasmosis dapat menyebabkan ensefalitis,
meningoencephalitis, miokarditis, dan pneumonitis. Insiden
toksoplasmosis pada penerima transplantasi alogenik adalah 40%,
angka kematian mencapai 60-90%. infeksi SSP terjadi pada 5-10%
dari penerima transplantasi. Ensefalitis Toksoplasma (TE) adalah
manifestasi yang paling sering pada pasien immunocompromised.
Dalam 58-89% kasus terjadi pada manifestasi klinis sub-akut
dalambentuk kelainan neurologis fokal, dalam 15-25% kasus
dengan manifestasi klinis yang lebih parah dari kejang dan
pendarahanotak. manifestasi klinis lain seperti kehilangan
kesadaran,meningismus, tanda-tanda serebelar, gangguan
neuropsikiatri,demensia, agitasi.
Pada pasien HIV risiko infeksi SSP terkait dengan tingkat
CD4, risiko yang lebih tinggi pada mereka yang hanya memiliki
jumlah CD4 + <200 sel / mm. Dalam beberapa penelitian mencatat
bahwa untuk setiap penurunan CD4 + sel oleh 50 sel akan
meningkatkan resiko TE sebesar 30%, namun di era ART (Highly
Active Antiretroviral Therapy) sebagai risiko saat ini dan kematian
TE menurun karena perbaikan sistem kekebalan tubuh. 18
Toksoplasmosis pada penderita AIDS juga dapat menyerang paru-
paru, mata dan organ lainnya. toksoplasmosis paru (pneumonitis)
terjadi terutama pada pasien dengan canggih manifestesi klinis
AIDS termasuk demam, dyspnea, dan batuk dan sering sulit
dibedakan dari jeroveci pneumonia pneumocystic. Angka kematian
berkisar antara 35%.
Pemeriksaan PenunjangReaktivasi infeksi kronis adalah
penyebab paling sering dari toksoplasmosis di
immunocompromised pasien. IgM dan IgG titer meningkat di
reaktivasi. Meskipun demikian serum anti Toxoplasma IgM dan
IgG negatif tidak secara otomatis mengecualikan diagnosis
toksoplasmosis. Isolasi parasit dari darah, cairan tubuh yang
terinfeksi, cairan BAL merupakan diagnosis pasti infeksi
toksoplasmosis. Tes-tes lain yang mungkin dilakukan termasuk
PCR assay untuk mendeteksi DNA T.gondii dalam darah atau
cairan tubuh. CT scan atau MRI harus dilakukan atas dugaan
keterlibatan SSP di T.gondii infeksi. lesi gambaran dari beberapa
cincin -Enhance mendukung diagnosis toksoplasmosis.

3) Kongenital Toksoplasmosis
Kasus toksoplasmosis kongenital telah dilaporkan di
Indonesia. Lazuardi et al (1989) melaporkan T.gondiiantibodi
dalam 44,6% dari anak-anak dengan keterbelakangan mental,
44,6% pada anak-anak dengan lesi mata dan 9,5% pada anak-anak
dengan gejala umum. Risiko dan keparahan gejala toksoplasmosis
kongenital lebih parah jika infeksi terjadi pada awal kehamilan.
Trias klasik toksoplasmosis kongenital adalah korioretinitis,
hidrosefalus, dan kalsifikasi intrakranial. Keterlibatan sistem saraf
dan mata sering timbul kemudian jika tidak ditemukan pada saat
kelahiran. Kejang, keterbelakangan mental, dan kekakuan adalah
gejala sisa yang umum.
IgM positif adalah bukti kuat infeksi bawaan, tapi IgM
negatif tidak mengecualikan diagnosis. Serum IgA lebih sensitif
untuk mendeteksi toksoplasmosis kongenital dari IgM.Ketika
gejala dan bukti serologis toksoplasmosis terdeteksi selama
kehamilan, infeksi janin sudah dapat ditegakkan oleh deteksi IgM
dan isolasi parasit dari darah janin atau cairan ketuban pada 18
minggu kehamilan. Pemeriksaan sebelum 20 minggu kehamilan
sulit untuk menegakkan karena respon imunologi dari janin masih
rendah. PCR pada cairan ketuban dapat lebih akurat mendiagnosis
infeksi pada janin sebelum 20 minggu kehamilan. Sensitivitas tes
ini adalah 64% dengan nilai prediksi negatif 87,8%, spesifisitas
dan nilai prediksi positif 100%. Antenatal USG dapat
mengidentifikasi kelainan pada janin terinfeksi. Sekitar 36% janin
dengan kelainan dapat diidentifikasi. Kelainan yang dapat
ditemukan adalah bilateral simetris dilatasi ventrikel, kalsifikasi
intrakranial, peningkatan ketebalan plasenta, hepatomegali dan
asites.

4) Okuler Toksoplasmosis
Chorioretinitis toksoplasma dapat terjadi karena infeksi
bawaan atau postnatal diperoleh. Infeksi terjadi pada 2/1000
kehamilan Amerika, dengan rata-rata infeksi transplasenta ≤50%.
Tujuh puluh persen dari bayi dengan infeksi kongenital
menunjukkan bekas luka di korioretina. Gejala termasuk
penglihatan kabur, skotoma, fotofobi dan nyeri. Oftalmologi
pemeriksaan diperoleh necrotizing pembentukan retinitis fokus
yang menyerupai katun putih kekuningan, dengan batas-batas yang
tidak jelas. Pada infeksi kongenital sering lesi bilateral di infeksi
yang diperoleh sementara umumnya unilateral. Tes serologi sering
tidak membantu karena diagnosis sering diperoleh dengan titer IgG
yang rendah, sering tidak terdeteksi IgM. Peningkatan kadar IgG 4
kali tingkat awal dalam waktu 4 minggu menunjukkan infeksi
primer. Tes-tes lain yang bisa dilakukan adalah amplifikasi DNA
parasit dari aqueous humor atau vitreous.

5) Toksoplasmosis di Kehamilan
Kebanyakan wanita hamil dengan infeksi akut yang diperoleh
tidak mengalami gejala tertentu. Beberapa memiliki gejala malaise,
subfebris, limfadenopati. Frekuensi penularan ke janin meningkat
dengan meningkatnya usia kehamilan.
Pemeriksaan IgG dan IgM idealnya dilakukan pada trimester
pertama kehamilan. Serum IgG dan IgM negatif dengan menunjukkan
bahwa wanita hamil tidak terinfeksi, menghadapi penyelidikan lebih
lanjut dilakukan selama kehamilan untuk mengantisipasi terjadinya
serokonversi. Hasil positif dari IgG tapi IgM negatif pada kehamilan
<18 minggu menunjukkan infeksi terjadi di masa lalu, sementara di
usia kehamilan> 18 minggu hasil ini sulit untuk menafsirkan apakah
infeksi akut atau kronis berlangsung begitu aviditas pemeriksaan
diperlukan. Pada hasil negatif tapi IgG positif pemeriksaan IgM harus
diulang 1-3 minggu kemudian, jika hasilnya tetap sama berarti IgM
positif tidak memiliki signifikansi klinis, sedangkan dalam kasus
serokonversi IgG menjadi positif yang menunjukkan bahwa infeksi
terjadi selama kehamilan sehingga janin beresiko tinggi terkena
toksoplasmosis kongenital.
Pada pemeriksaan IgG dan IgM pemeriksaan tindak lanjut
yang positif untuk mengkonfirmasi infeksi akut atau kronis seperti
sangat diperlukan tes aviditas. aviditas tinggi IgG menunjukkan bahwa
infeksi terjadi> 16 minggu di muka, sehingga pemeriksaan pada
trimester pertama kehamilan menunjukkan infeksi terjadi sebelum
konsepsi mengurangi risiko transmisi dan risiko cacat janin rendah.

2.9 Terapi10
1) Toksoplasmosis pada pasien imunokompeten
ManajemenPengobatan tidak diperlukan dalam kasus
asimtomatik kecuali pada anak-anak <5 tahun. Hanya
imunokompeten pasien yang memiliki gejala diperlakukan.
Pirimetamin diberi 100 mg dosis loading, kemudian 25-50 mg /
hari dalam kombinasi dengan sulfadiazin 2-4 g / hari dalam dosis
terbagi 4 kali / hari selama 2-3 minggu atau bisa juga
dikombinasikan dengan klindamisin 300 mg 4 kali / hari selama 6
minggu. Sulfadiazin dan klindamisin dapat diganti dengan
azitromisin 500 mg / hari atau 750 mg atovaquone 2 kali / hari.
Alternatif lain yang dapat diberikan adalah Trimetoprim (TMP)
dari 10 mg / kg / hari, sulfametoksazol (SMX) 50 mg / kg / hari
selama 4 minggu.
2) Toksoplasmosis pada pasien immunocompromised
ManajemenTerapi toksoplasmosis pada pasien HIV - AIDS
dibagi menjadi 2 pengobatan dan perawatan terapi akut. Terapi
akut diberikan selama 3 minggu dan dapat diberikan selama 6
minggu jika respon lengkap tidak terjadi, terapi pemeliharaan yang
diperlukan selanjutnya untuk mencegah kekambuhan. Profilaksis
primer dianjurkan dalam HIV seropositive AIDS di mana jumlah
CD4 + <100 / mm 3 atau pasien dengan CD4 <200 / mm 3 disertai
dengan infeksi oportunistik dan keganasan. Rejimen yang
digunakan dapat diberikan TMP - SMX (trimetoprim -
sulfametoksazol). Dosis TMP- SMX adalah salah satu ganda tablet
kekuatan (DS) (160 mg trimetoprim, 800 mg sulfametoksazol) 2
kali / hari (14 DS tablet / minggu).

Pada infeksi akut dapat diberikan kombinasi pirimetamin


dan sulfadiazin. rejimen ini adalah rejimen standar untuk
pengobatan TE (Toxoplasmic Encephalitis). Pirimetamin dosis
awal 200 mg / hari berikutnya 50-75 mg / hari ditambah
sulfadiazin 4-8 g / hari selama 6 minggu kemudian disebut terapi
supresif seumur hidup atau untuk meningkatkan sistem kekebalan
tubuh. Dalam beberapa studi menyebutkan kombinasi
pyrimethamine - klindamisin dan trimethoprim - sulfamethoxazole
seefektif penggunaan kombinasi pirimetamin - sulfadiazin.
Klindamisin dapat diberikan dengan dosis 600 mg PO / IV,
4 kali / hari selama 3-6 minggu. Dosis untuk penekan terapi 300-
450 mg PO setiap 6-8 jam. Kombinasi atovaquone dengan
pirimetamin atau sulfadiazin juga menyediakan efektivitas yang
tinggi. Obat ini mampu menghilangkan bradyzoite pada hewan
percobaan. Dapat diberikan dengan dosis 750 mg (5 mL) PO
ketika makan selama 21 hari. Dalam beberapa penelitian regimen
ini memberikan hasil yang baik pada gambaran klinis dan
radiologi dari 77%dalam waktu 6 minggu pengobatan dan tingkat
kekambuhan dari 5% dalam masa pemeliharaan. Terapi
pemeliharaan (profilaksis sekunder) dapat dimulai setelah selesai
terapi pada fase akut diberikan, yang menggunakan rejimen yang
sama seperti pada fase akut tetapi dengan setengah dosis
profilaksis primer dapat dihentikan jika jumlah CD4 setelah
penggunaan antiretroviral (ARV) meningkat> 200 / mm 3
diselesaikan selama kurang lebih 3 bulan, dengan pemeriksaan
jumlah virus negatif. Profilaksis sekunder dihentikan jika pasien
memiliki pengobatan menjalani perbaikan klinis akut dan
menunjukkanditandai dengan hilangnya tanda-tanda dan gejala
toksoplasmosisdan peningkatan sistem kekebalan tubuh setelah
pengobatandengan ART yang ditandai dengan peningkatan CD4
+> 200 / mm 3 yang menetap untuk selama sekitar 6 bulan.
3) Kongenital Toksoplasmosis
ManajemenPada bayi baru lahir dengan toksoplasmosis,
dapat diberikan kombinasi pyrimethamine 1 mg / kg per hari
selama 2 bulan diikuti dengan 1 mg / kg setiap 2 hari selama 10
bulan, sulfadiazin 50 mg/ kg berat badan per hari, serta asam folat
5 -10 mg 3 kaliseminggu untuk mencegah efek samping dari
pyrimethamine. Selain pemberian obat-obatan juga diperlukan
tindak lanjut rutin. Sebuah darah lengkap menghitung 1-2 kali per
minggu untuk dosis harian pyrimethamine dan 1-2 kali per bulan
untuk dosis pirimetamin dilakukan setiap 2 hari untuk memantau
efek racun dari obat. Juga diperlukan pemeriksaan pediatrik
lengkap, termasuk pemeriksaan oftalmologis setiap 3 bulan sampai
usia 18 bulan dan kemudian setahun sekali, serta pemeriksaan
neurologis setiap 3-6 bulan untuk usia 1 tahun.
4) Okuler Toksoplasmosis
ManajemenPengobatan tergantung pada beberapa faktor
seperti lokasi lesi,tingkat peradangan, ancaman kebutaan dan status
kekebalanpasien. Jika infeksi tidak pada disk optik dan makula dan
hanyadisertai peradangan ringan, pengobatan tidak diperlukan.
Pirimetamin paling efektif untuk infeksi ini, mengingat dosis
muatan 25 mg 3 kali / hari diikuti oleh 25 mg / hari. obat ini harus
dikombinasikan dengan sulfadiazin dengan dosis loading lebih
lanjut dari 1-2 g 4 kali / hari. Terapi ini dilakukan selama 6-12
minggu. Tanggapan pengobatan ditunjukkan oleh hilangnya bercak
putih kekuningan pada retina, vitreous menjadi bekas luka yang
jelas dan atrofi korioretina yang berbatas tegas. Pilihan obat lain
adalah klindamisin 300 mg 3-4 kali / hari selama 3-4 minggu,
kemudian 150 mg empat kali / hari selama3-4 minggu ke depan.
Spiramisin adalah obat yang paling umum digunakan dan memiliki
paling sedikit efek samping di antara pilihan obat lainnya, dapat
diberikan dalam dosis 1 g 2 kali / hari.
5) Toksoplasmosis di Kehamilan
ManajemenSpiramisin adalah obat pilihan untuk
toksoplasmosis ibu. Dosis 3 g / hari PO dalam dosis terbagi 24 kali
/ hari selama 3 minggu, berhenti selama 2 minggu dan kemudian
mengulangi siklus 5 mingguan selama kehamilan. Jika PCR positif
rejimen cairan ketuban harus diganti dengan pirimetamin 50 mg /
hari dan sulfadiazin 3 g / hari dalam 2-3 dosis terbagi selama 3
minggu diselingi dengan pemberian spiramisin 1 g 3 kali / hari
selama 3 minggu atau dapat diberikan pirimetamin 25 mg / hari
dan sulfadiazin 4 g / hari dalam dosis terbagi 2-4 kali / hari
diberikan sampai melahirkan.

2.10. Pencegahan
Peranan kucing sebagai hospes definitif merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi timbulnya toksoplasmosis, karena kucing
mengeluarkan berjuta juta ookista dalam tinjanya, yang dapat bertahan
sampai satu tahun di dalam tanah yang teduh dan lembab. Untuk
mencegah hal ini, maka dapat di jaga terjadinya infeksi pada kucing,
yaitu dengan memberi makanan yang matang sehingga kucing tidak
berburu tikus atau burung.6,7
Lalat dan lipas dapat menjadi vektor mekanik yang dapat
memindahkan ookista dari tanah atau lantai ke makanan. Untuk
mencegah terjadinya infeksi dengan ookista yang berada di dalam
tanah, dapat diusahakan mematikan ookista dengan bahan kimia
seperti formalin, amonia dan iodin dalam bentuk larutan serta air panas
70oC yang disiramkan pada tinja kucing. Anak balita yang bermain di
tanah atau ibu-ibu yang gemar berkebun, juga petani sebaiknya
mencuci tangan yang bersih dengan sabun sebelum makan. Di
Indonesia, tanah yang mengandung ookista T. gondii belum diselidiki.
Sayur-mayur yang dimakan sebagai lalapan harus dicuci bersih, karena
ada kemungkinan ookista melekat pada sayuran, makanan yang
matang harus di tutup rapat supaya tidak dihinggapi lalat atau kecoa
yang dapat memindahkan ookista dari tinja kucing ke makanan
tersebut.3,4
Kista jaringan dalam hospes perantara (kambing, sapi, babi dan
ayam) sebagai sumber infeksi dapat dimusnahkan dengan
memasaknya sampai 66 0C. Daging dapat menjadi hangat pada semua
bagian dengan suhu 650C selama empat sampai lima menit atau lebih,
maka secara keseluruhan daging tidak mengandung kista aktif,
demikian juga hasil daging siap konsumsi yang diolah dengan garam
dan nitrat. Setelah memegang daging mentah (tukang potong, penjual
daging, tukang masak) sebaiknya cuci tangan dengan sabun sampai
bersih.8
Yang paling penting dicegah adalah terjadinya toksoplasmosis
kongenital, yaitu anak yang lahir cacat dengan retardasi mental dan
gangguan motorik, merupakan beban masyarakat. Pencegahan dengan
tindakan abortus artefisial yang dilakukan selambatnya sampai
kehamilan 21-24 minggu, mengurangi kejadian toksoplasmosis
kongenital kurang dari 50 %, karena lebih dari 50 % toksoplasmosis
kongenital diakibatkan infeksi primer pada trimester terakhir
kehamilan.7,8
Pencegahan dengan obat-obatan, terutama pada ibu hamil yang
diduga menderita infeksi primer dengan Toxoplasma gondii, dapat
dilakukan dengan spiramisin. Vaksin untuk mencegah infeksi
toksoplasmosis pada manusia belum tersedia sampai saat ini. 6,7
DAFTAR PUSTAKA

1. Sriasi Gandahusada. 2004. Parasitologi Kedokteran. Jakarta : EGC,hlm 159-


160
2. Sriasi Gandahusada. 2006. Toxoplasma gondii. Parasitologi Kedokteran,
Edesisi 3. Jakarta : Penerbit FKUI,
3. PellouxH. May 1-4, 2004. Toxoplasmosis in the immunocompromised host:
Epidemiology and diagnosis. European Society of Clinical Microbiology and
Infection Disease.
4. Michael D. Cleary, Unpinder Singh, Ira J. Blader, Jeremy L. Brewer, and John
C. Boothroyd. Une 1-3, 2002. Toxoplasa gndii Asexual Development :
Identification od Developmentally Regulated Genes and Distinct Patterns of
Gene Expression. Eukaryot Cell. American Society for Microbiology,pp: 329-
340
5. Michael E. Grigg, Ph.D. November 20, 2007. The Food and Water-oe Parasite
National Institute of Alergy and infection Disease
6. Eic j. Feron, Vincent N. A. Klaren, Eddy A. Wierenga, Georges M.G.M
Verjans, and Aize Kijlstra 2001. Investigate Ophtamology and Visual Sciensce
vol. 42, pp: 3228-3232
7. Chandrasekharan N. Nagineni, Barbara Detrick, and John K. Hooks. Jan,
2000, Toxoplasma gondii Infectin Induces Gene Expression and Secretion of
Interleukin-I (IL-I), IL-6, Grnulocyte-Macrophage Colony-Stimulating Factor,
and Intercelullar Adhesion Molecule I by Human Retinal Pigment Epithelial
Cells. American Society for Microbiology, pp: 407-410
8. Calin Stoicov, Marlk Whary, Arlin B. Rogers, Fredick S. Lee, Kristine
Klucevesk, Hanchen LI, un Cai, Reza Saffari, Zhongming Ge, Imtiaz A.
Khan, Crescent combe, Andreww luster, James G. Fox , and JeanMarie
Houghton. 2004. Co-infection Modilates Inflammatory Responses and
Clinical Outcome of Helicobacter Felis and Toxoplasma goncii infection. The
American Association of Immunologists, Inc,pp: 3330-3336
9. Caroline Paquate, (2013). Toxoplasmosis in Prgnancy: Prevention, Screening
and treatment . SOGC Clinical Practice Guidline,p 285
10. Irma Yuliawati, Nasrudin (2015). Pathogenesis, Diagnostic and Management
Toxoplasmosis. Indonesian Journal of Tropical and Infectious Disease Vol. 05,
No. 04.

Anda mungkin juga menyukai